Di depan sebuah gedung megah yang dibangun di jalan raya pintu gerbang barat kota Hokciu di provinsi Hokkian terdapat dua altar batu di kanan-kiri, di atas altar-altar batu itu masing-masing menjulang tinggi sebuah tiang bendera, dua helai bendera hijau tampak berkibar-kibar tertiup angin. Bendera sebelah kiri bersulamkan seekor singa jantan yang garang, bendera yang lain bersulamkan empat huruf yang berbunyi “Hok-wi-piaukiok”, huruf-huruf yang indah dan kuat itu terang ditulis oleh kaum ahli yang ternama.
Pintu gerbang gedung itu bercat merah dengan hiasan paku-paku tembaga yang besar dan digosok mengilat. Di atas pintu terdapat sebuah papan merek berdasar hitam dan berhuruf kuning emas yang tertulis “Hok-wipiaukiok” (perusahaan pengawalan Hok-wi), di bawah huruf-huruf besar itu terlintang pula dua huruf lebih kecil yang berbunyi “Kantor Pusat”.
Di dalam pintu terdapat dua baris bangku panjang di sebelah kanan dan kiri, tampak berduduk di situ delapan laki-laki yang berdandan kencang ringkas, semuanya gagah-gagah dan sedang mengobrol dan bersenda gurau. Sekonyong-konyong dari pekarangan belakang terdengar suara derapan kuda, kedelapan laki-laki itu serentak berbangkit terus lari keluar. Dari pintu samping sebelah barat gedung itu tertampak menerjang keluar lima penunggang kuda untuk kemudian berhenti di depan pintu gerbang tadi.
Kuda yang paling depan ternyata putih mulus, tepian pelana kuda itu seluruhnya terbuat dari sepuhan perak. Penunggangnya adalah seorang pemuda berpakaian perlente berusia antara 18-19 tahun. Di atas pundak pemuda itu tampak hinggap seekor burung elang pemburu, pedang bergantungan di pinggangnya, gendewa dan panah juga terbawa di punggungnya, sedangkan tangan kirinya memegang pecut kuda. Keempat penunggang kuda yang mengikut dari belakang itu semuanya berbaju warna kuning cekak. Dari gaya tunggangan mereka jelas sekali kepandaian menunggang kuda mereka teramat tinggi. Setiba kelima orang itu di depan pintu besar Piaukiok, tiga di antara kedelapan laki-laki tadi lantas berseru, “Siaupiauthau (pemimpin muda) hendak pergi berburu lagi!”
Pemuda perlente itu hanya mengakak tawa saja, “Tarrrr”, pecutnya dibunyikan di udara, kuda putih
tunggangannya mendadak berdiri sambil meringkik, habis itu terus membedal ke depan secepat terbang. Seorang laki-laki lantas berseru pula, “Su-piauthau, hendaklah nanti membawa pulang seekor babi hutan lagi supaya kita bisa menggayangnya dengan sepuas-puasnya.”
“Sudah tentu, paling sedikit kau akan kebagian ekornya!” jawab seorang laki-laki setengah umur yang mengikut di belakang pemuda perlente tadi.
Maka di tengah gelak tertawa orang-orang itu kelima penunggang kuda itu pun sudah pergi jauh.
Perusahaan pengawalan “Hok-wi” (rezeki dan wibawa) itu adalah suatu Piaukiok terbesar di daerah Kanglam (selatan sungai Tiangkang), Congpiauthau (pemimpin umum, pemilik) she Lim bernama Cin-lam. Piaukiok itu adalah perusahaan warisan leluhur keluarga Lim, sampai di tangan Lin Cin-lam sudah turun-temurun tiga angkatan.
Kakek Lim Cin-lam bernama Lim Wan-tho dan terkenal karena ilmu pedang “Pi-sia-kiam-hoat” yang meliputi 72 gerakan, ilmu pukulan “Hoan-thian-ciang” yang meliputi pula 108 gerakan, serta 18 batang panah “Gin-ihcian”, sejak kakeknya itu membuka Piaukiok di kampung halamannya sendiri, yakni kota Hokciu, hanya dalam waktu 10 tahun saja nama Hok-wi-piaukiok sudah termasyhur dan berkembang dengan subur. Semula ada juga kawanan bandit yang mengganggu barang kawalannya, tapi menghadapi ilmu pedang, ilmu pukulan dan senjata rahasia panah Lim Wan-tho yang lihai itu, kalau tidak binasa tentu juga akan terluka parah dan cacat. Maka sejak itu perjalanan antara Hokkian, menuju ke Hangciu, terus ke Kangsoh, Soatang, Hopak sampai di Kwantang, beberapa provinsi di pantai timur itu boleh dikata merupakan wilayah pengaruhnya.
Asalkan di atas kereta barang terpancang panji pertandaan “Hok-wi-piaukiok”, asalkan petugas pengawal berteriak “Hok-wi-peng-an” (selamat Hok-wi), maka kawanan penjahat sekali-kali tidak berani lagi mengincar barang-barang kawalannya biar pentolan bandit betapa pun lihainya.
Sampai hari ulang tahun 70 barulah Lim Wan-tho mencuci tangan dan mewariskan perusahaan pengawalannya kepada putranya yang kedua, Lim Tiong-hiong. Putra sulungnya bernama Lim Pek-hun dan menjadi Buciang (perwira setingkat kolonel). Karena hubungan itulah, maka usaha Piaukiok mereka tambah maju, terutama langganan-langganan dari kalangan pembesar negeri.
Lim Tiong-hiong itu suka bergaul dan bersahabat, maka siang malam di rumahnya selalu penuh dengan handai taulan sehingga makan minum melampaui batas. Akhirnya dia meninggal dalam usia yang masih muda. Lantaran itu Hok-wi-piaukiok lantas di bawah pimpinan putranya, Lim Cin-lam.
Ilmu silat Lim Cin-lam adalah ajaran langsung dari sang kakek. Pada waktu ulang tahun 70, di tengah
perjamuan yang ramai itu Lim Wan-tho telah menyuruh cucunya itu berdemonstrasi di depan orang banyak. Waktu itu usia Cin-lam baru 16 tahun, tapi kepandaiannya seperti pukulan sebelah tangan memadamkan api lilin, mengincar Hiat-to dengan sambitan panah, semuanya ini sangat mengagumkan para jago silat yang hadir.
Semuanya memuji rezeki Lim-loenghiong sangat besar sehingga mempunyai keturunan jago muda sehebat itu, untuk selanjutnya Hok-wi-piaukiok pasti akan berkembang lebih pesat dan lebih jaya.
Dan benar juga. Lim Cin-lam memang tidak mengecewakan harapan orang banyak.
Setelah menggantikan ayahnya, bukan saja Hok-wi-piaukiok telah membuka kantor cabang di provinsi-provinsi pantai timur sebagaimana tersebut di atas, sampai-sampai provinsi Kwitang, Kangsay, Oulam, Oupak, Kwisay juga terdapat kantor cabangnya. Bila mendengar nama Hok-wi-piaukiok, setiap orang Kangouw tentu akan mengacungkan jari jempolnya dan berkata, “Ya, Hok-wi-piaukiok memang punya rezeki dan berwibawa pula!”
Selain kantor pusat di kota Hokciu, ditambah pula sebelas kantor cabang di berbagai daerah, modal kerja Hokwi-piaukiok menjadi sangat besar, pengaruhnya juga tidak kecil, maka tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan yang bekerja padanya. Selama 20-an tahun perusahaan berjalan lancar, walaupun pernah juga menghadapi beberapa persoalan sulit, tapi bila jago-jago dari ke-12 kantor pengawalan itu serentak keluar semua, urusan betapa pun sulitnya juga lantas terpecahkan.
Istri Lim Cin-lam she Ong, juga berasal dari keluarga persilatan. Walaupun ilmu silat nyonya Lim sendiri tidak terlalu tinggi, tapi ayahnya Ong Goan-pa berjuluk Kim-to-bu-tek (si golok emas tanpa tanding) adalah ketua Kim-to-bun di kota Lokyang dan sangat banyak anak muridnya. Dengan hubungan keluarga dan saling membantu itu, maka Hok-wi-piaukiok menjadi lebih kuat.
Lim Cin-lam hanya mempunyai seorang putra tunggal bernama Peng-ci. Sejak kecil Lim Peng-ci sudah mendapat didikan yang keras dan ikut belajar ketiga macam kepandaian tunggal sang kakek. Terkadang ia suka mengusik sang ibu agar mengajarkan ilmu golok dari Kim-to-bun pula. Selain itu Cin-lam juga mengundang seorang sastrawan untuk mengajarkan ilmu sastra kepada putranya itu.
Sebaliknya Lim Peng-ci ternyata kurang menaruh minat untuk belajar ilmu sastra, dalam tiga hari sering kali ada dua hari suka membolos. Tahun ini dia sudah berusia 18, tapi sejilid kitab Su-si saja belum selesai dipelajari. Untungnya Lim Cin-lam juga tidak menaruh harapan agar putranya mengikuti ujian kenegaraan untuk memperoleh pangkat segala, asalkan Peng-ci tekun belajar silat, maka bolehlah. Hari ini Peng-ci membawa serta dua orang Piauthau (pemimpin pengawal) she Su dan The, serta dua pengiring bernama Pek Ji dan Tan Jit, beramai-ramai mereka pergi memburu ke hutan di barat kota.Kuda putih tunggangannya itu adalah hadiah nenek luarnya ketika Peng-ci berulang tahun ke-17. Kuda putih itu adalah kuda pilihan yang dibeli sang nenek dari daerah Se-ek (negeri-negeri wilayah barat), maka Peng-ci sangat sayang kepada binatang itu.
Begitulah mereka berlima dalam sekejap saja sudah keluar pintu gerbang kota, segera Peng-ci mengempit kencang kedua kakinya, kuda putih itu terus membedal ke depan secepat terbang. Hanya dalam waktu singkat saja keempat pengiringnya sudah jauh tertinggal di belakang.
Setiba di atas tanjakan bukit, elang pemburunya lantas dilepaskan. Tak lama kemudian sepasang kelinci telah digebah keluar dari dalam hutan oleh elang pemburu itu. Cepat Peng-ci menyiapkan panah di atas gendewa, “serrr”, kontan seekor kelinci yang sedang berlari-lari itu roboh terkena panah. Waktu dia hendak mengincar pula, kelinci yang lain ternyata sudah menghilang ke dalam semak-semak rumput-rumput. Waktu The-piauthau menyusul tiba dan melihat hasil buruan itu, dengan tertawa ia memuji, “Kepandaian panah yang hebat, Siaupiauthau!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Pek Ji sedang berseru di dalam hutan sebelah kiri sana, “Siaupiauthau, lekas kemari! Di sini ada ayam hutan!”
Segera Peng-ci mengeprak kudanya ke sana. Baru saja tiba, sekonyong-konyong dari dalam hutan melayang keluar seekor ayam hutan berbulu indah dan berekor panjang. “Sret,” kontan Peng-ci melepaskan panahnya, tapi ayam hutan itu justru melayang ke atas kepalanya sehingga panah mengenai tempat kosong. Peng-ci tidak kekurangan akal, cepat pecutnya menyabat ke atas. “Plok,” tanpa ampun lagi ayam hutan itu tersabat jatuh ke bawah, bulunya yang berwarna-warni bertebaran di udara. Kelima orang sama-sama bergelak tertawa puas. “Sabatan pecut Siaupiauthau ini jangankan cuma seekor ayam hutan, sekalipun burung rajawali yang besar juga akan jatuh terpukul,” ujar Su-piauthau. Mereka berlima lantas menyusur kian kemari di tengah hutan. Karena ingin menyenangkan hati Lim Peng-ci, maka kedua Piauthau dan kedua pengiring itu selalu menggebah binatang yang mereka temukan ke jurusan Peng-ci agar tuan muda mereka yang membinasakan sasaran buruan itu.
Satu jam lebih lamanya kembali Peng-ci memperoleh dua ekor kelinci, dua ekor ayam hutan, cuma belum mendapatkan babi hutan atau rusa dan binatang lain yang agak besaran. Rupanya Peng-ci masih belum puas, segera katanya, “Marilah kita mencari pula ke depan sana.”
Diam-diam Su-piauthau pikir kalau menuruti hasrat majikan muda mereka itu, boleh jadi sampai hari gelap juga belum tentu mau pulang dan tentu para pengiring mereka inilah akan diomeli lagi oleh nyonya majikan. Maka ia menjawab, “Hari sudah hampir gelap, jalan pegunungan banyak batunya dan sukar dilalui, janganjangan kuda putih akan terpeleset. Mumpung hari masih terang, lebih baik kita pulang saja, besok kita dapat berangkat lebih siangan dan tentu akan mendapatkan binatang yang lebih besaran.”
Ia tahu dengan alasan apa pun susah mencegah kemauan sang majikan muda yang keras itu kecuali
mengatakan kemungkinan kuda putih kesayangannya itu akan jatuh terluka atau pincang.
Benar juga, Peng-ci lantas tepuk-tepuk leher kudanya sambil berkata, “Naga putih ini sih sangat cerdik dan pintar, tidak nanti dia kesandung atau terpeleset. Justru kuda-kuda tunggangan kalian yang mungkin tidak tahan. Baiklah, marilah kita pulang saja, jangan-jangan pantat si Tan Jit nanti akan terbanting pecah.” Begitulah di tengah gelak tawa kelima orang itu, mereka lantas putar kuda ke arah semula. Tapi sampai di tengah jalan mendadak Peng-ci membelokkan kudanya ke jurusan utara. Sesudah melarikan kudanya sekian lamanya dan merasa puas, kemudian ia lambatkan kudanya dengan berjalan perlahan-lahan. Maka tertampaklah di tepi jalan di depan sana terpancang sehelai panji penjual arak.
“Siaupiauthau,” seru The-piauthau, “marilah kita minum secawan dahulu! Daging kelinci dan ayam hutan kebetulan cocok sekali untuk digoreng sebagai teman arak.”
Peng-ci menyahut dengan tertawa, “Sebenarnya kau cuma pura-pura mengikut berburu padaku, tapi
sesungguhnya kau ingin keluar minum arak. Kalau sekarang tidak kutraktir kau minum arak, besok tentu kau akan malas ikut keluar lagi.”
Habis berkata ia congklang kudanya pula ke depan, setiba di depan warung arak ia lantas melompat turun dan memasuki warung arak itu. Biasanya bilamana warung arak itu kedatangan Lim Peng-ci, maka sebelum pemuda itu masuk warungnya, si Lo Coa, pemilik warung arak, tentu sudah lantas memapak keluar untuk menambatkan kudanya sambil mengucapkan kata-kata sanjung hormat.
Tapi hari ini ternyata tidak sama, Lo Coa tidak tampak muncul, keadaan warung itu pun sepi. Hanya di samping anglo ada seorang gadis muda berbaju hijau dan berkonde dua sedang asyik memasak arak.
“Hai, Lo Coa, mengapa tidak lekas keluar menuntun kuda Siaupiauthau!” seru The-piauthau.
Pek Ji dan Tan Jit lantas menarik bangku panjang di samping meja, ia kebut debu di atas bangku itu dan silakan Peng-ci duduk dengan diiringi Su dan The-piauthau, sedangkan Pek Ji dan Tan Jit sendiri mengambil tempat duduk pada meja yang lain.
Maka terdengarlah suara orang terbatuk-batuk, dari dalam warung arak itu muncul seorang tua beruban, katanya, “Silakan duduk, tuan-tuan! Apakah mau minum arak?” Dari logatnya teranglah dia bukan orang setempat. “Masuk warung arak tidak minum arak, habis apakah minum teh?” sahut The-piauthau. “Bawakan dahulu tiga kati Tiok-yap-jing (nama arak tersohor). Pergi ke manakah si Lo Coa? Apakah barangkali warung arak ini sudah berganti juragan?”
“Baik, baik! Wan-ji, lekas bawakan tiga kati Tiok-yap-jing,” demikian orang tua itu menjawab. “Untuk bicara terus terang saja, orang tua she Sat, asalnya memang penduduk setempat, cuma sejak kecil telah berkelana ke daerah lain untuk berdagang. Putra dan anak menantuku sudah meninggal semua, orang tua pikir manusia akhirnya toh mesti pulang ke asalnya. Maka dari itu bersama cucu perempuanku ini kami telah pulang kampung halaman. Siapa duga selama 50-an tahun meninggalkan kampung, seluruh sanak kadang sudah tak tertinggal seorang pun. Untunglah si Lo Coa pemilik warung arak ini merasa bosan meneruskan usahanya, maka dengan harga 30 tahil perak warung ini telah dioperkan padaku. Ai, akhirnya dapatlah pulang di kampung leluhur, alangkah nikmatnya dapat mendengarkan logat bahasa kampung halamannya sendiri.”
Dalam pada itu si gadis baju hijau tadi telah datang membawakan sebuah nampan kayu dengan kepala menunduk. Ia menaruh cawan dan sumpit di depan Peng-ci bertiga dengan tiga poci arak pula. Habis itu dengan tunduk kepala, ia menyingkir pergi, selama itu tak sekejap pun dia memandang tetamunya. Peng-ci dapat melihat perawakan nona itu langsing menggiurkan, tapi kulit badannya sangat kasap dan hitam, mukanya juga berpenyakit cacar. Mungkin karena baru melakukan pekerjaan menjual arak, maka gerakgeriknya masih kaku, hal ini pun tidak diperhatikan oleh Peng-ci.
Sedangkan Su-piauthau telah menyerahkan seekor ayam hutan dan seekor kelinci kepada si kakek Sat, katanya, “Boleh disembelih dan gorenglah menjadi dua piring!”
“Baik, baik!” sahut si kakek Sat dengan hormat. “Untuk teman arak silakan tuan-tuan menikmati dahulu sedikit daging rebus dan kacang goreng.”
Mendengar itu, tanpa menunggu perintah sang kakek, si gadis yang dipanggil Wan-ji tadi segera membawakan potongan daging rebus dan kacang goreng yang dimaksud.
“Tuan muda ini adalah Lim-kongcu, Lim-siaupiauthau dari Hok-wi-piaukiok, seorang kesatria muda yang budiman dan murah hati,” kata The-piauthau. “Asalkan kedua piring gorenganmu nanti mencocoki seleranya, maka ke-30 tahil perak modal yang telah kau keluarkan itu rasanya takkan seberapa hari tentu akan dapat dipulihkan kembali.”
“Ya, ya! Terima kasih, terima kasih!” sahut si kakek Sat dengan rendah hati sambil berjalan pergi dengan membawa ayam hutan dan kelinci.
Segera The-piauthau menuangkan arak bagi Peng-ci, Su-piauthau dan dirinya sendiri, sekali tenggak ia menghabiskan isi cawan, sambil berkecap-kecap ia berkata, “Warung ini sudah ganti juragan, tapi rasa araknya tidaklah berubah.”
Lalu ia menuang secawan lagi dan baru saja hendak ditenggak pula, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang riuh, dua penunggang kuda sedang mendatangi dari jalan raya sebelah utara sana.
Cepat sekali datangnya kuda-kuda itu, hanya sekejap saja sudah sampai di luar warung arak. Terdengar seorang di antaranya telah berseru, “Di sini ada warung arak, marilah kita minum satu cawan dahulu!”
Su-piauthau sudah berpengalaman, dari logat suara orang itu ia menduga mereka adalah orang Sucwan barat. Ia coba berpaling ke luar, tertampaklah dua laki-laki memakai topi berpinggiran lebar seperti caping, berjubah hijau. Setelah menambat kuda di bawah pohon karet di depan warung arak, mereka menanggalkan topi, lalu masuk ke dalam warung arak. Sekilas mereka memandang ke arah Peng-ci bertiga, habis itu lantas berduduk dengan lagak tuan besar.
Selain berjubah hijau, kedua orang itu memakai ubel-ubel kain putih pula, tampaknya dandanan mereka agak halus, tapi kedua kaki mereka ternyata telanjang, tanpa kaus, hanya memakai sandal tali rami bertali. Su-piauthau tahu orang Sucwan kebanyakan berdandan demikian. Sebabnya memakai ikat kain putih di atas kepala adalah kebiasaan mereka. Karena wafatnya Cukat Liang atau Khong Beng di zaman Sam Kok, orang Sucwan telah ikut berkabung untuk memperingati jasa negarawan yang sangat mereka cintai itu. Sebab itulah maka ikat kain putih turun-temurun masih melekat pada diri orang-orang Sucwan.
Sebaliknya Lim Peng-ci merasa heran, pikirnya, “Dandanan kedua orang ini halus tidak kasar pun tidak, potongan mereka benar-benar agak aneh.”
“Araknya mana? Hayo, bawakan arak ke sini!” demikian seorang di antaranya yang lebih muda lantas berseru.
“Persetan, pegunungan di wilayah Hokkian ini benar-benar sangat banyak, sampai kuda pun kepayahan.”
Dengan kepala menunduk Wan-ji si gadis penjual arak mendekati kedua tamunya yang baru itu, tanyanya dengan suara lirih, “Minta arak apa?”
Walaupun suaranya sangat perlahan, tapi terdengar sangat nyaring dan merdu. Lelaki muda tadi melengak, sekonyong-konyong ia terbahak-bahak sambil menjulurkan tangan kanan untuk menyanggah dagu Wan-ji agar muka si nona mendongak ke atas. Lalu serunya dengan tertawa, “Wah, sayang, sayang!”
Keruan Wan-ji terkejut dan cepat melangkah mundur.
Segera laki-laki yang lain juga lantas berkata dengan tertawa, “Buset! Potongan badan nona belang ini sih boleh juga, cuma sayang mukanya demikian kasap seperti kertas amril!”
Begitulah mereka menggoda dan mengolok-olok si nona penjual arak itu dalam logat bahasa daerah mereka, habis itu kedua orang lantas terbahak-bahak pula.
Peng-ci menjadi naik darah. Ia gebrak meja sambil berteriak, “Huh, macam apa! Dua ekor anjing buta berani main gila ke kota Hokciu kita ini!”
“He, Keh-loji, ada orang sedang mencaci maki, kau kira anak kelinci ini lagi memaki siapa!” demikian lelaki muda she Ih tadi berkata pula dengan tertawa kepada kawannya.
Dasar roman Lim Peng-ci memang mirip ibunya, putih cakap seperti wanita. Biasanya kalau ada orang berani main gila padanya kontan tentu ditempeleng olehnya. Sekarang mendengar orang menyebutnya sebagai “anak kelinci” (putih bagus maksudnya), keruan ia tidak tahan lagi. Sebuah poci arak buatan timah yang terletak di atas meja terus disambarnya dan ditimpukkan ke sana.
Namun orang she Ih itu sempat berkelit sehingga poci timah itu terbanting keluar warung, arak pun
berceceran. Serentak Su-piauthau dan The-piauthau lantas berbangkit dan menyerobot maju ke samping kedua orang itu.
Tapi orang she Ih itu masih tertawa dan berkata, “Kalau bocah ini naik panggung untuk berjoget mungkin lebih menarik, suruh dia berkelahi teranglah tidak jadi!”
“Ini adalah Lim-siaupiauthau dari Hok-wi-piaukiok, besar amat nyalimu, berani tepuk lalat di atas kepala harimau?” bentak Su-piauthau segera, berbareng kepalan kiri terus menonjok ke muka orang.
Namun sekali bergerak, tahu-tahu tangan The-piauthau malah kena dipegang orang she Ih itu, sekali ditarik pula, tubuh The-piauthau lantas menyelonong ke depan dan menumbuk meja. “Brakkk,” kaki meja itu sampai patah. Badan The-piauthau juga lantas menungging karena pergelangan tangannya masih tergenggam. Waktu sikut si orang she Ih bekerja, dengan tepat kuduk The-piauthau kena disikut sehingga jatuh terduduk dan tak sanggup berdiri lagi untuk sekian lamanya.
Meski The-piauthau itu bukan jago pilihan di antara orang Hok-wi-piaukiok, tapi juga bukan kaum lemah. Tapi sekarang hanya sekali gebrak saja sudah keok, hal ini menandakan pihak lawan itu pastilah bukan tokoh sembarangan. Segera Su-piauthau bertanya, “Siapakah saudara ini? Kalau sesama kaum persilatan, apakah benar-benar tidak memandang sebelah mata kepada Hok-wi-piaukiok?”
“Hok-wi-piaukiok? Hehe, selamanya tak pernah dengar! Apa kerjanya?” jengek laki-laki she Ih itu.
“Kerjanya tukang menghajar anjing!” bentak Lim Peng-ci sambil melompat maju, tangan kiri terus
menghantam, sampai di tengah jalan tangan kanan lantas menyusul memukul dari bawah. Ini adalah jurus “Inli-kian-kun” (jagat di balik mega) yang merupakan ilmu pukulan lihai warisan leluhur.
“Hah, boleh juga anak kelinci ini!” orang she Ih itu mengolok-olok pula sambil menangkis serangan Peng-ci, bahkan tangan kanan terus meraih maju buat mencengkeram pundak pemuda itu.
Cepat Peng-ci mendak ke bawah, berbareng telapak tangan kiri menghantam pula. Tapi orang she Ih itu pun sempat miringkan kepala untuk berkelit. Tak terduga ilmu pukulan “Hoan-thian-ciang” yang meliputi 108 gaya itu memang sangat aneh perubahannya, tampaknya orang she Ih memang seperti sudah dapat menghindarkan pukulan Peng-ci tadi, siapa tahu mendadak tangan pemuda itu lantas menampar balik dengan jurus “Bu-li-ganhoa” (memandang bunga dari balik kabut), “plok,” dengan tepat orang she Ih kena ditempeleng satu kali. Keruan orang she Ih menjadi murka, kakinya lantas menendang. Namun Peng-ci sempat mengegos ke samping, menyusul ia pun balas mendepak ....
Dalam pada itu Su-piauthau juga sudah bergebrak dengan orang she Keh. Sedangkan Pek Ji telah
membangunkan The-piauthau yang masih meringis kesakitan itu. Sambil mencaci maki The-piauthau lantas menerjang maju pula untuk mengerubut si orang she Ih.
“Kau boleh membantu Su-piauthau saja, keparat ini biar kubereskan sendiri,” kata Peng-ci.
The-piauthau tahu Peng-ci suka unggul dan tidak mau dibantu orang lain, maka ia lantas jemput sebatang kaki meja yang patah, dengan senjata itu ia terus pentung ke atas kepala si orang she Keh.
Tan Jit dan Pek Ji lantas lari keluar, seorang mengambilkan pedang Peng-ci, yang lain membawa tombak pemburu, mereka masuk kembali dan mencaci maki kepada orang she Ih. Dalam hal ilmu silat kedua pegawai Piaukiok itu sih rendah saja, tapi dalam hal mulut, mereka sudah biasa berteriak dan menggembor di waktu mengawal barang, maka caci maki mereka menjadi sangat lantang. Apalagi yang mereka lontarkan adalah makian bahasa daerah Hokciu, dengan sendirinya kedua orang Sucwan sama sekali tidak paham, yang pasti ucapan mereka itu tentu bukan kata-kata baik.
Dalam pada itu si kakek Sat juga sudah berlari keluar dari dapur, sambil bersandar pada bahu kakeknya, Wanji tampak sangat takut. Semakin lama Peng-ci menjadi makin bersemangat, ia telah depak meja kursi warung arak itu ke pinggir, ia keluarkan 108 jurus “Hoan-thian-ciang” ajaran ayahnya untuk melabrak musuh. Sejak berumur enam Peng-ci sudah berlatih silat, sampai sekarang sudah ada 12 tahun lamanya, Hoan-thianciang itu pun dilatihnya setiap hari sehingga sedikitnya telah ribuan kali diulanginya, dengan sendirinya ilmu pukulan itu sudah sangat hafal baginya.
Biasanya kalau dia berlatih melawan para Piauthau dalam perusahaan, tiada seorang pun yang dapat
menandinginya, hal ini dapat dimengerti, pertama karena ilmu pukulannya itu memang hebat, kedua, para Piauthau dengan sendirinya lebih suka mengalah daripada bergebrak sungguh-sungguh. Sebab itulah walaupun pengalaman di tengah gelanggang sudah banyak, tapi pertarungan yang sungguh-sungguh jarang dialami oleh Peng-ci.
Sekali ini dia telah ketemukan lawan orang she Ih dari Sucwan, hanya belasan gebrak saja segera rasa congkak Peng-ci mulai lenyap. Ternyata orang she Ih itu sambil bertempur masih sempat membuka mulut untuk mengolok-oloknya. “Eh, saudara cilik, kulihat kau lebih mirip seorang nona cantik dalam penyamaran sebagai lelaki, mukamu putih lagi cantik. Ehmm, bolehkah kucium sekali saja, marilah kita berkawan dan pesiar ke sana.”
Mendengar ucapan yang tidak senonoh itu dan tingkahnya yang mempermainkan, keruan Peng-ci sangat gusar. Ia coba melirik Su dan The-piauthau, ternyata kedua orang yang mengeroyok orang she Keh itu toh tidak lebih unggul dari lawannya, bahkan hidung The-piauthau tampak matang biru terkena bogem orang she Keh dan keluar kecapnya. Pada suatu kesempatan, dengan gerakan kilat sekonyong-konyong orang she Ih kena ditempeleng sekali lagi oleh Peng-ci. Tamparan yang lebih keras ini membuat orang she Ih menjadi murka, bentaknya, “Anak kelinci
yang tidak kenal selatan, karena kulihat mukamu manis, maka aku ingin memeluk kau, sebaliknya kau malah menghajar kekasihmu ini ya?”
Mendadak ilmu pukulannya lantas berubah, ia balas menyerang dengan gencar, kepalan bekerja naik turun menghantam. Pertarungan kedua orang yang berlangsung dengan seru itu akhirnya sampai berpindah ke luar warung arak itu. Ketika orang she Ih mendadak memukul ke depan, tiba-tiba Peng-ci teringat kepada ajaran ayahnya, dengan gaya dorong, ia tangkis dan mendorong tenaga pukulan lawan ke samping. Tak terduga tenaga orang she Ih itu ternyata sangat kuat, dorongan itu ternyata tidak mempan, “bluk,” malah dada Peng-ci kena terhantam. Dalam keadaan sempoyongan tahu-tahu Peng-ci merasa baju lehernya telah kena dicengkeram tangan kiri lawan. Ketika orang itu menekan sekuatnya ke bawah, setengah badan Peng-ci sampai membungkuk ke bawah. Menyusul dengan gaya “Tiat-bun-kam” (palang pintu besi), dengan melintangkan telapak tangan, orang itu mengancam di atas kuduk Peng-ci sambil mengejek, “Hahaha! Anak kura-kura, sekarang kau boleh menjura tiga kali dan panggil tiga kali paman yang baik padaku barulah akan kulepaskan kau.”
Melihat majikan muda mereka kena dibekuk musuh, keruan Su dan The-piauthau terperanjat, serentak mereka meninggalkan lawan yang sedang dihadapi untuk menolong Peng-ci. Akan tetapi orang she Keh itu segera menghantam dan menendang sehingga mereka sukar menyingkir.
Pek Ji lekas-lekas angkat tombaknya dan menusuk ke punggung orang she Ih sambil berteriak, “Kau mau lepas tangan tidak? Apakah kau ingin mampus ....”
Belum habis ucapannya, tanpa menoleh mendadak orang she Ih menyepak ke belakang dengan kaki kiri sehingga tombak itu mencelat beberapa meter jauhnya, bahkan kaki kanan juga lantas mendepak sehingga Pek Ji terguling-guling beberapa kali dan meringis kesakitan tak sanggup berdiri untuk sekian lamanya. “Anak jadah, bangsat keparat! Terkutuklah kakek moyangmu tujuh belas turunan!” demikian Tan Jit ikut mencaci maki, tapi bukannya menerjang maju, sebaliknya ia mundur-mundur ketakutan.
“Nah, nona manis, kau mau menjura padaku atau tidak?” tanya pula si orang she Ih dengan tertawa. Ketika ia tambahi tenaga pada tangan yang melintang di atas kuduk sehingga kepala Peng-ci ikut tertahan ke bawah, makin tahan makin rendah sampai batok kepalanya hampir-hampir menyentuh tanah. Peng-ci mengayun kepalan dengan maksud hendak menggenjot perut lawan, tapi selalu kurang beberapa senti dan tak dapat mencapai sasarannya. Sebaliknya tulang tengkuk terasa kesakitan seakan-akan patah, mata pun berkunang-kunang dan telinga mendenging.
Dalam keadaan kepepet, kedua tangan Peng-ci menghantam dan mencakar serabutan, sekonyong-konyong tangannya tersentuh sesuatu benda yang terselip di betisnya, tanpa pikir lagi benda itu terus disambarnya dan segera ditubleskan ke depan sehingga menancap di perut orang she Ih.
Kontan orang she Ih itu menjerit dan mengendurkan kedua tangannya sambil mundur dua-tiga langkah, air mukanya tampak menampilkan rasa takut dan ngeri. Ternyata di atas perutnya telah menancap sebilah belati warna emas, mulut orang she Ih kelihatan terpentang, seperti ingin menjerit atau bicara, tapi tak keluar suaranya. Tangan tampak hendak mencabut belati yang menancap di perutnya sendiri itu, tapi juga tidak berani. Walaupun berhasil melukai lawannya, namun Peng-ci juga berdebar-debar ketakutan, ia pun melangkah mundur beberapa tindak.
Sementara itu orang she Keh dan kedua Piauthau juga sudah berhenti bertempur, mereka ternganga kaget memandangi orang she Ih. Tertampaklah orang she Ih itu mulai terhuyung-huyung, tiba-tiba tangan kanan memegang gagang belati terus dicabut sekuatnya, seketika darah segar memuncrat keluar sampai dua-tiga meter jauhnya. Beberapa orang yang menyaksikan itu sampai menjerit kaget.
“Keh ... Keh-loji ... ka ... katakanlah ke ... kepada ayah supaya balaskan sakit hatiku,” seru orang she Ih dengan terputus-putus sambil melemparkan belati warna kuning gemerlapan itu ke depan.
Cepat orang she Keh sambar belati yang melayang ke arahnya itu sambil berseru, “Ih-hiante, Ih-hiante!” Berbareng ia terus memburu maju. Namun si orang she Ih sudah lantas roboh tersungkur, setelah berkelojotan beberapa kali lalu tidak bergerak lagi.
“Ambil senjata!” seru Su-piauthau dengan suara tertahan kepada kawannya. Segera ia mendahului berlari ke samping kudanya dan menyiapkan senjatanya. Sebagai seorang Kangouw kawakan ia tahu sesudah terjadinya korban jiwa, tentu orang she Keh itu akan melabrak mereka dengan mati-matian.
Tapi orang she Keh itu ternyata tidak menerjang maju lagi, ia sadar dalam keadaan sendirian tentu sukar mengalahkan jumlah lawan yang lebih banyak, jangan-jangan dia akan ikut terbinasa sehingga sakit hati mereka tentu takkan terbalas lagi. Ia pikir jalan paling selamat ialah kabur saja.
Begitulah, mendadak ia lompat ke samping kudanya, sekali cemplak ia sudah berada di atas pelana, “sret,” ia potong tali kendali kuda yang tertambat itu terus melarikan kudanya secepat terbang ke arah utara.