Tuesday, 3 November 2020

Kisah Inspirasi Untuk Para Istri dan Suami


Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
 
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir  sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah  benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua,  membuatku membenci suamiku sendiri.
 
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku.  Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas  istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan  lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya  kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat  menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami  sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
 
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala  hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak  pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu  bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya  setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku  padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua  keinginanku.
 
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan.  Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak  suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal  melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan  meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku  meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia  menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai  pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia  menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang  dengan teman-temanku.
 
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi  aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB  dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam  sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia  membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari  empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
 
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika  aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang  sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil  lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam  akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

 

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang  ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami  dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah  yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari  itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku.  Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang  mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan  tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan  perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
 
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti  anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak  menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan  pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia  kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat  untuk pergi.
 
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan  waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam  kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang  tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan  kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun  betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di  rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak  menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang  terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan  bertanya.
 
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang  kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu,  kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya  menjelaskan dengan lembut.
 
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa  menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali  berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah  membentak. “Apalagi??”
 
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya  padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku  menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu  jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir  dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si  empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan  mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa  malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku  gengsi untuk berhutang dulu.
 
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera  sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga  mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah  berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering  teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
 

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara  bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon  suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu  memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak  armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata  seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan  saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya  terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku  berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang  kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya  ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
 
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga  tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya  diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku  tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan  segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat  ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan  menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena  kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan  kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan  kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada  airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah  ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi  kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
 
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu  menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap  wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi  dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah  ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh  perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama  kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.  Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap  berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku  padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis  tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti,  airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam  mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti  menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang  telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
 
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku  hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang  kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi  terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen  mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku  sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak  pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak  disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie  instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia  mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak  untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak  perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan  masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari  karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi  permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau  jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
 
Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika  melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak  tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun  dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku  dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka  kehilangan dirinya.
 
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti  yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan  untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu  memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan.  Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku  sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku  berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang,  aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang.  Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan  sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.  Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku  terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
 

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi  sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali.  Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi  kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku  begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku  tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap  tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu  aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja,  sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau  kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan  mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan  kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru  menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
 
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan  normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih  di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak  bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang  membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat  meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin  meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang  dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak  baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus  dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan  begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak.  Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah  menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
 
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk  bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus  kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan  tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya  selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah  yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan  setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya  bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya.  Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya  ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun  menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh  uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah  bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja  atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan  kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi  bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali.  Semuanya selalu diatur oleh dia.
 
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama  seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris  memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan  seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam  surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi  suratnya untukku.
 
Istriku Liliana tersayang,
 
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena  harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf  karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah  memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak  adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
 
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku  tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku  telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku  tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan  tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan  mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
 

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat  hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu  untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini.  Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang  lebih baik dariku.
 
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa  mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria  pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi  dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya.  Oke, Buddy!

 
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang  diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
 
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi  dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku  membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha  tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang  kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar  cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap  membanjiri kami dengan cinta.
 
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir  tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku.  Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan  mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun  meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
 
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi  putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami  bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya  Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
 
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu,  cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan  mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan  hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar  apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
 
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
 

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah  mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada  ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
 
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada  suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi  menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas  darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya  yang begitu tulus.

Popular posts