"Keluarkan senjatamu!" Bentak Lo Keng Siong yang menjadi pimpinan sambil mengangkat ruyungnya ke atas.
"Aku sudah siap, seranglah. Mengeluarkan senjata tak usah kauperintah!" jawab Lu Sian seenaknya.
"Ciuuuttt.... siiing... weeerrrr!!" keempatsenjata itu sudah menyambar ganas. Sinarnya tertimpa cahaya bulan menyilaukan mata. Akan tetapi keempatnya hanya mengenai angin karena tibuh Lu Sian sudah lenyap menjadi bayangan yang berkelebatan dan menyelinap di antara sinar keempat senjata itu. Bukan main hebatnya gin-kang Coan-in-hui itu! Makin hebat empat senjata itu menyambar dan mengikuti gerakan bayangannya, makin cepat pula Lu Sian bergerak dan mendadak "cranggg..... cringgg.... tranggg-trang!" Bunga api berpijar dan berhamburan. Tanpa dapat diikuti pandang mata lawan, tahu-tahu Lu Sian sudah memegang Toa-hong-kiam di tangan kanannya dan sekaligus ia telah menangkis keempat buah senjata lawan.
Hanya Tan Liu Nio seorang yang merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang serasa lumpuh karena ia kalah tenaga. Akan tetapi tiga orang murid Siauw-lim-pai yang lain dengan girang mendapat kenyataan bahwa biarpun dalam gin-kang mereka kalah jauh oleh Lu Sian, namun mengenai tenaga sin-kang, setidaknya mereka dapat mengimbangi. Maka mereka mendesak makin hebat, mengerahkan tenaga dan berusaha mengadu senjata agar pedang di tangan puteri Beng-kauwcu itu terpukul lepas.
Namun Lu Sian adalah seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya kalau ia mengadu tenaga kekerasan dengan tiga orang laki-laki yang memiliki lwee-kang hampir sempurna ini, maka ia lebih mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak dan balas menyerang. Karena ia lebih banyak mengelak inilah maka empat orang pengeroyoknya mengira bahwa ia terdesak. Orang-orang Siauw-lim-pai amat berdisiplin dan selalu mentaati guru mereka. Karena tadi mereka berempat sudah mendengar sendiri betapa suhu mereka, Kian Hi Hosiang, tidak menghendaki permusuhan dengan Beng-kauw, bahkan sudah mengampuni Lu Sian, kini mereka merasa tidak enak sekali kalau sampai membunuh Lu Sian.
"Tok-siauw-kwi, kami mentaati guru kami mengampunkan engkau. Pergilah dari sini dan jangan mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong dengan suara keras.
Inilah salahnya. Tadinya Lu Sian hanya ingin mempermainkan mereka saja, mengalahkan mereka dengan ilmunya kemudian lari lagi membawa pergi Yap Kwan Bi. Akan tetapi mendengar ucapan ini, bangkit kemarahan dan keangkuhannya. Dia memang seorang yang keras hati, pantang dikatakan kalah. Mendengar ini, darahnya bergolak dan ia mengeluarkan seruan nyaring, merupakan lengking lebih mirip suara iblis siluman. Akan tetapi pedangnya kini bergerak secara luar biasa, bergelombang dan berubah menjadi gulungan sinar yang membentuk lingkaran-lingkaran besar lalu berubah lagi menjadi gelombang-gelombang yang datang menerjang ganas. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang kini telah menjadi ganas dan luar biasa dahsyatnya. Di tengah-tengah lengkingnya yang belum putus, terdengar teriakan ngeri dan tampak Liong Kiat terguling roboh dalam keadaan mengerikan karena pundaknya telah terbabat putus berikut lengan kanannya. Ia bergelimpangan mandi darah, berlojotan dan tak dapat mengeluarkan suara lagi.
"Tok-siauw-kwi, hutang jiwa harus dibayar jiwa!" teriak Lo Keng Siong marah sekali. "Tok-siauw-kwi, berani kau membunuh Suteku?" Tan Bhok juga membentak dan rantainya berdesing-desing menyambar.
Lu Sian tertawa bergelak, lalu melompat mundur. Ketika ketiga orang pengeroyoknya yang menyangka dia hendak kabur itu mendesaknya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan... sinar merah menyambar ke arah mereka!
"Celaka....!" Tan Liu Nio berseru. Karena dia berada paling belakang, maka ia sempat melihat gerakan ini dan dapat mengelak. Akan tetapi dua orang suhengnya yang jaraknya terlalu dekat, terlambat mengelak. Mereka dapat melindungi tubuh atas dengan putaran senjata, akan tetapi paha kanan masing-masing telah terkena jarum Siang-tok-ciam! Seketika hidung mereka mencium bau amis akan tetapi harum, maka maklumlah mereka bahwa mereka terkena senjata beracun. Namun keduanya masih belum roboh dan masih memutar senjata. Lu Sian tidak berhenti sampai di situ, begitu tangan kirinya menyambitkan jarum, ia telah menerjang maju lagi mainkan pedangnya dengan jurus dari Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut yang dahsyat. Dua kali pedangnya berkelebat dan robohlah Lo Keng Siong yang tertembus pedang lehernya, dan Tan Bhok yang hampir putus pinggangnya, perutnya robek dan isi perutnya keluar. Mereka berdua tidak menderita lama, cepat menghembuskan napas terakhir menyusul arwah Liong Kiat yang tewas lebih dulu.
"Tok-siauw-kwi, kau benar keji dan ganas...!" Tan Liu Nio marah sekali dan menjadi nekat, menyerbu dengan pedangnya. Sambil tersenyum Lu Sian menangkis dan mengerahkan tenaga.
"Tranggg...!" pedang Tan Liu Nio terlepas dari tangannya. Dengan kakinya Lu Sian menendang, membuat tubuh Tan Liu Nio roboh terguling, kemudian matanya yang sudah menjadi beringas itu berkilat ketika pedangnya ditusukkan ke bawah.
"Trangggg!" Lu Sian meloncat ke belakang, wajahnya pucat, matanya terbelalak memandang kepada Yap Kwan Bi yang ternyata telah menangkis pedangnya.
"Kau... kau Tok-siauw-kwi....??" dengan pedangnya Kwan Bi menuding kepada kekasihnya.
"Orang menamakan aku begitu, namaku Lu Sian, kau tahu...." "Kau.... kau perempuan hina...! Kau telah membunuh tiga orang Suhengku dan hendak membunuh Suciku? Keparat jahanam! Kubunuh engkau....!"
Yap Kwan Bi menyerang, akan tetapi karena tubuhnya masih lemah, sekali ditangkis ia roboh terguling, dan Lu Sian yang mukanya menjadi pucat itu tiba-tiba meludah. "Cih, kiranya kau pun sama saja! Laki-laki berhati palsu! Mual perutku melihatmu!" setelah berkata demikian, sekali berkelebat Lu Sian lenyap dari tempat itu.
Yap Kwan Bi menangis menggerung-gerung ketika menyaksikan keadaan tiga orang suhengnya yang tewas dalam keadaan demikian mengerikan. ia menjambaki rambutnya dan memukuli kepalanya sendiri seperti orang gila. Percuma saja Tan Liu Nio menghiburnya. Akhirnya murid wanita Siauw-lim-pai itu berlari cepat melaporkan ke kuil Siauw-lim-si. Tentu saja berita ini menimbulkan geger. Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio sendiri bersama beberapa orang sute berlari-lari ke arah hutan itu dan apa yang mereka dapatkan? Yap Kwan Bi telah tewas di samping ketiga orang suhengnya, lehernya hampir putus dan tangan kanan penuh darahnya sendiri. Ia telah membunuh diri karena telah menyesal!
Sementara itu, Lu Sian sudah mempergunakan Ilmu Coat-in-hui untuk berlari cepat sekali. Ia merasa kecewa dan menyesal. Ia benar-benar muak mengingat kepalsuan cinta kasih Kwan Bi yang tadinya dikira benar-benar suci murni. Bahkan pengalaman ini membuat ia makin muak terhadap laki-laki, makin tidak percaya, dan makin sakit hati. Di samping kekecewaannya, ia pun merasa girang bahwa ia berhasil mengambil kitab Ilmu Im-yang-tiam-hoat dari Siauw-lim-pai. Ia gemas kepada orang-orang Siauw-lim-pai yang telah menghancurkan ikatan cinta kasihnya dengan Kwan Bi, maka kini pikirannya tertuju kepada Su Pek Hong atau Su-nikouw di Kuil Kwanim-bio. Ia harus dapat merampas kepandaian nikouw itu, ilmu yang membuat ia selamanya takkan menjadi tua! Ia akan memaksa pendekar wanita Siauw-lim-pai itu untuk menyerahkan rahasia kepandaiannya!
Hari telah malam ketika ia tiba di Kuil Kwan-im-bio. Kuil itu telah menutup daun pintu depan, akan tetapi sebuah lampu gantung menerangi ruangan depan, Lu Sian menghampiri pintu dan mengetuk. Terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu dan sebelum daun pintu dibuka, suara lembut seorang pendekar wanita bertanya.
"Siapakah yang datang di luar dan ada keperluan apa malam-malam mengunjungi Kwan-im-bio?" "Aku Lu Sian, mohon bertemu dengan Su-nikouw!"
Ketika Su-nikouw keluar dan melihat Lu Sian, ia tersenyum ramah dan menegur. "Eh, kiranya Lu-lihiap yang datang. Keperluan apakah gerangan yang membawa Li-hiap malam-malam datang mengunjungi tempatku yang buruk? Dan di mana adanya Kwan Bi?"
Akan tetapi nikouw ini mengerutkan keningnya ketika melihat pandang mata Lu Sian amat berlainan dengan beberapa hari yang lalu, bahkan ia melihat Lu Sian membanting kaki lalu berkata tak manis. "Tak perlu kita berpanjang kata, Su-nikouw. Kedatanganku ini hanya perlu minta kepadamu agar kau membuka rahasiamu tentang ilmu awet muda!" Lu Sian mengancam dengan suara dan pandang matanya. Kalau kemarin dulu ketika datang ke sini bersama Kwan Bi ia merasa suka kepada pendeta wanita yang awet muda ini, sekarang ia memandangnya dengan mata benci dan Su-nikouw kelihatan tidak menyenangkan hatinya lagi. Memang pengaruh rasa benci amat jahat, membutakan mata. Karena ia merasa sakit hati kepada Siauw-lim-pai, menimbulkan benci di hatinya dan siapa pun orangnya yang sudah mabok rasa benci, pandang matanya akan berbalik!
Akan tetapi Su-nikouw orangnya sabar. Ia sudah mampu menguasai batinnya dan ia memandang Lu Sian dengan senyum wajar. "Li-hiap, biarpun pinni merasa heran sekali atas perubahan sikapmu ini, namun penolakan pinni bukan disebabkan oleh sikapmu, melainkan karena rahasia ini kalau terjatuh ke tangan wanita yang belum sadar akan kebenaran, hanya akan merugikan dirinya sendiri saja. Kemudaan dan kecantikan pada usian tua hanya akan menyelewengkan hati, membesarkan nafsu, dan percayalah, kelak di waktu kau sudah berusia tua, kecantikan dan kemudaan yang disertai nafsu itu akan menyeretmu ke lembah kesengsaraan belaka.
"Tak usah banyak cerewet!" Lu Sian membentak. Lajim, orang yang sudah membenci seorang yang lain, apa pun yang keluar dari mulut orang yang di benci itu selalu diterima keliru dan tak dipercaya. "Kauserahkan secara baik-baik atau dengan paksaan, aku harus mendapatkan rahasia itu!"
Su-nikouw menghela napas. "Lu-lihiap, pikiranmu sedang kacau, batinmu sedang gelap. Biarlah lain kali kau datang kembali bersama Yap Kwan Bi, kita bicarakan hal ini perlahan-lahan secara baik-baik."
Alis yang hitam kecil itu bergerak, disusul gerakan tangan kiri dan Su-nikouw cepat mengelak dengan menjatuhkan diri ke belakang. Namun terlambat. Jalan darah di pundak kirinya tertusuk sebatang Siang-tok-ciam! Nikouw itu terhuyung lalu menjatuhkan dirinya di atas sebuah kursi, memandang pada Lu Sian dengan mata terbuka lebar saking heran dan kagetnya.
Sambil tersenyum dingin Lu Sian berkata perlahan. "Kau sudah terluka Siang-tok-ciam, obat pemunahnya hanya padaku. Lekas kau keluarkan rahasia ilmu awet muda untuk ditukar dengan obat pemunahku."
Su-nikouw yang masih duduk di atas kursi kelihatan tenang-tenang saja. "Omitihud.... kau ini wanita muda sungguh ganas, kasihan sekali kau tersesat jauh tanpa kausadari! Seorang pertapa seperti aku ini, menganggap kematian sebagai pembebasan jiwa daripada kurungan raga yang banyak kehendak dan lemah. Racun jarummu yang mengancam nyawaku sama sekali tidak membikin pinni takut."
Diam-diam Lu Sian menjadi kecewa sekali. Celaka, pikirnya. Ia tidak bermaksud membunuh, hanya mengancam, akan tetapi kalau wanita gundul ini nekat menghadapi kematian, tidak mau menukar obat pemunah dengan rahasia ilmu awet muda, bagaimana?
"Nikouw bandel! Mengapa hendak kaukangkangi sendiri ilmu itu? Apakah kau hanya ingin muda sendiri dan cantik sendiri? Ilmu seperti itu saja mengapa kau hargai daripada nyawamu?"
Su-nikouw menggeleng kepala. "Ilmu ini adalah ilmu yang bersumber pada ilmu dari Siauw-lim-pai, ilmu menguatkan tubuh pelajaran Siauw-lim-pai yang kuperkembangkan. Merupakan rahasia Siauw-lim-pai, tak boleh sembarangan diajarkan orang luar, apalagi untuk maksud buruk. Tidak, biarlah kau pergi, pinni akan mati tanpa mengeluh!"
Tiba-tiba Lu Sian tertawa. "Hi-hik, enak saja kau ingin mati. Mana aku membiarkan kau mati begitu saja kalau kau tidak mau membuka rahasia itu? Ketahuilah, Su-nikouw, racun jarumku itu memiliki daya pembangkit nafsu berahi! Racun Ngo-tok-hwa (Lima Bunga Beracun) telah mengalir di dalam jalan darahmu. Tidak terasakah olehmu Nikouw tolol, betapa ujung hidungmu mencium bau wangi dan tulang punggungmu berdenyut keras? Sebelum mati oleh racun, kau terserang oleh rangsangan berahi dan aku akan mengerammu dalam kamar bersama seorang laki-laki yang kupaksa menemanimu. Hendak kulihat, bagaimana malunya jiwamu kalau pada saat kematianmu engkau melakukan pelanggaran yang paling besar bagi seorang pendeta wanita!"
Napas Su-nikouw terengah-engah, mukanya pucat dan matanya memandang penuh kengerian. "Ah, jangan.... jangan....! sebenarnya siapakah engkau ini, begini keji?"
"Orang menyebutku Tok-siauw-kwi." "Aahhh... kiranya engkau Tok-siauw-kwi...?" Nikouw itu makin ketakutan, karena ia mendengar nama julukan ini sebagi seorang tokoh kang-ouw yang amat keji dan ganas, maka ancaman tadi bukan tak mungkin dilakukan oleh Tok-siauw-kwi yang terkenal kejam. Pula, ia memang sejak terluka tadi mencium bau harum yang aneh dan memang betul tulang punggungnya berdenyutan keras! Tentu saja sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lebih mementingkan pelajaran batin, nikouw ini tidak tahu tentang segala racun, dan ia tidak tahu bahwa Lu Sian sebenarnya membohong. Siang-tok-ciam yang merah itu memang berbahaya dan racunnya cukup jahat untuk merampas nyawa korbannya, akan tetapi sekali-kali tidak akan menimbulkan gejala nafsu berahi segala. Dia sengaja mengeluarkan ancaman ini karena dengan tepat ia menduga bahwa hal seperti itu jauh lebih mengerikan daripada kematian bagi seorang wanita pertapa yang saleh!
"Bagaiman? Aku mengenal seorang kepala rampok dalam hutan, usianya tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan kaki tangan serta dadanya juga penuh bulu seperti monyet. Dia tunduk kepadaku dan dia amat suka kepada wanita yang wajahnya bersih. Tentu dia akan senang sekali mendapatkan engkau yang masih kelihatan muda dan cantik ini!"
Su-nikouw bergidik. Meremang bulu tengkuknya mendengar gambaran tentang laki-laki itu. Tak tertahan lagi ia menangis, hal yang selama sepuluh tahun lebih tak pernah ia lakukan. "Baiklah, baiklah...., kuberikan rahasia ilmu itu kepadamu." Ia lalu masuk ke dalam kamar dan keluar lagi membawa sebuah kitab tipis tulisan tangan hasil pekerjaannya sendiri.
"Tidak mudah mencapai tingkat seperti aku." katanya. "Untuk dapat mengalahkan kerusakan kulit daging dan tulang, kau harus memiliki dasar ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum) dan untuk pelajaran itu, menyesal pinni tidak dapat memberi karena kitabnya tersimpan di Siauw-lim-pai. Akan tetapi seorang berkepandaian tinggi seperti engkau ini tentu akan dapat mempelajarinya dengan mudah. Hanya saja, ilmu I-kin-swe-jwe yang paling hebat di dunia ini hanyalah dari Go-bi-pai, di samping Siauw-lim-pai tentu saja. Nah, setelah kau memiliki ilmu itu, engkau pelajari samadhi seperti tertunjuk dalam kitab ini, dan makan akar dan daun yang sudah tertulis lengkap pula di situ."
Cepat Lu Sian menyambar kitab itu dan membuka-bukanya sebentar. Ia percaya bahwa nikouw itu tidak akan membohonginya, maka ia pun lalu mengeluarkan obat pemudah dari sakunya sambil tertawa. "Siang-tok-ciam senjata rahasiaku memang mematikan, akan tetapi mana bisa membangkitakan nafsu berahi?"
Nikouw itu marah sekali, bangkit berdiri dan menahan diri sedapatnya untuk tidak memaki-maki. Akan tetapi setelah memberikan obat pemunahnya, Lu Sian sudah melompat keluar dan menghilang di tempat gelap sambil membawa kitab yang amat diinginkannya itu.
Su-nikouw kembali menjatuhkan diri di atas kursi dan menarik napas panjang berkali-kali. "Su Pek Hong... Su Pek Hong..... inilah hukumannya kalau orang tidak mentaati nasehat guru! Mendiang Suhu dahulu pernah bilang bahwa ilmu awet muda ini mengandung sifat berbahaya dan tidak baik marena menentang hukum alam! Betul kau hanya menghendaki awet muda demi kesehatan, namun wanita lain tentu akan menganggapku pesolek dan ingin cantik selalu. Dan wanita yang selalu ingin cantik seperti ingin mendapat perhatian dan pujian laki-laki. Ah, betapa memalukan. Su Pek Hong, kau sudah tua, mengapa tidak mau menerima kekuasaan alam? Jadilah nenek-nenek yang penerima, hadapilah kematian usia tua yang sewajarnya, dan tentu tidak akan mengalami hal yang begini memalukan..." Dengan wajah duka pendeta wanita ini lalu mempergunakan obat pemunah racun yang ditinggalkan Lu Sian.
Harta benda, kepandaian, dan kekuasaan duniawi adalah anugerah, bukti kemurahan Tuhan kepada manusia. Namun, dalam anugerah ini terbawa pula ujian yang amat berat. Siapa yang kuat menerima anugerah ini, ia akan dapat menikmatinya lahir batin. Sebaliknya, mereka yang tidak kuat menghadapi ujian ini, hanya akan menikmati pada lahirnya saja, sedangkan pada batinnya mereka akan mengalami kemunduran yang akan membawa mereka kepada kesengsaraan.
Namun diantara tiga macam anugerah itu, yang paling berbahaya akibatnya bagi mereka yang tidak kuat adalah kekuasaan. Harta benda dapat menjadikan orang menjadi hamba nafsunya sendiri, kepandaian dapat menjadikan orang menjadi sombong, tinggi hati dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi kekuasaan yang timbul dari kekuatan ataupun kedudukan, amatlah berbahaya karena dapat menjadikan orang sewenang-wenang terhadap orang lain, mau menangnya sendiri saja tanpa menhiraukan tatasusila dan perikemanusiaan.
Liu Lu Sian termasuk orang yang mendapat anugerah kekuatan, hasil dari pada banyaknya macam ilmu silat yang ia kuasai. Makin pandai, makin kuatlah dia dan makin besar kekusaannya terhadap orang lain mentaati kehendaknya.
Ia menjadi mabok akan kekuatan sendiri, ingin menang sendiri dan tidak peduli akan perikemanusiaan. Makin ia turuti nafsunya makin hebatlah nafsu menggulung dirinya. Makin ia turuti kemurkaannya akan ilmu, ia makin tidak puas dan menghendaki lebih. Sepak terjangnya makin liar menjadi-jadi, sehingga beberapa tahun kemudian nama Tok-siauw-kwi menggemparkan dunia persilatan sebagai seorang tokoh yang ganas, liar, kejam dan ditakuti.
Untuk mematangkan ilmu yang dirampasnya dari Su-nikouw, seorang diri Lu Sian memasuki Go-bi-pai dan berhasil mencuri kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Ilmu Tiga Belas Bintang) yang selain mengajarkan latihan lwee-kang dan langkah-langkah kaki, juga Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Mencuci Sum-sum) seperi yang ia butuhkan. Ilmu kepandaiannya meningkat cepat sekali dan kini Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian benar-benar menjadi seorang wanita sakti yang sukar dicari tandingannya. Di Go-bi-pai ia dikeroyok para hwesio, akan tetapi sanggup melarikan diri dengan hanya menderita luka ringan setelah merobohkan banyak hwesio Go-bi-pai yang terkenal konsen!
Bukan hanya Go-bi-pai yang ia serbu, juga ia naik ke Puncak Hoa-san, mencuri pedang pusaka Pek-giok-kiam (Pedang Pusaka Kumala Putih) yang menjadi pedang pusaka Hoa-san-pai. Dalam pertempuran ia dikeroyok dan berhasil merobohkan lima orang anak murid Hoa-san-pai yang tewas oleh pedangnya yang ganas dan dahsyat. Kemudian ia lari lagi sehingga semenjak saat itu ia menjadi seorang buruan dicari dan dikejar oleh orang-orang Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai! Namun berkat gerakannya yang lincah, gin-kangnya yang tinggi serta kecerdikannya yang seperti setan, ia selalu berhasil meloloskan diri.
Bukan hanya itu semua kehebohan yang ia perbuat di dunia kang-ouw. Banyak golongan persilatan yang sengaja ia datangi untuk diajak bertanding, mengalahkan ketuanya dan merobohkan banyak sekali tokoh kenamaan sehingga namanya menjulang tinggi, bahkan melewati nama besar ayahnya sendiri, Pat-jiu Sin-ong! Yang paling hebat adalah ketika ia mendatangi Kong-thong-pai karena mendengar berita bahwa Ilmu Pedang Kong-thong-pai amat lihai. Ia datang sengaja hanya untuk menantang ketua Kong-thong-pai bertanding ilmu pedang! Juga di Kong-thong-pai ini Lu Sian merobohkan banyak tokoh, sungguhpun ia belum sanggup mengalahkan ilmu pedang Ketua Kong-thong-pai yang bernama Kim Leng Tosu. Namun ia menang cekatan dan lincah sehingga kekalahannya dalam ilmu pedang dapat ia atasi dengan kelincahannya.
Demikianlah selama sepuluh tahun Lu Sian malang-melintang di dunia kang-ouw, ilmu kepandaiannya makin hebat, akan tetapi berkat ilmunya awet muda, wajahnya masih tetap cantik jelita, tubuhnya menyiarkan keharuman yang khas sedangkan bentuk tubuhnya masih menggairahkan seperti seorang gadis remaja.
Betapa pun liar dan ganas watak Lu Sian, sebagai seorang ibu kadang-kadang ia merasa rindu kepada puteranya, Bu Song. Rasa rindu inilah yang akhirnya membawa kedua kakinya melangkah menuju propinsi Shansi. Pada waktu itu, Kerajaan Cin Muda telah roboh, terganti dengan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Han Muda. Propinsi Shan-si telah berdiri sendiri dan menjadi Kerajaan Hou-han. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendengar kabar bahwa bekas suaminya, Kam Si Ek, telah meletakkan jabatan dan telah pindah. Tak seorang pun tahu ke mana pindahnya Kam Si Ek, bekas suaminya. Hatinya menjadi dingin kembali dan ia hanya percaya bahwa puteranya, Bu Song, tentu saja hidup aman sentausa disamping bekas suaminya.
Sambil makan di sebuah rumah makan di kota raja Hou-han, Lu Sian termenung. Kalau teringat akan puteranya, ingin ia menangis. Namun hatinya yang keras mencegahnya berduka lebih lama lagi.
"Lebih baik dia tidak mengenal aku sebagai ibunya," demikian pikirnya. Bagaimana kalau puteranya itu bertemu dengannya dan mengenalnya sebagai seorang ibu yang meninggalkan anaknya? Apalagi kalau mengenal bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi, iblis betina yang ditakuti orang? Lu Sian tersenyum dan dengan gemas ia meneguk cawan araknya yang ke sembilan kalinya. Cara ia menuangkan arak ke mulut dan langsung ke perut melalui tenggorokan menandakan bahwa ia sudah biasa dengan minuman keras ini dan memang jarang sekali ada wanita yang dapat minum arak seperti dia itu. Cara ia minum adalah cara seorang "setan arak" benar-benar.
Tiba-tiba Lu Sian menengok ke kiri. Perasaannya yang tajam membuat ia tahu bahwa ia diperhatikan orang dari arah kiri. Pemuda yang sedang memandangnya itu nampak gugup, hendak menundukkan muka atau pura-pura tidak melihat, namun pandang matanya seakan-akan lekat pada wajah ayu itu. Lu Sian tersenyum, membuang muka akan tetapi matanya yang tajam mengerling, tajam melebihi pedang. Hatinya pun tergetar. Betapa tidak? Pemuda itu tampan bukan main. Tubuhnya tinggi tegap, mukanya halus putih seperti muka wanita, namun alisnya hitam tebal, matanya lebar bercahaya terang dan tajam seperti mata harimau. Wajah tampan dan tubuh tegap seorang pria ganteng selalu masih menggerakkan hati Lu Sian, biarpun usianya sudah empat puluh tahun! Semenjak hatinya yang mengalami cinta kasih telah dikecewakan oleh Kam Si Ek, Tan Hui dan yang terakhir murid Siauw-lim-pai Yap Kwan Bi, ia menganggap pria hanya manusia jenis lain yang menarik, dan hanya tepat dijadikan permainan belaka untuk memuaskan nafsunya. Semenjak ia merantau, banyak sudah pria yang jatuh bertekuk lutut oleh kecantikannya yang luar biasa, akan tetapi setelah Lu Sian mempermainkannya dan laki-laki itu benar-benar telah roboh hatinya, selalu Lu Sian meninggalkannya pergi dan tertawa puas melihat bekas kekasih ini menjadi patah hati, menjadi gila atau setengah gila!
Selagi Lu Sian berdebar hatinya bertemu dengan seorang pemuda tampan remaja paling tinggi berusia dua puluh dua tahun ini, tiba-tiba terdengar angin mendesir dan pandang mata Lu Sian yang tajam berkelebatnya senjata rahasia halus menyambar ke arah Si Pemuda Tampan! Melihat sikap pemuda itu yang seorang pemuda pelajar yang tak mengerti ilmu silat, Lu Sian merasa khawatir sekali, maka ia lalu menjemput nasi dengan sumpitnya dan sekali menggerakkan tangan, nasi itu menyambar ke arah sinar senjata rahasia menjadi butiran-butiran nasi dan runtuh ke bawah tanpa mengeluarkan suara!!
Pemuda itu masih enak-enak minum araknya dan memang ia tidak tahu akan adanya bahaya yang tadi mengancam nyawanya. Setelah senjata-senjata rahasia jarum itu runtuh terdengar orang berseru di luar rumah makan, "Biar ada yang melindungi, kita harus bunuh pangeran ini!" Dan muncullah tiga orang laki-laki tinggi besar yang membawa golok telanjang di tangan. Pemilik rumah makan dan dua orang pelayannya ketakutan, juga dua orang lain yang sedang duduk makan di situ lari keluar. Pemuda tampan itu pun kelihatan terkejut sekali mendengar ucapan ini, bangkit berdiri dari kursinya dan mukanya pucat. Gerakan ini saja menyakinkan Lu Sian bahwa pemuda yang diserang tadi benar-benar tak pandai silat, maka ia melirik ke arah tiga orang tinggi besar itu. Orang-orang yang kasar akan tetapi tidak seperti penjahat. Betapapun juga, melihat mereka menyerbu ke arah pemuda yang kini berteriak, "Tolong! Tolong!" itu, Lu Sian tidak mau tinggal diam saja. Tangan kirinya bergerak tanpa ia bangkit dari kursinya. Terdengar tiga orang itu berteriak kesakitan dan roboh bergulingan menabrak meja kursi. Mata mereka mendelik, dari dalam hidung dan telinga keluar darah dan nyawa mereka sudah putus!
"Keparat dari mana berani membunuh murid-murid keponakanku?" Terdengar bentakan keras dan melayanglah tubuh seorang tosu yang bersenjata pedang, langsung menghantamkan pedangnya dari atas ke bawah tepat di atas kepala Lu Sian! Wanita sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak menoleh, akan tetapi tiba-tiba kursi yang didudukinya mencelat ke samping dan ia masih enak-enak duduk di atasnya. Pedang itu menyambar terus ke bawah dan "crakkkkk!!" meja yang tadi berada di depan Lu Sian terbelah menjadi dua potong! Pemuda yang sebenarnya seorang pangeran yang menyamar itu menggigil ketakutan, juga tiga orang pengurus rumah makan kini berjongkok bersembunyi di balik meja.
Si Tosu ternyata bertubuh tinggi kurus, usianya hampir lima puluh tahun, wajahnya pucat seperti orang berpenyakitan. Namun menyaksinkan betapa sekali bacok ia dapat membelah meja yang tebal, dapat dibayangkan betapa besar tenaganya dan betapa tajam pedangnya. Hampir ia tidak percaya ketika pedangnya hanya mengenai meja sedangkan wanita muda yang ia bacok itu masih enak-enak duduk di atas kursi dekat sebuah meja lain. Ia membalikkan tubuh, mengeluarkan seruan marah dan melompat ke arah Lu Sian, menerjang dengan pedang diputar cepat.
"Trakkk!" Pedang itu berhenti di tengah-tengah dan kiranya telah terjepit sepasang sumpit yang berada di tangan Lu Sian, Si Tosu mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia karena pedangnya seakan-akan terjepit oleh jepitan baja yang amat kuat. Mendadak Lu Sian melepaskan jepitannya sehingga Si Tosu terhuyung mundur. Sepasang sumpit itu melayang ke arah lambung dan leher. Namun Si Tosu ternyata cukup gesit karena ia mampu membuang diri ke samping dan bergulingan menyelamatkan diri. Akan tetapi baru saja ia melompat bangun, sinar merah menyambarnya. Tosu itu memutar pedang dan banyak jarum runtuh, namun sebatang jarum masih dapat menerobos dan menancap di dadanya. Tosu itu mengeluh dan terguling roboh. Ia mencabut jarum di dadanya dan melihat jarum merah serta mencium bau harum, matanya terbelalak memandang Lu Sian, telunjuknya menuding dan mulutnya berseru, "Kau... Tok-siauw-kwi....!" Namun ia tak dapat bicara lebih lanjut karena racun jarum telah mencapi jantungnya dan ia mati dengan mata mendelik. Lu Sian hanya tersenyum dan masih duduk menghadapi meja.
Tiga orang pemilik dan pengurus rumah makan itu segera keluar dari tempat sembunyi mereka dan berlutut di depan Si Pemuda Tampan. "Syukur bahwa Tuhan masih melindungi Paduka...."
"Sssst, sudah jangan banyak ribut. Lebih baik lekas laporkan kepada penjaga keamanan kota dan mengurus empat mayat penjahat itu." Kata Si Pemuda, kini sikapnya agung dan sudah tenang kembali. Ia lalu melangkah menghampiri Lu Sian, merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk memberi hormat.
"Li-hiap (Nona Perkasa) telah menolong nyawa saya, sungguh merupakan budi amat besar dan membuat saya bingung bagaimana saya akan dapat membalas budi itu." Ucapannya halus dan tutur katanya sopan menyenangkan.
Lu Sian segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang, bibirnya tetap tersenyum manis kerling matanya benar-benar mengiris jantung. "Ah, urusan kecil seperti itu bukan berarti menghutangkan budi. Ada orang-orang jahat hendak membunuh Kong-cu, bagaimana saya dapat berpeluk tangan saja?"
Pemuda itu memandang penuh kagum dan ia tidak menyembunyikan rasa kagum ini, bukan hanya kagum akan kehebatan kepandaian wanita ini, namun juga kagum akan kecantikannya yang luar biasa, akan bau harum semerbak yang memabokkannya, yang keluar dari tubuh wanita itu. "Hebat sekali, Li Hiap! Kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri, mana mungkin saya percaya di dunia ini ada seorang yang kepandaiannya seperti dewi, sedangkan Li-hiap begini can.... eh, muda? Tadi pun merupakan teka-teki bagi saya siapa gerangan yang membuat tiga orang penyerang saya jatuh tersungkur dan tewas seketika. Kalau tidak ada penyerang ke empat tadi, sampai mati pun saya mungkin tidak percaya bahwa Li-hiap yang telah menolong saya."
Berdebar jantung Lu Sian. Laki-laki ini sungguh menarik hati dan menyenangkan. Rasa kagum yang terpancar dari matanya dan pujian yang keluar dari mulutnya sama sekali bukanlah kosong dan menjilat sifatnya, melainkan langsung keluar dari hati. Ia dapat membedakan hal ini. Sambil menjura lagi dan memperlebar senyumnya sehingga sedikit deretan gigi putih berkilau tampak, ia berkata, "Ah, Kongcu terlalu memuji dan membesar-besarkan. Bukankah Kongcu seorang Pangeran, kalau tidak salah pendengaran saya? Inilah yang mengagumkan, melihat seorang pangeran berada di luar istananya dengan berpakaian seperti rakyat biasa, benar-benar jarang sekali dapat ditemui pada jaman kini."
Pemuda itu tersenyum. "Apa sih bedanya pangeran dan orang biasa? Li-hiap, sekali lagi, katakanlah bagaimana saya harus membalas budimu?"
"Telah saya katakan tadi, tidak ada penghutangan budi. Kalau Kong-cu hendak melakukan sesuatu untuk menuruti permintaanku, saat ini tidak ada keinginan lain di hatiku kecuali keterangan mengapa Kongcu sebagai pangeran diserang oleh empat orang ini dan siapakan mereka?"
Pemuda itu menggerakan kipasnya untuk mengipas leher, padahal ia menggunakan benda itu untuk menutup mulutnya dari orang lain agar kata-katanya tidak terdengar orang lain kecuali Lu Sian, kemudian berkata perlahan, "Li-hiap disini bukan tempat kita bicara tentang itu. Saya
persilakan Li-hiap singgah di gedung kami, sudikah Li-hiap memberi penghormatan itu?"
"Ayaaa....! Kong-cu benar-benar terlalu merendah! Undangan itu justru merupakan kehormatan besar sekali bagiku. Terima kasih Kongcu, tentu saja saya bersedia memenuhi undangan Kongcu."
Pada saat itu terdengar langkah kaki banyak orang dan masuklah tujuh orang berpakaian seragam yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu, "Bangunlah!" kata Sang Pangeran dengan sikap berwibawa. "Urus empat mayat ini dan selidiki kalau-kalau masih ada teman-teman mereka berkeliaran dalam kota!"
Mereka bangkit dengan sikap hormat. "Sediakan dua ekor kuda untuk kami!" kata pula pemuda itu. Cepat sekali dua orang di antara mereka keluar dan terdengarlah tak lama kemudian derap kaki dua ekor kuda di depan pintu rumah makan.
"Li-hiap, mari kita berangkat." Ajak Si Pangeran. Ketika Lu Sian hendak membayar harga makanan, cepat-cepat Si Pemilik Rumah Makan mencegah dengan ucapan manis. "Harap Li-hiap tidak usah repot-repot. Semua yang berada di sini hamba sediakan untuk keperluan Sang Pangeran dan sahabat-sahabat beliau!"
Pangeran itu tersenyum dan mengajak Lu Sian keluar. Dua ekor kuda besar dan lengkap pakaiannya telah tersedia. "Silakan, Li-hiap," ajak pemuda itu. Lu Sian tidak sungkan-sungkan lagi, segera melompat ke atas pelana kuda, diikuti oleh pangeran itu. Mereka segera menjalankan kuda, diikuti pandang mata kagum dari belakang.
Karena pernah tinggal di kota ini bersama suaminya, walaupun jarang keluar Lu Sian mengenal jalan dan tahu pula bahwa pemuda itu mengajaknya memasuki halaman sebuah gedung besar yang dahulu menjadi isatana Gubernur Li! Hatinya berdebar tidak enak, khawatir kalau-kalau ada orang mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi lega ketika teringat bahwa sudah lewat belasan tahun sejak ia berada di sini, pula dahulu ia tidak pernah keluar rumah dan tak pernah bertemu dengan para pembesar di tempat ini. Selain itu, ia percaya bahwa ilmu awet muda membuat ia takkan dikenal orang, karena biarpun usianya sudah empat puluhan, namun ia tetap kelihatan seperti seorang gadis dua puluh tahun lebih!
Bekas gedung Gubernur Li itu memang kini menjadi istana raja. Komplek bangunannya banyak sekali dan pemuda ini bertempat tinggal di sebuah gedung sebelah kiri belakang. Begitu kuda mereka diurus oleh pelayan, mereka memasuki gedung. Banyak sekali pelayan laki-laki dan wanita menyambut mereka penuh penghormatan. "Sampaikan kepada Thai-thai (Nyonya Besar) bahwa aku hendak menghadap bersama seorang pendekar wanita yang telah menolongku." Kata Pangeran itu dengan sikap gembira kepada seorang pelayan wanita. Mendengar ini, para pelayan memandang Lu Sian penuh perhatian dan kagum.
Pangeran itu mempersilakan Lu Sian duduk di ruang tamu yang amat indah. Dengan kagum Lu Sian memandangi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan yang bergantungan di sepanjang dinding. Alangkah bedanya dengan suaminya dahulu, pikirnya. Suaminya itu biarpun seorang jenderal ternama, hidupnya sederhana dan gedungnya tidak semewah dan seindah ini.
"Li-hiap, bolekah saya mengetahui nama Li-hiap yang terhormat?" Lu Sian terkejut. Kalau ia mengakui namanya, ada bahayanya orang mengenalnya sebagai bekas isteri Jenderal Kam Si Ek! Ia tersenyum manis dan menjawab, "Saya seorang wanita perantau yang tidak pernah mengingat nama. Seingat saya, nama saya Sian, akan tetapi orang-orang menjuluki saya..."
"Tok-siauw-kwi? Sungguh terlalu ketika aku mendengar tosu keparat itu memakimu Tok-siauw-kwi! Kau patutnya seorang Sian-li (Dewi) dan mungkin Li-hiap benar-benar seorang Dewi karena namanya Sian (Dewa). Biarlah bagi saya, Li-hiap adalah seorang Sian-li dan selanjutnya kusebut begitu..
Ah, Kongcu benar-benar membuat saya malu dengan pujian-pujian muluk. Dan siapakah Kongcu? Apakah Thai-cu (Pangeran Mahkota)?"
"Ah, bukan... bukan! Saya hanya seorang pangeran yang lahir dari seorang selir, ibuku selir ke tiga dari Sri Baginda. Namaku Lie Kong Hian."
Lu Sian mengangguk-angguk dan pada saat itu muncullah seorang pelayan wanita yang memberitahukan bahwa nyonya besar telah siap menerima puteranya dan seorang sahabatnya. "Marilah kita menghadap ibu. Beliau tentu girang sekali mendengar bahwa kau telah menolong nyawaku."
Lu Sian hanya tersenyum dan mengikuti pemuda itu memasuki ruangan belakang. Gedung ini amat besar dan indah, di sebelah dalamnya terdapat taman yang kecil namun indah sekali. Di sebelah belakang juga terdapat taman bunga yang dihias pintu bulan yang menembus ke taman gedung sebelahnya. Di ruangan belakang, ibu pemuda itu sudah menanti sambil duduk di atas kursi, seorang wanita yang usianya empat puluh tahun lebih namun masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya. Di belakangnya menjaga dua orang pelayan wanita yang memijit-mijit punggungnya akan tetapi segera disuruh berhenti ketika nyonya itu melihat masuknya Kong Hian dan Lu Sian.
"Ibu....!" Pemuda itu tanpa memberi hormat lagi merangkul pundak ibunya dengan sikap manja sekali. "Inilah Nona Sian-li yang telah menyelamatkan nyawa puteramu." Serta-merta Pangeran itu menceritakan betapa di dalam rumah makan ia diserang mata-mata musuh akan tetapi diselamatkan oleh Sian-li (Dewi) yang perkasa ini.
"Nah, itulah jadinya kalau anak tidak mentaati nasihat orang tua." Sang ibu mengomel. "Kau senang sekali keluyuran di luar padahal kau tahu bahwa suasananya sedang tidak aman. Kekuasaan-kekuasaan sedang timbul di mana-mana untuk saling berlumba merebutkan kedudukan. Tentu saja seorang pangeran seperti engkau ini menjadi sasaran gemuk. Kong Hian, tanpa keluyuran di luar, kau di rumah kurang apa lagikah? Aahhh, dasar anak sukar diurus....!" Nyonya itu menarik napas panjang, kemudian menoleh kepada Lu Sian yang berdiri menundukkan muka.
"Nona, banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada puteraku. Alangkah akan tenang rasa hatiku kalau dia mempunyai seorang pelindung seperti engkau yang selalu mendampinginya! Agaknya Nona ini seperti Coa Kim Bwee, sayang dia itu menjadi ibu ke tujuh Kong Hian, kalau tidak...."
"Ibu, urusan dalam istana kausebut-sebut di depan Li-hiap, mana dia tahu? Sudahlah, harap ibu beristirahat, aku mau mengajak tamu kita melihat-lihat taman." Ibunya tersenyum dan mengedipkan mata, kemudian menggerakkan tangan memberi ijin mereka pergi meninggalkannya.
Sambil berjalan di samping Kong Hian memasuki taman belakang yang lebih besar dari pada taman di dalam tadi, diam-diam Lu Sian merasa heran atas sikap selir raja yang ke tiga itu. Begitu bebas, bahkan ada sifat-sifat genit dan agaknya senang melihat puteranya bergaul dengan wanita. Akan tetapi hanya sebentar saja ia memikirkan hal ini karena segera ia tertarik oleh keindahan taman, kehalusan tutur kata dan ketampanan wajah Kong Hian. Pemuda pangeran ini pintar sekali mengarang sajak dan mengucapkannya dengan kata-kata berirama sehingga Lu Sian makin tertarik dan teringat kepada Kwee Seng. Tanpa mereka sadari, percakapan menjadi lebih bebas dan kini mereka duduk berhadapan di antara bunga-bunga, di dekat pintu bulan sambil menikmati keindahan tubuh ikan-ikan emas yang berenang di dalam empang teratai.
"Sian-li..." Lu Sian memandang dengan alis terangkat. Suara pemuda ini menggetar dan baru sekarang menyebutnya Sian-li begitu saja sedangkan tadinya menyebut Li-hiap atau kadang-kadang juga nona. Geli hatinya mendengar sebutan Dewi ini, akan tetapi juga senang. Lebih baik Sian-li (Dewi) daripada disebut Tok-siauw-kwi (Setan Cilik Beracun)! "Hemmm...?" gumamnya sambil mengerling tajam.
Dengan gagap pangeran muda itu berkata. "Aku... aku akan merasa bahagia sekali kalau ucapan ibuku tadi menjadi kenyataan."
"Ucapan yang bagaimana?" "Kalau kau menjadi pelindung yang selalu mendampingiku!" Kong Hian menatap tajam dan melihat Lu Sian tersenyum, sama sekali tidak marah, ia lalu memegang tangan wanita itu. Jari-jari tangan mereka yang mengeluarkan getaran dan saling cengkeram menjadi bukti bahwa hati masing-masing telah menjawab
Akan tetapi dengan halus dan perlahan Lu Sian menarik tangannya, tersenyum lebar dan berkata, "Apa salahnya? Akan tetapi sebagai calon pelindung, aku harus tahu lebih dulu mengapa kau perlu dilindungi dan siapakah para penyerangmu tadi, lalu apa syaratnya jika aku menjadi pelindungmu?"
Girang sekali wajah pangeran muda itu karena ia mendapat tanda bahwa wanita ini tidak akan menolaknya! Cepat ia bercerita, "Empat orang itu adalah orang-orang yang bergabung dengan pemberontak, mereka itu bekas anak buah Jenderal Kam Si Ek yang sudah meletakkan jabatan."
Tentu saja disebutnya nama suaminya ini membuat Lu Sian terkejut, akan tetapi ia dapat menguasai perasaannya dan bertanya, "Mengapa meletakkan jabatan dan mengapa pula mereka memberontak?"
"Setelah Kerajaan Hou-han didirikan, Jenderal Kam Si EK menentang karena hal itu ia anggap pengkhianatan terhadap kesetiaan kepada Dinasti Tang yang sudah roboh. Dia masih baik, hanya meletakkan jabatannya dan hidup mengundurkan diri ke dusun. Akan tetapi banyak di antara anak buahnya bersekutu dengan tokoh Tang, yaitu bekas Raja Muda Couw Pa Ong untuk memberontak dan selalu berusaha meruntuhkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah bangun, dengan jalan membunuhi para bangsawan dan keluarga raja."
Diam-diam Lu Sian terkejut. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong tentu saja sudah dikenalnya baik-baik, sungguhpun kini ia tidak gentar mendengar nama itu karena ilmu kepandaiannya sudah meningkat hebat, sehingga tidak perlu lagi takut menghadapi orang-orang pandai seperti Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin yang lumpuh itu. Melihat Lu Sian tidak terkejut disebutnya tokoh sakti ini, Kong Hian bertanya.
"Apakah Sian-li belum mendengar nama Couw Pa Ong?" Lu Sian mengangguk. "Kakek tua bangka lumpuh itu tentu saja pernah aku mendengar namanya, bahkan pernah bertemu dengannya."
Kagetlah hati Pangeran. "Dan kau tidak gentar menghadapinya?" "Ah, kakek seperti itu, hanya patut menakut-nakuti anak kecil."
Kong Hian memandang kagum sungguhpun hatinya masih meragu apakah wanita cantik ini benar-benar akan sanggup menghadapi seorang sakti menakutkan seperti Couw Pa Ong.
"Kalau begitu benar-benar aku mendapat perlindungan dewi dari kahyangan!" ia berseru girang.
"Kongcu, tadi ibumu menyebut-nyebut nama Coa Kim Bwee yang menjadi ibu ke tujuh darimu, siapakah dia dan mengapa ibumu membandingkan dia dengan aku?"
"Ah, dia itu selir ke tujuh dari Sri Baginda, maka terhitung ibu ke tujuh dariku. Dia masih amat muda, akan tetapi di antara semua penghuni istana, dialah paling lihai ilmu silatnya. Dia itu dahulu puteri seorang jenderal yang berguru kepada orang-orang pandai. Memang dia hebat... eh, betapapun juga dibandingkan denganmu, dia bukan apa-apa!"
Lu Sian tersenyum lagi dan memainkan biji matanya. "Kau belum tahu sampai di mana kepandaianku, bagaimana bisa menyatakan begitu? Agaknya Coa Kim Bwee itu amat lihai dan kau mengenal baik ibu tirimu itu!"
Wajah Pangeran ini mendadak menjadi merah sekali dan mata tajam Lu Sian dapat menduga bahwa di antara pemuda tampan dan selir ayahnya tentulah ada hubungan mesra. Sudah banyak ia mendengar tentang selir-selir raja yang masih muda mengadakan hubungan dengan putera-putera raja yang muda dan tampan. Akan tetapi ia tidak peduli akan hal ini karena sepanjang pengalamannya, tak pernah ia mendapatkan seorang pun laki-laki yang benar-benar hanya mencinta seorang wanita dan benar-benar "setia" seperti yang seringkali terdengung dari mulutnya.
"Lie-kongcu, sekarang apakah syarat-syaratnya kalau aku menjadi pengawal pribadimu?"
"Syaratnya? Eh... syaratnya tentu saja kau tidak boleh berpisah dari sampingku, siang.. malam... jadi... eh, kau selalu mendampingiku dan kalau kau suka menerimanya, aku... aku akan berterima kasih sekali. Biar aku berlutut di depanmu....!" Pangeran muda yang sudah tergila-gila oleh kecantikan Lu Sian itu benar-benar hendak berlutut!
Dengan halus Lu Sian menyentuh pundaknya, melarangnya berlutut. "Nanti dulu, Kongcu. Kau mempunyai syarat, aku pun mempunyai permintaan sebagai syarat. Pertama, aku harus mendapat kebebasan bergerak di dalam istana ini, kecuali tempat tinggal Raja tentu saja." "Baik, baik, hal itu dapat dilaksanakan."
"Ke dua, di luar kehendakku, orang lain tidak boleh bertanya-tanya tentang diriku, dan ke tiga, segala permintaanku harus kauturuti, juga setiap saat aku meninggalkan tempat ini, tak boleh ada yang menghalangiku."
"Baik, baik, asal Sian-li suka menjadi pelindungku, pengawal pribadiku yang tak pernah meninggalkanku siang malam..."
"Dan tentang berlutut itu, nanti malam saja boleh kau berlutut sepuas hatimu!"
Mendengar ini, Si Pangeran Muda menjadi girang dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu bangkit dan merangkul leher Lu Sian yang mandah saja terbuai dalam belaian Si Pangeran Muda yang muda dan tampan. Bahkan dengan halus ia berbisik. "Senja telah lewat, di sini sudah mulai gelap dan dingin, lebih baik kita masuk saja."
Menghadapi rayuan seorang wanita yang berpengalaman seperti Lu Sian Pangeran muda itu bertekuk lutut dan benar-benar jatuh. Sampai-sampai di dalam kamar Pangeran yang mewah dan bersih itu ketika mereka makan minum menghadapi meja, Si Pangeran menuruti segala perintah Lu Sian biarpun ia disuruh minum arak dari sepatu Lu Sian yang dijadikan cawan! Disuruh berlutut, disuruh mengembalikan perhiasan apa saja yang dikehendaki Lu Sian. Memang tidak ada kegelian yang lebih menggelikan dapat menghinggapi seorang pria daripada kalau ia sudah tergila-gila kepada seorang wanita!
Dua hari dua malam Lu Sian dan Pangeran Lie Kong Hian tak pernah meninggalkan kamar, tenggelam ke dalam permainan nafsu. Pada pagi hari ke tiga, ketika Lu Sian terbangun dari tidurnya, pangeran itu sudah tidak berada di dalam kamar. Ia bangkit dan dengan malas-malasan Lu Sian duduk menghadapi cermin yang besar, mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang dilepas sanggulnya dan terurai panjang sampai ke pinggul. Rambutnya hitam halus, berombak dan berbau harum. Sambil tersenyum-senyum puas dan girang karena kini ia merasai kenikmatan hidup seperti seorang puteri istana, tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia bangkit dan mengintai dari balik pintu kamar.
Kagetlah hatinya ketika ia melihat Pangeran Lie Kong Hie berdiri dengan muka pucat dengan kedua lengan terpentang, sedangkan di depannya berdiri seorang wanita muda yang cantik bersikap galak, membawa pedang di tangan dan di belakangnya terdapat seorang gadis lain berpakaian pelayan, juga membawa pedang telanjang! Lu Sian cepat meraba kantung jarumnya, sambil mengintai ia bersiap dengan jarum-jarum merahnya. Ia tidak segera turun tangan karena hendak melihat dan mendengar dulu apa yang terjadi. Kalau gadis cantik itu hendak membunuh Kong Hian, tentu ia akan mendahuluinya dengan jarum-jarum yang tak pernah meleset!
"Kau bersekongkol dengan pemberontak!" Si Gadis membentak dengan suara yang yaring sedangkan matanya memancarkan sinar berapi, "Hayo, serahkan dia kepadaku, ataukah kau benar-benar hendak membelanya karena ia kabarnya cantik jelita? Mata keranjang! Kau rela bersekongkol dengan pemberontak hanya karena dia cantik?"
"Tidak... tidak... Kim Bwee... eh, ibu... dia bukan pemberontak. Dia... dia pengawal pribadiku, dan malah menolongku daripada serangan kaum pemberontak!"
"Tapi dia Tok-siauw-kwi...!" "Orang-orang jahat menamakan dia begitu akan tetapi dia seorang Dewi! Dia bukan pemberontak. Kim... eh, ibu... harap suka bersabar dan jangan menuruti hati cemburu..."
"Siapa cemburu?? Biar engkau kumpulkan... eh, seribu orang perempuan lacur, aku tidak peduli! Akan tetapi sekali engkau bersekongkol dengan pemberontak, pedangku sendiri yang akan menembus dadamu...!" Wanita itu mengancam dan menodongkan pedangnya ke depan dada Lie Kong Hian. Sedangkan pelayan yang juga berpedang itu sudah bergerak mengurung.
"Chit-moi (Adik ke Tujuh)... tahan pedangmu...!" Tiba-tiba terdengar jerit tertahan dan selir raja ke tiga, ibu Lie Kong Hian sudah datang berlari-lari dan memeluk puteranya, kemudian menghadang di depan puteranya memandang kepada wanita berpedang itu.
"Chit-moi, jangan engkau main-main dengan senjata tajam! Mengapa kau bersikap begini?"
"Sam-cici (Kakak ke Tiga), puteramu yang bagus ini bersekongkol dan menyembunyikan seorang perempuan pemberontak dalam kamarnya. Bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Bukankah hadirnya seorang pemberontak, betapa cantiknya pun, berarti membahayakan kita semua, terutama Sri Baginda?"
"Tenanglah, Chit-moi. Memang betul ada datang seorang wanita yang telah menolong nyawa Hian-ji (Anak Hian) ketika ia diserang pemberontak. Tentu saja kami percaya kepada penolong itu dan hatiku malah lega ketika mendengar bahwa ia suka menjadi pengawal pribadi anakku. Kalau ia pemberontak, mengapa ia menolong Anakku? Dan andaikata ia pemberontak sekalipun, hal itu bukanlah salahnya Anakku, melainkan dia yang menyelundup dengan tindakan palsu. Mengapa kau tidak menyelidikinya lebih dulu sebelum bertindak terhadap puteraku?"
"Memang aku akan menyelidikinya! Dia Tok-siauw-kwi, berarti dia pemberontak. Dia di kamarmu bukan?" Pertanyaan ini ditujukan kepada Kong Hian yang menjadi merah sekali wajahnya, dan mengangguk.
Wanita berpedang yang cantik dan galak ini memang Coa Kim Bwee, selir ke tujuh Sri Baginda. Memang mudah diduga bahwa selain berkepandaian tinggi, Coa Kim Bwee yang masih amat muda dan cantik itu tentu saja merasa tidak puas menjadi selir ke tujuh. Wataknya memang berandalan dan genit, dan Lie Kong Hian bukanlah satu-satunya "anak tiri" yang ia jadikan kekasihnya! Adapun tindakannya sekarang ini selain menaruh curiga, juga sebagian besar terdorong oleh rasa cemburu, mendengar bahwa seorang di antara kekasihnya yang paling ia sayangi ini mengeram seorang wanita cantik dari luar sampai dua hari dua malam!
Coa Kim Bwee bersuit dan muncullah lima orang wanita pelayan lain yang sudah siap memang, dengan pedang di tangan masing-masing. Kini enam orang pelayan wanita itu mengikuti Coa Kim Bwee melangkah perlahan menuju ke kamar Pangeran Lie Kong Hian!
Setelah mendengar dan melihat semua yang terjadi di luar, Lu Sian tersenyum. Ia sudah senang tinggal di istana pangeran ini dan memang ia mulai bosan dengan perantauan yang kadang-kadang amat sengsara. Kalau ia turun tangan membunuh Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya, tentu ia tak mungkin dapat tinggal dalam istana lebih lama lagi. Coa Kim Bwee adalah selir terkasih dari Raja tentu kematiannya akan menimbulkan geger. Dan melihat betapa Coa Kim Bwee agaknya berpengaruh dan dapat bertindak sesukanya di istana, ia rasa lebih baik wanita ini ia dekati dan untuk dapat melaksanakan niat ini, ia harus mampu menaklukkan wanita ini yang melihat dari langkahnya memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Maka melihat Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya yang semua memegang pedang telanjang itu menuju ke kamarnya, ia cepat duduk kembali di depan cermin dan menyisir rambutnya dengan sikap tenang.
Coa Kim Bwee muncul di sebelah belakangnya. Mereka bertemu pandang melalui cermin dan tanpa menyembunyikan rasa kagumnya melihat wajah cantik terhias rambut hitam panjang itu, Coa Kim Bwee memandang lalu membentak.
"Apakah engkau Tok-siauw-kwi?" Bentakannya mengandung keraguan karena ia benar-benar tidak mengira akan menemui seorang wanita yang demikian cantik jelita, lagi masih muda. Sepanjang pendengarannya, Tok-siauw-kwi tentu telah berusia empat puluh tahun, karena ketika Tok-siauw-kwi masih menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, dia sendiri baru berusia sepuluh tahun! Karena inilah ia ragu-ragu dan bertanya.
Tanpa menoleh, Lu Sian menjawab melalui cermin. "Kalau betul, mengapa? Mau apakah engkau datang bersama enam orang pembantumu dengan pedang di tangan?"
Kembali Coa Kim Bwee tertegun. Sikap wanita ini demikian tenang dan manis, namun sinar mata melalui cermin itu membuat tengkuknya berdiri. Banyak sudah Coa Kim Bwee menghadapi lawan tangguh, namun belum pernah ia merasa jerih seperti pada saat ini. Akan tetapi ia memberanikan hati dan membentak lagi.
"Aku datang untuk menangkapmu. Menyerahlah baik-baik sebelum pedang kami memaksamu!"
Lu Sian tersenyum makin lebar. Giginya berkilat putih. "Adik yang manis, kalau ada urusan yang hendak dibicarakan, mengapa tidak masuk sendiri dan bicara baik-baik tanpa diganggu enam orang pelayanmu yang menjemukan?"
Coa Kim Bwee marah. Ia memberi isyarat dengan pedangnya kepada enam orang pembantunya sambil berkata, "Tangkap dia!"
Juga enam orang pelayan itu marah karena dikatakan menjemukan dan sama sekali tidak dipandang mata oleh wanita berambut panjang itu. Mereka berenam adalah pelayan perempuan yang bertugas sebagai pengawal, memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi. Biasanya, penjahat pria saja mereka masih mampu menghadapi dan mengalahkan, apalagi hanya seorang perempuan tak bersenjata yang sedang bersisir rambut? Mereka bahkan merasa malu untuk mengeroyok, akan tetapi karena telah menerima perintah, mereka tidak berani membantah. Coa Kim Bwee melangkah msuk dan berdiri di pinggir untuk memberi jalan kepada mereka. Enam orang pelayan itu segera melangkah masuk menghampiri Lu Sian dari belakang dengan sikap mengancam. Akan tetapi Lu Sian tetap tidak menoleh, hanya menatap mereka dengan pandang mata tajam melalui cermin di depannya.
"Serbu!" seorang di antara mereka memberi komando dan dengan bermacam gerakan menyerbulah keenam orang pelayan itu ke depan. Lu Sian menggerakkan kepala sambil memutar tubuh. Rambutnya yang panjang itu bagaikan cambuk yang banyak sekali menyambar ke depan menggulung keenam orang penyerangnya dan terdengar ia berseru.
"Pergi kalian, tikus-tikus busuk!" Hebat bukan main. Enam orang pelayan itu sama sekali tidak berdaya karena dalam sedetik saja tubuh mereka, terutama tangan dan kaki, telah terbelit rambut dan tiba-tiba bentakan itu ditutup dengan gerakan kepala. Akibatnya, enam orang pelayan itu terlempar keluar pintu bagaikan daun-daun kering terhembus angin keras. Mereka menjerit-jerit dan jatuh tunggang-langgang di luar kamar, babak-bundas dan ada yang terluka oleh senjata pedang mereka sendiri!
"Nah, Adik yang manis. Tutuplah daun pintu dan mari kita bicara baik-baik tanpa gangguan orang lain." Kata Lu Sian sambil tetap tersenyum dan menyibakkan rambutnya yang menutupi sebagian mukanya.
Coa Kim Bwee berdiri melongo. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan kepandaian seperti ini. Ia kagum dan gentar. Kagum menyaksikan betapa seorang bertangan kosong masih enak-enak duduk, dapat menghalau keluar enam orang penyerangnya hanya mengandalkan rambut yang panjang dan harum! Pula, bau harum yang merangsang keluar dari tubuh Lu Sian membuat ia makin kagum. Hebat wanita ini, pikirnya, dan patut ia jadikan guru! Ketika melihat enam orang pembantunya itu merangkak bangun memungut pedang dan melongok ke dalam, ia memberi perintah singkat menyuruh mereka mundur! Kemudian ia menutup daun pintu dan melangkah dekat, pedangnya masih di tangan.
"Engkau hebat! Ilmu siluman apakah yang kaugunakan? Akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut..."
"Adik yang manis, ilmu lwee-kang begitu saja kauherankan? Mari, mari kita main-main sebentar agar kau tidak menyangka aku seorang siluman. Akan kuhadapi pedangmu dengan duduk saja, hanya kugunakan rambutku, bagaimana?"
"Hemm, kau mencari mampus. Jangan samakan aku dengan pelayan-pelayanku yang lemah!"
"Kalau aku kalah dan tewas di ujung pedangmu, aku takkan mengeluh karena hal itu menandakan bahwa kepandaianku masih rendah. Akan tetapi, kalau kau yang kalah bagaimana?"
Coa Kim Bwee bukan seorang bodoh. Tidak, ia bahkan cerdik sekali. Dia dahulu adalah puteri seorang jenderal, yaitu Jenderal Coa Leng yang bertugas di Shan-si, tangan kanan Gubernur Li Ko Yung. Akan tetapi semenjak kecil Coa Kim Bwee mempunyai pula dua kesukaan, yaitu mengumbar nafsu mencari menang sendiri dan mengejar ilmu silat. Banyak orang pandai menjadi gurunya, dan karena memang ia berwajah cantik jelita, banyaklah pemuda tergila-gila kepadanya. Sebagai puteri tunggal yang amat dimanjakan, Kim Bwee wataknya makin menjadi-jadi, bahkan ia berani mulai bermain gila denga pemuda-pemuda tampan. Ketika terjadi perang, ayahnya tewas dalam perang dan begitu Kerajaan Hou-han bangkit, Kim Bwee yang terkenal cantik dan pandai mengambil hati itu dipilih menjadi selir ke tujuh oleh Raja Hou-han! Di dalam istana inilah terkabul semua nafsunya, karena selain kedudukannya yang tinggi sebagai selir raja, juga kepandaian silatnya yang lihai membuat ia sebentar saja menjadi orang paling berpengaruh. Di samping ini nafsunya yang buruk membuat ia makin binal dan cabul dan mulailah ia di belakang punggung suaminya, Sang Raja, bermain gila dengan para pangeran dan pengawal yang tampan!
Kini, bertemu dengan Lu Sian ia merasa kagum dan juga penasaran. Diam-diam ia berpikir bahwa kepandaiannya yang sudah tinggi ini, apalagi ilmu pedangnya, kalau sampai kalah oleh wanita yang melawannya sambil duduk dan hanya mempergunakan rambut, benar-benar hebat! Kalau benar ia kalah, jalan paling baik adalah menarik wanita cantik ini sebagai sahabat, bahkan kalau mungkin sebagai guru. Maka tanpa bersangsi lagi ia berkata.
"Kalau pedangku ini kalah menghadapi rambutmu, biarlah aku mengangkatmu menjadi guruku!"
Lu Sian tertawa. Bagus, pikirnya. Wanita ini agaknya mempunyai pengaruh yang besar di istana, kalau menjadi gurunya, berarti kedudukannya akan tetap menyenangkan. Selain itu, sebagai guru ia dapat melarang wanita selir raja ini memberitakan di luar bahwa dia adalah Nyonya Jenderal Kam Si Ek.
"Baik, nah, kaumulailah!" katanya tenang sambil duduk menghadapi lawannya dengan rambut panjang tergantung di kanan kiri.
Coa Kim Bwee tidak mau sungkan-sungkan lagi karena maklum bahwa wanita di depannya ini memang memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia menang dan pedangnya membunuh wanita ini, berarti ia menyingkirkan seorang "saingan" berat, sebaliknya kalau benar-benar ia kalah, ia akan mengambil hati wanita ini untuk mendapatkan pelajaran ilmunya.
"Lihat pedang!" bentaknya nyaring dan ketika tubuhnya bergerak didahului sinar pedangnya berkelebat, terdengar suara berdesing tanda bahwa gerakannya cepat sekali dan tenaga yang menggerakkan pedang memiliki sin-kang cukup kuat. Lu Sian memandang rendah kepada lawannya, namun menyaksikan kecepatan gerakan ini, timbul niatnya mencoba sampai di mana kekuatan Si Wanita Cantik, maka ia menggerakkan kepalanya sedikit dan "werrrr!" segumpal rambut panjang menyambar ke depan. Hebat memang tingkat kepandaian Lu Sian sekarang. Setelah ia melatih diri dengan tekun, menurut isi kitab-kitab yang dicurinya, selain kepandaiannya meningkat tinggi juga tenaga sin-kangnya menjadi hebat luar biasa. Rambut yang lemas dan halus itu sekali digerakkan dapat menjadi benda keras seperti kawat-kawat baha dan kini rambut segumpal itu telah menangkis pedang Coa Kim Bwee dan ujung rambut melibat pedang. Berbahaya sekali perbuatan ini. Betapa pun tinggi kepandaian dan betapa pun kuat sin-kangnya, namun rambut tetap merupakan benda yang lemah, hanya menjadi kuat oleh gerakan beberapa detik. Mungkin cukup kuat untuk melibat benda tumpul dan merupakan pengikat yang ampuh, akan tetapi menghadapi mata pedang yang amat tajam, sungguh sebuah permainan yang banyak resikonya.
Coa Kim Bwee melihat betap pedangnya tertangkis sehingga tangannya gemetar tadi, kaget sekali. Terutama setelah ia merasa pedangnya terlibat dan tak dapat ditarik kembali. Cepat ia mengerahkan lwee-kangnya dan berseru keras sambil mendorong pedang dengan mata pedang ke depan. Mereka bersitegang sebentar, dan tiba-tiba Lu Sian melepaskan libatan rambutnya. Coa Kim Bwee terhuyung ke pinggir terdorong oleh tenaganya sendiri, akan tetapi belasan helai rambut rontok karena putus terbabat mata pedang yang tajam!
"Boleh juga kau!" Lu Sian berkata sambil tertawa, tetap duduk tenang dan rambutnya sudah tergantung kembali ke depan dadanya.
Coa Kim Bwee penasaran. Tentu saja ia tidak merasa puas melihat hasil gebrakan pertama tadi, hanya beberapa helai rambut yang terbabat putus, sedangkan dia sendiri terhuyung-huyung. Kalau dinilai, malah dia yang berada di bawah angin, maka seruan Lu Sian tadi di anggap sebagai ejekan yang membuat pipinya berubah merah karena marah.
"Aku masih belum kalah!" bentaknya dan kembali ia menerjang maju, kini ia memutar pedangnya cepat sekali untuk mencegah libatan rambut lawannya. Kelihatannya Lu Sian diam saja, akan tetapi ketika pedang menyambar ke arah lehernya, tubuh Lu Sian yang duduk di atas bangku pendek itu seperti hendak roboh ke kiri sehingga pedang lewat di pinggir tubuhnya dan pada saat itu juga kaki kanannya menyambar bagaikan kilat cepatnya ke arah pusar Coa Kim Bwee. Hebat sekali serangan balasan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini, namun hebat pula reaksi selir raja itu. Untung bahwa ia tidak memandang rendah kepada Lu Sian, bahkan sudah merasa yakin bahwa wanita cantik ini memang berilmu tiggi sehingga dalam penyerangannya yang kedua ini ia tidak membuta, tidak hanya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada penyerangan, melainkan membagi perhatian untuk menjaga diri dengan memperhatikan gerakan lawan.
Maka begitu melihat berkelebatnya kaki dari bawah mengancam perutnya, Kim Bwee cepat kembali pedangnya yang gagal, memutar pedang itu ke bawah membabat kaki sambil melompat ke kanan belakang. Tendangan gagal, namun penyerangan Kim Bwee juga gagal. Mereka kini saling pandang tanpa bergerak, berpisah dua meter lebih, seorang berdiri dengan pasangan kuda-kuda, tangan kiri ditekuk di depan dada, tangan kanan memegang pedang di atas kepala, sedangkan yang seorang lagi duduk enak-enak, kaki kanan bertumpang ke atas kaki kiri, tangan kiri mengelus rambut dan tangan kanan menggaruk-garuk belakang telinga. Lu Sian kelihatan enak-enak saja menghadapi pasangan kuda-kuda lawan yang siap menyerang lagi.
"Awas, Adik manis, sekali ini kau akan jatuh!" kata Lu Sian dengan suara perlahan, pandang mata berseri dan mulut tersenyum. Ia diam-diam merasa girang bahwa ia telah menciptakan ilmu berkelahi mempergunakan rambutnya ini, karena melihat gerakan-gerakannya tadi, selir raja ini sudah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi sehingga untuk merobohkannya tentu memerlukan waktu yang agak lama. Namun dengan ilmunya mempergunakan rambut sebagai senjata, ia sudah dapat memastikan bahwa ia akan dapat menjatuhkannya, karena sebagai seorang ahli, ia dapat melihat kelemahan dalam gerakan pedang Kim Bwee.
Diejek demikian, makin panas hati Kim Bwee. Matanya memancarkan sinar bengis dan liar, bibirnya bergerak-gerak, cuping hidungnya berkembang-kempis dan tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan pedangnya diputar seperti kitiran angin di depan dada! Hebat penyerangan ini, karena gulungan sinar pedang tidak memberi kesempatan kepada rambut Lu Sian untuk melibat pedang, sedangkan tubuh Kim Bwee seakan-akan terlindung dari atas ke bawah, tak mungkin diserang seperti tadi.
"Aku sudah siap, seranglah. Mengeluarkan senjata tak usah kauperintah!" jawab Lu Sian seenaknya.
"Ciuuuttt.... siiing... weeerrrr!!" keempatsenjata itu sudah menyambar ganas. Sinarnya tertimpa cahaya bulan menyilaukan mata. Akan tetapi keempatnya hanya mengenai angin karena tibuh Lu Sian sudah lenyap menjadi bayangan yang berkelebatan dan menyelinap di antara sinar keempat senjata itu. Bukan main hebatnya gin-kang Coan-in-hui itu! Makin hebat empat senjata itu menyambar dan mengikuti gerakan bayangannya, makin cepat pula Lu Sian bergerak dan mendadak "cranggg..... cringgg.... tranggg-trang!" Bunga api berpijar dan berhamburan. Tanpa dapat diikuti pandang mata lawan, tahu-tahu Lu Sian sudah memegang Toa-hong-kiam di tangan kanannya dan sekaligus ia telah menangkis keempat buah senjata lawan.
Hanya Tan Liu Nio seorang yang merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang serasa lumpuh karena ia kalah tenaga. Akan tetapi tiga orang murid Siauw-lim-pai yang lain dengan girang mendapat kenyataan bahwa biarpun dalam gin-kang mereka kalah jauh oleh Lu Sian, namun mengenai tenaga sin-kang, setidaknya mereka dapat mengimbangi. Maka mereka mendesak makin hebat, mengerahkan tenaga dan berusaha mengadu senjata agar pedang di tangan puteri Beng-kauwcu itu terpukul lepas.
Namun Lu Sian adalah seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya kalau ia mengadu tenaga kekerasan dengan tiga orang laki-laki yang memiliki lwee-kang hampir sempurna ini, maka ia lebih mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak dan balas menyerang. Karena ia lebih banyak mengelak inilah maka empat orang pengeroyoknya mengira bahwa ia terdesak. Orang-orang Siauw-lim-pai amat berdisiplin dan selalu mentaati guru mereka. Karena tadi mereka berempat sudah mendengar sendiri betapa suhu mereka, Kian Hi Hosiang, tidak menghendaki permusuhan dengan Beng-kauw, bahkan sudah mengampuni Lu Sian, kini mereka merasa tidak enak sekali kalau sampai membunuh Lu Sian.
"Tok-siauw-kwi, kami mentaati guru kami mengampunkan engkau. Pergilah dari sini dan jangan mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong dengan suara keras.
Inilah salahnya. Tadinya Lu Sian hanya ingin mempermainkan mereka saja, mengalahkan mereka dengan ilmunya kemudian lari lagi membawa pergi Yap Kwan Bi. Akan tetapi mendengar ucapan ini, bangkit kemarahan dan keangkuhannya. Dia memang seorang yang keras hati, pantang dikatakan kalah. Mendengar ini, darahnya bergolak dan ia mengeluarkan seruan nyaring, merupakan lengking lebih mirip suara iblis siluman. Akan tetapi pedangnya kini bergerak secara luar biasa, bergelombang dan berubah menjadi gulungan sinar yang membentuk lingkaran-lingkaran besar lalu berubah lagi menjadi gelombang-gelombang yang datang menerjang ganas. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang kini telah menjadi ganas dan luar biasa dahsyatnya. Di tengah-tengah lengkingnya yang belum putus, terdengar teriakan ngeri dan tampak Liong Kiat terguling roboh dalam keadaan mengerikan karena pundaknya telah terbabat putus berikut lengan kanannya. Ia bergelimpangan mandi darah, berlojotan dan tak dapat mengeluarkan suara lagi.
"Tok-siauw-kwi, hutang jiwa harus dibayar jiwa!" teriak Lo Keng Siong marah sekali. "Tok-siauw-kwi, berani kau membunuh Suteku?" Tan Bhok juga membentak dan rantainya berdesing-desing menyambar.
Lu Sian tertawa bergelak, lalu melompat mundur. Ketika ketiga orang pengeroyoknya yang menyangka dia hendak kabur itu mendesaknya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan... sinar merah menyambar ke arah mereka!
"Celaka....!" Tan Liu Nio berseru. Karena dia berada paling belakang, maka ia sempat melihat gerakan ini dan dapat mengelak. Akan tetapi dua orang suhengnya yang jaraknya terlalu dekat, terlambat mengelak. Mereka dapat melindungi tubuh atas dengan putaran senjata, akan tetapi paha kanan masing-masing telah terkena jarum Siang-tok-ciam! Seketika hidung mereka mencium bau amis akan tetapi harum, maka maklumlah mereka bahwa mereka terkena senjata beracun. Namun keduanya masih belum roboh dan masih memutar senjata. Lu Sian tidak berhenti sampai di situ, begitu tangan kirinya menyambitkan jarum, ia telah menerjang maju lagi mainkan pedangnya dengan jurus dari Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut yang dahsyat. Dua kali pedangnya berkelebat dan robohlah Lo Keng Siong yang tertembus pedang lehernya, dan Tan Bhok yang hampir putus pinggangnya, perutnya robek dan isi perutnya keluar. Mereka berdua tidak menderita lama, cepat menghembuskan napas terakhir menyusul arwah Liong Kiat yang tewas lebih dulu.
"Tok-siauw-kwi, kau benar keji dan ganas...!" Tan Liu Nio marah sekali dan menjadi nekat, menyerbu dengan pedangnya. Sambil tersenyum Lu Sian menangkis dan mengerahkan tenaga.
"Tranggg...!" pedang Tan Liu Nio terlepas dari tangannya. Dengan kakinya Lu Sian menendang, membuat tubuh Tan Liu Nio roboh terguling, kemudian matanya yang sudah menjadi beringas itu berkilat ketika pedangnya ditusukkan ke bawah.
"Trangggg!" Lu Sian meloncat ke belakang, wajahnya pucat, matanya terbelalak memandang kepada Yap Kwan Bi yang ternyata telah menangkis pedangnya.
"Kau... kau Tok-siauw-kwi....??" dengan pedangnya Kwan Bi menuding kepada kekasihnya.
"Orang menamakan aku begitu, namaku Lu Sian, kau tahu...." "Kau.... kau perempuan hina...! Kau telah membunuh tiga orang Suhengku dan hendak membunuh Suciku? Keparat jahanam! Kubunuh engkau....!"
Yap Kwan Bi menyerang, akan tetapi karena tubuhnya masih lemah, sekali ditangkis ia roboh terguling, dan Lu Sian yang mukanya menjadi pucat itu tiba-tiba meludah. "Cih, kiranya kau pun sama saja! Laki-laki berhati palsu! Mual perutku melihatmu!" setelah berkata demikian, sekali berkelebat Lu Sian lenyap dari tempat itu.
Yap Kwan Bi menangis menggerung-gerung ketika menyaksikan keadaan tiga orang suhengnya yang tewas dalam keadaan demikian mengerikan. ia menjambaki rambutnya dan memukuli kepalanya sendiri seperti orang gila. Percuma saja Tan Liu Nio menghiburnya. Akhirnya murid wanita Siauw-lim-pai itu berlari cepat melaporkan ke kuil Siauw-lim-si. Tentu saja berita ini menimbulkan geger. Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio sendiri bersama beberapa orang sute berlari-lari ke arah hutan itu dan apa yang mereka dapatkan? Yap Kwan Bi telah tewas di samping ketiga orang suhengnya, lehernya hampir putus dan tangan kanan penuh darahnya sendiri. Ia telah membunuh diri karena telah menyesal!
Sementara itu, Lu Sian sudah mempergunakan Ilmu Coat-in-hui untuk berlari cepat sekali. Ia merasa kecewa dan menyesal. Ia benar-benar muak mengingat kepalsuan cinta kasih Kwan Bi yang tadinya dikira benar-benar suci murni. Bahkan pengalaman ini membuat ia makin muak terhadap laki-laki, makin tidak percaya, dan makin sakit hati. Di samping kekecewaannya, ia pun merasa girang bahwa ia berhasil mengambil kitab Ilmu Im-yang-tiam-hoat dari Siauw-lim-pai. Ia gemas kepada orang-orang Siauw-lim-pai yang telah menghancurkan ikatan cinta kasihnya dengan Kwan Bi, maka kini pikirannya tertuju kepada Su Pek Hong atau Su-nikouw di Kuil Kwanim-bio. Ia harus dapat merampas kepandaian nikouw itu, ilmu yang membuat ia selamanya takkan menjadi tua! Ia akan memaksa pendekar wanita Siauw-lim-pai itu untuk menyerahkan rahasia kepandaiannya!
Hari telah malam ketika ia tiba di Kuil Kwan-im-bio. Kuil itu telah menutup daun pintu depan, akan tetapi sebuah lampu gantung menerangi ruangan depan, Lu Sian menghampiri pintu dan mengetuk. Terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu dan sebelum daun pintu dibuka, suara lembut seorang pendekar wanita bertanya.
"Siapakah yang datang di luar dan ada keperluan apa malam-malam mengunjungi Kwan-im-bio?" "Aku Lu Sian, mohon bertemu dengan Su-nikouw!"
Ketika Su-nikouw keluar dan melihat Lu Sian, ia tersenyum ramah dan menegur. "Eh, kiranya Lu-lihiap yang datang. Keperluan apakah gerangan yang membawa Li-hiap malam-malam datang mengunjungi tempatku yang buruk? Dan di mana adanya Kwan Bi?"
Akan tetapi nikouw ini mengerutkan keningnya ketika melihat pandang mata Lu Sian amat berlainan dengan beberapa hari yang lalu, bahkan ia melihat Lu Sian membanting kaki lalu berkata tak manis. "Tak perlu kita berpanjang kata, Su-nikouw. Kedatanganku ini hanya perlu minta kepadamu agar kau membuka rahasiamu tentang ilmu awet muda!" Lu Sian mengancam dengan suara dan pandang matanya. Kalau kemarin dulu ketika datang ke sini bersama Kwan Bi ia merasa suka kepada pendeta wanita yang awet muda ini, sekarang ia memandangnya dengan mata benci dan Su-nikouw kelihatan tidak menyenangkan hatinya lagi. Memang pengaruh rasa benci amat jahat, membutakan mata. Karena ia merasa sakit hati kepada Siauw-lim-pai, menimbulkan benci di hatinya dan siapa pun orangnya yang sudah mabok rasa benci, pandang matanya akan berbalik!
Akan tetapi Su-nikouw orangnya sabar. Ia sudah mampu menguasai batinnya dan ia memandang Lu Sian dengan senyum wajar. "Li-hiap, biarpun pinni merasa heran sekali atas perubahan sikapmu ini, namun penolakan pinni bukan disebabkan oleh sikapmu, melainkan karena rahasia ini kalau terjatuh ke tangan wanita yang belum sadar akan kebenaran, hanya akan merugikan dirinya sendiri saja. Kemudaan dan kecantikan pada usian tua hanya akan menyelewengkan hati, membesarkan nafsu, dan percayalah, kelak di waktu kau sudah berusia tua, kecantikan dan kemudaan yang disertai nafsu itu akan menyeretmu ke lembah kesengsaraan belaka.
"Tak usah banyak cerewet!" Lu Sian membentak. Lajim, orang yang sudah membenci seorang yang lain, apa pun yang keluar dari mulut orang yang di benci itu selalu diterima keliru dan tak dipercaya. "Kauserahkan secara baik-baik atau dengan paksaan, aku harus mendapatkan rahasia itu!"
Su-nikouw menghela napas. "Lu-lihiap, pikiranmu sedang kacau, batinmu sedang gelap. Biarlah lain kali kau datang kembali bersama Yap Kwan Bi, kita bicarakan hal ini perlahan-lahan secara baik-baik."
Alis yang hitam kecil itu bergerak, disusul gerakan tangan kiri dan Su-nikouw cepat mengelak dengan menjatuhkan diri ke belakang. Namun terlambat. Jalan darah di pundak kirinya tertusuk sebatang Siang-tok-ciam! Nikouw itu terhuyung lalu menjatuhkan dirinya di atas sebuah kursi, memandang pada Lu Sian dengan mata terbuka lebar saking heran dan kagetnya.
Sambil tersenyum dingin Lu Sian berkata perlahan. "Kau sudah terluka Siang-tok-ciam, obat pemunahnya hanya padaku. Lekas kau keluarkan rahasia ilmu awet muda untuk ditukar dengan obat pemunahku."
Su-nikouw yang masih duduk di atas kursi kelihatan tenang-tenang saja. "Omitihud.... kau ini wanita muda sungguh ganas, kasihan sekali kau tersesat jauh tanpa kausadari! Seorang pertapa seperti aku ini, menganggap kematian sebagai pembebasan jiwa daripada kurungan raga yang banyak kehendak dan lemah. Racun jarummu yang mengancam nyawaku sama sekali tidak membikin pinni takut."
Diam-diam Lu Sian menjadi kecewa sekali. Celaka, pikirnya. Ia tidak bermaksud membunuh, hanya mengancam, akan tetapi kalau wanita gundul ini nekat menghadapi kematian, tidak mau menukar obat pemunah dengan rahasia ilmu awet muda, bagaimana?
"Nikouw bandel! Mengapa hendak kaukangkangi sendiri ilmu itu? Apakah kau hanya ingin muda sendiri dan cantik sendiri? Ilmu seperti itu saja mengapa kau hargai daripada nyawamu?"
Su-nikouw menggeleng kepala. "Ilmu ini adalah ilmu yang bersumber pada ilmu dari Siauw-lim-pai, ilmu menguatkan tubuh pelajaran Siauw-lim-pai yang kuperkembangkan. Merupakan rahasia Siauw-lim-pai, tak boleh sembarangan diajarkan orang luar, apalagi untuk maksud buruk. Tidak, biarlah kau pergi, pinni akan mati tanpa mengeluh!"
Tiba-tiba Lu Sian tertawa. "Hi-hik, enak saja kau ingin mati. Mana aku membiarkan kau mati begitu saja kalau kau tidak mau membuka rahasia itu? Ketahuilah, Su-nikouw, racun jarumku itu memiliki daya pembangkit nafsu berahi! Racun Ngo-tok-hwa (Lima Bunga Beracun) telah mengalir di dalam jalan darahmu. Tidak terasakah olehmu Nikouw tolol, betapa ujung hidungmu mencium bau wangi dan tulang punggungmu berdenyut keras? Sebelum mati oleh racun, kau terserang oleh rangsangan berahi dan aku akan mengerammu dalam kamar bersama seorang laki-laki yang kupaksa menemanimu. Hendak kulihat, bagaimana malunya jiwamu kalau pada saat kematianmu engkau melakukan pelanggaran yang paling besar bagi seorang pendeta wanita!"
Napas Su-nikouw terengah-engah, mukanya pucat dan matanya memandang penuh kengerian. "Ah, jangan.... jangan....! sebenarnya siapakah engkau ini, begini keji?"
"Orang menyebutku Tok-siauw-kwi." "Aahhh... kiranya engkau Tok-siauw-kwi...?" Nikouw itu makin ketakutan, karena ia mendengar nama julukan ini sebagi seorang tokoh kang-ouw yang amat keji dan ganas, maka ancaman tadi bukan tak mungkin dilakukan oleh Tok-siauw-kwi yang terkenal kejam. Pula, ia memang sejak terluka tadi mencium bau harum yang aneh dan memang betul tulang punggungnya berdenyutan keras! Tentu saja sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lebih mementingkan pelajaran batin, nikouw ini tidak tahu tentang segala racun, dan ia tidak tahu bahwa Lu Sian sebenarnya membohong. Siang-tok-ciam yang merah itu memang berbahaya dan racunnya cukup jahat untuk merampas nyawa korbannya, akan tetapi sekali-kali tidak akan menimbulkan gejala nafsu berahi segala. Dia sengaja mengeluarkan ancaman ini karena dengan tepat ia menduga bahwa hal seperti itu jauh lebih mengerikan daripada kematian bagi seorang wanita pertapa yang saleh!
"Bagaiman? Aku mengenal seorang kepala rampok dalam hutan, usianya tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan kaki tangan serta dadanya juga penuh bulu seperti monyet. Dia tunduk kepadaku dan dia amat suka kepada wanita yang wajahnya bersih. Tentu dia akan senang sekali mendapatkan engkau yang masih kelihatan muda dan cantik ini!"
Su-nikouw bergidik. Meremang bulu tengkuknya mendengar gambaran tentang laki-laki itu. Tak tertahan lagi ia menangis, hal yang selama sepuluh tahun lebih tak pernah ia lakukan. "Baiklah, baiklah...., kuberikan rahasia ilmu itu kepadamu." Ia lalu masuk ke dalam kamar dan keluar lagi membawa sebuah kitab tipis tulisan tangan hasil pekerjaannya sendiri.
"Tidak mudah mencapai tingkat seperti aku." katanya. "Untuk dapat mengalahkan kerusakan kulit daging dan tulang, kau harus memiliki dasar ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum) dan untuk pelajaran itu, menyesal pinni tidak dapat memberi karena kitabnya tersimpan di Siauw-lim-pai. Akan tetapi seorang berkepandaian tinggi seperti engkau ini tentu akan dapat mempelajarinya dengan mudah. Hanya saja, ilmu I-kin-swe-jwe yang paling hebat di dunia ini hanyalah dari Go-bi-pai, di samping Siauw-lim-pai tentu saja. Nah, setelah kau memiliki ilmu itu, engkau pelajari samadhi seperti tertunjuk dalam kitab ini, dan makan akar dan daun yang sudah tertulis lengkap pula di situ."
Cepat Lu Sian menyambar kitab itu dan membuka-bukanya sebentar. Ia percaya bahwa nikouw itu tidak akan membohonginya, maka ia pun lalu mengeluarkan obat pemudah dari sakunya sambil tertawa. "Siang-tok-ciam senjata rahasiaku memang mematikan, akan tetapi mana bisa membangkitakan nafsu berahi?"
Nikouw itu marah sekali, bangkit berdiri dan menahan diri sedapatnya untuk tidak memaki-maki. Akan tetapi setelah memberikan obat pemunahnya, Lu Sian sudah melompat keluar dan menghilang di tempat gelap sambil membawa kitab yang amat diinginkannya itu.
Su-nikouw kembali menjatuhkan diri di atas kursi dan menarik napas panjang berkali-kali. "Su Pek Hong... Su Pek Hong..... inilah hukumannya kalau orang tidak mentaati nasehat guru! Mendiang Suhu dahulu pernah bilang bahwa ilmu awet muda ini mengandung sifat berbahaya dan tidak baik marena menentang hukum alam! Betul kau hanya menghendaki awet muda demi kesehatan, namun wanita lain tentu akan menganggapku pesolek dan ingin cantik selalu. Dan wanita yang selalu ingin cantik seperti ingin mendapat perhatian dan pujian laki-laki. Ah, betapa memalukan. Su Pek Hong, kau sudah tua, mengapa tidak mau menerima kekuasaan alam? Jadilah nenek-nenek yang penerima, hadapilah kematian usia tua yang sewajarnya, dan tentu tidak akan mengalami hal yang begini memalukan..." Dengan wajah duka pendeta wanita ini lalu mempergunakan obat pemunah racun yang ditinggalkan Lu Sian.
Harta benda, kepandaian, dan kekuasaan duniawi adalah anugerah, bukti kemurahan Tuhan kepada manusia. Namun, dalam anugerah ini terbawa pula ujian yang amat berat. Siapa yang kuat menerima anugerah ini, ia akan dapat menikmatinya lahir batin. Sebaliknya, mereka yang tidak kuat menghadapi ujian ini, hanya akan menikmati pada lahirnya saja, sedangkan pada batinnya mereka akan mengalami kemunduran yang akan membawa mereka kepada kesengsaraan.
Namun diantara tiga macam anugerah itu, yang paling berbahaya akibatnya bagi mereka yang tidak kuat adalah kekuasaan. Harta benda dapat menjadikan orang menjadi hamba nafsunya sendiri, kepandaian dapat menjadikan orang menjadi sombong, tinggi hati dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi kekuasaan yang timbul dari kekuatan ataupun kedudukan, amatlah berbahaya karena dapat menjadikan orang sewenang-wenang terhadap orang lain, mau menangnya sendiri saja tanpa menhiraukan tatasusila dan perikemanusiaan.
Liu Lu Sian termasuk orang yang mendapat anugerah kekuatan, hasil dari pada banyaknya macam ilmu silat yang ia kuasai. Makin pandai, makin kuatlah dia dan makin besar kekusaannya terhadap orang lain mentaati kehendaknya.
Ia menjadi mabok akan kekuatan sendiri, ingin menang sendiri dan tidak peduli akan perikemanusiaan. Makin ia turuti nafsunya makin hebatlah nafsu menggulung dirinya. Makin ia turuti kemurkaannya akan ilmu, ia makin tidak puas dan menghendaki lebih. Sepak terjangnya makin liar menjadi-jadi, sehingga beberapa tahun kemudian nama Tok-siauw-kwi menggemparkan dunia persilatan sebagai seorang tokoh yang ganas, liar, kejam dan ditakuti.
Untuk mematangkan ilmu yang dirampasnya dari Su-nikouw, seorang diri Lu Sian memasuki Go-bi-pai dan berhasil mencuri kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Ilmu Tiga Belas Bintang) yang selain mengajarkan latihan lwee-kang dan langkah-langkah kaki, juga Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Mencuci Sum-sum) seperi yang ia butuhkan. Ilmu kepandaiannya meningkat cepat sekali dan kini Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian benar-benar menjadi seorang wanita sakti yang sukar dicari tandingannya. Di Go-bi-pai ia dikeroyok para hwesio, akan tetapi sanggup melarikan diri dengan hanya menderita luka ringan setelah merobohkan banyak hwesio Go-bi-pai yang terkenal konsen!
Bukan hanya Go-bi-pai yang ia serbu, juga ia naik ke Puncak Hoa-san, mencuri pedang pusaka Pek-giok-kiam (Pedang Pusaka Kumala Putih) yang menjadi pedang pusaka Hoa-san-pai. Dalam pertempuran ia dikeroyok dan berhasil merobohkan lima orang anak murid Hoa-san-pai yang tewas oleh pedangnya yang ganas dan dahsyat. Kemudian ia lari lagi sehingga semenjak saat itu ia menjadi seorang buruan dicari dan dikejar oleh orang-orang Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai! Namun berkat gerakannya yang lincah, gin-kangnya yang tinggi serta kecerdikannya yang seperti setan, ia selalu berhasil meloloskan diri.
Bukan hanya itu semua kehebohan yang ia perbuat di dunia kang-ouw. Banyak golongan persilatan yang sengaja ia datangi untuk diajak bertanding, mengalahkan ketuanya dan merobohkan banyak sekali tokoh kenamaan sehingga namanya menjulang tinggi, bahkan melewati nama besar ayahnya sendiri, Pat-jiu Sin-ong! Yang paling hebat adalah ketika ia mendatangi Kong-thong-pai karena mendengar berita bahwa Ilmu Pedang Kong-thong-pai amat lihai. Ia datang sengaja hanya untuk menantang ketua Kong-thong-pai bertanding ilmu pedang! Juga di Kong-thong-pai ini Lu Sian merobohkan banyak tokoh, sungguhpun ia belum sanggup mengalahkan ilmu pedang Ketua Kong-thong-pai yang bernama Kim Leng Tosu. Namun ia menang cekatan dan lincah sehingga kekalahannya dalam ilmu pedang dapat ia atasi dengan kelincahannya.
Demikianlah selama sepuluh tahun Lu Sian malang-melintang di dunia kang-ouw, ilmu kepandaiannya makin hebat, akan tetapi berkat ilmunya awet muda, wajahnya masih tetap cantik jelita, tubuhnya menyiarkan keharuman yang khas sedangkan bentuk tubuhnya masih menggairahkan seperti seorang gadis remaja.
Betapa pun liar dan ganas watak Lu Sian, sebagai seorang ibu kadang-kadang ia merasa rindu kepada puteranya, Bu Song. Rasa rindu inilah yang akhirnya membawa kedua kakinya melangkah menuju propinsi Shansi. Pada waktu itu, Kerajaan Cin Muda telah roboh, terganti dengan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Han Muda. Propinsi Shan-si telah berdiri sendiri dan menjadi Kerajaan Hou-han. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendengar kabar bahwa bekas suaminya, Kam Si Ek, telah meletakkan jabatan dan telah pindah. Tak seorang pun tahu ke mana pindahnya Kam Si Ek, bekas suaminya. Hatinya menjadi dingin kembali dan ia hanya percaya bahwa puteranya, Bu Song, tentu saja hidup aman sentausa disamping bekas suaminya.
Sambil makan di sebuah rumah makan di kota raja Hou-han, Lu Sian termenung. Kalau teringat akan puteranya, ingin ia menangis. Namun hatinya yang keras mencegahnya berduka lebih lama lagi.
"Lebih baik dia tidak mengenal aku sebagai ibunya," demikian pikirnya. Bagaimana kalau puteranya itu bertemu dengannya dan mengenalnya sebagai seorang ibu yang meninggalkan anaknya? Apalagi kalau mengenal bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi, iblis betina yang ditakuti orang? Lu Sian tersenyum dan dengan gemas ia meneguk cawan araknya yang ke sembilan kalinya. Cara ia menuangkan arak ke mulut dan langsung ke perut melalui tenggorokan menandakan bahwa ia sudah biasa dengan minuman keras ini dan memang jarang sekali ada wanita yang dapat minum arak seperti dia itu. Cara ia minum adalah cara seorang "setan arak" benar-benar.
Tiba-tiba Lu Sian menengok ke kiri. Perasaannya yang tajam membuat ia tahu bahwa ia diperhatikan orang dari arah kiri. Pemuda yang sedang memandangnya itu nampak gugup, hendak menundukkan muka atau pura-pura tidak melihat, namun pandang matanya seakan-akan lekat pada wajah ayu itu. Lu Sian tersenyum, membuang muka akan tetapi matanya yang tajam mengerling, tajam melebihi pedang. Hatinya pun tergetar. Betapa tidak? Pemuda itu tampan bukan main. Tubuhnya tinggi tegap, mukanya halus putih seperti muka wanita, namun alisnya hitam tebal, matanya lebar bercahaya terang dan tajam seperti mata harimau. Wajah tampan dan tubuh tegap seorang pria ganteng selalu masih menggerakkan hati Lu Sian, biarpun usianya sudah empat puluh tahun! Semenjak hatinya yang mengalami cinta kasih telah dikecewakan oleh Kam Si Ek, Tan Hui dan yang terakhir murid Siauw-lim-pai Yap Kwan Bi, ia menganggap pria hanya manusia jenis lain yang menarik, dan hanya tepat dijadikan permainan belaka untuk memuaskan nafsunya. Semenjak ia merantau, banyak sudah pria yang jatuh bertekuk lutut oleh kecantikannya yang luar biasa, akan tetapi setelah Lu Sian mempermainkannya dan laki-laki itu benar-benar telah roboh hatinya, selalu Lu Sian meninggalkannya pergi dan tertawa puas melihat bekas kekasih ini menjadi patah hati, menjadi gila atau setengah gila!
Selagi Lu Sian berdebar hatinya bertemu dengan seorang pemuda tampan remaja paling tinggi berusia dua puluh dua tahun ini, tiba-tiba terdengar angin mendesir dan pandang mata Lu Sian yang tajam berkelebatnya senjata rahasia halus menyambar ke arah Si Pemuda Tampan! Melihat sikap pemuda itu yang seorang pemuda pelajar yang tak mengerti ilmu silat, Lu Sian merasa khawatir sekali, maka ia lalu menjemput nasi dengan sumpitnya dan sekali menggerakkan tangan, nasi itu menyambar ke arah sinar senjata rahasia menjadi butiran-butiran nasi dan runtuh ke bawah tanpa mengeluarkan suara!!
Pemuda itu masih enak-enak minum araknya dan memang ia tidak tahu akan adanya bahaya yang tadi mengancam nyawanya. Setelah senjata-senjata rahasia jarum itu runtuh terdengar orang berseru di luar rumah makan, "Biar ada yang melindungi, kita harus bunuh pangeran ini!" Dan muncullah tiga orang laki-laki tinggi besar yang membawa golok telanjang di tangan. Pemilik rumah makan dan dua orang pelayannya ketakutan, juga dua orang lain yang sedang duduk makan di situ lari keluar. Pemuda tampan itu pun kelihatan terkejut sekali mendengar ucapan ini, bangkit berdiri dari kursinya dan mukanya pucat. Gerakan ini saja menyakinkan Lu Sian bahwa pemuda yang diserang tadi benar-benar tak pandai silat, maka ia melirik ke arah tiga orang tinggi besar itu. Orang-orang yang kasar akan tetapi tidak seperti penjahat. Betapapun juga, melihat mereka menyerbu ke arah pemuda yang kini berteriak, "Tolong! Tolong!" itu, Lu Sian tidak mau tinggal diam saja. Tangan kirinya bergerak tanpa ia bangkit dari kursinya. Terdengar tiga orang itu berteriak kesakitan dan roboh bergulingan menabrak meja kursi. Mata mereka mendelik, dari dalam hidung dan telinga keluar darah dan nyawa mereka sudah putus!
"Keparat dari mana berani membunuh murid-murid keponakanku?" Terdengar bentakan keras dan melayanglah tubuh seorang tosu yang bersenjata pedang, langsung menghantamkan pedangnya dari atas ke bawah tepat di atas kepala Lu Sian! Wanita sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak menoleh, akan tetapi tiba-tiba kursi yang didudukinya mencelat ke samping dan ia masih enak-enak duduk di atasnya. Pedang itu menyambar terus ke bawah dan "crakkkkk!!" meja yang tadi berada di depan Lu Sian terbelah menjadi dua potong! Pemuda yang sebenarnya seorang pangeran yang menyamar itu menggigil ketakutan, juga tiga orang pengurus rumah makan kini berjongkok bersembunyi di balik meja.
Si Tosu ternyata bertubuh tinggi kurus, usianya hampir lima puluh tahun, wajahnya pucat seperti orang berpenyakitan. Namun menyaksinkan betapa sekali bacok ia dapat membelah meja yang tebal, dapat dibayangkan betapa besar tenaganya dan betapa tajam pedangnya. Hampir ia tidak percaya ketika pedangnya hanya mengenai meja sedangkan wanita muda yang ia bacok itu masih enak-enak duduk di atas kursi dekat sebuah meja lain. Ia membalikkan tubuh, mengeluarkan seruan marah dan melompat ke arah Lu Sian, menerjang dengan pedang diputar cepat.
"Trakkk!" Pedang itu berhenti di tengah-tengah dan kiranya telah terjepit sepasang sumpit yang berada di tangan Lu Sian, Si Tosu mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia karena pedangnya seakan-akan terjepit oleh jepitan baja yang amat kuat. Mendadak Lu Sian melepaskan jepitannya sehingga Si Tosu terhuyung mundur. Sepasang sumpit itu melayang ke arah lambung dan leher. Namun Si Tosu ternyata cukup gesit karena ia mampu membuang diri ke samping dan bergulingan menyelamatkan diri. Akan tetapi baru saja ia melompat bangun, sinar merah menyambarnya. Tosu itu memutar pedang dan banyak jarum runtuh, namun sebatang jarum masih dapat menerobos dan menancap di dadanya. Tosu itu mengeluh dan terguling roboh. Ia mencabut jarum di dadanya dan melihat jarum merah serta mencium bau harum, matanya terbelalak memandang Lu Sian, telunjuknya menuding dan mulutnya berseru, "Kau... Tok-siauw-kwi....!" Namun ia tak dapat bicara lebih lanjut karena racun jarum telah mencapi jantungnya dan ia mati dengan mata mendelik. Lu Sian hanya tersenyum dan masih duduk menghadapi meja.
Tiga orang pemilik dan pengurus rumah makan itu segera keluar dari tempat sembunyi mereka dan berlutut di depan Si Pemuda Tampan. "Syukur bahwa Tuhan masih melindungi Paduka...."
"Sssst, sudah jangan banyak ribut. Lebih baik lekas laporkan kepada penjaga keamanan kota dan mengurus empat mayat penjahat itu." Kata Si Pemuda, kini sikapnya agung dan sudah tenang kembali. Ia lalu melangkah menghampiri Lu Sian, merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk memberi hormat.
"Li-hiap (Nona Perkasa) telah menolong nyawa saya, sungguh merupakan budi amat besar dan membuat saya bingung bagaimana saya akan dapat membalas budi itu." Ucapannya halus dan tutur katanya sopan menyenangkan.
Lu Sian segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang, bibirnya tetap tersenyum manis kerling matanya benar-benar mengiris jantung. "Ah, urusan kecil seperti itu bukan berarti menghutangkan budi. Ada orang-orang jahat hendak membunuh Kong-cu, bagaimana saya dapat berpeluk tangan saja?"
Pemuda itu memandang penuh kagum dan ia tidak menyembunyikan rasa kagum ini, bukan hanya kagum akan kehebatan kepandaian wanita ini, namun juga kagum akan kecantikannya yang luar biasa, akan bau harum semerbak yang memabokkannya, yang keluar dari tubuh wanita itu. "Hebat sekali, Li Hiap! Kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri, mana mungkin saya percaya di dunia ini ada seorang yang kepandaiannya seperti dewi, sedangkan Li-hiap begini can.... eh, muda? Tadi pun merupakan teka-teki bagi saya siapa gerangan yang membuat tiga orang penyerang saya jatuh tersungkur dan tewas seketika. Kalau tidak ada penyerang ke empat tadi, sampai mati pun saya mungkin tidak percaya bahwa Li-hiap yang telah menolong saya."
Berdebar jantung Lu Sian. Laki-laki ini sungguh menarik hati dan menyenangkan. Rasa kagum yang terpancar dari matanya dan pujian yang keluar dari mulutnya sama sekali bukanlah kosong dan menjilat sifatnya, melainkan langsung keluar dari hati. Ia dapat membedakan hal ini. Sambil menjura lagi dan memperlebar senyumnya sehingga sedikit deretan gigi putih berkilau tampak, ia berkata, "Ah, Kongcu terlalu memuji dan membesar-besarkan. Bukankah Kongcu seorang Pangeran, kalau tidak salah pendengaran saya? Inilah yang mengagumkan, melihat seorang pangeran berada di luar istananya dengan berpakaian seperti rakyat biasa, benar-benar jarang sekali dapat ditemui pada jaman kini."
Pemuda itu tersenyum. "Apa sih bedanya pangeran dan orang biasa? Li-hiap, sekali lagi, katakanlah bagaimana saya harus membalas budimu?"
"Telah saya katakan tadi, tidak ada penghutangan budi. Kalau Kong-cu hendak melakukan sesuatu untuk menuruti permintaanku, saat ini tidak ada keinginan lain di hatiku kecuali keterangan mengapa Kongcu sebagai pangeran diserang oleh empat orang ini dan siapakan mereka?"
Pemuda itu menggerakan kipasnya untuk mengipas leher, padahal ia menggunakan benda itu untuk menutup mulutnya dari orang lain agar kata-katanya tidak terdengar orang lain kecuali Lu Sian, kemudian berkata perlahan, "Li-hiap disini bukan tempat kita bicara tentang itu. Saya
persilakan Li-hiap singgah di gedung kami, sudikah Li-hiap memberi penghormatan itu?"
"Ayaaa....! Kong-cu benar-benar terlalu merendah! Undangan itu justru merupakan kehormatan besar sekali bagiku. Terima kasih Kongcu, tentu saja saya bersedia memenuhi undangan Kongcu."
Pada saat itu terdengar langkah kaki banyak orang dan masuklah tujuh orang berpakaian seragam yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu, "Bangunlah!" kata Sang Pangeran dengan sikap berwibawa. "Urus empat mayat ini dan selidiki kalau-kalau masih ada teman-teman mereka berkeliaran dalam kota!"
Mereka bangkit dengan sikap hormat. "Sediakan dua ekor kuda untuk kami!" kata pula pemuda itu. Cepat sekali dua orang di antara mereka keluar dan terdengarlah tak lama kemudian derap kaki dua ekor kuda di depan pintu rumah makan.
"Li-hiap, mari kita berangkat." Ajak Si Pangeran. Ketika Lu Sian hendak membayar harga makanan, cepat-cepat Si Pemilik Rumah Makan mencegah dengan ucapan manis. "Harap Li-hiap tidak usah repot-repot. Semua yang berada di sini hamba sediakan untuk keperluan Sang Pangeran dan sahabat-sahabat beliau!"
Pangeran itu tersenyum dan mengajak Lu Sian keluar. Dua ekor kuda besar dan lengkap pakaiannya telah tersedia. "Silakan, Li-hiap," ajak pemuda itu. Lu Sian tidak sungkan-sungkan lagi, segera melompat ke atas pelana kuda, diikuti oleh pangeran itu. Mereka segera menjalankan kuda, diikuti pandang mata kagum dari belakang.
Karena pernah tinggal di kota ini bersama suaminya, walaupun jarang keluar Lu Sian mengenal jalan dan tahu pula bahwa pemuda itu mengajaknya memasuki halaman sebuah gedung besar yang dahulu menjadi isatana Gubernur Li! Hatinya berdebar tidak enak, khawatir kalau-kalau ada orang mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi lega ketika teringat bahwa sudah lewat belasan tahun sejak ia berada di sini, pula dahulu ia tidak pernah keluar rumah dan tak pernah bertemu dengan para pembesar di tempat ini. Selain itu, ia percaya bahwa ilmu awet muda membuat ia takkan dikenal orang, karena biarpun usianya sudah empat puluhan, namun ia tetap kelihatan seperti seorang gadis dua puluh tahun lebih!
Bekas gedung Gubernur Li itu memang kini menjadi istana raja. Komplek bangunannya banyak sekali dan pemuda ini bertempat tinggal di sebuah gedung sebelah kiri belakang. Begitu kuda mereka diurus oleh pelayan, mereka memasuki gedung. Banyak sekali pelayan laki-laki dan wanita menyambut mereka penuh penghormatan. "Sampaikan kepada Thai-thai (Nyonya Besar) bahwa aku hendak menghadap bersama seorang pendekar wanita yang telah menolongku." Kata Pangeran itu dengan sikap gembira kepada seorang pelayan wanita. Mendengar ini, para pelayan memandang Lu Sian penuh perhatian dan kagum.
Pangeran itu mempersilakan Lu Sian duduk di ruang tamu yang amat indah. Dengan kagum Lu Sian memandangi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan yang bergantungan di sepanjang dinding. Alangkah bedanya dengan suaminya dahulu, pikirnya. Suaminya itu biarpun seorang jenderal ternama, hidupnya sederhana dan gedungnya tidak semewah dan seindah ini.
"Li-hiap, bolekah saya mengetahui nama Li-hiap yang terhormat?" Lu Sian terkejut. Kalau ia mengakui namanya, ada bahayanya orang mengenalnya sebagai bekas isteri Jenderal Kam Si Ek! Ia tersenyum manis dan menjawab, "Saya seorang wanita perantau yang tidak pernah mengingat nama. Seingat saya, nama saya Sian, akan tetapi orang-orang menjuluki saya..."
"Tok-siauw-kwi? Sungguh terlalu ketika aku mendengar tosu keparat itu memakimu Tok-siauw-kwi! Kau patutnya seorang Sian-li (Dewi) dan mungkin Li-hiap benar-benar seorang Dewi karena namanya Sian (Dewa). Biarlah bagi saya, Li-hiap adalah seorang Sian-li dan selanjutnya kusebut begitu..
Ah, Kongcu benar-benar membuat saya malu dengan pujian-pujian muluk. Dan siapakah Kongcu? Apakah Thai-cu (Pangeran Mahkota)?"
"Ah, bukan... bukan! Saya hanya seorang pangeran yang lahir dari seorang selir, ibuku selir ke tiga dari Sri Baginda. Namaku Lie Kong Hian."
Lu Sian mengangguk-angguk dan pada saat itu muncullah seorang pelayan wanita yang memberitahukan bahwa nyonya besar telah siap menerima puteranya dan seorang sahabatnya. "Marilah kita menghadap ibu. Beliau tentu girang sekali mendengar bahwa kau telah menolong nyawaku."
Lu Sian hanya tersenyum dan mengikuti pemuda itu memasuki ruangan belakang. Gedung ini amat besar dan indah, di sebelah dalamnya terdapat taman yang kecil namun indah sekali. Di sebelah belakang juga terdapat taman bunga yang dihias pintu bulan yang menembus ke taman gedung sebelahnya. Di ruangan belakang, ibu pemuda itu sudah menanti sambil duduk di atas kursi, seorang wanita yang usianya empat puluh tahun lebih namun masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya. Di belakangnya menjaga dua orang pelayan wanita yang memijit-mijit punggungnya akan tetapi segera disuruh berhenti ketika nyonya itu melihat masuknya Kong Hian dan Lu Sian.
"Ibu....!" Pemuda itu tanpa memberi hormat lagi merangkul pundak ibunya dengan sikap manja sekali. "Inilah Nona Sian-li yang telah menyelamatkan nyawa puteramu." Serta-merta Pangeran itu menceritakan betapa di dalam rumah makan ia diserang mata-mata musuh akan tetapi diselamatkan oleh Sian-li (Dewi) yang perkasa ini.
"Nah, itulah jadinya kalau anak tidak mentaati nasihat orang tua." Sang ibu mengomel. "Kau senang sekali keluyuran di luar padahal kau tahu bahwa suasananya sedang tidak aman. Kekuasaan-kekuasaan sedang timbul di mana-mana untuk saling berlumba merebutkan kedudukan. Tentu saja seorang pangeran seperti engkau ini menjadi sasaran gemuk. Kong Hian, tanpa keluyuran di luar, kau di rumah kurang apa lagikah? Aahhh, dasar anak sukar diurus....!" Nyonya itu menarik napas panjang, kemudian menoleh kepada Lu Sian yang berdiri menundukkan muka.
"Nona, banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada puteraku. Alangkah akan tenang rasa hatiku kalau dia mempunyai seorang pelindung seperti engkau yang selalu mendampinginya! Agaknya Nona ini seperti Coa Kim Bwee, sayang dia itu menjadi ibu ke tujuh Kong Hian, kalau tidak...."
"Ibu, urusan dalam istana kausebut-sebut di depan Li-hiap, mana dia tahu? Sudahlah, harap ibu beristirahat, aku mau mengajak tamu kita melihat-lihat taman." Ibunya tersenyum dan mengedipkan mata, kemudian menggerakkan tangan memberi ijin mereka pergi meninggalkannya.
Sambil berjalan di samping Kong Hian memasuki taman belakang yang lebih besar dari pada taman di dalam tadi, diam-diam Lu Sian merasa heran atas sikap selir raja yang ke tiga itu. Begitu bebas, bahkan ada sifat-sifat genit dan agaknya senang melihat puteranya bergaul dengan wanita. Akan tetapi hanya sebentar saja ia memikirkan hal ini karena segera ia tertarik oleh keindahan taman, kehalusan tutur kata dan ketampanan wajah Kong Hian. Pemuda pangeran ini pintar sekali mengarang sajak dan mengucapkannya dengan kata-kata berirama sehingga Lu Sian makin tertarik dan teringat kepada Kwee Seng. Tanpa mereka sadari, percakapan menjadi lebih bebas dan kini mereka duduk berhadapan di antara bunga-bunga, di dekat pintu bulan sambil menikmati keindahan tubuh ikan-ikan emas yang berenang di dalam empang teratai.
"Sian-li..." Lu Sian memandang dengan alis terangkat. Suara pemuda ini menggetar dan baru sekarang menyebutnya Sian-li begitu saja sedangkan tadinya menyebut Li-hiap atau kadang-kadang juga nona. Geli hatinya mendengar sebutan Dewi ini, akan tetapi juga senang. Lebih baik Sian-li (Dewi) daripada disebut Tok-siauw-kwi (Setan Cilik Beracun)! "Hemmm...?" gumamnya sambil mengerling tajam.
Dengan gagap pangeran muda itu berkata. "Aku... aku akan merasa bahagia sekali kalau ucapan ibuku tadi menjadi kenyataan."
"Ucapan yang bagaimana?" "Kalau kau menjadi pelindung yang selalu mendampingiku!" Kong Hian menatap tajam dan melihat Lu Sian tersenyum, sama sekali tidak marah, ia lalu memegang tangan wanita itu. Jari-jari tangan mereka yang mengeluarkan getaran dan saling cengkeram menjadi bukti bahwa hati masing-masing telah menjawab
Akan tetapi dengan halus dan perlahan Lu Sian menarik tangannya, tersenyum lebar dan berkata, "Apa salahnya? Akan tetapi sebagai calon pelindung, aku harus tahu lebih dulu mengapa kau perlu dilindungi dan siapakah para penyerangmu tadi, lalu apa syaratnya jika aku menjadi pelindungmu?"
Girang sekali wajah pangeran muda itu karena ia mendapat tanda bahwa wanita ini tidak akan menolaknya! Cepat ia bercerita, "Empat orang itu adalah orang-orang yang bergabung dengan pemberontak, mereka itu bekas anak buah Jenderal Kam Si Ek yang sudah meletakkan jabatan."
Tentu saja disebutnya nama suaminya ini membuat Lu Sian terkejut, akan tetapi ia dapat menguasai perasaannya dan bertanya, "Mengapa meletakkan jabatan dan mengapa pula mereka memberontak?"
"Setelah Kerajaan Hou-han didirikan, Jenderal Kam Si EK menentang karena hal itu ia anggap pengkhianatan terhadap kesetiaan kepada Dinasti Tang yang sudah roboh. Dia masih baik, hanya meletakkan jabatannya dan hidup mengundurkan diri ke dusun. Akan tetapi banyak di antara anak buahnya bersekutu dengan tokoh Tang, yaitu bekas Raja Muda Couw Pa Ong untuk memberontak dan selalu berusaha meruntuhkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah bangun, dengan jalan membunuhi para bangsawan dan keluarga raja."
Diam-diam Lu Sian terkejut. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong tentu saja sudah dikenalnya baik-baik, sungguhpun kini ia tidak gentar mendengar nama itu karena ilmu kepandaiannya sudah meningkat hebat, sehingga tidak perlu lagi takut menghadapi orang-orang pandai seperti Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin yang lumpuh itu. Melihat Lu Sian tidak terkejut disebutnya tokoh sakti ini, Kong Hian bertanya.
"Apakah Sian-li belum mendengar nama Couw Pa Ong?" Lu Sian mengangguk. "Kakek tua bangka lumpuh itu tentu saja pernah aku mendengar namanya, bahkan pernah bertemu dengannya."
Kagetlah hati Pangeran. "Dan kau tidak gentar menghadapinya?" "Ah, kakek seperti itu, hanya patut menakut-nakuti anak kecil."
Kong Hian memandang kagum sungguhpun hatinya masih meragu apakah wanita cantik ini benar-benar akan sanggup menghadapi seorang sakti menakutkan seperti Couw Pa Ong.
"Kalau begitu benar-benar aku mendapat perlindungan dewi dari kahyangan!" ia berseru girang.
"Kongcu, tadi ibumu menyebut-nyebut nama Coa Kim Bwee yang menjadi ibu ke tujuh darimu, siapakah dia dan mengapa ibumu membandingkan dia dengan aku?"
"Ah, dia itu selir ke tujuh dari Sri Baginda, maka terhitung ibu ke tujuh dariku. Dia masih amat muda, akan tetapi di antara semua penghuni istana, dialah paling lihai ilmu silatnya. Dia itu dahulu puteri seorang jenderal yang berguru kepada orang-orang pandai. Memang dia hebat... eh, betapapun juga dibandingkan denganmu, dia bukan apa-apa!"
Lu Sian tersenyum lagi dan memainkan biji matanya. "Kau belum tahu sampai di mana kepandaianku, bagaimana bisa menyatakan begitu? Agaknya Coa Kim Bwee itu amat lihai dan kau mengenal baik ibu tirimu itu!"
Wajah Pangeran ini mendadak menjadi merah sekali dan mata tajam Lu Sian dapat menduga bahwa di antara pemuda tampan dan selir ayahnya tentulah ada hubungan mesra. Sudah banyak ia mendengar tentang selir-selir raja yang masih muda mengadakan hubungan dengan putera-putera raja yang muda dan tampan. Akan tetapi ia tidak peduli akan hal ini karena sepanjang pengalamannya, tak pernah ia mendapatkan seorang pun laki-laki yang benar-benar hanya mencinta seorang wanita dan benar-benar "setia" seperti yang seringkali terdengung dari mulutnya.
"Lie-kongcu, sekarang apakah syarat-syaratnya kalau aku menjadi pengawal pribadimu?"
"Syaratnya? Eh... syaratnya tentu saja kau tidak boleh berpisah dari sampingku, siang.. malam... jadi... eh, kau selalu mendampingiku dan kalau kau suka menerimanya, aku... aku akan berterima kasih sekali. Biar aku berlutut di depanmu....!" Pangeran muda yang sudah tergila-gila oleh kecantikan Lu Sian itu benar-benar hendak berlutut!
Dengan halus Lu Sian menyentuh pundaknya, melarangnya berlutut. "Nanti dulu, Kongcu. Kau mempunyai syarat, aku pun mempunyai permintaan sebagai syarat. Pertama, aku harus mendapat kebebasan bergerak di dalam istana ini, kecuali tempat tinggal Raja tentu saja." "Baik, baik, hal itu dapat dilaksanakan."
"Ke dua, di luar kehendakku, orang lain tidak boleh bertanya-tanya tentang diriku, dan ke tiga, segala permintaanku harus kauturuti, juga setiap saat aku meninggalkan tempat ini, tak boleh ada yang menghalangiku."
"Baik, baik, asal Sian-li suka menjadi pelindungku, pengawal pribadiku yang tak pernah meninggalkanku siang malam..."
"Dan tentang berlutut itu, nanti malam saja boleh kau berlutut sepuas hatimu!"
Mendengar ini, Si Pangeran Muda menjadi girang dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu bangkit dan merangkul leher Lu Sian yang mandah saja terbuai dalam belaian Si Pangeran Muda yang muda dan tampan. Bahkan dengan halus ia berbisik. "Senja telah lewat, di sini sudah mulai gelap dan dingin, lebih baik kita masuk saja."
Menghadapi rayuan seorang wanita yang berpengalaman seperti Lu Sian Pangeran muda itu bertekuk lutut dan benar-benar jatuh. Sampai-sampai di dalam kamar Pangeran yang mewah dan bersih itu ketika mereka makan minum menghadapi meja, Si Pangeran menuruti segala perintah Lu Sian biarpun ia disuruh minum arak dari sepatu Lu Sian yang dijadikan cawan! Disuruh berlutut, disuruh mengembalikan perhiasan apa saja yang dikehendaki Lu Sian. Memang tidak ada kegelian yang lebih menggelikan dapat menghinggapi seorang pria daripada kalau ia sudah tergila-gila kepada seorang wanita!
Dua hari dua malam Lu Sian dan Pangeran Lie Kong Hian tak pernah meninggalkan kamar, tenggelam ke dalam permainan nafsu. Pada pagi hari ke tiga, ketika Lu Sian terbangun dari tidurnya, pangeran itu sudah tidak berada di dalam kamar. Ia bangkit dan dengan malas-malasan Lu Sian duduk menghadapi cermin yang besar, mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang dilepas sanggulnya dan terurai panjang sampai ke pinggul. Rambutnya hitam halus, berombak dan berbau harum. Sambil tersenyum-senyum puas dan girang karena kini ia merasai kenikmatan hidup seperti seorang puteri istana, tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia bangkit dan mengintai dari balik pintu kamar.
Kagetlah hatinya ketika ia melihat Pangeran Lie Kong Hie berdiri dengan muka pucat dengan kedua lengan terpentang, sedangkan di depannya berdiri seorang wanita muda yang cantik bersikap galak, membawa pedang di tangan dan di belakangnya terdapat seorang gadis lain berpakaian pelayan, juga membawa pedang telanjang! Lu Sian cepat meraba kantung jarumnya, sambil mengintai ia bersiap dengan jarum-jarum merahnya. Ia tidak segera turun tangan karena hendak melihat dan mendengar dulu apa yang terjadi. Kalau gadis cantik itu hendak membunuh Kong Hian, tentu ia akan mendahuluinya dengan jarum-jarum yang tak pernah meleset!
"Kau bersekongkol dengan pemberontak!" Si Gadis membentak dengan suara yang yaring sedangkan matanya memancarkan sinar berapi, "Hayo, serahkan dia kepadaku, ataukah kau benar-benar hendak membelanya karena ia kabarnya cantik jelita? Mata keranjang! Kau rela bersekongkol dengan pemberontak hanya karena dia cantik?"
"Tidak... tidak... Kim Bwee... eh, ibu... dia bukan pemberontak. Dia... dia pengawal pribadiku, dan malah menolongku daripada serangan kaum pemberontak!"
"Tapi dia Tok-siauw-kwi...!" "Orang-orang jahat menamakan dia begitu akan tetapi dia seorang Dewi! Dia bukan pemberontak. Kim... eh, ibu... harap suka bersabar dan jangan menuruti hati cemburu..."
"Siapa cemburu?? Biar engkau kumpulkan... eh, seribu orang perempuan lacur, aku tidak peduli! Akan tetapi sekali engkau bersekongkol dengan pemberontak, pedangku sendiri yang akan menembus dadamu...!" Wanita itu mengancam dan menodongkan pedangnya ke depan dada Lie Kong Hian. Sedangkan pelayan yang juga berpedang itu sudah bergerak mengurung.
"Chit-moi (Adik ke Tujuh)... tahan pedangmu...!" Tiba-tiba terdengar jerit tertahan dan selir raja ke tiga, ibu Lie Kong Hian sudah datang berlari-lari dan memeluk puteranya, kemudian menghadang di depan puteranya memandang kepada wanita berpedang itu.
"Chit-moi, jangan engkau main-main dengan senjata tajam! Mengapa kau bersikap begini?"
"Sam-cici (Kakak ke Tiga), puteramu yang bagus ini bersekongkol dan menyembunyikan seorang perempuan pemberontak dalam kamarnya. Bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Bukankah hadirnya seorang pemberontak, betapa cantiknya pun, berarti membahayakan kita semua, terutama Sri Baginda?"
"Tenanglah, Chit-moi. Memang betul ada datang seorang wanita yang telah menolong nyawa Hian-ji (Anak Hian) ketika ia diserang pemberontak. Tentu saja kami percaya kepada penolong itu dan hatiku malah lega ketika mendengar bahwa ia suka menjadi pengawal pribadi anakku. Kalau ia pemberontak, mengapa ia menolong Anakku? Dan andaikata ia pemberontak sekalipun, hal itu bukanlah salahnya Anakku, melainkan dia yang menyelundup dengan tindakan palsu. Mengapa kau tidak menyelidikinya lebih dulu sebelum bertindak terhadap puteraku?"
"Memang aku akan menyelidikinya! Dia Tok-siauw-kwi, berarti dia pemberontak. Dia di kamarmu bukan?" Pertanyaan ini ditujukan kepada Kong Hian yang menjadi merah sekali wajahnya, dan mengangguk.
Wanita berpedang yang cantik dan galak ini memang Coa Kim Bwee, selir ke tujuh Sri Baginda. Memang mudah diduga bahwa selain berkepandaian tinggi, Coa Kim Bwee yang masih amat muda dan cantik itu tentu saja merasa tidak puas menjadi selir ke tujuh. Wataknya memang berandalan dan genit, dan Lie Kong Hian bukanlah satu-satunya "anak tiri" yang ia jadikan kekasihnya! Adapun tindakannya sekarang ini selain menaruh curiga, juga sebagian besar terdorong oleh rasa cemburu, mendengar bahwa seorang di antara kekasihnya yang paling ia sayangi ini mengeram seorang wanita cantik dari luar sampai dua hari dua malam!
Coa Kim Bwee bersuit dan muncullah lima orang wanita pelayan lain yang sudah siap memang, dengan pedang di tangan masing-masing. Kini enam orang pelayan wanita itu mengikuti Coa Kim Bwee melangkah perlahan menuju ke kamar Pangeran Lie Kong Hian!
Setelah mendengar dan melihat semua yang terjadi di luar, Lu Sian tersenyum. Ia sudah senang tinggal di istana pangeran ini dan memang ia mulai bosan dengan perantauan yang kadang-kadang amat sengsara. Kalau ia turun tangan membunuh Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya, tentu ia tak mungkin dapat tinggal dalam istana lebih lama lagi. Coa Kim Bwee adalah selir terkasih dari Raja tentu kematiannya akan menimbulkan geger. Dan melihat betapa Coa Kim Bwee agaknya berpengaruh dan dapat bertindak sesukanya di istana, ia rasa lebih baik wanita ini ia dekati dan untuk dapat melaksanakan niat ini, ia harus mampu menaklukkan wanita ini yang melihat dari langkahnya memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Maka melihat Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya yang semua memegang pedang telanjang itu menuju ke kamarnya, ia cepat duduk kembali di depan cermin dan menyisir rambutnya dengan sikap tenang.
Coa Kim Bwee muncul di sebelah belakangnya. Mereka bertemu pandang melalui cermin dan tanpa menyembunyikan rasa kagumnya melihat wajah cantik terhias rambut hitam panjang itu, Coa Kim Bwee memandang lalu membentak.
"Apakah engkau Tok-siauw-kwi?" Bentakannya mengandung keraguan karena ia benar-benar tidak mengira akan menemui seorang wanita yang demikian cantik jelita, lagi masih muda. Sepanjang pendengarannya, Tok-siauw-kwi tentu telah berusia empat puluh tahun, karena ketika Tok-siauw-kwi masih menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, dia sendiri baru berusia sepuluh tahun! Karena inilah ia ragu-ragu dan bertanya.
Tanpa menoleh, Lu Sian menjawab melalui cermin. "Kalau betul, mengapa? Mau apakah engkau datang bersama enam orang pembantumu dengan pedang di tangan?"
Kembali Coa Kim Bwee tertegun. Sikap wanita ini demikian tenang dan manis, namun sinar mata melalui cermin itu membuat tengkuknya berdiri. Banyak sudah Coa Kim Bwee menghadapi lawan tangguh, namun belum pernah ia merasa jerih seperti pada saat ini. Akan tetapi ia memberanikan hati dan membentak lagi.
"Aku datang untuk menangkapmu. Menyerahlah baik-baik sebelum pedang kami memaksamu!"
Lu Sian tersenyum makin lebar. Giginya berkilat putih. "Adik yang manis, kalau ada urusan yang hendak dibicarakan, mengapa tidak masuk sendiri dan bicara baik-baik tanpa diganggu enam orang pelayanmu yang menjemukan?"
Coa Kim Bwee marah. Ia memberi isyarat dengan pedangnya kepada enam orang pembantunya sambil berkata, "Tangkap dia!"
Juga enam orang pelayan itu marah karena dikatakan menjemukan dan sama sekali tidak dipandang mata oleh wanita berambut panjang itu. Mereka berenam adalah pelayan perempuan yang bertugas sebagai pengawal, memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi. Biasanya, penjahat pria saja mereka masih mampu menghadapi dan mengalahkan, apalagi hanya seorang perempuan tak bersenjata yang sedang bersisir rambut? Mereka bahkan merasa malu untuk mengeroyok, akan tetapi karena telah menerima perintah, mereka tidak berani membantah. Coa Kim Bwee melangkah msuk dan berdiri di pinggir untuk memberi jalan kepada mereka. Enam orang pelayan itu segera melangkah masuk menghampiri Lu Sian dari belakang dengan sikap mengancam. Akan tetapi Lu Sian tetap tidak menoleh, hanya menatap mereka dengan pandang mata tajam melalui cermin di depannya.
"Serbu!" seorang di antara mereka memberi komando dan dengan bermacam gerakan menyerbulah keenam orang pelayan itu ke depan. Lu Sian menggerakkan kepala sambil memutar tubuh. Rambutnya yang panjang itu bagaikan cambuk yang banyak sekali menyambar ke depan menggulung keenam orang penyerangnya dan terdengar ia berseru.
"Pergi kalian, tikus-tikus busuk!" Hebat bukan main. Enam orang pelayan itu sama sekali tidak berdaya karena dalam sedetik saja tubuh mereka, terutama tangan dan kaki, telah terbelit rambut dan tiba-tiba bentakan itu ditutup dengan gerakan kepala. Akibatnya, enam orang pelayan itu terlempar keluar pintu bagaikan daun-daun kering terhembus angin keras. Mereka menjerit-jerit dan jatuh tunggang-langgang di luar kamar, babak-bundas dan ada yang terluka oleh senjata pedang mereka sendiri!
"Nah, Adik yang manis. Tutuplah daun pintu dan mari kita bicara baik-baik tanpa gangguan orang lain." Kata Lu Sian sambil tetap tersenyum dan menyibakkan rambutnya yang menutupi sebagian mukanya.
Coa Kim Bwee berdiri melongo. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan kepandaian seperti ini. Ia kagum dan gentar. Kagum menyaksikan betapa seorang bertangan kosong masih enak-enak duduk, dapat menghalau keluar enam orang penyerangnya hanya mengandalkan rambut yang panjang dan harum! Pula, bau harum yang merangsang keluar dari tubuh Lu Sian membuat ia makin kagum. Hebat wanita ini, pikirnya, dan patut ia jadikan guru! Ketika melihat enam orang pembantunya itu merangkak bangun memungut pedang dan melongok ke dalam, ia memberi perintah singkat menyuruh mereka mundur! Kemudian ia menutup daun pintu dan melangkah dekat, pedangnya masih di tangan.
"Engkau hebat! Ilmu siluman apakah yang kaugunakan? Akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut..."
"Adik yang manis, ilmu lwee-kang begitu saja kauherankan? Mari, mari kita main-main sebentar agar kau tidak menyangka aku seorang siluman. Akan kuhadapi pedangmu dengan duduk saja, hanya kugunakan rambutku, bagaimana?"
"Hemm, kau mencari mampus. Jangan samakan aku dengan pelayan-pelayanku yang lemah!"
"Kalau aku kalah dan tewas di ujung pedangmu, aku takkan mengeluh karena hal itu menandakan bahwa kepandaianku masih rendah. Akan tetapi, kalau kau yang kalah bagaimana?"
Coa Kim Bwee bukan seorang bodoh. Tidak, ia bahkan cerdik sekali. Dia dahulu adalah puteri seorang jenderal, yaitu Jenderal Coa Leng yang bertugas di Shan-si, tangan kanan Gubernur Li Ko Yung. Akan tetapi semenjak kecil Coa Kim Bwee mempunyai pula dua kesukaan, yaitu mengumbar nafsu mencari menang sendiri dan mengejar ilmu silat. Banyak orang pandai menjadi gurunya, dan karena memang ia berwajah cantik jelita, banyaklah pemuda tergila-gila kepadanya. Sebagai puteri tunggal yang amat dimanjakan, Kim Bwee wataknya makin menjadi-jadi, bahkan ia berani mulai bermain gila denga pemuda-pemuda tampan. Ketika terjadi perang, ayahnya tewas dalam perang dan begitu Kerajaan Hou-han bangkit, Kim Bwee yang terkenal cantik dan pandai mengambil hati itu dipilih menjadi selir ke tujuh oleh Raja Hou-han! Di dalam istana inilah terkabul semua nafsunya, karena selain kedudukannya yang tinggi sebagai selir raja, juga kepandaian silatnya yang lihai membuat ia sebentar saja menjadi orang paling berpengaruh. Di samping ini nafsunya yang buruk membuat ia makin binal dan cabul dan mulailah ia di belakang punggung suaminya, Sang Raja, bermain gila dengan para pangeran dan pengawal yang tampan!
Kini, bertemu dengan Lu Sian ia merasa kagum dan juga penasaran. Diam-diam ia berpikir bahwa kepandaiannya yang sudah tinggi ini, apalagi ilmu pedangnya, kalau sampai kalah oleh wanita yang melawannya sambil duduk dan hanya mempergunakan rambut, benar-benar hebat! Kalau benar ia kalah, jalan paling baik adalah menarik wanita cantik ini sebagai sahabat, bahkan kalau mungkin sebagai guru. Maka tanpa bersangsi lagi ia berkata.
"Kalau pedangku ini kalah menghadapi rambutmu, biarlah aku mengangkatmu menjadi guruku!"
Lu Sian tertawa. Bagus, pikirnya. Wanita ini agaknya mempunyai pengaruh yang besar di istana, kalau menjadi gurunya, berarti kedudukannya akan tetap menyenangkan. Selain itu, sebagai guru ia dapat melarang wanita selir raja ini memberitakan di luar bahwa dia adalah Nyonya Jenderal Kam Si Ek.
"Baik, nah, kaumulailah!" katanya tenang sambil duduk menghadapi lawannya dengan rambut panjang tergantung di kanan kiri.
Coa Kim Bwee tidak mau sungkan-sungkan lagi karena maklum bahwa wanita di depannya ini memang memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia menang dan pedangnya membunuh wanita ini, berarti ia menyingkirkan seorang "saingan" berat, sebaliknya kalau benar-benar ia kalah, ia akan mengambil hati wanita ini untuk mendapatkan pelajaran ilmunya.
"Lihat pedang!" bentaknya nyaring dan ketika tubuhnya bergerak didahului sinar pedangnya berkelebat, terdengar suara berdesing tanda bahwa gerakannya cepat sekali dan tenaga yang menggerakkan pedang memiliki sin-kang cukup kuat. Lu Sian memandang rendah kepada lawannya, namun menyaksikan kecepatan gerakan ini, timbul niatnya mencoba sampai di mana kekuatan Si Wanita Cantik, maka ia menggerakkan kepalanya sedikit dan "werrrr!" segumpal rambut panjang menyambar ke depan. Hebat memang tingkat kepandaian Lu Sian sekarang. Setelah ia melatih diri dengan tekun, menurut isi kitab-kitab yang dicurinya, selain kepandaiannya meningkat tinggi juga tenaga sin-kangnya menjadi hebat luar biasa. Rambut yang lemas dan halus itu sekali digerakkan dapat menjadi benda keras seperti kawat-kawat baha dan kini rambut segumpal itu telah menangkis pedang Coa Kim Bwee dan ujung rambut melibat pedang. Berbahaya sekali perbuatan ini. Betapa pun tinggi kepandaian dan betapa pun kuat sin-kangnya, namun rambut tetap merupakan benda yang lemah, hanya menjadi kuat oleh gerakan beberapa detik. Mungkin cukup kuat untuk melibat benda tumpul dan merupakan pengikat yang ampuh, akan tetapi menghadapi mata pedang yang amat tajam, sungguh sebuah permainan yang banyak resikonya.
Coa Kim Bwee melihat betap pedangnya tertangkis sehingga tangannya gemetar tadi, kaget sekali. Terutama setelah ia merasa pedangnya terlibat dan tak dapat ditarik kembali. Cepat ia mengerahkan lwee-kangnya dan berseru keras sambil mendorong pedang dengan mata pedang ke depan. Mereka bersitegang sebentar, dan tiba-tiba Lu Sian melepaskan libatan rambutnya. Coa Kim Bwee terhuyung ke pinggir terdorong oleh tenaganya sendiri, akan tetapi belasan helai rambut rontok karena putus terbabat mata pedang yang tajam!
"Boleh juga kau!" Lu Sian berkata sambil tertawa, tetap duduk tenang dan rambutnya sudah tergantung kembali ke depan dadanya.
Coa Kim Bwee penasaran. Tentu saja ia tidak merasa puas melihat hasil gebrakan pertama tadi, hanya beberapa helai rambut yang terbabat putus, sedangkan dia sendiri terhuyung-huyung. Kalau dinilai, malah dia yang berada di bawah angin, maka seruan Lu Sian tadi di anggap sebagai ejekan yang membuat pipinya berubah merah karena marah.
"Aku masih belum kalah!" bentaknya dan kembali ia menerjang maju, kini ia memutar pedangnya cepat sekali untuk mencegah libatan rambut lawannya. Kelihatannya Lu Sian diam saja, akan tetapi ketika pedang menyambar ke arah lehernya, tubuh Lu Sian yang duduk di atas bangku pendek itu seperti hendak roboh ke kiri sehingga pedang lewat di pinggir tubuhnya dan pada saat itu juga kaki kanannya menyambar bagaikan kilat cepatnya ke arah pusar Coa Kim Bwee. Hebat sekali serangan balasan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini, namun hebat pula reaksi selir raja itu. Untung bahwa ia tidak memandang rendah kepada Lu Sian, bahkan sudah merasa yakin bahwa wanita cantik ini memang berilmu tiggi sehingga dalam penyerangannya yang kedua ini ia tidak membuta, tidak hanya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada penyerangan, melainkan membagi perhatian untuk menjaga diri dengan memperhatikan gerakan lawan.
Maka begitu melihat berkelebatnya kaki dari bawah mengancam perutnya, Kim Bwee cepat kembali pedangnya yang gagal, memutar pedang itu ke bawah membabat kaki sambil melompat ke kanan belakang. Tendangan gagal, namun penyerangan Kim Bwee juga gagal. Mereka kini saling pandang tanpa bergerak, berpisah dua meter lebih, seorang berdiri dengan pasangan kuda-kuda, tangan kiri ditekuk di depan dada, tangan kanan memegang pedang di atas kepala, sedangkan yang seorang lagi duduk enak-enak, kaki kanan bertumpang ke atas kaki kiri, tangan kiri mengelus rambut dan tangan kanan menggaruk-garuk belakang telinga. Lu Sian kelihatan enak-enak saja menghadapi pasangan kuda-kuda lawan yang siap menyerang lagi.
"Awas, Adik manis, sekali ini kau akan jatuh!" kata Lu Sian dengan suara perlahan, pandang mata berseri dan mulut tersenyum. Ia diam-diam merasa girang bahwa ia telah menciptakan ilmu berkelahi mempergunakan rambutnya ini, karena melihat gerakan-gerakannya tadi, selir raja ini sudah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi sehingga untuk merobohkannya tentu memerlukan waktu yang agak lama. Namun dengan ilmunya mempergunakan rambut sebagai senjata, ia sudah dapat memastikan bahwa ia akan dapat menjatuhkannya, karena sebagai seorang ahli, ia dapat melihat kelemahan dalam gerakan pedang Kim Bwee.
Diejek demikian, makin panas hati Kim Bwee. Matanya memancarkan sinar bengis dan liar, bibirnya bergerak-gerak, cuping hidungnya berkembang-kempis dan tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan pedangnya diputar seperti kitiran angin di depan dada! Hebat penyerangan ini, karena gulungan sinar pedang tidak memberi kesempatan kepada rambut Lu Sian untuk melibat pedang, sedangkan tubuh Kim Bwee seakan-akan terlindung dari atas ke bawah, tak mungkin diserang seperti tadi.