Thursday, 27 February 2020

Bab 8. Harta Karun di Dalam Peti - Hina Kelana

"Rupanya kau tidak mengetahui persoalan ini," ujar si orang she Sin dengan tertawa. "Sekali ini Lau Cing-hong merayakan pesta 'cuci tangan', tentu tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai golongan dan aliran akan ikut hadir. Maka hadiah kita ini bukan untuk mengambil hatinya Lau Cing-hong, tapi lebih tepat adalah untuk menonjolkan nama Jing-sia-pay kita agar mereka lebih kenal siapakah Jing-sia-pay." "O, ya, betapa pun memang Sin-suko lebih dapat berpikir panjang," kata si orang she Kiat. "Hanya saja kalau ... kalau kita pulang dengan tangan kosong, walaupun Suhu takkan marah, tapi kita ... kita sendiri ...." "Jangan khawatir," ujar si orang she Sin. "Biasanya benda-benda begini saja takkan berharga dalam pandangan Suhu. Kukira justru ibu-guru muda yang harus kita persembahi apa-apa.

Dan hadiah baginya juga sudah kusediakan. Untuk ini kau pun jangan khawatir, Kiat-sute. Hadiah ini menggunakan atas nama kita berdua, tidak nanti Suhengmu ini melupakan dirimu." "Banyak terima kasih, Sin-suko," sahut si orang she Kiat dengan girang. "Terima kasih apa? Kita berdua yang telah merebut Piaukiok ini, kita mengeluarkan tenaga bersama, sudah tentu kita menerima pahala bersama pula," kata orang she Sin. Maka bergelak tertawalah kedua orang itu. Habis itu, terdengar si orang she Sin menyambung lagi, "Nah, Kiat-sute, di sini telah kusediakan empat buntal, satu buntal kita persembahkan kepada para Susiok, sebuntal lagi untuk para Suheng dan Sute, dan kedua buntal ini adalah bagian kita berdua. Boleh kau pilih sendiri saja!" "Barang apakah itu?" tanya si orang she Kiat. Keadaan lalu sunyi, menyusul hanya terdengar suara keresek-keresek seperti tadi. Habis itu mendadak terdengar orang she Kiat itu berseru kaget. Katanya, "Wah, kiranya emas intan seluruhnya. Waduh, sekali ini kita benar-benar kaya mendadak. Anak kura-kura, selama ini Hok-wi-piaukiok ini ternyata tidak sedikit mengumpulkan harta benda. Sin-suko, dari mana kau menemukannya?

Padahal aku sudah mencari belasan kali, sampai-sampai ubin juga hampir kugali, tapi yang kudapatkan hanya ratusan tahil perak saja. Tapi diamdiam kau malah dapat menguras keluar harta pusaka mereka." Si orang she Sin sangat senang dan merasa bangga, jawabnya dengan tertawa, "Harta benda perusahaan Piaukiok mana boleh ditaruh di tempat sembarangan? Haha, selama beberapa hari ini diam-diam aku telah mengikuti caramu membongkar lemari, mendongkel dinding, membalik meja dan membobol laci, sibuknya tidak keruan!" "Ya, kagum, kagum! Sebenarnya dari mana kau menemukannya, Sin-suko?" tanya pula si orang she Kiat. "Kiat-sute," jawab si orang she Sin, "kita mengembara Kangouw, ilmu silat memang penting, tapi yang lebih penting adalah ini ...." ia ketok-ketok dahi sendiri dengan jari, lalu menyambung, "Coba kau pikir, adakah sesuatu yang tidak masuk di akal dalam Piaukiok ini?" "Yang tidak masuk di akal? Hahaha! Kukira banyak sekali hal-hal yang tak masuk di akal dalam Piaukiok ini, mana aku dapat menyelidikinya satu per satu?" "Sebab itulah, maka kau, Kiat-sute, kukira untuk selanjutnya kau harus lebih banyak menggunakan otak," ujar si orang she Sin dengan tertawa. "Misalnya, gedung Piaukiok mereka yang megah ini kenapa di ruangan samping ditaruh sebuah peti mati yang besar, apakah ini masuk di akal?" "Ah, aku tidak punya tempo senggang untuk mengurusnya, apakah mereka suka menaruh peti mati atau menaruh telaga tahi di situ, peduli apa dengan aku?" "Makanya, sekali lagi kubilang kau harus menggunakan otak, Kiat-sute," kata orang she Sin. "Coba pikirkan, untuk apa mereka taruh peti mati di kamar sebelah, memangnya dia sayang menguburnya karena yang mati adalah anaknya atau bininya?

Haha, kukira tidak. Lalu apakah tiada tersimpan sesuatu di dalam peti mati itu untuk mengelabui orang lain ...." "Aha, benar!" seru si orang she Kiat sambil melonjak bangun. "Engkau benar-benar lihai, Sin-suko. Tentunya harta yang kau ketemukan itu tersimpan di dalam peti mati itu, bukan? Haha, bagus, bagus! Para Piausu anak kura-kura ini memang macam-macam dan ada-ada saja. Mereka sengaja menyimpan harta karun ini di dalam peti mati, tentu saja sukar diketemukan biarpun Piaukiok ini kedatangan garong. Eh, Sin-suko marilah kita mencuci kaki, lalu tidur saja." Habis berkata ia menguap kantuk, lalu membuka pintu dan keluar. Dengan mendekam di bawah jendela Peng-ci tidak berani bergerak sedikit pun, ia coba melirik ke dalam melalui celah-celah jendela, dari bayangannya kelihatan orang she Kiat itu berperawakan pendek gemuk, besar kemungkinan adalah orang yang mendepaknya siang tadi. Selang tak lama, si orang she Kiat telah masuk kembali ke kamar dengan membawa satu baskom air panas, katanya, "Sin-suko, kali ini Suhu telah mengutus kita berjumlah 16 orang keluar, tampaknya kita berdua yang mendapatkan rezeki paling banyak, berkat kelihaian Sin-suko aku pun ikut berjasa. Bak-sute bertugas menyerang cabang Kwiciu, Kong-suko menyerang cabang Hangciu, tapi biarpun mereka melihat peti mati juga belum tentu tahu di dalamnya tersimpan harta karun sebanyak ini."

"Tapi Pui-suko dan Uh-sute yang ditugaskan mengubrak-abrik kantor pusat di Hokciu, hasil mereka tentu jauh lebih besar daripada kita," sahut orang she Sin dengan tertawa. "Cuma jiwa putra kesayangan ibu-guru itu telah melayang di Hokciu, jasa mereka mungkin dapat menutupi kesalahan mereka di hadapan Suhu, namun ibu-guru muda tentu tak mau mengampuni mereka." "Ya, aku pun heran," demikian kata si orang she Kiat. "Pada waktu Suhu mengirim kita keluar, katanya Hok-wipiaukiok sudah tiga turunan melakukan usaha pengawalan, orangnya banyak, pengaruhnya besar, kepandaian warisan keluarga Lim berupa 72 jurus Pi-sia-kiam-hoat, 108 gerakan Hoan-thian-ciang dan 18 batang panah tidak boleh dipandang enteng, kita disuruh menyerang secara mendadak dan serentak baik di kantor pusat maupun di kantor cabangnya. Siapa duga Hok-wi-piaukiok hanya punya nama kosong saja, dengan mudah Puisuko sudah menangkap Lim Cin-lam dan istrinya. Tampaknya sekali ini Suhu sendiri pun salah mata."

Keringat dingin sampai memenuhi dahi Peng-ci yang mendengarkan di luar jendela itu. Pikirnya, "Jika demikian jadi Jing-sia-pay memang mempunyai rencana untuk mencari perkara kepada Piaukiok kami dan bukanlah lantaran aku salah membunuh orang she Ih itu. Menurut rencana mereka, andaikan aku tidak membunuh keparat she Ih itu juga mereka tetap akan menghancurkan Piaukiok kami. Tapi entah kesalahan apa yang telah kami perbuat terhadap Jing-sia-pay sehingga mereka turun tangan sekeji ini?" Berpikir sampai di sini, rasa menyesalnya semula atas diri sendiri yang telah menimbulkan malapetaka ini menjadi berkurang, sebaliknya rasa dendam dan gusar lantas bergolak. Kalau tidak sadar bahwa kepandaian sendiri bukan tandingan lawan, sungguh dia ingin menerjang masuk untuk membinasakan kedua jahanam itu. Sementara itu terdengar suara gemerciknya air di dalam kamar, rupanya kedua orang itu sedang mencuci kaki. Terdengar si orang she Sin lagi berkata, "Bukanlah Suhu salah mata, sesungguhnya Hok-wi-piaukiok memang mempunyai kepandaian sejati, kalau tidak masakah namanya selama ini sedemikian disegani di provinsiprovinsi antarpantai. Besar kemungkinan keturunan mereka yang tidak becus, tidak mampu mewariskan kepandaian leluhur sendiri. Padahal Pi-sia-kiam-hoat dan Hoan-thian-ciang benar-benar sangat ternama di kalangan Bu-lim dan bukanlah omong kosong." Muka Peng-ci sampai merah jengah dalam kegelapan demi mendengar orang mencerca "keturunan mereka yang tidak becus dan tidak mampu mewariskan kepandaian leluhur". Diam-diam ia harus mengakui akan kebenaran ucapan lawan.

Sementara itu orang she Sin telah menyambung, "Waktu kita hendak berangkat Suhu telah mengajarkan caracara mematahkan Pi-sia-kiam-hoat dan Hoan-thian-ciang pada kita, walaupun dalam waktu belasan hari saja sukar mempelajarinya dengan sempurna, tapi tampaknya ilmu pedang dan ilmu pukulan itu memang mempunyai kekuatan tersembunyi yang tidak mudah untuk dimainkan. Kau sendiri dapat memahami berapa banyak, Kiat-sute?" "Ah, Suhu sendiri mengatakan bahwa sampai-sampai Lim Cin-lam sendiri pun tidak memahami intisari ilmuilmu pedang dan pukulan leluhurnya itu, maka aku pun malas untuk menyelaminya lebih mendalam," sahut orang she Kiat. "Eh, Sin-suko, sesudah Pui-suko berhasil menawan Lim Cin-lam dan istrinya, mengapa mereka tidak terus pulang ke Jing-sia, tapi membawanya ke Heng-san malah?" "Pada waktu Lau Cing-hong mengadakan perayaan 'cuci tangan' nanti, tentu banyak tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai golongan akan hadir untuk mengucapkan selamat padanya. Sekarang Pui-suheng dan Uh-sute dapat membekuk pemimpin Hok-wi-piaukiok yang termasyhur, dengan sendirinya mereka ingin pamer sedikit di tengah perjamuan besar itu." "Pui-suheng dan Uh-sute sih masih boleh, tapi Keh Jin-tat si keparat itu kutu busuk macam apa, masakah dia juga ada harganya untuk membual dan pamer di depan orang banyak?" kata orang she Kiat. "Ada harganya atau tidak, habis siapa yang suruh kita menjadi saudara seperguruan dengan dia? Sudahlah, tidur saja!" sahut orang she Sin dengan tertawa. "Dasar anak kura-kura!" terdengar orang she Kiat memaki. Habis itu mendadak daun jendela dibuka olehnya. Keruan Peng-ci terperanjat dan mengira jejaknya telah dipergoki. Baru saja dia bermaksud lari, sekonyongkonyong "byuurrrr", kepalanya tersiram sebaskom air hangat, saking kagetnya hampir-hampir Peng-ci menjerit.

Syukurlah daun jendela itu lantas tertutup pula. Menyusul pandangannya menjadi gelap, kiranya pelita di dalam kamar telah dipadamkan. Belum lagi tenang perasaan Peng-ci, terasalah air menetes-netes dari atas kepala dan mukanya, baunya jangan ditanya. Baru sekarang diketahuinya air itu adalah air kotor bekas air cuci kaki yang telah disiramkan oleh orang she Kiat sehingga dia basah kuyup, walaupun tidak disengaja, tapi Peng-ci sudah terhina. Namun begitu ia menjadi girang malah sebab berita tentang ayah-ibunya telah diperoleh, jangankan cuma disiram air bekas cuci kaki, biarpun air kencing sekalipun takkan berhalangan baginya. Suasana selanjutnya menjadi sunyi senyap, kalau dia lantas pergi saja khawatir didengar oleh kedua orang di dalam kamar. Ia pikir biarlah tunggu sesudah mereka tidur dahulu. Maka ia tetap duduk bersandar di dinding, di bawah jendela. Selang tak lama, terdengarlah suara mendengkur yang sahut-menyahut di dalam kamar. Perlahan-lahan barulah Peng-ci berdiri. Tapi mendadak ia kaget dan cepat mendak ke bawah lagi ketika melihat sesuatu bayangan orang tersorot di atas jendela oleh cahaya bulan, bahkan daun jendela itu tampak tergoyang-goyang perlahan. Sesudah ditunggu sejenak dan diperhatikan pula barulah Peng-ci tahu duduknya perkara, rupanya sesudah membuang air kotor tadi si orang she Kiat telah lupa memasang palang jendela sehingga daun jendela itu masih terbuka sedikit. "Inilah kesempatan bagus untuk menuntut balas!" demikian pikir Peng-ci. Segera ia melolos pedang patah yang terselip di pinggang itu, perlahan-lahan ia menolak daun jendela itu hingga terpentang, dengan gerakan "Lengniau-hi-tiap" (kucing lincah menggoda kupu-kupu), dengan enteng sekali ia melompat masuk ke dalam kamar. Dari sinar bulan yang remang-remang dapatlah dilihatnya dua dipan di kanan-kiri kamar itu tertidur dua orang. Tatkala itu baru permulaan musim semi, nyamuk masih jarang-jarang, kelambu tempat tidur tidak terurai, maka dapat tertampak jelas seorang berbaring miring menghadap ke dinding, kepalanya rada botak.

Seorang lagi tidur telentang, alisnya tebal dan berewok pendek kaku. Di tengah-tengah tempat tidur terdapat sebuah meja di mana tertaruh lima buntalan, di samping itu ada sebatang golok dan sebatang pedang. Golok itu lantas dipegang Peng-ci, pikirnya, "Sekali bacok satu nyawa, gampangnya seperti memotong sayur." Dan baru saja goloknya hendak membacok ke leher si berewok, tiba-tiba terpikir lagi olehnya, "Cara kubunuh mereka begini apakah perbuatan seorang kesatria? Kelak kalau aku sudah berhasil meyakinkan ilmu silat leluhur sendiri barulah akan kugunakan untuk menumpas kawanan bangsat Jing-sia-pay ini." Maka dia batalkan maksudnya membunuh orang, ia kumpulkan golok, pedang dan kelima buntalan itu di atas meja depan jendela. Dilihatnya di atas meja ada alat tulis, segera ia angkat pit (pensil) dan membasahi dengan sedikit tinta, lalu dia menulis di atas meja: "Lim Peng-ci dari Hok-wi-piaukiok baru saja pesiar ke sini." Selesai menulis, didengarnya suara mendengkur si berewok semakin keras. Seketika timbul sifat kanakkanaknya dan bermaksud mencoret-coret muka si berewok. Tapi akhirnya ia dapat menahan maksud jahilnya itu, pikirnya, "Jika dia sampai terjaga bangun, tentu celakalah aku!" Begitulah perlahan-lahan ia melompat keluar jendela, ia selipkan golok dan pedang di pinggang sendiri, tiga buntalan itu digendongnya, setiap tangan membawa satu buntalan pula, lalu dengan langkah berjinjit-jinjit ia berjalan ke pekarangan belakang.

Sampai di kandang kuda, ia tuntun keluar seekor kuda yang paling tinggi besar, ia membuka pintu belakang dan keluar dari Piaukiok itu. Setelah agak jauh meninggalkan Piaukiok barulah dia mencemplak ke atas kuda dan dilarikan ke pintu selatan. Tatkala itu masih terlalu pagi, pintu kota belum dibuka. Ia tuntun kudanya ke belakang sebuah gundukan tanah. Di situlah ia pindahkan buntalan-buntalan yang digendongnya untuk digantungkan pada pelana kuda. Khawatir kalau kedua orang Jing-sia-pay itu mengejarnya, hati Peng-ci menjadi berdebar-debar. Syukurlah tidak lama kemudian fajar pun menyingsing, pintu kota telah dibuka, segera ia mencemplak ke atas kuda dan dilarikan keluar kota. Sekaligus ia melarikan kudanya sejauh belasan li barulah merasa aman. Lalu melambatkan kudanya. Sejak meninggalkan kota Hokciu baru sekarang perasaannya terasa longgar. Waktu melihat di tepi jalan ada sebuah warung makan, ia berhenti untuk sekadar menangsel perut. Ia tidak berani berhenti terlalu lama, ia hanya makan semangkuk bakmi, lalu merogoh buntalan untuk mengambil uang. Tapi ketika dikeluarkan, ia terperanjat. Ternyata yang dirogoh keluar itu adalah sepotong lantakan emas. Lekas-lekas ia masukkan lagi ke dalam buntalan dan meraba barang lainnya. Akhirnya dapat dikeluarkan sepotong lantakan perak. Ia gunakan pedang untuk memotong ujung lantakan perak itu guna membayar bakmi. Tapi meski penjual bakmi itu telah mengumpulkan seluruh uang receh hasil jualannya juga masih belum cukup buat mengembalikan uang perak Peng-ci itu. "Sudahlah, ambil semua!" kata Peng-ci dengan royal. Sepanjang jalan dia telah kenyang dihina orang, baru sekaranglah untuk pertama kalinya dia pulih kembali sebagai juragan muda yang royal. Setelah melanjutkan perjalanan beberapa puluh li lagi, sampailah dia di suatu kota besar. Ia mencari suatu hotel dengan kamar yang terpilih. Setelah menutup rapat pintu kamar, segera ia membuka kelima buntalan itu dan memeriksa isinya, ternyata seluruhnya terdiri dari emas perak, perhiasan batu permata.

Pada buntalan kelima isinya adalah sepasang kuda-kudaan buatan batu yade putih serta sepasang merak zamrud, semuanya sebesar belasan senti tingginya. Sejak kecil dia sudah biasa melihat benda-benda mestika, namun kedua pasang kuda-kudaan dan merakmerakan itu membuatnya terpesona juga. Ia pikir di kantor cabang Piaukiok tersimpan benda-benda berharga demikian, pantas juga kalau Jing-sia-pay mengincarnya. Segera ia keluarkan sedikit pecahan perak untuk bekal, isi keempat buntalan tadi dia bungkus lagi menjadi satu dan digendongnya. Ia pikir seekor kuda saja tidak cukup, sebaiknya beli lagi dua ekor kuda bagus agar dapat memburu perjalanan lebih cepat untuk mencari ayah-ibunya. Begitulah ia lantas pergi ke pasar untuk membeli dua ekor kuda bagus, dengan tiga ekor kuda ia dapat bergantian menunggangnya tanpa berhenti. Setiap hari ia hanya tidur dua-tiga jam saja, siang malam ia menempuh perjalanan secara nonstop. Hari itu sampailah dia di Heng-san. Begitu masuk kota, lantas melihat banyak sekali orang-orang Kangouw berlalu-lalang di jalanan. Khawatir kalau ketemu dengan Pui Jin-ti dan rombongannya, Peng-ci berjalan dengan menunduk untuk mencari rumah penginapan. Tak terduga beruntun-runtun tiga hotel yang didatangi selalu menyatakan kamar sudah penuh. Terpaksa Pengci mencari ke jalan yang agak sepi, setelah mencari lagi beberapa tempat akhirnya barulah mendapatkan sebuah kamar sederhana di suatu hotel kecil. Ia pikir agar tidak dikenali orang, paling baik kalau menyamar saja.

Maka datanglah ia ke rumah obat untuk membeli tiga helai koyok (obat tempel). Dua helai ia tempelkan di ujung dahi sehingga kedua alisnya tertarik ke atas, lalu yang sehelai ditempel di atas pipi sehingga bibirnya tertarik sampai terbuka dan kelihatan giginya yang menyengir. Ia coba bercermin, ia merasa rupanya sendiri jeleknya tak terkatakan, sampai dirinya sendiri juga merasa muak, jangankan orang lain. Kemudian ia membungkus emas perak dan batu permata itu secara gepeng memanjang, lalu diikat rapat di punggungnya dan ditutup dengan baju luar, sedikit membengkok seketika jadilah dia seorang bungkuk yang punggungnya membungkuk. "Dalam keadaan demikian, sekalipun ayah dan ibu juga takkan mengenali diriku lagi," demikian ia merasa puas atas penyamarannya sendiri. Sesudah makan semangkuk bakmi, lalu ia keluar pesiar ke-pelosok-pelosok kota. Pikirnya, "Paling baik kalau bisa memergoki ayah dan ibu, kalau tidak, asalkan bisa memperoleh sedikit kabar tentang orang-orang Jingsia-pay tentu juga akan berfaedah bagiku." Setelah berjalan ke sana kemari sampai setengah harian, tiba-tiba turun hujan gerimis. Memang daerah selatan Oulam paling banyak air hujan, sekarang lagi permulaan musim semi, kalau sudah hujan terkadang sampai beberapa hari tidak berhenti-henti. Peng-ci membeli sebuah caping bercat minyak di tepi jalan dan dipakai sebagai payung. Hari mendung semakin gelap, tampaknya hujan takkan berhenti. Ia coba membelok ke jalan sebelah sana, tiba-tiba dilihatnya sebuah rumah minum yang banyak berjubel-jubel para tamu.

Pada umumnya kalau rumah makan dan minum sampai penuh tetamu, soalnya cuma ada dua kemungkinan, yakni kalau bukan daharan yang dijualnya terkenal lezat, tentulah karena harganya murah. Maka Peng-ci lantas masuk juga ke rumah minum itu, ia mencari suatu tempat kosong dan minta dibuatkan suatu poci teh enak, pelayan lantas membawakan pula satu piring kecil kuaci dan satu piring kacang goreng. Setelah minum satu cangkir teh, selagi Peng-ci menyisil kuaci untuk menghilangkan rasa kesal, tiba-tiba terdengar suara orang berkata, "Bungkuk, kita duduk bersama ya?" Dan tanpa menunggu jawaban Peng-ci, orang itu lantas duduk di sebelahnya, menyusul ada dua orang berduduk pula di samping. Semula Peng-ci tidak mengira kalau yang diajak bicara oleh orang itu adalah dirinya. Tapi segera teringat bahwa yang disebut "bungkuk" itu adalah dirinya. Maka cepat ia menjawab dengan ramah, "Boleh, boleh! Silakan!" Ia lihat ketiga orang itu semuanya berpakaian hitam, pinggang bergantungkan golok. Ketiga laki-laki itu lantas minum teh dan mengobrol sendiri tanpa menggubris Peng-ci lagi. Terdengar seorang di antaranya yang lebih muda mulai berkata, "Peng-toako, kali ini Lau-samya mengadakan pesta 'Kim-bun-swe-jiu', tampaknya tidaklah sederhana cara merayakannya, lihat saja, waktunya masih tiga hari, tapi kota Heng-san ini sudah penuh dengan tamu-tamu yang akan memberi selamat padanya." Kim-bun-swe-jiu, cuci tangan di baskom emas, maksudnya sebagai upacara menyatakan dirinya telah cuci tangan dan meninggalkan lapangan kerja yang pernah dilakukannya. Maka seorang kawannya yang buta sebelah telah menjawab, "Tentu saja. Heng-san-pay sendiri sudah cukup terkenal, ditambah lagi gabungan nama Ngo-gak-kiam-pay, sudah tentu pengaruhnya sangat besar di dunia persilatan, siapa orangnya yang tidak ingin bersahabat dengan mereka?

Pula Lau Cing-hong, Lau-samya, sendiri juga seorang tokoh Kangouw terkemuka, dia punya 36 jurus 'Hwe-hong-lok-gan-kiam' terkenal sebagai jago kedua dari Heng-san-pay, dia hanya kalah setingkat daripada Ciangbunjin sendiri, yaitu Bok-taysiansing. Biasanya orang ingin bersahabat dengan dia, tapi tiada kesempatan. Sekarang dia mengadakan pesta 'cuci tangan', dengan sendirinya orang-orang gagah dari Bu-lim sama berkumpul di sini, kukira besok suasana kota tentu akan lebih ramai daripada sekarang." "Tapi jika dikatakan semua orang datang buat menyatakan persahabatan dengan Lau Cing-hong, kukira juga tidak tepat seluruhnya, misalnya tujuan kedatangan kita bertiga kan tidak demikian maksudnya, bukan?" ujar kawannya lagi yang berjenggot putih. "Padahal orang yang menyatakan 'cuci tangan', artinya sejak kini di dunia Kangouw takkan terdapat lagi tokoh seperti dia. Jika sudah demikian, biarpun ilmu silatnya setinggi langit juga tiada gunanya lagi. Buat apa orang lain mesti mendekati dia dan menyatakan persahabatan segala?" "Soalnya bukan begitu, Peng-toako," kata yang muda. "Walaupun resminya Lau-samya sudah 'cuci tangan', tapi apa pun juga, dia adalah tokoh nomor dua dari Heng-san-pay, siapa-siapa yang bersahabat dengan Lausamya akan berarti bersahabat dengan Heng-san-pay dan berarti pula bersahabat dengan Ngo-gak-kiam-pay!" "Ngo-gak-kiam-pay? Hm, apakah kau memenuhi syarat?" ejek si jenggot putih she Peng. "Bukan demikian soalnya, Peng-toako," si buta juga menyanggah. "Sesama orang Kangouw, apa jeleknya kalau bisa tambah seorang sahabat.

Biarpun ilmu silat Ngo-gak-kiam-pay teramat tinggi, tapi rasanya mereka tidak sampai memandang rendah pada pihak lain. Sebab kalau mereka itu merasa angkuh dan sombong, masakan sekarang ada sekian banyak tetamu yang datang memberi selamat padanya?" "Hm," si jenggot putih mendengus, selang sejenak barulah ia berkata dengan suara perlahan, "Sebagian besar adalah manusia-manusia penjilat belaka, bila melihat mereka hatiku lantas gemas!" Mestinya Peng-ci ingin ketiga orang itu mengobrol lebih banyak tentang Ngo-gak-kiam-pay, tak terduga pembicaraan mereka ternyata tidak sepaham sehingga tidak dilanjutkan. Bila teringat kepada si nona burik yang pernah memaksanya minum arak berbisa itu, diam-diam Peng-ci membatin, "Ya, apa yang dikatakan si jenggot putih ini memang betul juga. Seperti Jing-sia-pay dan Hoa-san pay, bukankah mereka adalah setali tiga uang? Apalagi Ngo-gak-kiam-pay segala? Huh, gagak sama hitamnya, kukira mereka juga bukan manusia baik-baik." Pada saat itulah tiba-tiba terdengar ada orang bicara dengan suara perlahan di bagian belakang, "Ong-jicek, kabarnya usia Lau-samya dari Heng-san-pay itu baru 50-an tahun, ilmu silatnya seharusnya lagi meningkat ke puncaknya, mengapa mendadak 'cuci tangan' segala? Bukankah percuma saja kegiatannya selama ini?" "Banyak sekali alasannya bagi orang Bu-lim yang cuci tangan pada usia masih muda," sahut seorang tua. "Jika seorang bandit besar dari kalangan Hek-to merasa sudah terlalu banyak berdosa, setelah 'cuci tangan' berarti dia telah meninggalkan perbuatan membegal dan membunuh, ini namanya kembali ke jalan yang bajik, sedikitnya akan meninggalkan nama baik bagi anak-cucunya, pula dapat menghindarkan tuduhan andaikan terjadi lagi sesuatu perkara besar di tempat kediamannya.

Tapi keluarga Lau turun-temurun sudah terkenal kaya raya, sudah tentu hal ini tidak ada hubungannya dengan dia. Lain soal lagi adalah untuk menghindari permusuhan lebih jauh, misalnya Lau-samya mengumumkan di depan tamu-tamu undangannya bahwa sejak kini ia telah 'cuci tangan' dan tidak main senjata lagi, itu berarti musuh-musuhnya boleh tak usah khawatir akan dituntut balas lagi olehnya, sebaliknya juga diharapkan musuh-musuh itu tidak datang mencari perkara lagi padanya." "Ong-jicek, kukira cara demikian akan merugikan dia sendiri," ujar si orang muda. "Rugi apa?" Ong-jicek, paman kedua Ong, bertanya. "Lau-samya boleh menyatakan takkan menuntut balas lagi, tapi orang lain toh setiap saat dapat mencari perkara padanya?" ujar si orang muda. "Jika orang hendak membunuhnya dan karena dia sudah menyatakan takkan bermain senjata lagi bukankah dia akan terima disembelih orang sesukanya?" "Kau ini memang hijau pelonco," omel paman Ong itu. "Jika orang hendak membunuh kau, apakah kau terima saja dan takkan membela diri? Padahal tokoh semacam Lau-samya dengan Heng-san-pay yang begitu besar pengaruhnya, kalau dia tidak merecoki orang lain saja sudah untung, masakah ada orang lain berani mencari perkara padanya?" Tiba-tiba si jenggot putih yang duduk di depan Peng-ci itu menggumam sendiri, "Ah, yang pandai ada yang lebih pandai, siapa yang berani mengaku paling jempolan?" Karena ucapannya itu perlahan, kedua orang di meja belakang itu tidak mendengarnya.

Terdengar orang yang dipanggil Ong-jicek itu berkata pula, "Umpamanya ada pengusaha Piaukiok yang telah cukup mengeduk keuntungan, kalau dia bisa tahu batas dan mengundurkan diri pada waktunya, cuci tangan saja daripada adu nyawa dengan senjata, cara demikian boleh dikata cukup cerdik. Cuma Lau-samya sendiri toh bukan Piausu, pula tidak menjadi bandit. Sudah tentu lain soalnya." Hati Peng-ci tergetar mendengar ucapan orang itu. Pikirnya, "Apa yang dia maksudkan ialah kakek-besarku? Jika kakek-besarku tahu batas dan mencuci tangan pada waktunya yang tepat, lantas bagaimana jadinya?" Pada saat itu, sekonyong-konyong seorang laki-laki setengah umur di meja pojok kiri sana telah berkata, "Beberapa hari yang lalu di Bu-han aku telah mendengar cerita dari kawan Bu-lim, katanya sebabnya Lausamya mencuci tangan dan mengundurkan diri dari Bu-lim sesungguhnya mempunyai alasannya sendiri yang sukar diterangkan." "Bagaimana cerita kawan-kawan Bu-lim di sana? Apakah sobat ini dapat memberi penjelasan?" si mata satu bertanya sambil menoleh. "Ah, penyakit kebanyakan datang dari mulut, urusan begini hanya boleh dibicarakan di kota Bu-han, berada di kota Heng-san sini tidak boleh lagi sembarangan diceritakan," sahut orang itu dengan tertawa. Mendadak seorang pendek gemuk dengan suara kasar lantas menanggapi, "Ala, tidak kau katakan juga banyak orang sudah tahu. Kabarnya karena ilmu silat Lau-samya terlalu tinggi, orangnya suka bersahabat, makanya terpaksa Kim-bun-swe-jiu. Mungkin orang lain akan merasa heran, akan tetapi bagi yang tahu latar belakangnya tentu tidak perlu heran lagi." Karena suaranya sangat keras, maka pandangan semua orang sama dipusatkan ke arahnya. Beberapa orang di antaranya lantas tanya, "Mengapa ilmu silatnya tinggi dan orangnya suka bersahabat berbalik mesti cuci tangan dan mengundurkan diri dari Bu-lim?

Bukankah ini terlalu aneh? Apa sih latar belakangnya?" Akan tetapi si pendek gemuk hanya tersenyum saja tanpa menjawab. "Ah, buat apa kalian tanya padanya?" tiba-tiba seorang kurus di meja sebelah menyela dengan nada mengejek. "Padahal dia sendiri pun tidak tahu, dia hanya omong kosong saja." Rupanya si pendek gemuk tidak tahan olok-olok itu, teriaknya kasar, "Siapa bilang aku tidak tahu? Sebabnya Lau-samya mengundurkan diri adalah demi kebaikan orang banyak agar tidak terjadi pertengkaran di dalam Heng-san-pay sendiri." "Pertengkaran apa?" "Masakan di antara saudara seperguruan Heng-san-pay mereka juga terjadi percekcokan?" demikian beramairamai orang banyak menegas. Si pendek gemuk sengaja jual mahal, ia melirik hina kepada si kurus tadi. Kemudian menjawab, "Meski orang luar mengatakan Lau-samya adalah jago nomor dua dari Heng-san-pay, tapi setiap orang Heng-san-pay sendiri cukup tahu bahwa ke-36 jurus 'Hwe-hong-lok-gan-kiam' (ilmu pedang angin puyuh menjatuhkan belibis) Lausamya sebenarnya sudah jauh lebih tinggi daripada Ciangbunjin mereka, yaitu Bok-taysiansing. Bahwasanya sekali tusuk pedang Bok-taysiansing dapat menjatuhkan 3 ekor belibis, tapi pedang Lau-samya sekali tusuk dapat menjatuhkan 5 ekor. Malahan anak murid Lau-samya rata-rata juga lebih pandai daripada murid Boktaysiansing. Keadaan sekarang saja sudah begitu, lewat beberapa tahun lagi pengaruh Bok-taysiansing tentu akan kalah besar daripada Lau-samya. Konon kedua pihak diam-diam sudah pernah bentrok. Harta milik keluarga Lau cukup besar, Lau-samya tidak sudi berebut nama kosong dengan Suheng sendiri, makanya lebih suka 'cuci tangan' saja untuk menikmati hari tua di rumah sendiri." "O, kiranya demikian. Sungguh bijaksana sekali Lau-samya itu," ujar beberapa orang peminum teh.

Lantas ada pula yang berkata, "Ya, tindakan ini terang salahnya Bok-taysiansing, setelah Lau-samya mengundurkan diri, bukankah berarti melemahkan kekuatan Heng-san-pay sendiri?" "Segala urusan di dunia ini mana ada yang sempurna, asalkan kedudukanku sebagai Ciangbunjin aman tenteram, peduli apa dengan lemah atau kuat golongannya sendiri?" jengek laki-laki setengah umur berbaju sutera tadi. Dalam pada itu si pendek gemuk telah menghabiskan tehnya, lalu ketok-ketok poci di atas meja sambil berseru, "Tambah air lagi! Lekas!" Lalu ia menyambung uraiannya, "Maka dari itu, peristiwa ini terang adalah urusan penting Heng-san-pay sendiri, dari golongan lain sudah banyak yang datang buat mengucapkan selamat, sebaliknya orang Heng-sanpay sendiri ...." Baru sampai di sini, tiba-tiba di ambang pintu bergemalah suara orang bernyanyi dalam lakon drama opera diiringi suara rebab yang digesek dengan nada yang panjang. Lagunya sedih mengharukan. Waktu semua orang berpaling, tertampaklah di samping meja tempel panjang dekat pintu itu berduduk seorang tua tinggi kurus, mukanya cekung, berbaju hijau panjang yang sudah luntur, jelas seorang tua miskin tukang minta-minta. "Hus, membisingkan telinga seperti jeritan setan. Mengganggu orang bicara saja!" bentak si pendek gemuk. Seketika orang tua itu merendahkan suara rebabnya, tapi masih bernyanyi-nyanyi kecil meneruskan lagu dramanya yang mengharukan itu. "Sobat, tadi kau bilang orang-orang Heng-san-pay bagaimana?" demikian seorang lantas bertanya kepada si pendek gemuk. "Kumaksudkan selain anak murid Lau-samya sendiri yang sibuk menerima tamu, apakah kalian ada melihat anak murid Heng-san-pay yang lain di kota ini?" jawab si buntak.

Untuk sejenak semua orang saling pandang-memandang lalu berkata, "Ya, memang, seorang pun tidak tampak." "Maka dari itu, kubilang kalian ini janganlah takut, biarpun kita membicarakan urusan Heng-san-pay toh takkan didengar oleh mereka," sela laki-laki setengah umur berbaju sutera tadi. Pada saat itulah mendadak suara rebab si orang tua tadi digesek keras sehingga nadanya meninggi, lalu orang tua itu pun menyanyi dengan lebih lantang. "Ah, hanya mengacau saja! Ini, ambillah!" bentak si orang muda sambil mengayun sebelah tangannya. "Plok", serenceng uang tembaga tepat jatuh di atas meja di depan si orang tua. Sambil mengucapkan terima kasih orang tua itu memasukkan uang tembaga itu ke dalam bajunya, tapi ternyata tidak berlalu dari situ. Dalam pada itu si pendek gemuk telah memuji, "Wah, kiranya saudara muda ini adalah ahli senjata rahasia, timpukanmu barusan ini boleh juga!" Si orang muda tertawa senang, sahutnya, "Ah, permainan kecil saja! Eh, menurut uraian Toako tadi, jadi Boktaysiansing juga takkan datang ke Heng-san sini?" "Mana dia mau datang kemari?" sahut si buntak. "Bok-taysiansing dan Lau-samya boleh dikata sudah mirip api dan air, bila bertemu tentu akan main senjata. Jika sekarang Lau-samya mau mengalah padanya, sepantasnya dia harus merasa puas." Tiba-tiba si orang tua tadi bangkit, perlahan-lahan ia mendekati si pendek gemuk dan memandangnya dari sisi kanan dan sisi kiri. "Kurang ajar! Kau mau apa, tua bangka?" bentak si buntak dengan gusar. "Kau ngaco-belo!" sahut si orang tua sambil geleng-geleng kepala. Lalu putar tubuh hendak menyingkir. Si buntak menjadi murka, segera punggung orang tua itu hendak dicengkeramnya. Tapi mendadak matanya menjadi silau, sinar hijau berkelebat, sebatang pedang tipis telah menyambar ke permukaan meja, berbareng terdengarlah suara "tring-tring" beberapa kali.

Dengan kaget si buntak lantas melompat mundur, khawatir kalau-kalau pedang orang bersarang di tubuhnya. Tapi lantas tertampak orang tua itu sudah memasukkan kembali pedangnya ke dalam rebabnya sehingga lenyap seluruhnya. Kiranya pedang orang tua itu tersimpan di dalam rebab, batang pedang menembus melalui badan rebab sehingga dilihat dari luar siapa pun tidak tahu bahwa di dalam rebab yang sudah tua itu tersembunyi senjata yang lihai. Lalu si orang tua menggeleng kepala dan berkata pula, "Kau ngaco-belo belaka!" Habis itu perlahan-lahan ia lantas tinggalkan rumah minum diiringi pandangan semua orang sampai bayangannya menghilang di tengah hujan. Menyusul suara rebab yang sedih merawankan hati sayup-sayup terdengar lagi dari jauh. "Hahh! Lihatlah kalian!" demikian mendadak ada orang berseru kaget. Waktu semua orang memandang ke arah yang ditunjuk, kiranya tujuh buah cangkir teh yang terletak di atas meja si pendek gemuk tadi, setiap cangkir itu sudah tertebas putus setinggi dua senti. Tujuh buah cincin porselen jatuh di samping cangkir, tapi cangkir teh itu sebuah pun tidak jatuh atau pecah.

Bab 7. Lebih Baik Mengemis daripada Mencuri - Hina Kelana

Tapi diam-diam Pui Jin-ti berpikir, "Urusan ini benar-benar rada ganjil, rasanya perempuan ini tidak bakal menyuruh bocah she Lim ini minum racun kecuali kalau dia benar-benar gentar kepada Siong-hong-koan kami?" Mendadak pikirannya tergerak dan paham duduknya perkara, ia bergelak tertawa dan berkata, "Hahaha, ucapan nona ini seakan-akan menganggap kami berdua ini sebagai anak kecil umur tiga saja! Ketiga cawan itu hakikatnya berisi darah babi, darah anjing, masakan kau katakan arak Ho-ting-ang campur warangan apa segala? Kami cuma merasa muak untuk minum darah babi dan anjing yang kotor demikian itu, kalau benarbenar arak berbisa, jangankan cuma tiga cawan, biarpun 30 cawan juga akan kami minum dan kami tentu mempunyai obat penawar racunnya. Coba lihat, sesudah minum, anak jadah she Lim itu masih tetap segar bugar, apakah benar arakmu itu beracun? Huh, apakah nona kira kami begini gampang untuk dibohongi?" Waktu Jin-ho memandang Peng-ci, muka pemuda itu tampak sebentar merah sebentar pucat dan tiada sesuatu yang luar biasa. Seketika ia pun sadar, pikirnya, "Kiranya arak itu tidak berbisa, hampir-hampir saja aku tertipu.

Untung Pui-suko cukup cerdik, tidaklah percuma namanya pakai 'Ti' (cerdik)." Dalam pada itu si nona telah menjawab dengan tersenyum. "Jadi kalau arak ini benar-benar arak beracun, maka 30 cawan sekalipun akan kau minum juga?" "Anak murid Jing-sia-pay kami biasanya sih tidak begitu gentar terhadap obat beracun atau benda berbisa," sahut Jin-ti. Tadi mereka telah memperlihatkan rasa takut mati ketika tidak berani minum arak suguhan si nona yang dikatakan berbisa, maka sekarang mulut Jin-ti sedapat mungkin tidak mau kalah. Si nona tidak bicara lagi, segera ia angkat sebuah poci teh yang berada di atas meja, ia tuang tiga cawan teh ke dalam cawan-cawan arak yang sudah kosong itu, lalu mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dari bajunya, dari botol kecil itu dituangkan sedikit bubuk warna hijau ke dalam cawan-cawan teh. Begitu sumbat botol dibuka, bubuk warna hijau itu lantas mengeluarkan semacam bau yang sangat menusuk hidung, kontan Peng-ci bersin beberapa kali.

Setelah mencair ke dalam air teh, seketika air teh yang tadinya warna kuning kecokelat-cokelatan itu lantas berubah menjadi hijau gelap, sampai-sampai air muka si nona yang kuning benjol-benjol itu pun kehijau hijauan tersorot oleh bayangan air teh itu. Walaupun ketiga cawan itu hanya berisi sedikit air hijau, tapi di tengah warna hijau kental itu lapat-lapat kelihatan berminyak yang mengeluarkan pancawarna mirip upas ular berbisa dan liur kelabang, kelihatannya menjadi sangat seram, berbareng bau amis yang memuakkan lantas timbul juga dari cawan. Tanpa merasa Pui Jin-ti dan Uh Jin-ho sampai melangkah mundur dua tindak. Dengan tersenyum si nona berkata pula, "Ketiga cawan arak berbisa ini memang lebih lihai daripada tadi, kalian jadi minum atau tidak?" Dari bau dan warnanya Jin-ti tahu ketiga cawan air hijau itu hakikatnya bukan lagi arak, tapi adalah campuran obat racun dengan air teh, jangankan diminum, melulu baunya saja sudah dapat membikin orang kelengar. Maka jawabnya, "Meski kami mempunyai obat mujarab penawar racun, tapi biasanya baru kami gunakan bila tergigit ular atau kelabang dan makhluk-makhluk berbisa lain, atau bila kena diracuni oleh kaum bangsat keroco kalangan Hek-to.

Tapi nona adalah murid Hoa-san-pay yang terhormat, masakah kami berani sembarangan mencari perkara?" Ucapannya itu seakan-akan hendak mengatakan bila kau berkeras memaksa kami minum arak berbisa itu, maka kau sendirilah yang akan merosotkan harga diri sebagai kaum bangsat keroco kalangan Hek-to. Si nona juga lantas berkata, "Lim-siaupiauthau ini telah membunuh Ih-tayhiap dari Jing-sia-pay kalian lantaran membela diriku, sekarang kalian hendak merecoki dia, masakah aku boleh berpeluk tangan tanpa ikut campur? Namun Jing-sia-pay dan Hoa-san-pay kami biasanya mempunyai hubungan baik, agar persoalan ini tidak meretakkan persahabatan kedua belah pihak, rasanya kita harus cari suatu jalan tengah yang sempurna. Sekarang aku ingin memintakan kelonggaran pada kalian, apakah boleh?" Jin-ho dan Jin-ti menjadi serbasusah. Akhirnya Jin-ti menjawab, "Jika kami diharuskan mengampuni jiwa bocah she Lim ini, lalu cara bagaimana kami harus mempertanggungjawabkan urusan ini kepada Suhu?" "Baik, begini saja," kata si nona, "kita boleh silakan Lim-siaupiauthau menghabiskan isi tiga cawan arak ini agar dia mangkat dengan tubuh utuh. Dengan demikian sakit hati kalian akan terbalas, sebaliknya aku pun mendapat muka, ini namanya sama-sama baiknya."

Semula Peng-ci mengira si nona hendak membelanya dan suruh kedua orang itu jangan mengganggu dirinya, siapa tahu akhirnya tetap dirinya harus mati dengan minum racun. Ia lihat mereka bertiga bicara tentang hubungan baik antargolongan mereka, sudah tentu mereka tidak mau bertengkar hanya untuk membela seorang luar yang tidak penting bagi mereka. Apalagi seorang laki-laki sejati buat apa mesti minta seorang wanita memohonkan ampun kepada orang lain? Karena pikiran demikian, dengan bersitegang Peng-ci lantas berseru, "Orang she Lim mengaku sudah kalah, buat apa mesti diperdebatkan lagi. Kedua golongan kalian adalah sahabat baik, mana boleh bertengkar lantaran diriku?" Habis berkata ia terus angkat arak berbisa di atas meja dan sekali tenggak ia bersihkan isinya. Jin-ho sampai bersuara heran. Pikirnya, "Orang ini benar-benar seorang laki-laki yang tidak takut mati, sungguh hebat."

Dalam pada itu, susul-menyusul Peng-ci telah minum habis cawan kedua dan ketiga. Seketika ia merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang, bumi dan langit serasa terjungkir balik. Ia tak kuasa lagi dan jatuh terjungkal. Karena tidak berani menyalahi pihak Hoa-san-pay, pula jeri kepada ilmu silat si nona burik yang lihai itu, apalagi Peng-ci sudah minum racun, jiwanya hanya tergantung sesaat dua saat saja, Pui Jin-ti pikir kesempatan ini paling baik untuk mundur teratur. Maka ia lantas berkata kepada si nona sambil memberi hormat, "Demi kehormatan nona, betapa pun kami harus mengalah. Jika biang keladinya sudah binasa, maka biarkan dia mati dengan jenazah sempurna saja. Namun Lim Cin-lam dan istrinya tetap kami bawa pergi agar dapat dipertanggungjawabkan kepada Suhu." Si nona menghela napas, katanya, "Apa mau dikata lagi, aku hanya seorang wanita lemah, masakan aku mampu merintangi Pui-tayhiap dan Uh-tayhiap yang termasyhur dari Jing-sia-pay?" Segera Uh Jin-ho berjongkok untuk membuka Hiat-to di tubuh Cin-lam dan istrinya. Segera Cin-lam hendak mencaci maki, tapi belum lanjut ucapannya, secepat kilat Jin-ho menutuk pula "Koh-ceng-hiat" dan "Tay-cuhiat" di tubuh mereka. Dengan demikian mereka suami istri hanya bisa berjalan saja, tapi tubuh bagian atas tetap tak bisa berkutik.

Menyusul Jin-ho lantas lolos pedang sambil membentak, "Untuk selanjutnya jika kau tidak menurut perintah dalam perjalanan, segera sebelah lengan binimu akan kutebas kutung. Sebaliknya jika binimu yang membangkang, segera aku pun mengutungi sebelah lenganmu. Kalau kalian ingin tahu rasanya nanti, tentu kalian takkan kecewa. Nah, jalanlah lekas!" Perasaan Cin-lam dan istrinya seperti disayat-sayat demi tampak putra mereka menggeletak tak bergerak di atas tanah, terang pemuda itu sudah mati keracunan. Sekarang mendengar pula ancaman Uh Jin-ho yang keji itu, sungguh tidak kepalang rasa murkanya. Namun bila dirinya membangkang, tentu ancaman musuh itu akan dilaksanakan, kalau lengan sendiri yang ditebas sih tidak menjadi soal, celakanya justru lengan sang istri yang akan ditebas olehnya. Terpaksa dengan menahan rasa duka dan murka, mereka melangkah keluar warung nasi itu dengan agak sempoyongan. Sebelum melangkah keluar Ong-hujin masih menoleh memandang sekejap kepada si nona dengan sorot mata yang penuh kebencian. Tapi nona itu lantas berpaling ke arah lain dan pura-pura tidak tahu. Pui Jin-ti jalan paling belakang, ia coba memeriksa dahulu pernapasan Peng-ci dan terasa sangat lemah, hampir-hampir putus setiap saat. Khawatir kalau sebentar lagi bila dirinya sudah pergi lalu si nona akan menolong pemuda itu dengan obat penawar, maka sambil memaki, segera ia tendang sekali di bagian Pekhwe-hiat di ubun-ubun kepala Peng-ci. Keruan si nona terperanjat, cepat ia melompat maju untuk mencegahnya, akan tetapi sudah terlambat .... Setelah habiskan tiga cawan air berbisa, keadaan Peng-ci sudah dalam keadaan sadar tak sadar, remangremang dilihatnya ayah-bundanya telah digiring pergi, ia ingin berteriak, tapi tak bisa mengeluarkan suara. Pada saat itulah mendadak ubun-ubunnya kena ditendang dengan keras oleh Pui Jin-ti, seketika ia merasa batok kepalanya seperti pecah terbelah, lalu tidak ingat apa-apa lagi.

Entah sudah lewat berapa lama, perlahan-lahan ia siuman kembali seperti habis bermimpi buruk, ia merasa sekujur tubuhnya tertindih dan sukar bernapas, ia bermaksud meronta sekuatnya, tapi tak bisa berkutik pula. Ia coba membuka mata lebar-lebar, tapi keadaan gelap gulita, seluruh badannya sakit tak terkatakan. Ia menjadi takut. Pikirnya, "Celaka, tentu aku sudah mati, sekarang aku sudah menjadi setan dan bukan manusia lagi. Aku tentu berada di neraka dan bukan di dunia ramai." Selang agak lama, ia coba meronta-ronta lagi dan membuka mulut hendak berteriak, tiba-tiba mulutnya kemasukan tanah pasir yang menyesakkan napas. Ia terkejut, "Wah, aku benar-benar sudah dikubur." Sekuatnya ia coba menahan dengan kedua tangan, di luar dugaan kepalanya lantas menongol keluar dari dalam tanah. Sesudah merangkak keluar dan duduk di atas tanah, ia coba periksa sekitarnya. Kiranya dia masih tetap berada di samping warung nasi itu, sekelilingnya gelap gulita, nyata sudah jauh malam, yang terdengar hanya suara serangga yang sahut-menyahut di kejauhan. Pada saat itulah rembulan muda lapat-lapat baru saja menongol dari balik awan. Pohon bambu bergoyanggoyang tertiup angin laksana setan iblis hendak menerkam. Hati Peng-ci berdebar-debar, ubun-ubun kepala terasa sangat sakit pula seperti ditusuk-tusuk. Ia coba merangkak mendekati sebatang pohon, dengan berpegangan batang pohon itu, perlahan-lahan ia berdiri.

Baru sekarang ia melihat di sebelahnya memang terdapat sebuah liang, nyata tadi dirinya memang sudah terkubur di situ. "Sudah terang aku telah minum air racun nona itu, ubun-ubun kena ditendang pula, mengapa aku tidak jadi mati?" demikian pikirnya. "Siapakah yang mengubur aku di sini? Ya, tentulah si nona burik dari Hoa-san-pay" Dengan langkah sempoyongan ia masuk ke dalam warung nasi pula. Pikirnya, "Ayah dan ibu telah ditawan pergi oleh kedua penjahat dari Jing-sia-pay itu, tentu lebih banyak celaka daripada selamatnya, aku harus lekas-lekas menyusul untuk menolongnya. Meski aku bukan tandingan kedua musuh itu, tapi diam-diam aku dapat menyergap mereka dan mungkin berhasil. Bilamana gagal, toh ayah-ibu akan mati, buat apalagi aku hidup sendirian." Terpikir betapa pentingnya menolong ayah-bundanya, ia menjadi gelisah dan bersemangat pula. Ia pikir agar bisa mengelabui mata musuh, paling baik kalau dirinya menyamar saja. Karena tekadnya hendak menolong kedua orang tua, seketika rasa sakit ubun-ubun kepalanya menjadi terlupa. Soalnya sekarang adalah cara bagaimana dia harus menyamar? Ia coba menuju ke dapur. Dalam kegelapan ia meraba-raba, akhirnya dapat digerayanginya pisau ketikan api dan batunya. Segera ia mengetik api dan menyalakan pelita minyak. Dengan penerangan itu, ia masuk ke kamar tidur si pemilik warung dengan maksud mencari seperangkat pakaian.

Siapa tahu, dasar miskin, orang gunung lagi, kemiskinannya benar-benar luar biasa, sampai seperangkat pakaian pengganti saja tidak ada. Di dalam kamar memang ada beberapa potong baju dan celana yang penuh tambalan, tapi semuanya adalah pakaian wanita, rupanya milik istri tukang warung itu. Setelah merenung sejenak, akhirnya Peng-ci keluar lagi dengan membawa pelita minyak, dilihatnya jenazah suami istri pemilik warung itu masih menggeletak di situ. Mendadak angin dingin berkesiur, pelita minyak itu lantas padam. Berada di tengah-tengah mayat dalam keadaan gelap gulita, mau tak mau Peng-ci sampai mengirik, kaki pun terasa lemas. Dengan langkah setengah diseret Peng-ci kembali ke dapur untuk menyalakan pelita pula. Lalu mayat pemilik warung itu diseretnya ke sana untuk dilucuti pakaiannya. Coba kalau hari-hari biasa, jangankan memegang mayat, baru melihat saja tentu dia sudah menyingkir jauh-jauh. Tapi sekarang demi untuk menolong ayahbundanya, biarpun pekerjaan yang sukar bagaimanapun juga dilakukannya. Setelah menanggalkan pakaian orang mati, mendadak ia pencet hidungnya sendiri, baunya jangan ditanya lagi. Mestinya ia ingin mencuci bersih dahulu pakaian itu, tapi tentu akan makan tempo lama sehingga kehilangan kesempatan untuk menolong ayah-ibunya, bila demikian tentu dirinya akan menyesal untuk selama hidup. Dengan nekat ia lantas membuka bajunya sendiri hingga bersih, lalu memakai baju bekas orang mati dengan menahan napas karena baunya. Untunglah pakaian itu cukup pas baginya. Kemudian ia bungkus mayat telanjang bulat itu dengan pakaiannya sendiri tadi, bersama mayat wanita lantas dimasukkan ke dalam liang, lalu diuruknya dengan tanah. Pikirnya, "Belatiku sudah dibawa pergi nona itu, aku harus mencari suatu senjata lagi."

Ia coba memeriksa sekitarnya, tertampak pedangnya sendiri dan pedang ayahnya serta golok ibunya, semuanya sudah patah menjadi dua dan terlempar di atas tanah. Tanpa pikir ia jemput pedang patah ayahnya itu dan dibungkus dengan sepotong kain kotor, lalu diselipkannya di pinggang. Ketika melangkah keluar warung nasi itu, terasalah kesunyian yang demikian memilukan, hampir-hampir ia ingin menangis sekeras-kerasnya. Sekuatnya ia lemparkan pelita itu, "plung", pelita itu jatuh ke dalam kolam dan padam seketika, sekelilingnya kembali gelap gulita lagi. "Lim Peng-ci, wahai Lim Peng-ci! Jika kau kurang waspada dan tidak sabaran sehingga jatuh ke dalam cengkeraman bangsat-bangsat Jing-sia-pay lagi, maka nasibmu akan serupa dengan pelita yang kecemplung ke dalam kolam itu," demikian ia memperingatkan dirinya sendiri.

Tanpa merasa ia angkat lengan baju untuk mengucek-ngucek mata, tapi mendadak ia menyengir dan hampirhampir muntah-muntah, kiranya terciumlah bau lengan baju yang bacin itu. "Wahai Lim Peng-ci, jika cuma bau busuk begini saja kau tidak tahan, percumalah kau menjadi manusia, apa lagi hendak menolong ayah-ibumu?" demikian ia berteriak sendiri. Segera ia angkat kaki menuju ke depan. Tidak berapa jauhnya, ubun-ubun kepalanya terasa kesakitan lagi. Ia mengertak gigi dan bertahan sekuatnya sehingga jalannya menjadi tambah cepat malah. Ia terus berjalan tanpa kenal arah di lingkungan jalan pegunungan yang naik turun itu. Sampai fajar menyingsing, tiba-tiba matanya menjadi silau oleh cahaya sang surya yang memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang. Seketika hati Peng-ci terkesiap. "Kedua bangsat itu hendak menggiring ayah-ibuku ke Jingsia-san yang terletak di Sucwan. Padahal Sucwan terletak di daerah barat, mengapa aku malah menuju ke arah timur?" Maka cepat ia putar tubuh dan ganti haluan dengan berjalan membelakangi sinar matahari. Pikirnya, "Ayah-ibu sudah digiring pergi setengah malaman, aku telah berjalan salah arah pula, jarak dengan mereka menjadi semakin jauh. Aku harus membeli seekor kuda saja, entah berapa harganya?" Tapi ia lantas mengeluh ketika merogoh saku. Kiranya keberangkatannya kali ini seluruh barang bekalnya tertaruh di kantong kulit yang digantungkan di samping pelana kuda. Maka keadaannya sekarang benar-benar bokek, tidak punya barang sepeser pun. Ini namanya sudah sial tertimpa malang lagi, "Wah, bagaimana ini, bagaimana baiknya ini?" demikian ia menjadi bingung. Setelah termangu-mangu sejenak, akhirnya ia pikir paling penting harus menolong ayah bundanya dahulu, masakah dirinya khawatir mati kelaparan?

Maka dengan langkah lebar segera ia meneruskan perjalanan ke depan dan menuruni bukit. Menjelang tengah hari, saking laparnya perutnya mulai berkeruyukan. Tiba-tiba terlihat di tepi jalan ada belasan pohon lengkeng dengan buahnya yang besar, walaupun belum masak, tapi sudah cukup sekadar buat tangsel perut. Segera ia menuju ke bawah pohon, tangan terangkat ke atas hendak memetik buah lengkeng itu. Tapi baru saja jarinya menyentuh buah yang bundar-bundar itu, sekilas teringat olehnya, "Hok-wi-piaukiok kami adalah keluarga yang terhormat, buah lengkeng ini ada yang punya, jika aku mengambilnya tanpa permisi, ini berarti aku telah mencuri. Turun-temurun keluarga Lim melakukan pekerjaan mengawal dan menjaga harta benda milik orang, selama itu selalu menjadi lawan kaum penjahat, sekarang aku sendiri mana boleh melakukan perbuatan mencuri? Jika perbuatanku kepergok orang, lalu aku dimaki sebagai pencuri di depan ayah, lantas ke mana ayah akan menyembunyikan mukanya? Hok-wi-piaukiok tidak sukar untuk dibangun kembali, tapi sekali anggota keluarga Lim menjadi pencuri, maka merek Hok-wi-piaukiok pasti susah dipasang lagi." Sejak kecil Peng-ci telah mendapat didikan dan petuah-petuah, ia tahu kawanan perampok asalnya adalah pencuri kecil, pencuri itu mula-mula cuma menggerayangi benda-benda kecil yang tak begitu berharga, akan tetapi dari sedikit kemudian menjadi banyak, dari kecil kemudian menjadi besar dan akhirnya lantas menjadi biasa.

Kalau kaki sudah kejeblos ke dalam lumpur, maka sukarlah ditarik keluar. Teringat demikian, tanpa merasa keluarlah keringat dinginnya. Segera ia menetapkan tekad, "Pada suatu hari akhirnya aku dan ayah pasti akan menegakkan kembali nama baik Hok-wi-piaukiok. Seorang laki-laki sejati harus berpijak pada tempat yang betul, aku lebih baik menjadi pengemis daripada menjadi pencuri." Begitulah ia segera meneruskan perjalanan dengan langkah lebar dan tidak mau mengincar sekejap pun pada buah lengkeng di tepi jalan itu. Setelah beberapa li lagi, sampailah dia di suatu desa kecil. Ia coba mendatangi rumah seorang petani, dengan rasa kikuk ia ingin minta sedikit makanan. Padahal selama hidupnya dia sudah biasa dilayani, segala apa serbakecukupan, belum pernah dia minta-minta kepada orang lain. Sebab itulah baru saja bicara beberapa kata, belum-belum mukanya sudah merah jengah. Dasar perempuan desa itu baru saja bertengkar dengan suaminya, habis dihajar oleh suaminya, memangnya rasa dongkolnya belum terlampiaskan, sekarang datang Lim Peng-ci hendak mengemis, kontan saja ia menyambutnya dengan dampratan habis-habisan, dia sambar sebatang sapu dan membentak, "Kau maling kecil ini, tentu kau yang telah mencuri ayamku yang baru saja hilang itu, sekarang kau datang hendak menggerayangi lagi. Biarpun aku ada nasi sisa juga tidak memberi sedekah kepada maling kecil seperti kau. Kau mencuri ayamku, akibatnya lakiku keparat itu marah-marah dan menggebuki aku sampai babak belur dan matang biru sekujur badanku ...." Setiap kali perempuan desa itu memaki satu kalimat, kakinya juga lantas mendesak maju, sebaliknya Peng-ci lantas mundur satu langkah.

Semakin memaki perempuan itu semakin bersemangat, sampai akhirnya mendadak dia mengangkat sapu terus hantam ke muka Peng-ci. Peng-ci menjadi gusar, sambil mengegos sebelah tangannya lantas balas memukul. Tapi mendadak terpikir olehnya, "Aku mengemis dan tidak diberi, sebaliknya aku lantas menyerang perempuan desa yang bodoh ini, bukankah terlalu menertawakan?" Karena itu, sekuatnya ia lantas menarik kembali pukulannya itu. Tak tersangka dia terlalu nafsu mengeluarkan tenaga, untuk menarik kembali tangannya menjadi rada kagok, apalagi kepalanya masih cekot-cekot, gerak-geriknya kurang gesit, sedikit terhuyung, sekonyong-konyong sebelah kakinya menginjak di atas setumpuk tahi kerbau dan terpeleset, "syurrr ... bluk", ia jatuh terjengkang. Sudah begitu sapu si perempuan desa tidak urung sempat mampir juga di atas mukanya. Melihat kelakuan Peng-ci yang lucu itu, perempuan desa itu mengakak geli. Dampratnya pula, "Maling busuk, berdiri saja tidak kuat, ingin memukul nyonya besarmu. Huh!" Habis itu kembali ia angkat sapu terus memukul lagi dan mengusruk-usrukkan ujung sapu itu di muka Peng-ci. Ia tambahi lagi dengan meludahi pemuda itu, kemudian barulah dia balik ke dalam rumah. Alangkah gusar dan penasaran Peng-ci mengalami hinaan demikian, ditambah lagi ruas tulang seluruh tubuhnya sakit tidak kepalang. Maklumlah bagian "Pek-hwe-hiat" di ubun-ubun kepalanya ditendang oleh Pui Jin-ti, kalau tidak mati saja sudah mujur baginya, ditambah lagi entah berapa lamanya dia dikubur hidup-hidup di dalam liang, memangnya keadaannya sudah sekarat, sebabnya dia dapat merangkak keluar liang kubur hanyalah berkat tekad baktinya yang ingin menolong ayah-ibunya.

Sekarang dia terbanting jatuh lagi, maka terasalah badannya yang payah itu dan sukar merangkak bangun lagi. Beberapa kali ia bermaksud merangkak bangun, tapi saking laparnya tenaga pun tak ada, setiap kali baru saja setengah tubuh terangkat, segera jatuh lagi sehingga muka dan tangan berlumuran kotoran kerbau. Selagi Peng-ci berkutetan hendak bangkit, tahu-tahu si perempuan tani tadi telah keluar lagi dengan membawa empat batang jagung rebus yang masih panas, agaknya baru saja diambil dari dalam kuali. "Ini makanlah, setan!" omel perempuan tani itu dengan tertawa sambil menyerahkan jagung-jagung rebus ke dalam tangan Peng-ci. "Kau dikaruniai dengan muka yang tampan, bahkan lebih cantik daripada menantu perempuan orang. Tapi kau justru tidak berkelakuan baik, suka makan malas kerja. Huh, apa gunanya?!" Peng-ci menjadi gusar, segera ia hendak membanting jagung-jagung rebus yang diterimanya itu. Tapi si perempuan tani lantas berseru dengan tertawa, "Baik, boleh kau banting saja, lekas buang semua! Jika kau tidak takut mati kelaparan, hayolah lekas banting semua jagung itu, biar kau maling cilik ini mati kelaparan!" Diam-diam Peng-ci membatin, "Kalau tidak tahan soal kecil, tentu akan bikin runyam urusan besar. Asal aku dapat menyelamatkan ayah dan ibu serta membangun kembali Hok-wi-piaukiok, apa sih halangannya jika cuma dihina oleh seorang wanita desa saja?"

Karena itu ia lantas mengucapkan terima kasih, lalu jagung-jagung rebus itu digerogotinya. "Hm, aku sudah menduga kau takkan membuangnya," jengek perempuan tani itu dengan tertawa. Lalu ia putar balik ke dalam rumah pula sambil menggumam sendiri, "Setan cilik ini kelihatan sangat kelaparan, tampaknya ayamku itu bukan dicuri olehnya." Karena laparnya, dengan cepat sekali Peng-ci sudah menghabiskan empat batang jagung rebus itu, sebutir pun tidak ketinggalan dilalap olehnya. Maka terasalah sudah setengah kenyang, semangatnya lantas terbangkit. Segera ia merangkak bangun dan meneruskan perjalanan ke arah barat. Sepanjang jalan ia hidup dengan mengemis, terkadang juga menangsel perut dengan buah-buahan bilamana berada di tengah jalan pegunungan yang sunyi. Untunglah tahun ini provinsi Hokkian lagi makmur, panen berlimpah-limpah, rakyat ada kelebihan bahan makanan. Walaupun Peng-ci telah poles mukanya sehingga kotor, tapi tutur katanya cukup sopan dan menyenangkan orang, maka untuk mengemis makan saja tidak sampai mengalami kesukaran. Sepanjang jalan ia pun mencari berita tentang ayah-bundanya, tapi tiada mendapatkan sesuatu kabar apa-apa. Beberapa hari kemudian sampailah dia di wilayah provinsi Kangsay. Setelah tanya jelas arahnya, langsung Peng-ci menuju ke kota Lamjiang. Ia pikir di kota itu ada kantor cabang Hok-wi-piaukiok, di sana tentu akan bisa diperoleh berita tentang ayah-ibunya, paling tidak juga dapat mengambil sedikit uang bekal dan untuk membeli kuda. Siapa duga, setiba di kota Lamjiang, ketika dia tanya di mana letak Hok-wi-piaukiok, tiba-tiba orang yang ditanya menjawab, "Untuk apa kau tanya Hok-wi-piaukiok?

Perusahaan itu sudah terbakar habis menjadi runtuhan puing, bahkan tidak sedikit tetangga di kanan-kirinya juga ikut terbakar ludes." Diam-diam Peng-ci mengeluh. Ia coba mendatangi tempat kantor cabang itu. Benar juga puing memenuhi sepanjang jalan. Ia coba tanya anak di tepi jalan, kiranya kebakaran itu terjadi enam hari yang lalu. "Belasan orang Piaukiok ikut terbakar mati, baunya tidak keruan!" demikian anak kecil itu menambahkan. Dihitung dari harinya, Peng-ci menduga tentulah perbuatan Pui Jin-ti dan kawan-kawannya yang telah datang lebih dahulu dengan menunggang kuda. Ia tertegun sejenak, diam-diam ia bersumpah, "Kalau sakit hari ini tidak kubalas, percumalah aku menjadi manusia." Ia coba tanya kepada seorang tukang kereta tentang jalan menuju ke Sucwan. Kiranya kalau dari Kangsay hendak ke Sucwan dapat ditempuh dua jalan, melalui sungai Tiangkang atau dengan jalan darat yang lebih sukar ditempuh karena mesti banyak melintasi lereng bukit yang sunyi. Peng-ci pikir kalau menumpang kapal, pertama ia tidak punya bekal, pula sukar mencari jejak ayah-ibunya. Maka tanpa sangsi lagi, segera ia berjalan ke arah barat. Suatu hari, sampailah dia di kota Tiangsah, ibukota provinsi Oulam. Di kota ini pun terdapat kantor cabang Hok-wi-piaukiok, tapi ia menduga kantor cabang itu pun pasti sudah dibakar musuh. Tatkala itu hawa rada hangat, di undak-undakan batu di depan sebuah kelenteng di tepi jalan tertampak berduduk tiga orang pengemis dengan tubuh bagian atas telanjang, mereka sedang menjemur sambil membalik-balik baju mereka. Rupanya mereka sedang mencari kutu sambil terkadang-kadang memasukkan kutu yang diketemukan ke dalam mulut terus dikertak sehingga mengeluarkan suara. Dengan tersenyum yang dibuat-buat, Peng-ci mendekati mereka dan bertanya, "Numpang tanya kepada ketiga Toako, apakah kalian mengetahui bilakah Hok-wi-piaukiok di sini telah terbakar?" Rupanya ketiga pengemis itu tidak jelas terhadap logat bahasa Hokkian yang diucapkan Peng-ci itu, dengan mata melotot mereka menghardik, "Kau bilang apa?"

Terpaksa Peng-ci mengulangi lagi pertanyaannya. Maka seorang di antaranya yang lebih tua lantas berkata, "Jangan ngaco-belo segala! Jika didengar oleh tuan-tuan dari Piaukiok itu mustahil kau tidak diberi hajaran yang setimpal!" Sungguh girang Peng-ci tidak terhingga mendengar jawaban itu, cepat ia menjawab, "Ya, ya! Entah Piaukiok itu terletak di jalan mana?" "Itu bukan?" kata pengemis itu sambil menuding sebuah gedung yang terletak beberapa puluh meter dari situ. "Jika kau ingin minta sedekah, lebih baik ikut kami saja. Jika kau mengira akan mendapatkan apa-apa dari Piaukiok itu, hm, jangan-jangan pantatmu bisa pecah ditendang orang." Karena mendapat tahu cabang Piaukioknya tidak berhalangan, Peng-ci tidak mau gubris lagi kepada pengemispengemis itu. Segera ia berjalan ke tempat Piaukiok dengan langkah lebar. Sampai di depan kantor cabang itu, dilihatnya gedungnya walaupun tidak semegah kantor pusat di Hokciu, tapi juga cukup mentereng, kedua daun pintu besar dicat merah, kanan-kiri terdapat dua ekor singa-singaan batu yang angker. Ia coba melongok ke dalam, tapi tiada tertampak seorang pun. Ia menjadi ragu-ragu, kalau dirinya masuk begitu saja dalam keadaan tak ubahnya seperti pengemis, apakah takkan dipandang hina oleh para Piauthau di dalam kantor cabang itu? Ketika mendadak ia mendongak, tiba-tiba tertampak papan merek yang berhuruf emas itu tidak terpasang sebagaimana mestinya, papan merek yang bertuliskan "Hok-wi-piaukiok cabang Oulam" itu ternyata terbalik pasangnya.

Tentu saja ia heran, apakah para Piauthau di sini sedemikian sembrono sampai-sampai papan merek yang harus dijaga baik-baik itu terpasang terbalik? Waktu ia menoleh dan memerhatikan panji perusahaan yang terpancang di tiang bendera, seketika ia terkesiap. Ternyata tiang bendera sebelah kiri terpancang sepasang sepatu rusak, sedangkan tiang bendera sebelah kanan terpancang sehelai celana wanita yang robek dan melambai-lambai tertiup angin. Selagi bingung, tiba-tiba dari dalam Piaukiok berjalan keluar seorang dan membentak padanya, "Anak kurakura, kerja apa longak-longok di sini? Mau mencuri ya?" Mendengar logat orang sama dengan rombongan Ih Jin-gan, Keh Jin-tat dan lain-lain, terang adalah orang Sucwan, maka Peng-ci tidak berani bertingkah lagi di situ, segera ia hendak menyingkir. Tapi mendadak angin menyambar dari belakang, pantatnya telah didepak orang itu sehingga dia jatuh terjerembap.

Dengan murka segera Peng-ci bermaksud merangkak bangun untuk melabrak orang itu. Tapi lantas teringat olehnya, "Cabang Piaukiok di sini terang juga telah dikangkangi oleh orang Jing-sia-pay, aku masih harus mencari ayah dan ibu, mana boleh sembrono mengumbar nafsu marah?" Segera ia pura-pura tidak mahir ilmu silat dan meringis kesakitan, sampai lama sekali masih tidak sanggup berdiri. Untung ilmu silat orang itu pun tidak tinggi sehingga tidak tahu lagak Peng-ci yang pura-pura itu. Sebaliknya ia bergelak tertawa sambil memaki "anak kura-kura" pula lalu tinggal masuk ke dalam. Perlahan-lahan Peng-ci merangkak bangun, dengan jalan terpincang yang dibuat-buat ia menyingkir ke suatu gang kecil dan mengemis semangkuk nasi kepada seorang penduduk. Pikirnya, "Di sekelilingku sekarang banyak musuh, aku harus waspada dan hati-hati." Segera ia mencari sedikit debu hangus untuk mengusap mukanya sehingga kelihatan hitam kotor. Kemudian ia berbaring di pojok dinding rumah sana untuk mengaso. Akhirnya hari pun menjadi gelap. Ia ringkaskan pakaiannya, pedang patah yang terselip di dalam bajunya disiapkan di pinggang. Lalu ia putar ke pintu belakang cabang Piaukiok. Setelah tiada mendengar sesuatu suara apa-apa di balik dinding barulah dia melompat ke atas pagar tembok. Ternyata di dalamnya adalah sebuah kebun sayur. Dengan perlahan-lahan ia melompat turun, selangkah demi selangkah ia merayap maju menyisir tembok. Sebenarnya kantor cabang di kota Tiangsah itu adalah cabang yang terbesar, seluruh pegawainya meliputi 60- 70 orang. Tapi sekarang keadaan di dalam gedung itu ternyata gelap gulita, tidak ada sinar lampu, juga tidak ada suara orang. Dengan hati berdebur-debur Peng-ci merayap maju terus dengan sangat hati-hati agar tidak menerbitkan suara sedikit pun. Setelah melintasi pekarangan dalam, tertampaklah jendela di kamar serambi timur sana ada sinar lampu, sayup-sayup terdengar ada suara orang pula.

Dengan nekat Peng-ci mendekati jendela itu dengan berjinjit-jinjit dan menahan napas. Sesudah merunduk sampai di bawah jendela, dengan hati-hati ia meringkuk di situ untuk mendengarkan. Baru saja ia duduk di kaki dinding di bawah jendela itu, segera terdengar suara seorang sedang berkata, "Besok pagi-pagi kita lantas membakar habis Piaukiok kura-kura ini, supaya tidak mencolok mata saja." Tapi seorang lagi lantas menjawab, "Jangan! Sekali ini kita tak boleh bakar lagi. Piaukiok kura-kura di Lamjiang itu telah kita bakar sehingga merembet pada belasan rumah tetangga di sekitarnya, kejadian demikian akan kurang menguntungkan nama baik Jing-sia-pay kita." Maka jelaslah bagi Peng-ci bahwa terbakarnya kantor cabang di Lamjiang itu memang sengaja dilakukan oleh orang Jing-sia-pay, tapi sekarang mereka masih berpikir tentang nama baik apa segala. Dalam pada itu terdengar orang pertama tadi telah berkata pula, "Tidak dibakar, apakah dibiarkan begini saja?" "Sifatmu yang keras ini rupanya tidak bisa berubah, Kiat-sute," ujar kawannya dengan tertawa. "Kita telah jungkir balikkan papan Piaukiok ini, telah menggantung celana wanita dan sepatu rusak di tiang benderanya, selanjutnya apakah nama Hok-wi-piaukiok mereka takkan runtuh habis-habisan di dunia Kangouw.

Kita biarkan celana robek itu tetap melambai-lambai di tiang benderanya, buat apa mesti membakar lagi?" "Betul juga, Sin-suko," kata si orang she Kiat dengan tertawa. "Hehe, celana wanita itu benar-benar membikin sial Hok-wi-piaukiok mereka, tanggung selama 300 tahun mereka akan selalu celaka." Maka tertawalah kedua orang itu dengan terbahak-bahak. Lalu si orang she Kiat berkata pula, "Besok kita akan pergi ke Heng-san untuk mengucapkan selamat kepada Lau Cing-hong, sebaiknya kita membawakan hadiah apa untuknya? Berita ini kita terima secara tiba-tiba sehingga tidak keburu melapor kepada Suhu, jika kado kita ini kurang bernilai tentu akan merendahkan derajat Jing-sia-pay kita." "Kado ini siang-siang sudah kusediakan," kata orang she Sin dengan tertawa, "untuk ini harap kau jangan khawatir, tanggung takkan membikin malu Jing-sia-pay kita. Boleh jadi dalam perjamuan merayakan 'cuci tangan' Lau Cing-hong nanti, yang akan paling menonjol mungkin adalah hadiah kita ini." "He, kado berharga apakah itu? Mengapa sedikit pun aku tidak tahu?" seru si orang she Kiat dengan senang. "Ya, Sin-suko memang banyak akal, mungkin Pui-suheng yang terkenal cerdik pandai itu pun tidak dapat membandingi kau." Si orang she Sin tertawa gembira. Katanya, "Hadiah ini sebenarnya juga cuma meminjam milik orang lain saja. Coba kau lihat, apakah barang ini cukup mentereng atau tidak?"

Lalu terdengarlah suara keresek-keresek, suara orang membuka bungkusan apa-apa. Kemudian terdengar orang she Kiat sampai berseru kaget, katanya, "Wah, hebat, hebat sekali. Sungguh mahasakti kepandaian Sinsuko, dari manakah kau mendapatkan benda-benda berharga seperti ini?" Mestinya Peng-ci ingin mengintip melalui celah-celah jendela untuk mengetahui benda apa yang diributkan itu, tapi khawatir perbuatannya itu diketahui orang, terpaksa ia mengekang maksudnya itu. Maka terdengar si orang she Sin telah menjawab, "Memangnya apakah usaha sia-sia saja kita merebut Hok-wipiaukiok ini? Sepasang kuda kemala dan sepasang merak zamrud ini mestinya hendak kubawa pulang untuk dipersembahkan kepada Suhu, tapi sekarang agaknya si tua Lau Cing-hong yang akan terima benda-benda ini." Kembali hati Peng-ci merasa gemas, pikirnya, "Kiranya dia telah merampok benda mestika Piaukiok kami, sebaliknya digunakan untuk mengambil hati orang lain, perbuatan mereka ini bukankah tiada ubahnya seperti bandit kalangan Lok-lim? Ya, kantor cabang Tiangsah sini memangnya tersimpan tidak sedikit harta benda yang merupakan barang langganan yang harus dikawal. Sepasang kuda kemala dan merak zamrud itu tentu tidak terhingga nilainya, jika sampai hilang tentu ayah yang harus ganti kerugian ini." Dalam pada itu terdengar si orang she Kiat lagi berkata, "Sin-suko, hubungan Lau Cing-hong dengan Suhu agaknya tidak terlalu akrab, kukira hadiah kita ini cukup satu macam saja, sisanya lebih baik kita persembahkan kepada Suhu."

Bab 6. Si Budak Bermuka Jelek dari Hoa-san-pay - Hina Kelana

Diam-diam Cin-lam membatin, "Kabarnya Siong-hong-kiam-hoat (ilmu pedang angin meniup pohon Siong) Jing-sia-pay mereka mengutamakan gesit dan enteng sebagai angin serta ulet sebagai pohon Siong. Untuk bisa menang harapanku hanya mencari kesempatan untuk mendahului saja." Karena itu tanpa sungkan-sungkan lagi pedangnya lantas bergerak, kontan ia menebas dari samping dalam jurus "Kun-sia-pi-ih" (kawanan iblis terkocar-kacir) dari Pi-sia-kiam-hoat (ilmu pedang penghalau iblis). Melihat sergapan Cin-lam yang cukup dahsyat itu, Jin-ho juga tidak berani menangkisnya secara keras lawan keras, cepat ia mengegos untuk menghindarkan diri. Namun sebelum serangan pertama itu mencapai titik sasarannya, dengan cepat Cin-lam sudah lantas tarik kembali pedangnya dan segera melancarkan jurus kedua "Ciong-Siu-kiap-bok" (Ciong Siu mencolok mata), ujung pedangnya terus menusuk kedua mata lawan.

Tatkala itu sinar sang surya lagi menembus melalui celah-celah hutan bambu, walaupun tidak terlalu terang, namun menyilaukan juga ketika memantul di atas pedang yang gemerlapan itu. "Celaka," diam-diam Jin-ho mengeluh, cepat ia melompat mundur. Syukurlah ia dapat lolos dari serangan keji itu namun tidak urung hatinya memukul keras. Dalam pada itu, serangan Cin-lam yang lain sudah menyusul tiba pula. Terpaksa Jin-ho menangkis. "Trang", tangan kedua orang sama-sama tergetar. Diam-diam Cin-lam bergirang malah, pikirnya, "Kukira ilmu silat Jingsia-pay betapa hebatnya, tak tahunya juga cuma begini saja." Selama beberapa hari Hok-wi-piaukiok dirongrong oleh pihak lawan secara misterius sehingga timbul rasa jerinya, tapi sekarang setelah diketahui orang yang dibunuh oleh Peng-ci itu adalah putranya Ih Jong-hay, selain menghadapi musuh dengan mati-matian tiada jalan lain lagi, maka Cin-lam menjadi nekat, cara bertempurnya menjadi tidak sungkan-sungkan lagi, serangan-serangannya menjadi lebih hebat. Sebaliknya Uh Jin-ho berpikir, "Tenaga tua bangka ini ternyata boleh juga."

Padahal setelah Peng-ci didepak terjungkal dengan mudah olehnya, ia sangka Lim Cin-lam paling-paling juga cuma jago silat gadungan saja, siapa tahu di antara ayah dan anak ternyata mempunyai perbedaan sedemikian jauh. Bahkan dalam hal pengalaman di medan pertempuran Cin-lam malah lebih luas daripada Jin-ho sendiri. Maka Jin-ho tidak berani ayal lagi, ia putar pedangnya dengan kencang. Mendadak ia menusuk ke depan, seketika bintang-bintang bertaburan, sekaligus ujung pedangnya telah menusuk tujuh tempat. Karena tidak tahu ke mana pedang lawan hendak menusuk, Cin-lam tidak berani sembarangan menangkis, terpaksa ia mundur satu tindak. Ketika Jin-ho hendak susulkan tusukan lain pula, di luar dugaan perubahan Lim Cin-lam juga amat cepat, hanya sedetik luang saja sudah digunakan dengan baik olehnya untuk balas menyerang. Begitulah yang satu lebih tua dan lebih ulet, yang lain lebih gesit dan lebih bagus gerak pedangnya. Kedua orang maju dan mundur dengan cepat, meski sudah berlangsung lebih 30 jurus tetap susah menentukan kalah atau menang.

Di sebelah lain, Ong-hujin yang harus menempur si orang berkepala kecil yang bernama Pui Jin-ti itu, berulangulang telah menghadapi serangan musuh yang berbahaya. Golok emas yang diputarnya itu beberapa kali terlilit oleh ruyung musuh dan hampir-hampir terbetot lepas dari cekalan. Melihat ibunya terdesak, cepat Peng-ci berlari masuk ke dalam warung nasi, ia angkat sebuah bangku panjang terus menerjang ke arah Pui Jin-ti, bangku panjang itu lantas disodokkan ke depan. "E-eh, Lim-siaupiauthau kenapa berkelahi secara ngawur begini?" demikian Jin-ti tertawa mengejek. Sekali ia sendal ruyungnya, sekonyong-konyong senjata itu memutar balik, "plak", segera pinggang Peng-ci tersabat satu kali. Keruan Peng-ci meringis kesakitan, hampir-hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak.

Tapi ia tahu bila dirinya roboh, pastilah mereka ibu dan anak akan mati konyol. Maka dengan mengertak gigi menahan rasa sakit, sekuatnya ia angkat bangku itu terus mengepruk ke atas kepala Pui Jin-ti. Ketika Jin-ti mengegos ke samping, seperti banteng ketaton segera Peng-ci menerjang maju lagi. Tapi sekonyong-konyong kakinya tersangkut entah tersandung apa, kontan ia jatuh tersungkur, berbareng itu terdengar suara seorang lagi berkata, "Rebahlah!" menyusul sebuah kaki telah menginjak di atas tubuhnya, berbareng ujung sebuah benda tajam juga terasa mengancam di punggungnya. Sudah tentu Peng-ci tak dapat melihat bagian belakang, yang tertampak hanya debu pasir di depan matanya, hanya terdengar jeritan sang ibu, "Jangan, jangan membunuh anakku!" Tapi lantas terdengar Pui Jin-ti membentak, "Kau juga merebah saja!" Kiranya pada saat Peng-ci hendak menerjang maju tadi, mendadak dari belakang ia dijegal oleh kaki seseorang sehingga Peng-ci jatuh tersungkur, menyusul orang itu lantas mencabut belati dan mengancam di punggung pemuda itu. Ong-hujin sendiri memangnya tak sanggup melawan Pui Jin-ti, melihat keselamatan putranya terancam, keruan ia tambah gugup dan bingung. Pada saat itulah Pui Jin-ti lantas mengayun ruyungnya sehingga sebelah kaki Ong-hujin terlilit, sekali tarik, kontan nyonya itu pun terseret roboh. Menyusul Jin-ti lantas memburu maju untuk menutuk Hiat-to ibu dan anak itu. Orang yang menjegal Peng-ci dari belakang itu kiranya adalah orang she Keh yang pernah bertempur melawan The dan Su-piauthau di warung arak di luar kota Hokciu tempo hari.

Nama lengkapnya adalah Keh Jin-tat. Bicara tentang ilmu silat, Keh Jin-tat ini memang terhitung nomor satu di antara murid-murid Jing-sia-pay, namun bukan nomor satu dari depan, tapi nomor satu dihitung dari belakang. Cuma sehari-hari Jin-tat selalu mendekati dan menjilat Ih Jin-gan, itu putra bungsu kesayangan Ih-koancu, mereka sama-sama makanminum, sama-sama berjudi dan cari cewek. Berkat bantuan Ih Jin-gan itulah maka Keh Jin-tat juga ikut-ikut datang ke Hokciu. Dia bersama Pui Jin-ti telah dapat merobohkan Peng-ci dan ibunya, Perlahan-lahan mereka lantas menggeser ke belakang Lim Cin-lam. Cin-lam menjadi gugup melihat istri dan putranya tertawan musuh, "sret-sret-sret", cepat ia menyerang beberapa kali. "Awas, Uh-sute, kura-kura ini hendak kabur!" seru Pui Jin-ti.

Sekarang Uh Jin-ho sudah mulai dapat meraba jalan ilmu pedang lawan, maka ia telah mainkan Siong-hongkiam-hoat dengan kencang, sinar pedang gemerlapan membungkus rapat di sekeliling Lim Cin-lam. Di kala menghadapi ilmu pedang lawan yang hebat itu, sekarang bertambah lagi dua orang lawan yang lain, untuk mundur terang tiada jalan lagi, terpaksa Cin-lam mengerahkan seluruh semangatnya untuk bertahan. Sekonyong-konyong pandangannya menjadi kabur, serentak seperti berpuluh pedang menyerang berbareng dari berbagai jurusan. Cin-lam terkejut dan cepat ia putar pedangnya untuk melindungi tubuhnya. "Kena!" mendadak terdengar Jin-ho membentak. Kontan lutut kanan Cin-lam terkena pedang, kakinya lemas dan sampai bertekuk lutut. Cepat ia melompat bangun pula, walaupun begitu, ujung pedang Uh Jin-ho tahutahu sudah mengancam di depan dadanya. "Uh-sute, sungguh suatu jurus 'Liu-sing-kan-goat' yang hebat!" memuji Keh Jin-tat. Biarpun jago kelas kambing dari Jing-sia-pay, namun terhadap jurus ilmu pedang golongannya sendiri ia masih dapat membedakannya. Cin-lam menghela napas, ia melemparkan pedang ke tanah, katanya, "Ya, apa mau dikata lagi. Harap bereskan kami secara cepat dan gampang saja!" Mendadak punggungnya terasa kesemutan, kiranya telah ditutuk oleh gagang kipasnya Pui Jin-ti. "Huh, secara gampangan bereskan kalian, masakah di dunia ini ada urusan begini enak? Kau harus ikut ke Jing-sia-san untuk menemui Suhuku!" jengek orang she Pui itu. Cin-lam pikir yang terbunuh adalah putra guru mereka, sudah tentu mereka ingin meringkus dirinya sekeluarga untuk dibawa ke Sucwan sebagai pertanggungjawaban kepada guru mereka.

Perjalanan sejauh ini juga ada baiknya, di tengah jalan boleh jadi ada kesempatan untuk meloloskan diri. Dalam pada itu Keh Jin-tat tidak membuang kesempatan untuk melampiaskan dendamnya, mendadak ia cengkeram punggung Peng-ci terus diangkat ke atas, "plak-plok", dua kali ia tempeleng pemuda itu sambil memaki, "Anak kelinci keparat, sejak hari ini aku akan hajar kau setiap hari sehingga sampai di Jing-sia-san, akan kubikin mukamu yang resik ini menjadi belang bonteng!" Peng-ci tahu sesudah jatuh dalam cengkeraman musuh, untuk selanjutnya pasti akan kenyang dihina dan disiksa. Sekarang dirinya tak bisa berkutik, dengan gusar ia terus meludahi musuh yang bermartabat rendah itu. Karena jarak dua orang sangat dekat, maka Keh Jin-tat tidak sempat mengelak, "plok", dengan tepat riak kental yang disemprotkan Peng-ci itu kena di batang hidungnya. Keruan Jin-tat menjadi murka, ia banting pemuda itu ke tanah dan segera sebelah kakinya hendak menendang. "Sudahlah, sudah cukup! Jika dia mati kau tendang, cara bagaimana kita harus bertanggung jawab kepada Suhu?" ujar Jin-ti dengan tertawa. "Bocah ini mirip seorang nona, mana dapat menahan pukulan dan tendanganmu?"

Sesungguhnya dendam Keh Jin-tat tak terkatakan. Maklumlah dia tidak punya kepandaian yang berarti, biasanya juga tidak disukai sang guru dan saudara-saudara seperguruan, di atas Jing-sia-san hanya Ih Jin-gan seorang yang menjadi sandaran satu-satunya. Sekarang sandaran satu-satunya itu telah "kuik" ditubles belati oleh Peng-ci, keruan bencinya kepada pemuda itu tidak alang kepalang. Tapi demi dicegah oleh Jin-ti, terpaksa ia urungkan maksudnya menghajar Peng-ci lebih jauh, hanya berulang-ulang ia meludahi pemuda itu untuk melampiaskan dendamnya. "Marilah kita makan dahulu barulah berangkat," ujar Pui Jin-ti. "Nah, Keh-sute harap kau capaikan diri untuk menanak nasi dan menyediakan daharan." Cepat Jin-tat mengiakan. Biasanya ia juga tunduk kepada Pui-suhengnya itu, apalagi sekarang Ih Jin-gan telah dibunuh orang dan hanya dia yang menyaksikan, kalau pulang mustahil gurunya takkan menghukumnya karena tidak melindungi sang Sute, bahkan menyelamatkan diri sendiri secara pengecut. Untuk ini beberapa kali dia telah mohon bantuan Uh Jin-ho dan Pui Jin-ti agar sepulangnya nanti sudi menutupi sedikit dosanya itu di hadapan sang guru. Sekarang Jin-ti hanya menyuruhnya menanak nasi dan menyediakan daharan, sekalipun dia disuruh mengerjakan sesuatu yang berpuluh kali lebih sulit juga pasti akan dilakukannya.

Begitulah, maka dengan cepat ia lantas pergi ke belakang untuk melaksanakan tugasnya. Jin-ho dan Jin-ti lantas menyeret Cin-lam bertiga ke dalam warung dan dilemparkan di pojok sana. Kata Uh Jinho, "Pui-suko, perjalanan pulang ke Jing-sia ini akan makan tempo cukup lama, kita harus waspada akan kemungkinan lolosnya mereka ini. Ilmu silat yang tua ini pun boleh juga, kau harus mencari suatu akal yang baik." "Apa susahnya?" ujar Jin-ti dengan tertawa. "Sehabis makan nanti kita putuskan saja urat tangan mereka, lalu gunakan ruyungku yang lemas untuk menembus tulang pundak mereka dan diikat menjadi satu seperti ikatan kepiting, tanggung mereka tidak mampu lolos lagi." Otak Cin-lam serasa menjadi kopyor mendengar itu, kalau urat tangan diputus dan tulang pundak ditembus, untuk seterusnya tentu akan menjadi cacat selamanya. Dalam keadaan demikian sekalipun berhasil meloloskan diri juga tiada gunanya lagi. Pikiran orang she Pui ini benar-benar teramat keji. Peng-ci lantas mencaci maki, "Bangsat keparat yang tidak tahu malu! Kalau berani lekas bunuh saja tuan besarmu ini, cara kalian itu tidak lebih adalah perbuatan bajingan yang rendah dan kotor." "Uh-sute," tiba-tiba Jin-ti berkata dengan tertawa, "kalau anak jadah ini memaki satu kali lagi segera aku akan mengambil sedikit kotoran kerbau dan anjing untuk menjejal mulutnya." Ancaman ini ternyata sangat manjur.

Seketika Peng-ci bungkam, tidak berani memaki lagi walaupun gusarnya tidak kepalang. Kemudian Pui Jin-ti masih terus membual dengan kata-kata yang lucu-lucu tapi menusuk. Jin-ho hanya mendengarkan saja dengan mengerut kening, terkadang ia pun mengiringi tersenyum. Namun yang terbayang dalam benaknya adalah jurus-jurus pertarungannya dengan Lim Cin-lam tadi. Tidak lama kemudian Keh Jin-tat keluar dengan membawa daharan. Katanya, "Tempat ini benar-benar terlalu miskin, seekor ayam saja tidak ada. Apakah kalian suka makan kalau kupotong sedikit daging paha anak jadah ini untuk digoreng." Jin-ti tahu Sutenya itu cuma bergurau saja, segera ia menanggapi, "Ya, bagus! Anak jadah ini putih lagi halus, dagingnya tentu lebih lezat daripada ayam goreng. Cuma sayang tidak ada arak ...." "Segala apa ada di sini! Tuan ingin apa, segera kubawakan!" demikian tiba-tiba dari belakang suara seorang wanita muda yang nyaring merdu menukas ucapan Pui Jin-ti itu. Keruan mereka terperanjat. Berbareng mereka memandang ke belakang, maka tampaklah keluar seorang nona baju hijau dengan membawa sebuah nampan kayu, di tengah nampan ada sebuah poci arak dengan tiga buah cawan. Meski nona ini menundukkan kepalanya, tapi masih tampak jelas kelihatan mukanya yang benjol-benjol bekas penyakit cacar. Jin-ti dan Jin-ho menjadi heran dari mana datangnya nona bermuka burik ini.

Sebaliknya Keh Jin-tat sangat terkejut, sebab ia kenal nona burik ini tak lain tak bukan adalah si gadis penjual arak di warung arak di luar kota Hokciu itu. Kematian Ih Jin-gan justru disebabkan dia menggoda nona ini, mengapa sekarang nona ini mendadak muncul lagi di warung yang terpencil ini? Saking kagetnya Jin-tat sampai melonjak bangun, serunya sambil menuding nona itu, "Meng ... mengapa kau pun ber ... berada di sini?" Nona itu tidak menjawab, kepalanya tetap menunduk, katanya dengan suara perlahan, "Inilah araknya, cuma tiada sayur apa-apa." Berbareng ia terus menaruh nampannya di atas meja. "Kau dengar tidak? Kutanya kau mengapa kau pun berada di sini?" demikian Jin-tat berteriak pula dan segera lengan si nona hendak dipegangnya. Tapi sedikit mengegos saja nona itu sudah mengelakkan cengkeraman Keh Jin-tat. Lalu katanya, "Ya, hidup kami ini adalah menjual arak. Di mana pun tuan-tuan ingin minum arak, di situlah kami akan berada untuk melayani."

Walaupun Keh Jin-tat termasuk kaum keroco, namun jelek-jelek adalah murid Jing-sia-pay. Si nona dapat mengelakkan cengkeramannya itu, teranglah juga mahir ilmu silat. Jin-ti memandang sekejap kepada Jin-ho, kemudian bertanya, "Bagus sekali! Lantas arak apakah yang nona jual ini?" "Arak Hong-ting-ang (merah jengger bangau) campur warangan, arak 'Chit-kang-liu-hiat-ciu' (tujuh lubang keluar darah)," sahut si nona itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan dan disodorkan ke depan Jin-ho bertiga. Warna arak itu memang merah seperti darah dan lain daripada yang lain. (Yang dimaksudkan tujuh lubang adalah mata, hidung, telinga dan mulut). Keh Jin-tat menjadi gusar, bentaknya, "Kurang ajar! Kiranya kau adalah begundal dan gendak anak kura-kura ini!" Berbareng sebelah tangannya terus menampar dari samping. Namun nona itu hanya mundur setindak saja sudah menghindarkan diri dari serangan lawan, Jin-tat merasa malu kepada kedua Suheng dan Sutenya itu, masakah terhadap seorang anak dara saja tidak mampu menang? Sambil menggerung kalap ia menubruk maju, sepuluh jarinya terus mencengkeram ke dada si nona. Serangan Keh Jin-tat ini benar-benar kotor dan tak bermoral. Sebagai anak murid golongan terhormat mestinya tidak pantas menyerang ala bajingan demikian. Tapi dasarnya dia memang bangor, si nona penjual arak itu tak dipandang sebelah mata pula olehnya, maka cara menyerangnya menjadi tidak sungkan-sungkan dan pakai aturan segala. Tentu saja nona itu menjadi gusar.

Sedikit mengegos ke samping, dengan cepat sekali tangan kirinya terus menolak ke punggung Jin-tat, ia pinjam daya tubrukan Jin-tat itu sekalian didorong ke depan sekuat-kuatnya. Tanpa ampun lagi tubuh Jin-tat lantas melayang ke depan sebagai terbang sambil berkaok-kaok, "bluk", kepalanya tertumbuk pada tiga batang bambu yang tumbuh di situ. Pada umumnya batang bambu memang sangat keras daya melentingnya, maka begitu melengkung tertumbuk oleh Jin-tat, kontan tubuh Jin-tat lantas terlempar kembali ke udara. Khawatir kalau terbanting dengan lebih keras dan kehilangan muka disaksikan orang banyak, lekas-lekas Jin-tat menggunakan gerakan "Le-hi-pakting" (ikan lele meletik) untuk membalik tubuh di atas dengan maksud menurunkan kakinya dahulu ke bawah. Tak terduga daya pegas batang bambu itu memang aneh dan susah diraba arahnya, masih mendingan kalau dia diam saja, tapi lantaran membalik tubuh di atas sebagai ikan meletik, maka tubuh Jin-tat berbalik terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas, terus menubruk ke atas tanah. "Prok", tanpa ampun lagi beberapa gigi Jin-tat rompal.

Lekas-lekas ia merangkak bangun, namun muka dan mulutnya sudah penuh berlumuran darah tercampur debu. Sambil mencaci maki secara kotor, dengan nekat Jin-tat lantas mencabut belati dan menubruk maju pula. Tapi kembali si nona mengegos, sebelah tangannya menolak dan mendorong pula, ia tetap menggunakan pinjam tenaga lawan untuk memukul lawan, sekali ini yang diincar adalah sebuah kolam di samping hutan bambu sana. "Plung", tanpa ampun lagi Jin-tat tercebur ke dalam kolam sehingga air muncrat ke mana-mana. Belati yang dipegangnya juga ikut mencelat dari cekalannya sehingga mengeluarkan sinar kuning kemilau di atas udara. Segera si nona meloncat ke sana, sekali sambar belati yang melayang-layang di udara itu kena dirampas olehnya. Belum kapok juga, Jin-tat masih terus mencaci maki. Tapi sekali mulutnya mengap, seketika air kolam masuk ke tenggorokannya seperti dicekoki, keruan ia gelagapan. Padahal air kolam itu biasanya oleh si pemilik warung itu digunakan untuk menyiram sayur dan tanamantanaman lain, air kolam itu sebagian besar adalah air kotoran dan kencing manusia. Keruan sekali ini Keh Jintat benar-benar "tahu rasanya".

Melihat Sute mereka dihajar orang, Pui Jin-ti dan Jin-ho hanya duduk tenang-tenang saja dan tidak menolongnya. Tunggu setelah si nona jalan kembali dengan belati rampasannya itu, barulah Jin-ti berkata dengan nada dingin, "Selamanya Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay kami tiada permusuhan apa-apa, orang tua dari kedua belah pihak selamanya juga bersahabat baik. Apakah nona tidak keterlaluan dengan menyuguhkan kami arak 'Chit-kang-liu-hiat-ciu' campuran dari Hong-ting-ang dan warangan ini?" Nona itu tampak melengak, tapi lantas mengikik tawa. Lalu jawabnya, "Tajam benar penglihatanmu, dari mana kau tahu aku berasal dari Hoa-san-pay?""Kedua gerakan 'Sun-cui-tui-ciu' (mendorong perahu menurut arus) yang digunakan nona barusan ini terang adalah ajaran asli Gak-tayciangbun dari Hoa-san-pay," kata Jin-ti. "Nama Hoa-san-pay cukup menggetarkan Kangouw, biarpun picik juga Cayhe masih sanggup membedakannya." "Kau tidak perlu menyanjung diriku," ujar si nona. "Aku pun tahu engkau adalah Pui-toaya, tokoh terkemuka Siong-hong-koan dari Jing-sia-pay dan ini adalah Uh-toaya, satu di antara empat murid utama yang terkenal sebagai "Eng Hiong Ho Kiat". Nah, silakan kalian mulai saja." "Ah, menghadapi nama Hoa-san-pay yang termasyhur betapa pun juga kami harus mengalah sejauh mungkin," sahut Jin-ti. "Tapi sedikitnya nama nona yang budiman juga perlu kami ketahui, kalau tidak, cara bagaimana kami harus menjawab jika kami ditanya oleh Suhu?" "Asalkan kau katakan 'si budak jelek dari Hoa-san-pay' saja sudah cukup, rasanya di dunia ini tiada orang kedua yang bermuka lebih buruk daripada diriku ini," sahut si nona dengan tertawa.

Dalam pada itu Keh Jin-tat sudah merangkak bangun dari dalam kolam yang berair kotor dan bau itu, ia masih terus mencaci maki sambil tiada hentinya muntah-muntah dan batuk-batuk. Tapi lantaran giginya sudah banyak yang rompal, dalam keadaan ompong suaranya menjadi sangat lucu. Nona penjual arak itu lantas masuk ke dalam warung dengan langkah yang menggiurkan, katanya dengan tertawa, "Aku pun tahu hubungan Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay biasanya cukup baik. Kabarnya ada seorang Suheng kalian yang she Ih telah menggoda wanita baik, kebetulan dilihat orang yang membela keadilan sehingga Suheng kalian itu terbunuh, sungguh kalian harus diberi ucapan selamat atas kejadian yang menggirangkan itu. Hal ini sangat besar manfaatnya bagi penertiban dan penegakan wibawa perguruan kalian, aku percaya Ih-koancu kalian juga pasti akan sangat gembira bila mendapat laporan dan besar kemungkinan kalian bertiga akan mendapatkan ganjaran yang berharga. Sebab itulah aku sengaja menyediakan tiga cawan arak Chit-kang-liu-hiat-ciu ini sekadar sebagai penghargaan dan ucapan selamat kepada kalian." Meski wajahnya jelek, tapi suaranya sangat nyaring dan merdu, enak didengar. Hanya saja setiap katanya itu penuh sindiran sehingga bagi pendengaran Pui Jin-ti rasanya sangat menusuk. "Pui ... Pui-suko, kematian ... kematian Ih-sute justru lantaran dia!" tiba-tiba Keh Jin-tat berseru. "Apa katamu?" Jin-ti menegas dengan heran. Ia tahu kelakuan Ih Jin-gan memang bergajul, tapi kalau kematiannya adalah lantaran seorang wanita, maka dapat diduga wanita itu pasti sangat cantik, paling tidak juga cukup cantik, tidaklah mungkin pemuda bajul buntung itu dapat penujui seorang nona burik yang memuakkan bagi orang yang memandangnya ini. Namun Jin-tat lantas menjawab, "Ya, justru dia inilah, budak burik inilah yang menyebabkan kematian Ih-sute.

Lantaran Ih-sute menertawakan dia sebagai muka siluman sehingga bertengkar dengan anak jadah she Lim ini." "Oh, kiranya demikian," kata Jin-ti mengangguk. Ia coba mengamat-amati pula si nona, perawakannya kelihatan langsing dengan garis-garis tubuh yang indah, cuma sayang mukanya saja burik, bahkan benjolbenjol tak keruan, benar-benar muka buruk yang jarang terdapat. Lalu ia manggut-manggut dan berkata pula, "O, kiranya demikian. Jadi orang telah membela nona, makanya nona sekarang juga hendak membela orang?" Dengan baju basah kuyup saat itu Keh Jin-tat berdiri di luar warung, baunya bacin, berulang-ulang ia menggoyang badannya seperti anjing habis kecemplung ke dalam air, lalu mengguncangkan tubuhnya untuk menghilangkan air yang membasahi tubuhnya. Tiba-tiba ia berseru, "Binatang kecil she Lim itu cantik sebagai wanita, besar kemungkinan budak siluman ini yang telah penujui dia, lalu menguntit sepanjang jalan. Hayolah Pui-suko dan Uh-sute, lekas kalian bereskan saja dia, mau tunggu kapan lagi?" Dalam pada itu si nona lagi mengamat-amati belati emas yang dirampasnya dari Keh Jin-tat tadi. Tertampak di batang belati itu terdapat ukiran beberapa huruf yang berbunyi "anak Peng genap 10 tahun". Di samping itu ada beberapa huruf lebih besar yang berarti "banyak rezeki dan panjang umur". Ia memandang sekejap ke arah Peng-ci yang menggeletak di atas tanah itu dengan tersenyum. Katanya dalam hati, "Kiranya belati ini adalah hadiah ulang tahunmu yang ke-10, tapi kau telah menggunakannya untuk membunuh orang bagiku." Sejenak kemudian ia lantas berkata kepada Jin-ti dan Jin-ho, "Sesungguhnya Jing-sia-pay juga terhitung golongan ternama dan terhormat di dunia persilatan, tak tersangka juga terdapat tidak sedikit murid bajingan tengik seperti dia ini." Sembari berkata ia terus angkat belati dan pura-pura akan menyambit ke arah Keh Jintat. Rupanya Jin-tat sudah kapok benar terhadap nona burik itu, disangkanya belati itu akan ditimpukkan betulbetul, maka cepat ia melompat ke samping dengan cara yang menggelikan.

Tapi nona itu hanya pura-pura mengayunkan belatinya saja, lalu berkata pula, "Manusia rendah begini memangnya sudah dulu-dulu harus dibinasakan, kalau dibiarkan hidup hanya akan membikin malu perguruan saja. Masakah manusia kotor demikian juga ada harganya untuk mengaku sebagai Suheng dan Sute dengan kalian berdua kesatria gagah ini?" Diam-diam Jin-ti dan Jin-ho mendongkol. Ucapan si nona sesungguhnya memang kena benar pada hati kecil mereka. Biasanya mereka memang suka anggap diri sendiri sebagai kesatria sejati dan merasa malu untuk menjadi saudara seperguruan dengan manusia sebagai Keh Jin-tat itu. Akan tetapi biar bagaimanapun juga Keh Jin-tat memang betul-betul adalah saudara seperguruan dengan mereka, terpaksa mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Maka terdengar si nona telah menyambung pula dengan tertawa, "Aku yakin kalian berdua tentu berharap tidak mempunyai Sute semacam ini bukan? Baiklah, akan kubantu kalian, biarlah bajingan tengik ini kubunuh saja!" Habis berkata segera ia melangkah ke arah Keh Jin-tat dengan belati terhunus. Keruan Jin-tat ketakutan dan menjerit, "Haya, kau ... apa-apaan kau!" Dan ketika melihat kedua saudara Suheng dan Sutenya tiada tanda-tanda sudi menolongnya, sebaliknya malah bersikap acuh tak acuh seakan-akan mengharap nona burik itu benar-benar membunuhnya saja, terpaksa lekas-lekas ia putar tubuh terus lari sipat kuping, hanya sekejap saja ia sudah menghilang di tengah hutan bambu. Si nona mengikik geli, lalu putar balik ke dalam warung. Katanya dengan tertawa, "Nah, aku telah membantu kalian melakukan sesuatu yang menggembirakan, apakah hal ini tidak berharga untuk dirayakan dengan minum secawan arak?"

Berbareng ia pun menunjuk ketiga cawan arak merah di atas meja itu dengan sikap menyilakan minum secara hormat. Jin-ti saling pandang sekejap dengan Jin-ho, mereka merasa serbasusah dan entah cara bagaimana harus melayani nona aneh yang berada di depan mereka ini. Bahwasanya nona ini tidak bermaksud baik terhadap mereka memang hal ini tidak perlu disangsikan lagi. Soalnya Hoa-san-pay terkenal sebagai aliran utama dari Ngo-gak-kiam-pay (lima aliran ilmu pedang dari lima gunung), jumlah orang mereka sangat banyak, kekuatan mereka pun sangat hebat, pergaulannya luas dan mempunyai hubungan baik dengan berbagai golongan dan aliran yang lain, betapa pun tidak boleh sembarangan diganggu. Diam-diam Jin-ti membatin, "Entah apa maksud tujuan wanita ini?

Tapi kematian Ih-sute adalah lantaran dia, mungkin dia pun akan ikut campur untuk menolong bocah she Lim ini. Kalau Ih-sute tidak mati sih tidak menjadi soal kami mengalah padanya. Seorang laki-laki tidak berkelahi dengan orang perempuan, andaikan tersiar juga tidak memalukan Jing-sia-pay. Namun sekarang cara bagaimana kami harus bertanggung jawab kepada Suhu atas kematian Ih-sute? Kalau pembunuhnya tidak dapat kami tawan pulang, pastilah aku tiada muka buat tinggal di Siong-hong-koan lagi!" Begitulah sambil tertawa dingin ia memandangi ketiga cawan arak merah di atas meja itu, tampaknya acuh tak acuh, tapi sesungguhnya dalam hati merasa serbasusah. "Ketiga cawan arak ini akan kalian minum atau tidak?" demikian si nona menegas pula dengan tersenyum. "Cret", mendadak Jin-ho ayun telapak tangannya dan memotong ke ujung meja, kontan ujung meja itu tertebas putus secara rajin bagai ditebas golok tajam. Sambil memandang keluar ia berkata, "Jing-sia-pay kami selamanya sangat menghormati Gak-ciangbun dari Hoa-san-pay kalian, maka kami tidak ingin bertengkar dengan nona. Tapi berulang nona telah mencemooh dan menghina, jika kami dianggap sebagai kaum celurut yang tak becus, maka mungkin nona telah salah mata." "Ai, ai, masakah aku begitu sembrono menganggap demikian?

Kaum celurut yang tidak becus memangnya sudah kenyang minum air pecomberan dan kini telah kabur," kata si nona. "Baiklah, biar kutawarkan saja kepada Lim-kongcu ini apakah mau minum arak atau tidak?" Habis berkata, mendadak sinar kuning berkelebat, belati yang dipegangnya itu tahu-tahu disambitkan ke dada Lim Peng-ci. Hal ini benar-benar di luar dugaan Uh Jin-ho dan Pui Jin-ti, sama sekali mereka tidak pikir bahwa nona itu bisa mendadak menyambitkan belati untuk membunuh orang. Cin-lam dan istrinya lebih-lebih terkejut, tapi mereka tertutuk dan tak bisa berkutik. Melihat belati emas itu menyambar tiba, Peng-ci sendiri pun tak berdaya dan terima ajal saja. Siapa duga ketika belati itu melayang sampai di tengah jalan, sekonyong-konyong batang belati lantas membalik sehingga gagang belati di depan dan ujung belati di belakang, dengan demikian maka terdengarlah suara "plok" yang perlahan, gagang belati telah menumbuk di atas dada Peng-ci, tempat yang ditumbuk tepat adalah "Tan-tionghiat", suatu Hiat-to penting di tubuh manusia.

Seketika Peng-ci merasa bagian Hiat-to itu kesakitan, beberapa arus hawa hangat lantas meluas ke bagian tangan dan kaki, segera ia dapat bergerak lagi. Cepat ia lantas melompat bangun. Cuma lututnya terasa masih lemas, untuk berdiri tegak masih belum kuat, ia sempoyongan dan berlutut ke arah si nona, cepat ia menggunakan tangan untuk menahan di tanah, dengan demikian barulah dapat berdiri kembali dengan muka merah jengah. Pui Jin-ti sudah lama masuk Jing-sia-pay, dalam hal ilmu silat boleh dikata cukup berpengalaman dan pengetahuannya, tapi gerakan "lempar belati membuka Hiat-to" yang dilakukan si nona burik itu benar-benar mengherankannya. Belati itu sudah disambitkan, kemudian membalik di tengah jalan, cara lemparan demikian benar-benar sukar dibayangkan.

Sebenarnya kalau si nona terang-terangan hendak membuka Hiat-to Lim Peng-ci yang tertutuk, tentulah Jin-ti dan Jin-ho akan merintanginya. Tapi dengan cara melempar belati untuk membuka Hiat-to pemuda itu, mereka benar-benar mati kutu dan tidak sempat untuk mencegahnya. Dan waktu Peng-ci berdiri kembali, belati emas itu telah jatuh ke lantai dan tepat menggelinding ke samping kaki si nona. Dengan enteng sekali si nona mencukit dengan ujung kakinya, belati itu mendadak meloncat ke atas dan segera dipegang kembali oleh nona itu. Katanya kepada Peng-ci, "Nah, Lim-kongcu, biarlah kuperkenalkan, yang ini adalah Pui-tayhiap dan yang itu adalah Uh-tayhiap, mereka adalah tokoh-tokoh Jingsia-pay yang terkenal, silakan kalian berkenalan." Peng-ci menjadi serbarunyam, katanya di dalam hati, "Sudah sejak tadi kami telah berkenalan!" Tapi ia tahu maksud si nona tentu menguntungkan dirinya, maka terpaksa menjawab secara samar-samar saja. Lalu si nona berkata pula, "Dengan maksud baik aku telah menyuguhi mereka dengan tiga cawan arak Chitkang-liu-hiat-ciu. Tapi Pui dan Uh-tayhiap ternyata tidak sudi minum, sebaliknya bicara hal-hal yang mendongkolkan orang. Aku percaya Lim-kongcu pasti lebih bijaksana daripada mereka, jika kau berani boleh silakan minum saja arak itu." Tadi walaupun Peng-ci menggeletak tak bisa berkutik di atas tanah, tetapi ia dapat mengikuti pembicaraan mereka tentang nama arak itu. Ia pikir Ho-ting-ang dan warangan adalah racun paling jahat, lebih-lebih Hoting-ang, boleh dikata asal menempel mulut saja tentu akan merenggut nyawa.

Arak itu kelihatan merah sebagai darah, tentu campuran dari racun yang luar biasa jahatnya, arak demikian mana boleh diminum? Sekilas dilihatnya air muka kedua murid Jing-sia-pay itu sedang memandang padanya dengan sikap menghina. Tadi dia telah kenyang dianiaya, memangnya rasa dendamnya lagi belum terlampiaskan. Sekarang melihat lagi air muka kedua orang yang mencemoohkannya itu, keruan ia tambah kalap. Seketika timbul suatu pikiran nekat dalam benaknya, "Jika nona ini tidak menolong aku, entah betapa aku akan menderita bila aku ditawan ke Jing-sia-pay, akhirnya aku pun tak terhindar dari kematian. Hm, mereka menganggap dirinya sendiri sebagai kesatria dan memandang hina padaku seperti kaum pengecut. Huh, biar mati kenapa aku mesti takut? Kalau aku tidak minum arak berbisa ini, tentu juga nona ini akan mengatakan aku tidak punya nyali." Begitulah serentak semangat bergolak, rasa nekatnya lantas berkobar-kobar, tanpa pikir akibatnya lagi, segera ia angkat secawan arak itu terus ditenggak habis. Begitu habiskan secawan, rasa hatinya terasa pilu, menyusul cawan kedua dan ketiga juga lantas dihabiskannya. Lalu berkata, "Lebih baik aku mati minum arak racun pemberian nona ini daripada binasa di tangan manusia-manusia rendah sebagai kalian ini."

Habis berkata, tiba-tiba ia merasa sisa arak di dalam mulutnya itu penuh rasa harum pupur, ia menjadi heran, bau Ho-ting-ang dan warangan itu kenapa sama dengan bau pupur yang wangi. Dalam pada itu, Lim Cin-lam dan Ong-hujin merasa sangat berduka ketika melihat putranya tidak tahan dihina dan sekaligus minum habis tiga cawan arak berbisa. Sedangkan air muka Pui Jin-ti tampak likat-likat. Sebaliknya, diam-diam Uh Jin-ho merasa kagum kepada Peng-ci, pikirnya, "Ilmu silat orang ini hanya biasa saja, tapi ternyata seorang laki-laki yang gagah berani." Si nona burik juga lantas acungkan jempolnya dan memuji, "Bagus, Lim-kongcu memang tidak memalukan sebagai putra pemilik Hok-wi-piaukiok yang termasyhur." Lalu katanya kepada Jin-ti berdua, "Nah, Pui-tayhiap dan Uh-tayhiap, tentang Lim-kongcu salah membunuh Ihtayhiap, hehe, Ih-tayhiap ...." berulang ia menyebut "Ih-tayhiap" dengan nada menghina, lalu sambungnya, "maka sekarang dapatlah kalian pulang ke Jing-sia dan melapor kepada guru kalian bahwa sakit hati itu sudah terbalas dan dapat dipertanggungjawabkan. Nah, silakan berangkat!" Jin-ho lantas berbangkit. Katanya, "Baik, mengingat diri nona, biarlah urusan ini kita akhiri sampai di sini."

Popular posts