Friday 6 March 2020

Tak Perlu Panik Covid-19 Tidak Mematikan

Illustrasi : https://ugm.ac.id/id/berita/19092-tak-perlu-panik-covid-19-tidak-mematikan
Dr. Ika Trisnawati, M.Sc., Sp.PD-KP, Ketua Tim Viral Airborne RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, mengimbau masyarakat untuk tidak panik menghadapi virus corona atau Covid-19, sebab virus ini sesungguhnya tidak mematikan.

Ia mengatakan hal itu saat memberi kuliah mahasiswa Fakultas Farmasi UGM, Program Studi Profesi Apoteker bertema Tentang Corona Virus dan Penangannya. Menurut Ika virus corona pernah menjadi wabah dunia dengan tiga jenis yang dikenal selama ini, yaitu SARS-Cov, MERS-Cov dan COVID-19.

SARS muncul tahun 2002 di China dan Hongkong, kemudian MERS muncul tahun 2012 dan di akhir tahun 2019 menyusul COVID-19. SARS-Cov jumlah kasusnya mencapai 8.098, meninggal dunia 774 orang dan Case Fatality Rate 9,6 persen. MERS-Cov yang terjangkit lebih sedikit yaitu 2.494, namun angka kematian cukup tinggi 858 sehingga Case Fatality Ratenya 34,4 persen.

Sedangkan COVID-19 tercatat per tanggal 1 Maret 2020 mencapai 87.137 kasus dengan jumlah kematian mencapai 2.981. Angka kematian ini terlihat sangat tinggi, namun bila dibandingkan dengan jumlah kasusnya maka Case Fatality Ratenya hanya 3,4 persen.

“Oleh karena itu, tidak usah terlalu panik, kita memiliki data atau bukti ilmiah. Artinya apa virus ini tidak mematikan, namun memang mudah menular," katanya, di Auditorium Gedung V Fakultas Farmasi UGM, Rabu (4/2).

Dari data yang ada, kata Ika, yang terpenting soal COVID-19 ini adalah identifikasi kasus apakah ia kasus dari luar atau kasus berasal dari lokal. Sebagai contoh di Pakistan banyak kasus merujuk pada kasus berasal dari luar artinya kasus-kasus yang muncul akibat virus dari luar masuk kedalam. 

Ika mengakui angka kematian di luar China paling banyak di Korea, Jepang, Philipina, Itali, Perancis, Iran dan di kapal Diamond Princess. Angka kematian terbesar di China karena endemis dan virusnya sangat mudah menular.

“Dari data banyaknya pasien-pasien yang meninggal karena sebelumnya telah memiliki penyakit-penyakit yang lain. Jadi, sebelum terkena corona, sebelum terkena Covid, ia sudah sakit, semisal jantung, gagal ginjal, gagal liver dan lain-lain dan usianya sudah lanjut," terangnya.

Seementara itu, untuk pasien-pasien yang berusia muda angka kematiannya sangat kecil. Mereka yang dalam kategori usia produktif ini umumnya memiliki daya tahan yang masih bagus.

“Virus ini sangat bergantung pada ketahanan tubuh. Jadi, yang meninggal karena ia punya penyakit kronis yang lain dan telah berusia lanjut," imbuhnya.

Ika sangat berharap masyarakat untuk tidak panik menghadapi wabah ini. Menurutnya, kepanikan muncul akibat ketidaktahuan soal virus ini, belum lagi dengan beredarnya isu-isu yang berkembang.

Baginya hoaks berita terkait COVID-19 inilah yang justru paling berbahaya sehingga di Indonesia bukan virus Covidnya yang membahayakan, tapi virus hoaksnya karena lebih liar dan susah dikendalikan.

“Kalau virus covidnya bisa ditangani dengan cara dikarantina, pasien bisa dikendalikan penularannya, tapi kalau virus hoaks susah dikendalikan. Beberapa waktu kemarin kita sudah mengadakan pertemuan dengan Kementerian Kesehatan dari bidang informasi dan komunikasi guna mambahas isu-isu hoaks agar bisa ditangani secara serius," katanya.

dr. Titik Nursyastuti, SpMK., Ph.D, mikrobiologi FKKMK UGM, menyatakan Covid-19 dimulai pada 2019 dengan penemuan kasus pneumonia di daerah Wuhan dan tidak sampai sebulan sudah muncul kasus di luar China. Thailand menjadi negara pertama terdampak.

“Data WHO menyebut hampir di semua benua sudah terdampak oleh Covid-2019. Tetapi WHO sampai sekarang belum menyatakan sebagai pandemik," ungkapnya.

Menurutnya, virus ini sebenarnya labil, tidak tahan panas, tidak tahan bahan kimia dan sebagainya. Virus ini sudah sejak lama ada dan berhasil dikultur atau diisolasi pada tahun 1960-an.

“Dari sejarahnya juga ada beberapa jenis dari corona virus ini yang menginfeksi manusia, meksipun beda family. Ada human coronavirus 229E, OC43, LL63 dan sebagainya. Tetapi yang menjadi perhatian adalah tiga kelompok koronavirus yang di bawah ini yang menyebabkan outbreak atau wabah karena sebelumnya hanya menyebabkan infeksi yang ringan saja sehingga tidak menjadi perhatian serius waktu terjadi infeksi," terangnya.

Penulis : Agung Nugroho

Sumber : https://ugm.ac.id/id/berita/19092-tak-perlu-panik-covid-19-tidak-mematikan

Perilaku Hidup Sehat cara mencegah Virus Corona

Ilustrasi mencuci tangan. (Foto: Istockphoto/AlexRaths)
Konfirmasi dua kasus COVID-19 di Indonesia cukup menggemparkan masyarakat dan bahkan menimbulkan ketakutan bagi berbagai kalangan. Ketakutan ini memicu masyarakat untuk melakukan berbagai tindakan impulsif seperti memborong masker dan barang-barang kebutuhan pokok.

Koordinator tim respons COVID-19 UGM, dr. Riris Andono Ahmad, MPH, PhD mengungkapkan bahwa kunci pencegahan penularan virus ini terletak pada perilaku hidup sehat yang sebenarnya telah kerap dikampanyekan sebelum kemunculan virus ini, seperti mencuci tangan, konsumsi makanan sehat, serta olahraga dan istirahat yang cukup.

“Kami mengimbau masyarakat untuk tetap tenang menyikapi kejadian ini mengingat COVID-19 bisa dicegah,” ungkapnya dalam konferensi pers yang digelar Selasa (3/3) di Gedung Pusat UGM.

Terkait tindakan masyarakat yang memborong masker untuk mencegah penularan, ia menegaskan bahwa masyarakat umum yang dalam kondisi sehat tidak perlu mengenakan masker, karena virus ini tidak menular melalui udara secara langsung.

Penularan virus terjadi melalui droplet atau cairan tubuh yang bisa terpercik pada seseorang atau pada benda-benda di sekitarnya pada jarak 1-2 meter melalui batuk atau bersin. Karena itu, penggunaan masker diperlukan justru oleh orang yang sakit untuk mencegah percikan tersebut.

“Jadi secara umum penyakit ini lebih banyak menular melalui model penularan seperti itu. Karena itu, penyakit ini lebih efektif dicegah dengan cuci tangan dengan sabun antiseptik atau cairan pembersih tangan yang berbasis alkohol,” imbuhnya.

COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus SARS CoV-2 dengan gejala umum gangguan saluran pernafasan akut baik ringan maupun berat yang meliputi demam, batuk, sesak nafas, kelelahan, pilek, nyeri tenggorokan, atau diare.

Satu dari enam orang yang terinfeksi akan mengalami gejala sakit yang berat hingga kesulitan bernafas, dan sebagian besar penderita yang mengalami keparahan adalah orang berusia lanjut dan memiliki riwayat penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung, atau diabetes.

Riris menambahkan, dibandingkan dengan beberapa penyakit yang juga disebabkan oleh virus corona, seperti SARS dan MERS-Cov, COVID-19 memiliki tingkat fatalitas yang lebih rendah, yaitu sekitar 2 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan SARS yang bisa mencapai 10 persen.

Di samping itu, sistem kesehatan Indonesia dinilai cukup mumpuni untuk mendeteksi dan menangani penyakit ini, sehingga masyarakat tidak perlu panik.

“Dengan ditemukannya kasus yang terkonfirmasi kemarin, itu menunjukkan bahwa kapasitas deteksi sistem kesehatan kita cukup mumpuni, dan pemerintah juga sudah menyiapkan 100 rumah sakit di Indonesia untuk menangani kasus-kasus COVID-19,” jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, pakar mikrobiologi FKKMK UGM, Prof. dr. Tri Wibawa, Ph.D, Sp.MK, menerangkan bahwa banyak virus yang bisa dilawan dengan kekebalan tubuh. Di samping konsumsi makanan sehat ataupun tanaman obat yang mampu meningkatkan sistem imun, olahraga, istirahat cukup, serta pengelolaan stres juga menjadi hal yang tidak kalah penting.

UGM sendiri telah mengeluarkan surat edaran yang mengimbau seluruh sivitas UGM untuk secara aktif melakukan upaya kewaspadaan di unit kerja serta melakukan perilaku hidup sehat, di samping melakukan langkah pencegahan seperti menangguhkan perjalanan ke luar negeri, terutama negara-negara yang terdampak COVID-19, serta beberapa imbauan lainnya.

Pembentukan tim respons sebagai satuan tugas khusus juga menjadi salah satu upaya UGM untuk melindungi sivitas UGM maupun masyarakat sekitar UGM terhadap ancaman penyakit.

“Tahun lalu kami sudah meluncurkan program Health Promoting University, dan salah satu yang menjadi perhatian adalah literasi kesehatan. Karena ini menimbulkan kepanikan, UGM membentuk satgas di mana dari direktorat kemitraan dan urusan internasional, FKKMK, maupun tim HPU akan berkoordinasi,” ucap Wakil Rektor UGM Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset, Prof. Dr.Ir. Bambang Agus Kironoto.

Penulis: Gloria
Foto: Vino & freepik.com

Sumber : https://ugm.ac.id/id/berita/19085-perilaku-hidup-sehat-kunci-pencegahan-virus-corona

Bab 10. Jing-sia-pay Ternyata Pernah Dikalahkan Pi-sia-kiam-hoat - Hina Kelana

"Lak-kau-ji, ingin kutanya kau, pada waktu Toasuko berteriak-teriak tentang 'empat binatang dari Jing-sia', tatkala itu kau ikut-ikut berteriak atau tidak?" demikian tanya seorang Suhengnya yang berbadan gede. "Haha, jika begitu cara teriakan Toasuko, sudah tentu aku ikut-ikut memberi suara," sahut Liok Tay-yu. "Memangnya kau malah ingin aku membantu pihak Jing-sia-pay dan memaki Toasuko?" "Jika begitu hukuman rangket Suhu atas dirimu itu sedikit pun tidak keliru," ujar si badan gede. "Ya, peringatan Suhu terhadap Toasuko itu memang perlu juga diingat baik-baik oleh kita semua," kata si kakek pula. "Menurut Suhu, banyak orang persilatan memang suka memakai julukan yang muluk-muluk dan berlebihan, tapi masakah kita dapat mengurusnya satu per satu? Orang mau menyebut dirinya sebagai 'kesatria' atau 'pahlawan' boleh biarkan saja, buat apa ambil pusing. Tentang perbuatannya, tingkah lakunya, apakah betul-betul kesatria atau pahlawan atau cuma 'jual kecap' melulu, tentu orang persilatan umumnya akan memberi penilaian sendiri, kita tidak perlu ambil tindakan sendiri-sendiri."

Semua orang mengiakan uraian sang Jisuko. Maka dengan tersenyum kakek itu meneruskan, "Setelah kejadian Hau-Jin-eng dan Ang Jin-hiong dihajar oleh Toasuko, tentu saja hal mana bagi Jing-sia-pay merupakan suatu hinaan besar dan sangat memalukan, maka sama sekali mereka tidak berani membicarakannya, bahkan anak murid mereka sendiri jarang yang mengetahui kejadian itu. Suhu juga wanti-wanti memperingatkan kita agar jangan menyiarkan kejadian itu keluar untuk menghindari percekcokan kedua pihak. Maka selanjutnya kita pun jangan membicarakannya lagi, awas kalau didengar orang luar dan disiarkan." "Ah, padahal kepandaian Jing-sia-pay kukira juga cuma membual belaka," ujar Liok Tay-yu. "Biar kita menyalahi mereka juga tidak menjadi soal ...." "Laksute," bentak si kakek, "jika kau sembarangan omong lagi, awas kalau kulaporkan kepada Suhu, tentu kau akan terima rangketan lagi.

Dapatnya Toasuko menggulingkan kedua lawan dengan gerakan 'Pah-bwe-kah', pertama adalah karena pihak mereka sama sekali tidak siap, kedua, Toasuko adalah jago muda yang paling menonjol dari golongan kita yang sukar dibandingi orang lain. Coba kau sendiri saja, apakah kau mampu menendang orang sehingga terguling ke bawah loteng?" Liok Tay-yu melelet-lelet lidah, jawabnya, "Ya, jangan bandingkan Toasuko dengan aku, dong!" "Maka dari itu janganlah kita tinggi hati. Ih-koancu, ketua Jing-sia-pay, sesungguhnya adalah tokoh pilihan di dunia persilatan pada zaman ini, siapa berani memandang enteng padanya tentu akan merasakan akibatnya," kata si kakek dengan sungguh-sungguh. "Kau, Siausumoay, kau sudah pernah melihat Ih-koancu, coba bagaimana pendapatmu tentang dia?" "Tentang Ih-koancu maksudmu?" si nona menegas. "Aku ... aku menjadi takut bila melihatnya. Lain ... lain kali aku tidak ingin melihat dia lagi." "Bagaimana sih macamnya Ih-koancu itu sehingga Siausumoay kita sampai ketakutan padanya? Apakah mukanya sangat bengis dan jahat?" tanya Liok Tay-yu. Anak dara itu agaknya masih merasa ngeri, maka badannya agak mengkeret dan tidak menjawab pertanyaannya. Si kakek lantas menyambung ceritanya, "Karena Toasuko masih belum juga datang, daripada iseng biarlah kuceritakan sekalian dari awal mula. Sesudah kita mengetahui seluk-beluk urusan ini, kelak bila bertemu dengan orang-orang Jing-sia-pay dapatlah kita dapat berjaga-jaga sebelumnya dan tahu bagaimana cara bagaimana menghadapi mereka. Hari itu sesudah Suhu terima suratnya Ih-koancu, dengan marah beliau lantas memberi hukuman rangket kepada Toasuko dan Laksute.

Besoknya beliau lantas menulis surat balasan dan menyuruh aku mengantarkannya ke Jing-sia-san ...." "O, makanya hari itu kau turun gunung dengan tergesa-gesa, kiranya kau diutus pergi ke Jing-sia?" seru beberapa Sutenya. "Benar," sahut si kakek. "Suhu suruh aku jangan mengatakan kepada kalian supaya tidak timbul hal-hal yang tak diinginkan." "Hal-hal yang tak diinginkan apa sih? Itu kan cuma pikiran Suhu yang biasanya memang sangat hati-hati," ujar Liok Tay-yu. "Kau tahu apa?" omel Samsuhengnya. "Bila Jisuko mengatakan padamu, tentu kau akan usil mulut dan menyampaikannya pula kepada Toasuko. Andaikan Toasuko tidak berani membangkang perintah Suhu, tapi dia tentu akan menggunakan akal aneh-aneh untuk mengacau pihak Jing-sia-pay." "Benar juga ucapan Samte," kata si kakek. "Toasuko mempunyai banyak sekali sahabat Kangouw, untuk melakukan sesuatu tidak perlu mesti dia sendiri yang melaksanakannya. Menurut Suhu, dalam surat mengatakan kedua murid yang nakal telah diberi hukuman yang setimpal, mestinya akan dipecat dari perguruan, tapi khawatir hal ini akan menimbulkan salah sangka orang Kangouw seakan-akan kedua aliran kita telah terjadi keretakan, maka sekarang kedua murid nakal itu sudah diberi hukum rangket sehingga tidak mampu berjalan, sebab itulah sengaja menyuruh Jitecu bernama Lo Tek-nau untuk minta maaf. Urusan yang ditimbulkan oleh murid nakal ini hendaklah Ih-koancu mengingat hubungan baik kedua pihak dan janganlah marah dan macam-macam ucapan merendah lagi."

Mendengar uraian isi surat itu, diam-diam Peng-ci membatin, "Hubungan Hoa-san-pay kalian dan Jing-sia-pay ternyata sangat akrab, pantas nona burik itu tidak mau menyalahi mereka hanya untuk membela aku dan ayah saja." Dalam pada itu si kakek yang bernama Lo Tek-nau telah meneruskan ceritanya, "Sesampainya aku di Jing-siasan, masih mendingan si Hau Jin-eng itu, yang kurang ajar adalah si Ang Jin-hiong, beberapa kali dia mengejek dan mencemooh, bahkan menantang aku untuk berkelahi ...." "Keparat! Labrak saja, takut apa, Jisuko? Masakah keparat she Ang itu mampu menandingi kau?" seru Liok Tay-yu dengan gemas. "Tapi Suhu menyuruh aku ke Jing-sia-san untuk meminta maaf dan bukan untuk mencari perkara," sahut Lo Tek-nau. "Maka sedapat mungkin aku hanya bersabar saja. Aku menunggu enam hari di sana, sampai hari ketujuh barulah Ih-koancu menemui aku." "Hm, lagaknya!" omel Liok Tay-yu. "Selama enam hari enam malam itu tentu engkau sangat tersiksa, Jisuko." "Ya, sudah tentu aku kenyang disindir dan diejek," sahut Lo Tek-nau. "Syukurlah aku cukup sadar akan tugas yang dibebankan Suhu kepadaku, bahwasanya aku yang diutus ke Jing-sia bukan lantaran ilmu silatku melebihi orang lain, beliau tahu usiaku paling tua dan jauh lebih sabar daripada para Sute. Sesudah menemui aku, Ihkoancu juga tidak bilang apa-apa, dia hanya menghibur aku beberapa patah, malamnya lantas mengadakan perjamuan untukku. Besok paginya dia sendiri yang mengantar keberangkatanku, sedikit pun tidak kurang adat. Tapi mereka tidak menduga bahwa selama enam hari aku dibiarkan tinggal di Siong-hong-koan mereka tanpa digubris sesungguhnya malah merugikan mereka sendiri. "Karena aku belum dapat bertemu dengan Ih-koancu, dengan sendirinya aku menjadi menganggur saja.

Hari ketiga pagi-pagi sekali aku telah bangun dan keluar jalan-jalan, sampai di lapangan berlatih di belakang kuil mereka itu, terlihat ada beberapa puluh murid Jing-sia-pay sedang latihan. Kita mengetahui orang Bu-lim paling pantang kalau mengintip orang lain yang sedang berlatih, maka cepat-cepat aku memutar balik ke kamar. Akan tetapi hanya sekilas pandang itu saja aku sudah lantas timbul rasa curiga. Kulihat beberapa puluh murid Jing-sia-pay itu semuanya menggunakan pedang dan sedang berlatih sesuatu ilmu pedang baru, sebab tampaknya gerakan mereka masih kaku. Cuma sekilas saja aku pun tidak jelas ilmu pedang apa yang mereka latih itu. "Sepulangnya di kamar, hatiku semakin curiga. Aku tidak habis mengerti mengapa murid-murid Jing-sia-pay itu tanpa kecuali sekaligus telah latihan bersama sebuah ilmu pedang. Apalagi di antara mereka juga termasuk empat tokoh muda yang terkenal sebagai Jing-sia-su-siu, yaitu Hau Jin-eng, Ang Jin-hiong, Uh Jin-ho dan Lo Jin-kiat. Coba para Sute, jika kalian yang memergoki keadaan begitu, bagaimana dugaan kalian?" "Mungkin Jing-sia-pay baru menciptakan semacam ilmu pedang," ujar orang pembawa Swipoa. "Semula aku pun berpikir begitu," sahut Lo Tek-nau. "Tapi setelah kupikir lagi kukira tidak tepat. Ilmu pedang Ih-koancu sudah cukup terkenal, jika dia berhasil menciptakan ilmu pedang baru, maka ilmu pedang ini pasti luar biasa dan tidaklah mungkin serentak diajarkan kepada semua muridnya tanpa membedakan tingkatan.

Paling-paling dia cuma pilih dua-tiga muridnya yang paling pandai untuk melatihnya. Maka pagi hari berikutnya kembali aku memutar ke belakang kuil lagi, lewat di lapangan berlatih, kembali kulihat mereka masih latihan ilmu pedang. Sekilas pandang pula aku dapat mengingat baik-baik dua jurus di antaranya dengan maksud sepulangnya di Hoa-san akan kuminta keterangan kepada Suhu. Maklumlah aku menjadi curiga jangan-jangan Jing-sia-pay hendak memusuhi Hoa-san-pay kita, bukan mustahil ilmu pedang mereka yang baru itu khusus akan ditujukan untuk mengalahkan kita, untuk mana kita harus siap siaga sebelumnya." "Jisuko, apakah tidak mungkin mereka sedang berlatih semacam Kiam-tin (barisan pedang)?" tiba-tiba si badan gede ikut tanya. "Hal ini pun sangat mungkin. Cuma dari cara latihan mereka itu kukira bukanlah sebuah Kiam-tin apa-apa," sahut Lo Tek-nau. "Ketika esok paginya aku pura-pura lalu di lapangan latihan itu, namun keadaan sunyi senyap tiada seorang pun. Kutahu mereka sengaja menghindari aku, maka rasa curigaku semakin menjadi. Malamnya selagi aku hampir pulas, tiba-tiba dari jauh terdengar suara saling benturnya senjata.

Aku terkejut, apakah Siong-hong-koan mereka telah kedatangan musuh? Pikiranku yang timbul pertama adalah: janganjangan Toasuko yang sengaja menyatroni mereka karena merasa dendam habis dimarahi Suhu? Jika demikian halnya, seorang diri tentu Toasuko sukar melawan orang banyak, aku harus keluar untuk membantunya. Karena aku tidak membawa senjata, terpaksa dengan bertangan kosong aku lantas keluar ...." "Wah, tabah benar, Jisuko," puji Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji. "Jika aku tentu tidaklah berani melawan Ih Jonghay, ketua Jing-sia-pay itu dengan bertangan kosong". "Kau omong melantur saja, monyet," semprot Lo Tek-nau. "Aku toh tidak mengatakan akan menempur Ihkoancu. Aku cuma khawatirkan keselamatan Toasuko, biarpun berbahaya juga terpaksa ikut maju. Memangnya kau suruh aku enak-enak tidur dan mengkeret di dalam selimut seperti kura-kura?" Mendengar itu, para Sutenya lantas bergelak tertawa. Liok Tay-yu menyengir, sahutnya, "Aku kan memuji kau, kenapa kau marah malah?" "Terima kasih saja, pujianmu itu tidak enak didengar," ujar Lo Tek-nau. "Sudahlah Jisuko, lanjutkan saja ceritamu, jangan gubris Lak-kau-ji yang mengacau melulu itu," kata Sutesutenya yang lain. "Ya, maka diam-diam aku lantas keluar dari kamar, kudengar suara senjata itu makin lama makin ramai, hatiku semakin berdebar juga. Kedengaran suara senjata itu datang dari ruangan belakang, terlihat pula di balik jendela ruangan belakang itu memang terang benderang, segera aku menuju ke sana. Waktu kuintip ke dalam ruangan melalui celah-celah jendela, maka legalah hatiku.

Kiranya curigaku itu tidaklah beralasan, hanya lantaran Ih-koancu tidak menemui aku sampai beberapa hari, maka aku selalu berpikir hal-hal yang buruk. Ternyata di dalam ruangan pendopo belakang itu ada dua pasangan sedang bertanding pedang, yang satu partai adalah Hau Jin-eng melawan Ang Jin-hiong, partai lain adalah Pui Jin-ti melawan Uh Jin-ho." "Wah, giat amat anak murid Jing-sia-pay itu, sampai malam hari juga berlatih," Liok Tay-yu mengolok-olok. Lok Tek-nau melototinya sekali, lalu menyambung dengan tersenyum, "Kulihat di tengah ruangan itu duduk seorang Tojin pendek kecil berjubah hijau, usianya sekitar 50-an tahun, mukanya kurus ciut, melihat macamnya itu bobot badannya paling-paling cuma 60-70 kati saja. Orang-orang Bu-lim memang mengetahui ketua Jing-sia-pay adalah seorang Tojin yang pendek dan kecil, tapi kalau tidak menyaksikan sendiri tentu tidak tahu sampai begitulah pendek dan kecilnya, apalagi percaya bahwa dia adalah Ih-koancu yang namanya termasyhur. "Di sekeliling ruangan itu berdiri beberapa puluh anak muridnya, semuanya sedang mengikuti pertandingan ilmu pedang di tengah kalangan itu. Sesudah mengintip beberapa jurus saja aku lantas tahu bahwa ilmu pedang yang dimainkan mereka itu tak lain dan tak bukan adalah ilmu pedang yang pernah kulihat di lapangan latihan itu. "Kutahu keadaanku waktu itu sangat berbahaya, jika sampai ketahuan orang Jing-sia-pay, bukan saja aku akan mengalami hinaan, bahkan akan merugikan nama baik perguruan kita. Peristiwa Toasuko menendang terguling kedua jago muda Jing-sia-pay itu walaupun mengakibatkan Suhu menghukum Toasuko, tapi di dalam hati Suhu mungkin juga ada perasaan senang.

Sebab apa pun juga Toasuko toh sudah menonjolkan namanya, apa yang disebut Jing-sia-su-siu itu ternyata tidak tahan oleh sekali tendang murid utama Hoa-san-pay kita. Akan tetapi lain soalnya jika aku ketangkap basah selagi mengintip orang lain berlatih, maka dosaku pastilah tak terampunkan, bukan mustahil aku akan diusir keluar dari perguruan kita. "Namun menghadapi pertandingan orang yang menarik itu, boleh jadi ada sangkut pautnya pula dengan kepentingan Hoa-san-pay kita, masakah aku mau tinggal pergi begitu saja? Diam-diam aku berjanji hanya akan melihat beberapa jurus saja, lalu pergi. Tapi beberapa jurus ditambah beberapa jurus lagi, makin melihat makin tertarik sehingga aku tetap mengintip terus. Kulihat ilmu pedang yang dimainkan mereka itu agak aneh, tapi toh tiada sesuatu yang lihai, mengapa orang Jing-sia-pay sedemikian tekun melatihnya? "Sesudah mengintip beberapa jurus lagi, aku tidak berani mengintip terus, perlahan-lahan aku pulang ke kamar. Kukhawatir bila pertandingan mereka sudah berhenti, dalam keadaan sunyi, asal sedikit aku bergerak saja pasti akan diketahui oleh Ih-koancu. Maka untuk dua malam selanjutnya aku tidak berani pergi mengintip lagi. Padahal jika sebelumnya aku tahu mereka berlatih di hadapan Ih-koancu betapa pun aku tidak berani mengintipnya. Soalnya cuma secara kebetulan saja aku memergoki mereka. Maka dari itu pujian Laksute tentang ketabahanku sebenarnya aku tidak berani terima.

Malam itu bila Laksute melihat mukaku yang pucat takut itu mustahil takkan mengatakan Jisukomu ini sebagai seorang pengecut nomor satu yang takut mati." "Ah, mana berani aku berkata begitu," ujar Liok Tay-yu dengan tertawa. "Paling-paling Jisuko adalah penakut yang nomor dua. Sebab bila aku yang mengintip waktu itu, aku sih tidak takut dipergoki Ih-koancu, karena saking takutnya aku tentu menjadi kaku dan tak bisa bergerak, bernapas pun tak dapat, maka tak perlu khawatir diketahui oleh Ih-koancu, tidak nanti Ih-koancu mengetahui di luar jendela ada 'tokoh' nomor satu sebagai diriku ini sedang mengintip." Serentak tertawalah semua orang mendengar ucapan Lak-kau-ji yang lucu itu. Lalu Lo Tek-nau melanjutkan lagi, "Akhirnya Ih-koancu menerima aku juga. Dia bicara dengan sangat sungkan, katanya hubungan Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay biasanya sangat baik, kalau anak murid bertengkar adalah seperti anak kecil berkelahi saja, buat apa orang tua ambil pusing. Malamnya aku lantas dijamu, besoknya waktu berangkat Ih-koancu mengantar sendiri keluar Siong-hong-koan. Sebagai kaum muda waktu mohon diri sudah seharusnya aku berlutut untuk menjura padanya. Tapi baru sebelah kakiku berlutut, tangan kanan Ihkoancu sudah lantas menyanggah perlahan sehingga aku terangkat bangun. "Tenaga Ih-koancu benar-benar luar biasa, seketika badanku terasa enteng, sedikit pun tak bisa mengeluarkan tenagaku, kalau dia mau melemparkan aku, tentu aku akan terguling-guling beberapa meter jauhnya. Dengan tersenyum dia tanya padaku, 'Toasukomu masuk perguruan lebih dahulu beberapa tahun daripadamu? Apakah kau berguru sudah memiliki ilmu silat?' "Aku mengiakan dan mengatakan Toasuko masuk perguruan 12 tahun lebih dulu.

Maka Ih-koancu tertawa lagi, katanya, 'O, jadi lebih dulu 12 tahun!'" "Apa maksudnya dia menanyakan hal itu?" tanya si nona burik. "Aku pun tidak tahu, cuma wajahnya sangat aneh ketika menanyakan hal itu padaku," sahut Lo Tek-nau. "Kukira dia hendak mengatakan kepandaianku toh tidak tinggi, biarpun Toasuko belajar lebih lama 12 tahun rasanya juga tidak berbeda banyak." "Hm!" si nona mendengus, lalu tidak tanya pula. Lo Tek-nau lantas melanjutkan, "Sepulangnya di rumah aku lalu mengaturkan surat balasan Ih-koancu kepada Suhu. Isi suratnya ternyata sangat ramah dan merendah hati. Suhu sangat senang sesudah membaca. Beliau lantas tanya padaku tentang pengalamanku di Siong-hong-koan. Kuceritakan tentang ilmu pedang yang dilatih anak murid Jing-sia-pay itu, segera Suhu suruh aku untuk mempertunjukkan jurus-jurus yang kulihat itu. Karena aku cuma ingat lima-enam jurus saja, aku lantas memainkan apa yang kuketahui itu. Sesudah melihat, Suhu lantas berkata, 'Ilmu pedang ini adalah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim dari Hok-wi-piaukiok!'" Hati Peng-ci tergetar mendengar ucapan terakhir itu. Untunglah orang-orang Hoa-san-pay itu lagi asyik mendengar cerita Jisuko mereka sehingga tidak memerhatikan orang-orang di sekitarnya.

Dalam pada itu terdengar Lo Tek-nau lagi menyambung, "Waktu itu aku lantas tanya Suhu, 'Apakah Pi-siakiam-hoat ini sangat hebat? Mengapa Jing-sia-pay mempelajarinya sedemikian tekun?' "Namun Suhu tidak menjawab, sesudah merenung sejenak barulah beliau berkata, 'Tek-nau, sebelum berguru padaku kau sudah pernah berkelana beberapa tahun di Kangouw, apakah kau pernah mendengar orang Bu-lim memberi komentar tentang ilmu silatnya Lim Cin-lam, itu pemimpin Hok-wi-piaukiok di Hokkian itu?' "Aku menjawab, 'Ya, menurut cerita kawan-kawan Bu-lim, katanya tangan Lim Cin-lam sangat terbuka dan suka menolong, maka setiap orang suka memberi muka padanya tanpa mengganggu barang kawalannya. Adapun mengenai kepandaiannya yang sejati sebaliknya tidak terlalu jelas.' "Lalu Suhu berkata pula, 'Memang perkembangan Hok-wi-piaukiok beberapa tahun terakhir ini sebagian besar adalah berkat bantuan kawan-kawan Kangouw. Tapi kau tidak tahu bahwa Ih-koancu punya Suhu, yaitu Tiangjing-cu, pada waktu mudanya pernah terjungkal di bawah Pi-sia-kiam-hoatnya Lim Wan-tho.' "Aku tanya siapakah Lim Wan-tho itu, apakah ayahnya Lim Cin-lam. Tapi Suhu menjawab, 'Bukan, Lim Wantho adalah kakeknya Lim-Cin-lam.

Dialah yang mendirikan Hok-wi-piaukiok. Dia punya 72 jurus Pi-sia-kiamhoat, 108 gerakan Hoan-thian-ciang, dan 18 batang panah yang boleh dikata tiada tandingannya di kalangan Hek-to pada masa itu. Lantaran melihat Lim Wan-tho terlalu menonjol di kalangan Kangouw, ada juga kawan kalangan Pek-to yang sengaja pergi mencari dia untuk minta bertanding, lantaran itulah Tiang-jing-cu telah dikalahkan oleh Pi-sia-kiam-hoat.' "'Jika begitu, jadi Pi-sia-kiam-hoat memang sangat lihai?' demikian tanyaku. "Suhu menjawab, 'Tentang kalahnya Tiang-jing-cu itu kedua pihak telah tutup mulut rapat-rapat, maka orang Bu-lim tiada yang tahu. Kakek gurumu adalah sobat kentalnya Tiang-jing-cu, pada waktu bertemu Tiang-jingcu telah menceritakan kekalahannya itu kepada beliau, katanya hal itu merupakan hinaan terbesar selama hidupnya, tapi dia pun merasa tidak dapat melawan Lim Wan-tho, dendam itu tentu sukar dibalas. Kakek gurumu pernah coba-coba mengikuti permainan Pi-sia-kiam-hoat yang diperlihatkan Tiang-jing-cu dengan maksud akan membantu dia menemukan kelemahan ilmu pedang itu.' "Akan tetapi ke-72 jurus ilmu pedang itu memang luar biasa, tampaknya saja tiada sesuatu yang aneh, tapi di dalamnya ternyata mengandung kemukjizatan yang sukar diraba orang. Kedua orang tua itu menyelaminya sampai beberapa bulan dan tetap tidak dapat memecahkan cara mengalahkan Pi-sia-kiam-hoat. Tatkala mana aku pun menunggui mereka di samping, aku ingat betul gerakan Pi-sia-kiam-hoat itu, maka begitu kau memainkannya tadi aku lantas tahu ilmu pedang apa. Ai, sang tempo lalu dengan cepat sekali, peristiwa itu sudah terjadi beberapa puluh tahun yang lampau!" Sebenarnya sejak Lim Peng-ci dihajar habis-habisan oleh anak murid Jing-sia-pay, dia sudah kehilangan kepercayaan atas ilmu silat warisan leluhurnya sendiri, maka diam-diam ia berharap akan dapat mencari guru pandai untuk menuntut balas. Tapi sekarang demi mendengar cerita Lo Tek-nau tentang betapa gagah perwira kakek besarnya, Lim Wan-tho itu, tanpa merasa semangatnya lantas terbangkit. Katanya di dalam hati, "Kiranya Pi-sia-kiam-hoat leluhurku sedemikian hebat, sampai-sampai gembong-gembong Hoa-san-pay di masa dulu juga tidak mampu menandingi.

Tapi mengapa ayah sekarang malah tidak mampu melawan anak murid Jing-sia-pay yang masih hijau pelonco itu? Ai, besar kemungkinan ayah belum lagi berhasil menyelami saripati dan kelihaian ilmu pedang kakek-besar itu." Ia dengar Lo Tek-nau sedang berkata pula, "Waktu itu aku telah tanya Suhu, 'Lalu Tiang-jing-cu dapat menuntut balas atau tidak?' "Kata Suhu, 'Sebenarnya kalah menang dalam pertandingan ilmu silat juga tak dapat dianggap sebagai permusuhan sehingga mesti merasa dendam segala, apalagi Lim Wan-tho pada masa itu sudah lama termasyhur, dia adalah Locianpwe yang dikagumi kawan-kawan Bu-lim, sebaliknya Tiang-jing-cu adalah Tosu muda yang baru saja mulai menonjol. Seorang muda dikalahkan kaum tua sebenarnya tidaklah menjadi soal. Sebab itulah kakek-gurumu telah menghibur dengan menasihati dia supaya persoalan itu jangan dipikirkan lagi. Kemudian Tiang-jing-cu telah meninggal dalam usia cuma 36 tahun, boleh jadi soal kekalahannya itu masih tetap menjadi ganjalan hatinya sehingga dia mati dengan kurang tenteram. Kejadian yang sudah berselang beberapa puluh tahun, kini mendadak Ih Jong-hay giat melatih Pi-sia-kiam-hoat bersama muridmuridnya, sebenarnya apakah sebabnya? Ya, apa sebabnya!' "Aku coba mengemukakan pendapatku, apakah tak mungkin Ih-koancu hendak mencari perkara kepada Hokwi-piaukiok secara besar-besaran untuk menuntut balas sakit hati gurunya? Suhu tampak mengangguk, katanya, 'Aku pun berpikir demikian. Agaknya jiwa Tiang-jing-cu itu sangat sempit, orangnya tinggi hati pula, soal kekalahannya tentu membuatnya dendam sampai saat ajalnya, besar kemungkinan dia telah meninggalkan pesan apa-apa kepada Ih Jong-hay.

Namun Lim Wan-tho sudah wafat lebih dulu daripada Tiangjing-cu, jika Ih Jong-hay mau menuntut balas terpaksa mesti mencari keturunan Lim Wan-tho. Tapi entah mengapa tertunda hingga sekarang baru mau bertindak. Ih Jong-hay itu sangat licin, tentu dia sudah mengatur rencana dulu baru mulai bergerak. Sekali ini Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok tentu akan berhadapan dengan sengit.' "Waktu aku tanya Suhu bagaimana pendapatnya atas perselisihan itu, pihak mana yang akan menang? Dengan tertawa Suhu menjawab, 'Ilmu silat Ih Jong-hay sudah jauh melebihi gurunya, yaitu Tiang-jing-cu, sebaliknya kepandaian Lim Cin-lam walaupun orang luar tidak tahu persis, tapi jelas tidak dapat memadai kakeknya. Yang satu maju dan yang lain mundur, ditambah lagi Jing-sia-pay di pihak yang gelap sedangkan Hok-wi-piaukiok berada di pihak yang terang, sebelum mulai bertarung Hok-wi-piaukiok sudah kalah separuh. Apabila sebelumnya Lim Cin-lam mendapat kabar dan dapat meminta bantuan Kim-to-bu-tek Ong Goan-pa dari Lokyang, yaitu ayah-mertuanya, mungkin dia masih dapat melawan Jing-sia-pay. Tek-nau, apakah kau tidak ingin pergi melihat keramaian itu?' "Sudah tentu aku mau saja. Tapi Suhu suruh aku diam-diam saja, jangan sampai diketahui oleh para Sute. Dasar Siausumoay memang setan cerdik, akhirnya diketahui olehnya, dia merengek dan minta Suhu mengizinkan dia ikut padaku.

Begitulah kami berdua lantas berangkat ke Hokkian, kami menyamar sebagai kakek dan cucu, dan membuka warung arak di luar kota Hokciu. Setiap hari kami tentu pergi menyelidiki keadaan Hok-wi-piaukiok. Kami tidak melihat apa-apa yang menarik, hanya sering melihat Lim Cin-lam sedang mengajar ilmu pedang kepada putranya yang bernama Lim Peng-ci. Melihat ilmu pedang mereka itu Siausumoay geleng-geleng kepala terus, katanya padaku, 'Apakah begitu itu namanya Pi-sia-kiam-hoat (ilmu pedang penghalau iblis), haha, jika iblis benar-benar datang, mungkin Lim-kongcu itu sudah lebih dulu terhalau! ....'" Di tengah gelak tertawa orang-orang Hoa-san-pay itu, muka Peng-ci juga merah jengah, malunya tak terlukiskan. Pikirnya, "Kiranya mereka berdua lebih dahulu mengintai ke rumahku, tapi kami sekeluarga tidak tahu sama sekali, sungguh tidak becus." Terdengar Lo Tek-nau lagi menyambung, "Tidak seberapa hari kami tinggal di luar kota Hokciu lantas datanglah anak murid Jing-sia-pay berturut-turut. Yang datang paling dulu adalah Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, setiap hari mereka pasti mondar-mandir di sekitar Hok-wi-piaukiok. Khawatir kepergok, aku dan Siausumoay lantas tidak pergi ke sana lagi. "Pada hari itu benar-benar sangat kebetulan, tiba-tiba Lim-kongcu itu berkunjung ke warung yang kubuka bersama Siausumoay itu. Terpaksa Siausumoay mengantar arak yang mereka minta. Tadinya aku menyangsikan jangan-jangan penyamaran kami telah diketahui, maka dia sengaja datang untuk membongkar rahasia kami. Tapi sesudah ajak bicara barulah diketahui Lim-kongcu itu sama sekali tidak sadar, pemuda perlente yang hidupnya aman tenteram itu ternyata tidak paham apa-apa, tiada ubahnya seperti anak tolol. Pada saat itulah tiba-tiba kedua orang Jing-sia-pay yang paling berengsek, yaitu Ih Jin-gan dan Keh Jin-tat, juga berkunjung ke tempat kami ...." "Haha, Jisuko, perusahaan yang kau buka bersama Siausumoay itu benar-benar subur dan makmur, laris sebagai menjual pisang goreng. Wah, tentu kalian telah kaya mendadak di Hokkian!" demikian Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji bersorak. "Tentu saja, masakah masih perlu tanya?" sela si nona dengan tertawa. "Sudah lama Jisuko menjadi hartawan, berkat rezekinya aku pun ikut-ikut memperoleh bagian."

Maka tertawalah semua orang. Dengan tertawa Lo Tek-nau lantas melanjutkan, "Ilmu silat Lim-siaupiauthau itu teramat rendah, menjadi muridnya Siausumoay saja tidak memenuhi syarat, tapi jiwanya ternyata kesatria. Dasar putra mestika Ih Jong-hay itu sudah buta, dia berani main gila dan mengganggu Siausumoay, eh, Lim-kongcu itu ternyata tidak tinggal diam, ia terus tampil ke muka untuk membela Siausumoay ...." Diam-diam perasaan Peng-ci bergolak, pikirnya dengan gusar, "Kurang ajar, rupanya secara berencana Jingsia-pay sengaja mencari perkara dengan Hok-wi-piaukiok kami untuk menuntut balas angkatan tua mereka yang dikalahkan kakek-besarku. Jika demikian yang datang ke Hokciu tentu tidak cuma Pui Jin-ti berempat saja. Andaikan aku tidak membunuh Ih Jin-gan juga mereka akan merecoki aku." Karena pikirannya melayang, maka apa yang diceritakan Lo Tek-nau tentang caranya dia membunuh Ih Jin-gan menjadi tidak jelas baginya, hanya saja cerita Lo Tek-nau itu diselingi dengan suara tertawa semua orang, terang mereka menertawakan kepandaiannya yang rendah itu. Kemudian terdengar Lo Tek-nau lagi berkata, "Sesudah kusaksikan cara Lim-siaupiauthau itu membunuh Ih Jin-gan, diam-diam aku tukar pikiran dengan Siausumoay tentang Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim, andaikan ilmu pedang itu benar-benar lihai, paling sedikit Lim-siaupiauthau itu terang belum mempelajarinya. Malamnya aku beserta Siausumoay lantas pergi lagi ke Hok-wi-piaukiok, tertampak Hau Jin-eng, Ang Jin-hiong, Uh Jin-ho, Pui Jin-ti dan belasan kawannya sudah datang semua. "Khawatir dipergoki mereka, kami menonton saja dari jauh. Kami menyaksikan mereka menghabisi para Piauthau dan petugas-petugas Piaukiok yang lain seorang demi seorang, setiap Piauthau yang keluar Piaukiok selalu dibinasakan oleh mereka dan mayat mereka dikirim kembali, cara mereka benar-benar sangat keji.  Kupikir permusuhan antara Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok hanya disebabkan Tiang-jing-cu dikalahkan oleh Lim Wan-tho, jika mau membalas sakit hati leluhur itu cukuplah Ih-koancu merobohkan keturunan keluarga Lim saja, mengapa mesti menggunakan cara sekejam itu? Aku menduga, mungkin karena tewasnya Ih Jin-gan, anak murid Jing-sia-pay itu terpaksa mesti main bunuh secara besar-besaran supaya bisa bertanggung jawab kepada guru mereka.

Akan tetapi mereka justru membiarkan hidup Lim Cin-lam dan istrinya beserta Lim Pengci bertiga, mereka dipaksa kabur dari Hok-wi-piaukiok mereka." "Tentang kepandaian, Lim-congpiauthau itu memang jauh lebih tinggi daripada Lim-siaupiauthau, tapi juga belum terhitung jago pilihan," ujar si nona. "Menurut Jisuko, Jing-sia-pay persiapkan diri dengan giat berlatih di waktu malam segala, sesungguhnya jerih payah mereka juga terlalu berlebihan." "Tapi kalau mengingat mendiang Tiang-jing-cu dikalahkan Pi-sia-kiam-hoat, dengan sendirinya Ih Jong-hay tidak berani memandang enteng ilmu pedang itu, maka tidaklah heran jika mereka giat berlatih dan mempersiapkan diri dengan baik," kata Lo Tek-nau. "Hanya saja sesudah Lim Cin-lam dan anak istrinya dipaksa kabur, akhirnya toh Ih-koancu masih datang pula ke Piaukiok itu, bahkan tinggal selama tiga hari di sana, hal inilah yang kurasakan agak luar biasa." Peng-ci terkejut juga, tanyanya di dalam hati, "Aneh, mengapa bangsat tua Ih Jong-hay itu mendatangi Piaukiok kami? Untuk apa maksudnya?" Ternyata pertanyaannya itu pun segera telah diucapkan oleh beberapa murid Hoa-san-pay itu. Maka terdengar Lo Tek-nau telah menjawab, "Cerita ini cukup panjang. Sesudah Lim Cin-lam dan anak istrinya melarikan diri, Pui Jin-ti dan lain-lain lantas membayangi mereka. Karena Siausumoay ingin mengetahui apa yang akan terjadi, segera kami membayangi di belakang murid Jing-sia-pay pula. Sampai di sebuah warung nasi di daerah pegunungan selatan Hokciu, di situlah Pui Jin-ti, Uh Jin-ho dan Keh Jin-tat bertiga lantas muncul dan dapat menawan ketiga anggota keluarga Lim itu.

Karena Siausumoay merasa terbunuhnya Ih Jin-gan oleh Lim-kongcu adalah disebabkan gara-gara Siausumoay sendiri, maka mau tak mau ia hendak menolong Limkongcu untuk sekadar membalas budi. Aku mencegahnya sedapat mungkin, kukatakan jika kita ikut campur tentu akan mengganggu hubungan baik antara Jing-sia-pay dan Hoa-san-pay kita, apalagi orang-orang Jingsia-pay boleh dikata berkumpul semua di Hokciu, kami berdua tentu sukar melawan mereka, kalau ikut makan getahnya kan bisa runyam malah." "Dasar usia Jisuko lebih lanjut, segala apa selalu berpikir secara panjang, tentu saja sangat mengecewakan keinginan Siausumoay," ujar Liok Tay-yu. "Tapi sekali Siausumoay sudah mau begitu, betapa pun aku hendak mencegahnya juga tidak dapat lagi," kata Lo Tek-nau. "Segera Siausumoay tampil ke muka dengan tetap berdandan sebagai gadis penjual arak. Sudah tentu Keh Jin-tat lantas mengenalnya, maka belum banyak bicara kontan dia sudah dijungkalbalikkan oleh Siausumoay, malahan yang terakhir Siausumoay telah melemparkan dia ke dalam kolam lumpur sehingga manusia she Keh itu kenyang menyedot air kencing dan ampas perut." "Haha, bagus, bagus!" sorak Liok Tay-yu dengan tertawa. "Kutahu maksud Siausumoay itu bukanlah hendak menolong bocah she Lim itu, tapi dalam hati kecilnya mempunyai tujuan lain. Hm, bagus, bagus!" "Aku mempunyai tujuan lain apa?

Kembali kau ngaco-belo lagi!" semprot si nona. "Bukankah lantaran aku dihukum rangket oleh Suhu, maka Siausumoay ikut penasaran dan melampiaskannya bagiku dengan menghajar orang Jing-sia-pay itu? Nah, terima kasih, ya ...." sambil berkata Liok Tay-yu terus berbangkit dan memberi hormat. Si nona melotot dengan tersenyum, omelnya, "Huh, kan kau tidak percuma merasakan rangketan itu. Sesudah dirangket, bukankah kau telah terima ganti rugi dari Toasuko?" "Aneh, sudah dirangket, cara bagaimana memberikan ganti rugi?" ujar Liok Tay-yu dengan heran. "Ala, pura-pura dungu, tapi jangan kau kira dapat mengelabui aku," kata si nona. "Hari itu secara sembunyisembunyi kau berlatih gaya tendangan itu di belakang gunung sampai beberapa pohon Tho roboh malang melintang, bukankah tendangan itu adalah ajaran Toasuko?" Muka Lak-kau-ji menjadi merah, sahutnya, "Ya, saking kagumnya atas tendangan Toasuheng yang sekaligus  dapat membikin Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong terguling, maka aku telah tanya dia cara bagaimana menggunakan tendangan itu. Hal ini juga tak dapat dikatakan Toasuko mengajarkan padaku." "Dan sekarang kau sudah pandai tendangan itu atau belum?" tanya si nona dengan tertawa. Muka Liok Tay-yu kembali merah jengah, sahutnya, "Wah, masakah begitu cepat? Jika Sumoay juga ingin belajar, tentu Toasuko akan memberi petunjuk padamu." "Kau sudah belajar lebih dulu, buat apa aku mengekor kau?" kata si nona. "Lalu bagaimana Jisuko, sesudah Siausumoay menghajar orang she Keh itu?" tanya Samsuhengnya. Maka Lo Tek-nau menyambung lagi ceritanya, "Mata Pui Jin-ti itu ternyata sangat lihai, segera ia mengenali gerakan Siausumoay adalah orang kita, tutur katanya menjadi agak jeri.

Tetapi waktu Siausumoay membuka Hiat-to pemuda she Lim dan hendak melepaskan dia, namun Pui Jin-ti dan Uh Jin-ho menyatakan keberatan. Maka Siausumoay lantas berguyon dengan mereka, ia campur arak dengan bedak dan gincu dan menyatakan arak itu berbisa, lalu paksa mereka minum. Ternyata orang she Pui dan Uh itu tidak berani, di luar dugaan, Lim-siaupiauthau itu ternyata sangat gagah perwira, sekaligus ia lantas habiskan arak Siausumoay itu." Kembali Peng-ci merasa malu, pikirnya, "Nona burik itu benar-benar telah mempermainkan aku. Kiranya arak itu dicampur bedak, pantas berbau pupur. Sungguh sial aku kena dibohongi dan kenyang minum arak begitu!" "Pui Jin-ti tidak berani minum arak itu anggaplah tidak menjadi soal, tapi dia justru membual, katanya dia memiliki obat penawar yang tidak takut segala macam racun," demikian Lo Tek-nau melanjutkan. "Dasar Siausumoay juga jahil, segera ia keluarkan 'Hang-liong-hok-hou-wan' (pil penakluk naga dan harimau) dan dicampurkan ke dalam arak, lalu suruh orang she Pui dan Uh itu minum. Coba kalian pikir betapa lihainya Hang-liong-hok-hou-wan itu, biasanya kalau kita campur dengan air dan mencekoki babi atau kambing, lalu dibuang di tanah pegunungan, makan betapa pun buasnya harimau maupun ular raksasa jika makan babi atau kambing itu juga akan roboh oleh obat itu selama sehari semalam tak bisa berkutik. Maka kalau orang-orang Jing-sia-pay itu berani meminumnya, pasti celakalah mereka dan akan dibikin malu."

Bab 9. Suara Rebab Bok-taysiansing Mengejutkan Orang Banyak - Hina Kelana

Mengejutkan Orang Banyak Melihat keadaan yang luar biasa itu, serentak beberapa puluh orang yang berada di rumah minum itu berkerumun maju dan beramai-ramai membicarakan kelihaian ilmu pedang orang tua itu. Segera seorang di antaranya berkata kepada si pendek buntak tadi, "Untunglah tuan tua itu bermurah hati, kalau tidak buah kepalamu tentu sudah berpisah dengan tubuhmu seperti cawan ini." Tapi seorang lagi lantas menanggapi, "Ah, kukira seorang kosen seperti Losiansing ini tentu sungkan untuk berurusan dengan orang kecil sebagai kita." Dalam pada itu si pendek gemuk hanya termangu-mangu saja memandangi ketujuh cawan kutung itu, wajahnya pucat sebagai mayat, apa yang dibicarakan orang-orang itu hakikatnya tidak masuk ke dalam telinganya. Si lelaki berbaju sutera tadi lantas berkata, "Nah, apa kataku tadi? Penyakit kebanyakan timbul dari mulut, tapi kau masih suka mencerocos saja.

Di kota Heng-san sekarang entah terdapat berapa banyak orang kosen. Seperti orang tua barusan ini tentu adalah sahabat baik Bok-taysiansing, karena kau sembarangan mengoceh tentang Bok-taysiansing, maka dia sengaja memberi sedikit ajaran padamu." "Huh, sobat baik Bok-taysiansing apa? Justru dia sendiri adalah 'Siau-siang-ya-uh' Bok-taysiansing!" demikian tiba-tiba si jenggot putih she Pang tadi menjengek. Kembali semua orang terkejut. "Apa katamu? Dia ... dia sendiri adalah Bok-taysiansing? Da ... dari mana kau tahu?" beramai-ramai mereka menegas. "Sudah tentu aku tahu," sahut si jenggot putih. "Bok-taysiansing suka main rebab, dia punya lagu 'Siau-siangya-uh' (hujan gerimis di waktu malam) sedemikian bagus dan mengharukan sehingga membuat pendengarnya dapat mengucurkan air mata. 'Di dalam rebab tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab', katakata ini adalah gambaran ilmu silat yang dimiliki Bok-taysiansing, kalian sudah berada di kota Heng-san, masakah kalian tidak tahu hal ini? Tadi saudara itu mengatakan Lau-samya sekali tusuk pedangnya dapat menjatuhkan lima ekor belibis dan Bok-taysiansing cuma dapat tiga ekor. Sekarang dia sengaja menebas tujuh cawan sekaligus agar kalian tahu. Makanya dia mendamprat saudara itu ngaco-belo belaka." Rupanya si pendek gemuk masih belum tenang kembali dari rasa kejutnya tadi, dia menunduk dan tak berani menjawab. Lekas-lekas si lelaki berbaju sutera membayar rekening dan menarik kawannya meninggalkan rumah minum itu. Semua orang menjadi ngeri juga sesudah menyaksikan 'Siau-siang-ya-uh' Bok-taysiansing memperlihatkan kepandaian saktinya yang mengejutkan itu.

Ketika si pendek gemuk memuji-muji Lau Cing-hong dan mengolok-olok Bok-taysiansing tadi, sedikit banyak mereka pun memberi suara setuju, jangan-jangan lantaran itu akan menimbulkan bencana bagi dirinya sendiri. Maka demi tampak si baju sutera menarik pergi si pendek gemuk, segera mereka pun beramai-ramai membayar rekening, dalam sekejap saja rumah minum yang tadi penuh sesak itu lantas menjadi sepi. Diam-diam Peng-ci membatin sambil memandangi tujuh cawan dengan tujuh cincin kutungannya yang terletak di atas meja itu, "Sekali tebas saja orang itu dapat memotong tujuh buah cawan, jika aku tidak keluar dari Hokciu tentu tidak tahu bahwa di dunia ini ternyata ada orang yang sedemikian lihainya. Aku benar-benar seperti katak di dalam sumur yang tidak tahu luasnya jagat ini, tadinya kukira orang yang paling lihai di dunia ini juga tidak lebih hebat daripada ayahku. Ai, jika aku dapat berguru kepada orang kosen ini dan belajar dengan giat, mungkinlah aku dapat membalas sakit hatiku. Kalau tidak, selama hidup ini tentu tiada harapan buat menuntut balas lagi." Kemudian terpikir pula olehnya, "Mengapa aku tidak pergi mencari Bok-taysiansing itu dan mohon dengan sangat agar beliau mau menolong ayah-bundaku serta menerima aku sebagai murid?" Begitulah serentak ia berbangkit hendak berangkat. Tapi mendadak terpikir lagi, "Dia adalah Ciangbunjin dari Heng-san-pay, agaknya Ngo-gak-kiam-pay setali tiga uang saja dengan Jing-sia-pay, masakan dia sudi membela seorang yang tak pernah dikenalnya untuk bercekcok dengan kawan sendiri?"

Berpikir demikian ia menjadi lemas dan duduk kembali dengan lesu. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang nyaring merdu sedang berkata, "Jisuko, hujan ini tidak berhenti-henti, bajuku sampai basah kuyup. Marilah kita minum teh dulu di sini." Seketika Peng-ci terkesiap, suara itu dikenalnya sebagai suara si nona penjual arak di luar kota Hokciu itu. Cepat ia lantas menundukkan kepala lebih rendah supaya tidak dikenali orang. Maka terdengarlah suara seorang tua menjawab, "Baiklah, kita minum satu cangkir teh hangat untuk membuat panas perut." Lalu masuklah dua orang ke dalam rumah minum itu dan mengambil tempat duduk di sebelah muka-samping Peng-ci. Ketika Peng-ci meliriknya, benar juga dilihatnya si nona penjual arak itu berpakaian hijau berduduk membelakangi dirinya, di sebelahnya duduk orang tua yang mengaku she Sat dan menyaru sebagai kakek si nona. Diam-diam Peng-ci mendongkol, pikirnya, "Rupanya kalian berdua adalah saudara seperguruan, tapi sengaja menyaru sebagai kakek dan cucu untuk melakukan sesuatu muslihat keji di Hokciu. Dasar mataku sudah buta, masakah secara ngawur membela dua orang ini sehingga keluargaku sendiri berantakan tak keruan, bahkan jiwaku sendiri hampir-hampir melayang." Dalam pada itu pelayan telah membersihkan meja kedua orang itu dan membawakan teh baru. Sekilas si kakek melihat di atas meja sebelah terdapat tujuh buah cawan yang cuma tinggal setengah potong. Ia bersuara kaget dan berkata kepada sang Sumoay, "Lihatlah, Siausumoay!" Nona burik itu pun terkejut. Katanya, "Ya, hebat benar kepandaian ini, siapakah yang mampu sekali tebas dapat memotong tujuh buah cangkir?" Ia lihat di dalam rumah minum itu selain Peng-ci hanya ada dua orang lagi yang sedang mengantuk sambil mendekap kepala di atas meja. Mestinya ia hendak tanya Peng-ci, tapi kelihatan Peng-ci menghadap keluar seperti sedang merenungkan sesuatu, maka ia urung bertanya. "Siausumoay, coba aku akan menguji kau," demikian si kakek berbisik-bisik pula. "Sekali tebas tujuh gerakan, tujuh buah cangkir ini siapakah yang memotongnya?" "Aku toh tidak menyaksikan, dari mana tahu ...." demikian omel si nona. Tapi mendadak ia berseru sambil tertawa, "Aha, tahulah aku! Tiga puluh enam jurus Hwe-hong-lok-gan-kiam, pada jurus ke-17 dengan gaya berantai sekaligus tujuh menjatuhkan sembilan ekor burung belibis. Tentu ini adalah perbuatan ... 'Siau-siangya-uh' Bok-taysiansing!"

Sekonyong-konyong bergemuruhlah suara tertawa beberapa orang, semuanya berseru, "Tajam benar pandangan Siausumoay!" Peng-ci sampai terkejut dan heran, dari manakah mendadak muncul orang sebanyak ini? Waktu ia melirik, ternyata dua orang yang sedang mengantuk tadi juga sudah berbangkit. Selain itu ada lima orang lagi tampak muncul dari ruangan dalam rumah minum, ada yang berdandan sebagai kuli, ada yang membawa Swipoa seperti pedagang kecil, ada pula yang membawa seekor kera kecil di atas pundaknya seperti pengamen topeng monyet. "Aha, kiranya serombongan kaum gelandangan bersembunyi di sini sehingga membikin kaget padaku!" seru si nona burik dengan tertawa. "He, di manakah Toasuko?" "Baru bertemu mengapa sudah memaki kami sebagai kaum gelandangan?" omel si pemain kera. "Habis main sembunyi-sembunyi, kan sama seperti perbuatan kaum gelandangan Kangouw yang rendah?" sahut si nona dengan tertawa. "Di manakah Toasuko, mengapa tiada bersama kalian?" "Tidak tanya soal lain, yang ditanya hanya Toasuko melulu," ujar si pemain kera dengan tertawa. "Baru saja bicara tiga kalimat, dua kalimat di antaranya berturut-turut menanyakan diri Toasuko. Aneh, mengapa tidak tanya tentang diri Laksuko (kakak-guru keenam) saja?" "Fui, kau si monyet ini kan baik-baik saja berada di sini, tidak mampus dan tidak sekarat, buat apa bertanya tentang dirimu?" sahut si nona dengan uring-uringan. "Haha, dan Toasuko toh juga tidak mampus dan tidak sekarat, mengapa kau menanyakan dia?" kata si pemain monyet dengan tertawa menggoda. "Sudahlah, aku tak mau bicara padamu," omel si nona. "Eh, Sisuko (kakak guru keempat), hanya engkau saja orang yang baik. Di manakah Toasuko?" Belum lagi orang yang berdandan sebagai kuli itu menjawab, beberapa orang kawannya sudah lantas tertawa dan berkata, "Hanya Sisuko saja orang baik, jadi kami ini adalah orang busuk semua? Losi, jangan katakan padanya." "Tidak katakan ya sudah, memangnya aku kepingin?" omel si nona dengan mendongkol. "Kalian tidak mau bicara, maka aku pun tidak mau menceritakan pengalaman anehku dengan Jisuko dalam perjalanan kami."

Lelaki yang berdandan sebagai kuli itu sejak semula tidak berkelakar dengan si nona, rupanya dia seorang yang jujur dan pendiam, baru sekarang dia membuka suara, "Kemarin kami baru saja berpisah dengan Toasuko di kota Heng-yang, dia suruh kami berangkat lebih dulu. Saat ini besar kemungkinan mabuknya juga sudah sadar dan dapatlah menyusul kemari." "Kembali dia minum sampai mabuk?" si nona menegas sambil mengerut kening. Orang yang berdandan sebagai kuli itu mengiakan. Sedangkan orang yang membawa Swipoa lantas berkata, "Sekali ini dia benar-benar minum dengan sepuas-puasnya, dari pagi minum sampai siang, dari siang minum lagi hingga petang, kukira paling sedikit juga ada dua-tiga puluh kati arak bagus yang masuk ke dalam perutnya." "Cara minum begitu apa takkan merusak kesehatannya? Mengapa kalian tidak menasihati dia?" omel si nona. Orang yang membawa Swipoa itu meleletkan lidahnya, lalu berkata, "Toasuko mau terima nasihat orang? Haha, tunggu nanti jika matahari sudah terbit dari barat! Ya, kecuali Siausumoay yang menasihati dia, mungkin dia mau mengurangi sedikit minumannya itu." Maka tertawalah semua orang. Segera si nona berkata pula, "Mengapa dia minum besar-besaran? Apakah dia mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan lagi?" "Pertanyaan ini harus diajukan kepada Toasuko sendiri," ujar orang yang membawa Swipoa. "Besar kemungkinan dia mengetahui akan bertemu dengan Siausumoay di sini, saking senangnya dia terus minum besar-besaran." "Ngaco-belo!" semprot si nona. Namun tidak urung kelihatan rada senang. Lalu katanya pula, "Dari mana kalian mengetahui aku dan Jisuko akan datang ke sini? Kalian toh bukan malaikat dewata." "Kami memang bukan malaikat dewata, tapi Toasuko adalah malaikat dewata," kata si pemain monyet dengan tertawa. Mendengar kelakar sesama saudara seperguruan itu, diam-diam Peng-ci merasa heran, pikirnya, "Dari pembicaraan mereka, agaknya nona itu menaruh hati kepada Toasuhengnya. Namun Jisuhengnya saja sudah begitu tua, tentu Toasuheng lebih-lebih tua lagi. Padahal usia nona ini paling-paling cuma 16-17 tahun, masakah dia mencintai seorang kakek-kakek berusia lanjut?" Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Ya, tentulah nona ini merasa mukanya sendiri burik dan jelek, terpaksa ia mencintai seorang tua yang sudah duda. Hm, dasar nona ini memang berhati buruk, katanya Toasuhengnya juga seorang pemabuk, mereka benar-benar setimpal satu sama lain." Dalam pada itu si nona burik telah bertanya pula, "Apakah kemarin pagi-pagi Toasuheng sudah lantas minum arak?" Si pemain monyet itu menjawab, "Kalau tidak dijelaskan, tentu kau masih terus bertanya.

Kejadiannya adalah begini: kemarin pagi-pagi waktu kami berdelapan hendak berangkat, tiba-tiba Toasuko mengendus bau arak yang harum, seketika ia celingukan ke sana kemari, akhirnya dilihatnya seorang pengemis sedang menenggak arak dari sebuah Houlo (buli-buli dari sejenis buah labu) besar. Seketika Toasuko ketagihan arak, ia coba maju mengobrol dengan si pengemis dan memuji araknya sangat harum, ditanyanya pula arak apakah itu? "Si pengemis menjawab, 'Ini adalah arak kera!' "'Kok aneh namanya arak kera?' tanya Toasuko. Maka pengemis itu menerangkan bahwa di tengah hutan pegunungan Oulam barat ada kawanan kera yang mahir membuat arak dari buah-buahan, araknya sangat enak, kebetulan pengemis itu memergoki simpanan arak itu kawanan kera kebetulan tidak ada, segera ia mencuri tiga buli-buli arak, bahkan menangkap pula seekor monyet kecil. Nah inilah dia!" Ia mengakhiri ceritanya sambil menunjuk kera yang hinggap di atas pundaknya. Pinggang binatang itu terikat oleh seutas tali yang digandeng di atas lengannya, gerak-geriknya sangat jenaka. "Lak-suko," kata si nona sambil memandangi kera itu dengan tertawa, "pantas kau berjuluk 'Lak-kau-ji' (si kera keenam), tampaknya kau dan binatang cilik ini akrab benar seperti saudara sekandung." "Bukan, kami bukan saudara sekandung, tapi saudara seperguruan," sahut si pemain monyet dengan menarik muka. "Binatang cilik ini adalah Sukoku, aku Sutenya." Serentak bergelak tertawalah semua orang. Si nona juga tertawa sambil mengomel, "Awas, secara berputar kau memaki Toasuko sebagai monyet, biarlah akan kulaporkan padanya kalau kau ingin dihajar dengan beberapa bogem mentah!" Lalu ia tanya pula, "Dan cara bagaimana saudaramu ini sampai di tanganmu?" "Saudaraku? O, apakah kau maksudkan binatang cilik ini?" si pemain monyet alias Lak-kau-ji menegas. "Wah, panjang sekali kalau diceritakan dan memusingkan kepala saja." "Tidak kau ceritakan juga aku dapat menerka," ujar si nona dengan tertawa. "Tentulah Toasuko telah menyerahkan monyet ini padamu supaya kau mendidiknya untuk membuatkan arak bagi Toasuko, bukan?" "I ... iya ... tepat sekali kau menerka," sahut Lak-kau-ji. "Toasuko memang suka main-main dengan urusan yang aneh-aneh," kata si nona. "Di gunung barulah monyet dapat membuat arak, kalau sudah ditangkap orang masakah mampu membuat arak lagi?" Sesudah merandek sejenak kemudian ia menyambung pula, "Kalau tidak, masa selama ini Lak-kau-ji kita tidak pernah membuat arak?" "Sumoay, janganlah kurang ajar kepada Suheng, ya!" mendadak Lak-kau-ji berlagak marah. "Aduuh, baru sekarang berlagak kereng sebagai Suheng," sahut si nona dengan tertawa. "Eh, Lak-suko, ceritamu belum selesai. Coba teruskan, cara bagaimana sampai Toasuko minum arak terus-menerus siang dan malam?" "Begini," tutur Lak-kau-ji. "Waktu itu sama sekali Toasuko tidak pikirkan kotor atau tidak, dia terus minta arak kepada pengemis itu. Padahal, idiih! Daki di badan pengemis sedikitnya ada tiga senti tebalnya, kutu berkeliaran di atas bajunya, ingusnya meleleh menjijikkan, besar kemungkinan di dalam buli-buli araknya itu sudah banyak bercampur dengan ludah riaknya ...." Si nona menjadi ikut-ikutan jijik, ia mengerut kening dan menutup hidung, katanya, "Sudahlah, jangan dibicarakan lagi, membikin orang muak saja." "Kau muak, tapi Toasuko justru tidak muak," ujar Lak-kau-ji. "Malahan waktu si pengemis menolak permintaannya, segera Toasuko mengeluarkan tiga tahil perak, katanya bayar tiga tahil perak hanya untuk minum satu ceguk saja." "Cis, dasar rakus!" omel si nona dengan mendongkol dan geli pula. "Karena itu barulah si pengemis meluluskan permintaan Toasuko.

Sesudah menerima uang ia berkata, 'Baiklah, kita berjanji hanya satu ceguk saja dan tidak lebih!' Toasuko menjawab, 'Ya, sudah janji satu ceguk sudah tentu satu ceguk kalau lebih bayar lagi nanti!' Siapa duga, begitu buli-buli itu menempel mulut Toasuko, isi buli-buli itu lantas seperti dituang ke dalam tenggorokannya, sekaligus ia telah habiskan sisa arak yang lebih dari setengah buli-buli itu tanpa ganti napas. "Kiranya Toasuko telah menggunakan 'Kun-goan-it-ki-kang' ajaran Suhu yang hebat itu sehingga tanpa ganti napas sekaligus ia telah hirup habis seluruh isi buli-buli. Coba kalau Siausumoay waktu itu ikut berada di sana, tentu kau pun akan kagum tak terkatakan menyaksikan ilmu sakti Toasuko yang sedemikian hebatnya itu." Saking geli si nona tertawa terpingkal-pingkal, katanya, "Dasar mulutmu memang kotor, sedemikian caranya kau melukiskan kerakusan Toasuko." "Habis memang begitu sih, kelakuannya," sahut Lak-kau-ji dengan tertawa. "Sekali-kali aku tidak membual, para Suheng dan Sute ikut menjadi saksi. Boleh kau tanya mereka apakah Toasuko tidak menggunakan 'Kungoan-it-ki-kang' untuk menenggak arak kera itu." "Ya, Siausumoay, sesungguhnya memang begitu," kata beberapa orang Suhengnya. Si nona menghela napas, katanya setengah menggumam, "Alangkah sukarnya ilmu itu, kita tak dapat mempelajari semua, hanya dia seorang yang dapat, tapi dia justru menggunakannya untuk menipu arak si pengemis." Nadanya menyesalkan tapi juga mengandung rasa memuji. "Karena araknya dihabiskan Toasuko, dengan sendirinya pengemis itu tidak mau terima," demikian Lak-kau-ji menyambung. "Dia pegang baju Toasuko sambil berteriak-teriak, 'Katanya sudah janji hanya minum satu ceguk, kenapa sekarang seluruh isi Houlo dihabiskan!' Tapi Toasuko telah menjawab dengan tertawa, 'Ya aku memang benar-benar cuma minum satu ceguk, apakah kau melihat aku berganti napas? Tidak ganti napas berarti hanya satu ceguk. Sebelumnya toh kita tidak berjanji apakah satu ceguk besar atau satu ceguk kecil. Padahal barusan aku juga cuma minum setengah ceguk saja. Kalau satu ceguk harganya tiga tahil perak, maka setengah ceguk hanya satu setengah tahil saja. Nah mana uangnya, kembalikan satu setengah tahil perak.'" "Hihi, sudah minum arak orang, hendak anglap uang orang lagi," ujar si nona dengan tertawa. "Ya, keruan saja si pengemis itu hampir-hampir menangis," sambung Lak-kau-ji. "Toasuheng lantas berkata, 'Lauheng (saudara), janganlah khawatir, tampaknya kau juga seorang tukang minum arak. Marilah, mari, biar kutraktir kau untuk minum sepuas-puasnya.' "Segera si pengemis diseretnya ke dalam sebuah warung arak di tepi jalan, kedua orang itu lantas minum besar-besaran. Kekuatan minum pengemis itu lumayan juga, semangkuk demi semangkuk mereka terus menenggak tanpa berhenti. Kami menunggu sampai siang, dari siang sampai petang, mereka masih terus minum.

Akhirnya pengemis itu menggeletak dan tak sanggup bangun lagi. Tapi Toasuko sendiri masih terus menuang dan menenggak, cuma bicaranya juga sudah mulai pelo. Kami disuruh berangkat ke sini dahulu dan dia akan menyusul kemudian." "O, kiranya demikian," kata si nona. Dan sesudah merenung sejenak, kemudian ia bertanya pula, "Apakah pengemis itu dari Kay-pang?" "Bukan!" sahut orang yang berdandan sebagai kuli. "Dia tidak mahir ilmu silat, punggungnya juga tidak membawa kantong." Si nona memandang keluar rumah minum, hujan masih rintik-rintik tak berhenti-henti. Ia menggumam sendiri, "Jika kemarin dia ikut berangkat tentu hari ini tidak perlu kehujanan lagi." Kemudian Lak-kau-ji berkata pula, "Suhu memberi pesan pada kami agar sesudah mengantarkan kado dan memberi selamat kepada Lau-samya di sini, lalu berangkat ke Hokkian untuk mencari kalian. Tak terduga kalian malah sudah datang ke sini lebih dulu. Eh, Siausumoay, tadi kau bilang mengalami kejadian-kejadian aneh di tengah jalan, sekarang menjadi gilirannya untuk menuturkan pengalamannya kepada kami." "Buat apa buru-buru?" sahut si nona. "Nanti saja kalau Toasuko sudah datang barulah kuceritakan supaya aku tidak capek mengulangi lagi. Kalian telah berjanji akan berkumpul di mana?" "Tiada perjanjian," sahut Lak-kau-ji. "Heng-san toh tidak terlalu besar, tentu kita dapat bertemu dengan mudah. He, kau menipu aku menceritakan kejadian Toasuko minum arak kera, tapi pengalamanmu sendiri sengaja dijual mahal dan tidak diceritakan." Pikiran anak dara itu tampaknya agak melayang, ia berkata, "Jisuko, silakan kau saja yang bercerita." Ia pandang sekejap ke arah Peng-ci yang duduk mungkur itu, lalu sambung pula, "Di sini terlalu banyak mata dan telinga, sebaiknya kita mencari hotel dahulu baru nanti kita bicara lagi." Seorang di antaranya yang berperawakan tinggi sejak tadi tidak ikut bicara, baru sekarang ia berkata, "Hotel di dalam kota Heng-san sudah penuh semua, kita pun tidak ingin membuat repot keluarga Lau, biarlah sebentar lagi jika Toasuko sudah datang, kita lantas mencari pondok di kelenteng atau rumah berhala lain di luar kota saja. Bagaimana Jisuko?" Karena Toasuko belum datang, dengan sendirinya si kakek sebagai Jisuko adalah pemimpin mereka. Maka dia mengangguk dan menjawab, "Baik, bolehlah kita menunggu di sini saja." Dasar julukannya monyet, maka watak Lak-kau-ji juga tidak sabaran seperti kera, dengan bisik-bisik ia berkata, "Bungkuk itu besar kemungkinan adalah seorang linglung, sudah duduk di situ sejak tadi tanpa bergerak, buat apa kita urus dia? Nah, Jisuko, engkau dan Siausumoay pergi ke Hokciu, bagaimana hasil penyelidikan kalian? Hok-wi-piaukiok sudah dibabat habis oleh Jing-sia-pay, apakah keluarga Lim benar-benar tidak mempunyai kepandaian sejati?" Mendengar nama keluarganya disinggung, segera Peng-ci lebih memusatkan perhatian untuk mendengarkan. Tak terduga si kakek malah balik bertanya, "Sebab apakah mendadak Bok-taysiansing muncul di sini dan mengeluarkan kepandaiannya Kin-lian-hoan dan sekali tebas mengutungkan tujuh cangkir? Tadi kalian ikut menyaksikan semua, bukan?" "Ya," sahut Lak-kau-ji. Lalu ia mendahului bercerita apa yang terjadi tadi. "Oh, begitu," kata si kakek. Selang sejenak baru sambungnya, "Orang luar semua mengatakan Bok-taysiansing dan Lau-samya tidak akur, sekali ini Lau-samya hendak 'cuci tangan' dan mengundurkan diri, tapi Boktaysiansing muncul pula di sini secara rahasia dan mencurigakan, sungguh sukar untuk diraba apa sebab musababnya." "Jisuko, kabarnya Ciangbunjin dari Thay-san-pay, Thian-bun Cinjin sendiri juga telah hadir di rumah Lausamya?" tanya orang yang membawa Swipoa. Si kakek rada terkejut, sahutnya, "Thian-bun Cinjin sendiri juga datang? Wah, sungguh suatu kehormatan besar bagi Lau-samya. Dengan hadirnya Thian-bun Cinjin, bila benar-benar terjadi percekcokan antara Lausamya dan Bok-taysiansing, rasanya Lau-samya tidak perlu gentar lagi kepada Bok-taysiansing." "Jisuko, lalu Ih-koancu dari Jing-sia-pay akan membantu siapa?" tiba-tiba si nona burik bertanya. Dada Peng-ci seperti dihantam godam demi mendengar nama "Ih-koancu dari Jing-sia-pay".

Dalam pada itu Lak-kau-ji dan yang lain beramai-ramai telah tanya juga, "He, Ih-koancu juga datang?" "Tumben ada orang dapat mengundang dia turun dari Jing-sia!" "Wah, sedemikian banyak tokoh-tokoh terkemuka yang berkumpul di kota Heng-san ini, mungkin akan terjadilah pertarungan sengit." "Eh, Siausumoay, dari mana kau mendapat tahu kedatangan Ih-koancu?" "Kenapa mesti mendapat tahu dari mana? Aku sendirilah yang melihat kedatangannya," sahut si nona. "Kau telah melihat Ih-koancu?" Lak-kau-ji menegaskan. "Di Heng-san sini?" "Bukan saja aku melihatnya di sini, di Hokkian juga aku melihatnya, di Kangsay juga aku melihatnya," sahut si nona. "Oo, Ih-koancu sudah pergi ke Hokkian?" tukas si orang pembawa Swipoa. "Kali ini secara besar-besaran Jing sia-pay merecoki Hok-wi-piaukiok, sampai-sampai Ih-koancu juga maju sendiri, kukira pasti ada sebab yang amat penting. Siausumoay, untuk ini kukira engkau tentu tidak tahu." "Gosuko, kau tidak perlu membikin panas hatiku," sahut si nona. "Mestinya aku hendak cerita, tapi kau sengaja mengipasi, maka aku justru tidak jadi cerita lagi." Lak-kau-ji memandang sekejap pula ke arah Peng-ci, lalu berkata, "Mengenai Jing-sia-pay dan Hok-wipiaukiok, andaikan didengar oleh tamu juga tidak menjadi soal. Jisuko, untuk apakah Ih-koancu pergi ke Hokkian? Cara bagaimana kalian memergoki dia?" Ia tidak tahu bahwa diam-diam Peng-ci merasa sangat berterima kasih atas pertanyaannya itu. Sebab memang demikianlah yang ingin diketahui Peng-ci. "Bulan 12 yang lalu," demikian si kakek melanjutkan, "ketika di kota Hantiong, Toasuko telah menghajar Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong dari Jing-sia-pay ...." Mendengar nama kedua orang itu, mendadak Lak-kau-ji tertawa terkekeh-kekeh. "Apa yang kau tertawakan?" semprot si nona dengan mendelik. "Aku menertawai kedua manusia yang sombong itu, nama mereka pakai 'Jin-eng' (pahlawannya manusia) dan 'Jin-hiong' (jantannya manusia) segala, haha, malahan orang Kangouw menyebut mereka sebagai 'Eng-HiongHo-Kiat, Jing-sia-su-siu', kan lebih baik pakai nama 'Liok Tay-yu' seperti aku saja dan habis perkara," demikian kata Lak-kau-ji dengan tertawa. Kiranya nama Lak-kau-ji yang sebenarnya adalah Liok Tay-yu. Liok artinya Lak atau enam, kebetulan uruturutannya dalam perguruan juga nomor enam, maka orang lantas memberi julukan Lak-kau-ji, si kera keenam, padanya. Segera seorang lagi mengomeli, "Sudahlah, jangan kau ganggu cerita Jisuko." "Baiklah," sahut Liok Tay-yu, tapi tidak urung ia terkekeh-kekeh pula. "Sebenarnya apa sih yang kau gelikan? Kau memang suka mengacau!" omel si nona. "Aku jadi teringat pada waktu Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong itu dihajar oleh Toasuko sampai jungkir balik dan terguling-guling, tapi mereka masih belum tahu siapakah orang yang menghajar mereka, lebih-lebih tidak tahu lantaran sebab apa kok menerima hajaran," sahut Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji. "Kiranya Toasuko menjadi geregetan bila mendengar nama mereka, maka sambil minum arak Toasuko lantas berteriak-teriak, 'Anjing liar babi hutan, empat binatang dari Jing-sia'. Sudah tentu Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong menjadi marah, segera mereka hendak melabrak Toasuko, tapi belum apa-apa mereka sudah didepak terguling ke bawah loteng rumah arak itu. Hahaha, sungguh sangat lucu!" Hati Peng-ci sangat terhibur mendengar cerita itu. Timbul juga rasa simpatiknya kepada Toasuko dari Hoa-sanpay ini.

Meski dirinya belum kenal Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, tapi kedua orang itu adalah Suheng Pui Jin-ti dan Uh Jin-ho, mereka telah ditendang terguling-guling oleh "Toasuko" orang-orang Hoa-san-pay ini, paling tidak rasa dendamnya sudah terlampiaskan sedikit. Padahal kejadian itu adalah bulan 12 tahun yang lalu, jadi belum terjadi permusuhan antara Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok. Dalam pada itu si nona burik telah mengolok-olok Lak-kau-ji, "Kau cuma pintar menonton saja, bila kau yang berkelahi dengan orang, rasanya belum tentu kau mampu menandingi 'Jing-sia-su-siu' (empat jago muda Jingsia-pay)." "Ah, juga belum tentu begitu," sahut Lak-kau-ji. "Kau toh belum kenal siapa-siapa Jing-sia-su-siu itu." "Dari mana kau mengetahui bahwa aku belum kenal mereka? Malahan orang Jing-sia-pay sudah merasakan hajaranku," sahut si nona. Mendengar itu, para Suhengnya lantas bertanya cara bagaimana nona itu pernah menghajar orang Jing-siapay? Tapi si nona sengaja jual mahal dan tidak mau cerita. Maklumlah, Keh Jin-tat yang dia lemparkan ke dalam kolam lumpur itu terhitung jago nomor buntut di antara murid-murid Jing-sia-pay, kalau dia ceritakan rasanya juga kurang gemilang. Maka Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji lantas berkata, "Siausumoay, kepandaianmu rasanya selisih tidak jauh daripadaku, jika orang Jing-sia-pay dapat kau hajar, tentu aku pun mampu menghajar mereka." "Hihi, tentang Jing-sia-su-siu sih aku belum tentu mampu menandingi mereka, cuma saja mereka yang gentar padaku," ujar si nona sambil tertawa. "Inilah aneh," kata Liok Tay-yu. "Kau tidak dapat menandingi mereka, tapi mereka malah gentar padamu. Ini ma ... mana bisa terjadi?" "Sudahlah, Lak-kau-ji, jangan menimbrung saja, dengarkan dulu ceritanya Jisuko," kata si jangkung.

Biasanya Lak-kau-ji memang agak jeri kepada Samsuko si jangkung itu, maka ia tidak berani cerewet dan tertawa-tawa lagi. "Meski Toasuko telah menghajar Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, tapi waktu itu dia pun tidak tahu persis siapakah mereka itu, sesudah itu barulah dia mengetahuinya," demikian tutur si kakek lagi. "Sebab itulah Ihkoancu lantas menulis surat kepada Suhu, isi suratnya sih sangat ramah, dia bilang kurang keras mendidik muridnya sehingga membikin marah muridmu, maka sengaja menulis untuk minta maaf segala." "Hah, orang she Ih itu sungguh sangat licin," sela Liok Tay-yu. "Tampaknya dia menulis surat dan minta maaf, padahal maksudnya adalah mengadu kepada Suhu. Keruan Toasuko yang terima akibatnya dengan dihukum berlutut tujuh hari tujuh malam, sesudah para Suheng dan Sute memintakan maaf baginya, barulah Suhu mau mengampuni dia." "Ampun apa, bukankah tetap dihukum rangket 30 kali?" ujar si nona. "Ya, aku pun ikut-ikut dipersen 10 kali rangketan," kata Liok Tay-yu. "Hehe, cuma cara Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong terguling-guling ke bawah loteng rumah arak itu keadaannya benar-benar sangat konyol.

Biarpun dirangket 10 kali aku merasa tidak rugi. Hahahaha!" "Hm, macammu ini, sudah dirangket 10 kali toh masih belum kapok," kata si jangkung. "Waktu itu mestinya kau dapat mencegah Toasuko. Memang dugaan Suhu tidak salah, beliau cukup kenal watakmu, bukannya mencegah, tentu kau malah mengadu dan mendorong dari belakang. Makanya pantas kau dirangket juga." "Ai, sekali ini Suhu benar-benar telah salah menaksirkan diriku," ujar Liok Tay-yu. "Jika Toasuko mau tendang orang, apakah aku mampu mencegahnya? Apalagi betapa cepat Toasuko mengayun kakinya, belum sempat aku melihat jelas, tahu-tahu kedua 'kesatria besar' yang menubruk dari kanan-kiri itu sudah terguling ke bawah loteng tanpa berhenti. Mestinya aku hendak memerhatikan kepandaian Toasuko yang istimewa, supaya aku pun dapat belajar tendangan 'Pah-bwe-kah' (tendangan ekor macan tutul) itu, namun sama sekali aku tidak sempat menyaksikan dengan jelas, jangankan hendak belajar."

Popular posts