Monday 22 April 2013

1.9 Bu Kek Siansu

Kakek itu biarpun sudah tua, masih kelihatan sehat dan kuat, jenggot dan kumisnya yang putih menambah keangkeran wajahnya.Di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan dia memandang ketua Bu-tong-pai dengan sinar mata penuh selidik. Orang ke dua masih mu-da, paling banyak tiga puluh tahun usianya, bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek dan laiki-laki ini dan memang mereka itu adalah ayah dan anak yang terkenal sekali namanya sebagai pendekar-pendekar dari dusun Koan-teng yang menjadi sahabat-sahabat baik dari para tosu Bu-tong-pai. Kakek Coa Hok memiliki ilmu pedang turunan keluarga Coa yang amat lihai dan ilmu pedang ini diturunkan pula kepada puteranya itu yang bernama Coa Khi. Ketika ayah dan anak ini mendengar akan malapetaka yang menimpa para pemimpin Bu-tong-pai, yaitu munculnya orang termuda dari Cap-sha Sinhiap, seorang wanita yang merampas kedudukan ketua , kemudian mendengar betapa banyak sahabat - sahabat kang-ouw yang membela mereka telah roboh di tangan wanita itu, mereka berdua menjadi marah sekali.

Sebagai orang-orang yang biasa menentang kejahatan mereka tidak mempedulikan berita tentang kesaktian wanita itu dan berangkatlah mereka mening-galkan rumah, berbekal pedang, semangat dan kebenaran, naik ke Bu-tong-san menjumpai ketua Bu-tong-pai itu. The Kwat Lin bukan seorang bodoh. Setiap kali ada tokoh naik ke Bu-tong-san dan hendak menantangnya, dia selalu membujuk mereka untuk berdamai dan bekerja sama. Selama cita-citanya belum tercapai, dia membutuhkan bantuan sebanyak mungkin orang pandai. Maka setiap kali ada orang gagah datang dengan maksud menantangnya dan membela para bekas pimpinan Bu-tong-pai, dia selalu menyambut mereka dengan bujukan manis. Hanya karena bujukannya tidak berhasil dan mereka itu berkeras, terpaksa dia turun tangan menerima tantangan mereka. Memang demikianlah sifat orang-orang yang mempunyai cita-cita besar, cita-cita yang sesungguhnya hanyalah nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi. Demi tercapainya cita-cita yang merupakan pamrih bagi diri peribadi ini, orang tidak segan untuk bersikap palsu, membujuk orang sebanyaknya untuk membantunya demi tercapainya cita-cita itu. Orang-orang yang tidak membantu di anggap musuh dan perlu dibasmi agar jangan menjadi penghalang cita-citanya, sebaiknya, mereka yang mati-matian membantunya, jika cita-cita itu sudah tercapai sebagian besar dilupakannya begitu saja! Atau kalau teringat pun, hanya diberi pahala sekedarnya karena yang penting bukan orang-orang yang membantunya, melainkan dirinya sendiri!

Begitu berhadapan dengan ayah dan anak itu, The Kwat Lin mengangkat kedua tangan-nya ke depan dada sambil berkata. "Kiranya Ji-wi Coa-enghiong (Kedua Pendekar she Coa) yang datang. Suadh lama kami mendengar Ji-wi yang terkenal gagah perkasa, maka kami merasa beruntung sekali hari ini dapat bertemu. Apalagi mendengar bahwa Ji-wi adalah sahabat baik dari Bu-tiong-pai....."

"The Kwat Lin!" Kakek Coa membentak dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka ketua baru Bu-tongpai itu. "Aku mengenalmu sebagai seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang gagah perkasa, sebagai seorang murid Bu-tong-pai yang selalu menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku telah puluhan tahun bersahabat dengan Bu-tong-pai dan telah mendengar akan namamu. Akan tetapi, mengapa setelah menghilang bertahu-tahun, engkau kembali ke sini dan menjadi seorang murid murtad, merampas kedudukan ketua mengandalkan kekerasan dan kepandaian? Aku sebagai seorang sahabat Bu-tong-pai tentu saja tidak mungkin dapat mendiamkan hal penasaran ini tanpa turun tangan!"

Kwat Lin tersenyum manis dan melirik ke arah Soa Khi yang berwajah tampan, akan tetapi Coa Khi mengerutkan alis dan memandang penuh kemarahan. "Coa-lo-enghiong agaknya kena dibujuk orang! Memang benar saya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi hal itu adalah demi kebaikan Bu-tong-pai, demi cinta saya kepada Bu-tong-pai. Saya ingin menjadikan Butong- pai perkumpulah terbesar dan terkuat di dunia kang-ouw, dan saya ingin menarik semua orang gagah menjadi sahabat yang dapat bekerja sama. Karena itu, saya harap Ji-wi dapat membuka mata melihat kenyataan dan saya persilahkan Ji-wi untuk datang seba-gai sahabat dan untuk minum arak persahabatan bersama kami."

"Perempuan murtad! Jangan mengira dapat menyogok kami dengan omongan manis!" Kakek itu membentak marah.

Kedua alis yang hitam kecil dan panjang itu bergerak-gerak dan biarpun mulut yang berbibir itu masih tersenyum, namun kata-kata yang keluar mengandung nada dingin, "Habis apa yang kalian akan lakukan?" "Sing! Singggg!!" Ayah dan anak itu telah mencabut pedang dan kakek Coa berkata,

"Hanya ada dua pilihan bagi engkau dan kami. Pertama engkau pergi meninggalkan Bu-tong-pai dan kami akan berterima kasih kepadamu yang mengembalikan Bu-tong-pai, kepada para pimpinan Bu-tong-pai, atau kalau engkau berkeras terpaksa kami ayah dan anak turun tangan menggunakan pedang membela kehormatan sahabatsahabat dari Bu-tong-pai!"


"Hi-hik! Betapa gagahnya keluarga Coa! Apakah ilmu Pedang Hok-liong-kiamsut sehebat sikap mereka, perlu ditonton dulu!" Tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan merdu ini. Semua orang menengok, juga The Kwat Lin yang menjadi terkejut melihat ada orang datang tanpa diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa wanita yang muncul ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ayah dan anak itu mendengar nama ilmu pedang turunan mere-ka disebut-sebut, juga menengok dengan kaget.

Wanita itu pakaiannya mentereng dan biarpun usianya sudah kurang lebih setengah abad, namun harus diakui bahwa dia adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam gemuk dan panjang, dibiarkan terurai sampai kepinggulnya yang menonjol di balik celana yang ketat. Tangan kanannya memanggul sebatang payung hitam dan wanita itu tahu-tahu telah berdiri di situ dengan gaya lemah lembut. Dia seorang wanita yang masih kelihatan cantik dengan tubuh padat akan tetapi ada sesuatu yang dingin mengerikan keluar dari sikapnya, terutama sekali sepasang matanya yang amat tajam itu karena mata itu terbelalak memandang hampir tak pernah berkejap! Melihat wanita ini, kakek Coa terkejut bukan main dan otomatis dia berseru keras.

"Kiam-mo Cai-li....!!" Puteranya, Coa Khi terkejut. Tentu saja dia sudah pernah mende-ngar nama ini, nama seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal sebagai seorang iblis beti-na yang selain kejam dan ganas, juga amat tinggi ilmu kepandaiannya. Kakek Coa merasa heran sekali mengapa iblis betina yang sudah bertahun-tahun tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan kabarnya hanya bertapa di tempat kediamannya, yaitu di Rawa Bangkai di kaki Penggunungan Lu-liang-san itu tahu-tahu kini muncul di situ. Dan biasanya, di mana pun iblis itu muncul, tentu akan terjadi malapetaka hebat! The Kwat Lin juga sudah mendengar nama itu, yaitu sepuluh tahun yang lalu ketika dia masih menjadi seorang di antara Cap-sha Sin-hiap. Ketika itu, nama Kiam-mo Cai-li (Wanita Cerdik Berpedang Payung) sudah amat terkenal. Akan tetapi dia belum pernah bertemu dengan iblis betina itu dan sekarang dia melirik ke arah wanita itu dengan senyum mengejek. Dengan kepandaiannya seperti sekarang ini, dia tidak perlu takut menghadapi iblis yang manapun juga!

"Kiam-mo Cai-li, apakah kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak menantang aku sebagai ketua Butong- pai? Kalau memang demikian, jangan kepalang tanggung, majulah kau bersama kedua orang She Coa ini agar lebih cepat aku menghadapi kalian!" Ucapan yang keluar dengan tenangnya dari mulut ketua Bu-tong-pai itu mengejutkan hati kedua orang ayah dan anak She Coa itu. Berani bukan main wanita ini menantang Kiam-mo Cai-li seperti itu! Menyuruh datuk kaum sesat itu untuk mengeroyok! Akan tetapi Kiam-mo Cai-li tertawa lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi,

"Hi-hi-hik, hebat sekali mulut ketua baru Bu-tong-pai! Pantas kau disebut-sebut di du-nia kang-ouw, kiranya memang memilki keberanian yang hebat! Hanya karena mendengar engkau adalah Ratu Pulau Es maka aku terpaksa meninggalkan tempatku yang aman dan ten-teram. Kalau tidak karena nama ini, biar siapa pun yang akan menduduki Bu-tong-pai, aku peduli apa? Sekarang hendak kulihat bagaimana kau menghadapi pewaris-pewaris ilmu Pedang Hok-liong-kiamsut yang terkenal ini. Kalau kau memang berharga untuk melawanku, barulah kita nanti bicara lagi!"

The Kwat Lin tersenyum mengejek dan mendenguskan suara dari hidung. "Hemm, kau merasa terlalu tinggi untuk mengeroyok? Baiklah, kalau begitu tunggu saja sampai aku mem-bereskan dua oran ini. Di sini tidak ada bangku, duduklah di sini!" Setelah berkata demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon dan sekali tangan kirinya bergerak menyabet dengan telapak tangan miring, terdengar suara keras dan pohon itu tumbang. Hebatnya, batang pohon itu putus seperti dibabat pedang tajam saja, rata dan halus sehingga sisanya merupakan sebuah bangku!

"Hi-hi-hik, memang hebat sinkangmu! Terima kasih, aku menanti di sini," kata Kiam-mo Cai-li Liok Si dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas batang pohon yang merupakan bangku bermuka halus itu. Dia duduk bertumpang kaki dan menunjang dagu dengan sebelah tangan, seperti seorang yang akan menikmati suatu tontonan yang menarik. Ayah dan anak she Coa itu saling pandang. Di dalam pandang mata yang bertemu ini mereka seperti sudah saling bicara, menyatakan bahwa mereka menghadapi lawan yang amat lihai. Akan tetapi, jiwa pendekar kedua orang ini membuat mereka sama sekali tidak merasa gentar. Mereka bukan saja membela sahabat-sahabat mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh Bu-tong-pai, akan tetapi juga menuntut balas atas kematian dan kekalahan para tokoh kang-ouw yang datang lebih dulu dari mereka membela Butong- pai. Selain itu mereka sudah datang sebagai dua orang penuntut kebenaran, kalau sekarang mereka harus mundur melihat kehebatan lawan, hal ini akan membuat mereka menjadi pengecut dan bagi dua orang pendekar seperti mereka yang namanya sudah terkenal harum selama beberapa keturunan, lebih baik mati sebagai orang gagah dari pada hidup menjadi pengecut hina!

"Kalau begitu, The Kwat Lin, bersiaplah engkau!" teriak kakek Coa dan pedang di tangan kanannya sudah melintang di depan dada. Gerakan ini diturut oleh Coa Khi dan kedua orang itu berdiri berjajar dengan memasang kuda-kuda yang kuat. Kwat Lin menggerakan tangan kanannya dan tongkat pusaka ketua Bu-tong-pai yang selalu dipegangnya itu menan-cap di atas tanah di depannya. Tongkat itu baginya perlu untuk menghadapi orang-orang Butong- pai yang menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai benda keramat lambang kedudukan tertinggi di Bu-tong-pai. Kini, menghadapi dua orang luar, dia tidak mau mempergunakannya, dan juga untuk memamerkan kepandaiannya, dia sengaja hendak menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong! "Ceppp!" Tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah dan sekali Kwat Lin menggerakan ke dua kakinya, tubuhnya mencelat ke depan dua orang gagah se Coa itu sambil berkata,

"Mulailah!"

"Sing, sing.... wut-wut-wut-wutttt....!!" Bertubu-tubi kedua pedang itu menyambar dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat sehingga tampak sinar-sinar berkilauan dibarengi suara bersiutan ketika kedua pedang membelah udara. Diam-diam Kwat Lin terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan gerakan ilmu pedang mereka itu. Namun, tentu saja dengan latihan yang didapatnya dari Pulau Es, gerakanya lebih cepat lagi sehingga dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini menghindarkan diri dari sambaran sinar kedua pedang itu dengan gerakan yang cepat dan indah. Setelah merasa yakin bahwa betapapun indah dan lihainya ilmu pedang mereka namun dia masih memiliki tingkat jauh lebih tinggi dalam hal sinkang, Kwat Lin tersenyum dan bagaikan seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus, dia sengaja selalu mengelah ke sana ke mari memamerkan kegesitan tubuhnya, bukan hanya kepada dua orang itu melainkan terutama sekali kepada wanita yang dianggapnya merupakan calon lawan yang lebih lihai, yaitu Kiam-mo Cai-li yang menonton pertandingan itu.

Tiba-tiba Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan ketika lirikan matanya membuat dia maklum bahwa ada dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang mendekati tongkat pusaka itu dan berusaha mencabut tongkat pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali namun Kwat lin yang cerdik lebih cepat lagi mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah pengkhianat-pengkhianat yan berpura-pura takluk kepadanya namun diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu dengan maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tek Tojin! Pada saat itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari depan dan belakang dengan cepatnya. Kwat Lin tentu saja agak terlambat gerakanya oleh perhatian yang terpecah tadi, maka dia cepat menggulingkan tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan tusukan pedang dari belakang yang masih mengancam-nya di tangkisnya dengan lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang emas. "Cringggg....!!" Coa Khi terkejut bukan main ketika lengan yang memegang pedang itu tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua Bu-tong-pai itu! Ketika dia dan ayahnya memandang, ternyata wanita itu telah lenyap dan tahu-tahu terdengar jerit-jerit mengerikan dari kiri.

Ketika mereka memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang laki-laki yang tadi mencoba mencuri tongkat pusaka. Dua orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah disambar jari-jari tangan Kwat Lin yang marah. Setelah membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi dua orang lawannya. kini dialah yang menerjang, menyerang dengan kedua tangan terbuka, cepatnya bukan main sehingga ayah dan anak itu terpaksa mudur sambil melindungi tubuhnya dengan pedang. Seru dan indah dipan-dang pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap dan hanya kadang-kadang saja tampak, ber-gerak-gerak di antara gulungan dua sinar pedang. Dia seloah-olah seorang penari yang amat indah dan lemah gemulai gerakannya, seperti sedang bermain-main dengan gulungan sinar pedang yang dipandang sepintas lalu seperti dua helai selendang yang di mainkan oleh wanita itu.

Tiba-tiba kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi dan tampak mereka menerjang secara berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil meloncat. Inilah jurus paling ampuh dari ilmu pedang mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir dari Hokliong- kiam-sut (Ilmu Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak memungkinkan lawan yang diserangnya untuk mengelak lagi karena jalan keluar sudah tertutup dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu akan mengejarterus. Akan tetapi, sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama sekali tidak mengelak, bahkan menubruk ke depan, tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi yang me-loncat ke atas itu sudah dekat dan pedang pemuda itu sudah menyambar ke arah kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah, berjongkok dan kedua tangannya menyambar ke atas dan depan dengan jari-jari terbuka.

"Hyaaaaattt....!!" Pekik melengking yang keluar dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali dan kedua tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh itu telah me-nyambar perut kedua orang laawannya. "Plak! Plak!" Tamparan jari-jari tangan yang mengan-dung tenaga sinkang mujijat ini tepat mengenai perut Coa Khi yang sedang melayang di atas dan Coa Hok yang berada di depan. Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang me-ngerikan. Mereka merasa tubuh mereka dimasuki hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya dan robohlah ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka telah tewas dengan muka membiru karena darah mereka telah beku terkena pukulan yang mengandung Swat-im-sinkang hebat dari Pulau Es!

"Bagus sekali....!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas batang pohon dan berdiri berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai itu. Keduanya sama cantik dan sama mewah pakaiannya, dan sejenak mereka saling pandang seperti hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata. "Hebat kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau pantas menjadi lawanku bertanding, mari kita coba-coba, siapa diantara kita yang lebih lihai!"

The Kwat Lin mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kiam-mo Cai-li, diantara kita tidak pernah ada urusan sesuatu. Apakah engkau menantangku demi membela para tosu Bu-tong-pai yang sudah mengundurkan diri?"

"Hi-hi-hik!" Wanita yang sudah hampir nenek-nenek namun masih amat genit itu ter-kekeh. "Aku membela tosu Bu-tong-Pai? Jangan bicara ngaco! Bagi aku, siapa pun yang akan menjadi ketua Bu-tong-pai, masa bodoh! Akan tetapi mendengar bahwa yang mengetuai Bu-tong-pai disebut Ratu Pulau Es, hatiku tertarik dan sekarang melihat engkau benar-benar lihai, makin ingin hatiku menguji kelihaianmu dan bertanya apakah benar engkau Ratu Pulau Es?" Kwat Lin mengangguk. "Benar, aku adalah bekas Ratu Pulau Es! Kiam-mo Cai-li, kalau eng-kau tidak membela tosu-tosu Bu-tong-pai perlu apa kita bertanding? Ketahuilah, aku sedang membangun Bu-tongpai dan aku membutuhkan kerja sama dengan orang-orang pandai, ter-utama sekali engkau. Apakah seorang dengan kepandaian seperti engkau ini tidak pula mem-punyai cita-cita tinggi untuk mencapai matahari dan bulan? Ataukah hanya menanti kematian begitu saja, membusuk di tempat pertapaanmu di Rawa Bangkai?"

"Hi-hi-hik, aku sudah mendengar pula akan usahamu yan bercita-cita luhur! Karena itu pula aku tertarik dan datang ke sini. Akan tetapi sebelum kita bicara tentang kerja sama dan cita-cita, kita harus menentukan dulu siapa diantara kita yang patut memimpin dan siapa pula yang harus taat."

"Maksudmu?" The Kwat Lin memandang tajam dengan alis berkerut.

"Kita bekerja sama, itu pasti! Dan kalau kita berdua sudah bekerja sama, di tangan kita kaum wanita, tentu segalanya akan berhasil baik! Lihat saja keadaan di istana kerajaan. Seo-rang selir mampu mengemudikan seluruh kendali pemerintahan! Akan tetapi untuk menen-tukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya diantara kita, perlu diketahui sekarang juga." "Bagus! Dengan lain kata-kata engkau menantang untuk kita mengadu kepandaian, ya? Kiam-mo Cai-li, engkau seperti seekor katak dalam sumur! Majulah!" Kwat Lin membanting kakinya ke atas tanah dekat pusaka Bu-tong-pai dan.... tongkat yang menancap setengahnya lebih itu mencelat ke atas seperti didorong dari bawah tanah, lalu tongkat itu disambar dan dipegangnya.

Kiam-mo Cai-li menganguk-angguk. "Hebat memang sinkangmu, Pangcu. Akan tetapi jangan kau salah sangka. Sekali ini aku benar-benar menyadari bahwa usiaku sudah makin tua dan aku perlu memperoleh kedudukan yang akan menjamin masa tuaku sampai mati. Kita hanya mengukur kepandaian, bukan bertanding sebagai musuh, hanya untuk menentukan tingkat siapa yang lebih tinggi di antara kita berdua."

Mendengar kata-kata ini, berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat lagi dia bahwa betapapun juga, dia membutuhkan tenaga bantuan wanita iblis yang terkenal sebagai datuk kaum sesat ini. Kalau dia dapat menarik wanita ini sebagai pembantu, tentu akan banyak tokoh kaum sesat yang dapat ditariknya untuk membantu tercapainya cita-citanya.

"Baiklah kalau begitu, Kiam-mo Cai-li. Mari kita mulai!"

"Pangcu, awas serangan pedang payungku!" Kiam-mo Cai-li berseru dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, didahului oleh bayangan hitam dari pedang payungnya yang ter-buka dan menyembunyikan gerakannya. Ujung payung berbentuk pedang itu menusukkan payung itu sendiri berputar mengaburkan pandangan mata lawan. Namun, dengan tenang saja Kwat Lin menggerakan tangan kirinya, dengan telapak tangan terbuka dia mendorong ke de-pan sehingga hawa pukulan sinkang yang hebat menyambar dan membuat payung itu seperti tertiup angin keras dan menahan daya serang ujung payung yang seperti pedang, kemudian disusul dengan gerakan tongkat pusaka ditangan Kwat Lin menyambar dari samping dengan dahsyatnya.

"Plakk...! Cringggg-cring....!!" Tongkat itu ditangkis, pertama dengan kuku tangan Kiam-mo Cai-li yang hendak mencengkeram dan merampas tongkat, namun tongkat sudah ditarik kembali dan mengirim hantaman dua kali berturut-turut yang dapat ditangkis oleh pedang di ujung payung. Maklum akan kehebatan lawannya, Kiam-mo Cai-li bergerak cepat sekali dan dia sudah mainkan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Tiat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Payung Besi). Kalau saja kwat Lin belum mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi tingkatnya dari Pulau Es, tentu dia bukanlah lawan Kiam-mo Cai-li yang lihai sekali itu. Akan tetapi, karena The Kwat Lin kini telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, maka dia dapat mengimbangi permainan lawannya dan terjadilah pertandingan yang amat seru dan seimbang. Kiam-mo Cai-li memang luar biasa lihainya. Tidak percuma dia menjadi seorang datuk kaum sesat, seorang tokoh golongan hitam yang ditakuti seperti seorang iblis betina yang kejam dan berilmu tinggi. Tdak hanya ilmu pedangnya yang lain dari pada yang lain, permainan pedang yang gerakan tangannya terlindung dan tersembunyi oleh payung hitam sehingga lebih praktis dan berbahaya daripada menggunakan perisai, akan tetapi di samping ilmu pedangnya ini juga tangan kirinya merupakan senjata yang amat berbahaya dengan kuku-kukunya yang panjang dan mengandung racun. Ini semua masih dilengkapi lagi dengan rambutnya yang hitam pan-jang, karena rambutnya ini seperti ular-ular hidup, dapat dipergunakan untuk menotok, mele-cut, atau melibat! Akan tetapi, tidak percuma pula The Kwat Lin pernah menjadi isteri seo-rang manusia yang disohorkan seperti setengah dewa, yaitu Han Ti Ong yang sukar diukur lagi tingkat kepandaiannya. Tidak percuma selama sepuluh tahun bekas murid Bu-tong-pai ini digembleng di Pulau Es, apalagi telah mewarisi kitab-kitab pusaka Pulau Es yang telah dila-rikannya.

Yang jelas, dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang setinggkat dibandingkan dengan Kiam-mo Cai-li. Tenaga sinkangnya adalah hasil latihan di Pulau Es, maka dia telah dapat menyedot tenaga inti salju, yaitu Swat-im Sin-kang, tenaga sinkang yang mengandung hawa dingin sehingga lawan yang kurang kuat sekali bertemu tenaga akan menjadi beku darahnya. Selain menang dalam tenaga sinkang, juga dasar ilmu silatnya lebih sempurna daripada dasar ilmu silat Kiam-mo Cai-li yang sesungguhnya merupakan gabungan ilmu silat campur-aduk. Demikianlah, pertandingan itu berlangsung sampai seratus jurus lebih dengan amat serunya. Kiam-mo Cai-li menang keanehan senjatanya dan menang pengalaman bertan-ding akan tetapi kelebihannya ini menjadi tidak berarti karena dia kalah tenaga sinkang se-hingga setiap serangan dan desakannya membuyar oleh hawa sinkang dari dorongan telapak tangan The Kwat Lin. Akhirnya, iblis betina ini harus mengakui keunggulan lawan dan dia sebagai seorang ahli maklum bahwa kalau dilanjutkan, salah-salah dia akan menjadi korban hawa Swat-im Sin-kang yang mujijat. Maka dia meloncat ke belakang dan berseru,

"Cukup, Pangcu! Kepandaianmu hebat, engkau pantas menjadi Ratu Pulau Es, pantas menjadi ketua Bu-tong-pai dan biarlah aku membantumu dalam kerja sama kita!" Dapat diba-yangkan betapa girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia lalu menghampiri Kiammo Cai-li, menggandeng tangan wanita itu dan memperkenalkan kepada Swi Liang, Swi Nio, dan Han Bu Ong. Kemudian dia mengajak sahabat baru itu memasuki gedungnya dan sambil mengha-dapi hidangan lezat kedua orang wanita lihai ini bercakap-cakap dan mengadakan perunding-an untuk bekerja sama. Ternyata mereka cocok sekali dan memang keduanya merindukan kedudukan yang mulia dan terhormat, maka dalam perundingan ini. Kiam-mo Cai-li diangap sebagai pembantu utama dan tangan kanan Kwat Lin, bahkan Rawa Bangkai yang terletak di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu dijadikan markas kedua di mana kelak akan dilakukan semua pertemuan dan perundingan rahasia.

Benar saja seperti yang diharapkan, setelah Kiam-mo Cai-li menjadi pembantunya, banyaklah kaum sesat yang menggabung dan menyatakan suka bekerja sama sehingga biar pun tidak resmi, mulai saat itu The Kwat Lin bukan hanya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi juga diakui sebagai datuk kaum sesat nomer satu! Hubungan rahasia yang diadakan oleh The Kwat Lin dengan para pembesar kota raja menjadi makin luas, dan diam-diam per-sekutuan ini mulai mengatur rencana pemberontakan untuk menggulingkan Kaisar! Dari para pembesar yang mengharapkan bantuan orang-orang kang-ouw inilah Kwat Lin memperoleh bantuan keuangan sehingga Bu-tong-pai menjadi makin kuat dan wanita lihai ini dapat mena-rik banyak tenaga bantuan orang pandai dengan mempergunakan uang sebagai pancingan.


Keadaan kerajaan Tang di masa itu memang sedang diancam pergolakan hebat. Kaisarnya, yaitu Kaisar Beng Ong, atau yang terkenal juga dengan sebutan Kaisar Hian Tiong. Tak dapat disangkal lagi, di bawah pemerintahan Kaisar Beng ini Kerajaan Tang mengalami perkembangan yang amat pesat sehingga menjadi sebuah kerajaan yang luas sekali wilayah nya. Di jaman pemerintahannya inilah (712-756) di Tiongkok bermunculan sastrawan-sastrawan dan pelukis-pelukis yang menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li Tai-po, Tu Fu, Wang Wei dan lain-lain. Namun, disayangkan bahwa kebijaksanaan Beng Ong dalam mengemudikan roda pemerintahan ini mengalami godaan hebat yang meruntuhkan segala-galanya. Seperti telah terjadi seringkali, di jaman apa pun dan di negara manapun juga, Beng Ong yang hatinya teguh menghadapi godaan segala macam keduniawian, ternyata lumpuh ketika menghadapi seorang wanita!

Betapa banyaknya sudah dibuktikan oleh sejarah, betapa pria-pria yang hebat, pandai, gagah perkasa dan kuat hatinya, menjadi luluh dan tak berdaya begitu bertemu dengan seo-rang wanita yang berkenan di hatinya. Peristiwa itu terjadi dalam tahun 745.

Ketika itu, Raja Beng Ong sudah berusia enam puluh tahun lebih. Sebenarnya sudah tua dan sudah kakek-kakek, namun seperti telah terbukti dari jaman dahulu sampai sekarang, laki-laki, betapapun tuanya dalam menghadapi wanita menjadi seperti seorang kanak-kanak yang hijau dan lemah. Seorang di antara banyak pangeran, yaitu putera Kaisar yang terlahir dari banyak selirnya adalah Pangeran Su. Pangeran ini mempunayi seorang isteri yang amat cantik jelita, dan menurut kabar angin, wanita ini cantiknya melebihi bidadari kahyangan. Wanita ini bernama Yang Kui Hui, dan memang wanita ini memiliki kecantikan yang amat luar biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru dunia. Ketika Kaisar Beng Ong dalam suatu kesempatan bertemu dan melihat Yang Kui Hui, seketika hati Kaisar tua itu tergila-gila. Ratusan orang selir cantik dan pelayan-pelayan muda dan perawan tidak lagi menarik hatinya dan setiap saat yang tampak di depan matanya hanyalah wajah Yang Kui Hui yang cantik jelita. Akhirnya, Kaisar tidak lagi dapat menahan nafsu hatinya. Dengan kekerasan dia memaksa puteranya sendiri, Pangeran Su, untuk menceraikan isterinya dan mengawinkan pangeran ini dengan seorang wanita lain. Adapun Yang Kui Hui, tentu saja, segera dimasukan ke dalam istana, di dalam kumpulan harem (rombongan selir) di istana.

Setelah Yang Kui Hui pada malam pertama melayani Kaisar Beng Ong, bekas ayah mertuanya, sejak saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kerajaan Tang. Kaisar Beng Ong yang tadinya giat mengurus pemerintahan, memperhatikan segala urusan pemerintahan sampai ke soal yang sekecil-kecilnya, kini mulai tidakacuh dan menyerahkan semua urusan ke tangan para Thaikam (Orang Kebiri, Kepercayaan Raja) dan para pembesar yang berwe-nang. Dia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak pernah meninggalkan tempat tidur di mana Yang Kui Hui menghiburnya dengan penuh kemesraan. Dalam beberapa bulan saja, selir yang tercinta ini berhasil menguasai hati Kaisar seluruhnya sehingga apa pun yang dilakukan oleh Yang Kui Hui selalu benar, dan apa pun yang diminta oleh selir ini, tidak ada yang ditolak oleh Kaisar tua yang sudah dimabok cinta itu. Yang Kui Hui bukanlah seorang wanita bodoh. Sama sekali bukan. Tentu saja hatinya menaruh dendam kepada kaisar Beng Ong karena dia dipisahkan dari suaminya yang tercinta. Sudah pasti sekali dalam melayani semua nafsu bera-hi Kaisar tua itu, ada tersembunyi niat yang lain lagi, bukan semata-mata karena dia memba-las cinta kasih Kaisar yang sudah tua itu. Dia tidak menyia-nyikan kesempatan amat baik itu. Setelah membuat Kaisar tergila-gila dan seolah-olah bertekuk lutut di depan kakinya yang kecil mungil, mulailah Yang Kui Hui memetik hasil pengorbanan diri dan hatinya.

Dia menggunakan pengaruhnya terhadap Kaisar, menarik keluarganya menduduki tem-pat-tempat penting dalam pemerintahan! Bahkan kakaknya yang bernama Yang Kok Tiong diangkat menjadi menteri pertama dari Kerajaan Tang setelah menteri yang lama dicopot se-cara menyedihkan oleh Kaisar, tentu saja atas bujukan Yang Kui Hui! Dan masih banyak lagi anggota keluarga selir yang cantik jelilta ini memperoleh kedudukan yang tinggi sekali yang sebelumnya tak pernah termimpikan oleh mereka. Pada jaman itulah muncul seorang yang akan menjadi terkenal sekali dalam sejarah Tiongkok. Orang ini bukan lain adalah An Lu San, seorang yang tadinya dari keturunan tak berarti.

An Lu San dilahirkan di Mancuria Selatan, di luar Tembok Besar, yaitu Di Liao-tung. Orang tuanya berdarah Turki dari suku bangsa Khitan, keturunan keluarga yang bersahaja dan terbelakang. Ketika An Lu San menjadi seorang pemuda remaja, sebagai seorang budak beli-an dia dijual kepada seorang perwira Kerajaan Tang yang bertugas di utara, di Tembok Besar. Mulai saat itulah bintangnya menjadi terang. Sebagai kacung perwira itu, dia ikut pula ke me-dan perang dan ternyata bocah ini membuktikan dirinya sebagai seorang yang gagah berani dan cerdik sekali, memiliki keahlian dalam pertempuran sehingga beberapa kali dia membuat jasa pada pasukan yang dipimpin oleh majikannya. Maka diangkatlah dia menjadi prajurit dan dalam waktu singkat saja dia membuat jasa-jasa besar sehingga dia diangkat terus, dinaikkan menjadi perwira dan akhirnya, beberapa tahun kemudian setelah dia memenangkan beberapa peperangan melawan musuh dari luar sehingga dia berjasa besar bagi Kerajaan Tang, dia diangkat menjadi jenderal!

Mulailah jenderal An Lu Sun ini mendekati Kaisar. Setelah pangkatnya setinggi itu, tentu saja terbuka kemungkinan baginya untuk berhadapan dengan Kaisar yang waktu itu se-dang tergila-gila kepada Yang Kui Hui yang telah memperoleh kedudukan tinggi. An Lu San memang seorang yang amat cerdik. Menyaksikan pengaruh dan kekuasaan selir yang cantik jelita itu terhadap Kaisar, dia melihat kesempatan baik sekali untuk mengangkat diri sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Dengan sikapnya yang lucu dan ugal-ugalan, pembawaan watak liarnya, dia berhasil menyenangkan hati Kaisar dan memancing kegembiraan Yang Kui Hui sendiri. Selir ini, yang setiap hari harus melayani seorang pria yang sudah tua dan sudah lemah, tentu saja bangkit gairahnya melihat jenderal yang tegap, gembira dan kasar liar itu! Terjadilah "main mata" antara kedua insan ini, dan akhirnya, dengan bujukan dan rayuannya, Yanh Kui Hui memuji-muji kesetiaan dan jasa-jasa An Lu San sehingga Kaisar menjadi semakin suka kepada jenderal ini. Bahkan Yang Kui Hui dengan akalnya yang licik telah mengangkat An Lu San sebagai "putera angkatnya". Hal ini tidak dijadikan keberatan oleh Kaisar, bahkan Kaisar memuji selirnya sebagai seorang selir yang cerdik, selir yang mencinta dan yang setia karena perbuatan Yang Kui Hui itu dianggapnya sebagai taktik selir untuk menyenangkan hati seorang pahlawan sehingga dengan demikian memperkuat kedudukan Kaisar. Kaisar Beng Ong yang terkenal pandai dan bijaksana itu ternyata menjadi lemah tak berdaya, sama lemahnya dengan seuntai rambut lemas hitam dari Yang Kui Hui yang setiap saat dapat dipermainkan oleh jari-jari tangan halus dari selir yang cantik jelita itu.

Tentu saja setiap sukses dari seseorang, bila didapatkan dengan jalan apa pun juga me-lahirkan iri hati kepada orang-orang lain. Biarpun tidak ada yang berani secara terang-terang an menentang selir cantik yang amat dikasihi Kaisar tua itu, namun diam-diam banyak ang-gauta keluarga kerajaan yang merasa iri hati dan membenci Yang Kui Hui, terutama sekali para selir lainnya yang kini seolah-olah diabaikanoleh Kaisar yang setiap malam selalu dibuai dalam pelukan Yang Kui Hui. Pada suatu malam Kaisar beristirahat di dalam kamarnya sen-diri. Betapapun dia tergila-gila kepada Yang Kui Hui, namun karena dia sudah tua sekali, tenaganya tidak mengijinkan dia setiap malam mengunjungi selirnya yang masih muda, penuh nafsu dan panas itu.

Malam itu merupakan malam istirahatnya dan dia tidak mendekati selirnya yang tercinta. Tubuhnya terasa lelah setelah sore tadi dia berpesta makan minum dan menikmati tari-tarian yang disuguhkan untuk kehormatan jenderal An Lu San yang datang berkunjung ke istana. Setelah mengijinkan jenderal perkasa itu mengundurkan diri ke kamar tamu yang disediakan, Kaisar yang merasa lelah itu berbisik kepada selirnya tercinta bahwa malam itu dia ingin ber-istirahat karena merasa lelah, kemudian langsung menuju ke kamarnya sendiri. Menjelang tengah malam, kaisar terbangun dan ternyata yang mengganggu tidurnya adalah seorang selir muda belia yang cantik seperti selir-selir lain. Selir ini bernama Yauw Cui, masih berdarah bangsawan dan termasuk selir termuda sebelum Kaisar mengambil Yang Kui Hui yang merupakan selir terakhir.

"Hemmm, apa maksudmu datang mengganggu?" Kaisar berkata, tidak marah karena dia pun pernah mencinta selir yang cantik ini, bahkan tangannya lalu diulur untuk membelai dagu yang berkulit putih halus itu.

"Hamba mohon Sri Baginda mengampunkan hamba," selir itu berkata dengan suara agak gemetar, "Sebetulnya hamba tidak berani mengganggu paduka yang sedang beristirahat, akan tetapi...."

Kaisar yang tua itu tersenyum dan salah menyangka. Dikiranya selir muda ini merindu-kan curahan kasihnya karena sudah lama dia tidak mengunjungi kamar selirnya ini dan tidak pula memerintahkan selirnya itu datang melayaninya. "Aihh, manis, naiklah ke sini dan kau pijiti punggungku..." katanya sebagai uluran tangan karena membayangkan hasrat selirnya ini, sudah bangkit pula berahinya. Yauw Cui tidak berani membantah, bangkit dari lantai di mana dia berlutut, dan jari-jari tangannya yang halus mulai menari-nari di atas punggung tua yang pegal-pegal itu. Akan tetapi selir ini berkata lagi,

"Rasa penasaran memaksa hamba memberanikan diri mengujungi Paduka. Hamba tidak ingin melihat Paduka yang hamba junjung tinggi ditipu dan dihina orang!" Tangan Kaisar yang mulai membelai tubuh selirnya itu tiba-tiba terhenti dan dengan pandang mata penuh selidik Kaisar Beng Ong bertanya,

"Apa maksudmu? Siapa yang berani menipu dan menghinaku?" Yauw Cui menangis dan suara terisakisak dia berkata, "Hamba.... secara tidak sengaja... mendengar ... An goanswe (jenderal An) berada di dalam kamar.... Yang Kui Hui...."

Seketika Kaisar bangkit duduk dengan mata terbelalak. Dengan alis berkerut dia me-mandang selirnya itu yang masih menangis, hatinya tidak percaya sama sekali karena me-mang sudah seringkali Yang Kui Hui difitnah orang lain yang merasa iri hati.

"Hammm, jangan bicara sembarangan saja terdorong iri hati."

"Tidak.... hamba rela untuk dihukum mati, rela diapakan saja kalau hamba membo-hong.... tidak berani hamba menjatuhkan fitnah.... hamba hanya merasa penasaran melihat Paduka dihina maka hamba memberanikan diri melapor...."

"Pengawal....!!" kaisar berseru sambil mendorong selirnya turun dari pembaringan. Pintu terbuka dan enam orang pengawal pribadi meloncat masuk dan langsung berlutut setelah mereka melihat bahwa Kaisar tidak dalam bahaya. Kaisar menyambar jubah luarnya. "Antar kami ke kamar yang Kui Hui." kata Kaisar singkat sambil memberi isyarat dengan matanya agar Yauw Cui ikut pula bersamanya. Pada saat Yauw Cui melapor kepada Kaisar, kamar Yauw Kui Hui sudah gelap remang-remang dan pada saat itu memang selir yang cantik jelita ini sedang bersama An Lu San. Mereka seperti mabok nafsu berahi dan tentu saja segala pertahanan di hati Yang Kui Hui runtuh menghadapi jenderal yang tegap dan gagah perkasa ini, yang masih memiliki sifat-sifat liar dan kasar dari tempat asalnya. Selama tujuh tahun Yang Kui Hui menekan kekecewaan hatinya melayani seorang kakek-kakek lemah. Kini ber-temu dengan An Lu San dan berkesempatan menikmati rayuan laki-laki yang jantan dan jauh lebih muda dari kaisar ini, tentu saja dia terbuai dan lupa segalanya. Sesosok bayangan me-nyelinap ke dalam kamar itu dan berisik di luar kelambu pembaringan. Bisikan itu merobah suasana di dalam kamar itu. Yang Kui Hui dan An Lu San dalam waktu beberapa menit saja telah memakai pakaian yang rapi, duduk menghadapi meja yang diterangi dengan beberapa batang lilin, dan di atas meja terdapat gambar peta daerah utara. Di ujung-ujung Kamar itu terdapat mengawal dan pelayan berdiri seperti patung, hanya memandang saja ketika An Lu San dengan suara lantang sedang menjelaskan tentang situasi dan keadaan pertahanan di perbatasan utara.

Demikianlah, ketika Kaisar yang diiringkan Yauw Cui dan para pengawal memasuki kamar itu dengan sikap kasar, dia melihat selirnya yang tercinta itu memang benar duduk berdua dengan An Lu San, akan tetapi bukanlah berjinah seperti yang dilaporkan Yauw Cui, melainkan sedang bicara urusan pertahanan!

"Hamba sedang mempelajari keadaan kekuatan pertahanan kita di utara dari An Lu San," antara lain Yang Kui Hui membela diri ketika Kaisar menyatakan kecurigaannya. "Paduka terlalu mempercayai mulut seorang wanita yang cemburu dan iri hati setengah mati kepada hamba." Karena semua pengawal dan pelayan yang berada di kamar itu merupakan saksi yang kuat bahwa selir tercinta itu tidak bermain gila dengan putera angkatnya tentu saja Kaisar menjadi marah kepada Yauw Cui. Selir muda ini mengerti bahwa dia berbalik kena fitnah oleh madunya yang lihai itu, maka maklum bahwa tidak ada lagi harapan baginya, dia menudingkan telunjuknya kepada Yang Kui Hui sambil berteriak nyaring,

"Kau Wanita Iblis! Karena engkaulah kerajaan ini akan hancur!" Dan sebelum para pengawal yang diperintah oleh Kaisar yang marah-marah itu sempat menangkapnya, Yauw Cui lari membenturkan kepalanya di dinding kamar itu sehingga kepalanya pecah dan dia tewas disaat itu juga! Tentu saja pada hari berikutnya, ada seorang pelayan yang menerima hadiah banyak sekali dari Yang Kui Hui, yaitu pelayan yang membisikinya semalam sehingga menyelamatkannya. Semenjak peristiwa itu, kepercayaan Kaisar terhadap Yang Kui Hui dan An Lu San makin besar. Tentu saja kesempatan baik ini tidak dibiarkan lewat percuma oleh Yang Kui Hui dan An Lu San yangmengadakan hubungan gelap sepuas hati mereka. Karena pengaruh Yang Kui Hui di depan Kaisar, maka An Lu San memperoleh kehormatan yang besar, bahkan diangkat menjadi Gubernur di Propinsi Liao Tung. Menguasai pasukan-pasu-kan terbaik dari kerajaan dan menjaga di propinsi yang merupakan perbatasan timur.

Kehormatan ke dua diterimanya tak lama kemudian, tentu saja atas desakan dan bujuk-an Yang Kui Hui yaitu ketika dia dianugrahi gelar Pangeran Tingkat Dua. Kehormatan yang besar sekali karena biasanya, gelar ini hanya diberikan kepada keluarga kerajaan yang ber-darah bangsawan! Memang An Lu San seorang yang berasal dari suku bangsa terbelakang, namun dia diberkahi dengan kecerdikan luar biasa. Melihat betapa kaisar bertekuk lutut di depan kedua kaki yang mungil dari selir kaisar Yang Kui Hui, dia mengeluarkan semua kepandaian untuk mengambil hati selir ini dan ternyata semua muslihatnya berhasil baik dan dia memperoleh kedudukan yang tinggi sekali. Akan tetapi, tentu saja banyak pula orang merasa iri hati dan tidak suka kepada An Lu San. Di antara mereka ini adalah kakak kandung Yang Kui Hui sendiri, yaitu Yang Kok Tiong yang menjadi Menteri Pertama.

Dengan kedudukanya yang tingi, Yang Kok Tiong melakukan penyelidikan dan ketika dia memperoleh berita bahwa An Lu San mempersiapkan pemberontakan, segera dia berun-ding dengan Putera Mahkota dan melapor kepada Kaisar. Kaisar tidak percaya dan meng-anggap pelaporan ini omong kosong belaka, akan tetapi karena para pangeran mendesaknya, akhirnya Kaisar memanggil An Lu San yang merasa keadaannya belum kuat betul untuk memulai pembrontakan yang memang benar telah dipersiapkannya, tidak membantah. Dia menghadap Kaisar dan dengan air mata bercucuran dia memprotes, menyatakan kesetiaanya terhadap Kaisar dan dalam hal ini kembali pengaruh Yang Kui Hui membantunya. Selir ini pun mencela Kaisar yang mudah saja dipermainkan orang yang merasa iri hati bahkan Yang Kui Hui mengambil contoh selir Yauw Cui yang irir hati kepadanya.

"hendaknya Paduka ingat bahwa An Lu San adalah seorang pahlawan kerajaan yang jasanya sudah amat besar. Tidak mungkin dia memberontak, dan andaikata dia benar mem-punyai niat memberontak tentu dia tidak akan datang memenuhi panggilan Paduka! Kedatangannya ini sudah merupakan bukti akan kebersihan dan kesetiaanya! Kabar tentang niat pembrontakan itu tentu ditiup-tiupkan oleh mereka yang merasa iri hati kepadanya." Seperti biasa, hati kaisar luluh dan lenyaplah semua kecurigaan dan keraguannya. Dia malah menjamu An Lu San dan malam itu dengan amat pandainya An Lu San "membalas budi" Yang Kui Hui, dengan sepenuh hatinya, di dalam kamar selir Kaisar itu, aman karena terjaga oleh orang-orang kepercayaan mereka.

Demikianlah, pada saat cerita ini terjadi An Lu San sudah kembali ke utara dengan pe-nuh kebesaran dan kebanggaan, dan diam-diam dia makin mempercepat persiapannya untuk memberontak! Dan demikian pula dengan keadaan kerajaan Tang pada waktu itu. Kelemahan Kaisar yang jatuh di bawah telapak kaki halus dari Yang Kui Hui, menimbulkan ketidakpu-asan kepada banyak pembesar sehingga di sana-sini timbul niat untuk memberontak.

Kesempatan keadaan yang lemah dari kerajaan Tang inilah dipergunakan oleh The Kwat Lin untuk mulai dengan petualangannya, untuk memenuhi cita-citanya mencarikan kedudukan tinggi untuk puteranya! Pada suatu hari, datanglah seorang utusan dari kota raja mendaki Pegunungan Bu-tong-san, menghadap Ketua Bu-tong-pai. Melihat bahwa utusan ini adalah utusan dari Pangeran Tang Sin Ong dari kota raja, Kwat Lin cepat menerimanya di kamar rahasia. Setelah utusan itu menyampaikan tugasnya dia cepat pergi lagi meninggalkan Bu-tong-pai dan terjadilah kesibukan di Bu-tong-pai.

Pangeran Tang Sin Ong, yaitu seorang pangeran di kota raja yang mempersiapkan pemberontakan pula, sebagai saingan besar dari An Lu San, pangeran yang dihubungi oleh Kwat Lin, mengirim berita tentang hari dan tempat di mana Yang Kui Hui akan ikut dengan Kaisar yang hendak berburu binatang dalam hutan, sebuah di antara kesenangan Kaisar.

Saat inilah yang dinanti-nanti oleh The Kwat Lin dan Pangeran Tang Sin Ong untuk menjalankan siasat mereka yan telah lama mereka rencanakan. Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya Kaisar bersama Yang Kui Hui bersenang-senang di dalam hutan di kaki Pegunungan Funiu-san, tidak jauh dari kota raja. Seperti biasa, di waktu mengadakan per-buruan ini, tempat itu dijaga oleh para pengawal dan ada pula pasukan yang tugasnya hanya mencari dan menggiring binatang hutan sehingga binatang-binatang yang ketakutan itu menuju ke dekat tempat Kaisar dan Permaisurinya menanti sehingga dengan mudah Kaisar dapat melepaskan anak panah ke arah binatang-binatang itu. Sekali ini, selain beberapa orang pembesar penting, yang menemani Kaisar terdapat juga Pangeran Tang Sin Ong.  JILID 14


Seperti biasa, Kaisar dan selirnya yang tercinta menanti di dalam pondok yang memang tersedia di situ, di tengah-tengah hutan. Para pembesar dan Pangeran Tang Sin Ong menanti di luar pondok sambil bercakap-cakap. Mereka menanti sampai datangnya binatang-binatang yang akan digiring oleh pasukan yang sudah menyusup-nyusup ke dalam hutan lebat di depan. para pengawal menjaga di sekeliling tempat itu, pengawal Kaisar dan pengawal Pangeran Tang Sin Ong karena pangeran ini mempunyai pasukan pengawal sendiri. Mereka tidak usah lama menanti. Segera terdengar sorak-sorai dari jauh, makin lama makin mendekat. itulah suara pasukan yang bertugas menggiring binatang hutan menuju ke tempat penyembelihan itu, di mana para pembesar telah menanti dengan gendewa bersama dengan anak panahnya siap di tangan. Mendengar suara ini, kaisar sudah keluar dari pondok sambil tersenyum-senyum gem-bira membawa sebatang gendewa. Seorang thaikam yang menjadi kepercayan dan pelayannya mengikuti Kaisar sambil membawa tempat anak panah. Tak lama kemudian, mulailah ber-munculan binatang-binatang hutan yang panik ketakutan karena dikejarkejar dan digiring oleh pasukan di belakang mereka yang bersorak-sorai itu. Dan mulailah Kaisar bersama Pangeran Tang Sin Ong dan para pembesar lainnya menghujankan anak panah mereka ke arah binatang binatang itu. Tidak ada seorang pun melihat ketika dari rombongan pengawal Pangeran tang Sin Ong, seorang pengawal menyelinap kedalam semak-semak, menanggalkan pakaian biasa menyelinap dan memasuki pondok Kaisar dari samping, meloncat masuk dari jendela yang terbuka. Dengan kecepatan kilat, laki-laki setengah tua ini menyergap Yang Kui Hui yang sedang berdiri menonton di ambang pintu depan. Terdengar selir cantik itu menerit, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas ketika dia tertotok dan ketika semua orang menoleh medengar jeritan itu, Yang kui Hui telah dipondong dan dibawa lari oleh laki-laki itu.

"Penculik.....!" "penjahat....!"

"Jangan lepas anak panah, bisa salah sasaran....!!" Tiba-tiba Pangeran tang Sin Ong berseru keras. Mendengar ini, Kaisar yang sudah pucat mukanya cepat berseru,

"Benar! Jangan lepas anak panah. Kejar dan tangkap! Selamatkan dia....!" Semua orang, pengawal, pembesar, pangeran tang Sin Ong, bahkan Kaisar sediri, mengejar penculik yang memiliki gerakan yang amat gesit itu. Dengan beberapa loncatan saja penculik itu telah lari jauh sekali.

"Cepat kejar.... tolong dia.... ahhhh, Kui Hui....!!" kaisar berteriak dengan muka pucat. Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan orang berkelebat menghadang penculik itu. Dari jauh kelihatan jelas bahwa dua orang itu adalah wanita-wanita cantik yang gerakannya cepat luar biasa. Wanita yang lebih tua sudah menerjang maju dan dengan serangan mendadak berhasil memukul roboh penculik dan merampas Yang Kui Hui, kemudian wanita ke dua yang muda dan cantik menggerakan pedangnya menusuk. Terdengar jerit melengking yang nyaring sekali ketika pedang itu menembus dada penculik itu yang berkelojotan, terbelalak dan menuding-kan telunjuknya kepada wanita pertama seolah-olah hendak berkata sesuatu, akan tetapi se-buah tendangan yang mengenai kepalanya membuat penculik itu tak dapat bergerak lagi dan tewas seketika! Kaisar dan rombongannya sudah tiba di situ. Dengan tepukan perlahan wanita perkasa yang lebih tua itu membebaskan totokan Yang Kui Hui. Selir ini mengeluh dan menangis sambil menubruk Kaisar yang memeluknya. Kaisar memandang kepada dua orang wanita cantik yang sudah berlutut di depan kakinya dengan perasaan bersyukur dan berterima kasih.

"Untung sekali kalian berdua yang gagah perkasa datang menolong!" kata kaisar dengan penuh rasa syukur, suaranya masih gemetar karena ketegangan hebat yang baru saja dialaminya.

"Siapakah kalian?"

"Hamba adalah Ketua Bu-tong-pai bernama The Kwat Lin," berkata wanita cantik itu lalu menuding kepada dara muda yang cantik jelita dan tinggi semampai di sebelahnya, "dan ini adalah Bu Liang-cu murid hamba."

"Ahhh, kiranya ketua Bu-tong-pai yang terkenal!" Kata Kaisar sambil tersenyum lebar. "Pantas saja demikian lihai! Kalian telah berjasa, telah menyelamatkan kekasih kami dan membunuh penculik jahat. Kalian pantas diberi hadiah besar."

Yang Kui Hui sudah menghen-tikan tangisnya dan kini dia pun memandang kedua orang wanita itu dengan mata berseri. "Kalian datanglah ke istana, aku akan memberi hadiah kepada kalian."

The Kwat Lin menyembah dengan hormat. "Hamba berdua hanya melakukan tugas hamba sebagai rakyat yang setia kepada junjungannya. hamba berdua tidak mengharapkan balas jasa, hanya apabila paduka sudi menerima, biarlah murid hamba ini bekerja sebagai pengawal pribadi paduka. Sekarang banyak orang jahat, tanpa pengawalan yang kuat tentu membahayakan Paduka.

Girang bukan main hati Yang Kui Hui. "Baik sekali! Siapa namamu tadi?" tanyakan kepada gadis cantik yang menunduk sejak tadi. Gadis itu kini mengangkat mukannya dan dengan sepasang mata yang bersinarsinar dia menjawab, "Nama hamba Bu Liang-cu.”

Saking girangnya, yang Kui Hui mencabut tusuk konde dari emas berhiaskan permata dan menghadiakan benda itu kepada The Kwat Lin, dan dia menerima pula gadis murid Bu-tong-pai itu sebagai pengawal pribadinya.

Mulai saat ini gadis yang bernama Bu Liang-cu itu ikut bersama rombongan Kaisar, selalu mengawal di belakang Yang Kui Hui, kembli ke istana. Ada pun The Kwat lin segera kembali ke Bu-tongsan dengan hati girang karena siasatnya berjalan dengan baik sekali, sungguhpun untuk itu dia terpaksa harus mengorbankan nyawa seorang anggautanya. Pencu-lik itu bukan lain adalah seorang anggautanya sendiri, seorang bekas penjahat yang memiliki ginkang tinggi. Penculik itu hanya diperintah untuk melarikan diri Yang Kui Hui dengan janji akan dibantunya kalau sampai mengalami bahaya. Akan tetapi, penculik itu baru tahu bahwa dia dikhianati oleh ketuanya sendiri setelah dia roboh dengan pedang menembus dadanya. Baru ia tahu bahwa dia dikorbankan untuk suatu siasat licik dari The Kwat Lin, namun penge-tahuan ini tiada gunanya karena dia keburu mati sebelum dapat mengeluarkan suara. Siapakah gadis cantik yang kini menjadi pengawal Yang Kui Hui? Tadinya, untuk tugas ini The Kwat Lin menunjuk muridnya, Bu Swi Nio. Akan tetapi, betapa marahnya ketika dia menghadapi penolakan muridnya!

"Teecu tidak berani, Subo. Perintahlah teecu untuk melakukanhal lainnya, biar disuruh membasmi penjahat yang bagaimanapun, biar harus mempertaruhkan nyawa, teecu tidak akan mundur dan pasti akan memenuhi perintah Subo! Akan tetapi ini... ah, teecu tidak mau terlibat dalam.... pemberontakan....." jawab Swi Nio sambil berlutut dan menundukan mukanya. Hampir saja Kwat Lin menampar kepala muridnya itu saking marah dan kecewanya. Dan pa-da saat itu, Swi Liang yang melihat adiknya terancam bahaya kemarahan subonya, cepat maju dan berkata, "Subo, kalau Moi-moi tidak berani, biarlah teecu melakukannya."

"Kau seorang pria.... mana mungkin....?"

"Teecu bisa saja menyamar sebagai seorang gadis. Dahulu di waktu kecil seringkali teecu mengenakan pakaian Moi-moi dan bermain-main seperti seorang anak perempuan ." Mendengar ini, Kwat Lin termenung. Betapapun juga dia lebih percaya kepada muridnya dan juga kekasihnya ini. Selama ini, Swi Nio delalu memperlihatkan sikap dingin dan kadang-kadang menentang. Berbeda dengan Swi Liang yang selalu menuruti kehendaknya, bahkan pemuda itu mau pula melayani nafsu berahinya! Pekerjaan yang direncanakan ini amat berba-haya kalau sampai bocor, maka sebaiknya kalau dilakukan oleh orang yang paling dipercaya-nya. Memaksa Swi Nio amat berbahaya karena siapa tahu kalau-kalau murid perempuan ini akan mengkhianatinya kelak.

"Hemm, kita coba saja!" katanya dan setelah melihat Swi Liang berpakaian wanita dan bergaya, Kwat Lin menjadi girang sekali. Agaknya murid itu memang mempunyai bakat san-diwara maka ketika berpakaian wanita dan beraksi, dia sendiri hampir pangling dan mengira bahwa Swi Liang adalah Sawi Nio!

Demikian, rencana siasat itu dijalankan dengan baik dan Swi Liang yang menyamar sebagai seorang gadis cantik bernama Bu Liang-cu, berhasil menyusup ke dalam istana seba-gai pengawal pribadi dari Yang Kui Hui! Memang itulah tujuan pokok dari siasat Kwat Lin, yaitu memikat hati Yang Kui Hui. Pemikatan dengan jalan menolong selir itu dari bahaya cukup baik, akan tetapi akan lebih berhasil lagi kalau muridnya itu berhasil menjatuhkan hati selir itu dengan ketampanannya! Kalau sampai berhasil Swi Liang menjadi kekasih Yang Kui Hui, hemm, akan mudah saja melakukan gerakan pemberontakan dari dalam! Inilah sebabnya maka dia setuju muridnya itu menyamar sebagai wanita. Dia rela memberikan kekasihnya ini kepada Yang Kui Hui demi tercapainya cita-citanya. Berbeda dengan kakaknya yang telah mabok bujukan gurunya, Swi Nio makin lama merasa makin tidak enak tinggal di Bu-tong-san. Dia sama sekali tidak senang dan hatinya menentang menyaksikan semua perbuatan su-bonya. Tadinya memang dia rela menjadi murid wanita sakti, karena wanita itu yang meno-long dia dan kakaknya, juga yang telah membunuh Pat-jiu Kai-ong musuh besar yang telah membunuh ayah mereka. Akan tetapi semenjak menyaksikan betapa subonya itu menguasai Bu-tong-pai dengan kekerasan, melihat subonya melawan susiok sendiri dan bahkan membuat para tokoh Bu-tong-pai mengundurkan diri dari Bu-tong-pai, hatinya sudah merasa tidak se-nang. Apalagi melihat masuknya orang-orang kasar dan yang dia ketahui adalah bekas-bekas penjahat menjadi anggauta Bu-tong-pai dia merasa penasaran. Semua itu masih ditambah lagi kenyataan yang membuatnya merasa malu dan hina, yaitu melihat kakaknya menjadi kekasih subonya. Seringkali secara diam-diam Swi Nio menasihati kakaknya, bahkan menganjurkan kakaknya untuk bersama dia melarikan diri saja dari Bu-tong-pai, namun semua itu tidak dia-cuhkan oleh Swi Liang. Swi Nio menderita batin seorang diri, seringkali menangis di dalam kamarnya. Melihat munculnya Kiam-mo Cai-li, hatinya menjadi makin gelisah. Dia dahulu sudah mendengar dari mendiang ayahnya bahwa Kiam-mo Cai-li adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam. Namun kenyataannya, subonya menjadi sekutu iblis itu, bahkan dia-kui sebagai pemimpin!

Pagi hari itu, setelah merasa kehilangan kakaknya yang pergi tampa pamit bersama su-bonya dan kemudian melihat subonya pulang sendiri tanpa kakaknya, Swi Nio tak dapat me-nahan kegelisahan hatinya lagi dan dia memberanikan diri memasuki kamar subonya di mana subonya sedang bercakap-cakap dengan Kiam-mo Cai-li yang kebetulan datang ke Bu-tong-san.

"Subo, teecu (murid) tidak melihat adanya Liang-koko yang tadinya pergi bersama Subo selama beberapa hari lamanya. Ke manakah dia, Subo? Apakah yang terjadi dengan kakakku itu?" tanyanya dengan wajah agak pucat karena beberapa malam dia kurang tidur memikirkan kakaknya. The Kwat Lin mengerutkan alisnya. Hatinya memang sudah tidak senang pada muridnya ini, apalagi ketika Swi Nio terang-terangan berani menolak perin-tahnya sehingga tugas itu digantikan oleh Swi Liang biarpun pemuda itu berhasil baik, be-tapapun juga The Kwat Lin merasa kehilangan, apalagi di waktu malamyang sunyi dan dingin! "Kau tidak perlu tahu!" jawabnya membentak.

"Tapi.... Subo, dia adalah kakak teecu......" Swi Nio membantah.

"Hemm, dia bertugas di kota raja. Sudah, pergilah dan jangan kau mengganggu kami yang sedang bicara!"

Swi Nio bangkit berdiri dari atas lantai dan memandang gurunya dengan mata terbe-lalak dan muka pucat. "Jadi....dia.... dia telah menyelundup ke dalam istana....?"

The Kwat Lin bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio sambil membentak marah, "Gara-gara engkaulah! Apa kaukira kalau tidak terpaksa aku suka membi-arkan dia melakukan tugas berbahaya itu? Mestinya engkau yang bertugas, akan tetapi engkau telah menolak. Dia seorang murid yang amat baik, tidak seperti engkau yang tak mengenal budi!"

Swi Nio membalikan tubuhnya, menutupi muka dan menangis sambil mengeluh, "Liang -koko..... ah, Koko....!"

Setelah dara itu berlari pergi, Kwat Lin duduk kembali, wajahnya keruh dan dia mengo-mel, "Murid yang murtad! Sungguh menjengkelkan saja dia itu!"

Kiam-mo-Cai-li tersenyum. "Mengapa pusing-pusing menghadapi seorang gadis seperti itu? Kalau dibiarkan saja, tentu dia akan terus merongrongmu dan boleh jadi kelak akan mem-bahayakan perjuangan kita. Dia harus ditundukkan!"

"Hemm, maksudmu menggunakan kekerasan?"

"ah, aku mengenal gadis seperti itu. Wataknya keras dan kalau digunakan kekerasan, sampai mati pun dia tidak akan tunduk. Kalau sampai dia mati, amat tidak baik bagi kakaknya yang kita butuhkan tenaganya. Dia harus dilawan dengan cara halus."

"Bagaimana maksudmu? Membujuknya?"

Kiam-mo Cai-li menggeleng kepalanya. "Dibujukpun takkan berhasil. Akan tetapi sekali dia telah jadi isteri orang, tentu dia akan menurut segala kehendak suaminya."

"Ihhh! Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Dengan siapa?"

"Kita harus cerdik, kita harus memakai siasat sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat atau menggunakan pedang yang bermata dua. Di satu fihak, kita harus menyenangkan hati Pangeran Tang Sin Ong yang aku tahu memiliki watak mata keranjang sehingga dia akan tentu berterima kasih sekali kepadamu kalau kau rela memberikan muridmu yang cantik ma-nis itu kepadanya, menjadi seorang selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan. Ke dua, kalau muridmu itu sudah menjadi selir Pangeran Tang Sin Ong, tentu dia akan tidak banyak bantah-an lagi!"

The Kwat Lin mengangguk-angguk dan diam-diam dia memuji kecerdikan temannya ini. "Siasatmu memang baik sekali, Cai-li! Akan tetapi.... biarapun sudah pasti sekali Pange-ran akan menerima penawaran ini dengan kedua tangan terbuka, kukira belum tentu Swi Nio akan mau dijadikan selir pangeran itu. Kalau dia menolak, lalu bagaimana?"

Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hi-hik, tidak usah khawatir, Pangcu. Aku yang tanggung jawab dia tentu tidak akan menolak." Dia lalu mendekatkan mulutnya ketelinga The Kwat Lin berbisik-bisik. Kwat Lin mengangguk-angguk. " Hemm, kalau dia merupakan seorang murid yang baik dan taat, tentu aku tidak tega, akan tetapi.... demi suksesnya perjuangan kita, agar dia tidak menjadi penghalang malah kelak mungkin dapat membantu, biarlah.... kita atur secepatnya agar Pangeran dapat berkunjung ke sini."

"Tentu mudah saja dan tidak menimbulkan kecurigaan. Bukankah peristiwa di hutan itu membuat nama Bu-tong-pai terangkat tinggi dalam pandangan kerajaan? Kalau seorang Pa-ngeran berkunjung ke sini, menemui penolong selir Yang Kui Hui, hal itu sudah semestinya! Hi-hi-hik."

"Kau memang cerdik sekali, Cai-li!" The Kwat Lin memuji dan kedua orang wanita ber-kepandaian tinggi itu sambil tersenyum-senyum minum arak wangi yang berada di dalam cawan-cawan perak mereka. Beberapa hari kemudian, sesuai dengan siasat mereka itu, datang lah rombongan tamu agung dari kota raja. Pangeran Tang Sin Ong! Inilah hasil pertama dari siasat The Kwat Lin menolong Yang Kui Hui. Sebelum peritiwa itu, hubunganya dengan pa-ngeran itu dilakukan secara sembunyi dan pertemuan rahasia yang diadakan hanya melalui kurir (utusan). Akan tetapi sekarang, setelah siasat di hutan itu sekaligus mengangkat nama Bu-tong-pai, Pangeran Tang Sin Ong berani datang secara berterang, bahkan sebelum berang-kat pangeran itu menerima titipan bingkisan hadiah yang dikirim oleh Yang Kui Hui sendiri melalui pangeran itu. Tentu saja keadaan di Bu-tong-san seperti dalam pesta. Semua anak buah Bu-tong-pai mengenakan pakaian baru dan rombongan tamu agung itu disambut dengan meriah seperti sambutan terhadap seorang pengantin. Dengan penuh kehormatan para tamu agung dijamu di ruangan yang lebar dari Bu-tong-pai, dan pesta pora diadakan diruangan yang biasa dipergunakan untuk Lian-bu-thia (ruang belajar silat). Sambutan resmi dilakukan dan pangeran menyerahkan bingkisan dari Yang Kui Hui dan menyerahkan pula bingkisan dari dirinya sendiri kepada ketua Bu-tong-pai.

Malam harinya, sebagai penghormatan khusus, Pangeran Tang Sin Ong seorang diri dijamu oleh The Kwat Lin diruangan dalam dan ketua ini ditemani oleh Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio! Dara ini setengah dipaksa oleh subonya untuk menemaninya menjamu pangeran itu dan biarpun di dalam hatinya Bu Swi Nio tidak setuju, namun dia tidak berani membantah. Pula, di dalam hatinya dia ingin sekali mendengar percakapan mereka yang tentu akan me-nyangkut pula keadaan kakaknya di kota raja. Ketika pengeran ini dipersilahkan duduk meng-hadapi meja yang sudah penuh hidangan, The Kwat Lin memperkenalkan Kiam-mo Cai-li Liok Si sebagai pemilik istana Rawa Bangkai, dan memperkenalkan muridnya pula Bu Swi Nio sebagai muridnya yang terkasih. Pangeran itu memandang Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio, lalu tertawa gembira dan berkata,

"Sungguh beruntung sekali Pangcu mendapatkan se-orang pembantu seperti Liok Toa-nio ini yang saya yakin tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan muridmu ini....aaihh... penerangan ini menjadi makin bercahaya, suasana menjadi makin gembira dan segar, hidang-an menjadi bertambah lezat. Sungguh saya merasa berbahagia sekali bahwa Nona Bu suka menemani saya makan minum, untuk ini saya harus menghaturkan arak penghormatan se-bagai tiga cawan!" Pangeran itu tentu saja tadinya sudah diberitahu oleh Kwat Lin bahwa ketua ini hendak menghadiahkan muridnya kepadanya. Maka begitu melihat Swi Nio yang masih amat muda dan cantik jelita itu, hati Sang Pangeran sudah jatuh dan gairahnya sudah bernyala-nyala. Wajah Swi Nio menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali menyaksikan sikap dan mendengar kata-kata yang penuh pujian ini. Dia tidak biasa berhadapan dengan pria seperti ini. Hatinya berdebar tegang dan khawatir, akan tetapi untuk menolak, tentu saja dia tidak berani. Sambil menunduk dan membisikan kata-kata terima ksih dia menerima tiga cawa arak berturut-turut. Biarpun dia tidak biasa minum banyak arak, akan tetapi terpaksa tiga cawan arak itu diminumnya tanpa banyak membantah. Melihat ini The Kwat lin dan Kiam-mo Cai-li tertawa girang dan dari seberang meja, The Kwat Lin mengedipkan sebelah mata-nya kepada Sang Pangeran.

Tang Sin Ong mengerti akan isyarat ini, maka dia lalu melepas seuntai kalung emas ber-taburan permata yang tergantung di lehernya, bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan yang memegang kalung itu kepada Swi Nio sambil berkata, "Nona Bu, kalung ini sama sekali tidak dapat mengimbangi kecantikan Nona, akan tetapi karena pada saat ini yang ada pada sa-ya hanya kalung ini, maka sudilah Nona menerimanya sebagai tanda penghormatan saya ke-pada seorang Nona secantik dewi!"

Bu Swi Nio terkejut sekali dan cepat dia menoleh kepada subonya. Menurutkan kata hatinya, ingin dia menolak keras dan mencela sikap pangeran yang terlalu berani itu. Akan te-tapi dia melihat subonya mengangguk dan berkata, "Swi Nio, Pangeran telah bermurah hati kepadamu, mengapa tidak lekas menerima dan menghaturkan terima kasih?"

Bu Swi Nio merasa terdesak dan dengan suara gemetar dia berkata, "Hamba...., hamba...., tidak berani menerimanya....."

"Swi Nio....!" The Kwat Lin menegur

"Bu Swi Nio, mengapa kau menolak kemurahan hati Pangeran?" Kiam-moCai-li juga ikut menegur.

Pangeran Tang Sin Ong tertawa. "Ahh, tentu saja Nona Bu merasa malu-malu, tidak seperti gadis-gadis yang haus akan harta benda. Hal ini malah menonjolkan kecemerlangan watak seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa! Nona, biarlah aku mengalungkan hadiah ini di lehermu." Berkata demikian, Sang Pangeran lalu bangkit berdiri dan mengalung-kan kalung emas itu melingkari leher Swi Nio yang menundukan kepalanya. Karena tak dapat menolak lagi dan kalung yang lebar itu sudah mengalungi lehernya, dengan muka sebentar pucat, Swi Nio menjura, "Banyak terima kasih hamba haturkan..."

"Aaaahhh, jangan sungkan-sungkan." Dia tertawa, kedua orang wanita sakti itupun ter-tawa dan mereka bergantian menyuguhkan arak kepada Sang Pangeran dan juga Bu Swi Nio. "Muridku, karena pangeran telah bermurah hati kepadamu, tidak saja menyuguhkan arak teta-pi juga menghadiahkan kalung, mengapa kau tidak bersikap sebagai seorang muridku yang tahu aturan dan mengenal budi. Hayo cepat suguhkan tiga cawan kepada Pangeran sebagai penghormatanmu!"

Muka Swi Nio menjadi merah. Dia tidak membantah kebenaran ucapan ini, maka secara terpaksa dia bangkit berdiri, dipandang oleh pangeran yang tersenyum-senyum dan mengelus jenggotnya, menghampiri pangeran dan menuangkan arak ke cawan Sang Pangeran dari guci emas.

"Silahkan Paduka minum arak sebagai tanda kehormatan hamba, Pangeran," kata Swi Nio dengan malu-malu.

"Ha-ha-ha, terima kasih, Nona. Akan tetapi, aku tidak mau minum kalau tidak aku temani. Hayo untukmu juga secawan!" Kembali Kwat Lin dan Kiam-moCai-li ikut membujuk dan terpaksa akhirnya Swi Nio kembali minum tiga cawan arak bersama Sang Pangeran. Ka-rena tidak biasa minum arak, kini diloloh banyak arak yang diamdiam telah dicampuri bubuk putih dilepas secara lihai oleh Kiam-mo Cai-li ke dalan cawan gadis itu, akhirnya Swi Nio menjadi mabok. Dia mulai tersenyum dengan lepas, memperlihatkan deretan gigi yang putih, dan mulai berani mengangkat muka memandang pangeran yang pandai bicara itu.

"Ha-ha-ha, setelah ditemani makan minum oleh Nona Bu, aku lupa semua wanita di istanaku! Hemm, bagaimana aku dapat berpisah lagi darimu, Nona?" kata Pangeran itu. Men-dengar ini Swi Nio mengerutkan alisnya, akan tetapi karena kepalanya sudah pening dan pandang matanya sudah berkunang, hanya sebentar saja dia merasa betapa kata-kata itu tidak pada tempatnya dan dia hanya tersenyum!

"Bu Swi Nio muridku yang baik. Pangeran telah berkenan mencintaimu! Kau akan di-ambilnya sebagai selir yang tercinta. Cepat kau berlutut dan haturkan terima kasih, muridku." Sepasang mata dara itu terbelalak. "Tidak....! Ah, tidak......!"

Terdengar suara pangeran, "Nona, kau cantik sekali.... kau gagah perkasa, aku cinta padamu dan marilah kau ikut bersamaku ke kota ke kota raja. Kau akan menjadi selirku yang paling tercinta, menjdi pengawal pribadiku...."

"Tidak....! Ahhh, tidak mau.... oughh.......!" Swi Nio yang tadinya bangkit berdiri seren-tak itu, tiba-tiba terhuyung dan kembali menjatuhkan diri di atas bangku karena melihat beta-pa kamar itu berpuatr-putar dan dia merasa seperti terayun-ayun. Karena tidak tahan lagi, Swi Nio merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang berada di atas meja, hanya menggoyang kepalanya tanda menolak. Terdengar olehnya lapat-lapat suara gurunya,

"Jangan bodoh, Swi Nio. Engkau akan menjadi seorang nyonya Pangeran yan terhormat, dan di kota raja kau dapat bekerja sama dengan kakakmu........"

"aku tidak mau.... ah, tidak mau....." Swi Nio membuka matanya dan melihat wajah  yang dekat sekali dengan mukanya. Wajah Sang Pangeran Tang Sin Ong, wajah seorang laki-laki yang cukup tampan gagah, akan tetapi sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya. Dia merasa ngeri, takut dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi. Obat bubuk yang dicampur-kan di raknya oleh Kiam-mo Cai-li telah bekerja dengan baik, dia tertidur dan tidak merasa apa-apa lagi. Swi Nio mengeluh dan mengerang. Dia mimpi. Seolah-olah dia berada di dalam sebuah perahu berdua saja bersama Pangeran Tang Sin Ong. Lalu perahu itu diserang badai, terguling dan dia meronta-ronta hendak melawan gulungan ombak yang menggelutnya. Namun dia merasa tubuhnya lemas, dia terseret, tenggelam, gelagapan dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, kepalanya pening. Sebentar dia timbul, lalu tenggelam lagi, dan lapat-lapat dia mendengar suara Pangeran Tang Sin Ong yang menyatakan cinta kasihnya.

Jauh lewat tengah malam Swi Nio mengeluh dan merintih perlahan, lalu membuka ma-tanya Mimpi itu teringat lagi olehnya, membuat dia bergidik ngeri. Untung hanya mimpi, pikirnya ketika dia membuka mata mendapatkan dirinya, telah rebah di atas pembaringannya sendiri di dalam kamarnya. "Ouh....!" Kepalanya masih pening sekali. Dia bangkit duduk dan hampir dia menjerit kaget ketika melihat bahwa dia tidak berpakaian sama sekali! Dia teringat bahwa dia menemani subonya, Kiam-mo Cai-li, dan Pangeran Tang Sin Ong makan minum. Teringat betapa dia terlalu banyak minum dan mabuk. Mengapa dia tahu-tahu berda di pem-baringannya tanpa pakaian? Dia memeriksa keadaan tubuhnya, melihat kalung yang masih bergantung di lehernya, dan tiba-tiba tahulah dia akan semua yang telah terjadi atas dirinya! "Keparat....!" Dia bangkit akan tetapi terguling lagi karena selain kepalanya pening sekali, tubuhnya juga panas dan lemas seolah-olah kehabisan tenaga. Dia tidak tahu bahwa itulah pengaruh obat bubuk, racun yang diminumnya bersama arak, yang membuat dia pulas se-hingga tidak dapat melawan ketika Pangeran Tang Sin Ong membawanya ke dalam kamar dan menggagahinya.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dari luar. Swi Nio menahan napas, mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaganya membunuh Pangeran itu. Dia sudah maklum bahwa dirinya diperkosa Pangeran itu.

"Selamat, muridku. Engkau telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran Tang Sin Ong akan menjemputmu secara resmi membawanya ke kota raja sebagai selirnya terkasih...." "Tidak sudi! Aku harus membunuhnya!" Swi Nio meloncat turun tanpa mempedulikan tubuh nya yang telanjang bulat, kedua tanganya dikepal.

"Plak!" Swi Nio terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika kena tam-paran tangan gurunya. "Swi Nio, apa yang kauucapkan itu? Engkau suka sendiri melayani Pangeran, engkau menerima kalungnya, engkau tersenyum-senyum kepadanya. Setelah engkau dan dia bersenang-senang di dalam kamar ini, semestinya aku mengutukmu. Akan tetapi aku sayang kepadamu, aku tidak marah malah bersyukur bahwa engkau akan menjadi isteri muda seorang pangeran. Dan sekarang kau hendak memberontak? Hendak membikin malu Gurumu? Kau mau membunuh kekasihmu sendiri? Bocah setan tak kenal budi! Kalau tidak aku robah pendirianmu, aku sendiri yang akan membunuhmu! Pikirkan ini baik-baik. Engkau sudah bukan perawan lagi, engkau milik Pangeran Tang Sin Ong!" The Kwat Lin meninggalkan kamar itu dan membanting keras-keras daun pintu kamar.

Swi Nio menutupi mukanya dan menangis mengguguk. Tak tahu apa yang harus dila-kukannya. Dengan terisak-isak dan jari-jari tangan gemetar dia mengenakan pakaiannya yang bertumpuk di sudut pembaringan. Kepalanya masih pening dan tenaganya habis. Tak mung-kin dalam keadaan seperti itu dia melarikan diri. Tentu akan mudak tertangkap kembali oleh gurunya. Melawan pun tidak mampu, apa lagi dia benar-benar merasa seperti tidak bertenaga lagi. Apa lagi hendak membunuh pangeran itu yang selalu terkawal kuat!

"Ya Tuhan....!" Dia menangis lagi sesenggukan. "Ayah.... Koko...., apa yang harus kula-kukan......?" Dia sudah ternoda. Mau atau tidak, dia harus menjadi selir Pangeran itu. Dia ti-dak sudi! Lebih baik mati! Mati!! Ya, matilah jalan satu-satunya, demikian pikiran yang ru-wet itu mengambil. Dirabanya ikat pinggangnya. Tidak, dia seorang gadis gagah perkasa, ti-dak semestinya mati menggantung diri seperti wanita-wanita lemah. Dihampirinya pedangnya yang tergantung di dinding. Biarpun tangannya gemetar dan tidak bertenaga dipaksanya ta-ngan itu mencabut pedangnya, lalu sambil memejamkan matanya, dia mengayun pedang itu ke lehernya. "Plakkkk!!" Lengan kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya. Tadinya dia mengira bahwa subonya yang mencegahnya membuuh diri, maka dia terisak dan membalik. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa yang mencegahnya membunuh diri itu adalah seorang laki-laki muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya. Laki-laki ini terse-nyum, wajahnya cukup tampan dan membayangkan kegagahan.

"Membunuh diri bukan perbuatan seorang gagah." Bisik laki-laki itu. "Kalau sudah mati, mana mungkin dapat menghilangkan penasaran? Kalau masih hidup, selalu terbuka harapan untuk membalas dendam!" Ucapan ini menyadarkan Swi Nio.

"Siapa kau....?"

"Ssssttt...., bisik pula laki-laki itu. "Aku seorang mata-mata yang dikirim oleh Jenderal An Lu San. Nona, daripada engkau membunuh diri, mari kubantu kau keluar dari tempat ini dan kau ikut bersamaku. Dengan bekerja untuk An-goanswe, kelak kau berkesempatan untuk membalas kepada semua orang yang telah mendatangkan malapetaka ini kepadamu."

Seperti kilat masuknya pikiran ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa tidak? Mati bu-kan merupakan jalan yang memecahkan persoalan! Dia harus membalas kepada Pangeran itu! Dan kini, dia dapat menduga bahwa dia tentu pingsan karena pengaruh obat dari Kiam-mo Cai-li. Dia tahu bahwa wanita itu adalah seorang ahli tentang racun. Kini dia mengerti semua. Dia sengaja dikorbankan oleh gurunya dan oleh wanita iblis itu, seperti seekor domba yang sengaja dikorbankan menjadi mangsa serigala, Si Pangeran itu! Dendamnya bertumpuk, kini terbuka jalan baginya, perlu apa mengambil jalan pendek membunuh diri?

"Baik, mari ikut aku...." bisiknya dan dengan berindap-indap Swi Nio mengajak laki-laki itu melalui jalan rahasia dan akhirnya, menjelang pagi, mereka berdua berhasil keluar dari tembok pagar Butong- pai.

"Haiii....!!" tiba-tiba terdengar bentakan dan lima orang anggauta Bu-tong-pai muncul dari tempat penjagaan tersembunyi. Akan tetapi ketika mereka melihat Swi Nio, mereka ter-heran-heran, memandang kepada gadis itu lalu kepada orang asing yang keluar dari jalan ra-hasia bersama murid utama ketua mereka. Malam itu memang banyak datang tamu dari kota raja yang ikut dalam rombongan Pangeran, maka mereka mengira bahwa tentu orang ini ada-lah anggauta rombongan pula. Akan tetapi sepagi itu, masih gelap, apakah yang akan dilaku-kan tamu ini bersama Swi Nio keluar dari Bu-tong-pai dengan diam-diam?"

Tiba-tiba terdengar teriakan berturut-turut dan lima orang itu roboh dan tewas seketika. Mereka hanya mampu satu kali saja mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka ham-pir putus disambar jari-jari yang amat kuat dari mata-mata itu yang bergerak dengan cepat luar biasa menyerang mereka. Melihat kelihaian orang itu, Swi Nio tercengang. Dia makin kagum. Kiranya mata-mata ini bukan orang biasa dan andaikata ketahuan pun akan merupa-kan lawan tangguh, sungguhpun tentu saja dia sangsi apakah orang ini akan mampu lolos kalau Kiam-mo Cai-li dan subonya turun tangan.

"Mari cepat....!" Orang laki-laki itu berkata dan melihat keadaan Swi Nio yang masih lemas, dia tanpa ragu-ragu lagi lalu menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan berlarilah dia dengan amat cepatnya meninggalkan tempat yang berbahaya baginya itu. 


Popular posts