Pagi itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng
Pegunungan Jeng Hoa San (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan
cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali
rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan
kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk.
Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan, penghidupan itu mengusir
halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu,
meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias ujung-ujung daun
dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda
jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri. Cahaya matahari yang lembut itu
tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun, namun
kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah daun
dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara
bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, disana sini bertemu dengan pantulan air
membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh segala
macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah! Bagi mata
yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa, keindahan yang baru
dan yang senantiasa akan nampak baru biarpun andaikata dilihatnya setiap
hari Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi
tampak, keadaan sunyi senyap. Yang mula-mula membangunkan hutan itu adalah
kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring sekali, kokok yang tiba-tiba dan
mengejutkan, susul menyusul dari beberapa penjuru.
Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang
tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal
dan hangat dari sayap mereka, kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap
pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam
suaranya, bersaing indah dan ramai namun kesemuanya memiliki kemerduan yang
khas. Sukar bagi telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, karena suara
yang bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang
dibunyikan bersama. Yang ada pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana
yang lebih indah, suara burung-burung itu sendiri ataukan keheningan kosong
yang terdapat di antara jarak suara-suara itu.
Anak laki-laki itu masih amat kecil. Tidak akan lebih dari
tujuh tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar
yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga itu, menghadap ke timur dan sudah
ada setengah jam lebih dia berdiri seperti itu, hanya matanya saja yang
bergerak-gerak, mata yang lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan,
seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di
antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis-garis
lurus. Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara
kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biarpun amat bersih
seperti bersihnya tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang
terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan
bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah
yang jarang terdapat pada anak-anak dan membuat dia menjadi seorang anak yang
mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya sebagai seorang anak yang aneh
dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa.
Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh seri kehidupan
ketika dia tadi melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung
sebelah timur, bola merah yang amat besar dan yang mula-mula merupakan
pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda
yang tak kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang makin menguning dan
berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa cahaya
yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari puncak
pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung. Anak itu lalu
menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak
tergesa-gesa, tanpa menengok ke kanan kiri karena selama ini dia tahu bahwa di
pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali dirinya
sendiri berada di situ. Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuah batu
dan duduk bersila, menghadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya
bersilang dan napasnya masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan
seperti pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia
melakukan ini setiap hari duduk sambil mandi cahaya matahari selama dua tiga
jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan terasa panas barulah dia berhenti.
Juga diwaktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat,
mandi cahaya bulan purnama selama tujuh malam, kadang-kadang sampai lupa diri
dan duduk bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh
sudah hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik pumcak barat.
Anak yang luar biasa!
Memang. Demikian pula penduduk di sekitar Pegunungan Jeng Hoa
San menyebutnya Sin Tong (Anak Ajaib), demikianlah nama anak ini yang diketahui
orang. Anak ajaib, anak sakti dan lain-lain sebutan lagi. Karena semua orang
menyebutnya Sin Tong dan memang dia sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa
namanya, maka anak itu sudah menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap
namanya Sin Tong! Mengapakah orang-orang dusun, penghuni semua dusun di sekitar
lereng dan kaki Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada
sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati
penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah, dan akar-akar obat yang
benarbenar manjur sekali! Hampir semua penduduk yang terkena penyakit datang ke
lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana anak itu tinggal karena di
antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga, hutan inilah yang benar-benar
tepat disebut Hutan Seribu Bunga denga tetumbuhan beraneka warna, penuh dengan
bunga-bunga indah, terutama sekali pada musim semi. Dan anak ini memberi daun
atau akar obat dengan hati terbuka, dengan hati terbuka, dengan tulus ikhlas,
suka rela dan selalu menolak kalau diberi uang! Maka berduyun-duyun orangdusun
datang kepadanya dan diam-diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai
dewa yang menjelma menjadi seorang anak-anak yang menolong dusun-dusun itu dari
malapetaka. Bahkan ketika terjangkit penyakit menular, penyakit demam hebat
yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, bocah ajaib inilah yang membasminya
dengan memberi akar-akar tertentu yang harus diminum airnya setelah dimasak.
Dengan akar itu, yang sakit banyak tertolong dan yang belum terkena penyakit
tidak akan ketularan. Ketika orang-orang dusun itu, terutama yang wanita,
datang membawa pakaian baru yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat
menolak, dan menyatakan terima kasihnya dengan butiran air mata menetes di
kedua pipinya akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Karena
jasa orang-orang dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian sederhana sekali,
potongan "dusun".
Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni
Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun
dari kahyangan menjadi seorang anak-anak untuk menolong seorang manusia,
seperti kepercayaan para penduduk di Pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat
Lama yang dianggap sebagai Sang Budha sendiri yang "menjelma" menjadi
anak-anak dan menjadi calon Lama. Sebetulnya tentu saja tidak seperti
ketahyulan yang dipercaya oleh orang-orang yang memang suka akan ketahyulan dan
suka akan yang ajaib-ajaib itu.
Anak itu dahulunya adalah anak tunggal dari Keluarga Kwa di
kota Kun-Leng, sebuah kota kecil di sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san. Dia
bernama Kwa Sin Liong, dan nama Sin Liong(Naga Sakti) ini diberikan kepadanya
karena ketika mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor nama beterbangan di
angkasa diantara awan-awan. Adapun ayah Sin Liong adalah seorang pedagang obat
yang cukup kaya di kota Kun-leng. Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga ini
ketika malam hari tiga orang pencuri memasuki rumah mereka. Tadinya tiga orang
penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga kaya ini, akan tetapi
ketika mereka memasuki kamar ayah dan ibu Sin Liong mempergoki mereka. Karena
khawatir dikenal, tiga orang itu lalu membunuh ayah-bunda Sin Liong dengan
bacokan-bacokan golok. Ketika itu Sin Liong baru berusia lima tahun dan di
tempat remang-remang itu melihat betapa ayah-bundanya dihujani bacokan golok
dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak. Saking ngeri dan takutnya,
Sin Liong seperti berubah menjadi gagu, matanya melotot dan dia tidak bisa
mengeluarkan suara. Karena ini, tiga orang pencuri itu tidak melihat anak kecil
di kamar yang gelap itu. Mereka terutama sibuk mengumpulkan barang-barang
berharga dan mereka itu juga panik, ingin lekas-lekas pergi karena mereka telah
terpaksa membunuh tuan dan nyonya rumah. Setelah para penjahat itu keluar dari
kamar, barulah Sin Liong dapat menjerit, menjerit sekuat tenaganya sehingga
malam hari itu terkoyak oleh jeritan anak ini.
Para tetangga mereka terkejut dan semua pintu dibuka, semua
laki-laki berlari keluar dan melihat tiga orang yang tidak dikenal keluar dari
rumah keluarga Kwa membawa buntalan-buntalan besar, segera terdengar teriakan
"maling…maling!" dan orangorang itu mengurung tiga penjahat ini.
Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa yang dapat dibayangkan betapa
kaget hati mereka melihat suami-isteri itu tewas dalam keadaan mandi darah,
sedangkan Sin Liong menangisi kedua orang tuanya, memeluki mereka sehingga
muka,tangan dan pakaian anak itu penuh dengan darah ayahbundanya.
"Pembunuh! Mereka membunuh keluarga Kwa!" Orang yang menyaksikan
mayat kedua orang itu segera lari keluar dan berteriak-teriak "Manusia
kejam! Tangkap mereka!" "Tidak! Bunuh saja mereka!" "Tubuh
suami-istri Kwa hancur mereka cincang!" "Bunuh!"
"Serbu...!" Dan terjadilah pergumulan atau pertandingan yang berat
sebelah. Tiga orang itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela diri, akan
tetapi mana mereka itu, maling-maling biassa, mampu menahan serbuan puluhan
bahkan ratusan orang yang marah dan haus darah?. Anak laki-laki itu, ketika
pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, keluar dari dalam, mukanya penuh
darah, kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah keluar seperti dalam
mimpi, mukanya pucat sekali dan matanya yang lebar itu terbelalak memandang
penuh kengerian.Dia berdiri di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak
memandang apa yang terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para
tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga
orang pencuri tadi, para pembunuh ayah-bundanya. Terdengar olehnya betapa
pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh merintih-rintih, minta-minta ampun dan
terdengar pula suara bak-bik-buk ketika kaki tangan dan senjatamenghantami
mereka. Mereka bertiga itu roboh, dan terus digebuki, dibacok, dihantam dan
darah muncrat-muncrat., tubuh tiga orang itu berkelojotan, suara yang aneh
keluar dari tenggorokan mereka. Akan tetapi orang-orang yang marah dan haus
darah itu, yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan
adil, terus saja menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh mereka
remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya
onggokan-onggokan daging hancur dan tulang-tulang patah!. Ketika semua orang
sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan mereka,
menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan mereka memasuki rumah
keluarga Kwa, Sin Liong tidak berada disitu! Kiranya bocah ini, yang baru saja
tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah bundanya dibacoki dan
dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya
makin terhimpit, luka-luka dihatinya makin banyak dan dia tidak kuat menahan
lagi.
Dilihatnya wajah orang-orang itu semua seperti wajah iblis,
dengan mata bernyala-nyalapenuh kebencian dan dendam, penuh nafsu membunuh,
dengan mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap
untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa
seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan
menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di antara
sekumpulan iblis, maka sambil menangis tersedu-sedu Sin liong lalu lari
meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota Kun-leng,
terus berlari kearah pegunungan yang tampak dari jauh seperti seorang manusia
sedang rebahan, seorang manusia dewa yang sakti, yang akan melindunginya dari
kejaran iblis itu! Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin lIong
terus berlari sampai pada keesokan harinya, saking lelahnya, dia tersaruk-saruk
di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh
menelungkup, bangun lagi dan lari pagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pada
keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan
di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng-hoa-san. Setelah siuman, anak kecil
berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian
tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena kebetulan pada waktu itu adalah
musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pegunungan, kalau perutnya sudah mulai
lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya
segar dan tidak pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan. Di dalam hutan
seribu bunga itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di
dunia lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau
dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya.
Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya
kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah bundanya, yang memaksa ayah
bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat
kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga orang itu sampai mati dan
hancur tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan kalau teringatakan hal itu. Di
dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, keheningan
yang menyejukkan perasaan. Mula-mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk
kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah
bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri yang
rusak hancur.
Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat betapa
tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan
mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang
airnya keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula memang dia tidak
ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan
"Bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan
Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah
menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru! Di dekat pohon peak
yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar untuk
dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan
angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan.
Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali bahwa harta kekayaan orang tuanya
yang tidak mempunyai keluarga dan sanak kadang lainnya, telah dijadikan
perebutan antara para tetangga sampai habis ludes sama sekali! Dengan alas an
"mengamankan" barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para
tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak
mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan tiga orang pencuri yang mereka
keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguhpun
caranya tidak "sekasar" yang dilakukan para pencuri. Jika dinilai,
pencurian yang dilakukan para tetangga dan "sahabat" ini jauh lebih
kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh tiga orang pencuri dahulu itu,
karena para pencuri itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-terangan
mereka itu adalah pencuri, tidak berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu
memang terbuka, sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu
Si Pemilik sedang lengah atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para
tetangga itu adalah pencurian terselubung, dengan kedok "menolong"
sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat
seperti Si Pencuri biasa karena mengambil dan menghaki milik orang lain, ke dua
jahat karena telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung
"kebaikan". Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima
tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera
seorang ahli pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima tahun, sedikit banyak
Sin Liong tahu akan daun-daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya
mencari daundaun obat di gunung-gunung. Setelah kini dia hidup seorang diri di
dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan pemupukan secara
alam. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah pandai
memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana
pula yang beracun dan sebagainya. Selama dua tahun itu, dengan pakaian
cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman
ini pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih
daun-daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari
pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan
pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap
pengenalan akan daun dan akar serta buah dan kembang yang mangandung obat ini
sehingga penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan
menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu
daun, bunga, buah ataupun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa
pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti
kebenarannya kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya
itu. Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang
menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat
bunga-bunga dan daun-daun yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan
Seribu Bunga itu. Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk
menjadi makanan sehari-hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong
mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih
yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup
sebatangkara dan juga timbul karena melihat kekejaman yang menggores di
kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu
tewas. Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah,
dantidak pernah melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman.
Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap
keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat
merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan
sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberi tahu dan
menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan
setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa
disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mujijat dari
bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga
dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya. Setelah keringat
membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila
di atas batu, kadang-kadang dadanya, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus
peluh dengan saputangan lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat
lagi, setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya
dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar obat dari dalam gua untuk
dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari,
selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat.
Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di
antara mereka terdapat pula beberapa orang kang-ouw yang kasar dan menderita
luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sin
Liong memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yangmereka
derita. Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut minta obat dan yang
datang terakhir adalah seorang lakilaki setengah tua bertubuh tinggi besar,
dipunggungnya tergantung golok dan dia datang terpincangpincang karena pahanya
terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam.
"Sin-tong, kau
tolonglah aku..." Begitu tiba di depan gua dimana Sin Liong duduk dan
memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam
dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan. Sin
Liong mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang minta pengobatan, dia
paling tidak suka melihat orang kang-ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar
dan senjata yang selalu mereka bawa. Namun , belum pernah dia menolak untuk
mengobati mereka, bahkan diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang
yang berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu saling bermusuhandan
saling melukai, sehingga mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut
dikasihani karena tidak mengenai apa artinya ketentraman, kedamaian, dan kasih
antar manusia yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan.
"Orang tua gagah, bukankah dua bulan yang lalu kau
pernah datang dan minta obat karena luka di lengan kirimu yang keracunan?"
tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu.
"Benar,
benar sekali, Sin-tong. Aku adalah Sin-hek-houw (Macan Hitam Sakti) yang
dahulu terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang, aku
menderita luka lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan celakanya,
pedang itu mengandung racun yang hebat sekali. Kalau kau tidak segera
menolongku, akuakan mati, Sin-tong." Sin Liong tidak berkata apa-apa lagi,
menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka mengangga di balik
celana yang ikut terobek. Luka yang lebar dan dalam, luka yang tertutup oleh
darah yang menghitam dan membengkak, seluruh kaki terasa panas tanda keracunan
hebat! Sin Liong menarik nafas panjang.
"Lo-enghiong, mengapa engkau masih saja bertempur dengan
orang lain, saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau
dating kesini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding
dengan orang lain?" Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya
melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak kecil
berusia tujuh tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu adalah
seorang kakek yang menjadi pertapa dan hidup suci!
"Sin-tong, aku adalah Sin-hek-houw, dan jangan kau
menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepadaku. Aku adalah seorang perampok,
mengertikah kau? Seorang perampok tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok
orang lewat! Kalau aku tidak butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu
orang, dan kalau orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu
tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku keliru menilai orang.
Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan akibatnya
lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang kelihatan
lemah, yang membawa barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir buntung dan
kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan berterima kasih kepadamu,
Sin-tong dan akan mengabarkansesuatu yang amat penting bagimu".
"Lo-enghiong, aku tidk membutuhkan terima kasih dan
balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan di sini, tetumbuhan itu tumbuh di sini
begitu saja mempersilahkan siapapun juga yang mengerti untuk memetik dan
mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan tanpa menggunakan
kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu apa aku minta
terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat seluruh kaki sudah panas, berarti
darahmu telah keracunan, Untuk mengeluarkan racunnya yang masih mengeram di
sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat diobati, tidak seperti
sekarang ini ditutup oleh darah beracun yang mengering. Dapatkah kau membuka
lukamu itu, Lo-enghiong?" Orang setengah tua itu membelalakan mata dan
kembali dia kagum mendengar cara bocah itu bicara, akan tetapi keheranannya
lenyap ketika dia teringat bahwa bocah ini adalah Sin-tong, anak ajaib!
Maka dia lalu menghunus goloknya dan melihat berkelebatnya
sinar golok, Sin Liong memejamkan matanya. Terbayan kembali tiga batang golok
yang membacoki tubuh ayah bundanya, dan banyak golok yang kemudian membacoki
tubuh tiga orang pencuri itu. Sin-hek-houw menggunakan ujung goloknya untuk
menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan tetapi
lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan siksaan rasa
nyeri yang hebat, Sin-hek-houw melemparkan goloknya dan menggunakan kedua
tangannya memijit-mijit paha yang terasa nyeri itu. Sin Liong berlutut,
menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantumemijat sehingga darah makin
banyak keluar.Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah! Akan tetapi Sin
Liong yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di hati, dengan rasa iba
yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja, menerima bau itu
dengan perasaan makin terharu. Betapa sengsara dan menderitanya orang ini,
hanya demikian bisikan hatinya. Dia lalu mengambil bubukan akar tertentu,
menabur bubukan itu ke dalam luka yang mengangga.
"Aduhhhhh..mati aku....!" Kakek itu berseru keras
ketika merasa betapa obat itu mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor
lebah menyengat-nyengat bagian yang terluka itu.
"Harap kaupertahankan, Lo-enghiong sebentar juga akan hilang
rasa nyerinya. Jangan lawan ras nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan
ketahuilah bahwa bubuk itu adalah obat yang akan mengusir penyakit ini."
Sambil berkata demikian, Sin Liong lalu menggunakan empat helai daun yang sudah
diremas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian ditutupnya luka itu
dengan empat helai daun. Benar saja, rintihan orang itu makin perlahan tanda
bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu menarik nafas panjang
karena rasa nyerinya kini dapat ditahannya.
"Harap Lo-enghiong membawa akar ini, dimasak dan airnya
diminum. Khasiatnya untuk membersihkan racun yang masih berada di kakimu.
Dengan demikian maka luka itu akan membusuk dan akan lekas sembuh. Obat bubuk
dan daun-daun ini untuk mengganti obat setiap hari sekali, kiranya cukup untuk
sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sin Liong berkata sambil
membungkusobat-obat itu dengan sehelai daun yang lebar dan menyerahkannya
kepada Sin-hek-houw. Orang
kasar itu menerima bungkusan obat dan kembali menghela napas panjang.
"Kalau
saja aku dapat mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di
sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau, kiranya
aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terima kasih, Sin-tong dan aku tidak dapat
membalas apa-apa kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau terancam bahaya
besar". Sin Liong mengangkat muka memandang wajah berkulit hitam
itu dengan heran.
"Sin-tong, dunia kang-ouw telah geger dengan namamu.
Orang-orang kang-ouw, termasuk aku, yang telah menerima pengobatanmu, membawa
namamu di dunia kang-ouw dan terjadilah geger karena nama Sin-tong menjadi
kembang bibir setiap orang kang-ouw. Banyak partai besar tertarik hatinya,
menganggap engkau tentu penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan kini telah banyak
partai dan orang-orang gagah yang siap untuk dating kesini dan untuk membujukmu
menjadi anggota mereka atau menjadi murid orang-orang kang-ouw yang terkenal.
Celakanya, di antara mereka itu terdapat 2 orang manusia iblis yang lain lagi
maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan partai persilatan, melainkan
maksud keji terhadap dirimu."
Sin liong mengerutkan alisnya, sedikitpun dia tidak merasa
takut karena memang dia tidak mempunyai niat buruk terhadap siapa pun di dunia
ini.
"Lo-eng-hiong, aku hanya seorang anak kecil yang tidak
tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun juga. Siapa orangnya
yang akan menggangguku?"
Kakek itumemandang terharu. "Ahh...kau benar-benar
seorang yang aneh dan bersih hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan
melindungimu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya karena dua kali kau
menolongku, melainkan karena tidak rela aku melihat orang mau merusak seorang
bocah ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi 2 orang iblis itu..." Sin-hek-houw
menggiggil dan kelihatan jerih sekali.
"Siapakah mereka
dan apa yang mereka kehendaki dari aku?"
"Di dunia kang-ouw, banyak terdapat golongan sesat,
manusia-manusia iblis termasuk orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan dua
orang yang kumaksudkan itu, mereka adalah dua ekor harimau buas sedangkan orang
seperti aku hanyalah seekor tikus! Yang seorang adalah kakek berpakaian
pengemis, kelihatan seperti orang miskin yang alim, namun dialah iblis nomor
satu, ketua Pat-Jiu Kai-pang, seorang yang memiliki rumah seperti istana dan
wajahnya yang biasa dan alim menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi iblis
sendiri! Celakalah engkau kalu sudah berada di tangan kakek ini Sin-tong."
"Hemmm, kurasa seorang kakek seperti dia tidak
membutuhkan seorang anak kecil seperti aku. Aku tidak khawatir dia akan
mengangguku, Lo-eng-hiong!"
"Tidak aneh kalau kau berpendapat demikian, karena kau
seorang anak ajaib yang berhati dan berpikiran polos dan murni. Akan tetapi aku
khawatir sekali, apa lagi iblis kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita, cantik dan tak
ada yang tahu berapa usianya. Kelihatannya cantik, rambutnya panjang harum dan
selalu membawa sebuah payung, kelihatannya lemah dan membutuhkan perlindungan.
Akan tetapi, seperti iblis pertama, semua kecantikan dan kelemah-lembutannya
itu menyembunyikan watak yang sesungguhnya, watak yang lebih keji dan kejam
daripada iblis sendiri."
"Lo-enghiong,
harap saja Lo-enghiong tidak memburuk-burukkan orang lain seperti itu. Aku
tidak percaya."
Kakek itu
menarik napas panjang lalu bangkit berdiri.
"Aku
sudah memberi peringatan kepadamu Sin-tong. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut
aku bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu.
Setelah keadaan benar aman barulah kau kembali kesini. Aku mendengar berita
angin bahwa dua iblis itu sedang menuju ke Jeng-hoa-san mencarimu."
Namun Sin
Liong menggeleng kepala "Aku dibutuhkan oleh penduduk pedusunan si sini,
aku tidak pergi kemana-mana, Lo-enghiong."
"Hemmm,
sudahlah! Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan saja benar-benar
tidak terjadi seperti yang kukhawatirkan. Dan lebih-lebih lagi mudah-mudahan
aku tidak akan terluka lagi seperti ini, sehingga kalau kau benar-benar sudah
tidak berada lagi di sini, aku payah mencari obat. Selamat tinggal,Sin-tong dan
sekali lagi terima kasih."
"Selamat
jalan, Lo-enghiong, semoga lekas sembuh." Orang itu berjalan menyeret
kakinya yang terluka, baru belasan langkah menoleh lagi dan berkata,
"Benarbenarkah
kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi, Sin-tong?" Sin Liong
tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab.
"Sin-tong,
siapakah namamu yang sesungguhnya?"
"Aku
disebut Sin-tong, biarpun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega menolak
sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Sin-tong, itulah namaku."
Sin-hek-houw
menggeleng kepala, melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng-geleng dan
mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak ajaib..sayang..!" Dan dia
mengepal tinju, seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu
bocah yang dikaguminya itu.
Beberapa
hari kemudian semenjak Sin-hek-houw datang minta obat kepada Sin Liong, makin
banyaklah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang geger di dunia
kang-ouw tentang dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Sin
Liong tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali
tidak ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa,
tidak pernah gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita
yang didengarnya itu.
Beberapa
pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki Pegunungan Jeng-hoa-san tampak
berjalan eorang kakek seorang diri, menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah
menikmati pemandangan alam di sekitar tempat itu, kakek ini usianya tentu sudah
enam puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan, dan
wajahnya membayangkan kesabaran dan mulut yang ompong itu bahkan selalu
menyungging senyum simpul keramahan. Dia melangkah perlahan-lahan memasuki
hutan pertama di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, langkahnya dibantu dengan ayunan
sebatang tongkat butut yang berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu
yang sudah amat tua sehingga seperti besi saja rupanya. Agaknya dia seorang
pengemis tua yang hidupnya serba kekurangan namun yang dapat menyesuaikan diri
sehingga tidak merasa kurang, bahkankelihatannya gembira, menerima hidup apa
adanya dan hatinya selalu senang. Buktinya ketika dia mendengar kicau
burung-burung, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi pula! Akan tetapi
kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap orang yang
mendegarnya mengerutkan kening, karena selain aneh, juga menyimpang dari ajaran
kebatinan umumnya!
"Apa artinya hidup kalau hati tak senang? Apa artinya hidup Kalau segala
keinginan tak terpenuhi? Puluhan tahun mempelajari ilmu Bekal memenuhi segala
kehendak Berenang dalam lautan kesenangan Matipun tidak penasaran!
Berkali-kali
pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya halus dan
cukup merdu dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan
tongkatnya di atas tanah lunak atau kebetulan mengenai batu yang keras, ujung
tongkat itu tentu membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu butut itu
sendiri tidak meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak tanah akan
tetapi tongkat itu membuat jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah
maupun batu. Adapun kaki itu sendiri, biarpun menginjak tanah basah, sama
sekali tidak meninggalkan bekas.
Beberapa
menit kemudian setelah kakek aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang,
juga datang dari arah timur melalui kaki bukit itu. Mereka itu terdiri dari 12
orang laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan seorang
wanita berusia dua puluh lima tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus dengan
pinggang ramping. 12 orang laki-laki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian
mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahlisilat, sedangkan gerakan
mereka yang ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah sembarangan orang
kang-ouw melainkan rombongan orang gagah yang berilmu.
Hal ini
memang tidak salah, karena mereka itulah yang terkenal dengan julukan
Cap-sa-sinhiap (13 Pendekar Sakti) murid-murid utama dari Partai Besar
Bu-tong-pai!
"Tahan
dulu, para suheng!" Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke
atas dan memperingatkan para suhengnya, kemudian dia menuding ke bawah dan
berkata,
"Lihat
ini....!" Tiga Belas orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat
pengemis tadi yang jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja
tampak batu itu berlubang.
"Siapa
lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut. "Tenaga
tusukan tongkat yang hebat" kata seorang.
"Dan
jejak kakinya tidak tampak, tak salah lagi, Pat-jiu Kai-ong (Raja Pengemis
Berlengan Delapan), tentu telah lewat disini, dan baru saja. Hayo cepat kita
mengejarnya! Jangan sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu
Bunga!" kata orang tertua di antara mereka, seorang berusia empat puluh
tahun yang bermuka seperti harimau. Karena kini merasa yakin bahwa jejak
lubang-lubang itu tentu terbuat oleh tongkat Pat-jiu kai-ong, maka tiga belas
orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut senjata masing-masing dan tampaklah
berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan ketika tiga belas orang itu
mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan
pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama kemudian terdengarlah
oleh mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi. Tiga belas orang ini
memperlambatlarinya dan satu-satunya wanita diantara mereka mengomel lirih,
"Hemm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan dan demi
kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya melebihi
iblis sendiri!
"Sssssttt,
Sumoi, terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu,
Bu-tong-pai tidak pernah bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang manapun juga,
tidak pula mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita bertanya dia
secara baik-baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan
pertempuran." Kata twa-su-heng (kakak seperguruan tertua) mereka.Semua
sutenya mengangguk, akan tetapi sumoinya mengomel, "Siapakah yang takut
kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya.
Memang nona
yang bernama The Kwat Lin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang
ilmu pedangnya hebat maka tidaklah mengherankan apabila diat terhitung seorang
di antara Capsha Sin-hiap yang terkenal di dunia kang-ouw.
"Sumoi,
kita harus mentaati perintah Suhu, agar tidak membawa Bu-tong-pai menanam bibit
permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun kaum sesat. Karena
itu, dalam pertemuan ini, serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian
semua!"
Karena
maklum bahwa dia tidak boleh melanggar perintah gurunya dan bahwa twa-suheng
ini selain paling lihai juga merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kwat
Lin mengangguk biarpun bibirnya yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia
merasa tidak puas melihat sikap jerih yang diperlihatkan para suhengnya.
Cap-sha Sin-hiap mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, disegani kawan
ditakuti lawan, masa sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja
kelihatan gentar?
Suara
nyanyian itu makin keras, tanda bahwa jarak di antara mereka dengan kakek itu
makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna, tiga belas
orang pendekar Bu-tong-pai itu dan dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh
mereka, dari kanan kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah berdiri menghadap di
depan kakek pengemis dengan sikap keren dan gagah sekali. Kakek pengemis itu
masih melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan ketika pandang
matanya bertemu dengan wajah Kwat Lin, dia tidak meyembunyikan kekagumannya.
Setelah
nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata, "Eh-eh, apakah
kalian ini serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku
seorang pengemis tidak mempunyai uang untuk membayar upah kalian!"
"Harap
Locianpwe tidak berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe adalah
Pat-jiu-kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan) yang terhormat.
Locianpwe adalah tokoh terkenal yang berjuluk Pat-jiu Kai-ong, bukan?"
Kakek yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu tersenyum, senyumnya juga
simpatik dan ramah. Tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu yang hanya baru
mengenal nama kakek sakti kaum sesat ini, diam-diam merasa heran bahkan sangsi
apakah benar mereka berhadapan dengan Pat-jiu Kai-ong yang kabarnya kejamnya
seperti iblis, karena kakek ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah!
"Ha..ha..ha,
sungguh sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri.
Orang-orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, biarpun
belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan
cantik, dia memandang Kwat Lin lagi dengan kagum, "Tidak keliru dugaan
kalian aku adalah Pat-jiu Kai-ong, seorang pengemis tua yang hanya memiliki
sebatang tongkat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian
menghadang perjalananku?"
"Kami
adalah Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai!" kata Kwat Lin dan karena sudah
terlanjur, maka percuma saja twa-suhengnya mencegahnya dengan pandang matanya.
"Benar,
kami adalah murid-murid Bu-tong-pai, Locianpwe," kata Twa-suheng itu
dengan hati tidak enak karena sumoinya yang lancang itu ternyata telah membuka
kartu dan mengaku bahwa mereka dari Bu-tongpai, berarti membawa-bawa nama
perkumpulan mereka.
"Ha..ha..ha,
bagus. Memang Bu-tong-pai mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik
sepanjang kabar yang kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak pernah
berurusan dengan Bu-tong-pai."
Melihat
sikap kakek itu masih ramah dan kata-katanya juga halus dan tidak bermusuh,
twa-suheng itu menjadi makin tidak enak. Akan tetapi karena dia maklum orang
macam apa adanya kakek di depannya ini, dan betapa Sin-tong yang mereka dengar
merupakan seorang anak ajaib yang luar biasa dan sudah menolong manusia dengan
pengetahuan yang tepat mengenai khasiat tetumbuhan yang mengandung obat, maka
tetap saja dia merasa khawatir akan keselamatan Sin-tong itu kalau sampai kakek
datuk sesat ini bertemu dengan anak itu.
"Apa
yang Locianpwe katakanmemang benar. Di antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai,
tidak pernah ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Bu-tong-pai
juga tidak berniat untuk menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami
mendengar berita bahwa diantara banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat
kepada anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Sin-tong dan yang
berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah Locianpwe
sekarang sedang menuju ke hutan itu?"
Mulai
berubah wajah kakek itu mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tetapi
sepasang matanya yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya
kegembiraannya dan berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua.
"Hemmm,
orang-orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi
Sin-tong, kalian mau apakah?"
Tiga belas
orang anak murid Bu-tong-pai itu sudah dapat "Mencium" keadaan yang
membuat mereka semua siap siaga. Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya
halus budi itu dan ramah ini mulai memperlihatkan "tanduknya" atau
watak sesungguhnya.
"Locianpwe,
kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak mengganggu
Sintong."
"Apamukah bocah itu?"
"Bukan
apa-apa, Locianpwe. Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong
orang tanpa pandang bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban semua
orang gagah di dunia kang-ouw untuk menjaga keselamatannya."
Perubahan
hebat pada diri kakek itu. Kini senyumnya bahkan lenyap dan mulutnya
menyeringai penuh sikap mengejek, matanya berkilat-kilat dan suaranya berubah
kaku, ketusdan memandang rendah.
"Anak-anak
kurang ajar! Apakah Si Tua Bangka Kui Bho Sanjin yang mengutus kalian?"
"Guru
kami tidak tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan
mendengar akan Sintong yang terancam bahaya, maka kami melihat Locianpwe lalu
sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau Locianpwe tidak menghendaki Sin-tong,
kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya."
"Aku memang menuju ke Hutan Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka bahwa aku
akan mencelakai Sin-tong?"
Tiga belas
pendekar Bu-tong-pai itu makin tegang. Kakek ini sudah mulai berterus terang,
maka tiada salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang pula.
"Siapa
yang tidak mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong sedang menyempurnakan ilmu iblis
yang disebut Hiat-ciang-hoat-sut (Ilmu Hitam Tangan Darah)?"
Tiba-tiba
Kwat Lin berseru sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu.
Para suhengnya terkejut, akan tetapi ucapan telah terlanjur dikeluarkan dan
memang dalam hati mereka terkandung tuduhan ini. Ilmu Hiat-ciang hoat-sut
adalah semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari oleh kaum sesat karena
ilmu ini membutuhkan syarat yang amat keji, yaitu menghimpun kekuatan hitam
dengan jalan menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-anak yang masih
bersih darahnya! Tentu saja bagi seorang yang sedang menyempurnakan ilmu iblis
ini, Sin-tong mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena darah, otak dan
sumsum seorang bocah seperti Sin-tong yang ajaib, lebih berharga dari darah,
otak dan sumsum puluhan orangbocah biasa lainnya!.
Tiba-tiba
kakek itu tertawa lebar.
Hah-hah-hah-hah, memang benar! Dan satu-satunya bocah yang akan menyempurnakan
ilmuku itu adalah Sin-tong! Dan aku bukan hanya suka minum dan menghisap darah,
otak dan sumsum bocah yang bersih, juga aku bukannya tidak suka
bersenang-senang dengan perawan cantik seperti engkau, Nona!"
"Singggg!
Singggg...!" Tampak sinar-sinar berkilauan ketika pedang yang tiga belas
buah banyaknya itu bergerak secara berbarengan dan tiga belas orang pendekar
itu telah mengurung si Kakek yang masih tertawa-tawa. "Heh-heh,
kalian mau coba-coba main-main dengan Pat-jiu Kai-ong? Sayang kalian masih muda-muda harus mati,
kecuali Nona manis. Andaikata Si Tua Bangka Kui Bhok Sanjin berada disini
sekalipun, dia juga tentu akan mampus kalau berani menentang Pat-jiu
Kai-ong!"
"Serbu dan basmi iblis ini!"
Twa-suheng itu berteriak dan mereka sudah menerjang maju dengan bermacam
gerakan yang cepat dan dahsyat. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara pekik
yang dahsyat, pekik yang disusul dengan suara tertawa menyeramkan. Suara ketawa
ini bergema di seluruh hutan, sehingga terdengar suara ketawa menjawabnya dari
semua penjuru, seolah-olah semua setan dan iblis penjaga hutan telah datang
oleh panggilan kakek itu. Hebatnya, suara pekik dan tertawa itu membuat tiga
belas orang pendekar itu seketika seperti berubah menjadi arca, gerakan mereka
terhenti dan untuk beberapa detik mereka hanya bengong memandang kakek itu dan
jantung mereka seolah-olah berhenti berdenyut. Twa-suheng mereka yang bermuka
gagah perkasa itu segeraberseru, "Awas. Saicu-hokang (Ilmu menggereng
seperti singa berdasarkan khikang)!"
Seruan ini
menyadarkan para sutenya dan sumoinya. Mereka cepat mengerahkan sinking
sehingga pengaruh Saicu-hokang itu membuyar. Pedang mereka melanjutkan
gerakannya. "Sing-sing.... siuuuut....
trang-trang-trang..Heh-heh-heh!" Gulungan sinar pedang-pedang yang
menyambar ke arah tubuh kakek dari berbagai jurusan, dapat ditangkis oleh
gulungan sinar tongkat hitam yang telah diputar dengan cepatnya oleh Pat-jiu
kai-ong. Para pendekar Bu-tong-pai itu terkejut ketika merasakan betapa telapak
tangan mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis
tongkat. Hal ini menandakan bahwa Si kakek benar-benar amat lihai dan memiliki
tenaga sakti yang amat kuat. Juga tongkatnya yang kelihatan butut dan hitam itu
ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan ketajaman pedang di
tangan mereka, padahal semua pedang di tangan Cap-sha Sin-hiap adalah
pedang-pedang pusaka yang ampuh.
"Ha..ha..ha, inikah Ngo-heng-kiam (Ilmu Pedang Lima
Unsur) dari Bu-tong-pai yang terkenal? Ha..ha, tidak seberapa!"
Sambil menggerakan tongkatnya menangkis setiap sinar pedang
yang meluncur datang, kakek itu tertawa dan mengejek.
"Bentuk Sin-kiam-tin (Barisan Pedang Sakti)!"
Teriak si Twa-suheng melihat betapa kakek itu benar-benar amat tangguh sehingga
semua serangan pedang mereka dapat ditangkis dengan mudahnya.
Tiba-tiba tiga belas orang pendekar itu merobah gerakan
mereka, kini mereka tidak lagi menyerang dari kedudukan tertentu, melainkan
mereka bergerak mengurung dan mengelilingikakek itu, sambil bergerak
berkeliling mereka menyusun serangan berantai yang susul menyusul dan yang
datangnya dari arah yang tidak tertentu. Diam-diam kakek itu terkejut. Sejenak
dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu menyerangnya dari kedudukan
tertentu, biarpun gerakan mereka tadi berdasarkan Ngo-heng-kiam, namun dia
sudah dapat mengenal dasar Ngo-heng-kiam dan dapat menggerakan tongkat secara
otomatis untuk menangkis semua pedang yang dating menyambar. Akan tetapi
sekarang, sukar sekali menentukan dari mana serangan akan dating, dan gerakan
mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing. Marahlah Pat-jiu
Kai-ong. Tadi dia ingin mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai dan memperhatikan
para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Akan tetapi setelah mereka
menggunakan Sin-kiam-tin dia tahu behwa mereka kalau dia tidak cepat mendahului
mereka, dia bisa terancam bahaya. Tidak disangkanya bahwa Si Tua Bangka Kui
Bhok San-jin, ketua dari Bu-tong-pai dapat menciptakan barisan pedang yang
demikian lihainya.
Tiba-tiba terjadi perubahan pada diri kakek ini. Tangan
kirinya berubah menjadi merah sekali, merah darah!
"Hati-hati terhadap Hiat-ciang Hoat-sut!" Si
Twa-suheng berseru keras ketika melihat perubahan warna tangan kiri kakek itu.
Pat-jiu Kai-ong tiba-tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat
daripada tadi dan tubuhnya mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi
tangan kiri merah itu mendorong ke depan. "Prak-prak...dessss!" Tiga
orang pengeroyok menjerit dan roboh, dua orang dengan kepala pecah olehtongkat,
sedangkan seorang lagi terkena pukulan jarak jauh Hiat-ciang Hoat-sut, roboh
dan tewas seketika dengan dadanya tampak ada bekas lima jari merah seperti
terbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah Hiat-ciang Hoat-sut, pukulan
maut yang mengerikan. Padahal ilmu itu masih belum sempurna, dapat dibayangkan
betapa hebatnya kalau kakek ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum
seorang bocah ajaib seperti Sin-tong!. Sepuluh orang pendekar Bu-tong-pai
terkejut dan marah sekali. Mereka melanjutkan serangan dengan penuh semangat
dan penuh dendam. Namun kembali Pat-jiu Kai-ong memekik dahsyat sambil bergerak
menyerang, dan kembali tiga orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini
diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk
membebaskan diri. Empat kali terdengar dia memekik dahsyat seperti itu dan
akibatnya, dua belas orang diantara Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai itu tewas
semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang masih hidup tinggal The
Kwat Lin seorang! Hal ini memang disengaja oleh Pat-jiu Kai-ong dan kini sambil
tersenyum mengejek dia menghadapi Kwat Lin. Dapat dibayangkan betapa perasaan
dara itu melihat dua belas orang suhengnya telah tewas semua! Dua belas orang
suhengnya yang selama ini berjuang sehidup semati dengannya, kini telah menjadi
mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya, seolah-olah mayat dua belas orang
itu mengurung dia dan Pat-jiu Kai-ong yang berdiri tersenyum di depannya.
"Iblis busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Kwat Lin berseru mengandung isak tertahan.
"Haiiiit.....!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya ditusukkan ke
arah dada lawan dengan kebencian meluap-luap. Namun dengan gerakan seenaknya
kakek itu memukulkan tongkatnya dari samping menghantam pedang yang menusuknya.
"Krekkk!" Pedang itu patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwat
Lin! Dara itu membelalakan matanya dan melihat pandang mata kakek itu
kepadanya, melihat senyum yang baginya amat mengerikan itu, tiba-tiba dia
membalikan tubuhnya dan melayang ke arah sebatang pohon besar, dengan niat
untuk membenturkan kepalanya pecah pada batang pohon itu! Kwat Lin melihat
ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri, maka setelah yakin
bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil keputusan nekat
untuk membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon.
"Bukkkkkk!" Bukan batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan
perut lunak dan tubuhnya berada dalam pelukan Pat-jiu Kai-ong yang entah kapan
telah berada di situ menghadangnya di depan pohon!
"Lepaskan aku!!"
Kwat Lin berteriak dan tubuhnya tiba-tiba dilontarkan oleh
kakek itu, jauh kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat suhengnya. Dengan
langkah gontai, kakek itu tersenyum-senyum memasuki lingkaran dan melangkahi
mayat bekas para penggeroyoknya, menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit duduk
dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti seekor
kelinci muda ketakutan menghadapi seekor harimau yang siap menerkamnya.
Perasaan ngeri yang luar biasa membuat Kwat Lin cepat menggerakan tangan
kanannya, dengandua buah jari tangan dia menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya
sendiri sambil mengerahkan sinking. Batu karang saja akan berlubang terkena
tusukan jari tangannya seperti itu apa lagi ubun-ubun kepalanya.
"Plakkk!" "Aihhh....!" Kwat Lin menjerit ketika tangannya
itu tertangkis dan setengah lumpuh.
Ternyata kakek itu telah berdiri di depannya dan telah
mencegah dia membunuh diri! "Bretttt...bretttt....!" Tongkat kakek
itu bergerak beberapa kali dan seperti disulap saja seluruh pakaian yang
membungkus tubuh Kwat Lin cabik-cabik dan cerai-berai, membuatnya menjadi
telanjang bulat sama sekali! Kwat Lin menjerit akan tetapi tiba-tiba, seperti
seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan suara ketawa menyeramkan,
kakek itu telah menubruk dan memeluknya sehingga mereka berdua bergulingan
diatas rumput yang bernoda darah para korban keganasan kakek itu! Kwat Lin
melawan sekuat tenaga, namun sia-sia belaka. Untuk membunuh diri tidak ada
jalan baginya, untuk melawan pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan
permohonan, semua usahanya meronta-ronta tiada gunanya sama sekali. Bahkan
semua usaha ini malah menyenangkan hati si Kakek. Seolah-olah seekor kucing
yang menjadi gembira dapat mempermankan seekor tikus yang telah tersudut dan
tidak berdaya, mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum
menjadi mangsanya!
Selama tiga
hari tiga malam Kwat Lin menderita siksaan yang amat hebat. Diperkosa, dihina,
diejek. Pada hari ketiga,pagi-pagi sekali dalam keadaan lebih banyak yang mati
daripada yang hidup, dalam keadaan setengah sadar, rebah terlentang tak
mampubergerak, hanya matanya saja yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Lin
melihat kakek itu mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa
memandang kepadanya yang masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat
di atas rumput berdarah.
"Ha-ha-ha,
sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh diri,
silahkan. Ha-haha!"
Biarpun Kwat
lin berada dalam keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir mati karena
lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi satu dalam
benaknya, namun kebencian yang meluap-luap masih memberinya tenaga untuk
berseru,
"Jahanam, sekarang aku harus hidup! Aku harus hidup untuk melihat engkau mampus di
tanganku!" "Ha..ha..ha..ha! Kalau sewaktu-waktu kau merasa rindu
kepadaku, manis, datang saja ke Hong-san, sampai jumpa!"
Kakek itu
lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu meninggalkan Kwat-Lin yang masih
rebah dan kini wanita yang bernasib malang ini menangis sesenggukan dia antara mayat-mayat
dua belas suhengnya yang sudah mulai membusuk dan berbau! Dapat dibayangkan
betapa tersiksa rasa badan wanita muda ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di
antara mayat-mayat dua belas suhengnya, bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu
mulai membusuk dan menyiarkan bau yang hampir tak tertahankan, kakek itu masih
saja enak-enak mempermainkannya. Benar-benar seorang manusia yang kejam
melebihi iblis sendiri.
JILID 2
Tiba-tiba Kwat lin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki
tubuhnya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan karena selama tiga hari
tigamalam dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu.
Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat
suhengnya, dan matanya menjadi liar, keluar suara parau dari mulutnya yang
pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek iblis.
"Suheng sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah
untuk membalaskan kematian suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku
sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu
Kai-ong!"
Tiba-tiba dia terhuyung mundur memandang wajah twasuhengnya.
Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya. "Twa
Suheng......!" Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai
membusuk itu.
"Jangan berduka, Twa-suheng....jangan
menangis......" Dia berdirisesunggukan. "Apa.....? Aku
telanjang.....? Pakaianmu......? Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok
mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dab celana luar dari mayat
yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pada tubuhnya
sendiri. Tentu saja agak kebesaran.
"Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran, Suheng......."
Dia memandang wajah mayat twa-suhengnya dan tertawa lagi.
"Hi-hik,nah,begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawalah
para suheng sekalian......, tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian
pasti akan kubalaskan...! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..."
Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung
dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang twa-suhengnya.
Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang
pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian Ketua Bu-tong pai sendiri,
pedang yang di dekat gagangnya ada gambar setangkai bunga Bwee merah, maka
pedang itu diberi nama Ang-bwe-kiam (Pedang Bunga Bwee Merah).
Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu tujuan, asal
menggerakkan kedua kaki melangkah saja, langkah yang kecil-kecil dan
terhuyung-huyung karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua.
Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh geli sehingga
kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah mukanya
penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya riap-riapan
dan pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang itu akan merasa seram, mengira
bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak
meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin
membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan pada
ingatannya.
Pada hari yang sama ketika Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan
kakek iblis Pat-jiu Kai-ong di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, terjadi pula
peristiwa hebat di bagian lain dari Pegunungan itu. Kalau Cap-sha Sin-hiap
roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat terjadi pula peristiwa
yang hampir sama sungguhpun sifatnya berbeda. Pada pagi hari itu, seorang
wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pegunungan Jeng-hoasan
sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri dan harus diakui
bahwa wajah wanita cantik manis sekali, mempunyai daya tarik yang kuat
sungguhpun usianya sudah empat puluh tahun. Tidak ada keriput mengganggu kulit
mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang
senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi
kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka
hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga
dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip.
Mata itu terbuka terus seperti mata boneka! Dengan langkah-langkah gontai dan
lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan kiri, wanita itu
berjalan seorang diri, memutar-mutarsebuah payung yang dipanggulnya. Sebuah
payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing.
Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas
seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan
emas. Yang menarik adalah kuku-kuku jari tangannya. Kuku yang panjang
terpelihara, diberi warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti
kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan
tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang
menggairahkan dari dada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari
sutera merah muda itu pun ketat sekali!
Biarpun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit
(tante girang), namun sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa saja! Inilah dia
yang terkenal sekali di dunia hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain
adalah Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai Berpayung Pedang), sebuah julukan yang membuat
bulutengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri sangking ngerinya karena
wanita yang sebenarnya hanya bernama Liok Si ini memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya!
Bahkan ia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman
rase yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang pria yang terjebak dalam
pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh siluman ini!
Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak
akan mengira bahwa wanita yang berlenggak-lenggok dengan payung di pundak
itulah iblis wanita yang menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang
luar biasa. Dan mudah saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini
mendaki lereng Jeng-hoa-san! Tentu saja dia pun mendengar berita menggeggerkan
dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si Bocah ajaib dan mendengar ini, kontan
keras hatinya berdebar-debar penuh ketegangandan penuh birahi! Dia dapat
membayangkan betapa tenaga mukjijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan
jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat
sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu!
Maka begitu mendengar akan bocah ajaib di puncak Pegunungan
Jeng-hoasan di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh
mengunjungi pegunungan itu. Perjalananyang jauh karena biarpun sering kali Liok
Si ini pergi merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti istana
mewahnya terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di
daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yangliar ini terdapat di kaki Pegunungan
Luliang-san, merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang
berputar, merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di
tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain,
terdapat sebuah tanah datar, tanah keras semacam pulau dan diatas pulau inilah
letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, bersama
belasan orang pembantu-pembantuyang sudah menjadi orangorang kepercayaannya.
Dia disebut Cai-li(Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita
ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan dan semenjak kecil Liok
Si telah mempelajari kesusasteraan sehingga dia mahir sekali akan sastra,
bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia
lulus dan mendapat gelar siucai! Akan tetapi, penyamarannya keetahuan dan
seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya lalu mengambilnya sebagai
seorang selir. Selain ilmu sastra, juga Liok Si ini semenjak kecil digembleng
ilmu oleh para sahabat ayahnya, apalagi setelah menjadi selir pembesar tinggi
di istana, dia mengadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan
pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai
pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi yang diperolehnya sebagai
"bayaran".
Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya ini
yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria maka dia diusir dari istana
pembesar itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar, membawa
banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian minggat!
Belasan
tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada yang
menduga bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang
membunuh bangsawanitu sehingga menjadi orang buruan pemerintah. Liok Si
berjalan sambil tersenyum-senyum, kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak
giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang
agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira
sekali kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh
bocah ajaib itu.
"Hemmm,
aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama
mungkin. Hemmm..."
Tiba-tiba
dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum
manis matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang
laki-laki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya
menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang
wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar tegang ketika
melihat lima orang pria yang usianya rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh
tegap-tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah! Seperti melihat
lima butir buah yang ranum dan matang hati!
"Aih-aihh... Siapakah Ngo-wi (Anda berlima) yang gagah
perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi sengaja hendak bertemu dan bicara dengan
aku?"
Seorang di antara mereka, yang usianya tiga puluh tahun,
mukanya bulat dan alisnya seperti golok hitam dan tebal, berkata, "Apakah
kami berhadapan dengan Kiam-mo Cai-li dari Rawa Bangkai?"
Wanita itu memainkan bola matanya memandangi wajah merka
berganti-ganti dengan berseri, mulunya tersenyum ketika menjawab, "kalau
benar mengapa? Kalian ini siapakah?"
"Kami adalah Kee-san Ngo-hohan(Lima Pendekar dari Gunung
Ayam)".
"Kiam-mo Cai-li mengeluarkan bunyi
"tsk-tsk-tsk" dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan berkata
manis.
"Aih, kiranya lima pendekar yang namanya sudah terkenal
di seluruh dunia kang-ouw sebagai murid-murid utama Hoa-san-pai? Aih, terimalah
hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku."
"Harap Toanio(Nyonya) tidak mengejek dan bersikap merendah.
Kami sudah tahu siapa adanya Kiam-mo Cai-li, dan karena melihat engkau mendaki
Jeng-hoa-san, maka terpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang."
"Ehm...! Maksud kalian?" Senyumnya makin manis dan
kerling matanya makin memikat.
"Kami telah mendengar akan berita bahwa tokoh-tokoh
kang-ouw sedang berusaha untuk memperebutkan Sin-tong yang berada di Hutan
Seribu Bunga dan kami mendengar pula bahwa Kiam-mo Cai-li merupakan seorang di
antara mereka yang hendak menculik Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi,
diberi obat oleh Sin-tong maka kami hanya dapat membalas budinya dengan
melindunginya terutama dari tangan... maaf, para tokoh kaum sesat yang tentu
tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya. Andaikata kami tidak berhutang
budi sekalipun, mengingat bahwa Sin-tong adalah seorang anak ajaib yang telah
banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah menjadi kewajiban orang-orang
gagah untuk melindunginya."
Kembali
Kiam-mo Cai-li tersenyum. "Terus terang saja, memang aku mendengar
tentang Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari ini aku mendaki
Jeng-hoa-san. Habis kalian mau apa?"
Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka
membatalkan niatmu itu, Toanio. Kalau kau memaksa hendak menganggu Sin-tong,
terpaksa kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan
perjalanan!"
"Hi-hi-hik, galak amat! Lima orang laki-laki muda tampan
gagah bertemu dengan seorang wanita cantik penuh gairah, sungguh tidak
semestinya kalu bermain senjata mengadu nyawa!"
"Hemm, habis semestinya bagaimana?" tanya orang
pertama dari Kee-san Ngo-hohan yang betapapun juga merasa jerih mendengar nama
besar wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan mengalah dan pergi dari situ,
tidak mengganggu Sin-tong. Mata itu tajam mengerling dan senyumnya penuh arti,
bibirnya penuh tantangan.
"Mestinya? Mestinya kita bermain cinta memadu
kasih!"
"Perempuan hina!"
"Jalang!"
"Siluman betina"
Lima orang itu telah mencabut senjata masing-masing yaitu
senjata golok besar yang selama ini telah mengangkat nama mereka di dunia
kang-ouw. Kelima orang pendekar ini memang merupakan ahli-ahli bermain golok
dengan Ilmu Hoa-san-to-hoat yang terkenal, dan selain itu juga mereka semua
mahir akan ilmu menotok jalan darah yang bernama Sam-ci-tiam-hoat, yaitu ilmu
menotok menggunakan tiga buah jari tangan.
"Siaaaattt...singg...siang..."
"Ha-ha, bagus! kalian memang gagah sekali bermain golok,
tentu lebih gagah kalau bermain cinta, hi-hik!"
Kiam-mo Cai-li mengelak dan tiba-tiba payung hiatmnya
berkembang terbuka. Payung itu merupakan senjata isimewa, terbuat dari baja
yang kuat dan kainnya terbuat dari kulit badak yang kering dan sudah dimasak
lemas, namun kuatnya luar biasa dapat menahan bacokan senjata tajam. Adapun
ujung payung itu meruncing, merupakan ujung pedang, dan gagangnya yang
melengkung itu pun dapat digunakan sebagai senjata kaitan yang lihai.
"Trang-trang-trang...!!" Bunga api berpijar ketika golok-golok itu
tertangkis oleh payung dan karena kini tubuh wanita itu tertutup payung yang
berkembang dan berputar-putar, maka sukarlah bagi lima orang itu untuk
menyerangnya dari depan. Mereka lalu berloncatan dan mengurung wanita itu.
"Hi-hik, hayo keroyoklah. Kalu baru kalian lima orang ini saja, masih
terlampau sedikit bagiku. Hi-hik, hendak kulihat sampai dimana kekuatan kalian
apakah patut untuk menjadi lawan-lawanku untuk bermain cinta!"
"Perempuan
rendah!"
Orang
pertama dari lima pendekar itu marah sekali, goloknya menyambar dahsyat, tapi
tiba-tiba golok itu terhenti di tengah udara karena telah terikat oleh sebuah
benda hitam panjang yang lembut. Kiranya wanita itu telah mengudar gelung
rambutnya dan ternyata rambut itu panjangnya sampai ke bawah pinggulnya, rambut
yang gemuk hitam, panjang dan harum baunya, bahkan bukan itu saja keistemewaannya,
rambut itu dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh, sebagai cambuk yang kini
berhasil membelit golok orang pertama dari Kee-san ngo-hohan! Sebelum orang ini
ssempat menarik goloknya, tangan kiri Kiam-mo Cai-li bergerak menghantam
tengkuk orang itu dengan tangan miring. "Krekk!" Laki-laki itu
mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali karena dia telah terkena totokan
istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh sungguhpun dia masih dapat melihat dan
mendengar. Empat orang lainnya terkejut dan marah sekali. Mereka memutar golok
lebih gencar lagi, bahkan kini tangan kiri mereka membantu dengan serangan
totokan Sam-ci-tiam-hoat yang ampuh! Namun orang yang mereka keroyok itu
tertawa-tawa mempermainkan mereka. Setiap serangan golok dapat dihalau dengan
mudah oleh payung yang diputar-putar sedangkan ujung rambut yang panjang itu
mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan menyambar-nyambar di atas kepala
mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan kepanikan saja karena memang
dipergunakan untuk mempermainkan mereka.
"Mampuslah!"
Orang ke dua
yang menyerang dengan golok ketika goloknya ditangkis, cepat dia
"memasuki" lowongan dan berhasil mengirim totokan. Karena tempat
terbuka yang dapat dimasuki jari tangannya di antara putaran payung itu hanya
di bagian dada, maka dia menotok dada kiri wanita itu. Dalam keadaan seperti
itu, menghadapi lawan yang amat tangguh, pendekar ini sudah tidak mau lagi
mempergunakan sopan santun yang tentu tidak akan dilanggarnya kalau keadaan
tidak mendesak seperti itu.
"Cusss...!"
tiga buah jari tangan itu tepat mengenai buah dada kiri yang besar, tapi dia
hanya merasakan sesuatu yang lunak hangat, sedangkan wanita itu sama sekali
tidak terpengaruh, bahkan mengerling dan berkata, "Ihh, kau bersemangat
benar, tampan. Belum apa-apa sudah main colek dada, hihik!"
Tentu saja
pendekar ini menjadi merah sekali mukanya. Dia merasa malu akan tetapi juga
penasaran. Ilmu totok yang dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah gagal.
Tadi jelas dia telah menotok jalan darah yang amat berbahaya di dada wanita
itu, mengapa wanita itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan
menyindirnya dan dianggap dia mencolek dada? Dengan marah dia menerjang lagi
bersama tiga orang sutenya.
"Sudah
cukup, sudah cukup, rebah dan beristirahatlah kalian!"
Tiba-tiba
payung itu tertutup kembali, berubah menjadi pedang yang aneh dan segulung
sinar hitam menyambar-nyambar mendesak empat orang itu, kemudian dari atas
terdengar ledakan-ledakan dan berturut-turut tiga orang lagi roboh terkena
totokan ujung rambut wanita sakti itu. Seperti orang pertama, mereka ini pun
roboh tertotok dan lumpuh, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak namun
tidak menggerakan kaki tangan mereka! Orang termuda dari mereka kaget setengah
mati melihat betapa empat orang suhengnya telah roboh. Namun dia tidak menjadi
gentar, bahkan dengan kemarahan dan kebencian meluap dia memaki,
"Perempuan hina, pelacur rendah, siluman betina, aku takkan mau sudah
sebelum dapat membunuhmu!"
"Aihhh...
kau penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku!"
Golok itu
tertangkis oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental dan sebelum
laki-laki itu dapat mengelak, sinar hitam menyambar dan ujung rambut telah
membelit lehernya! Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan libatan
rambut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi begitu wanita itu
menggerakkan kepalanya, rambutnya terpecah menjadi banyak gumpalan dan
tahu-tahu kedua pergelangan lengan orang itu pun sudah terbelit rambut yang
seolah-olah hidup seperti ular-ular hitam yang kuat.
"Nah,
kesinilah, Tampan. Mendekatlah, kekasih. Kau perlu dihajar agar tidak suka
memaki lagi!"
Laki-laki
itu sudah membuka mulut hendak memaki lagi, akan tetapi libatan rambut pada
lehernya makin erat sehingga dia tidak dapat bernapas, kemudian rambut itu
menariknya mendekat kepada wanita yang tersenyum-senyum itu! Kini laki-laki itu
sudah berada dekat sekali, bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada
yang membusung dan perut yang mengempis dari wanita itu. Tercium olehnya bau
wangi yang aneh dan memabokkan, akan tetapi karena lehernya terbelit kuat-kuat,
dan napasnya tak dapat lancar, maka dia terpaksa menjulurkan lidahnya keluar.
"Aihhh,
kau perlu diberi sedikit hajaran, Tampan!"
Empat orang
pendekar yang tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian betapa
wanita iut kini mendekatkan muka sute mereka yang termudda, kemudian membuka
mulut dan mencium mulut sute mereka yang terbuka dan lidah yang terjulur keluar
itu.Mereka melihat tubuh sute mereka berkelojot sedikit seperti menahan sakit,
mata sute mereka terbelalak, namun wanita itu terus mencium dan menutup mulut
pria itu dengan mulutnya sendiri yang lebar. Tak dapat terlihat oleh empat
orang pendekar itu betapa wanita itu yang kejam dan keji seperti iblis, telah
menggunakan giginya untuk menggigit sampai terluka lidah sute mereka yang
terjulur keluar, kemudian menghisap darah dari luka di lidahitu! Mereka
berempat hanya melihat betapa wanita itu memejamkan mata, baru sekarang mereka
melihat wanita itu memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan tetapi wajah
sute mereka makin pucat dan mata sute mereka yang terbelalak itu membayangkan
kenyerian dan ketakutan yang hebat. Agaknya wanita itu tidak puas karena darah
yang dihisapnya kurang banyak, maka kini dia melepaskan mulut pemuda itu dan
memindahkan ciuman mulutnya ke leher si Pemuda. Dapat dibayangkan betapa kaget
empat orang pendekar itu melihat bahwa mulut sute mereka penuh warna merah
darah!
"Sute...!!!"
Mereka
berseru akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangan mereka. Sute mereka
meronta-ronta seperti ayam disembelih, matanya melotot memandang ke arah para
suhengnya seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan ketika
wanita itu kelihatan jelas menghisaphisap lehernya ternyata bahwa urat besar di
lehernya telah ditembusi gigi yang meruncing dan kini dengan sepuasnya wanita
itu menghisap darah yang membanjir keluar dari urat di leher itu! Mata yang
melotot itu makin hilang sinarnya dan pudar, wajahnya makin pucat dan akhirnya
tubuh yang meregang-regang itu lemas. Orang termuda itu pingsan karena
kehilangan banyak darah, takut dan ngeri. Kiam-mo Cai-li melepaskan libatan
rambutnya dan tubuh itu tergulig roboh, terlentang dengan muka pucat dan napas
terengah-engah.
'Sute...!"
Kembali
mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa wanita itu
menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk menjilati darah
yang masih belepotandi bibirnya yang menjadi makin merah. Wajahnya kemerahan,
segar seperti kembang mendapat siraman, berseri-seri dan ketika dia mendekati
empat orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi, wanita itu
tidak menyerang mereka, agaknya dia sudah puas menghisap darah orang termuda
tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak -gerak dan sekali renggut saja
pakaian empat orang itu telah koyak-koyak. Kemudian dia bangkit berdiri, dengan
gerakan memikat seperti seorang penari telanjang, dia membuka pakaiannya,
menanggalkan satu demi satu sambil menari-nari! Sampai dia bertelanjang bulat
sama sekali di depam empat orang itu yang membuang muka dengan perasaan ngeri
dan sebal!
"Kalian
layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan kalian
berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan cinta
kalian, aku tidak menginginkan nyawa kalian."
"Cih,
siluman betina! Kauanggap kami ini orang-orang apa? Kami adalah murid
Hoa-san-pai yang tidak takut mati. Seribu kali lebih baik mampus daripada
memenuhi seleramu yang terkutuk melayani nafsu berahimu yang menjijikan!"
kata empat orang itu saling susul dan saling bantu.
Kiam-mo
Cai-li tersenyum. "Hi-hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian
melayani aku sampai mampus!"
Dia lalu
membungkuk dan menarik lengan seorang di antara mereka, kemudian menggunakan
kuku jari kelingking kiri menggurat beberapa tempat di punggung dan tengkuk
pria ini. Orang itu menggigil, menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi
karena dia tidak mampu mengerahkan sinkang, dia tidak dapat melawan pengaruh
hebatyang menggetarkan tubuhnya melalui luka-luka goresan kuku beracun dari
kelingking itu. Mukanya menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan napasnya
terengah-engah. Tiga orang pendekar yang lain memandang penuh
kekhawatiran dan kengerian. Tiba-tiba wanita itu terkekeh, menggunakan tangan
membebaskan totokan sehingga orang itu dapat menggerakkan kaki tangannya dan
terjadilah hal yang membuat tiga orang pendekar yang masih rebah lumpuh itu
terbelalak penuh kengerian. mereka melihat Sute mereka itu seperti seorang gila
menerkam dan mendekap tubuh wanita itu penuh gairah nafsu! Dengan mata
terbelalak mereka melihat betapa wanita itu menyambutnya dengan kedua lengan
terbuka, bergulingan di atas rumput dan tampak betapa wanita itu membiarkan
dirinya diciumi, kemudian mengalihkan mulutnya yang lebar ke leher Sute mereka!
Mereka bertiga terpaksa memjamkan mata agar tidak usah menyaksikan peristiwa
yang memalukan dan terkutuk itu.
Mereka mengerti bahwa Sute mereka melakukan hal terkutuk itu
karena terpengaruh oleh racun yang diguratkan oleh kuku jari kelingking si
iblis betina, dan mereka tahu pula bahwa Sute mereka yang diamuk pengaruh
jahanam itu tidak tahu bahwa darahnya dihisap oleh wanita itu yang seperti
telah dilakukan pada orang pertama tadi kini juga menghisap darahnya sepuas
hatinya. Dapat diduga lebih dahulu bahwa tiga orang yang lain juga mengalami
siksaan yang sama tanpa dapat berdaya apa-apa tanpa dapat melawan. Hal ini
dilakukan berturut-turut oleh Kiam-mo Cai-li dan tiga hari tiga malam kemudian,
dia meninggalkan tempat itu sambil menjilat-jilat bibirnya penuh kepuasan.
Setelah dia melempar kerling ke arah lima tubuh telanjang yang sudah menjadi
mayat semua itu, bergegas dia pergi mendaki Jeng-hoa-san untuk mencari Sin-tong
yang amat diinginkan.
Lima orang Kee-san Ngo-hohan itu mengalami kematian yang amat
mengerikan. Tubuh mereka kehabisan darah, kulit mengeriput. Mereka seperti lima
ekor lalat yang terjebak ke sarang laba-laba dan setelah semua darah mereka
disedot habis oleh laba-laba, mayat mereka yang sudah kering dan habis sarinya
itu dilemparkan begitu saja. Kwa Sin Liong, atau yang lebih terkenal dengan
nama panggilan Sin-tong, pada pagi hari itu seperti biasa setelah mandi cahaya
matahari, lalu menjemur obat-obatan dan tidak lama kemudian berturut-turut
datanglah orang-orang dusun yang membutuhkan bahan obat untuk bermacam penyakit
yang mereka derita. Sin tong mendengarkan dengan sabar keluhan dan keterangan
mereka tentang sakit yang mereka derita, menyiapkan obat-obat untuk mereka
semua dengan hati penuh belas kasihan. Semua ada sebelas orang dusun, tua muda laki perempuan yang memandang
kepada bocah itu dengan sinar mata penuh kagum dan pemujaan.
Baru bertemu
dan memandang wajah Sin-tong itu saja, mereka sudah merasa banyak berkurang
penderitaan sakit mereka. Seolah-olah ada wibawa yang keluar dari wajah bocah
penuh kasih sayang itu yang meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu
saja hal ini sebenarnya terjadi karena kepercayaan mereka yang penuh bahwa
bocah itu akan dapat menyembuhkan penyakit mereka, sehingga keyakinan ini
sendiri sudah merupakan obat yang manjur. Dan bocahajaib itu memang bukanlah
seorang dukun yang menggunakan kemujijatan dan sulap atau sihir untuk mengobati
orang, melainkan berdasarkan ilmu pengobatan yang wajar. Dia memilih buah,
daun, bunga atau akar obat yang memang tepat mengandung khasiat atau daya
penyembuh terhadap penyakit-penyakit tertentu itu.
Tiba-tiba terdengar nyanyian yang makin lama
makin jelas terdengar oleh mereka semua. Juga in Liong, bocah ajaib itu,
berhenti sebentar mengumpulkan dan memilih obat yang akan dibagikan karena
mendengar suara nyanyian yang aneh itu. Akan tetapi begitu kata-kata nyanyian
itu dimengertinya, dia mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepala.
"Aihh,
kalau hidup hanya untuk mengejar kesenangan, apapun juga tentu tidak akan
dipantangnya untuk dilakukan demi mencapai kesenangan!" kata Sin Liong.
"Huh-ha-ha,
benar sekali, Sin-tong. Untuk mencapai kesenangan harus berani melakukan apapun
juga, termasuk membunuh para tamu-tamu yang tiada harganya ini!"
Terdengar
jawaban dan tahu-tahu disitu telah berdiri Pat-jiu Kai-ong! Sebagai lanjutan
kata-katanya, tongkatnya ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu lima kali
ujung tongkat itu bergerak menerbangkan tanah dan kerikil ke depan. Tampak
sinar hitam berkelebat menyambar lima kali, disusul jerit-jerit kesakitan dan
robohlah berturut-turut lima orang dusun yang berada di depan Sin Liong, roboh
dan berkelojotan kemudian tewas seketika karena tanah dan kerikil itu masuk ke
dalam kepala mereka!
"Hi-hi-hik,
kepandaian seperti itu saja dipamerkan di depan Sin-tong lihat ini!"
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa merdu dantau-tahu di situ telah berdiri seorang wanita
cantik yang bukan lain adalah Kiammo Cai-li! Dia menudingkan payung hitamnya
yang tertutup itu ke arah para penghuni dusun yang berwajah pucat dan dengan
mata terbelalak memandang lima orang teman mereka yang telah tewas.
"Cuat-cuat-cuat...!"
Dari ujung
payung itu meluncur sinar-sinar hitam dan berturut-turut, enam orang dusun yang
masih hidup menjerit dan roboh tak bergerak lagi, leher mereka ditembusi
jarum-jarum hitam yang meluncur keluar dari ujung payung itu! Sejenak Sin Liong
terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di sebelah kanan dan
kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas orang dusun
yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air matanya berderai dan
dengan suara nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian
kepada Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai,
"Kalian
ini manusia atau iblis? Kalian berdua amat kejam, perbuatan kalian amat
terkutuk. Membunuh orang-orang tak berdosa seolah kalian pandai menghidupkan
orang. Bocah itu memandang kepada sebelas mayat dan sesenggukan menangis.
"Hi-hi-hik,
Sin-tong yang baik, apakah kau takut kubunuh? Jangan khawatir, aku datang bukan
untuk membunuhmu," kata Kiam-mo Cai-li, agak kecewa melihat betapa bocah
ajaib itu menangis dan membayangkannya ketakutan.
Sin Liong
mengangkat muka memandang wanita itu, biarpun air matanya masih berderai turun
namun pandang matanya sama sekali tidak membayangkan ketakutan,
"Kau
mau bunuh aku atau tidak, terserah. Aku tidak takut!"
"Ha-ha-ha!
Benar hebat! Sin-tong, kalau kau tidak takut kenapa menangis?" Pat-jiu
Kai-ong menegur.
"Apa kau menangisi kematian orang-orang tak berharga
itu?"
Kiam-mo
Cai-li menyambung. "Mereka sudah mati mengapa ditangisi? Aku menangis
menyaksikan kekejaman yang kalian lakukan, kau menangis karena melihat
kesesatan dan kekejaman kalian."
Dua orang tokoh sesat itu terbelalak heran
saling pandang kemudian mereka teringat kembali akan niat mereka terhadap anak
ajaib ini, maka keduanya seperti dikomando saja lalu tertawa, dan keduanya
dengan
Pagi itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng
Pegunungan Jeng Hoa San (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan
cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali
rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan
kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk.
Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan, penghidupan itu mengusir
halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu,
meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias ujung-ujung daun
dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda
jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri. Cahaya matahari yang lembut itu
tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun, namun
kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah daun
dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara
bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, disana sini bertemu dengan pantulan air
membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh segala
macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah! Bagi mata
yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa, keindahan yang baru
dan yang senantiasa akan nampak baru biarpun andaikata dilihatnya setiap
hari Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi
tampak, keadaan sunyi senyap. Yang mula-mula membangunkan hutan itu adalah
kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring sekali, kokok yang tiba-tiba dan
mengejutkan, susul menyusul dari beberapa penjuru.
Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang
tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal
dan hangat dari sayap mereka, kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap
pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam
suaranya, bersaing indah dan ramai namun kesemuanya memiliki kemerduan yang
khas. Sukar bagi telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, karena suara
yang bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang
dibunyikan bersama. Yang ada pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana
yang lebih indah, suara burung-burung itu sendiri ataukan keheningan kosong
yang terdapat di antara jarak suara-suara itu.
Anak laki-laki itu masih amat kecil. Tidak akan lebih dari
tujuh tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar
yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga itu, menghadap ke timur dan sudah
ada setengah jam lebih dia berdiri seperti itu, hanya matanya saja yang
bergerak-gerak, mata yang lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan,
seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di
antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis-garis
lurus. Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara
kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biarpun amat bersih
seperti bersihnya tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang
terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan
bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah
yang jarang terdapat pada anak-anak dan membuat dia menjadi seorang anak yang
mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya sebagai seorang anak yang aneh
dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa.
Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh seri kehidupan
ketika dia tadi melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung
sebelah timur, bola merah yang amat besar dan yang mula-mula merupakan
pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda
yang tak kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang makin menguning dan
berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa cahaya
yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari puncak
pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung. Anak itu lalu
menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak
tergesa-gesa, tanpa menengok ke kanan kiri karena selama ini dia tahu bahwa di
pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali dirinya
sendiri berada di situ. Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuah batu
dan duduk bersila, menghadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya
bersilang dan napasnya masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan
seperti pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia
melakukan ini setiap hari duduk sambil mandi cahaya matahari selama dua tiga
jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan terasa panas barulah dia berhenti.
Juga diwaktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat,
mandi cahaya bulan purnama selama tujuh malam, kadang-kadang sampai lupa diri
dan duduk bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh
sudah hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik pumcak barat.
Anak yang luar biasa!
Memang. Demikian pula penduduk di sekitar Pegunungan Jeng Hoa
San menyebutnya Sin Tong (Anak Ajaib), demikianlah nama anak ini yang diketahui
orang. Anak ajaib, anak sakti dan lain-lain sebutan lagi. Karena semua orang
menyebutnya Sin Tong dan memang dia sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa
namanya, maka anak itu sudah menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap
namanya Sin Tong! Mengapakah orang-orang dusun, penghuni semua dusun di sekitar
lereng dan kaki Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada
sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati
penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah, dan akar-akar obat yang
benarbenar manjur sekali! Hampir semua penduduk yang terkena penyakit datang ke
lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana anak itu tinggal karena di
antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga, hutan inilah yang benar-benar
tepat disebut Hutan Seribu Bunga denga tetumbuhan beraneka warna, penuh dengan
bunga-bunga indah, terutama sekali pada musim semi. Dan anak ini memberi daun
atau akar obat dengan hati terbuka, dengan hati terbuka, dengan tulus ikhlas,
suka rela dan selalu menolak kalau diberi uang! Maka berduyun-duyun orangdusun
datang kepadanya dan diam-diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai
dewa yang menjelma menjadi seorang anak-anak yang menolong dusun-dusun itu dari
malapetaka. Bahkan ketika terjangkit penyakit menular, penyakit demam hebat
yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, bocah ajaib inilah yang membasminya
dengan memberi akar-akar tertentu yang harus diminum airnya setelah dimasak.
Dengan akar itu, yang sakit banyak tertolong dan yang belum terkena penyakit
tidak akan ketularan. Ketika orang-orang dusun itu, terutama yang wanita,
datang membawa pakaian baru yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat
menolak, dan menyatakan terima kasihnya dengan butiran air mata menetes di
kedua pipinya akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Karena
jasa orang-orang dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian sederhana sekali,
potongan "dusun".
Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni
Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun
dari kahyangan menjadi seorang anak-anak untuk menolong seorang manusia,
seperti kepercayaan para penduduk di Pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat
Lama yang dianggap sebagai Sang Budha sendiri yang "menjelma" menjadi
anak-anak dan menjadi calon Lama. Sebetulnya tentu saja tidak seperti
ketahyulan yang dipercaya oleh orang-orang yang memang suka akan ketahyulan dan
suka akan yang ajaib-ajaib itu.
Anak itu dahulunya adalah anak tunggal dari Keluarga Kwa di
kota Kun-Leng, sebuah kota kecil di sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san. Dia
bernama Kwa Sin Liong, dan nama Sin Liong(Naga Sakti) ini diberikan kepadanya
karena ketika mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor nama beterbangan di
angkasa diantara awan-awan. Adapun ayah Sin Liong adalah seorang pedagang obat
yang cukup kaya di kota Kun-leng. Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga ini
ketika malam hari tiga orang pencuri memasuki rumah mereka. Tadinya tiga orang
penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga kaya ini, akan tetapi
ketika mereka memasuki kamar ayah dan ibu Sin Liong mempergoki mereka. Karena
khawatir dikenal, tiga orang itu lalu membunuh ayah-bunda Sin Liong dengan
bacokan-bacokan golok. Ketika itu Sin Liong baru berusia lima tahun dan di
tempat remang-remang itu melihat betapa ayah-bundanya dihujani bacokan golok
dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak. Saking ngeri dan takutnya,
Sin Liong seperti berubah menjadi gagu, matanya melotot dan dia tidak bisa
mengeluarkan suara. Karena ini, tiga orang pencuri itu tidak melihat anak kecil
di kamar yang gelap itu. Mereka terutama sibuk mengumpulkan barang-barang
berharga dan mereka itu juga panik, ingin lekas-lekas pergi karena mereka telah
terpaksa membunuh tuan dan nyonya rumah. Setelah para penjahat itu keluar dari
kamar, barulah Sin Liong dapat menjerit, menjerit sekuat tenaganya sehingga
malam hari itu terkoyak oleh jeritan anak ini.
Para tetangga mereka terkejut dan semua pintu dibuka, semua
laki-laki berlari keluar dan melihat tiga orang yang tidak dikenal keluar dari
rumah keluarga Kwa membawa buntalan-buntalan besar, segera terdengar teriakan
"maling…maling!" dan orangorang itu mengurung tiga penjahat ini.
Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa yang dapat dibayangkan betapa
kaget hati mereka melihat suami-isteri itu tewas dalam keadaan mandi darah,
sedangkan Sin Liong menangisi kedua orang tuanya, memeluki mereka sehingga
muka,tangan dan pakaian anak itu penuh dengan darah ayahbundanya.
"Pembunuh! Mereka membunuh keluarga Kwa!" Orang yang menyaksikan
mayat kedua orang itu segera lari keluar dan berteriak-teriak "Manusia
kejam! Tangkap mereka!" "Tidak! Bunuh saja mereka!" "Tubuh
suami-istri Kwa hancur mereka cincang!" "Bunuh!"
"Serbu...!" Dan terjadilah pergumulan atau pertandingan yang berat
sebelah. Tiga orang itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela diri, akan
tetapi mana mereka itu, maling-maling biassa, mampu menahan serbuan puluhan
bahkan ratusan orang yang marah dan haus darah?. Anak laki-laki itu, ketika
pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, keluar dari dalam, mukanya penuh
darah, kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah keluar seperti dalam
mimpi, mukanya pucat sekali dan matanya yang lebar itu terbelalak memandang
penuh kengerian.Dia berdiri di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak
memandang apa yang terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para
tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga
orang pencuri tadi, para pembunuh ayah-bundanya. Terdengar olehnya betapa
pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh merintih-rintih, minta-minta ampun dan
terdengar pula suara bak-bik-buk ketika kaki tangan dan senjatamenghantami
mereka. Mereka bertiga itu roboh, dan terus digebuki, dibacok, dihantam dan
darah muncrat-muncrat., tubuh tiga orang itu berkelojotan, suara yang aneh
keluar dari tenggorokan mereka. Akan tetapi orang-orang yang marah dan haus
darah itu, yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan
adil, terus saja menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh mereka
remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya
onggokan-onggokan daging hancur dan tulang-tulang patah!. Ketika semua orang
sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan mereka,
menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan mereka memasuki rumah
keluarga Kwa, Sin Liong tidak berada disitu! Kiranya bocah ini, yang baru saja
tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah bundanya dibacoki dan
dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya
makin terhimpit, luka-luka dihatinya makin banyak dan dia tidak kuat menahan
lagi.
Dilihatnya wajah orang-orang itu semua seperti wajah iblis,
dengan mata bernyala-nyalapenuh kebencian dan dendam, penuh nafsu membunuh,
dengan mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap
untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa
seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan
menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di antara
sekumpulan iblis, maka sambil menangis tersedu-sedu Sin liong lalu lari
meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota Kun-leng,
terus berlari kearah pegunungan yang tampak dari jauh seperti seorang manusia
sedang rebahan, seorang manusia dewa yang sakti, yang akan melindunginya dari
kejaran iblis itu! Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin lIong
terus berlari sampai pada keesokan harinya, saking lelahnya, dia tersaruk-saruk
di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh
menelungkup, bangun lagi dan lari pagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pada
keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan
di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng-hoa-san. Setelah siuman, anak kecil
berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian
tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena kebetulan pada waktu itu adalah
musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pegunungan, kalau perutnya sudah mulai
lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya
segar dan tidak pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan. Di dalam hutan
seribu bunga itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di
dunia lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau
dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya.
Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya
kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah bundanya, yang memaksa ayah
bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat
kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga orang itu sampai mati dan
hancur tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan kalau teringatakan hal itu. Di
dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, keheningan
yang menyejukkan perasaan. Mula-mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk
kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah
bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri yang
rusak hancur.
Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat betapa
tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan
mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang
airnya keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula memang dia tidak
ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan
"Bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan
Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah
menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru! Di dekat pohon peak
yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar untuk
dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan
angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan.
Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali bahwa harta kekayaan orang tuanya
yang tidak mempunyai keluarga dan sanak kadang lainnya, telah dijadikan
perebutan antara para tetangga sampai habis ludes sama sekali! Dengan alas an
"mengamankan" barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para
tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak
mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan tiga orang pencuri yang mereka
keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguhpun
caranya tidak "sekasar" yang dilakukan para pencuri. Jika dinilai,
pencurian yang dilakukan para tetangga dan "sahabat" ini jauh lebih
kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh tiga orang pencuri dahulu itu,
karena para pencuri itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-terangan
mereka itu adalah pencuri, tidak berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu
memang terbuka, sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu
Si Pemilik sedang lengah atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para
tetangga itu adalah pencurian terselubung, dengan kedok "menolong"
sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat
seperti Si Pencuri biasa karena mengambil dan menghaki milik orang lain, ke dua
jahat karena telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung
"kebaikan". Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima
tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera
seorang ahli pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima tahun, sedikit banyak
Sin Liong tahu akan daun-daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya
mencari daundaun obat di gunung-gunung. Setelah kini dia hidup seorang diri di
dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan pemupukan secara
alam. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah pandai
memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana
pula yang beracun dan sebagainya. Selama dua tahun itu, dengan pakaian
cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman
ini pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih
daun-daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari
pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan
pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap
pengenalan akan daun dan akar serta buah dan kembang yang mangandung obat ini
sehingga penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan
menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu
daun, bunga, buah ataupun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa
pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti
kebenarannya kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya
itu. Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang
menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat
bunga-bunga dan daun-daun yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan
Seribu Bunga itu. Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk
menjadi makanan sehari-hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong
mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih
yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup
sebatangkara dan juga timbul karena melihat kekejaman yang menggores di
kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu
tewas. Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah,
dantidak pernah melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman.
Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap
keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat
merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan
sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberi tahu dan
menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan
setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa
disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mujijat dari
bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga
dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya. Setelah keringat
membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila
di atas batu, kadang-kadang dadanya, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus
peluh dengan saputangan lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat
lagi, setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya
dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar obat dari dalam gua untuk
dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari,
selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat.
Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di
antara mereka terdapat pula beberapa orang kang-ouw yang kasar dan menderita
luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sin
Liong memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yangmereka
derita. Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut minta obat dan yang
datang terakhir adalah seorang lakilaki setengah tua bertubuh tinggi besar,
dipunggungnya tergantung golok dan dia datang terpincangpincang karena pahanya
terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam.
"Sin-tong, kau
tolonglah aku..." Begitu tiba di depan gua dimana Sin Liong duduk dan
memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam
dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan. Sin
Liong mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang minta pengobatan, dia
paling tidak suka melihat orang kang-ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar
dan senjata yang selalu mereka bawa. Namun , belum pernah dia menolak untuk
mengobati mereka, bahkan diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang
yang berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu saling bermusuhandan
saling melukai, sehingga mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut
dikasihani karena tidak mengenai apa artinya ketentraman, kedamaian, dan kasih
antar manusia yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan.
"Orang tua gagah, bukankah dua bulan yang lalu kau
pernah datang dan minta obat karena luka di lengan kirimu yang keracunan?"
tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu.
"Benar,
benar sekali, Sin-tong. Aku adalah Sin-hek-houw (Macan Hitam Sakti) yang
dahulu terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang, aku
menderita luka lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan celakanya,
pedang itu mengandung racun yang hebat sekali. Kalau kau tidak segera
menolongku, akuakan mati, Sin-tong." Sin Liong tidak berkata apa-apa lagi,
menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka mengangga di balik
celana yang ikut terobek. Luka yang lebar dan dalam, luka yang tertutup oleh
darah yang menghitam dan membengkak, seluruh kaki terasa panas tanda keracunan
hebat! Sin Liong menarik nafas panjang.
"Lo-enghiong, mengapa engkau masih saja bertempur dengan
orang lain, saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau
dating kesini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding
dengan orang lain?" Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya
melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak kecil
berusia tujuh tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu adalah
seorang kakek yang menjadi pertapa dan hidup suci!
"Sin-tong, aku adalah Sin-hek-houw, dan jangan kau
menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepadaku. Aku adalah seorang perampok,
mengertikah kau? Seorang perampok tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok
orang lewat! Kalau aku tidak butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu
orang, dan kalau orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu
tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku keliru menilai orang.
Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan akibatnya
lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang kelihatan
lemah, yang membawa barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir buntung dan
kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan berterima kasih kepadamu,
Sin-tong dan akan mengabarkansesuatu yang amat penting bagimu".
"Lo-enghiong, aku tidk membutuhkan terima kasih dan
balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan di sini, tetumbuhan itu tumbuh di sini
begitu saja mempersilahkan siapapun juga yang mengerti untuk memetik dan
mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan tanpa menggunakan
kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu apa aku minta
terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat seluruh kaki sudah panas, berarti
darahmu telah keracunan, Untuk mengeluarkan racunnya yang masih mengeram di
sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat diobati, tidak seperti
sekarang ini ditutup oleh darah beracun yang mengering. Dapatkah kau membuka
lukamu itu, Lo-enghiong?" Orang setengah tua itu membelalakan mata dan
kembali dia kagum mendengar cara bocah itu bicara, akan tetapi keheranannya
lenyap ketika dia teringat bahwa bocah ini adalah Sin-tong, anak ajaib!
Maka dia lalu menghunus goloknya dan melihat berkelebatnya
sinar golok, Sin Liong memejamkan matanya. Terbayan kembali tiga batang golok
yang membacoki tubuh ayah bundanya, dan banyak golok yang kemudian membacoki
tubuh tiga orang pencuri itu. Sin-hek-houw menggunakan ujung goloknya untuk
menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan tetapi
lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan siksaan rasa
nyeri yang hebat, Sin-hek-houw melemparkan goloknya dan menggunakan kedua
tangannya memijit-mijit paha yang terasa nyeri itu. Sin Liong berlutut,
menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantumemijat sehingga darah makin
banyak keluar.Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah! Akan tetapi Sin
Liong yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di hati, dengan rasa iba
yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja, menerima bau itu
dengan perasaan makin terharu. Betapa sengsara dan menderitanya orang ini,
hanya demikian bisikan hatinya. Dia lalu mengambil bubukan akar tertentu,
menabur bubukan itu ke dalam luka yang mengangga.
"Aduhhhhh..mati aku....!" Kakek itu berseru keras
ketika merasa betapa obat itu mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor
lebah menyengat-nyengat bagian yang terluka itu.
"Harap kaupertahankan, Lo-enghiong sebentar juga akan hilang
rasa nyerinya. Jangan lawan ras nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan
ketahuilah bahwa bubuk itu adalah obat yang akan mengusir penyakit ini."
Sambil berkata demikian, Sin Liong lalu menggunakan empat helai daun yang sudah
diremas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian ditutupnya luka itu
dengan empat helai daun. Benar saja, rintihan orang itu makin perlahan tanda
bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu menarik nafas panjang
karena rasa nyerinya kini dapat ditahannya.
"Harap Lo-enghiong membawa akar ini, dimasak dan airnya
diminum. Khasiatnya untuk membersihkan racun yang masih berada di kakimu.
Dengan demikian maka luka itu akan membusuk dan akan lekas sembuh. Obat bubuk
dan daun-daun ini untuk mengganti obat setiap hari sekali, kiranya cukup untuk
sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sin Liong berkata sambil
membungkusobat-obat itu dengan sehelai daun yang lebar dan menyerahkannya
kepada Sin-hek-houw. Orang
kasar itu menerima bungkusan obat dan kembali menghela napas panjang.
"Kalau
saja aku dapat mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di
sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau, kiranya
aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terima kasih, Sin-tong dan aku tidak dapat
membalas apa-apa kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau terancam bahaya
besar". Sin Liong mengangkat muka memandang wajah berkulit hitam
itu dengan heran.
"Sin-tong, dunia kang-ouw telah geger dengan namamu.
Orang-orang kang-ouw, termasuk aku, yang telah menerima pengobatanmu, membawa
namamu di dunia kang-ouw dan terjadilah geger karena nama Sin-tong menjadi
kembang bibir setiap orang kang-ouw. Banyak partai besar tertarik hatinya,
menganggap engkau tentu penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan kini telah banyak
partai dan orang-orang gagah yang siap untuk dating kesini dan untuk membujukmu
menjadi anggota mereka atau menjadi murid orang-orang kang-ouw yang terkenal.
Celakanya, di antara mereka itu terdapat 2 orang manusia iblis yang lain lagi
maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan partai persilatan, melainkan
maksud keji terhadap dirimu."
Sin liong mengerutkan alisnya, sedikitpun dia tidak merasa
takut karena memang dia tidak mempunyai niat buruk terhadap siapa pun di dunia
ini.
"Lo-eng-hiong, aku hanya seorang anak kecil yang tidak
tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun juga. Siapa orangnya
yang akan menggangguku?"
Kakek itumemandang terharu. "Ahh...kau benar-benar
seorang yang aneh dan bersih hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan
melindungimu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya karena dua kali kau
menolongku, melainkan karena tidak rela aku melihat orang mau merusak seorang
bocah ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi 2 orang iblis itu..." Sin-hek-houw
menggiggil dan kelihatan jerih sekali.
"Siapakah mereka
dan apa yang mereka kehendaki dari aku?"
"Di dunia kang-ouw, banyak terdapat golongan sesat,
manusia-manusia iblis termasuk orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan dua
orang yang kumaksudkan itu, mereka adalah dua ekor harimau buas sedangkan orang
seperti aku hanyalah seekor tikus! Yang seorang adalah kakek berpakaian
pengemis, kelihatan seperti orang miskin yang alim, namun dialah iblis nomor
satu, ketua Pat-Jiu Kai-pang, seorang yang memiliki rumah seperti istana dan
wajahnya yang biasa dan alim menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi iblis
sendiri! Celakalah engkau kalu sudah berada di tangan kakek ini Sin-tong."
"Hemmm, kurasa seorang kakek seperti dia tidak
membutuhkan seorang anak kecil seperti aku. Aku tidak khawatir dia akan
mengangguku, Lo-eng-hiong!"
"Tidak aneh kalau kau berpendapat demikian, karena kau
seorang anak ajaib yang berhati dan berpikiran polos dan murni. Akan tetapi aku
khawatir sekali, apa lagi iblis kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita, cantik dan tak
ada yang tahu berapa usianya. Kelihatannya cantik, rambutnya panjang harum dan
selalu membawa sebuah payung, kelihatannya lemah dan membutuhkan perlindungan.
Akan tetapi, seperti iblis pertama, semua kecantikan dan kelemah-lembutannya
itu menyembunyikan watak yang sesungguhnya, watak yang lebih keji dan kejam
daripada iblis sendiri."
"Lo-enghiong,
harap saja Lo-enghiong tidak memburuk-burukkan orang lain seperti itu. Aku
tidak percaya."
Kakek itu
menarik napas panjang lalu bangkit berdiri.
"Aku
sudah memberi peringatan kepadamu Sin-tong. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut
aku bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu.
Setelah keadaan benar aman barulah kau kembali kesini. Aku mendengar berita
angin bahwa dua iblis itu sedang menuju ke Jeng-hoa-san mencarimu."
Namun Sin
Liong menggeleng kepala "Aku dibutuhkan oleh penduduk pedusunan si sini,
aku tidak pergi kemana-mana, Lo-enghiong."
"Hemmm,
sudahlah! Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan saja benar-benar
tidak terjadi seperti yang kukhawatirkan. Dan lebih-lebih lagi mudah-mudahan
aku tidak akan terluka lagi seperti ini, sehingga kalau kau benar-benar sudah
tidak berada lagi di sini, aku payah mencari obat. Selamat tinggal,Sin-tong dan
sekali lagi terima kasih."
"Selamat
jalan, Lo-enghiong, semoga lekas sembuh." Orang itu berjalan menyeret
kakinya yang terluka, baru belasan langkah menoleh lagi dan berkata,
"Benarbenarkah
kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi, Sin-tong?" Sin Liong
tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab.
"Sin-tong,
siapakah namamu yang sesungguhnya?"
"Aku
disebut Sin-tong, biarpun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega menolak
sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Sin-tong, itulah namaku."
Sin-hek-houw
menggeleng kepala, melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng-geleng dan
mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak ajaib..sayang..!" Dan dia
mengepal tinju, seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu
bocah yang dikaguminya itu.
Beberapa
hari kemudian semenjak Sin-hek-houw datang minta obat kepada Sin Liong, makin
banyaklah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang geger di dunia
kang-ouw tentang dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Sin
Liong tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali
tidak ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa,
tidak pernah gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita
yang didengarnya itu.
Beberapa
pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki Pegunungan Jeng-hoa-san tampak
berjalan eorang kakek seorang diri, menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah
menikmati pemandangan alam di sekitar tempat itu, kakek ini usianya tentu sudah
enam puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan, dan
wajahnya membayangkan kesabaran dan mulut yang ompong itu bahkan selalu
menyungging senyum simpul keramahan. Dia melangkah perlahan-lahan memasuki
hutan pertama di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, langkahnya dibantu dengan ayunan
sebatang tongkat butut yang berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu
yang sudah amat tua sehingga seperti besi saja rupanya. Agaknya dia seorang
pengemis tua yang hidupnya serba kekurangan namun yang dapat menyesuaikan diri
sehingga tidak merasa kurang, bahkankelihatannya gembira, menerima hidup apa
adanya dan hatinya selalu senang. Buktinya ketika dia mendengar kicau
burung-burung, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi pula! Akan tetapi
kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap orang yang
mendegarnya mengerutkan kening, karena selain aneh, juga menyimpang dari ajaran
kebatinan umumnya!
"Apa artinya hidup kalau hati tak senang? Apa artinya hidup Kalau segala
keinginan tak terpenuhi? Puluhan tahun mempelajari ilmu Bekal memenuhi segala
kehendak Berenang dalam lautan kesenangan Matipun tidak penasaran!
Berkali-kali
pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya halus dan
cukup merdu dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan
tongkatnya di atas tanah lunak atau kebetulan mengenai batu yang keras, ujung
tongkat itu tentu membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu butut itu
sendiri tidak meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak tanah akan
tetapi tongkat itu membuat jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah
maupun batu. Adapun kaki itu sendiri, biarpun menginjak tanah basah, sama
sekali tidak meninggalkan bekas.
Beberapa
menit kemudian setelah kakek aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang,
juga datang dari arah timur melalui kaki bukit itu. Mereka itu terdiri dari 12
orang laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan seorang
wanita berusia dua puluh lima tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus dengan
pinggang ramping. 12 orang laki-laki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian
mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahlisilat, sedangkan gerakan
mereka yang ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah sembarangan orang
kang-ouw melainkan rombongan orang gagah yang berilmu.
Hal ini
memang tidak salah, karena mereka itulah yang terkenal dengan julukan
Cap-sa-sinhiap (13 Pendekar Sakti) murid-murid utama dari Partai Besar
Bu-tong-pai!
"Tahan
dulu, para suheng!" Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke
atas dan memperingatkan para suhengnya, kemudian dia menuding ke bawah dan
berkata,
"Lihat
ini....!" Tiga Belas orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat
pengemis tadi yang jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja
tampak batu itu berlubang.
"Siapa
lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut. "Tenaga
tusukan tongkat yang hebat" kata seorang.
"Dan
jejak kakinya tidak tampak, tak salah lagi, Pat-jiu Kai-ong (Raja Pengemis
Berlengan Delapan), tentu telah lewat disini, dan baru saja. Hayo cepat kita
mengejarnya! Jangan sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu
Bunga!" kata orang tertua di antara mereka, seorang berusia empat puluh
tahun yang bermuka seperti harimau. Karena kini merasa yakin bahwa jejak
lubang-lubang itu tentu terbuat oleh tongkat Pat-jiu kai-ong, maka tiga belas
orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut senjata masing-masing dan tampaklah
berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan ketika tiga belas orang itu
mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan
pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama kemudian terdengarlah
oleh mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi. Tiga belas orang ini
memperlambatlarinya dan satu-satunya wanita diantara mereka mengomel lirih,
"Hemm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan dan demi
kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya melebihi
iblis sendiri!
"Sssssttt,
Sumoi, terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu,
Bu-tong-pai tidak pernah bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang manapun juga,
tidak pula mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita bertanya dia
secara baik-baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan
pertempuran." Kata twa-su-heng (kakak seperguruan tertua) mereka.Semua
sutenya mengangguk, akan tetapi sumoinya mengomel, "Siapakah yang takut
kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya.
Memang nona
yang bernama The Kwat Lin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang
ilmu pedangnya hebat maka tidaklah mengherankan apabila diat terhitung seorang
di antara Capsha Sin-hiap yang terkenal di dunia kang-ouw.
"Sumoi,
kita harus mentaati perintah Suhu, agar tidak membawa Bu-tong-pai menanam bibit
permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun kaum sesat. Karena
itu, dalam pertemuan ini, serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian
semua!"
Karena
maklum bahwa dia tidak boleh melanggar perintah gurunya dan bahwa twa-suheng
ini selain paling lihai juga merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kwat
Lin mengangguk biarpun bibirnya yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia
merasa tidak puas melihat sikap jerih yang diperlihatkan para suhengnya.
Cap-sha Sin-hiap mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, disegani kawan
ditakuti lawan, masa sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja
kelihatan gentar?
Suara
nyanyian itu makin keras, tanda bahwa jarak di antara mereka dengan kakek itu
makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna, tiga belas
orang pendekar Bu-tong-pai itu dan dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh
mereka, dari kanan kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah berdiri menghadap di
depan kakek pengemis dengan sikap keren dan gagah sekali. Kakek pengemis itu
masih melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan ketika pandang
matanya bertemu dengan wajah Kwat Lin, dia tidak meyembunyikan kekagumannya.
Setelah
nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata, "Eh-eh, apakah
kalian ini serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku
seorang pengemis tidak mempunyai uang untuk membayar upah kalian!"
"Harap
Locianpwe tidak berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe adalah
Pat-jiu-kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan) yang terhormat.
Locianpwe adalah tokoh terkenal yang berjuluk Pat-jiu Kai-ong, bukan?"
Kakek yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu tersenyum, senyumnya juga
simpatik dan ramah. Tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu yang hanya baru
mengenal nama kakek sakti kaum sesat ini, diam-diam merasa heran bahkan sangsi
apakah benar mereka berhadapan dengan Pat-jiu Kai-ong yang kabarnya kejamnya
seperti iblis, karena kakek ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah!
"Ha..ha..ha,
sungguh sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri.
Orang-orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, biarpun
belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan
cantik, dia memandang Kwat Lin lagi dengan kagum, "Tidak keliru dugaan
kalian aku adalah Pat-jiu Kai-ong, seorang pengemis tua yang hanya memiliki
sebatang tongkat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian
menghadang perjalananku?"
"Kami
adalah Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai!" kata Kwat Lin dan karena sudah
terlanjur, maka percuma saja twa-suhengnya mencegahnya dengan pandang matanya.
"Benar,
kami adalah murid-murid Bu-tong-pai, Locianpwe," kata Twa-suheng itu
dengan hati tidak enak karena sumoinya yang lancang itu ternyata telah membuka
kartu dan mengaku bahwa mereka dari Bu-tongpai, berarti membawa-bawa nama
perkumpulan mereka.
"Ha..ha..ha,
bagus. Memang Bu-tong-pai mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik
sepanjang kabar yang kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak pernah
berurusan dengan Bu-tong-pai."
Melihat
sikap kakek itu masih ramah dan kata-katanya juga halus dan tidak bermusuh,
twa-suheng itu menjadi makin tidak enak. Akan tetapi karena dia maklum orang
macam apa adanya kakek di depannya ini, dan betapa Sin-tong yang mereka dengar
merupakan seorang anak ajaib yang luar biasa dan sudah menolong manusia dengan
pengetahuan yang tepat mengenai khasiat tetumbuhan yang mengandung obat, maka
tetap saja dia merasa khawatir akan keselamatan Sin-tong itu kalau sampai kakek
datuk sesat ini bertemu dengan anak itu.
"Apa
yang Locianpwe katakanmemang benar. Di antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai,
tidak pernah ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Bu-tong-pai
juga tidak berniat untuk menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami
mendengar berita bahwa diantara banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat
kepada anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Sin-tong dan yang
berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah Locianpwe
sekarang sedang menuju ke hutan itu?"
Mulai
berubah wajah kakek itu mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tetapi
sepasang matanya yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya
kegembiraannya dan berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua.
"Hemmm,
orang-orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi
Sin-tong, kalian mau apakah?"
Tiga belas
orang anak murid Bu-tong-pai itu sudah dapat "Mencium" keadaan yang
membuat mereka semua siap siaga. Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya
halus budi itu dan ramah ini mulai memperlihatkan "tanduknya" atau
watak sesungguhnya.
"Locianpwe,
kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak mengganggu
Sintong."
"Apamukah bocah itu?"
"Bukan
apa-apa, Locianpwe. Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong
orang tanpa pandang bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban semua
orang gagah di dunia kang-ouw untuk menjaga keselamatannya."
Perubahan
hebat pada diri kakek itu. Kini senyumnya bahkan lenyap dan mulutnya
menyeringai penuh sikap mengejek, matanya berkilat-kilat dan suaranya berubah
kaku, ketusdan memandang rendah.
"Anak-anak
kurang ajar! Apakah Si Tua Bangka Kui Bho Sanjin yang mengutus kalian?"
"Guru
kami tidak tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan
mendengar akan Sintong yang terancam bahaya, maka kami melihat Locianpwe lalu
sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau Locianpwe tidak menghendaki Sin-tong,
kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya."
"Aku memang menuju ke Hutan Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka bahwa aku
akan mencelakai Sin-tong?"
Tiga belas
pendekar Bu-tong-pai itu makin tegang. Kakek ini sudah mulai berterus terang,
maka tiada salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang pula.
"Siapa
yang tidak mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong sedang menyempurnakan ilmu iblis
yang disebut Hiat-ciang-hoat-sut (Ilmu Hitam Tangan Darah)?"
Tiba-tiba
Kwat Lin berseru sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu.
Para suhengnya terkejut, akan tetapi ucapan telah terlanjur dikeluarkan dan
memang dalam hati mereka terkandung tuduhan ini. Ilmu Hiat-ciang hoat-sut
adalah semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari oleh kaum sesat karena
ilmu ini membutuhkan syarat yang amat keji, yaitu menghimpun kekuatan hitam
dengan jalan menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-anak yang masih
bersih darahnya! Tentu saja bagi seorang yang sedang menyempurnakan ilmu iblis
ini, Sin-tong mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena darah, otak dan
sumsum seorang bocah seperti Sin-tong yang ajaib, lebih berharga dari darah,
otak dan sumsum puluhan orangbocah biasa lainnya!.
Tiba-tiba
kakek itu tertawa lebar.
Hah-hah-hah-hah, memang benar! Dan satu-satunya bocah yang akan menyempurnakan
ilmuku itu adalah Sin-tong! Dan aku bukan hanya suka minum dan menghisap darah,
otak dan sumsum bocah yang bersih, juga aku bukannya tidak suka
bersenang-senang dengan perawan cantik seperti engkau, Nona!"
"Singggg!
Singggg...!" Tampak sinar-sinar berkilauan ketika pedang yang tiga belas
buah banyaknya itu bergerak secara berbarengan dan tiga belas orang pendekar
itu telah mengurung si Kakek yang masih tertawa-tawa. "Heh-heh,
kalian mau coba-coba main-main dengan Pat-jiu Kai-ong? Sayang kalian masih muda-muda harus mati,
kecuali Nona manis. Andaikata Si Tua Bangka Kui Bhok Sanjin berada disini
sekalipun, dia juga tentu akan mampus kalau berani menentang Pat-jiu
Kai-ong!"
"Serbu dan basmi iblis ini!"
Twa-suheng itu berteriak dan mereka sudah menerjang maju dengan bermacam
gerakan yang cepat dan dahsyat. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara pekik
yang dahsyat, pekik yang disusul dengan suara tertawa menyeramkan. Suara ketawa
ini bergema di seluruh hutan, sehingga terdengar suara ketawa menjawabnya dari
semua penjuru, seolah-olah semua setan dan iblis penjaga hutan telah datang
oleh panggilan kakek itu. Hebatnya, suara pekik dan tertawa itu membuat tiga
belas orang pendekar itu seketika seperti berubah menjadi arca, gerakan mereka
terhenti dan untuk beberapa detik mereka hanya bengong memandang kakek itu dan
jantung mereka seolah-olah berhenti berdenyut. Twa-suheng mereka yang bermuka
gagah perkasa itu segeraberseru, "Awas. Saicu-hokang (Ilmu menggereng
seperti singa berdasarkan khikang)!"
Seruan ini
menyadarkan para sutenya dan sumoinya. Mereka cepat mengerahkan sinking
sehingga pengaruh Saicu-hokang itu membuyar. Pedang mereka melanjutkan
gerakannya. "Sing-sing.... siuuuut....
trang-trang-trang..Heh-heh-heh!" Gulungan sinar pedang-pedang yang
menyambar ke arah tubuh kakek dari berbagai jurusan, dapat ditangkis oleh
gulungan sinar tongkat hitam yang telah diputar dengan cepatnya oleh Pat-jiu
kai-ong. Para pendekar Bu-tong-pai itu terkejut ketika merasakan betapa telapak
tangan mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis
tongkat. Hal ini menandakan bahwa Si kakek benar-benar amat lihai dan memiliki
tenaga sakti yang amat kuat. Juga tongkatnya yang kelihatan butut dan hitam itu
ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan ketajaman pedang di
tangan mereka, padahal semua pedang di tangan Cap-sha Sin-hiap adalah
pedang-pedang pusaka yang ampuh.
"Ha..ha..ha, inikah Ngo-heng-kiam (Ilmu Pedang Lima
Unsur) dari Bu-tong-pai yang terkenal? Ha..ha, tidak seberapa!"
Sambil menggerakan tongkatnya menangkis setiap sinar pedang
yang meluncur datang, kakek itu tertawa dan mengejek.
"Bentuk Sin-kiam-tin (Barisan Pedang Sakti)!"
Teriak si Twa-suheng melihat betapa kakek itu benar-benar amat tangguh sehingga
semua serangan pedang mereka dapat ditangkis dengan mudahnya.
Tiba-tiba tiga belas orang pendekar itu merobah gerakan
mereka, kini mereka tidak lagi menyerang dari kedudukan tertentu, melainkan
mereka bergerak mengurung dan mengelilingikakek itu, sambil bergerak
berkeliling mereka menyusun serangan berantai yang susul menyusul dan yang
datangnya dari arah yang tidak tertentu. Diam-diam kakek itu terkejut. Sejenak
dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu menyerangnya dari kedudukan
tertentu, biarpun gerakan mereka tadi berdasarkan Ngo-heng-kiam, namun dia
sudah dapat mengenal dasar Ngo-heng-kiam dan dapat menggerakan tongkat secara
otomatis untuk menangkis semua pedang yang dating menyambar. Akan tetapi
sekarang, sukar sekali menentukan dari mana serangan akan dating, dan gerakan
mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing. Marahlah Pat-jiu
Kai-ong. Tadi dia ingin mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai dan memperhatikan
para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Akan tetapi setelah mereka
menggunakan Sin-kiam-tin dia tahu behwa mereka kalau dia tidak cepat mendahului
mereka, dia bisa terancam bahaya. Tidak disangkanya bahwa Si Tua Bangka Kui
Bhok San-jin, ketua dari Bu-tong-pai dapat menciptakan barisan pedang yang
demikian lihainya.
Tiba-tiba terjadi perubahan pada diri kakek ini. Tangan
kirinya berubah menjadi merah sekali, merah darah!
"Hati-hati terhadap Hiat-ciang Hoat-sut!" Si
Twa-suheng berseru keras ketika melihat perubahan warna tangan kiri kakek itu.
Pat-jiu Kai-ong tiba-tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat
daripada tadi dan tubuhnya mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi
tangan kiri merah itu mendorong ke depan. "Prak-prak...dessss!" Tiga
orang pengeroyok menjerit dan roboh, dua orang dengan kepala pecah olehtongkat,
sedangkan seorang lagi terkena pukulan jarak jauh Hiat-ciang Hoat-sut, roboh
dan tewas seketika dengan dadanya tampak ada bekas lima jari merah seperti
terbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah Hiat-ciang Hoat-sut, pukulan
maut yang mengerikan. Padahal ilmu itu masih belum sempurna, dapat dibayangkan
betapa hebatnya kalau kakek ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum
seorang bocah ajaib seperti Sin-tong!. Sepuluh orang pendekar Bu-tong-pai
terkejut dan marah sekali. Mereka melanjutkan serangan dengan penuh semangat
dan penuh dendam. Namun kembali Pat-jiu Kai-ong memekik dahsyat sambil bergerak
menyerang, dan kembali tiga orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini
diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk
membebaskan diri. Empat kali terdengar dia memekik dahsyat seperti itu dan
akibatnya, dua belas orang diantara Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai itu tewas
semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang masih hidup tinggal The
Kwat Lin seorang! Hal ini memang disengaja oleh Pat-jiu Kai-ong dan kini sambil
tersenyum mengejek dia menghadapi Kwat Lin. Dapat dibayangkan betapa perasaan
dara itu melihat dua belas orang suhengnya telah tewas semua! Dua belas orang
suhengnya yang selama ini berjuang sehidup semati dengannya, kini telah menjadi
mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya, seolah-olah mayat dua belas orang
itu mengurung dia dan Pat-jiu Kai-ong yang berdiri tersenyum di depannya.
"Iblis busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Kwat Lin berseru mengandung isak tertahan.
"Haiiiit.....!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya ditusukkan ke
arah dada lawan dengan kebencian meluap-luap. Namun dengan gerakan seenaknya
kakek itu memukulkan tongkatnya dari samping menghantam pedang yang menusuknya.
"Krekkk!" Pedang itu patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwat
Lin! Dara itu membelalakan matanya dan melihat pandang mata kakek itu
kepadanya, melihat senyum yang baginya amat mengerikan itu, tiba-tiba dia
membalikan tubuhnya dan melayang ke arah sebatang pohon besar, dengan niat
untuk membenturkan kepalanya pecah pada batang pohon itu! Kwat Lin melihat
ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri, maka setelah yakin
bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil keputusan nekat
untuk membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon.
"Bukkkkkk!" Bukan batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan
perut lunak dan tubuhnya berada dalam pelukan Pat-jiu Kai-ong yang entah kapan
telah berada di situ menghadangnya di depan pohon!
"Lepaskan aku!!"
Kwat Lin berteriak dan tubuhnya tiba-tiba dilontarkan oleh
kakek itu, jauh kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat suhengnya. Dengan
langkah gontai, kakek itu tersenyum-senyum memasuki lingkaran dan melangkahi
mayat bekas para penggeroyoknya, menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit duduk
dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti seekor
kelinci muda ketakutan menghadapi seekor harimau yang siap menerkamnya.
Perasaan ngeri yang luar biasa membuat Kwat Lin cepat menggerakan tangan
kanannya, dengandua buah jari tangan dia menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya
sendiri sambil mengerahkan sinking. Batu karang saja akan berlubang terkena
tusukan jari tangannya seperti itu apa lagi ubun-ubun kepalanya.
"Plakkk!" "Aihhh....!" Kwat Lin menjerit ketika tangannya
itu tertangkis dan setengah lumpuh.
Ternyata kakek itu telah berdiri di depannya dan telah
mencegah dia membunuh diri! "Bretttt...bretttt....!" Tongkat kakek
itu bergerak beberapa kali dan seperti disulap saja seluruh pakaian yang
membungkus tubuh Kwat Lin cabik-cabik dan cerai-berai, membuatnya menjadi
telanjang bulat sama sekali! Kwat Lin menjerit akan tetapi tiba-tiba, seperti
seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan suara ketawa menyeramkan,
kakek itu telah menubruk dan memeluknya sehingga mereka berdua bergulingan
diatas rumput yang bernoda darah para korban keganasan kakek itu! Kwat Lin
melawan sekuat tenaga, namun sia-sia belaka. Untuk membunuh diri tidak ada
jalan baginya, untuk melawan pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan
permohonan, semua usahanya meronta-ronta tiada gunanya sama sekali. Bahkan
semua usaha ini malah menyenangkan hati si Kakek. Seolah-olah seekor kucing
yang menjadi gembira dapat mempermankan seekor tikus yang telah tersudut dan
tidak berdaya, mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum
menjadi mangsanya!
Selama tiga
hari tiga malam Kwat Lin menderita siksaan yang amat hebat. Diperkosa, dihina,
diejek. Pada hari ketiga,pagi-pagi sekali dalam keadaan lebih banyak yang mati
daripada yang hidup, dalam keadaan setengah sadar, rebah terlentang tak
mampubergerak, hanya matanya saja yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Lin
melihat kakek itu mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa
memandang kepadanya yang masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat
di atas rumput berdarah.
"Ha-ha-ha,
sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh diri,
silahkan. Ha-haha!"
Biarpun Kwat
lin berada dalam keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir mati karena
lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi satu dalam
benaknya, namun kebencian yang meluap-luap masih memberinya tenaga untuk
berseru,
"Jahanam, sekarang aku harus hidup! Aku harus hidup untuk melihat engkau mampus di
tanganku!" "Ha..ha..ha..ha! Kalau sewaktu-waktu kau merasa rindu
kepadaku, manis, datang saja ke Hong-san, sampai jumpa!"
Kakek itu
lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu meninggalkan Kwat-Lin yang masih
rebah dan kini wanita yang bernasib malang ini menangis sesenggukan dia antara mayat-mayat
dua belas suhengnya yang sudah mulai membusuk dan berbau! Dapat dibayangkan
betapa tersiksa rasa badan wanita muda ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di
antara mayat-mayat dua belas suhengnya, bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu
mulai membusuk dan menyiarkan bau yang hampir tak tertahankan, kakek itu masih
saja enak-enak mempermainkannya. Benar-benar seorang manusia yang kejam
melebihi iblis sendiri.
JILID 2
Tiba-tiba Kwat lin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki
tubuhnya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan karena selama tiga hari
tigamalam dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu.
Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat
suhengnya, dan matanya menjadi liar, keluar suara parau dari mulutnya yang
pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek iblis.
"Suheng sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah
untuk membalaskan kematian suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku
sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu
Kai-ong!"
Tiba-tiba dia terhuyung mundur memandang wajah twasuhengnya.
Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya. "Twa
Suheng......!" Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai
membusuk itu.
"Jangan berduka, Twa-suheng....jangan
menangis......" Dia berdirisesunggukan. "Apa.....? Aku
telanjang.....? Pakaianmu......? Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok
mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dab celana luar dari mayat
yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pada tubuhnya
sendiri. Tentu saja agak kebesaran.
"Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran, Suheng......."
Dia memandang wajah mayat twa-suhengnya dan tertawa lagi.
"Hi-hik,nah,begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawalah
para suheng sekalian......, tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian
pasti akan kubalaskan...! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..."
Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung
dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang twa-suhengnya.
Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang
pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian Ketua Bu-tong pai sendiri,
pedang yang di dekat gagangnya ada gambar setangkai bunga Bwee merah, maka
pedang itu diberi nama Ang-bwe-kiam (Pedang Bunga Bwee Merah).
Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu tujuan, asal
menggerakkan kedua kaki melangkah saja, langkah yang kecil-kecil dan
terhuyung-huyung karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua.
Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh geli sehingga
kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah mukanya
penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya riap-riapan
dan pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang itu akan merasa seram, mengira
bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak
meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin
membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan pada
ingatannya.
Pada hari yang sama ketika Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan
kakek iblis Pat-jiu Kai-ong di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, terjadi pula
peristiwa hebat di bagian lain dari Pegunungan itu. Kalau Cap-sha Sin-hiap
roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat terjadi pula peristiwa
yang hampir sama sungguhpun sifatnya berbeda. Pada pagi hari itu, seorang
wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pegunungan Jeng-hoasan
sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri dan harus diakui
bahwa wajah wanita cantik manis sekali, mempunyai daya tarik yang kuat
sungguhpun usianya sudah empat puluh tahun. Tidak ada keriput mengganggu kulit
mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang
senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi
kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka
hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga
dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip.
Mata itu terbuka terus seperti mata boneka! Dengan langkah-langkah gontai dan
lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan kiri, wanita itu
berjalan seorang diri, memutar-mutarsebuah payung yang dipanggulnya. Sebuah
payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing.
Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas
seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan
emas. Yang menarik adalah kuku-kuku jari tangannya. Kuku yang panjang
terpelihara, diberi warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti
kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan
tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang
menggairahkan dari dada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari
sutera merah muda itu pun ketat sekali!
Biarpun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit
(tante girang), namun sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa saja! Inilah dia
yang terkenal sekali di dunia hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain
adalah Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai Berpayung Pedang), sebuah julukan yang membuat
bulutengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri sangking ngerinya karena
wanita yang sebenarnya hanya bernama Liok Si ini memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya!
Bahkan ia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman
rase yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang pria yang terjebak dalam
pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh siluman ini!
Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak
akan mengira bahwa wanita yang berlenggak-lenggok dengan payung di pundak
itulah iblis wanita yang menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang
luar biasa. Dan mudah saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini
mendaki lereng Jeng-hoa-san! Tentu saja dia pun mendengar berita menggeggerkan
dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si Bocah ajaib dan mendengar ini, kontan
keras hatinya berdebar-debar penuh ketegangandan penuh birahi! Dia dapat
membayangkan betapa tenaga mukjijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan
jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat
sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu!
Maka begitu mendengar akan bocah ajaib di puncak Pegunungan
Jeng-hoasan di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh
mengunjungi pegunungan itu. Perjalananyang jauh karena biarpun sering kali Liok
Si ini pergi merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti istana
mewahnya terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di
daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yangliar ini terdapat di kaki Pegunungan
Luliang-san, merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang
berputar, merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di
tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain,
terdapat sebuah tanah datar, tanah keras semacam pulau dan diatas pulau inilah
letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, bersama
belasan orang pembantu-pembantuyang sudah menjadi orangorang kepercayaannya.
Dia disebut Cai-li(Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita
ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan dan semenjak kecil Liok
Si telah mempelajari kesusasteraan sehingga dia mahir sekali akan sastra,
bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia
lulus dan mendapat gelar siucai! Akan tetapi, penyamarannya keetahuan dan
seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya lalu mengambilnya sebagai
seorang selir. Selain ilmu sastra, juga Liok Si ini semenjak kecil digembleng
ilmu oleh para sahabat ayahnya, apalagi setelah menjadi selir pembesar tinggi
di istana, dia mengadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan
pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai
pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi yang diperolehnya sebagai
"bayaran".
Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya ini
yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria maka dia diusir dari istana
pembesar itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar, membawa
banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian minggat!
Belasan
tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada yang
menduga bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang
membunuh bangsawanitu sehingga menjadi orang buruan pemerintah. Liok Si
berjalan sambil tersenyum-senyum, kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak
giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang
agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira
sekali kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh
bocah ajaib itu.
"Hemmm,
aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama
mungkin. Hemmm..."
Tiba-tiba
dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum
manis matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang
laki-laki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya
menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang
wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar tegang ketika
melihat lima orang pria yang usianya rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh
tegap-tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah! Seperti melihat
lima butir buah yang ranum dan matang hati!