Lu Sian duduk, memperhitungkan detik yang paling baik lalu berseru, "Lihat senjataku!" Dan kini sekali kepalanya bergerak, semua rambutnya berkelebat ke depan merupakan ratusan ribu batang kawat-kawat halus yang amat lemas. Tentu saja ada sebagian rambut bertemu pedang, akan tetapi karena Lu Sian mempergunakan "tenaga halus" sehingga rambutnya menjadi lemas dan ulet, maka rambut itu tidak dapat terbabat putus, bahkan sebagian lagi terus membelit ke arah pergelangan lengan tangan yang memegang pedang, sebagian membelit lengan kiri, sebagian lagi membelit leher terus mencekik! Kim Bwee kaget setengah mati. Kedua lengannya serasa lumpuh dan lehernya tercekik membuat ia tidak mampu bernapas lagi. Ia meronta-ronta, persis seperti seekor lalat tertangkap sarang laba-laba dan terdengar suara ketawa cekikikan lalu disusul robohnya tubuh Kim Bwee, terpelanting dan pedangnya sudah terlempar ke sudut kamar!
Sejenak nanar rasa kepala Kim Bwee. Kamar itu serasa berputaran. Ia telah mengalami kekalahan hebat dan andaikata bukan Lu Sian yang melakukan hal itu, andaikata tidak ada maksud hendak mengeduk ilmu dalam hati Kim Bwee, tentu penghinaan ini takkan dibiarkan begitu saja. Seorang selir raja tersayang dihina seperti ini! Sekali ia menjerit minta tolong tentu istana ini akan dikepung pengawal istana. Akan tetapi Kim Bwee tidak mau melakukan perbuatan bodoh ini. Ia maklum bahwa seorang sakti seperti perempuan itu, belum tentu akan dapat ditawan dan sebelum para pengawal datang, dia sendiri tentu akan dibunuh. Pula, perempuan ini bersikap baik kepadanya dan lebih banyak untungnya daripada ruginya kalau ia dapat menjadi murid wanita ini. Memang ia amat cerdik dan demi tercapainya maksud hati, ia rela melakukan hal apa saja, yang kejam, yang rendah, yang hina pun akan ia jalani. Maka setelah berpikir sejenak dalam pertemuan pandang ini, Kim Bwee tanpa ragu-ragu lagi serta-merta menjatuhkan diri berlutut.
Lu Sian tertawa senang dan berkata, suaranya berwibawa. "Kau mengakui keunggulanku? Nah, bangkitlah, dan mari kita duduk dan bicara yang baik." Lu Sian sendiri menggerakkan tangan menyentuh pundak Kim Bwee dan seketika Kim Bwee terangkat naik! Kim Bwee memandang kagum lalu duduk, sikapnya menjadi jinak, tidak galak seperti tadi, malah pandang matanya penuh penyerahan.
"Adikku yang manis, kau bernama Coa Kim Bwee dan menjadi selir ke tujuh dari Raja?" Kim Bwee mengangguk. "Dan kau tahu siapakah aku ini?"
"Kau isteri bekas Jenderal Kam Si Ek..."
"Bekas isterinya, sudah belasan tahun kami bercerai! Dan kau tahu siapa namaku?"
"Kau... kau puteri Beng-kauwcu dan kau bernama Liu Lu Sian dengan julukan Tok-siauw-kwi."
"Semua memang benar dan tepat! Akan tetapi sekarang aku mengajukan syarat, kalau kau menerimanya kita tetap bersahabat dan aku mau menurunkan beberapa macam ilmu kepadamu."
"Ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata?" Tanya Kim Bwee penuh gairah. Ia kagum sekali akan ilmu itu yang dianggapnya amat hebat.
Lu Sian mengangguk. "Boleh, dan beberapa macam ilmu lagi yang hebat-hebat. Pendeknya, setelah belajar dariku, kau akan menjadi seorang tokoh yang sukar dikalahkan lawan."
Girang sekali hati Kim Bwee dan kembali ia telah berlutut. Akan tetapi Lu Sian mencegahnya dan membentak. "Duduk kau!" Kim Bwee terkejut dan cepat ia duduk lagi menghadapi Lu Sian.
"Kau menerima syaratku? Nah, dengar baik-baik. Pertama, kau tidak boleh menyebut guru kepadaku dan tidak boleh berlutut seperti murid terhadap guru. Kita tetap hanya sahabat baik, kau panggil Cici kepadaku dan aku panggil adik padamu. Kita kakak beradik yang sama-sama mencari kesenangan di dalam istana ini. Mengerti?"
Tentu saja makin girang hati Kim Bwee. Sambil tersenyum ia mengangguk dan matanya bersinar-sinar ketika ia menjawab. "Enci Liu Lu Sian yang baik, tentu saja aku mentaati semua permintaanmu."
"Bukan Cici Liu Lu Sian, melainkan Enci Sian begitu saja. Syarat ke dua, tidak boleh kau memberitahukan orang lain tentang namaku yang sebenarnya. Kalau kau memberitahukan orang lain, aku akan membunuhmu lalu pergi dari sini. Mengerti?"
Kembali Kim Bwee mengangguk, kini tidak berani tersenyum karena ia dapat melihat pandang mata Lu Sian bahwa wanita itu sungguh-sungguh dan ancamannya bukan main-main belaka.
"Syarat ke tiga, kau tidak boleh menghalangi semua perbuatanku da...aku tahu bahwa diantara engkau dan Kong Hian terjadi hubungan gelap. Pemuda itu menjadi pilihanku, engkau tidak boleh mengganggunya atau mendekatinya. Mengerti?"
Kembali Kim Bwee mengangguk. Ah, kiranya antara dia dan wanita ini terdapat persamaan! Sekilas terbayang dalam benaknya betapa mudahnya untuk membaiki wanita ini. Ia tahu caranya. Dalam lingkungan istana, terdapat banyak sekali pangeran yang tampan, pengawal yang muda dan gagah. Mudah untuk mencari muka dan menyenangkan hati "gurunya" ini, mudah menyuguhkan muda remaja tampan ganteng untuk ditukar dengan ilmu!
"Baiklah, Cici yang cantik, baiklah. Dalam gedungku terdapat sebuah kamar dengan taman bunganya yang indah. Lebih baik Cici pindah ke sana agar lebih mudah kita bertemu. Tentang Kong Hian... tentu saja aku suka mengalah. Dan...jangan khawatir..." Ia mengedipkan matanya, "masih banyak aku mengenal pangeran-pangeran muda dan pengawal-pengawal yang menarik dan pasti menyenangkan!" Ia tertawa genit, Lu Sian tersenyum. Terhadap perempuan liar ini tak perlu ia menyembunyikan perasaannya. Ia mengangguk tanda setuju.
Demikianlah, Lu Sian hidup bergelimang dalam kemewahan dan pengejaran kesenangan, pemuasan nafsu dalam istana Kerajaan Hou-han. Karena dilindungi oleh Coa Kim Bwee yang menganggap dia seorang kakak misan sendiri, ia tidak mendapat gangguan. Setahun lebih Lu Sian hidup memuaskan nafsunya, disuguhi pangeran-pangeran dan pengawal-pengawal muda yang tampan, yang menarik hatinya. Selain itu, untuk membalas "jasa" dan kebaikan selir muda raja itu, ia menurunkan beberapa macam ilmu yang hebat kepada Kim Bwee. Di antaranya adalah ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata, bahkan Ilmu I-kin-swe-jwe yang mendasari ilmu awet muda serta latihan dan obat untuk membikin keringat dan rambut berbau harum!
Segala macam perjalanan ke arah kemaksiatan dimulai dengan langkah kecil ke arah itu. Sekali keliru melangkah, orang akan tersesat makin jauh, tenggelam makin dalam. Semua perbuatan maksiat dimulai dengan iseng-iseng, dengan kecil-kecilan lebih dahulu, seperti orang mencicipi arak. Mula-mula setetes dua tetes, setelah termakan racunnya, makin lama makin banyak dan akhirnya menjadi pemabok lupa daratan. Tidak ada seorang penjudi di dunia ini yang membuka langkah perjudian dengan taruhan besar. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin mencandu dan menjadilah ia penjudi besar. Tidak ada pencuri yang mulai "pekerjaannya" dengan pencurian besar-besaran. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin nekat. Demikian pula dengan segala macam nafsu, termasuk nafsu berahi. Makin dituruti, makin tak kenal puas, makin menggila dan makin haus! Salah langkah pertama yang dilakukan Lu Sian adalah kebosanannya berumah tangga dengan Kam Si Ek. Kalau diwaktu itu ia kuat bertahan, mempergunakan kebijaksanaan dan kesadarannya, ingat kewajibannya, ia takkan tersesat. Akan tetapi sekali ia salah langkah, ia tersesat makin dalam dan akhirnya tenggelam oleh gelombang permainan nafsunya sendiri! manusia memang mahluk lemah, maka perlu manusia selalu ingat dan waspada. Ingat selalu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan waspada selalu akan langkah hidupnya sendiri. Jalan menuju kehancuran kelihatan lebar dan menyenangkan, padahal amat lincah menyembunyikan jurang-jurang kehinaan di kanan kirinya. Sebaiknya jalan menuju kesempurnaan hidup kelihatan amat buruk dan sukar dilalui. Sekali salah pilih, sesal pun tiada gunanya dan dalam kesadaran dan penyesalan hendak bertaubat sekalipun, akan merupakan perjuangan yang lebih sukar lagi!
Seperti telah disebut-sebut di bagian depan, pada masa itu yang menguasai daratan adalah Dinasti Cin yang berhasil meruntuhkan Kerajaan Tang Muda (923-936). Oleh perang saudara yang tiada henti-hentinya ini, banyak timbul kerajaan-kerajaan kecil yang mempergunakan kesempatan perebutan kekuasaan itu untuk berdiri sendiri, di antaranya adalah Kerajaan Hou-han di Propinsi Shan-si ini. Melihat perubahan itulah, Jernderal Kam Si Ek yang berjiwa patriotic dan setia kepada Kerajaan Tang mengundurkan diri dan rela hidup bertani di dusun Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Akan tetapi tidak demikian dengan sebagian besar pendukung Tang yang dipimpin oleh Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong bekas Raja Muda Kerajaan Tang lama. Ketika Kerajaan Tang baru berhasil merobohkan Kerajaan Liang, ia memperoleh lagi kedudukan baik sebagai pimpinan para panglima dan penasihat raja. Akan tetapi perang saudara tak pernah berhenti. Raja Tang baru atau Tang Muda yang belum lama berdiri ini, roboh kembali dalam waktu tiga tahun saja dan kedudukannya diganti oleh Kerajaan Cin Muda (936-947).
Kong Lo Sengjin tentu saja tidak mau tinggal diam. Biarpun kerajaan yang dibelanya telah runtuh, ia tidak putus asa dan masih terus melakukan perlawanan untuk merebut kekuasaan. Banyak orang-orang pandai menggabung dengan jago tua ini dan selain berkali-kali menyerang Kerajaan Cin Muda, juga mereka ini selalu mengadakan gangguan kepada kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Hou-han yang tidak mau diajak kerja sama meruntuhkan Kerajaan Cin Muda.
Inilah sebabnya mengapa terjadi pernyerangan atas diri Pangeran Lie Kong Hian. Karena sudah tidak mempunyai pusat kerajaan para pendukung Tang itu melakukan gerakan liar, mengacau setiap kerajaan yang tidak mau bekerja sama. Dan karena ancaman-ancaman ini pula maka Raja Hou-han dan para panglima-panglimanya ketika mendengar akan adanya seorang wanita sakti yang menjadi kakak misan dan juga guru selir ke tujuh, diam-diam merasa girang dan tidak pernah mengganggu. Dengan hadirnya Lu Sian di dalam istana, keselamatan raja sekeluarga lebih terjamin. Hal ini terbukti ketika terjadi penyerbuan di malam hari, tiga bulan setelah Lu Sian tinggal di dalam istana.
Malam itu gelap dan sunyi. Menjelang tengah malam, terjadilah pertempuran di dekat tembok sebelah selatan yang mengelilingi istana ketika lima orang penjaga diserbu oleh tiga orang berpakaian hitam. Dalam waktu singkat saja lima orang penjaga ini roboh binasa, akan tetapi sebelum roboh, seorang di antara mereka sempat berteriak-teriak minta tolong. Tiga orang itu secepat burung terbang telah melompat pagar tembok dan lenyap ke dalam lingkungan istana! Para penjaga dan pengawal istana menjadi heboh melihat lima orang penjaga itu malang-melintang mandi darah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Segera tanda bahaya dibunyikan. Regu penjaga yang malam hari itu mendapat giliran berjaga terdiri dari tiga puluh orang, dibagi di luar dan di dalam. Kini tinggal dua puluh lima orang lagi dan mulailah mereka mengadakan pengejaran dan mencari-cari di sekitar bangunan-bangunan istana. Namun tidak tampak bayangan seorang pun penjahat.
Mendadak di istana pusat yang menjadi tempat tinggal Raja, terdengar suara wanita menjerit-jerit. Para pengawal ini menyerbu masuk dan mereka terkejut melihat empat orang wanita pelayan telah mati pula. Akan tetapi di ruangan tengah, tak jauh dari kamar Raja sendiri, tampak selir raja ke tujuh dengan pedang di tangan tengah melawan keroyokan tiga orang berpakaian hitam. Seorang wanita lain yang cantik dan biarpun jarang terlihat penjaga namun dapat diduga oleh mereka bahwa inilah kakak misan Coa Kim Bwee yang kabarnya sakti, berdiri di sudut dengan sikap tenang menonton pertempuran. Ketika para penjaga hendak menyerbu dan membantu selir Raja itu, menghadapi tiga orang penjahat, Lu Sian menggerakkan tangan mencegah mereka sambil berkata, "Jangan Bantu!" Para penjaga kaget dan heran, biarpun sudah dicegah mereka tetap maju dengan senjata di tangan.
Karena Lu Sian bukan anggota istana, mereka menjadi ragu-ragu untuk mentaati pencegahannya, bahkan dua orang penjaga sudah menerjang maju, untuk membantu. Namun, sekali tampak kelebatan sinar pedang seorang di antara tiga orang penjahat itu, dua orang penjaga itu berteriak dan roboh mandi darah!
"Tolol! Mundur dan jangan Bantu aku!" bentak Coa Kim Bwee. Kini para penjaga itu terkejut dan cepat mundur. Tiga orang lawan itu amat lihai dan kini selir raja yang berpengaruh itu sendiri melarang mereka, maka mereka hanya berdiri menonton dengan hati gelisah. Betapa mereka tidak akan gelisah menyaksikan kehebatan tiga orang tamu malam itu yang mainkan pedang mereka begitu ganas sehingga selir ke tujuh itu sendiri terdesak hebat?
"Siauw-moi, keluarkan ular!" tiba-tiba Lu Sian berkata dan gerakan pedang Coa Kim Bwee tiba-tiba berubah. Pedangnya berlenggak-lenggok gerakannya, kadang-kadang ujungnya berkelebat seperti ular mematuk. Inilah Ilmu Pedang Sin-coa Kiam-hoat yang mulai dipelajarinya dari Lu Sian. Memang Coa Kim Bwee memiliki dasar yang kuat serta sudah menguasai gerakan ilmu silat tinggi, maka biarpun baru belajar beberapa bulan, pedangnya sudah amat berbahaya gerakannya.
Tiga orang lawannya itu terkejut dan mereka pun mengubah gerakan pedang, bahkan kini mereka mengurung dalam bentuk segitiga yang disebut Sim-seng-tin (Barisan Bintang Hati). Bintang Hati adalah tiga buah bintang yang kedudukannya di ujung segitiga. Karena Sin-coa Kiam-hoat itu gerakannya menyerang langsung ke depan dengan perubahan yang amat aneh dan sukar di duga, maka kini dikurung dengan terdesak. Setiap kali ujung pedangnya menyerang seorang lawan, yang dua sudah menerjangnya, agaknya rela mengorbankan seorang kawan akan tetapi berhasil merobohkan yang dikeroyok. Tentu saja Kim Bwee tidak mau mengadu nyawa sehingga serangannya selalu ia tarik kembali dan gagal. Ia menjadi sibuk sekali dan akhirnya kembali hanya menggerakkan pedangnya diputar cepat melindungi tubuhnya.
"Siauw-moi, mundur!" teriak Lu Sian sambil melompat maju. Sekali sambar, ia menarik dan melempar tubuh Kim Bwee ke belakang, kemudian menyerbu dengan tangan kosong!
Tiga orang berpakaian hitam itu kaget sekali karena begitu tangan Lu Sian bergerak tiga batang jarum meluncur cepat menuju dada mereka. Namun dengan gerakan tangkas ketiganya berhasil menyampok jarum itu denganpedang, dan pada saat itu mereka mencium bau harum dari jarum itu dan lebih semerbak lagi bau harum keluar dari rambut Lu Sian tercium hidung mereka.
"Tok-siau-kwi...!" Seorang di antara mereka berseru kaget. Memang nama besar Tok-siauw-kwi pada waktu itu sudah amat terkenal di mana-mana setelah Lu Sian melakukan perbuatan-perbuatan menghebohkan di pelbagai perkumpulan silat. Yang membuat ia terkenal, selain ilmu silatnya yang tinggi dan wataknya yang ganas, juga terutama sekali bau harum dari tubuhnya dan Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang amat berbahaya. Maka sekali melihat jarum merah yang wangi serta bau harum dari tubuh wanita cantik ini, tahulah tiga penyerbu istana itu bahwa mereka berhadapan dengan Tok-siau-kwi!
"Tok-siau-kwi, kau orang Beng-kauw, mengapa mencampuri urusan kami!" bentak pula seorang di antara mereka sambil melintangkan pedang di depan dada.
"Hemmm, aku mencampuri atau tidak, kalian peduli apa? Sekali menyebut nama julukanku, berari harus mati. Tahukah kalian akan hal ini?" kata Lu Sian sambil tersenyum dingin.
Tiga orang itu menjadi marah. Mereka adalah patriot-patriot pengikut Kerajaan Tang yang setia, maka biarpun menghadapi tokoh seperti Tok-siauw-kwi, mereka tidak menjadi takut, bahkan kini berbareng mereka menerjang dengan gerakan pedang yang dahsyat.
"Kau menghianati suamimu...!" Begitu ucapan itu keluar dari mulut seorang penyerbu, tiba-tiba orang ini menjerit dan roboh tak bernyawa lagi. Ternyata secepat kilat Lu Sian telah menggunakan Ilmu Totokan Im-yang-ci (Totokan Im Yang) yang ia pelajari dari kitab yang ia curi dari Kuil Siauw-lim-pai! Hebat sekali gerakannya dan kini dua batang pedang telah menusuk, sebuah dari depan mengarah dada kirinya, sebuah lagi dari belakang membacok kepalanya. Diserang dari depan dan belakang ini, Lu Sian tiba-tiba mengenjot tubuhnya mencelat ke atas.
"Wuuuttt! Singggg!" Dua batang pedang itu meluncur lewat dari atas Lu Sian menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang itu terurai dan menyambar, terpecah menjadi dua gumpal rambut hitam halus panjang yang secara tiba-tiba telah berhasil melibat leher kedua orang pengeroyoknya. Ketika Lu Sian meloncat ke belakang, kedua orang itu ikut terbanting dan dua kali tangan Lu Sian bergerak terdengar suara "Plak! Plak!" dan robohlah dua orang itu. Pada punggung mereka tampak tanda jari-jari tangan yang berwarna merah, tapak tangan yang membakar baju di punggung, menembus kulit dan terus hawa pukulannya yang penuh racun merusak isi dada membuat mereka tewas seketika!
"Hebat, Cici..." Coa Kim Bwee berseru girang sekali. Lu Sian hanya tersenyum dan menggeleng kepala. "Cici, harap kau suka ajarkan pukulan-pukulan itu..."
"Mari kita pulang." Karta Lu Sian tenang saja.
Coa Kim Bwee memberi perintah kepada para pengawal untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan, lalu berkata. "Harap Cici suka pulang dulu dan mengaso, saya harus memberi laporan kepada Baginda." Memang pada waktu itu, pengawal dalam dari Kaisar telah keluar, yaitu dua orang thaikam (orang kebiri) yang mewakili junjungan mereka untuk memeriksa keributan di luar istana.
Ketika Coa Kim Bwee kembali ke kamar Lu Sian, ia memeluk gurunya ini dengan penuh kagum. "Cici kepandaianmu hebat sekali! Raja sendiri telah mendengar akan jasamu dan beliau memerintahkan saya memanggil Cici menghadap." Lu Sian mengerutkan kening. "Ehhh...? Aku... tidak suka..."
"Akan tetapi, Cici. Sepak terjangmu tadi disaksikan banyak pengawal dan para thaikam tentu memberi laporan. Bukan aku yang membocorkan kehadiranmu di sini. Jangan khawatir, beliau
hanya akan menyampaikan penghargaannya, dan akulah yang menanggung bahwa Cici takkan mendapat susah dan tetap akan bebas. Pula... eh..." wanita itu tertawa genit. "Bukan hanya raja yang kagum kepadamu, Cici. Juga di sana akan hadir semua pangeran dan panglima muda, bukankah ini kesempatan baik untuk... eh, belajar kenal dengan mereka?"
Lu Sian tersenyum dan mengerling genit. "Iihhh! Tentu hanya pangeran-pangeran dan panglima-panglima pucat dan panglima-panglima bopeng (cacat)!"
"Hi-hi-hik! Siapa bilang? Masa saya berani berdusta? Cici lihat saja. Ada Pangeran Kang yang tampan seperti gadis cantik berpakaian pria, ada pula Pangeran Liang yang gagah perkasa, bertubuh seperti seekor harimau jantan. Dua orang pangeran ini termasuk pangeran-pangeran yang sukar didekati, saya sendiri tidak pernah berhasil. Barangkali Cici..." "Ihh! Kalau kau saja mereka tolak, apalagi aku yang lebih tua!"
"Lain lagi engkau dan aku, Cici. Kau lebih cantik, lebih menarik, pula kepandaianmu istimewa. Masih ada lagi beberapa orang panglima yang tampan dan ganteng, pendeknya Cici takkan kecewa, tinggal pilih..."
"Sudahlah, kita tidur. Besok saja kita lihat..." Demikianlah, dua orang wanita yang menjadi hamba nafsu itu tidur mengaso.
Pada keesokan harinya, Lu Sian diajak Coa Kim Bwee menghadap Raja dan benar saja, Lu Sian menjadi pusat perhatian, bukan hanya oleh Raja, akan tetapi juga oleh para pangeran dan panglima yang merasa amat kagum. Dan benar pula seperti yang dikatakan Kim Bwee, di situ hadir pangeran-pangeran yang amat tampan dan panglima-panglima yang amat gagah. Raja sendiri amat ramah menyambut Lu Sian. Raja kerajaan Hou-han ini amat pandai dan cerdik. Ia maklum bahwa kerajaannya selalu dimusuhi pihak yang ingin meruntuhkannya, oleh karan ini ia perlu membaiki para tokoh pandai. Dengan ucapan manis ia menyatakan syukur dan terima kasihnya atas bantuan Lu Sian dan melihat kenyataan bahwa Lu Sian adalah kakak angkat selirnya yang ke tujuh, raja menganugerahkan gelar Pelindung Dalam Istana kepada Lu Sian dan memberi kebebasan kepada Lu Sian untuk pergi ke mana saja dalam istana tanpa ijin lagi. Kehormatan besar yang hanya dimiliki permaisuri dan kepala pengawal! Kemudian ia memberi hadiah sutera-sutera halus dan perhiasan ketika Lu Sian diberi perkenan mengundurkan diri.
Setelah kembali ke kamar sendiri, Kim Bwee berseru girang. "Wah, Raja suka kepadamu, Cici. Kalau kau mau..."
"Hush! Kau mau samakan aku denganmu? Selera kita bereda, Kim Bwee. Siapa suka melayani laki-laki setengah tua yang jenggotnya kasar itu? Tidak, aku tidak mau. Kalau Raja memaksa, aku akan minggat dari sini."
Coa Kim Bwee tertawa. "Jangan kuatir, Cici. Saya dapat membujuk raja dan menyatakan bahwa kau sudah menjauhkan diri daripada pria. Beliau membutuhkan kepandaianmu, tentu tidak akan memaksa. Bagaimana pendapat Cici tentang para pangeran dan panglima muda? Hebat, kan?"
Lu Sian tersenyum, memainkan biji matanya. "hebat sih hebat, akan tetapi sebagai wanita, bagaimana aku dapat mendekati mereka? Kau sendiri bilang, mereka itu sukar didekati."
"Ihh, siapa berani menolak Cici? Tadi pun kulihat mereka melirak-lirik ke arah Cici penuh kagum dan mengilar! Kalau memang Cici ada hasrat berkenalan, aku ada jalan untuk mempertemukan Cici dengan mereka."
Selir ke tujuh Kaisar ini benar-benar pandai mengambil hati sehingga Lu Sian merasa gembira sekali. Setelah berjanji akan menurunkan Ilmu Pukulan Tangan Api Merah kepada Kim Bwee, Lu Sian lalu mengatakan tanpa malu-malu lagi bahwa di antara para muda yang hadir tadi, ia tertarik kepada dua orang pangeran dan seorang panglima muda.
"Hi-hi-hik! Siapa bilang selera kita tidak cocok?" Kim Bwee bersorak. "Dan dua orang pangeran itu adalah Pangeran Kang yang kuilt mukanya halus seperti wanita, dan Pangeran Liang yang gagah seperti harimau. Cocok, bukan? Dan panglima muda itu adalah seorang jejaka asli, usianya baru dua puluh tahun, kuat seperti seekor kuda jantan dan pandai mainkan golok. Ganteng, ya? Terutama sekali kumisnya yang tipis dan dagunya. Hemm...!" Dengan lagak genit Kim Bwee meramkan matanya dan menelan ludah.
"Cihh! Genit benar engkau, Kim Bwee. Bagaimana kau hendak atur agar aku dapat berkenalan dengan mereka?"
"Mudah saja, mudah saja! Setelah Cici menjadi Pelindung Dalam Istana ini, sudah sewajarnya Cici mengadakan makan-makan dalam pesta perkenalan. Aku akan mengundang mereka dalam pesta, siapa bilang mereka akan berani menolaknya?"
Malam hari itu, ditemani oleh Coa Kim Bwee, Lu Sian tercapai hasrat hatinya, makan minum semeja dengan tiga orang muda yang ganteng tampan, Pangeran Kang, Pangeran Liang dan Panglima Muda Cu Bian. Ketiga orang muda ini tentu saja mereka tidak enak untuk menolak undangan Lu Sian yang kini dikenal sebagai Sian-toanio (Nyonya Besar Sian), pelindung istana yang memiliki kepandaian tinggi. Biarpun dengan malu-malu, mereka merasa girang juga dapat berkenalan denga tokoh hebat ini dan bau semerbak harum di kala mereka makan bersama, membuat hati muda mereka berdebar-debar. Memang mereka semua maklum akan kegenitan selir ke tujuh kaisar yang sudah lama menggoda mereka, akan tetapi mereka tidak berani melayani karena mereka adalah orang-orang gagah yang tidak melakukan perbuatan hina. Akan tetapi, kecantikan dan kesaktian Sian-toanio benar-benar mengguncangkan hati dan pertahanan mereka.
Karena kini Lu Sian bebas mengunjungi bagian mana saja dalam lingkungan istana, akhirnya kedua orang Pangeran Kan dan Liang roboh dalam pelukannya, tidak kuat menahan goda dan bujuk rayunya. Orang-orang muda yang kurang pengalaman ini tentu saja mudah dipermainkan Lu Sian yang sewaktu-waktu di waktu malam dapat mengunjungi kamar mereka, dapat melakukan semua ini tanpa terlihat pengawal atau orang lain karena ia mempergunakan kepandaiannya yang tinggi.
Akan tetapi dasar moralnya sudah bejat rusak, Lu Sian masih belum puas dengan hasil kemenangan-kemenangan ini. Sudah banyak ia berhasil menjadikan pangeran-pangeran dan panglima muda tunduk dan menjadi kekasihnya. Ia berpesta pora dengan pangeran-pangeran ganteng dan panglima-panglima gagah, namun satu hal membuat ia kecewa dan penasaran. Yaitu Panglima Muda Cu Bian yang sampai berbulan-bulan belum juga mau menyerah! Panglima muda ini benar-benar keras hati dan setiap kali Lu Sian datang, melayani wanita ini dengan sopan dan keras, tidak mau tunduk dan tak pernah menyatakan tanda-tanda runtuh di bawah sikap manis dan bujuk rayu.
Malam itu, untuk kesekian kalinya Lu Sian yang merasa penasaran mendatangi kamar Panglima Muda Cu Bian. Pemuda ini tengah membaca kitab di dalam taman di luar kamarnya, di bawah penerangan lampu kehijauan. Ketika melihat bayangan berkelebat, Cu Bian cepat melompat berdiri dan siap karena pada masa itu memang tidak aneh kalau ada musuh datang di waktu tengah malam. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang datang adalah Lu Sian ia tersenyum dan berkata. "Ah, kiranya Sian-toanio yang datang. Silakan duduk!"
Lu Sian tersenyum manis dan duduk di atas bangku depan pemuda itu sambil berkata, "Cu-ciangkun benar-benar rajin sekali, asyik mempelajari kitab apakah?"
Cu Bian tersenyum dengan muka merah. "Ah, Toanio, sungguh malu kalau bicara tentang ilmu di depanmu. Aku terlalu bodoh untuk memahami isi kitab ini."
"Ilmu apakah yang berada dalam kitab?" "Ilmu Sia-kut-hoat (Lemaskan Tulang)."
"Ah, Ciangkun sudah begini lihai masih mempelajari Sia-kut-hoat?"
Cu Bian cepat berdiri dan menjura. "Harap Toanio jangan mentertawakan aku yang masih bodoh."
Lu Sian menutupi mulutnya menyembunyikan tawa. "Para panglima di sini benar-benar pandai merendahkan diri. Ciangkun, apakah kau menemui kesukaran dalam pelajaran Sia-kut-hoat?"
"Benar, Toanio." "Hemm, apakah sukarnya? Kurasa mudah saja mempelajari ilmu ini. Kalau Ciangkun suka, boleh saja aku mengajarmu sampai berhasil."
"Sungguh? Ah, terima kasih, Toanio, terima kasih." "Ciangkun suka?" "Tentu saja saya suka, kalau tidak terlalu mengganggu Toanio."
"Ilmu Sia-kut-hoat berinti kepada pengguna hawa sakti dalam tubuh. Akan tetapi untuk mengetahui sampai di mana tingkat Ciangkun, harap Ciangkun memberi petunjuk sebentar. Mari kita main-main sebentar, Ciangkun boleh saja menggunakan golokmu yang terkenal ampuh, dan akan kuperlihatkan betapa Sia-kut-hoat dapat melawannya."
"Mana saya berani? Tak usah dengan senjata, baik dengan tangan kosong saja, akan tetapi harap Toanio jangan mentertawai kebodohanku."
Lu Sian berdiri dan tersenyum manis. "Tangan kosong pun boleh. Nah, silakan, Ciangkun."
Karena mendapat janji akan diberi pelajaran Ilmu Sia-kut-hoat yang amat ia inginkan, pemuda ini memenuhi permintaan Lu Sian, lalu menyimpan bukunya dan berdiri menghadapi Lu Sian. Akan tetapi karena ia merasa sungkan-sungkan, ia menjura dan memberi hormat. "Harap Toanio maafkan kelancanganku." "Tak usah Ciangkun sungkan, mulailah."
"Toanio, awas serangan!" Sambil berkata demikian Cu Bian menyerang dengan pukulan ke arah pundak. Pukulan ini seharusnya menuju ke dada, akan tetapi Cu Bian yang pemalu merasa tidak pantas memukul dada dalam latihan maka memukul pundak. Diam-diam Lu Sian menjadi gemas. Pemuda ini amat pemalu dan terlalu sopan, pikirnya. Ia segera mengangkat tangannya menangkis, sengaja bergerak perlahan dan lambat. Sebagai seorang ahli silat yang sudah pandai, tentu saja Cu Bian melihat kelambatan ini. Betapapun juga ia seorang panglima muda yang sudah terkenal, tentu saja dalam pertandingan ilmu silat, ia ingin mencari kemenangan. Melihat tangkisan lambat ini, kepalan tangannya dibuka dan ia menangkap lengan Lu Sian sambil menariknya. Tepat sekali tangannya berhasil mencengkeram kulit lengan yang halus dan hangat. Akan tetapi mendadak sekali pegangan yang erat itu terlepas seakan-akan lengan itu seekor belut atau ular yang licin, dan seakan-akan tulang lengan itu lenyap. Ia kaget sekali.
"Nah, itulah kegunaan Sia-kut-hoat, Ciangkun. Kau boleh menangkapku lagi di mana saja!" Tantang Lu Sian sambi tersenyum. Cu-ciangkun masih belum mau percaya.
"Maaf, Toanio!" katanya dan ia bergerak maju, kedua tangannya cepat sekali berhasil menangkap kedua lengan Lu Sian dan kini ia mengerahkan tenaga, jari-jari tangannya mencengkeram.
Dengan mulut tetap tersenyum Lu Sian berkata, "Yang keras, Ciangkun, lebih keras lagi."
Cu Bian penasaran sekali dan mempererat pegangannya, tidak peduli lagi apakah pegangannya itu akan meyakitkan, bahkan ia lalu mempergunakan cengkeraman dari Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Ilmu Cakar Garuda). Dengan ilmu ini, ia berani mencengkeram senjata tajam lawan, maka kini memegang lengan halus, dapat dibayangkan betapa kuatnya. Namun tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara lirih dan... tahu-tahu kedua lengannya sudah terlepas lagi dari cengkeraman Cu Bian!
"Hebat...!" Cu Bian berseru girang.
"Cu-ciangkun, kalau hanya mencoba dengan lengan saja, tentu akan dikira bahwa Sia-kut-hoat hanya dapat dipakai untuk melemaskan tulang lengan. Cobalah sekarang Ciangkun menangkapku seperti orang menangkap pencuri, boleh Ciangkun menjepit tubuhku dengan kedua lengan boleh kaurangkul dan jepit."
Seketika wajah Cu Bian menjadi merah. "Ini... ini... mana saya berani...?"
"Ihh, Ciangkun mengapa sungkan-sungkan dan malu-malu? Bukankah kita ini sedang berlatih menguji ilmu? Hayo, lakukanlah jangan ragu-ragu. Sebaiknya Ciangkun menggunakan ilmu menangkap yang paling kuat, membekuk leherku melalui bawah kedua lenganku ke atas."
Berdebar jantung Cu Bian. Di lubuk hatinya ia amat mengagumi wanita ini, kagum akan ilmu kepandaiannya, juga kagum akan kecantikannya. Akan tetapi dia bukanlah seorang pemuda hidung belang, dan ia selalu menjaga kesopanan dan menjaga nama. Kalau saja ia tidak amat ingin mempelajari Sia-kut-hoat, agaknya ia akan berkeras menolak. Merangkul seperti itu sama saja dengan memeluk, pikirnya.
"Aku... aku... tidakkah itu berarti saya berani kurang ajar terhadap Toanio?" Ia masih membantah dan ragu-ragu.
Makin gemas hati Lu Sian. Benar-benar seorang pemuda istimewa. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda yang begini pemalu dan tahan uji dan kuat menahan perasaan.
"Cu-ciangkun, bagaimana ini? Aku sedang memberi petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau pelajari, mengapa begini saja kau keberatan? Ada apakah terselip dalam hatimu?"
Makin bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka, pikirnya. Keraguanku ini bahkan menimbulkan kesan bahwa memang hatiku memikirkan hal-hal kurang layak! Ia segera melangkah maju dan berkata tegas, "Baiklah, Toanio!"
Lu Sian tersenyum mengejek lalu membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya ke atas, "Nah, kaubekuklah aku!"
Cu Bian mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu Sian, lalu membalikkan tangan ke atas dan kedua tangannya bertemu di atas tengkuk Lu Sian. Jantungnya berdebar makin keras dan pemuda ini memejamkan matanya menggigit bibir! Kasihan sekali pemuda yang hijau ini. Mana ia tidak merasa "tersiksa" ketika kedua lengannya merasai kulit leher yang halus, dadanya merapat pada punggung yang lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut yang harum semerbak? Demi kesopanan ia agak mengundurkan tubuhnya dan pelukannya pada leher mengendur.
"Eh-eh, bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk pencuri selemah ini, tanpa Sia-kut-hoat sekalipun akan mudah lepas. Jangan sungkan-sungkan, Ciangkun. Atau... kuatirkan engkau kalau-kalau leherku akan patah?"
Cu Bian makin bingung dan terpaksa sekali ia mengerahkan tenaga mempererat kedua lengannya yang membekuk leher dan untuk melakukan ini, terpaksa pula ia merapatkan dadanya ke punggung Lu Sian. Jantungnya berdebar kencang sekali, darahnya berdenyut-denyut dan kepalanya menjadi pening, napasnya terengah-engah!
Lu Sian tersenyum, hampir terkekeh geli. Tentu saja ia dapat merasakan betapa dada bidang dan keras yang merapat punggungnya itu berdenyut-denyut keras, betapa kedua lengan yang berotot dan kuat itu menggigil, betapa napas di belakang tengkuknya itu panas sekali dan terengah-engah! Makin kagumlah ia. Alangkah kuatnya pemuda ini, kuat lahir batin. Tubuhnya kuat, juga batinnya kuat sehingga biarpun nafsu muda yang sudah selayaknya itu masih dapat bertahan dan berusaha menekannya.
"Yang lebih kuat lagi, Ciangkun!" Ia menggoda dan sengaja berlama-lama melepaskan diri sehingga pemuda itu merasa semakin "tersiksa".
"Sudah cukup, Toanio. Lekaslah gunakan Sia-kut-hoat..." "Kenapa sih Ciangkun terburu-buru?" Lu Sian menggoda terus. "Saya... eh... saya kuatir kalau-kalau... Toanio akan terluka..."
Karena sudah yakin bahwa diam-diam pemuda ini tidak dapat menahan daya tarik kewanitaannya, Lu Sian lalu berkata, "Nah, yang kuat, kerahkan tenagamu, aku akan melepaskan diri!" sambil berkata demikian, ia menggerakkan tubuhnya, menggeliat-geliat dan... dengan mudah ia dapat "merosot" keluar dari pelukan ketat itu! Cu Bian masih berdiri agak membongkok dengan kedua lengan memeluk seperti tadi, akan tetapi yang dipeluknya sudah terlepas dan ia masih terengah-engah dan meramkan matanya!
"Bagaimana, Ciangkun?" Lu Sian tertawa dan menggigit bibir menahan geli.
Cu Bian cepat sadar dan ia segera membungkuk dan memberi hormat. "Benar-benar Toanio lihai sekali, saya merasa takluk. Dan amat beruntunglah saya akan mendapat bimbingan Toanio dalam mempelajari Sia-kut-hoat."
"Ciangkun, Ilmu Sia-kut-hoat mudah, akan tetapi dasarnya harus kuat, seperti kukatakan tadi, berdasarkan penggunaan hawa sakti dalam tubuh yang disalurkan pada sambungan tulang. Untuk mempelajari ini, kita harus berada dalam ruangan tertutup dan biarlah aku membantu penyaluran hawa dalam tubuh Ciangkun agar lebih cepat hasilnya. Sanggupkah Ciangkun?"
Makin merah muka Cu Bian, akan tetapi ia percaya betul bahwa Sian-toanio ini bersungguh-sungguh hendak melatihnya. Kalau memang caranya demikian, apa mau dikata lagi? Toh ini hanya latihan, demi memenuhi syarat agar berhasil! "Baiklah, Toanio, apakah kamar saya cukup memenuhi syarat?" "Cukuplah, asal di tempat tertutup," jawab Lu Sian menahan geli hatinya.
Mereka lalu meninggalkan taman dan memasuki kamar Cu Bian yang cukup luas dan bersih. Sebuah tempat tidur lebar berdiri di sudut kamar. Lu Sian tidak mau tergesa-gesa, karena ia tidak ingin membuat pemuda ini terlalu sungkan, malu dan bercuriga. Maka ia berkata,
"Ciangkun harus duduk bersila menyatukan perhatian dan mengerahkan hawa sakti dalam tubuh. Biar saya yang membantu penyaluran hawa sakti itu. Akan tetapi agaknya Ciangkun akan merasa tidak pantas kalau kita berlatih di atas... sana itu!" Ia menuding ke arah ranjang dan Cu Bian menundukkan muka, tak berani memandang wajah Lu Sian. "Karena itu, biarlah kita duduk bersila di lantai ini saja."
Cu Bian tidak berani menjawab. Ia benar-benar merasa amat sungkan dan malu. Selama hidupnya belum pernah ia berdua dengan seorang wanita di dalam kamar, apalagi berada di atas satu ranjang, biarpun hanya bersila! "Terserah... kepada Toanio..." jawabnya dan ia lalu mendahului duduk bersila di atas lantai.
Lu Sian pun duduk bersila di depannya, kemudian wanita itu menempelkan kedua telapak tangannya kepada tangan Cu Bian sambil berkata, "Atur napas kerahkan tenaga biar nanti aku yang membantumu menyalurkan tenaga ke sambungan-sambungan tulang. Kau menurutlah saja dan lihat hasilnya."
Cu Bian mengangguk karena sukarlah baginya mengeluarkan suara setelah kedua tangan mereka saling menempel. Betapa takkan berdebar jantungnya karena tapak tangan yang halus lunak itu menyalurkan hawa mujijat yang seperti membanjir ke dalam tubuhnya membuat tubuhnya penuh getaran-getaran aneh. Dan bau yang semerbak harum itu! Cu Bian cepat memejamkan kedua matanya, mencurahkan perhatiannya dan mengerahkan sin-kang (hawa sakti) dalam tubuhnya. Terasa olehnya betapa satu kekuatan hebat yang masuk ke tubuhnya melalui telapak tangan itu menguasai hawa saktinya dan mendorongnya menembus seluruh tulang dalam tubuh. Mula-mula lengan kanannya berbunyi berkeretakan, lalu lengan kiri, kedua kaki, kedua pundak, leher dan punggung.
"Sia-kut-hoat dapat membuat tubuh menjadi kecil, tulang-tulang seperti dapat dilipat sehingga kita mudah lolos dari ikatan apapun juga." Lu Sian berbisik, "tanpa menggerakkan tubuh sekalipun kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman apa saja. Lihatlah buktinya!" Tiba-tiba Cu Bian yang masih meramkan mata itu merasa betapa tulang pundaknya bergoncang, ia tidak melawan karena tadi sudah dipesan, menurut saja. Pundaknya serasa tak bertulang lagi sehingga ia terkejut. "Cu Ciangkun, lihat hasilnya, buka matamu..." Kembali Lu Sian berbisik perlahan.
Cu Bian membuka kedua matanya dan... terbelalak ia memandang tubuh bagian atas yang tak tertutup apa-apa lagi itu. Kulit yang putih halus memerah terkena sinar lampu, dada yang montok padat dengan lekuk lengkung sempurna. Dia sendiri pun bertelanjang di tubuh bagian atas. Entah bagaimana, baju mereka berdua telah terlepas dan bergantungan di pinggang, sedangkan kedua tangan mereka masih saling menempel dan tak pernah lepas. Pemuda yang selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, tak dapat menahan lagi. Tubuhnya menggetar, mukanya menjadi merah dan terasa panas, dadanya menggelora menyesakkan napas. Kedua tangan Lu Sian kini memegang kedua tangan pemuda itu dan memijit-mijitnya mesra.
"Tak senangkah hatimu karena hasil ini?" Ia berbisik dengan senyum memikat dan mata basah penuh nafsu.
Makin berombak dada Cu Bian, ia hanya mengangguk-angguk tanpa dapat berkata apa-apa, matanya tidak berani langsung bertemu pandang dengan Lu Sian melainkan tak pernah berkedip menatap ke arah dada! Tiba-tiba Lu Sian tertawa lirih dan menubruknya, merangkul dan menciumnya.
"Eh... eh... Toanio..." Cu Bian terengah-engah dan tubuhnya menggigil, akan tetapi kedua lengannya yang kuat itu memeluk dan mendekap tubuh yang menggairahkan, mendekap sekuat tenaganya sehingga kalau yang dipeluknya itu wanita lain tentu akan remuk-remuk tulang iganya. Akan tetapi Lu Sian bukannya wanita biasa. Didekap sekuat itu, ia hanya tertawa dan kini ia menoleh ke arah lampu, tampak senyumnya melebar, senyum kemenangan ketika bibirnya meruncing untuk meniup ke arah lampu di sudur kamar sehingga padam!
Karena di dalam istana Kaisar Cin Muda ini Lu Sian mengalami penghidupan yang penuh kesenangan di mana ia dapat memuaskan semua nafsunya, hidup bergelimang harta dunia dan kesenangan, maka ia merasa seakan-akan tercapai semua yang menjadi cita-citanya. Sampai delapan tahun ia tinggal di dalam istana, dan selama itu Coa Kim Bwee berhasil menyenangkan hatinya dengan pelayanan-pelayanan manis sehingga banyak pula ilmu yang ia turunkan kepada selir raja ini. Bahkan ilmu awet muda ia turunkan pula kepada Coa Kim Bwee yang tentu saja menjadi amat girang.
Biarpun maklum bahwa wanita yang di dalam istana dikenal sebagai Sian-tonio itu sesungguhnya adalah puteri Beng-kauwcu yang berjuluk Tok-siauw-kwi dan yang menghabiskan pangeran-pangeran dan panglima-panglima muda yang tampan untuk dijadikan kekasihnya, namun Raja tidak mau menghalanginya. Hal ini adalah karena hadirnya Lu Sian di dalam istana itupun merupakan hal yang menguntungkan, semenjak ada Lu Sian di dalam istana, jarang sekali terjadi penyerbuan musuh dan kalaupun ada, tentu akan disapu bersih oleh wanita sakti itu.
Karena istana sudah terjaga dengan adanya Lu Sian, para panglima yang tadinya bertugas menjaga keselamatan raja, kini memindahkan perhatiannya keluar istana dan mulai membantu melakukan pembersihan dalam kota raja. Banyak sudah mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh, bahkan belum lama ini belasan orang pengikut atau anak buah Couw Pa Ong yang masih selalu berusaha merampas kekuasaan, dapat dibasmi habis dalam sebuah kuil kosong di sebelah selatan kota raja. Yang memimpin pembasmian ini adalah Panglima Muda Cu Bian yang kini telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silatnya semenjak ia menjadi kekasih Lu Sian
Panglima muda ini banyak berhasil dalam usaha membasmi musuh, karena dia melakukan penyelidikan dengan menyamar sebagai penduduk biasa, tidak berpakaian sebagai panglima.
Dalam penyelidikannya, Cu Bian tahu bahwa komplotan mata-mata yang paling aktif di kota raja adalah gerombolan anak buah Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin, bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang masih setia kepada dinasti yang sudah runtuh itu. Dan ia tahu pula bahwa di dalam kota raja terdapat sebuah tempat yang dijadikan tempat pertemuan mereka, di samping kuil kosong di mana ia telah membasmi tiga belas orang mata-mata belum lama ini.
Pada suatu pagi, seorang diri Cu Bian pergi menyelidiki rumah tua di ujung kota yang sunyi sebelah barat itu, berpakaian sebagai seorang penduduk biasa. Goloknya ia sembunyikan di balik baju dan ia mendekati rumah tua itu dengan hati-hati dan menyelinap di antara pohon-pohon di belakang rumah. Biasanya rumah tua ini kosong, akan tetapi tadi ia melihat berkelebatnya bayangan orang melalui jendela yang tidak berdaun lagi itu. Setelah dekat ia mengintai dan terdengar suara orang bercakap-cakap. Ketika ia melihat seorang kakek tua duduk di atas kursi sedang marah-marah kepada seorang laki-laki yang berdiri ketakutan, hatinya tergerak. Siapakah kakek ini, pikirnya. Kakek yang mukanya penuh cambang, pakaiannya longgar dan wajahnya berwibawa!
"Goblok! Tolol sekali kalian! Bagaimana sampai berhasil disergap dan dibunuh? Benar-benar tidak berotak. Dan semua usaha ke istana gagal belaka, mengantar nyawa dengan sia-sia! Ah, baru beberapa tahun aku mengaso di Pek-coa-to (Pulau Ular Putih), usaha kita macet karena ketololan kalian. Kalau para pembantuku seperti kalian ini patriot-patriot konyol, mana mungkin Kerajaan Tang yang jaya dapat bangkit kembali?"
"Ampun, Ong-ya, sesungguhnya kami cukup hati-hati, akan tetapi semenjak Tok-siauw-kwi berada di sini, kami tidak berdaya apa-apa. Semua serbuan ke istana gagal dan teman-teman kita banyak yang mati konyol. Gerakan kita di sini menjad macet sama sekali."
Diam-diam Cu Bian terkejut. Kiranya inilah Sin-jiu Couw Pa Ong yang terkenal pula dengan julukannya Kong Lo Sengjin? Ia memandang penuh perhatian dan melihat betapa kedua kaki yang tergantung di kursi itu lemas dan lumpuh, ia tidak ragu-ragu lagi. Hatinya berdebar dan ia menoleh ke belakang. Kalau saja ada pembantu, ah, kalau saja ada Sian-toanio! Akan tetapi masa ia tidak akan dapat mengalahkan seorang kakek yang lumpuh kedua kakinya? Dan orang kedua itupun kelihatan lemah.
"Huh, menghadapi Tok-siauw-kwi saja takut? Biarlah, setelah aku datang, akan kuhancurkan kepala siluman betina itu. Hemm, kaulihat baik-baik!" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan lengannya dan angin besar menyambar ke arah jendela di mana Cu Bian mengintai.
"Brakk!" Runtuhlah sebagian dinding jendela itu, akan tetapi Cu Bian sudah melompat ke samping, terus ia memutar golok yang sudah dicabutnya sambil menyerbu ke dalam rumah melalui jendela.
"Pemberontak tua bangka! Lebih baik kau menyerahkan diri untuk diadili daripada harus berkenalan dengan golokku!" bentaknya.
Kong Lo Sengjin tidak mempedulikan panglima muda ini, bahkan menoleh ke arah laki-laki temannya tadi sambil bertanya, "Siapakah budak ini?"
Laki-laki itu meloncat ke pinggir, gerakannya cukup ringan, dan ia berkata, "Ong-ya, inilah dia Cu-ciangkun, panglima muda yang memimpin pembasmian teman-teman kita di kuil tua...!"
"Oho! Bagus sekali, kau mengantarkan nyawa ke sini, budak. Lekas berlutut agar kau dapat terbebas dari kematian mengerikan!" Suara Kong Lo Sengjin berubah menyeramkan. "Ong-ya, dia ini seorang di antara kekasih Tok-siauw-kwi!" Laki-laki itu berkata pula.
Sementara itu, Cu Bian sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Pemeberontak rendah! Rasakan golokku!" Ia menerjang maju, membacok dengan goloknya, gerakannya cepat dan kuat sekali, goloknya lenyap berubah sinar putih seperti kilat menyambar ke arah leher kakek itu. "Singgg...!!" Namun goloknya mengenai angin belaka karena kakek yang sakti itu telah mencelat ke atas bersama kursinya! Dengan masih duduk diatas kursi, Kong Lo Sengjin telah berhasil mengelakkan sambaran golok! Gerakan luar biasa ini dibarengi suara tertawa bergelak-gelak.
Cu Bian penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang terus kemanapun berkelebatnya bayangan kakek bersama kursinya. Ia sudah memperoleh pelajaran dari wanita cantik itu, tidak hanya pelajaran bermain cinta, melainkan juga pelajaran untuk memperhebat gin-kangnya, lweekang dan ilmu goloknya. Namun menghadapi kakek lumpuh ini, ia benar-benar tidak berdaya. Goloknya selalu membacok angin belaka danpada detik terakhir, kakek itu selalu dapat berpindah tempat bersama kursinya dan masih tetap tertawa-tawa.
"Ha-ha, disuruh berlutut tidak mau, kau menghendaki kematian yang mengerikan!" kakek itu berkata dan lengan bajunya yang panjang itu berkibar menyambar ke depan, yang kanan menangkis golok, yang kiri menyambar ke arah kepala Cu Bian. Bukan main kagetnya pemuda ini ketika goloknya hampir saja terlepas dari pegangannya bertemu dengan ujung lengan baju. Akan tetapi ia lebih memperhatikan sambaran ujung lengan baju ke dua ke arah kepalanya. Cepat ia miringkan tubuh membuang diri, akan tetapi tetap saja pundaknya kena dihantam ujung lengan baju.
"Plakk!" Perlahan saja tampaknya hantaman itu, namun akibatnya cukup hebat karena tubuh Cu Bian terhuyung-huyung ke belakang dan kepalanya serasa hampir pecah saking hebatnya rasa nyeri di pundaknya. Namun orang muda ini mempunyai keberanian besar. Ia meloncat bangun dan kini dengan kemarahan meluap, sambil meluapkan rasa nyeri yang menusuk jantung, ia menerjang maju lagi dengan dahsyat.
_
"Hah, rebahlah kau!" bentak Kong Lo Sengjin tanpa berpindah dari kursinya, hanya dengan gerakan kedua tangannya, di lain saat ia telah dapat merampas golok dan merobohkan Cu Bian dengan totokan yang membuat tubuh pemuda itu lemas dan seperti lumpuh. Cu Bian mengerahkan tenaga hendak bangun, akan tetapi begitu bangun duduk ia terbaring kembali karena tubuhnya menjadi amat lemas. Akan tetapi matanya tetap melotot memandang kakek ini, sedikit pun tidak membayangkan ketakutan.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan di luar dan menerobos masuklah tiga orang berpakaian perwira diikuti oleh belasan orang anak buahnya. Mereka ini adalah pasukan keamanan di kota raja yang tadi melihat gerakan Cu Bian menyelidiki rumah kosong dan kini datang memberi bantuan.
"Kau hadapi mereka!" teriak Si Kakek dan sekali mengulur tangan, ia telah menyambar Cu Bian berikut goloknya, kemudian tubuhnya melayang ke arah pintu.
"Serbu! Tolong Cu-ciangkun!" teriak seorang perwira dan mereka yang berada dekat pintu segera memapaki tubuh kakek yang melayang itu dengan tombak dan golok. Terdengar suara berkerontangan disusul robohnya empat orang perajurit ketika Kong Lo Sengjin menangkis dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil mengibaskan tangan mengirim tamparan. Tubuhnya sudah mencelat keluar dengan mempergunakan sepasang tongkat yang tadinya ia sambar dari dekat meja, ia telah meleset jauh ke depan, sebentar saja lenyap dari tampat itu membawa tubuh Cu Bian yang tak dapat bergerak sama sekali dalam kempitannya.
Yang celaka adalah anak buah Kong Lo Sengjin yang tertinggal dalam rumah tua. Dia lihai juga, melawan mati-matian dengan golok rampasan, akan tetapi tiga orang perwira itu adalah pengawal-pengawal istana yang tangkas, maka setelah mengalami pertempuran hebat, akhirnya orang itu tewas di bawah bacokan banyak senjata dan tubuhnya hancur.
Peristiwa tertawanya Cu-ciangkun oleh seorang kakek pemberontak amat menggegerkan kota raja. Penjagaan di perketat, di seluruh kota tampak para perajurit hilir mudik mengadakan pemeriksaan dan penjagaan. Juga sekitar istana dijaga keras. Namun semua itu tidak menghalangi Kong Lo Sengjin yang menyelundup ke dalam istana, mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa. Bagaikan seekor burung saja ia melompati pagar tembok yang mengurung istana, tidak tampak oleh para penjaga, kemudian menyelinap dalam gelap, meloncat ke atas bangunan istana, Cu-ciangkun masih berada dalam kempitannya ketika ia tiba di atas istana, mencari-cari.
Lu Sian juga mendengar tentang tertawannya Cu-ciangkun. Ia ikut merasa gelisah, karena Cu Bian merupakan seorang di antara kekasihnya yang menyenangkan hatinya. Ia menduga-duga siapa gerangan kakek tua lihai itu dan samar-samar ia teringat akan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong. Diam-diam ia bergidik. Pernah beberapa tahun yang lalu ia menyaksikan sepak terjang kakek lumpuh itu yang amat lihai. Akan tetapi ia tidak takut sekarang. Bahkan iangin ia mencoba kepandaian kakek itu. Agaknya sekarang ia takkan kalah menandingi kesaktian Si Kakek yang ia tahu amat lihai ilmu silat tangan kosong dan amat kuat tenaga sin-kangnya untuk melakukan pukulan jarak jauh. Malam itu Lu Sian tak dapat tidur. Ia duduk dalam kamarnya termenung menghadapi meja. Karena hawa udara agak panas, ia membuka jendela kamarnya yang berbentuk bulat seperti bulan purnama.
Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap suara perlahan di luar kamar, akan tetapi ia hanya tersenyum mengejek dan tidak bergerak dari bangku yang didudukinya, pura-pura tidak tahu bahwa ada seorang tamu malam yang tinggi gin-kangnya sehingga gerakan kakinya hampir tidak menerbitkan suara tengah mendekati kamarnya. Selama ini, tak pernah berhenti ia berlatih sehingga Lu Sian merasa amat percaya akan kepandaiannya sendiri.
Tiba-tiba sinar putih menyambar dari luar jendela memasuki kamar. Biarpun sinar itu menyambar dari belakangnya, namun Lu Sian maklum bahwa senjata itu tidak akan mengenai tubuhnya, maka ia tetap duduk tidak bergoyang sama sekali.
"Capp!" Sinar itu ternyata sebatang golok yang kini menancap di atas meja di depannya, golok yang indah dan di ujung golok itu terdapat sebuah benda merah kebiruan yang kini berada di atas meja tertancap golok. Benda yang berlumur darah. Sebuah jantung manusia! Melihat golok itu, jantung Lu Sian berdebar. Inilah golok Cu Bian, kekasihnya. Dan jantung itu...??
Tiba-tiba terdengar berkesiurnya angin dan sesosok tubuh melayang masuk melalui jendela, menubruk Lu Sian. Wanita ini bangkit berdiri, tangan kirinya menyampok dan tubuh itu terbanting ke atas lantai. Ketika ia memandang, ternyata itu adalah sesosok mayat seorang laki-laki yang telentang dengan dada robek dan mata terbelalak. Mayat Cu Bian!
"Ha-ha-ha! Tok-siauw-kwi, kukirim pulang tubuh kekasihmu! Wanita tak tahu malu, kau mengotori nama besar Beng-kauw!" Terndengar suara memaki dan mengejeknya di luar.
Hampir meledak rasa dada Lu Sian saking marahnya. Mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya berkilat dan ia menyambar pedangnya, terus melayang keluar dari jendela. Ketika ia turun di dalam taman bunga di pinggir rumah, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek, berdiri di atas kedua tongkatnya yang menggantikan kaki. Sin-jiu Couw Pa Ong alias Kong Lo Sengjin!
Hemmm, kiranya engkau tua bangka keparat! Bukankah engkau ini si pemberontak Couw Pa Ong yang juga bernama Kong Lo Sengjin!"
"Ha-ha-ha! Betul sekali, Tok-siauw-kwi. kau boleh menyebut aku pemberontak, akan tetapi aku memberontak kepada kerajaan-kerajaan yang dahulunya memberontak dan merobohkan Dinasti Tang, aku seorang patriot sejati! Tidak seperti engkau ini! Suamimu, Jenderal Kam Si Ek juga seorang patriot sejati, akan tetapi engkau telah mengkhianatinya, mencemarkan namanya. Apalagi kalau diingat bahwa engkau puteri Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan benar-benar menyebalkan dan merendahkan nama ayahmu dan Beng-kauw!"
"Tutup mulutmu yang kotor! Kong Lo Sengjin, orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!"
"Ha-ha-ha, sombongnya! Ayahmu sendiri tidak akan berani kurang ajar terhadapku, kau ini bocah sombong bisa apakah? Mengingat muka Ayahmu, biarlah aku mengampunimu dan lekas kau minggat dari Kerajaan Hou-han ini dan jangan membelanya. Ada hubungan apakah Hou-han denganmu maka kau membelanya mati-matian?"
"Kakek tua bangka! Apa yang kulakukan, ada hubungannya apa denganmu? Kau peduli apa?
"Wah, benar keras kepala! Kukira aku tidak tahu bahwa kau di sini mengumpulkan pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsumu yang kotor dan hina? Kau...."
"Keparat!" Lu Sian sudah menerjang maju dengan pedangnya karena tidak tahan lagi mendengar kata-kata Kong Lo Sengjin. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan kilat menyambar, dengan gerakan dahsyat sekaligus telah menyerang dengan tiga kali bacokan dan dua tusukan berubi-tubi.
"Trang-trang-trang-trang-trang....!" Lima kali pedang bertemu tongkat dan keduanya meloncat ke belakang sampai mereka terpisah dalam jarak enam meter. Hebat serangan Lu Sian, akan tetapi hebat pula tangkisan Si Kakek Tua. Keduanya merasa telapak tangan mereka tergetar dan diam-diam Kong Lo Sengjin terheran-heran. Tangkisannya tadi telah ia gerakkan dengan pengerahan sin-kang dengan maksud membuat pedang lawan terpental, akan tetapi jangankan terpental, bahkan pedang itu masih dapat menyerang terus sampai lima kali. Hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi marah dan penasaran. Di lain fihak, Lu Sian juga bersikap hati-hati. Ia maklum bahwa kakek ini pandai sekali serta kuat tenaganya. Serangannya tadi merupakan jurus yang lihai dari Toa-hong Kiam-sut, akan tetapi dapat ditangkis dengan baik oleh lawan dan tangannya terasa gemetar tanda bahwa tenaga yang tersalur pada tongkat itu amat kuatnya.
Tangan kiri Lu Sia bergerak dan dan sinar merah menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam yang ia lepas dengan pengerahan tenaga. Belasan batang jarum halus yang mengeluarkan bau harum itu menyambar ke arah jalan darah yang mematikan, sukar sekali dielakkan lawan karena begitu tangannya bergerak, sinar berkelebat dan jarum-jarum itu sudah sampai di tempat sasaran! Namun sambil tertawa Kong Lo Sengjin mengebutkan ujung lengan bajunya dengan gerakan memutar dan jarum-jarum itu bagaikan tergulung angin kemudian runtuh di tanah sebelum sampai ke tubuh kakek sakti itu.
"Ha-ha, jangan berlagak di depan Kakekmu! Rasakan ini!" bentak Kong Lo Sengjim sambil mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan. Terdengar angin bersiutan menerjang ke arah Lu Sian. Angin pukulan ini amat dahsyat dan karena kehebatan kedua tangannya inilah maka Kong Lo Sengjin dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Banyak musuh kuat roboh hanya oleh angin pukulannya ini. Bahkan Lu Sian sendiri dahulu pernah menyaksikan betapa kakek ini merobohkan banyak lawan dengan penggunaan ilmu pukulan jarak jauh. Dahulu ia merasa ngeri melihat kedahsyatan pukulan Si Kakek, akan tetapi sekarang ia bukanlah Lu Sian beberapa tahun yang lalu.
Melihat kakek itu menggunakan pukulan jarak jauh, ia cepat memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk, tubuh direndahkan, kemudian kedua tangannya juga dia pukulkan ke depan. Pedang di tangan kanan ditarik ke dalam di belakang lengan, dan ia mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan dorongan hawa pukulan lawan. Dari kedua tangannya menyambar pula angin pukulan dahsyat ke depan!
Benturan dua tenaga sin-kang di udara itu tidak menimbulkan suara, juga tidak tampak oleh mata, akan tetapi akibatnya hebat karena keduanya terpental ke belakang dengan kuda-kuda masih tidak berubah. Mereka saling pandang dengan kaget, karena adu tenaga sin-kang tadi membuktikan bahwa keduanya memiliki tingkat seimbang! Hal ini tentu saja tidak dinyana-nyana oleh Kong Lo Sengjin, maka kakek ini menjadi penasaran sekali. Ia tidak pernah mimpi bahwa tingkat kepandaian Lu Sian pada waktu itu sudah mengejar ayahnya sendiri dan dibandingkan dengan tingkat Kong Lo Sengjin, ia barangkali hanya kalah matang saja.
"Kau ingin mampus!" seru Kong Lo Sengjin dan kini kakek itulah yang berkelebat ke depan dengan lompatan tinggi. Inilah terjangan berbahaya sekali karena dari atas, kakek sakti ini dapat menyerang dengan sepasang tongkatnya. Namun Lu Sian maklum dan sama sekali tidak takut, bahkan ia pun mengeluarkan pekik melengking nyaring lalu tubuhnya mencelat pula ke atas, menyambut serangan lawan. Dua tubuh itu masih melayang ketika mereka bertemu di udara, dekat sebatang pohon dan dekat pula dengan ujung atap. Mereka menggerakkan senjata dan bertanding di udara, saling tusuk dan tangkis sebelum tubuh mereka meluncur turun. Terdengar suara keras senjata beradu disusul muncratnya bunga api menyilaukan mata. Ketika keduanya turun ke atas tanah, daun-daun pohon rontok terbabat pedang Lu Sian sedangkan ujung atap dari tembok itu pecah berantakan dihantam tongkat Kong Lo Sengjin.
Begitu keduanya hinggap di atas tanah, keduanya cepat membalik saling berhadapan, sejenak tak bergerak, mata memandang tak berkedip, napas agak terengah karena biarpun baru beberapa gebrakan, namun tadi mereka telah mempergunakan seluruh tenaga sin-kang. Ikatan rambut Lu Sian terlepas dan kulit lehernya berdarah sedikit, akan tetapi pangkal lengan kiri Kong Lo Sengjin juga berdarah, bajunya robek. Kiranya dalam pertempuran di udara tadi, keduanya telah terluka, biarpun hanya luka ringan!
Makin panas dan penasaran hati Kong Lo Sengjin. Ia mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka. Kakek ini memang wataknya tidak mau kalah, maka kini menghadapi seorang wanita muda ini ia hanya dapat menandingi seimbang saja, kemarahannya memuncak. Sambil menggereng liar ia menerjang maju, tongkatnya bergerak cepat sekali dan amat kuat sehingga berpusinglah angin pukulan yang mengeluarkan bunyi bersiutan. Namun Lu Sian yang juga tak pernah mau kalah kembali memekik panjang melengking-lengking, lalu tubuhnya bergerak cepat terbungkus sinar pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Kini kedua orang sakti ini bertanding dari jarak dekat, tak lagi mengandalkan tenaga sin-kang seperti tadi, melainkan mempergunakan ilmu silat dan mengandalkan kegesitan gerakan tubuh.
Hebat bukan main pertandingan ini. Lu Sian sudah mahir akan Ilmu Coan-in-hui yang ia pelajari dari jago gin-kang Tan Hui, maka gerakannya cepat dan tubuhnya ringan seperti seekor lebah. Pedangnya mainkan ilmu pedang campuran Pat-mo Kiam-hoat dan Toa-hong Kiam-sut, hebat bukan main, tubuhnya seakan-akan sudah lenyap dan yang tampak hanyalah cahaya pedang gemerlapan yang merupakan sinar panjang melayang-layang membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga mengamuk. Namun Kong Lo Sengjin bukanlah lawan ringan. Kakek lumpuh ini amat lihai. Biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, namun kegesitannya tidak berkurang. Malah kedua tongkat yang menggantikan kedudukan sepasang kaki itu dapat dipakai menyerang dan meloncat, diikuti tamparan dan kebutan tangan dan ujung lengan baju yang kesemuanya merupakan senjata yang tiak kalah ampuhnya. Kadang-kadang pedang bertemu tongkat, ada kalanya lengan bertemu lengan dan pertandingan itu sukar diikuti pandang mata karena keduanya seakan-akan telah menjadi satu gundukan sinar yang saling gulung.
"Trang... cring... plak-plak....!" Tiba-tiba keduanya meloncat setengah terlempar ke belakang. Kiranya dalam jurus terakhir tadi, Kong Lo Sengjin berhasil menghajar punggung Lu Sian dengan telapak tangan kirinya, akan tetapi pada detik yang sama Lu Sian berhasil pula menggunakan rambutnya yang riap-riapan untuk menghantam jalan darah di leher lawan! Ketika mereka terhuyung ke belakang dan saling pandang, ternyata dari ujung bibir Lu Sian mengucur darah segar, akan tetapi Kong Lo Sengjin memejamkan dan lehernya kelihatan biru menghitam. Setelah membuka matanya lagi, ia tertawa. "Ha-ha-ha, Tok-siauw-kwi siluman betina. Kiranya kau benar-benar lihat sekali!"
"Tua bangka tak usah banyak cerewet. Mau lanjutkan, hayo maju! Kalau kau sudah menerima kalah, lekas minggat dari sini!"
"Siluman betina, siapa kalah?" Kong Lo Sengjin sudah siap menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Iblis tua, jangan menjual lagak! Cici, biarkan kami membantumu!" Muncullah Coa Kim Bwee bersama tujuh orang panglima istana yang merupakan orang-orang pilihan dan memiliki kepandaian yang lumayan. Segera mereka mengurung dan menerjang Kong Lo Sengjin!
"Ha-ha-ha, Tok-siau-kwi, lain kali kita bertanding pula. Eh, anjing-anjing buduk, Kakekmu tidak ada waktu melayani segala macam anjing!" Tiba-tiba tubuh Kong Lo Sengjin mencelat ke atas, melayang melampaui kepala para pengurungnya dan cepat sekali sudah menghilang ke atas tembok istana.
"Tak usah dikejar... sia-sia belaka....!" Kata Lu Sian. Coa Kim Bwee membalik dan baru terlihat olehnya Lu Sian mengusap darah dari bibir, "Eh, Cici, kau... kau terluka...?" Ia memegang lengan wanita itu hendak menolongnya. Akan tetapi Lu Sian mengibaskan lengannya.
"Aku tidak apa-apa. Lebih baik suruh orang mengurus mayat Cu-ciangkun di dalam kamar itu," Coa Kim Bwee terkejut sekali dan ngeri hatinya ketika melihat betapa panglima muda yang tampan itu sudah menjadi mayat yang tidak berjantung lagi karena jantungnya sudah tertancap di atas meja oleh goloknya sendiri!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng dan keluarganya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, perubahan besar terjadi dalam kehidupan Kwee Seng. Tadinya ia seakan-akan telah bosan hidup, tidak peduli lagi akan dirinya dan hidup sebagai seorang jembel tanpa sedikit pun memelihara diri. Ia telah menjadi korban asmara ketika gagal dalam cinta dengan Liu Lu Sian, kemudian hatinya terpukul hebat pula ketika ia mengalami hubungan cinta yang luar biasa dengan nenek Neraka Bumi. Semua ini menambah hebat luka di hatinya yang tadinya sudah tergurat oleh peristiwa pengalamannya dengan Ang-siauw-hwa. Memang, semenjak keluar dari Neraka Bumi, ilmu kepandaian Kwee Seng meningkat tinggi, akan tetapi juga keadaan dirinya berubah sama sekali. Kalau dahulu ia merupakan seorang pemuda terpelajar yang halus dan selalu berpakaian rapi bersih, kini ia berubah menjadi seorang yang tidak peduli dan keadaannya seperti jembel. Tidak ada lagi bekas-bekasnya seorang pelajar yang sopan dan bersih, sehingga ia di sana-sini disangka seorang gila.
Akan tetapi, semenjak pertemuannya kembali dengan Khu Gin Lin saudara kembar Ang-siauw-hwa yang ternyata adalah seorang wanita cantik yang dahulu menyamar sebagai nenek-nenek tua di Neraka Bumi, berubahlah keadaan hidupnya. Timbul pula kagairahan dan kegembiraan hidupnya. Apalagi karena "nenek" yang ternyata seorang wanita muda cantik itu datang bersama seorang anak perempuan, anaknya! Ia telah menjadi seorang ayah dan ternyata dia dahulu sama sekali tidak melakukan hubungan gila dengan seorang nenek-nenek tua, melainkan dengan seorang gadis jelita, bahkan saudara kembar Ang-siauw-hwa yang merupakan wanita pertama yang menggugah cinta kasihnya. Kegembiraan ini ditambah pula dengan kenyataan tentang diri Bu Song. Sama sekali tidak pernah ia sangka bahwa muridnya yang menimbulkan sayangnya ini ternyata adalah putera Liu Lu Sian! Dua hal yang datang berbareng ini benar-benar telah mengobati luka-luka di hati Kwee Seng.
Seperti telah kita ketahui, Kwee Seng membawa isteri dan puterinya, juga muridnya, ke Gunung Min-san di mana ia hidup berbahagia dengan mereka, Khu Gin Lin adalah seorang isteri yang mencinta suami, adapun Kwee Eng atau biasa dipanggil Eng Eng adalah seorang anak perempuan yang lincah gembira, merupaka matahari ke dua di puncak Min-san itu. Bu Song sebagai murid juga amat penurut dan taat sehingga makin membahagiakan hati Kwee Seng.
Adapun Bu Song dan Eng Eng yang selalu berdua di puncak gunung itu semenjak kecil, menjadi amat rukun. Ketika masih kecil, mereka itu seakan-akan kakak beradik, akan tetapi makin besar makin berakarlah rasa kasih sayang mereka satu kepada yang lain sehingga tidaklah aneh kalau menjelang dewasa, daya tarik gadis itu menjatuhkan hati Bu Song sehingga diam-diam ia mencinta Eng Eng yang kini telah menjadi seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang cantik jelita, lincah jenaka dan lihai ilmu silatnya. Adapun Bu Song telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan serius, wataknya pendiam, dan pandai dalam ilmu surat. Tanpa ia sadari, di dalam tubuhnya telah terdapat dasar-dasar ilmu silat, Bu Song telah memiliki tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Hanya saja, ia tidak tahu bagaimana harus mempergunakannya!
Pada suatu pagi yang indah di puncak Gunung Min-san, Kwee Seng bersama isterinya duduk di depan pondok, menikmati hawa pagi pegunungan yang bersih sejuk dan menyehatkan. Sinar matahari pagi dari timur mulai mengusiri halimun pagi yang tebal. Dalam usianya empat puluh tahun lebih, Kwee Seng belum kelihatan tua benar. Wajahnya masih segar berseri, tubuhnya makin tegap dan agak gemuk. Hanya jenggotnya dan kumisnya yang tipis itu dipeliharanya dan membuat ia tampak lebih tua daripada dahulu. Adapun isterinya yang amat cinta kepadanya, juga belum tampak tua benar. Tubuhnya masih ramping, senyumnya masih segar dan sepasang matanya masih bening seperti bintang. Ketika mereka duduk di depan pondok itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa Eng Eng yang nyaring gembira, lalu tampak gadis itu berlari-lari mendekat puncak sambil berseru.
"Koko, kayu bakar kita telah habis. Hayo berlumba mencari kayu!" Tubuhnya yang kecil ramping itu berkelebat cepat, bajunya yang berwarna merah berkibar-kibar ketika ia lari sambil menengok ke belakang, wajahnya cantik berseri-seri. Di belakangnya tampak Bu Song berusaha mengejarnya. Pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang baik sekali. Bahunya bidang, dadanya berbentuk segitiga dan jelas membayangkan kekuatan, langkahnya tidak seperti seorang pelajar yang lemah melainkan seperti seekor harimau. Wajahnya tampan dan ganteng, dengan alis hitam tebal berbentuk golok, mata lebar bersinar tajam sekali penuh wibawa, hidungnya mancung dan bibirnya jarang tersenyum. Dagunya terdapat belahan kecil ditengah-tengahnya, menambah ketampanan dan sifat yang ganteng ini terbayang kemurungan yang membuat ia pendiam dan sering kali keningnya berkerut.
"Moi-moi, biarlah aku yang mengumpulkan kayu. Pekerjaan kasar ini adalah pekerjaan laki-laki. Kalau berlomba, tentu saja aku kalah. Larimu lebih cepat daripada larinya rusa, mana aku bisa menyusulmu?" Biarpun ia berkata demikian, namun Bu Song lari juga agar tidak mengecewakan hati gadis yang menjadi teman bermain sejak kecil selama belasan tahun.
Sebentar kemudian bayangan kedua orang muda itu lenyap dalam sebuah hutan di puncak. Suami isteri yang duduk di depan pondok itu tersenyum, saling pandang penuh arti. "Tak dapat disangkal lagi, mereka adalah pasangan yang amat cocok dan setimpal," kata Kwee Seng setelah menarik napas panjang penuh kepuasan.
Isterinya mengangguk. "Benar Eng Eng orangnya lincah jenaka sebaliknya Bu Song pendiam dan penyabar, amat cocok dan dapat saling mempengaruhi. Juga kulihat mereka itu saling mencinta. Hanya sayang..."
"Mengapa sayang, isteriku?" "Ada dua hal yang kusayangkan. Pertama, orang tuanya tidak hidup bahagia, tumah tangga orang tuanya berantakan, ayah bunda bercerai, Ayah kawin lagi, Ibu..."
Kwee Seng menghela napas. "Memang tak dapat disangkal hal itu, akan tetapi apakah kita harus mengukur keadaan seseorang anak dari orang tuanya? Bu Song anak baik, semenjak kecil dia dalam pengawasan kita. Bertahun-tahun kita melihat dia tumbuh dewasa, melihat watak-wataknya, apakah masih belum cukup dan haruskah kita mengingat keadaan ayah bundanya?"
"Kau memang betul. Aku terpengaruh oleh keadaan orang tuanya karena biasanya dari keluarga yang berantakan akan tumbuh anak-anak yang kurang baik. Akan tetapi Bu Song semenjak kecil menjadi muridmu. Hanya aku sayangkan, karena kalau saja orang tuanya tidak demikian, alangkah akan lebih baiknya..."
"Hemmm, tak salah omonganmu itu. Dan hal kedua yang kausayangkan, apakah itu?" "Aku menyayangkan bahwa Bu Song tidak mau belajar ilmu silat. Sedangkan anak kita, sungguhpun tidak sangat pandai, boleh dibilang telah memiliki kepandaian tinggi. Apakah hal ini tidak akan menjadi penghalang kesesuaian faham dan watak mereka kelak?"
Kwee Seng tersenyum. "Kau tidak tahu, isteriku. Karena memang hal ini kurahasiakan agar jangan sampai bocor dan mengagetkan hati Bu Song. Kasihan anak yang hidupnya sebatang kara dan berhati bersih itu. Dia begitu benci kepada ilmu silat karena sejak kecil ia menelan filsafat-filsafat hidup penuh damai dan penuh cinta kasih terhadap sesama hidup, dan terutama sekali karena ia kecewa melihat ayah bundanya yang menurut jalan pikirannya terpisah dan tersesat oleh ilmu silat. Di samping ini, telah banyak ia menyaksikan kekejaman dan kekejian di waktu ia masih kecil sehingga timbul anggapannya bahwa ilmu silat hanya menjadi alat untuk melakukan kekejaman dan pembunuhan belaka. Inilah sebabnya ia tidak mau belajar ilmu silat. Akan tetapi, aku melihat bakat baik sekali terpendam dalam dirinya. Bakat luar biasa yang bahkan jauh lebih baik daripada aku sendiri. karena inilah, diam-diam aku menanam dasar-dasar ilmu silat dan telah menyuruh di berlatih siulian dan napas. Sekarang pun ia telah memiliki sin-kang yang hebat, hanya saja, ia tidak sadar akan hal ini. Kelak, kalau ia mengalami penderiataan hidup karena ketidakmampuannya bersilat, baru akan terbuka pikirannya dan sekali ia mempelajarinya, ia akan menjadi seorang yang luar biasa, bahkan mungkin melebihi kepandaian dan tingkatku."
Gin Lin tercengang, akan tetapi juga girang sekali. "Syukurlah kalau begitu. Kini hilang keraguanku. Sebaiknya kita lekas-lekas laksanakan perjodohan mereka. Setelah mereka menjadi suami isteri, baru lega hatiku dan dapat kita tinggalkan mereka...."
"Ah, isteriku. Kurang bahagiakah kita tinggal di sini? Adakah yang lebih nikmat daripada hidup tenang dan tenteram seperti hidup kita sekarang ini? Apakah kau masih selalu merindukan dunia ramai dan menyaksikan pertumpahan darah?"
Tiba-tiba wajah berseri nyonya itu digelapi mendung, bahkan kedua matanya menjadi basah sehingga cepat-cepat ia mengusap air mata itu dengan saputangannya. Dengan muka tunduk ia berkata, " Suamiku, memang aku berterima kasih kepada Thian, juga bersyukur kepadamu yang telah memberi kebahagiaan hidup kepadaku di tempat ini. Aku cukup bahagia, akan tetapi... ah, betapa aku dapat melupakan ayah bundaku terbunuh secara kejam, saudara kembarku menjadi... pelacur... dan aku sendiri, seandainya tidak bertemu denganmu, apa jadinya dengan aku? Semua itu karena kebiadaban musuh yang membunuh, merampok, memperkosa, menghina... suamiku, katakanlah, apakah aku harus diam saja sekarang? Apakah mungkin kebahagiaan hidupku tanpa mengingat sedikitpun akan penderitaan orang tua dan keluargaku? Suamiku, di waktu sadar aku hidup bahagia di sampingmu dan di samping anak kita, akan tetapi tahukah kau betapa setiap malam aku bermimpi dan bertemu dengan arwah orang tuaku yang memandang penuh penyesalan? Ah, suamiku..." Gin Lin lalu menangis.
Kwee Seng memegang pundak isterinya. "Tenangkan hatimu, isterku. Jangan kaukira bahwa aku pun tidak peduli akan hal itu semua. Akan tetapi, kurasa tidaklah tepat kalau urusan pribadi dicampuradukkan dengan urusan negara. Keluargamu terbasmi bukan karena urusan pribadi, melainkan karena urusan negara. Karena keluargamu bangsawan Tang, maka ketika Dinasti Tang roboh, tentu saja keluargamu terlanda malapetaka.
Sejenak nanar rasa kepala Kim Bwee. Kamar itu serasa berputaran. Ia telah mengalami kekalahan hebat dan andaikata bukan Lu Sian yang melakukan hal itu, andaikata tidak ada maksud hendak mengeduk ilmu dalam hati Kim Bwee, tentu penghinaan ini takkan dibiarkan begitu saja. Seorang selir raja tersayang dihina seperti ini! Sekali ia menjerit minta tolong tentu istana ini akan dikepung pengawal istana. Akan tetapi Kim Bwee tidak mau melakukan perbuatan bodoh ini. Ia maklum bahwa seorang sakti seperti perempuan itu, belum tentu akan dapat ditawan dan sebelum para pengawal datang, dia sendiri tentu akan dibunuh. Pula, perempuan ini bersikap baik kepadanya dan lebih banyak untungnya daripada ruginya kalau ia dapat menjadi murid wanita ini. Memang ia amat cerdik dan demi tercapainya maksud hati, ia rela melakukan hal apa saja, yang kejam, yang rendah, yang hina pun akan ia jalani. Maka setelah berpikir sejenak dalam pertemuan pandang ini, Kim Bwee tanpa ragu-ragu lagi serta-merta menjatuhkan diri berlutut.
Lu Sian tertawa senang dan berkata, suaranya berwibawa. "Kau mengakui keunggulanku? Nah, bangkitlah, dan mari kita duduk dan bicara yang baik." Lu Sian sendiri menggerakkan tangan menyentuh pundak Kim Bwee dan seketika Kim Bwee terangkat naik! Kim Bwee memandang kagum lalu duduk, sikapnya menjadi jinak, tidak galak seperti tadi, malah pandang matanya penuh penyerahan.
"Adikku yang manis, kau bernama Coa Kim Bwee dan menjadi selir ke tujuh dari Raja?" Kim Bwee mengangguk. "Dan kau tahu siapakah aku ini?"
"Kau isteri bekas Jenderal Kam Si Ek..."
"Bekas isterinya, sudah belasan tahun kami bercerai! Dan kau tahu siapa namaku?"
"Kau... kau puteri Beng-kauwcu dan kau bernama Liu Lu Sian dengan julukan Tok-siauw-kwi."
"Semua memang benar dan tepat! Akan tetapi sekarang aku mengajukan syarat, kalau kau menerimanya kita tetap bersahabat dan aku mau menurunkan beberapa macam ilmu kepadamu."
"Ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata?" Tanya Kim Bwee penuh gairah. Ia kagum sekali akan ilmu itu yang dianggapnya amat hebat.
Lu Sian mengangguk. "Boleh, dan beberapa macam ilmu lagi yang hebat-hebat. Pendeknya, setelah belajar dariku, kau akan menjadi seorang tokoh yang sukar dikalahkan lawan."
Girang sekali hati Kim Bwee dan kembali ia telah berlutut. Akan tetapi Lu Sian mencegahnya dan membentak. "Duduk kau!" Kim Bwee terkejut dan cepat ia duduk lagi menghadapi Lu Sian.
"Kau menerima syaratku? Nah, dengar baik-baik. Pertama, kau tidak boleh menyebut guru kepadaku dan tidak boleh berlutut seperti murid terhadap guru. Kita tetap hanya sahabat baik, kau panggil Cici kepadaku dan aku panggil adik padamu. Kita kakak beradik yang sama-sama mencari kesenangan di dalam istana ini. Mengerti?"
Tentu saja makin girang hati Kim Bwee. Sambil tersenyum ia mengangguk dan matanya bersinar-sinar ketika ia menjawab. "Enci Liu Lu Sian yang baik, tentu saja aku mentaati semua permintaanmu."
"Bukan Cici Liu Lu Sian, melainkan Enci Sian begitu saja. Syarat ke dua, tidak boleh kau memberitahukan orang lain tentang namaku yang sebenarnya. Kalau kau memberitahukan orang lain, aku akan membunuhmu lalu pergi dari sini. Mengerti?"
Kembali Kim Bwee mengangguk, kini tidak berani tersenyum karena ia dapat melihat pandang mata Lu Sian bahwa wanita itu sungguh-sungguh dan ancamannya bukan main-main belaka.
"Syarat ke tiga, kau tidak boleh menghalangi semua perbuatanku da...aku tahu bahwa diantara engkau dan Kong Hian terjadi hubungan gelap. Pemuda itu menjadi pilihanku, engkau tidak boleh mengganggunya atau mendekatinya. Mengerti?"
Kembali Kim Bwee mengangguk. Ah, kiranya antara dia dan wanita ini terdapat persamaan! Sekilas terbayang dalam benaknya betapa mudahnya untuk membaiki wanita ini. Ia tahu caranya. Dalam lingkungan istana, terdapat banyak sekali pangeran yang tampan, pengawal yang muda dan gagah. Mudah untuk mencari muka dan menyenangkan hati "gurunya" ini, mudah menyuguhkan muda remaja tampan ganteng untuk ditukar dengan ilmu!
"Baiklah, Cici yang cantik, baiklah. Dalam gedungku terdapat sebuah kamar dengan taman bunganya yang indah. Lebih baik Cici pindah ke sana agar lebih mudah kita bertemu. Tentang Kong Hian... tentu saja aku suka mengalah. Dan...jangan khawatir..." Ia mengedipkan matanya, "masih banyak aku mengenal pangeran-pangeran muda dan pengawal-pengawal yang menarik dan pasti menyenangkan!" Ia tertawa genit, Lu Sian tersenyum. Terhadap perempuan liar ini tak perlu ia menyembunyikan perasaannya. Ia mengangguk tanda setuju.
Demikianlah, Lu Sian hidup bergelimang dalam kemewahan dan pengejaran kesenangan, pemuasan nafsu dalam istana Kerajaan Hou-han. Karena dilindungi oleh Coa Kim Bwee yang menganggap dia seorang kakak misan sendiri, ia tidak mendapat gangguan. Setahun lebih Lu Sian hidup memuaskan nafsunya, disuguhi pangeran-pangeran dan pengawal-pengawal muda yang tampan, yang menarik hatinya. Selain itu, untuk membalas "jasa" dan kebaikan selir muda raja itu, ia menurunkan beberapa macam ilmu yang hebat kepada Kim Bwee. Di antaranya adalah ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata, bahkan Ilmu I-kin-swe-jwe yang mendasari ilmu awet muda serta latihan dan obat untuk membikin keringat dan rambut berbau harum!
Segala macam perjalanan ke arah kemaksiatan dimulai dengan langkah kecil ke arah itu. Sekali keliru melangkah, orang akan tersesat makin jauh, tenggelam makin dalam. Semua perbuatan maksiat dimulai dengan iseng-iseng, dengan kecil-kecilan lebih dahulu, seperti orang mencicipi arak. Mula-mula setetes dua tetes, setelah termakan racunnya, makin lama makin banyak dan akhirnya menjadi pemabok lupa daratan. Tidak ada seorang penjudi di dunia ini yang membuka langkah perjudian dengan taruhan besar. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin mencandu dan menjadilah ia penjudi besar. Tidak ada pencuri yang mulai "pekerjaannya" dengan pencurian besar-besaran. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin nekat. Demikian pula dengan segala macam nafsu, termasuk nafsu berahi. Makin dituruti, makin tak kenal puas, makin menggila dan makin haus! Salah langkah pertama yang dilakukan Lu Sian adalah kebosanannya berumah tangga dengan Kam Si Ek. Kalau diwaktu itu ia kuat bertahan, mempergunakan kebijaksanaan dan kesadarannya, ingat kewajibannya, ia takkan tersesat. Akan tetapi sekali ia salah langkah, ia tersesat makin dalam dan akhirnya tenggelam oleh gelombang permainan nafsunya sendiri! manusia memang mahluk lemah, maka perlu manusia selalu ingat dan waspada. Ingat selalu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan waspada selalu akan langkah hidupnya sendiri. Jalan menuju kehancuran kelihatan lebar dan menyenangkan, padahal amat lincah menyembunyikan jurang-jurang kehinaan di kanan kirinya. Sebaiknya jalan menuju kesempurnaan hidup kelihatan amat buruk dan sukar dilalui. Sekali salah pilih, sesal pun tiada gunanya dan dalam kesadaran dan penyesalan hendak bertaubat sekalipun, akan merupakan perjuangan yang lebih sukar lagi!
Seperti telah disebut-sebut di bagian depan, pada masa itu yang menguasai daratan adalah Dinasti Cin yang berhasil meruntuhkan Kerajaan Tang Muda (923-936). Oleh perang saudara yang tiada henti-hentinya ini, banyak timbul kerajaan-kerajaan kecil yang mempergunakan kesempatan perebutan kekuasaan itu untuk berdiri sendiri, di antaranya adalah Kerajaan Hou-han di Propinsi Shan-si ini. Melihat perubahan itulah, Jernderal Kam Si Ek yang berjiwa patriotic dan setia kepada Kerajaan Tang mengundurkan diri dan rela hidup bertani di dusun Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Akan tetapi tidak demikian dengan sebagian besar pendukung Tang yang dipimpin oleh Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong bekas Raja Muda Kerajaan Tang lama. Ketika Kerajaan Tang baru berhasil merobohkan Kerajaan Liang, ia memperoleh lagi kedudukan baik sebagai pimpinan para panglima dan penasihat raja. Akan tetapi perang saudara tak pernah berhenti. Raja Tang baru atau Tang Muda yang belum lama berdiri ini, roboh kembali dalam waktu tiga tahun saja dan kedudukannya diganti oleh Kerajaan Cin Muda (936-947).
Kong Lo Sengjin tentu saja tidak mau tinggal diam. Biarpun kerajaan yang dibelanya telah runtuh, ia tidak putus asa dan masih terus melakukan perlawanan untuk merebut kekuasaan. Banyak orang-orang pandai menggabung dengan jago tua ini dan selain berkali-kali menyerang Kerajaan Cin Muda, juga mereka ini selalu mengadakan gangguan kepada kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Hou-han yang tidak mau diajak kerja sama meruntuhkan Kerajaan Cin Muda.
Inilah sebabnya mengapa terjadi pernyerangan atas diri Pangeran Lie Kong Hian. Karena sudah tidak mempunyai pusat kerajaan para pendukung Tang itu melakukan gerakan liar, mengacau setiap kerajaan yang tidak mau bekerja sama. Dan karena ancaman-ancaman ini pula maka Raja Hou-han dan para panglima-panglimanya ketika mendengar akan adanya seorang wanita sakti yang menjadi kakak misan dan juga guru selir ke tujuh, diam-diam merasa girang dan tidak pernah mengganggu. Dengan hadirnya Lu Sian di dalam istana, keselamatan raja sekeluarga lebih terjamin. Hal ini terbukti ketika terjadi penyerbuan di malam hari, tiga bulan setelah Lu Sian tinggal di dalam istana.
Malam itu gelap dan sunyi. Menjelang tengah malam, terjadilah pertempuran di dekat tembok sebelah selatan yang mengelilingi istana ketika lima orang penjaga diserbu oleh tiga orang berpakaian hitam. Dalam waktu singkat saja lima orang penjaga ini roboh binasa, akan tetapi sebelum roboh, seorang di antara mereka sempat berteriak-teriak minta tolong. Tiga orang itu secepat burung terbang telah melompat pagar tembok dan lenyap ke dalam lingkungan istana! Para penjaga dan pengawal istana menjadi heboh melihat lima orang penjaga itu malang-melintang mandi darah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Segera tanda bahaya dibunyikan. Regu penjaga yang malam hari itu mendapat giliran berjaga terdiri dari tiga puluh orang, dibagi di luar dan di dalam. Kini tinggal dua puluh lima orang lagi dan mulailah mereka mengadakan pengejaran dan mencari-cari di sekitar bangunan-bangunan istana. Namun tidak tampak bayangan seorang pun penjahat.
Mendadak di istana pusat yang menjadi tempat tinggal Raja, terdengar suara wanita menjerit-jerit. Para pengawal ini menyerbu masuk dan mereka terkejut melihat empat orang wanita pelayan telah mati pula. Akan tetapi di ruangan tengah, tak jauh dari kamar Raja sendiri, tampak selir raja ke tujuh dengan pedang di tangan tengah melawan keroyokan tiga orang berpakaian hitam. Seorang wanita lain yang cantik dan biarpun jarang terlihat penjaga namun dapat diduga oleh mereka bahwa inilah kakak misan Coa Kim Bwee yang kabarnya sakti, berdiri di sudut dengan sikap tenang menonton pertempuran. Ketika para penjaga hendak menyerbu dan membantu selir Raja itu, menghadapi tiga orang penjahat, Lu Sian menggerakkan tangan mencegah mereka sambil berkata, "Jangan Bantu!" Para penjaga kaget dan heran, biarpun sudah dicegah mereka tetap maju dengan senjata di tangan.
Karena Lu Sian bukan anggota istana, mereka menjadi ragu-ragu untuk mentaati pencegahannya, bahkan dua orang penjaga sudah menerjang maju, untuk membantu. Namun, sekali tampak kelebatan sinar pedang seorang di antara tiga orang penjahat itu, dua orang penjaga itu berteriak dan roboh mandi darah!
"Tolol! Mundur dan jangan Bantu aku!" bentak Coa Kim Bwee. Kini para penjaga itu terkejut dan cepat mundur. Tiga orang lawan itu amat lihai dan kini selir raja yang berpengaruh itu sendiri melarang mereka, maka mereka hanya berdiri menonton dengan hati gelisah. Betapa mereka tidak akan gelisah menyaksikan kehebatan tiga orang tamu malam itu yang mainkan pedang mereka begitu ganas sehingga selir ke tujuh itu sendiri terdesak hebat?
"Siauw-moi, keluarkan ular!" tiba-tiba Lu Sian berkata dan gerakan pedang Coa Kim Bwee tiba-tiba berubah. Pedangnya berlenggak-lenggok gerakannya, kadang-kadang ujungnya berkelebat seperti ular mematuk. Inilah Ilmu Pedang Sin-coa Kiam-hoat yang mulai dipelajarinya dari Lu Sian. Memang Coa Kim Bwee memiliki dasar yang kuat serta sudah menguasai gerakan ilmu silat tinggi, maka biarpun baru belajar beberapa bulan, pedangnya sudah amat berbahaya gerakannya.
Tiga orang lawannya itu terkejut dan mereka pun mengubah gerakan pedang, bahkan kini mereka mengurung dalam bentuk segitiga yang disebut Sim-seng-tin (Barisan Bintang Hati). Bintang Hati adalah tiga buah bintang yang kedudukannya di ujung segitiga. Karena Sin-coa Kiam-hoat itu gerakannya menyerang langsung ke depan dengan perubahan yang amat aneh dan sukar di duga, maka kini dikurung dengan terdesak. Setiap kali ujung pedangnya menyerang seorang lawan, yang dua sudah menerjangnya, agaknya rela mengorbankan seorang kawan akan tetapi berhasil merobohkan yang dikeroyok. Tentu saja Kim Bwee tidak mau mengadu nyawa sehingga serangannya selalu ia tarik kembali dan gagal. Ia menjadi sibuk sekali dan akhirnya kembali hanya menggerakkan pedangnya diputar cepat melindungi tubuhnya.
"Siauw-moi, mundur!" teriak Lu Sian sambil melompat maju. Sekali sambar, ia menarik dan melempar tubuh Kim Bwee ke belakang, kemudian menyerbu dengan tangan kosong!
Tiga orang berpakaian hitam itu kaget sekali karena begitu tangan Lu Sian bergerak tiga batang jarum meluncur cepat menuju dada mereka. Namun dengan gerakan tangkas ketiganya berhasil menyampok jarum itu denganpedang, dan pada saat itu mereka mencium bau harum dari jarum itu dan lebih semerbak lagi bau harum keluar dari rambut Lu Sian tercium hidung mereka.
"Tok-siau-kwi...!" Seorang di antara mereka berseru kaget. Memang nama besar Tok-siauw-kwi pada waktu itu sudah amat terkenal di mana-mana setelah Lu Sian melakukan perbuatan-perbuatan menghebohkan di pelbagai perkumpulan silat. Yang membuat ia terkenal, selain ilmu silatnya yang tinggi dan wataknya yang ganas, juga terutama sekali bau harum dari tubuhnya dan Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang amat berbahaya. Maka sekali melihat jarum merah yang wangi serta bau harum dari tubuh wanita cantik ini, tahulah tiga penyerbu istana itu bahwa mereka berhadapan dengan Tok-siau-kwi!
"Tok-siau-kwi, kau orang Beng-kauw, mengapa mencampuri urusan kami!" bentak pula seorang di antara mereka sambil melintangkan pedang di depan dada.
"Hemmm, aku mencampuri atau tidak, kalian peduli apa? Sekali menyebut nama julukanku, berari harus mati. Tahukah kalian akan hal ini?" kata Lu Sian sambil tersenyum dingin.
Tiga orang itu menjadi marah. Mereka adalah patriot-patriot pengikut Kerajaan Tang yang setia, maka biarpun menghadapi tokoh seperti Tok-siauw-kwi, mereka tidak menjadi takut, bahkan kini berbareng mereka menerjang dengan gerakan pedang yang dahsyat.
"Kau menghianati suamimu...!" Begitu ucapan itu keluar dari mulut seorang penyerbu, tiba-tiba orang ini menjerit dan roboh tak bernyawa lagi. Ternyata secepat kilat Lu Sian telah menggunakan Ilmu Totokan Im-yang-ci (Totokan Im Yang) yang ia pelajari dari kitab yang ia curi dari Kuil Siauw-lim-pai! Hebat sekali gerakannya dan kini dua batang pedang telah menusuk, sebuah dari depan mengarah dada kirinya, sebuah lagi dari belakang membacok kepalanya. Diserang dari depan dan belakang ini, Lu Sian tiba-tiba mengenjot tubuhnya mencelat ke atas.
"Wuuuttt! Singggg!" Dua batang pedang itu meluncur lewat dari atas Lu Sian menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang itu terurai dan menyambar, terpecah menjadi dua gumpal rambut hitam halus panjang yang secara tiba-tiba telah berhasil melibat leher kedua orang pengeroyoknya. Ketika Lu Sian meloncat ke belakang, kedua orang itu ikut terbanting dan dua kali tangan Lu Sian bergerak terdengar suara "Plak! Plak!" dan robohlah dua orang itu. Pada punggung mereka tampak tanda jari-jari tangan yang berwarna merah, tapak tangan yang membakar baju di punggung, menembus kulit dan terus hawa pukulannya yang penuh racun merusak isi dada membuat mereka tewas seketika!
"Hebat, Cici..." Coa Kim Bwee berseru girang sekali. Lu Sian hanya tersenyum dan menggeleng kepala. "Cici, harap kau suka ajarkan pukulan-pukulan itu..."
"Mari kita pulang." Karta Lu Sian tenang saja.
Coa Kim Bwee memberi perintah kepada para pengawal untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan, lalu berkata. "Harap Cici suka pulang dulu dan mengaso, saya harus memberi laporan kepada Baginda." Memang pada waktu itu, pengawal dalam dari Kaisar telah keluar, yaitu dua orang thaikam (orang kebiri) yang mewakili junjungan mereka untuk memeriksa keributan di luar istana.
Ketika Coa Kim Bwee kembali ke kamar Lu Sian, ia memeluk gurunya ini dengan penuh kagum. "Cici kepandaianmu hebat sekali! Raja sendiri telah mendengar akan jasamu dan beliau memerintahkan saya memanggil Cici menghadap." Lu Sian mengerutkan kening. "Ehhh...? Aku... tidak suka..."
"Akan tetapi, Cici. Sepak terjangmu tadi disaksikan banyak pengawal dan para thaikam tentu memberi laporan. Bukan aku yang membocorkan kehadiranmu di sini. Jangan khawatir, beliau
hanya akan menyampaikan penghargaannya, dan akulah yang menanggung bahwa Cici takkan mendapat susah dan tetap akan bebas. Pula... eh..." wanita itu tertawa genit. "Bukan hanya raja yang kagum kepadamu, Cici. Juga di sana akan hadir semua pangeran dan panglima muda, bukankah ini kesempatan baik untuk... eh, belajar kenal dengan mereka?"
Lu Sian tersenyum dan mengerling genit. "Iihhh! Tentu hanya pangeran-pangeran dan panglima-panglima pucat dan panglima-panglima bopeng (cacat)!"
"Hi-hi-hik! Siapa bilang? Masa saya berani berdusta? Cici lihat saja. Ada Pangeran Kang yang tampan seperti gadis cantik berpakaian pria, ada pula Pangeran Liang yang gagah perkasa, bertubuh seperti seekor harimau jantan. Dua orang pangeran ini termasuk pangeran-pangeran yang sukar didekati, saya sendiri tidak pernah berhasil. Barangkali Cici..." "Ihh! Kalau kau saja mereka tolak, apalagi aku yang lebih tua!"
"Lain lagi engkau dan aku, Cici. Kau lebih cantik, lebih menarik, pula kepandaianmu istimewa. Masih ada lagi beberapa orang panglima yang tampan dan ganteng, pendeknya Cici takkan kecewa, tinggal pilih..."
"Sudahlah, kita tidur. Besok saja kita lihat..." Demikianlah, dua orang wanita yang menjadi hamba nafsu itu tidur mengaso.
Pada keesokan harinya, Lu Sian diajak Coa Kim Bwee menghadap Raja dan benar saja, Lu Sian menjadi pusat perhatian, bukan hanya oleh Raja, akan tetapi juga oleh para pangeran dan panglima yang merasa amat kagum. Dan benar pula seperti yang dikatakan Kim Bwee, di situ hadir pangeran-pangeran yang amat tampan dan panglima-panglima yang amat gagah. Raja sendiri amat ramah menyambut Lu Sian. Raja kerajaan Hou-han ini amat pandai dan cerdik. Ia maklum bahwa kerajaannya selalu dimusuhi pihak yang ingin meruntuhkannya, oleh karan ini ia perlu membaiki para tokoh pandai. Dengan ucapan manis ia menyatakan syukur dan terima kasihnya atas bantuan Lu Sian dan melihat kenyataan bahwa Lu Sian adalah kakak angkat selirnya yang ke tujuh, raja menganugerahkan gelar Pelindung Dalam Istana kepada Lu Sian dan memberi kebebasan kepada Lu Sian untuk pergi ke mana saja dalam istana tanpa ijin lagi. Kehormatan besar yang hanya dimiliki permaisuri dan kepala pengawal! Kemudian ia memberi hadiah sutera-sutera halus dan perhiasan ketika Lu Sian diberi perkenan mengundurkan diri.
Setelah kembali ke kamar sendiri, Kim Bwee berseru girang. "Wah, Raja suka kepadamu, Cici. Kalau kau mau..."
"Hush! Kau mau samakan aku denganmu? Selera kita bereda, Kim Bwee. Siapa suka melayani laki-laki setengah tua yang jenggotnya kasar itu? Tidak, aku tidak mau. Kalau Raja memaksa, aku akan minggat dari sini."
Coa Kim Bwee tertawa. "Jangan kuatir, Cici. Saya dapat membujuk raja dan menyatakan bahwa kau sudah menjauhkan diri daripada pria. Beliau membutuhkan kepandaianmu, tentu tidak akan memaksa. Bagaimana pendapat Cici tentang para pangeran dan panglima muda? Hebat, kan?"
Lu Sian tersenyum, memainkan biji matanya. "hebat sih hebat, akan tetapi sebagai wanita, bagaimana aku dapat mendekati mereka? Kau sendiri bilang, mereka itu sukar didekati."
"Ihh, siapa berani menolak Cici? Tadi pun kulihat mereka melirak-lirik ke arah Cici penuh kagum dan mengilar! Kalau memang Cici ada hasrat berkenalan, aku ada jalan untuk mempertemukan Cici dengan mereka."
Selir ke tujuh Kaisar ini benar-benar pandai mengambil hati sehingga Lu Sian merasa gembira sekali. Setelah berjanji akan menurunkan Ilmu Pukulan Tangan Api Merah kepada Kim Bwee, Lu Sian lalu mengatakan tanpa malu-malu lagi bahwa di antara para muda yang hadir tadi, ia tertarik kepada dua orang pangeran dan seorang panglima muda.
"Hi-hi-hik! Siapa bilang selera kita tidak cocok?" Kim Bwee bersorak. "Dan dua orang pangeran itu adalah Pangeran Kang yang kuilt mukanya halus seperti wanita, dan Pangeran Liang yang gagah seperti harimau. Cocok, bukan? Dan panglima muda itu adalah seorang jejaka asli, usianya baru dua puluh tahun, kuat seperti seekor kuda jantan dan pandai mainkan golok. Ganteng, ya? Terutama sekali kumisnya yang tipis dan dagunya. Hemm...!" Dengan lagak genit Kim Bwee meramkan matanya dan menelan ludah.
"Cihh! Genit benar engkau, Kim Bwee. Bagaimana kau hendak atur agar aku dapat berkenalan dengan mereka?"
"Mudah saja, mudah saja! Setelah Cici menjadi Pelindung Dalam Istana ini, sudah sewajarnya Cici mengadakan makan-makan dalam pesta perkenalan. Aku akan mengundang mereka dalam pesta, siapa bilang mereka akan berani menolaknya?"
Malam hari itu, ditemani oleh Coa Kim Bwee, Lu Sian tercapai hasrat hatinya, makan minum semeja dengan tiga orang muda yang ganteng tampan, Pangeran Kang, Pangeran Liang dan Panglima Muda Cu Bian. Ketiga orang muda ini tentu saja mereka tidak enak untuk menolak undangan Lu Sian yang kini dikenal sebagai Sian-toanio (Nyonya Besar Sian), pelindung istana yang memiliki kepandaian tinggi. Biarpun dengan malu-malu, mereka merasa girang juga dapat berkenalan denga tokoh hebat ini dan bau semerbak harum di kala mereka makan bersama, membuat hati muda mereka berdebar-debar. Memang mereka semua maklum akan kegenitan selir ke tujuh kaisar yang sudah lama menggoda mereka, akan tetapi mereka tidak berani melayani karena mereka adalah orang-orang gagah yang tidak melakukan perbuatan hina. Akan tetapi, kecantikan dan kesaktian Sian-toanio benar-benar mengguncangkan hati dan pertahanan mereka.
Karena kini Lu Sian bebas mengunjungi bagian mana saja dalam lingkungan istana, akhirnya kedua orang Pangeran Kan dan Liang roboh dalam pelukannya, tidak kuat menahan goda dan bujuk rayunya. Orang-orang muda yang kurang pengalaman ini tentu saja mudah dipermainkan Lu Sian yang sewaktu-waktu di waktu malam dapat mengunjungi kamar mereka, dapat melakukan semua ini tanpa terlihat pengawal atau orang lain karena ia mempergunakan kepandaiannya yang tinggi.
Akan tetapi dasar moralnya sudah bejat rusak, Lu Sian masih belum puas dengan hasil kemenangan-kemenangan ini. Sudah banyak ia berhasil menjadikan pangeran-pangeran dan panglima muda tunduk dan menjadi kekasihnya. Ia berpesta pora dengan pangeran-pangeran ganteng dan panglima-panglima gagah, namun satu hal membuat ia kecewa dan penasaran. Yaitu Panglima Muda Cu Bian yang sampai berbulan-bulan belum juga mau menyerah! Panglima muda ini benar-benar keras hati dan setiap kali Lu Sian datang, melayani wanita ini dengan sopan dan keras, tidak mau tunduk dan tak pernah menyatakan tanda-tanda runtuh di bawah sikap manis dan bujuk rayu.
Malam itu, untuk kesekian kalinya Lu Sian yang merasa penasaran mendatangi kamar Panglima Muda Cu Bian. Pemuda ini tengah membaca kitab di dalam taman di luar kamarnya, di bawah penerangan lampu kehijauan. Ketika melihat bayangan berkelebat, Cu Bian cepat melompat berdiri dan siap karena pada masa itu memang tidak aneh kalau ada musuh datang di waktu tengah malam. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang datang adalah Lu Sian ia tersenyum dan berkata. "Ah, kiranya Sian-toanio yang datang. Silakan duduk!"
Lu Sian tersenyum manis dan duduk di atas bangku depan pemuda itu sambil berkata, "Cu-ciangkun benar-benar rajin sekali, asyik mempelajari kitab apakah?"
Cu Bian tersenyum dengan muka merah. "Ah, Toanio, sungguh malu kalau bicara tentang ilmu di depanmu. Aku terlalu bodoh untuk memahami isi kitab ini."
"Ilmu apakah yang berada dalam kitab?" "Ilmu Sia-kut-hoat (Lemaskan Tulang)."
"Ah, Ciangkun sudah begini lihai masih mempelajari Sia-kut-hoat?"
Cu Bian cepat berdiri dan menjura. "Harap Toanio jangan mentertawakan aku yang masih bodoh."
Lu Sian menutupi mulutnya menyembunyikan tawa. "Para panglima di sini benar-benar pandai merendahkan diri. Ciangkun, apakah kau menemui kesukaran dalam pelajaran Sia-kut-hoat?"
"Benar, Toanio." "Hemm, apakah sukarnya? Kurasa mudah saja mempelajari ilmu ini. Kalau Ciangkun suka, boleh saja aku mengajarmu sampai berhasil."
"Sungguh? Ah, terima kasih, Toanio, terima kasih." "Ciangkun suka?" "Tentu saja saya suka, kalau tidak terlalu mengganggu Toanio."
"Ilmu Sia-kut-hoat berinti kepada pengguna hawa sakti dalam tubuh. Akan tetapi untuk mengetahui sampai di mana tingkat Ciangkun, harap Ciangkun memberi petunjuk sebentar. Mari kita main-main sebentar, Ciangkun boleh saja menggunakan golokmu yang terkenal ampuh, dan akan kuperlihatkan betapa Sia-kut-hoat dapat melawannya."
"Mana saya berani? Tak usah dengan senjata, baik dengan tangan kosong saja, akan tetapi harap Toanio jangan mentertawai kebodohanku."
Lu Sian berdiri dan tersenyum manis. "Tangan kosong pun boleh. Nah, silakan, Ciangkun."
Karena mendapat janji akan diberi pelajaran Ilmu Sia-kut-hoat yang amat ia inginkan, pemuda ini memenuhi permintaan Lu Sian, lalu menyimpan bukunya dan berdiri menghadapi Lu Sian. Akan tetapi karena ia merasa sungkan-sungkan, ia menjura dan memberi hormat. "Harap Toanio maafkan kelancanganku." "Tak usah Ciangkun sungkan, mulailah."
"Toanio, awas serangan!" Sambil berkata demikian Cu Bian menyerang dengan pukulan ke arah pundak. Pukulan ini seharusnya menuju ke dada, akan tetapi Cu Bian yang pemalu merasa tidak pantas memukul dada dalam latihan maka memukul pundak. Diam-diam Lu Sian menjadi gemas. Pemuda ini amat pemalu dan terlalu sopan, pikirnya. Ia segera mengangkat tangannya menangkis, sengaja bergerak perlahan dan lambat. Sebagai seorang ahli silat yang sudah pandai, tentu saja Cu Bian melihat kelambatan ini. Betapapun juga ia seorang panglima muda yang sudah terkenal, tentu saja dalam pertandingan ilmu silat, ia ingin mencari kemenangan. Melihat tangkisan lambat ini, kepalan tangannya dibuka dan ia menangkap lengan Lu Sian sambil menariknya. Tepat sekali tangannya berhasil mencengkeram kulit lengan yang halus dan hangat. Akan tetapi mendadak sekali pegangan yang erat itu terlepas seakan-akan lengan itu seekor belut atau ular yang licin, dan seakan-akan tulang lengan itu lenyap. Ia kaget sekali.
"Nah, itulah kegunaan Sia-kut-hoat, Ciangkun. Kau boleh menangkapku lagi di mana saja!" Tantang Lu Sian sambi tersenyum. Cu-ciangkun masih belum mau percaya.
"Maaf, Toanio!" katanya dan ia bergerak maju, kedua tangannya cepat sekali berhasil menangkap kedua lengan Lu Sian dan kini ia mengerahkan tenaga, jari-jari tangannya mencengkeram.
Dengan mulut tetap tersenyum Lu Sian berkata, "Yang keras, Ciangkun, lebih keras lagi."
Cu Bian penasaran sekali dan mempererat pegangannya, tidak peduli lagi apakah pegangannya itu akan meyakitkan, bahkan ia lalu mempergunakan cengkeraman dari Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Ilmu Cakar Garuda). Dengan ilmu ini, ia berani mencengkeram senjata tajam lawan, maka kini memegang lengan halus, dapat dibayangkan betapa kuatnya. Namun tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara lirih dan... tahu-tahu kedua lengannya sudah terlepas lagi dari cengkeraman Cu Bian!
"Hebat...!" Cu Bian berseru girang.
"Cu-ciangkun, kalau hanya mencoba dengan lengan saja, tentu akan dikira bahwa Sia-kut-hoat hanya dapat dipakai untuk melemaskan tulang lengan. Cobalah sekarang Ciangkun menangkapku seperti orang menangkap pencuri, boleh Ciangkun menjepit tubuhku dengan kedua lengan boleh kaurangkul dan jepit."
Seketika wajah Cu Bian menjadi merah. "Ini... ini... mana saya berani...?"
"Ihh, Ciangkun mengapa sungkan-sungkan dan malu-malu? Bukankah kita ini sedang berlatih menguji ilmu? Hayo, lakukanlah jangan ragu-ragu. Sebaiknya Ciangkun menggunakan ilmu menangkap yang paling kuat, membekuk leherku melalui bawah kedua lenganku ke atas."
Berdebar jantung Cu Bian. Di lubuk hatinya ia amat mengagumi wanita ini, kagum akan ilmu kepandaiannya, juga kagum akan kecantikannya. Akan tetapi dia bukanlah seorang pemuda hidung belang, dan ia selalu menjaga kesopanan dan menjaga nama. Kalau saja ia tidak amat ingin mempelajari Sia-kut-hoat, agaknya ia akan berkeras menolak. Merangkul seperti itu sama saja dengan memeluk, pikirnya.
"Aku... aku... tidakkah itu berarti saya berani kurang ajar terhadap Toanio?" Ia masih membantah dan ragu-ragu.
Makin gemas hati Lu Sian. Benar-benar seorang pemuda istimewa. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda yang begini pemalu dan tahan uji dan kuat menahan perasaan.
"Cu-ciangkun, bagaimana ini? Aku sedang memberi petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau pelajari, mengapa begini saja kau keberatan? Ada apakah terselip dalam hatimu?"
Makin bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka, pikirnya. Keraguanku ini bahkan menimbulkan kesan bahwa memang hatiku memikirkan hal-hal kurang layak! Ia segera melangkah maju dan berkata tegas, "Baiklah, Toanio!"
Lu Sian tersenyum mengejek lalu membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya ke atas, "Nah, kaubekuklah aku!"
Cu Bian mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu Sian, lalu membalikkan tangan ke atas dan kedua tangannya bertemu di atas tengkuk Lu Sian. Jantungnya berdebar makin keras dan pemuda ini memejamkan matanya menggigit bibir! Kasihan sekali pemuda yang hijau ini. Mana ia tidak merasa "tersiksa" ketika kedua lengannya merasai kulit leher yang halus, dadanya merapat pada punggung yang lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut yang harum semerbak? Demi kesopanan ia agak mengundurkan tubuhnya dan pelukannya pada leher mengendur.
"Eh-eh, bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk pencuri selemah ini, tanpa Sia-kut-hoat sekalipun akan mudah lepas. Jangan sungkan-sungkan, Ciangkun. Atau... kuatirkan engkau kalau-kalau leherku akan patah?"
Cu Bian makin bingung dan terpaksa sekali ia mengerahkan tenaga mempererat kedua lengannya yang membekuk leher dan untuk melakukan ini, terpaksa pula ia merapatkan dadanya ke punggung Lu Sian. Jantungnya berdebar kencang sekali, darahnya berdenyut-denyut dan kepalanya menjadi pening, napasnya terengah-engah!
Lu Sian tersenyum, hampir terkekeh geli. Tentu saja ia dapat merasakan betapa dada bidang dan keras yang merapat punggungnya itu berdenyut-denyut keras, betapa kedua lengan yang berotot dan kuat itu menggigil, betapa napas di belakang tengkuknya itu panas sekali dan terengah-engah! Makin kagumlah ia. Alangkah kuatnya pemuda ini, kuat lahir batin. Tubuhnya kuat, juga batinnya kuat sehingga biarpun nafsu muda yang sudah selayaknya itu masih dapat bertahan dan berusaha menekannya.
"Yang lebih kuat lagi, Ciangkun!" Ia menggoda dan sengaja berlama-lama melepaskan diri sehingga pemuda itu merasa semakin "tersiksa".
"Sudah cukup, Toanio. Lekaslah gunakan Sia-kut-hoat..." "Kenapa sih Ciangkun terburu-buru?" Lu Sian menggoda terus. "Saya... eh... saya kuatir kalau-kalau... Toanio akan terluka..."
Karena sudah yakin bahwa diam-diam pemuda ini tidak dapat menahan daya tarik kewanitaannya, Lu Sian lalu berkata, "Nah, yang kuat, kerahkan tenagamu, aku akan melepaskan diri!" sambil berkata demikian, ia menggerakkan tubuhnya, menggeliat-geliat dan... dengan mudah ia dapat "merosot" keluar dari pelukan ketat itu! Cu Bian masih berdiri agak membongkok dengan kedua lengan memeluk seperti tadi, akan tetapi yang dipeluknya sudah terlepas dan ia masih terengah-engah dan meramkan matanya!
"Bagaimana, Ciangkun?" Lu Sian tertawa dan menggigit bibir menahan geli.
Cu Bian cepat sadar dan ia segera membungkuk dan memberi hormat. "Benar-benar Toanio lihai sekali, saya merasa takluk. Dan amat beruntunglah saya akan mendapat bimbingan Toanio dalam mempelajari Sia-kut-hoat."
"Ciangkun, Ilmu Sia-kut-hoat mudah, akan tetapi dasarnya harus kuat, seperti kukatakan tadi, berdasarkan penggunaan hawa sakti dalam tubuh yang disalurkan pada sambungan tulang. Untuk mempelajari ini, kita harus berada dalam ruangan tertutup dan biarlah aku membantu penyaluran hawa dalam tubuh Ciangkun agar lebih cepat hasilnya. Sanggupkah Ciangkun?"
Makin merah muka Cu Bian, akan tetapi ia percaya betul bahwa Sian-toanio ini bersungguh-sungguh hendak melatihnya. Kalau memang caranya demikian, apa mau dikata lagi? Toh ini hanya latihan, demi memenuhi syarat agar berhasil! "Baiklah, Toanio, apakah kamar saya cukup memenuhi syarat?" "Cukuplah, asal di tempat tertutup," jawab Lu Sian menahan geli hatinya.
Mereka lalu meninggalkan taman dan memasuki kamar Cu Bian yang cukup luas dan bersih. Sebuah tempat tidur lebar berdiri di sudut kamar. Lu Sian tidak mau tergesa-gesa, karena ia tidak ingin membuat pemuda ini terlalu sungkan, malu dan bercuriga. Maka ia berkata,
"Ciangkun harus duduk bersila menyatukan perhatian dan mengerahkan hawa sakti dalam tubuh. Biar saya yang membantu penyaluran hawa sakti itu. Akan tetapi agaknya Ciangkun akan merasa tidak pantas kalau kita berlatih di atas... sana itu!" Ia menuding ke arah ranjang dan Cu Bian menundukkan muka, tak berani memandang wajah Lu Sian. "Karena itu, biarlah kita duduk bersila di lantai ini saja."
Cu Bian tidak berani menjawab. Ia benar-benar merasa amat sungkan dan malu. Selama hidupnya belum pernah ia berdua dengan seorang wanita di dalam kamar, apalagi berada di atas satu ranjang, biarpun hanya bersila! "Terserah... kepada Toanio..." jawabnya dan ia lalu mendahului duduk bersila di atas lantai.
Lu Sian pun duduk bersila di depannya, kemudian wanita itu menempelkan kedua telapak tangannya kepada tangan Cu Bian sambil berkata, "Atur napas kerahkan tenaga biar nanti aku yang membantumu menyalurkan tenaga ke sambungan-sambungan tulang. Kau menurutlah saja dan lihat hasilnya."
Cu Bian mengangguk karena sukarlah baginya mengeluarkan suara setelah kedua tangan mereka saling menempel. Betapa takkan berdebar jantungnya karena tapak tangan yang halus lunak itu menyalurkan hawa mujijat yang seperti membanjir ke dalam tubuhnya membuat tubuhnya penuh getaran-getaran aneh. Dan bau yang semerbak harum itu! Cu Bian cepat memejamkan kedua matanya, mencurahkan perhatiannya dan mengerahkan sin-kang (hawa sakti) dalam tubuhnya. Terasa olehnya betapa satu kekuatan hebat yang masuk ke tubuhnya melalui telapak tangan itu menguasai hawa saktinya dan mendorongnya menembus seluruh tulang dalam tubuh. Mula-mula lengan kanannya berbunyi berkeretakan, lalu lengan kiri, kedua kaki, kedua pundak, leher dan punggung.
"Sia-kut-hoat dapat membuat tubuh menjadi kecil, tulang-tulang seperti dapat dilipat sehingga kita mudah lolos dari ikatan apapun juga." Lu Sian berbisik, "tanpa menggerakkan tubuh sekalipun kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman apa saja. Lihatlah buktinya!" Tiba-tiba Cu Bian yang masih meramkan mata itu merasa betapa tulang pundaknya bergoncang, ia tidak melawan karena tadi sudah dipesan, menurut saja. Pundaknya serasa tak bertulang lagi sehingga ia terkejut. "Cu Ciangkun, lihat hasilnya, buka matamu..." Kembali Lu Sian berbisik perlahan.
Cu Bian membuka kedua matanya dan... terbelalak ia memandang tubuh bagian atas yang tak tertutup apa-apa lagi itu. Kulit yang putih halus memerah terkena sinar lampu, dada yang montok padat dengan lekuk lengkung sempurna. Dia sendiri pun bertelanjang di tubuh bagian atas. Entah bagaimana, baju mereka berdua telah terlepas dan bergantungan di pinggang, sedangkan kedua tangan mereka masih saling menempel dan tak pernah lepas. Pemuda yang selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, tak dapat menahan lagi. Tubuhnya menggetar, mukanya menjadi merah dan terasa panas, dadanya menggelora menyesakkan napas. Kedua tangan Lu Sian kini memegang kedua tangan pemuda itu dan memijit-mijitnya mesra.
"Tak senangkah hatimu karena hasil ini?" Ia berbisik dengan senyum memikat dan mata basah penuh nafsu.
Makin berombak dada Cu Bian, ia hanya mengangguk-angguk tanpa dapat berkata apa-apa, matanya tidak berani langsung bertemu pandang dengan Lu Sian melainkan tak pernah berkedip menatap ke arah dada! Tiba-tiba Lu Sian tertawa lirih dan menubruknya, merangkul dan menciumnya.
"Eh... eh... Toanio..." Cu Bian terengah-engah dan tubuhnya menggigil, akan tetapi kedua lengannya yang kuat itu memeluk dan mendekap tubuh yang menggairahkan, mendekap sekuat tenaganya sehingga kalau yang dipeluknya itu wanita lain tentu akan remuk-remuk tulang iganya. Akan tetapi Lu Sian bukannya wanita biasa. Didekap sekuat itu, ia hanya tertawa dan kini ia menoleh ke arah lampu, tampak senyumnya melebar, senyum kemenangan ketika bibirnya meruncing untuk meniup ke arah lampu di sudur kamar sehingga padam!
Karena di dalam istana Kaisar Cin Muda ini Lu Sian mengalami penghidupan yang penuh kesenangan di mana ia dapat memuaskan semua nafsunya, hidup bergelimang harta dunia dan kesenangan, maka ia merasa seakan-akan tercapai semua yang menjadi cita-citanya. Sampai delapan tahun ia tinggal di dalam istana, dan selama itu Coa Kim Bwee berhasil menyenangkan hatinya dengan pelayanan-pelayanan manis sehingga banyak pula ilmu yang ia turunkan kepada selir raja ini. Bahkan ilmu awet muda ia turunkan pula kepada Coa Kim Bwee yang tentu saja menjadi amat girang.
Biarpun maklum bahwa wanita yang di dalam istana dikenal sebagai Sian-tonio itu sesungguhnya adalah puteri Beng-kauwcu yang berjuluk Tok-siauw-kwi dan yang menghabiskan pangeran-pangeran dan panglima-panglima muda yang tampan untuk dijadikan kekasihnya, namun Raja tidak mau menghalanginya. Hal ini adalah karena hadirnya Lu Sian di dalam istana itupun merupakan hal yang menguntungkan, semenjak ada Lu Sian di dalam istana, jarang sekali terjadi penyerbuan musuh dan kalaupun ada, tentu akan disapu bersih oleh wanita sakti itu.
Karena istana sudah terjaga dengan adanya Lu Sian, para panglima yang tadinya bertugas menjaga keselamatan raja, kini memindahkan perhatiannya keluar istana dan mulai membantu melakukan pembersihan dalam kota raja. Banyak sudah mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh, bahkan belum lama ini belasan orang pengikut atau anak buah Couw Pa Ong yang masih selalu berusaha merampas kekuasaan, dapat dibasmi habis dalam sebuah kuil kosong di sebelah selatan kota raja. Yang memimpin pembasmian ini adalah Panglima Muda Cu Bian yang kini telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silatnya semenjak ia menjadi kekasih Lu Sian
Panglima muda ini banyak berhasil dalam usaha membasmi musuh, karena dia melakukan penyelidikan dengan menyamar sebagai penduduk biasa, tidak berpakaian sebagai panglima.
Dalam penyelidikannya, Cu Bian tahu bahwa komplotan mata-mata yang paling aktif di kota raja adalah gerombolan anak buah Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin, bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang masih setia kepada dinasti yang sudah runtuh itu. Dan ia tahu pula bahwa di dalam kota raja terdapat sebuah tempat yang dijadikan tempat pertemuan mereka, di samping kuil kosong di mana ia telah membasmi tiga belas orang mata-mata belum lama ini.
Pada suatu pagi, seorang diri Cu Bian pergi menyelidiki rumah tua di ujung kota yang sunyi sebelah barat itu, berpakaian sebagai seorang penduduk biasa. Goloknya ia sembunyikan di balik baju dan ia mendekati rumah tua itu dengan hati-hati dan menyelinap di antara pohon-pohon di belakang rumah. Biasanya rumah tua ini kosong, akan tetapi tadi ia melihat berkelebatnya bayangan orang melalui jendela yang tidak berdaun lagi itu. Setelah dekat ia mengintai dan terdengar suara orang bercakap-cakap. Ketika ia melihat seorang kakek tua duduk di atas kursi sedang marah-marah kepada seorang laki-laki yang berdiri ketakutan, hatinya tergerak. Siapakah kakek ini, pikirnya. Kakek yang mukanya penuh cambang, pakaiannya longgar dan wajahnya berwibawa!
"Goblok! Tolol sekali kalian! Bagaimana sampai berhasil disergap dan dibunuh? Benar-benar tidak berotak. Dan semua usaha ke istana gagal belaka, mengantar nyawa dengan sia-sia! Ah, baru beberapa tahun aku mengaso di Pek-coa-to (Pulau Ular Putih), usaha kita macet karena ketololan kalian. Kalau para pembantuku seperti kalian ini patriot-patriot konyol, mana mungkin Kerajaan Tang yang jaya dapat bangkit kembali?"
"Ampun, Ong-ya, sesungguhnya kami cukup hati-hati, akan tetapi semenjak Tok-siauw-kwi berada di sini, kami tidak berdaya apa-apa. Semua serbuan ke istana gagal dan teman-teman kita banyak yang mati konyol. Gerakan kita di sini menjad macet sama sekali."
Diam-diam Cu Bian terkejut. Kiranya inilah Sin-jiu Couw Pa Ong yang terkenal pula dengan julukannya Kong Lo Sengjin? Ia memandang penuh perhatian dan melihat betapa kedua kaki yang tergantung di kursi itu lemas dan lumpuh, ia tidak ragu-ragu lagi. Hatinya berdebar dan ia menoleh ke belakang. Kalau saja ada pembantu, ah, kalau saja ada Sian-toanio! Akan tetapi masa ia tidak akan dapat mengalahkan seorang kakek yang lumpuh kedua kakinya? Dan orang kedua itupun kelihatan lemah.
"Huh, menghadapi Tok-siauw-kwi saja takut? Biarlah, setelah aku datang, akan kuhancurkan kepala siluman betina itu. Hemm, kaulihat baik-baik!" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan lengannya dan angin besar menyambar ke arah jendela di mana Cu Bian mengintai.
"Brakk!" Runtuhlah sebagian dinding jendela itu, akan tetapi Cu Bian sudah melompat ke samping, terus ia memutar golok yang sudah dicabutnya sambil menyerbu ke dalam rumah melalui jendela.
"Pemberontak tua bangka! Lebih baik kau menyerahkan diri untuk diadili daripada harus berkenalan dengan golokku!" bentaknya.
Kong Lo Sengjin tidak mempedulikan panglima muda ini, bahkan menoleh ke arah laki-laki temannya tadi sambil bertanya, "Siapakah budak ini?"
Laki-laki itu meloncat ke pinggir, gerakannya cukup ringan, dan ia berkata, "Ong-ya, inilah dia Cu-ciangkun, panglima muda yang memimpin pembasmian teman-teman kita di kuil tua...!"
"Oho! Bagus sekali, kau mengantarkan nyawa ke sini, budak. Lekas berlutut agar kau dapat terbebas dari kematian mengerikan!" Suara Kong Lo Sengjin berubah menyeramkan. "Ong-ya, dia ini seorang di antara kekasih Tok-siauw-kwi!" Laki-laki itu berkata pula.
Sementara itu, Cu Bian sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Pemeberontak rendah! Rasakan golokku!" Ia menerjang maju, membacok dengan goloknya, gerakannya cepat dan kuat sekali, goloknya lenyap berubah sinar putih seperti kilat menyambar ke arah leher kakek itu. "Singgg...!!" Namun goloknya mengenai angin belaka karena kakek yang sakti itu telah mencelat ke atas bersama kursinya! Dengan masih duduk diatas kursi, Kong Lo Sengjin telah berhasil mengelakkan sambaran golok! Gerakan luar biasa ini dibarengi suara tertawa bergelak-gelak.
Cu Bian penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang terus kemanapun berkelebatnya bayangan kakek bersama kursinya. Ia sudah memperoleh pelajaran dari wanita cantik itu, tidak hanya pelajaran bermain cinta, melainkan juga pelajaran untuk memperhebat gin-kangnya, lweekang dan ilmu goloknya. Namun menghadapi kakek lumpuh ini, ia benar-benar tidak berdaya. Goloknya selalu membacok angin belaka danpada detik terakhir, kakek itu selalu dapat berpindah tempat bersama kursinya dan masih tetap tertawa-tawa.
"Ha-ha, disuruh berlutut tidak mau, kau menghendaki kematian yang mengerikan!" kakek itu berkata dan lengan bajunya yang panjang itu berkibar menyambar ke depan, yang kanan menangkis golok, yang kiri menyambar ke arah kepala Cu Bian. Bukan main kagetnya pemuda ini ketika goloknya hampir saja terlepas dari pegangannya bertemu dengan ujung lengan baju. Akan tetapi ia lebih memperhatikan sambaran ujung lengan baju ke dua ke arah kepalanya. Cepat ia miringkan tubuh membuang diri, akan tetapi tetap saja pundaknya kena dihantam ujung lengan baju.
"Plakk!" Perlahan saja tampaknya hantaman itu, namun akibatnya cukup hebat karena tubuh Cu Bian terhuyung-huyung ke belakang dan kepalanya serasa hampir pecah saking hebatnya rasa nyeri di pundaknya. Namun orang muda ini mempunyai keberanian besar. Ia meloncat bangun dan kini dengan kemarahan meluap, sambil meluapkan rasa nyeri yang menusuk jantung, ia menerjang maju lagi dengan dahsyat.
_
"Hah, rebahlah kau!" bentak Kong Lo Sengjin tanpa berpindah dari kursinya, hanya dengan gerakan kedua tangannya, di lain saat ia telah dapat merampas golok dan merobohkan Cu Bian dengan totokan yang membuat tubuh pemuda itu lemas dan seperti lumpuh. Cu Bian mengerahkan tenaga hendak bangun, akan tetapi begitu bangun duduk ia terbaring kembali karena tubuhnya menjadi amat lemas. Akan tetapi matanya tetap melotot memandang kakek ini, sedikit pun tidak membayangkan ketakutan.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan di luar dan menerobos masuklah tiga orang berpakaian perwira diikuti oleh belasan orang anak buahnya. Mereka ini adalah pasukan keamanan di kota raja yang tadi melihat gerakan Cu Bian menyelidiki rumah kosong dan kini datang memberi bantuan.
"Kau hadapi mereka!" teriak Si Kakek dan sekali mengulur tangan, ia telah menyambar Cu Bian berikut goloknya, kemudian tubuhnya melayang ke arah pintu.
"Serbu! Tolong Cu-ciangkun!" teriak seorang perwira dan mereka yang berada dekat pintu segera memapaki tubuh kakek yang melayang itu dengan tombak dan golok. Terdengar suara berkerontangan disusul robohnya empat orang perajurit ketika Kong Lo Sengjin menangkis dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil mengibaskan tangan mengirim tamparan. Tubuhnya sudah mencelat keluar dengan mempergunakan sepasang tongkat yang tadinya ia sambar dari dekat meja, ia telah meleset jauh ke depan, sebentar saja lenyap dari tampat itu membawa tubuh Cu Bian yang tak dapat bergerak sama sekali dalam kempitannya.
Yang celaka adalah anak buah Kong Lo Sengjin yang tertinggal dalam rumah tua. Dia lihai juga, melawan mati-matian dengan golok rampasan, akan tetapi tiga orang perwira itu adalah pengawal-pengawal istana yang tangkas, maka setelah mengalami pertempuran hebat, akhirnya orang itu tewas di bawah bacokan banyak senjata dan tubuhnya hancur.
Peristiwa tertawanya Cu-ciangkun oleh seorang kakek pemberontak amat menggegerkan kota raja. Penjagaan di perketat, di seluruh kota tampak para perajurit hilir mudik mengadakan pemeriksaan dan penjagaan. Juga sekitar istana dijaga keras. Namun semua itu tidak menghalangi Kong Lo Sengjin yang menyelundup ke dalam istana, mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa. Bagaikan seekor burung saja ia melompati pagar tembok yang mengurung istana, tidak tampak oleh para penjaga, kemudian menyelinap dalam gelap, meloncat ke atas bangunan istana, Cu-ciangkun masih berada dalam kempitannya ketika ia tiba di atas istana, mencari-cari.
Lu Sian juga mendengar tentang tertawannya Cu-ciangkun. Ia ikut merasa gelisah, karena Cu Bian merupakan seorang di antara kekasihnya yang menyenangkan hatinya. Ia menduga-duga siapa gerangan kakek tua lihai itu dan samar-samar ia teringat akan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong. Diam-diam ia bergidik. Pernah beberapa tahun yang lalu ia menyaksikan sepak terjang kakek lumpuh itu yang amat lihai. Akan tetapi ia tidak takut sekarang. Bahkan iangin ia mencoba kepandaian kakek itu. Agaknya sekarang ia takkan kalah menandingi kesaktian Si Kakek yang ia tahu amat lihai ilmu silat tangan kosong dan amat kuat tenaga sin-kangnya untuk melakukan pukulan jarak jauh. Malam itu Lu Sian tak dapat tidur. Ia duduk dalam kamarnya termenung menghadapi meja. Karena hawa udara agak panas, ia membuka jendela kamarnya yang berbentuk bulat seperti bulan purnama.
Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap suara perlahan di luar kamar, akan tetapi ia hanya tersenyum mengejek dan tidak bergerak dari bangku yang didudukinya, pura-pura tidak tahu bahwa ada seorang tamu malam yang tinggi gin-kangnya sehingga gerakan kakinya hampir tidak menerbitkan suara tengah mendekati kamarnya. Selama ini, tak pernah berhenti ia berlatih sehingga Lu Sian merasa amat percaya akan kepandaiannya sendiri.
Tiba-tiba sinar putih menyambar dari luar jendela memasuki kamar. Biarpun sinar itu menyambar dari belakangnya, namun Lu Sian maklum bahwa senjata itu tidak akan mengenai tubuhnya, maka ia tetap duduk tidak bergoyang sama sekali.
"Capp!" Sinar itu ternyata sebatang golok yang kini menancap di atas meja di depannya, golok yang indah dan di ujung golok itu terdapat sebuah benda merah kebiruan yang kini berada di atas meja tertancap golok. Benda yang berlumur darah. Sebuah jantung manusia! Melihat golok itu, jantung Lu Sian berdebar. Inilah golok Cu Bian, kekasihnya. Dan jantung itu...??
Tiba-tiba terdengar berkesiurnya angin dan sesosok tubuh melayang masuk melalui jendela, menubruk Lu Sian. Wanita ini bangkit berdiri, tangan kirinya menyampok dan tubuh itu terbanting ke atas lantai. Ketika ia memandang, ternyata itu adalah sesosok mayat seorang laki-laki yang telentang dengan dada robek dan mata terbelalak. Mayat Cu Bian!
"Ha-ha-ha! Tok-siauw-kwi, kukirim pulang tubuh kekasihmu! Wanita tak tahu malu, kau mengotori nama besar Beng-kauw!" Terndengar suara memaki dan mengejeknya di luar.
Hampir meledak rasa dada Lu Sian saking marahnya. Mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya berkilat dan ia menyambar pedangnya, terus melayang keluar dari jendela. Ketika ia turun di dalam taman bunga di pinggir rumah, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek, berdiri di atas kedua tongkatnya yang menggantikan kaki. Sin-jiu Couw Pa Ong alias Kong Lo Sengjin!
Hemmm, kiranya engkau tua bangka keparat! Bukankah engkau ini si pemberontak Couw Pa Ong yang juga bernama Kong Lo Sengjin!"
"Ha-ha-ha! Betul sekali, Tok-siauw-kwi. kau boleh menyebut aku pemberontak, akan tetapi aku memberontak kepada kerajaan-kerajaan yang dahulunya memberontak dan merobohkan Dinasti Tang, aku seorang patriot sejati! Tidak seperti engkau ini! Suamimu, Jenderal Kam Si Ek juga seorang patriot sejati, akan tetapi engkau telah mengkhianatinya, mencemarkan namanya. Apalagi kalau diingat bahwa engkau puteri Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan benar-benar menyebalkan dan merendahkan nama ayahmu dan Beng-kauw!"
"Tutup mulutmu yang kotor! Kong Lo Sengjin, orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!"
"Ha-ha-ha, sombongnya! Ayahmu sendiri tidak akan berani kurang ajar terhadapku, kau ini bocah sombong bisa apakah? Mengingat muka Ayahmu, biarlah aku mengampunimu dan lekas kau minggat dari Kerajaan Hou-han ini dan jangan membelanya. Ada hubungan apakah Hou-han denganmu maka kau membelanya mati-matian?"
"Kakek tua bangka! Apa yang kulakukan, ada hubungannya apa denganmu? Kau peduli apa?
"Wah, benar keras kepala! Kukira aku tidak tahu bahwa kau di sini mengumpulkan pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsumu yang kotor dan hina? Kau...."
"Keparat!" Lu Sian sudah menerjang maju dengan pedangnya karena tidak tahan lagi mendengar kata-kata Kong Lo Sengjin. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan kilat menyambar, dengan gerakan dahsyat sekaligus telah menyerang dengan tiga kali bacokan dan dua tusukan berubi-tubi.
"Trang-trang-trang-trang-trang....!" Lima kali pedang bertemu tongkat dan keduanya meloncat ke belakang sampai mereka terpisah dalam jarak enam meter. Hebat serangan Lu Sian, akan tetapi hebat pula tangkisan Si Kakek Tua. Keduanya merasa telapak tangan mereka tergetar dan diam-diam Kong Lo Sengjin terheran-heran. Tangkisannya tadi telah ia gerakkan dengan pengerahan sin-kang dengan maksud membuat pedang lawan terpental, akan tetapi jangankan terpental, bahkan pedang itu masih dapat menyerang terus sampai lima kali. Hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi marah dan penasaran. Di lain fihak, Lu Sian juga bersikap hati-hati. Ia maklum bahwa kakek ini pandai sekali serta kuat tenaganya. Serangannya tadi merupakan jurus yang lihai dari Toa-hong Kiam-sut, akan tetapi dapat ditangkis dengan baik oleh lawan dan tangannya terasa gemetar tanda bahwa tenaga yang tersalur pada tongkat itu amat kuatnya.
Tangan kiri Lu Sia bergerak dan dan sinar merah menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam yang ia lepas dengan pengerahan tenaga. Belasan batang jarum halus yang mengeluarkan bau harum itu menyambar ke arah jalan darah yang mematikan, sukar sekali dielakkan lawan karena begitu tangannya bergerak, sinar berkelebat dan jarum-jarum itu sudah sampai di tempat sasaran! Namun sambil tertawa Kong Lo Sengjin mengebutkan ujung lengan bajunya dengan gerakan memutar dan jarum-jarum itu bagaikan tergulung angin kemudian runtuh di tanah sebelum sampai ke tubuh kakek sakti itu.
"Ha-ha, jangan berlagak di depan Kakekmu! Rasakan ini!" bentak Kong Lo Sengjim sambil mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan. Terdengar angin bersiutan menerjang ke arah Lu Sian. Angin pukulan ini amat dahsyat dan karena kehebatan kedua tangannya inilah maka Kong Lo Sengjin dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Banyak musuh kuat roboh hanya oleh angin pukulannya ini. Bahkan Lu Sian sendiri dahulu pernah menyaksikan betapa kakek ini merobohkan banyak lawan dengan penggunaan ilmu pukulan jarak jauh. Dahulu ia merasa ngeri melihat kedahsyatan pukulan Si Kakek, akan tetapi sekarang ia bukanlah Lu Sian beberapa tahun yang lalu.
Melihat kakek itu menggunakan pukulan jarak jauh, ia cepat memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk, tubuh direndahkan, kemudian kedua tangannya juga dia pukulkan ke depan. Pedang di tangan kanan ditarik ke dalam di belakang lengan, dan ia mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan dorongan hawa pukulan lawan. Dari kedua tangannya menyambar pula angin pukulan dahsyat ke depan!
Benturan dua tenaga sin-kang di udara itu tidak menimbulkan suara, juga tidak tampak oleh mata, akan tetapi akibatnya hebat karena keduanya terpental ke belakang dengan kuda-kuda masih tidak berubah. Mereka saling pandang dengan kaget, karena adu tenaga sin-kang tadi membuktikan bahwa keduanya memiliki tingkat seimbang! Hal ini tentu saja tidak dinyana-nyana oleh Kong Lo Sengjin, maka kakek ini menjadi penasaran sekali. Ia tidak pernah mimpi bahwa tingkat kepandaian Lu Sian pada waktu itu sudah mengejar ayahnya sendiri dan dibandingkan dengan tingkat Kong Lo Sengjin, ia barangkali hanya kalah matang saja.
"Kau ingin mampus!" seru Kong Lo Sengjin dan kini kakek itulah yang berkelebat ke depan dengan lompatan tinggi. Inilah terjangan berbahaya sekali karena dari atas, kakek sakti ini dapat menyerang dengan sepasang tongkatnya. Namun Lu Sian maklum dan sama sekali tidak takut, bahkan ia pun mengeluarkan pekik melengking nyaring lalu tubuhnya mencelat pula ke atas, menyambut serangan lawan. Dua tubuh itu masih melayang ketika mereka bertemu di udara, dekat sebatang pohon dan dekat pula dengan ujung atap. Mereka menggerakkan senjata dan bertanding di udara, saling tusuk dan tangkis sebelum tubuh mereka meluncur turun. Terdengar suara keras senjata beradu disusul muncratnya bunga api menyilaukan mata. Ketika keduanya turun ke atas tanah, daun-daun pohon rontok terbabat pedang Lu Sian sedangkan ujung atap dari tembok itu pecah berantakan dihantam tongkat Kong Lo Sengjin.
Begitu keduanya hinggap di atas tanah, keduanya cepat membalik saling berhadapan, sejenak tak bergerak, mata memandang tak berkedip, napas agak terengah karena biarpun baru beberapa gebrakan, namun tadi mereka telah mempergunakan seluruh tenaga sin-kang. Ikatan rambut Lu Sian terlepas dan kulit lehernya berdarah sedikit, akan tetapi pangkal lengan kiri Kong Lo Sengjin juga berdarah, bajunya robek. Kiranya dalam pertempuran di udara tadi, keduanya telah terluka, biarpun hanya luka ringan!
Makin panas dan penasaran hati Kong Lo Sengjin. Ia mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka. Kakek ini memang wataknya tidak mau kalah, maka kini menghadapi seorang wanita muda ini ia hanya dapat menandingi seimbang saja, kemarahannya memuncak. Sambil menggereng liar ia menerjang maju, tongkatnya bergerak cepat sekali dan amat kuat sehingga berpusinglah angin pukulan yang mengeluarkan bunyi bersiutan. Namun Lu Sian yang juga tak pernah mau kalah kembali memekik panjang melengking-lengking, lalu tubuhnya bergerak cepat terbungkus sinar pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Kini kedua orang sakti ini bertanding dari jarak dekat, tak lagi mengandalkan tenaga sin-kang seperti tadi, melainkan mempergunakan ilmu silat dan mengandalkan kegesitan gerakan tubuh.
Hebat bukan main pertandingan ini. Lu Sian sudah mahir akan Ilmu Coan-in-hui yang ia pelajari dari jago gin-kang Tan Hui, maka gerakannya cepat dan tubuhnya ringan seperti seekor lebah. Pedangnya mainkan ilmu pedang campuran Pat-mo Kiam-hoat dan Toa-hong Kiam-sut, hebat bukan main, tubuhnya seakan-akan sudah lenyap dan yang tampak hanyalah cahaya pedang gemerlapan yang merupakan sinar panjang melayang-layang membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga mengamuk. Namun Kong Lo Sengjin bukanlah lawan ringan. Kakek lumpuh ini amat lihai. Biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, namun kegesitannya tidak berkurang. Malah kedua tongkat yang menggantikan kedudukan sepasang kaki itu dapat dipakai menyerang dan meloncat, diikuti tamparan dan kebutan tangan dan ujung lengan baju yang kesemuanya merupakan senjata yang tiak kalah ampuhnya. Kadang-kadang pedang bertemu tongkat, ada kalanya lengan bertemu lengan dan pertandingan itu sukar diikuti pandang mata karena keduanya seakan-akan telah menjadi satu gundukan sinar yang saling gulung.
"Trang... cring... plak-plak....!" Tiba-tiba keduanya meloncat setengah terlempar ke belakang. Kiranya dalam jurus terakhir tadi, Kong Lo Sengjin berhasil menghajar punggung Lu Sian dengan telapak tangan kirinya, akan tetapi pada detik yang sama Lu Sian berhasil pula menggunakan rambutnya yang riap-riapan untuk menghantam jalan darah di leher lawan! Ketika mereka terhuyung ke belakang dan saling pandang, ternyata dari ujung bibir Lu Sian mengucur darah segar, akan tetapi Kong Lo Sengjin memejamkan dan lehernya kelihatan biru menghitam. Setelah membuka matanya lagi, ia tertawa. "Ha-ha-ha, Tok-siauw-kwi siluman betina. Kiranya kau benar-benar lihat sekali!"
"Tua bangka tak usah banyak cerewet. Mau lanjutkan, hayo maju! Kalau kau sudah menerima kalah, lekas minggat dari sini!"
"Siluman betina, siapa kalah?" Kong Lo Sengjin sudah siap menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Iblis tua, jangan menjual lagak! Cici, biarkan kami membantumu!" Muncullah Coa Kim Bwee bersama tujuh orang panglima istana yang merupakan orang-orang pilihan dan memiliki kepandaian yang lumayan. Segera mereka mengurung dan menerjang Kong Lo Sengjin!
"Ha-ha-ha, Tok-siau-kwi, lain kali kita bertanding pula. Eh, anjing-anjing buduk, Kakekmu tidak ada waktu melayani segala macam anjing!" Tiba-tiba tubuh Kong Lo Sengjin mencelat ke atas, melayang melampaui kepala para pengurungnya dan cepat sekali sudah menghilang ke atas tembok istana.
"Tak usah dikejar... sia-sia belaka....!" Kata Lu Sian. Coa Kim Bwee membalik dan baru terlihat olehnya Lu Sian mengusap darah dari bibir, "Eh, Cici, kau... kau terluka...?" Ia memegang lengan wanita itu hendak menolongnya. Akan tetapi Lu Sian mengibaskan lengannya.
"Aku tidak apa-apa. Lebih baik suruh orang mengurus mayat Cu-ciangkun di dalam kamar itu," Coa Kim Bwee terkejut sekali dan ngeri hatinya ketika melihat betapa panglima muda yang tampan itu sudah menjadi mayat yang tidak berjantung lagi karena jantungnya sudah tertancap di atas meja oleh goloknya sendiri!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng dan keluarganya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, perubahan besar terjadi dalam kehidupan Kwee Seng. Tadinya ia seakan-akan telah bosan hidup, tidak peduli lagi akan dirinya dan hidup sebagai seorang jembel tanpa sedikit pun memelihara diri. Ia telah menjadi korban asmara ketika gagal dalam cinta dengan Liu Lu Sian, kemudian hatinya terpukul hebat pula ketika ia mengalami hubungan cinta yang luar biasa dengan nenek Neraka Bumi. Semua ini menambah hebat luka di hatinya yang tadinya sudah tergurat oleh peristiwa pengalamannya dengan Ang-siauw-hwa. Memang, semenjak keluar dari Neraka Bumi, ilmu kepandaian Kwee Seng meningkat tinggi, akan tetapi juga keadaan dirinya berubah sama sekali. Kalau dahulu ia merupakan seorang pemuda terpelajar yang halus dan selalu berpakaian rapi bersih, kini ia berubah menjadi seorang yang tidak peduli dan keadaannya seperti jembel. Tidak ada lagi bekas-bekasnya seorang pelajar yang sopan dan bersih, sehingga ia di sana-sini disangka seorang gila.
Akan tetapi, semenjak pertemuannya kembali dengan Khu Gin Lin saudara kembar Ang-siauw-hwa yang ternyata adalah seorang wanita cantik yang dahulu menyamar sebagai nenek-nenek tua di Neraka Bumi, berubahlah keadaan hidupnya. Timbul pula kagairahan dan kegembiraan hidupnya. Apalagi karena "nenek" yang ternyata seorang wanita muda cantik itu datang bersama seorang anak perempuan, anaknya! Ia telah menjadi seorang ayah dan ternyata dia dahulu sama sekali tidak melakukan hubungan gila dengan seorang nenek-nenek tua, melainkan dengan seorang gadis jelita, bahkan saudara kembar Ang-siauw-hwa yang merupakan wanita pertama yang menggugah cinta kasihnya. Kegembiraan ini ditambah pula dengan kenyataan tentang diri Bu Song. Sama sekali tidak pernah ia sangka bahwa muridnya yang menimbulkan sayangnya ini ternyata adalah putera Liu Lu Sian! Dua hal yang datang berbareng ini benar-benar telah mengobati luka-luka di hati Kwee Seng.
Seperti telah kita ketahui, Kwee Seng membawa isteri dan puterinya, juga muridnya, ke Gunung Min-san di mana ia hidup berbahagia dengan mereka, Khu Gin Lin adalah seorang isteri yang mencinta suami, adapun Kwee Eng atau biasa dipanggil Eng Eng adalah seorang anak perempuan yang lincah gembira, merupaka matahari ke dua di puncak Min-san itu. Bu Song sebagai murid juga amat penurut dan taat sehingga makin membahagiakan hati Kwee Seng.
Adapun Bu Song dan Eng Eng yang selalu berdua di puncak gunung itu semenjak kecil, menjadi amat rukun. Ketika masih kecil, mereka itu seakan-akan kakak beradik, akan tetapi makin besar makin berakarlah rasa kasih sayang mereka satu kepada yang lain sehingga tidaklah aneh kalau menjelang dewasa, daya tarik gadis itu menjatuhkan hati Bu Song sehingga diam-diam ia mencinta Eng Eng yang kini telah menjadi seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang cantik jelita, lincah jenaka dan lihai ilmu silatnya. Adapun Bu Song telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan serius, wataknya pendiam, dan pandai dalam ilmu surat. Tanpa ia sadari, di dalam tubuhnya telah terdapat dasar-dasar ilmu silat, Bu Song telah memiliki tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Hanya saja, ia tidak tahu bagaimana harus mempergunakannya!
Pada suatu pagi yang indah di puncak Gunung Min-san, Kwee Seng bersama isterinya duduk di depan pondok, menikmati hawa pagi pegunungan yang bersih sejuk dan menyehatkan. Sinar matahari pagi dari timur mulai mengusiri halimun pagi yang tebal. Dalam usianya empat puluh tahun lebih, Kwee Seng belum kelihatan tua benar. Wajahnya masih segar berseri, tubuhnya makin tegap dan agak gemuk. Hanya jenggotnya dan kumisnya yang tipis itu dipeliharanya dan membuat ia tampak lebih tua daripada dahulu. Adapun isterinya yang amat cinta kepadanya, juga belum tampak tua benar. Tubuhnya masih ramping, senyumnya masih segar dan sepasang matanya masih bening seperti bintang. Ketika mereka duduk di depan pondok itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa Eng Eng yang nyaring gembira, lalu tampak gadis itu berlari-lari mendekat puncak sambil berseru.
"Koko, kayu bakar kita telah habis. Hayo berlumba mencari kayu!" Tubuhnya yang kecil ramping itu berkelebat cepat, bajunya yang berwarna merah berkibar-kibar ketika ia lari sambil menengok ke belakang, wajahnya cantik berseri-seri. Di belakangnya tampak Bu Song berusaha mengejarnya. Pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang baik sekali. Bahunya bidang, dadanya berbentuk segitiga dan jelas membayangkan kekuatan, langkahnya tidak seperti seorang pelajar yang lemah melainkan seperti seekor harimau. Wajahnya tampan dan ganteng, dengan alis hitam tebal berbentuk golok, mata lebar bersinar tajam sekali penuh wibawa, hidungnya mancung dan bibirnya jarang tersenyum. Dagunya terdapat belahan kecil ditengah-tengahnya, menambah ketampanan dan sifat yang ganteng ini terbayang kemurungan yang membuat ia pendiam dan sering kali keningnya berkerut.
"Moi-moi, biarlah aku yang mengumpulkan kayu. Pekerjaan kasar ini adalah pekerjaan laki-laki. Kalau berlomba, tentu saja aku kalah. Larimu lebih cepat daripada larinya rusa, mana aku bisa menyusulmu?" Biarpun ia berkata demikian, namun Bu Song lari juga agar tidak mengecewakan hati gadis yang menjadi teman bermain sejak kecil selama belasan tahun.
Sebentar kemudian bayangan kedua orang muda itu lenyap dalam sebuah hutan di puncak. Suami isteri yang duduk di depan pondok itu tersenyum, saling pandang penuh arti. "Tak dapat disangkal lagi, mereka adalah pasangan yang amat cocok dan setimpal," kata Kwee Seng setelah menarik napas panjang penuh kepuasan.
Isterinya mengangguk. "Benar Eng Eng orangnya lincah jenaka sebaliknya Bu Song pendiam dan penyabar, amat cocok dan dapat saling mempengaruhi. Juga kulihat mereka itu saling mencinta. Hanya sayang..."
"Mengapa sayang, isteriku?" "Ada dua hal yang kusayangkan. Pertama, orang tuanya tidak hidup bahagia, tumah tangga orang tuanya berantakan, ayah bunda bercerai, Ayah kawin lagi, Ibu..."
Kwee Seng menghela napas. "Memang tak dapat disangkal hal itu, akan tetapi apakah kita harus mengukur keadaan seseorang anak dari orang tuanya? Bu Song anak baik, semenjak kecil dia dalam pengawasan kita. Bertahun-tahun kita melihat dia tumbuh dewasa, melihat watak-wataknya, apakah masih belum cukup dan haruskah kita mengingat keadaan ayah bundanya?"
"Kau memang betul. Aku terpengaruh oleh keadaan orang tuanya karena biasanya dari keluarga yang berantakan akan tumbuh anak-anak yang kurang baik. Akan tetapi Bu Song semenjak kecil menjadi muridmu. Hanya aku sayangkan, karena kalau saja orang tuanya tidak demikian, alangkah akan lebih baiknya..."
"Hemmm, tak salah omonganmu itu. Dan hal kedua yang kausayangkan, apakah itu?" "Aku menyayangkan bahwa Bu Song tidak mau belajar ilmu silat. Sedangkan anak kita, sungguhpun tidak sangat pandai, boleh dibilang telah memiliki kepandaian tinggi. Apakah hal ini tidak akan menjadi penghalang kesesuaian faham dan watak mereka kelak?"
Kwee Seng tersenyum. "Kau tidak tahu, isteriku. Karena memang hal ini kurahasiakan agar jangan sampai bocor dan mengagetkan hati Bu Song. Kasihan anak yang hidupnya sebatang kara dan berhati bersih itu. Dia begitu benci kepada ilmu silat karena sejak kecil ia menelan filsafat-filsafat hidup penuh damai dan penuh cinta kasih terhadap sesama hidup, dan terutama sekali karena ia kecewa melihat ayah bundanya yang menurut jalan pikirannya terpisah dan tersesat oleh ilmu silat. Di samping ini, telah banyak ia menyaksikan kekejaman dan kekejian di waktu ia masih kecil sehingga timbul anggapannya bahwa ilmu silat hanya menjadi alat untuk melakukan kekejaman dan pembunuhan belaka. Inilah sebabnya ia tidak mau belajar ilmu silat. Akan tetapi, aku melihat bakat baik sekali terpendam dalam dirinya. Bakat luar biasa yang bahkan jauh lebih baik daripada aku sendiri. karena inilah, diam-diam aku menanam dasar-dasar ilmu silat dan telah menyuruh di berlatih siulian dan napas. Sekarang pun ia telah memiliki sin-kang yang hebat, hanya saja, ia tidak sadar akan hal ini. Kelak, kalau ia mengalami penderiataan hidup karena ketidakmampuannya bersilat, baru akan terbuka pikirannya dan sekali ia mempelajarinya, ia akan menjadi seorang yang luar biasa, bahkan mungkin melebihi kepandaian dan tingkatku."
Gin Lin tercengang, akan tetapi juga girang sekali. "Syukurlah kalau begitu. Kini hilang keraguanku. Sebaiknya kita lekas-lekas laksanakan perjodohan mereka. Setelah mereka menjadi suami isteri, baru lega hatiku dan dapat kita tinggalkan mereka...."
"Ah, isteriku. Kurang bahagiakah kita tinggal di sini? Adakah yang lebih nikmat daripada hidup tenang dan tenteram seperti hidup kita sekarang ini? Apakah kau masih selalu merindukan dunia ramai dan menyaksikan pertumpahan darah?"
Tiba-tiba wajah berseri nyonya itu digelapi mendung, bahkan kedua matanya menjadi basah sehingga cepat-cepat ia mengusap air mata itu dengan saputangannya. Dengan muka tunduk ia berkata, " Suamiku, memang aku berterima kasih kepada Thian, juga bersyukur kepadamu yang telah memberi kebahagiaan hidup kepadaku di tempat ini. Aku cukup bahagia, akan tetapi... ah, betapa aku dapat melupakan ayah bundaku terbunuh secara kejam, saudara kembarku menjadi... pelacur... dan aku sendiri, seandainya tidak bertemu denganmu, apa jadinya dengan aku? Semua itu karena kebiadaban musuh yang membunuh, merampok, memperkosa, menghina... suamiku, katakanlah, apakah aku harus diam saja sekarang? Apakah mungkin kebahagiaan hidupku tanpa mengingat sedikitpun akan penderitaan orang tua dan keluargaku? Suamiku, di waktu sadar aku hidup bahagia di sampingmu dan di samping anak kita, akan tetapi tahukah kau betapa setiap malam aku bermimpi dan bertemu dengan arwah orang tuaku yang memandang penuh penyesalan? Ah, suamiku..." Gin Lin lalu menangis.
Kwee Seng memegang pundak isterinya. "Tenangkan hatimu, isterku. Jangan kaukira bahwa aku pun tidak peduli akan hal itu semua. Akan tetapi, kurasa tidaklah tepat kalau urusan pribadi dicampuradukkan dengan urusan negara. Keluargamu terbasmi bukan karena urusan pribadi, melainkan karena urusan negara. Karena keluargamu bangsawan Tang, maka ketika Dinasti Tang roboh, tentu saja keluargamu terlanda malapetaka.