"Aihh... apa maksudmu, Suheng?" Sin Liong menarik napas panjang, dan menyentuh tangan sumoinya. "Perlukah aku menjelaskan lagi? Suhu, Ayahmu sedang dilanda duka dan kedukaannya yang terakhir sekali ini adalah menyangkut hubungan antara kita. Suhu menghendaki agar kita berjodoh, dan kita secara jujur telah menya-takan tidak setuju akan kehendaknya itu. Dan memang kita benar, Sumoi. Perjodohan tidak bisa ditentukan begitu saja, karena perjodohan merupakan hal gawat bagi sese-orang, akan melekat selama hidupnya. Akan tetapi bagaimana kita tahu kalau hal ini tidak kita bicarakan secara terus terang? Maka, agar kita dapat mengambil keputusan yang tepat tentang kehendak Suhu ini, marilah kita bicara tentang cinta!"
"Hemm, bicaralah. Aku tidak tahu apa-apa," Kata Swat Hong yang tentu saja merasa malu untuk bicara tentang hal yang asing baginya itu.
"Swat Hong, apakah kau cinta kepadaku?" Dara itu makin merah mukanya. Tak disangkanya bahwa suhengnya akan bertanya secara langsung seperti itu se-hingga dia merasa seperti diserang dengan tusukan pedang yang amat dhasyat! Dia mengangkat muka memandang suhengnya dengan bingung. "Aku...aku...ah, aku tidak tahu..." dan dia menundukan mukanya. "Sumoi, sudah sering aku melihat sikapmu yang aneh. Engkau marah-marah ketika kita berada di Pulau Neraka. Engkau cemburu melihat Soan Cu berbuat baik kepadaku, dan kau tidak senang melihat Kongkongnya hendak menjodohkan Soan Cu dengan aku. Sumoi, aku tidak tahu apa cemburu itu tandanya cinta? Akan tetapi, jawablah demi pemecahan persoalan yang kita hadapi ini. Cintakah kau kepadaku?" Disinggung-singgung tentang sikapnya di Pulau Neraka yang jelas menadakan rasa cemburunya, Swat Hong menjadi makin malu. Dicobanya untuk menjawab, akan tetapi begitu dia bertemu pandang dengan suhengnya, dia menjadi makin malu dan ditutupinya mukanya dengan kedua tangan, kepalanya digeleng-gelengkan dan dia berkata, "Aku tidak tahu...aku tidak tahu... kau saja yang bicara, Suheng. Kau saja yang menjawab apakah kau cinta padaku atau tidak!" Dan kini dia menurunkan kedua tangannya, sepasang matanya yang bening itu kini dengan penuh selidik menatap wajah Sin Liong! Sin Liong menariknapas panjang. "Itulah yang membingungkan hatiku selama ini,Sumoi. Mau bilang tidak mencintaimu, buktinya aku suka kepadamu. Akan tetapi untuk menyatakan bahwa aku cinta padamu, sulit pula karena aku sendiri tidak tahu bagaimana sesungguhnya cinta itu. Apakah seperti cintanya suhu terhadap ibumu yang berakhir dengan peristiwa menyedihkan itu? ataukah seperti cintanya Ibumu kepada Suhu? Ataukah seperti cintanya The Kwat Lin dan suhu? Hemm, mengapa semua cinta itu demikian palsu dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan? Aku menjadi ngeri melihat cinta macam itu, Sumoi." Swat Hong memandang heran. "Ahhh, aku tidak pernah memikirkan cinta seperti yang kau kemukakan ini, suheng."
"Mudah saja. Lihat saja apa yang terjadi antara Suhu, Ibumu, dan The Kwat Lin. Seperti itukah cinta? Hanya mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian, dan permusuhan hebat. Apakah itu cinta? Kalau seperti itu, aku ngeri dan aku tidak berani berlancang mulut menyatakan cinta kepada siapapun, Sumoi. Karena, kalau hanya se-perti itu akibatnya, maka cinta yang kunyatakan hanyalah merupakan kembang bibir belaka, hanya cinta palsu belaka. Bayangkan saja, Sumoi. Di antara kita berdua, sejak kecil sampai sekarang menjelang dewasa, tidak pernah ada pertentangan dan tidak pernah ada urusan apa-apa. Akan tetapi, setelah kita berdua mengaku cinta, lalu tim-bul soal-soal ceburu, kecewa dan lain-lain. Apalagi setelah menjadi suami is-tri .hemm, betapa mengerikan kalau melihat contoh yang kita saksikan di Pulau Es ini."
Swat Hong menunduk dan tak mampu menjawab. Persoalan yang diajukan oleh Sin Liong ituterlampau berat baginya, sulit untuk dimengerti. Baginya, sebagai seorang wanita, dia haus akan cinta kasih, akan perhatian, akan pemanjaan dari seo-rang pria yang menyenangkan hatinya, seperti suhengnya ini. Akan tetapi, setelah mendengar uraian Sin Liong tentang cinta yang diambilnya peristiwa di Pulau Es sebagai contoh, dia pun ngeri dan tidak berani menyatakan perasaanya itu. "Aku tidak tahu, Suheng.., aku tidak mengerti. Terserah kepadamu sajalah..." Sin Liong kembali menarik napas panjang. Dia memang sudah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa dia harus membalas budi kebaikan suhunya yang sudah berlimpah-limpah diberikan kepadanya. Satu-satunya jalan untuk membalas budi hanya dengan menye-nangkan hati suhunya yang sedang berduka itu. Dia harus menerima keputusan suhunya, yaitu menerima menjadi jodoh Swat Hong! Akan tetapi dia tidak boleh membuat dara itu menderita dengan keputusannya ini, maka dia harus tahu terlebih dahulu bagaimana pendirian Swat Hong. Dan sekarang, dara itu sama sekali tidak berani mengaku tentang cinta. "Sumoi, sekarang begini saja. Andai kata aku meme-nuhi permintaan suhu, yaitu mau menerima ikatan jodoh denganmu, menjadi calon suamimu, bagaimana dengan pendapatmu?" Swat Hong menunduk dan menggigit bibirnya. Akhirnya dia dapat berbisik. "Aku tidak tahu, terserah kepadamu dan kepada ayah..."
"Maksudku, apakah engkau merasa terpaksa? Apakah hal ini menyenangkan hatimu? Sumoi, harap kau suka berterus terang. Kalau kau, seperti aku, tidak bisa mengaku cinta begitu saja, setidaknya kukatakan apakah ikatan jodoh ini tidak menimbulkan penyesalan bagimu?" Swat Hong tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.
"Kalau begitu, andaikata aku menerima, engkau pun akan menerimanya dengan senang hati?" Swat Hong mengangguk! "Kalau begitu, mari kita pergi meng-hadap Ayahmu. Aku akan menerima permintaannya, karena betapapun juga, kita harus menghiburnya, menyenangkan hatinya. Aku telah berhutang banyak budi dari suhu, maka kalau dengan penerimaan ini aku dapat sekedar membalas budinya, aku akan merasa senang." Sin Liong mengambil dayung perahu itu dan menggerakan dayung.
"Suheng, kau menerima karena kasihan kepada Ayah? jadi kau...kau tidak cin-ta kepadaku?"
"Sumoi aku tidak berani berlancang mulut mengaku cinta. Aku telah banyak menyaksikan cinta kasih yang kuragukan kemurniannya. Aku khawatir bahwa sekali cinta diucapkan dengan mulut, maka itu bukanlah cinta lagi. Aku tidak tahu, apakah cinta itu sesungguhnya, maka aku tidak berani lancang mengaku, Sumoi..." "Ahhh...!!" Jeritan Swat Hong ini adalah campuran dari rasa kecewa dan juga kekangetan hebat, matanya terbelalak memandang kedepan. Melihat wajah Sumoinya, Sin Liong cepat menengok dan pada saat itu terdengar ledakan dahsyat dibarengi dibarengi dengan cahaya kilat yang seolah-olah membakar dunia. Tampak oleh Sin Liong yang terbelalak memandang itu air muncrat tinggi sekali disusul asap dan api, muncul dari permukaan laut antara perahunya dan Pulau Es. Kedua orang muda yang terbelalak dengan muka pucat itu tidak berkesempatan untuk terheran lebih lama lagi karena tiba-tiba karena perahu mereka dilontarkan keatas, dalam saat lain perahu itu telah dipermainkan oleh gelombang yang mendahsyat dan menggunung. Suara mengguruh memenuhi telinga mereka dan keheningan yang baru saja mencekam lautan itu kini terisi dengan kebisingan yang sukar dilukiskan. Sin Liong berteriak, "Sumoi, bantu aku! Jangan sampai perahu terguling!" keduanya mengerahkan tenaga, menggunakan dayungnya untuk mengatur keseimbangan perahu. Namun, kekuatan gelombang air laut yang amat dahsyat itu mana dapat ditahan oleh tenaga manusia, biarpun kedua orang pemuda itu adalah tokoh-tokoh Pulau Es sekalipun? Perahu mereka menjadi permainan gelombang, dilontarkan tinggi ke atas, disambut dan diseret kebawah, seolah-olah tangan malaikat maut atau ekor naga laut yang menyeret perahu ke dasar laut, akan tetapi tiba-tiba dihayun lagi keatas, ditarik ke kanan, didorong kekiri sehingga kedua orang murid Raja Han Ti Ong itu menjadi pening dan setengah pingsan! Mereka tidak ingat akan waktu lagi, tidak tahu berapa lama mereka diombang-ambingkan air laut, tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa ombak, dan mereka tidak sempat menggunakan pikiran lagi. Yang ada hanya naluri untuk menyelamatkan diri, menjaga sekuat tenaga agar perahu mereka tidak sampai terguling dan tangan mereka tidak sampai terlepas memegangi pinggiran perahu. Dengan tangan kanan memegang pinggiran perahu, tangan kiri Sin Liong memegang lengan kanan sumoinya. Betapapun juga, dia tidak akan melepaskan sumoinya! Swat Hong yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut itu, sekali ini menangis dengan muka pucat dan mata terbelalak. Terlampau hebat keganasan air laut baginya, terlampau mengerikan melihat gelombang setinggi gunung yang seolah-olah setiap saat hendak mencengkram dan menelannya itu! Tiba-tiba Swat Hong menjerit. Segulung ombak besar datang dan menelan perahu itu. Mereka gelagapan karena ditelan air, kemudian mereka merasa betapa perahu mereka dilambungkan ke atas. "Brukkk...!" Keduanya terpental keluar, akan tetapi masih saling bergandeng tangan. Cepat Sin Liong menyapu mukanya agar kedua matanya dapat memandang. Ternyata perahu mereka telah dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang penuh batu karang, sebuah pulau yang menjulang tinggi akan tetapi hanya kecilkecil sekali, merupakan sebuah batu karang besar yang menonjol tinggi. "Sumoi, lekas..., kita naik ke sana...!!" Sin Liong tidak mempedulikan tubuhnya yang terasa sakit semua, membantu sumoinya merangkak bangun. Pipi kanan dan lengan kiri Swat Hong berdarah, akan tetapi gadis itu pun agaknya tidak merasakan semua ini, tersaruk-saruk dia dibantu suhengnya merangkak dan menyeret perahu ke atas, kemudian mereka melanjutkan pendakian ke atas puncak batu karang itu dengan susah payah. Akhirnya mereka tiba di puncak batu karang dan apa yang tampak oleh mereka dari tempat tinggi ini benar-benar menggetarkan jantung. Air di sekeliling mereka. Air yang menggila, bergerak berputaran, gelombang yang dahsyat menggunung, suara yang gemuruh seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit. Batu karang besar , atau lebih tepat disebut pulau kecil dari batu itu tergetar-getar, seolah-olah menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan badai yang mengamuk. Tidak tampak apa-apa pula selain air, air dankegelapan, kadang-kadang diseling cahaya menyambar dari atas, seperti lidah api seekor naga yang bernyala-nyala, "Ouhhhh..!" Swat Hong menangis dan cepat dipeluk oleh suhengnya. Tubuh dara itu menggigil, pakaiannya robek-robek. "Tenanglah... tenanglah, Sumoi...." Sin Liong berbisik dan pemuda ini mengerti bahwa bukan hanya sumoinya yang disuruhnya tenang, melainkan hatinya sendiri juga! Pengalaman ini sungguh dahsyat dan tidak mungkin dapat terlupa selama hidupnya. Kebesaran dan kekuasan alam nampak nyata. membuat dia merasa kecil tak berarti, kosong dan remeh sekali! Sin Liong dan Swat Hong yang dipeluknya tidak tahu lagi berapa lamanya mereka berada di tempat itu. Siang malam tiada bedanya, yang tampak hanya kegelapan, air, dan kadang-kadang kilatan cahaya halilintar. Yang terdengar hanyalah gemuruh air, angin menderu, dan kadang-kadang ledakan halilintar. Tidak memikirkan dan merasakan apa-apa, yang ada hanya takjub dan ngeri! Di luar tahunya dua orang itu, mereka telah berada di pulau batu karang selama sehari semalam! Akhirnya badai mereda, badai yang ditimbulkan oleh ledakan gunung berapi di bawah laut! Kegelapan mulai menipis, akhirnya tampak kabut putih bergerak perlahan meninggalkan tempat itu, air mulai tenang dan menurun, akhirnya tampaklah sinar matahari disusul oleh bola api itu sendiri setelah kabut terusir pergi. Tampaklah lautan luas terbentang di bawah dan baru sekarang ternyata oleh dua orang muda itu bahwa mereka duduk dipuncak batu karang yang amat tinggi! Swat Hong mengeluh, baru terasa betapa penat tubuhnya, betapa luka-luka kecil dari kulitnya yanglecet-lecet, dan betapa haus dan lapar leher dan perut! "Sumoi, badai sudah mereda. Mari kita turun. Aihh, itu perahu kita. Untung tidak pecah," kata Sin Liong dan dia menggandeng tangan sumoinya, menuruni batu karang. Perahu mereka tidak pecah, akan tetapi layar dan dayungnya lenyap. Sin Liong mengangkat perahu itu, membawanya turun kebawah. "Mari kita lekas pulang, Sumoi. Biar kudayung dengan kedua tangan." Swat Hong duduk didalam perahu, mengeluh lagi dan berkata penuk kegelisahan, "Bagaimana dengan Pulau Es? Badai mengamuk demikian hebatnya, Suheng." Aku tidak tahu, mudah-mudahan mereka selamat. Maka, kita harus cepat pulang." dia lalu menggunakan kedua tangannya yang kuat sebagai dayung. Perahu bergerak, meluncur di atas air yang tenang dan licin seperti kaca, sama sekali tidak ada tanda-tanda di permukaan air bahwa air itu telah mengamuk sedemikian hebatnya baru-baru ini. Tak lama kemudian Sin Liong medapatkan dayung yang dipatahkan dari batang pohon yang hanyut di air. Agaknya pulau-pulau kecil disekita tempat itu telah diamuk badai sedemikian hebatnya sehingga pohon-pohon tumbang dan terbawa air. Setelah keadaan cuaca terang kembali, Sin Liong dapat menentukan arah perahu dan tak lama kemudian tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya masih seperti biasa, sebuah pualu keputihan memanjang di kaki langit, berkilaun tertimpa sinar matahari. Hati mereka lega. Dari jauh kelihatannya tidak terjadi perubahan di pulau itu. Setelah agak dekat, mereka melihat pula puncak atap istana di Pulau Es, maka legalah hati mereka. Hati Sin Liong mulai berdebar tegang ketika perahunyasudah menepel di Pulau Es. Keadaannya begitu sunyi. Sunyi dan mati! Tidak kelihatan seorang pun di pantai, bahkan tidak tampak sebuah perahu pun. Dan bukit-bukit es tidak seperti biasanya, kacau balau tidak karuan dan berubah bentuknya! Dengan hati tidak enak kedua orang muda itu belari-lari ketengah pulau. Makin ke tengah, makin pucat wajah mereka. Tidak ada seorang pun kelihatan, dan juga pondok-pondok yang biasanya terdapat di sana-sini, sekarang habis sama sekali. Tidak ada sebuah pun pondok yang tampak! Seolah-olah semua telah disapu bersih, tersapu bersih dari pulau itu. "Auhhhh...!" Swat Hong berdiri dengan muka pucat, kedua kakinya menggigil. "Mari kita ke istana, Sumoi!" Sin Liong yang berkata dengan suara bergetar lalu menyambar lengan sumoinya dan diajaknya dara itu lari ke dalam istana. Beberapa kali terdengar Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan, dan Sin Liong juga kaget bukan main. Mereka seperti memasuki sebuah kuburan! Sunyi, kosong, dan tidak ada bekas-bekasnya tempat itu didiami manusia! Habis sama sekali, baik prabot-prabotan istana maupun manusia-manusianya! Tidak tertinggal sepotong pun benda atau seorang pun manusia. Habis semua! Ke mana pun mereka lari dan ber-teriak-teriak memanggil, yang terdengar hanya gema suara mereka sendiri! "Oughhh...!!" Swat Hong tidak menahan himpitan perasaan yang ngeri dan berduka, tubuhnya tergelimpang dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat disambar oleh Sin Liong. "Sumoi...!" Akan tetapi suara ini kandas dikerongkongannya dan tanpa disa-dari pula, kedua pipi Sin Liong basah oleh airmatanya yang mengalir deras menuruni kanan kiri hidungnya ketika dia memondong tubuh sumoinya yang pingsan itu ke dalam kamar. Akan tetapi dia termangu-mangu ketika tiba di ambang pintu kamar yang terbuka, karena kamar itu pun kosong dan bersih, tidak ada sebuah atau sepotong pun prabotannya. terpaksa dia merebahkan tubuh sumoinya di atas lantai, dan dia sendiri merebahkan kepala diatas kedua lututnya sambil menangis. terlampau hebat peristiwa yang dihadapinya. Pulau Es telah disapu bersih oleh badai! Bersih sama sekali sehingga agaknya tidak ada seorang pun manusia yang tertolong, tidak ada sepotong pun barangnya yang tinggal, kecuali bangunan istana yang memang amat kuat itu. Setelah siuman, Swat Hong menangis, "Aih, mengapa..? Mengapa...? ayah, kasihan sekali Ayah...!" Akhirnya Sin Liong dapat menghibur dan membu-juknya. Mereka berdua lalu mengadakan pemeriksaan dan mendapat kenyataan bahwa benar-benar Pulau Es telah diamuk badai. Agaknya air laut telah naik sedemikian tinggi sehingga pulau itu teredam air. Mereka menemukan beberapa potong pakaian yang tersangkut di batu-batu dan dengan hati terharu penuh kedukaan mereka me-ngumpulkan pakaian itu, entah punya siapa, sebagai barang peninggalan yang amat berharga. Kemudian mereka memeriksa istana. Memang ada beberapa benda yang masih tertinggal di dalam kamar di bawah tanah, akan tetapi yang berada di atas, semua habis dan lenyap. "Suheng, lihat ini...!" tiba-tiba Swat Hong berkata sambil menunjuk ke dinding.
Sin Liong cepat menghampiri dan keduanya mengenal goresan tangan Han Ti Ong yang agaknya menggunakan jari tangan yang penuh tenaga sinkang untuk menulis di dinding batu itu! "Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Ki-ong." Pendek saja "surat dinding" itu, namun cukup jelas isinya. Sin Liong menarik napas panjang. Kasihan dia kepada suhunya yang mati meninggalkan dendam itu! "Suheng lihat ini..." Tak jauh dari tulisan itu terdapat bekas jari-jari tangan mencengkram dinding. Mudah saja mereka menggambarkan keadaan Han Ti Ong dan keduanya tak dapat menahan tangis mereka. Agaknya, dalam menghadapi amukan badai, Han Ti Ong berhasil menggunakan tenaganya untuk mempertahankan diri beberapa lamanya dengan mencengkram dinding dan sempat pula membuat tulisan itu sebelum kekuatan yang jauh lebih besar dari pada kekuatanya menyeret keluar dari istana dan bahkan dari pulau itu! "Kasihan sekali suhu..." Sin Liong menghapus air matanya. Swat Hong mengepal tinjunya. "Aku akan mencari perempuan iblis itu, selain merampas kembali pusaka Pulau Es,juga menghukumnya! Dialah yang mencelakakan ibuku, yang mencelakakan Ayahku!"
Sin Liong menarik napas panjang. Sudah diduganya ini. Tentu akan terjadi balas-membalas. Dendam tak kunjung habis! "Sumoi, Suhu hanya meninggalkan pesan agar kita mencari kembali pusaka-pusaka itu...."
"Kau yang mencari pusaka, aku yang membunuh iblis betina itu!" Swat Hong berseru penuh semangat. "Dan Bu Ong... hemm,apa pula artinya ini? Bukan putera ayah?"
"Sumoi, tenanglah dan dengarlah penuturanku. Mungkin hanya aku dan ayahmu saja yang tahu akan nasib wanita itu, nasib yang amat buruk dan mengerikan. Tahukah kau apa yang telah dialami oleh The Kwat Lin sebelum ditolong ayahmu?" Sin Liong lalu menceritakan keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila karena dua be-las orang suhengnya dibunuh orang dan agaknya, melihat keadaannya, gadis yang tadinya seorang pendekar wanita perkasa itu telah diperkosa di antara mayat para su-hengnya. "Kurasa demikianlah kejadiannya. Setelah suhu menyatakan bahwa Bu Ong adalah keturunan Kai-ong, teringatlah aku. Jelas bahwa The Kwat Lin diperkosa oleh pembunuh dua belas orang anak murid Bu-tongpai itu, sehingga anak yang dilahir-kannya itu, Han Bu Ong, adalah keturunan Kai-ong yang memperkosanya dan mem-bunuh para suhengnya."
Mendengar penuturan tentang nasib mengerikan yang dialami ibu tirinya, Swat Hong bergidik. Akan tetapi dia mengomel. "Yang berbuat jahat kepadanya ada-lah Raja Pengemis itu, mengapa dia membalasnya kepada ibu? Dan dia telah meng-hancurkan penghidupan Ayah. Betapapun juga, aku harus mencarinya dan memba-laskan sakit hati ibu dan Ayah."
Sin Liong maklum bahwa membantah kehendak sumoinya ini percuma, hanya akan menimbulkan pertentangan saja. Maka diam-diam dia mengambil keputusan un-tuk selalu mendamping sumoinya, selain menjaga keselamatan dara ini, juga kalau perlu mencegah sepak terjangnya yang terdorong oleh nafsu dan dendam. Betapapun juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai, dara ini kehilangan ayah bunda, tiada sanak kadang, tiada handai taulan dan dialah satu-satunya orang yang patut melindunginya, sebagai suhengnya. Ataukah sebagai calon suami? Sin Liong tidak mengerti dan tidak berani memutuskan. Biarlah hal perjodohan itu diserahkan kepada keadaan kelak. Dia tidak membantah ketika sumoinya mengajaknya meninggalkan Pulau Es yang telah kosong itu, untuk mencari ibunya, dan kalalu masih juga tidak berhasil, untuk pergi ke daratan besar mencari The Kwat Lin. Beberapa hari kemudian, setelah yakin benar bahwa tidak ada seorang pun di antara penghuni Pulau Es yang selamat dan kembali ke pulau itu, Sin Liong dan Swat Hong berangkat meninggalkan Pulau Es. Ketika perahu kecil yang mereka dayung itu meluncur meninggalkan pulau, Swat Hong me-mandang kearah pulau dengan air mata bercucuran. Juga Sin Liong merasa terharu dan berduka mengingat akan nasib para penghuni Pulau Es yang mengerikan itu.
Mereka berdua mendayung perahu menuju ke selatan dan di sepanjang perja-lanan ini mereka menemukan bukti-bukti kedahsyatan badai dan keanehan alam yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi di bawah laut itu. Ada pulau yang lenyap sa-ma sekali , dan ada pula pulau yang baru muncul begitu saja, pulau yang amat aneh, pulau batu karang yang masih jelas kelihatan bahwa pulau ini tadinya merupakan da-sar laut dengan segala keindahannya, dengan mahluk hidup dan tetumbuhannya yang kini semua mengeras menjadi batu karang dengan bermacam bentuk. Banyak pulau yang mengalami nasib serupa dengan pulau Es, yaitu menjadi gundul, habis sama se-kali tetumbuhan atasnya. diam-diam terbayang dalam pikiran Sin Liong betapa dah-syat kekuasan alam. Andaikata semua lautan yang mengamuk seperti beberapa hari yang lalu itu, agaknya dunia akan menjadi kiamat! Melihat keadaan pulau-pulau itu, timbul rasa khawatir dalam hati Sin Liong tentang keadaan Pulau Neraka. Tentu pulau itu pun tidak terluput dari amukan badai, pikirnya. Padahal baru saja pulau itu menga-lami penyerbuan Han Ti Ong dan pasukannya! Sin Liong merasa kasihan sekali terha-dap nasib para penghuni Pulau Neraka. Apakah pulau itu seperti juga Pulau Es, disapu bersih dan seluruh penghuninya terbasmi habis?
"Agaknya ibumu tidak berada diantara pulau-pulau ini," Beberapa hari kemu-dian setelah merasa mencari dengan sia-sia, Sin Liong mengemukakan pendapat. "Bagaimana kalau kita mencari ke utara lagi. Siapa tahu kali ini kita berhasil, dan kita dapat juga bertanya ke Pulau Neraka kalau-kalau ibumu ke sana." "Hemm, agaknya engkau sudah rindu kepada Soan Cu, suheng."
Sian Liong mengerutkan alisnya. "sumoi, kau...cemburu lagi?"
Wajah dara itu menjadi merah. "Aku hanya berkata sewajarnya."
"Sudahlah. Kalau kau cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau Neraka," kata Sin Liong menarik napas panjang. Hening sejenak dan mereka telah menghentikan gerakan dayung karena mereka masih belum mendapat keputusan akan mencari ke mana.
"Kita ke Pulau Neraka!" tiba-tiba Swat Hong berkata. "Ehhh...??"
"Aku harus ke sana. Aku akan menegur kakek berkepala besar itu! Pulau Neraka yang menjadi biang keladi sehingga Ayah marah-marah kepada kita, hampir saja kita dibunuhnya. Karena Pulau Neraka telah berani menawanku." "Hemm, Sumoi. Mengapa kejadian yang telah lewat dipersoalkan lagi? Bukankah Ayamu telah me-nyerbu ke sana kurasa Ayahmu telah menghukum mereka menurut cerita anak buah pasukan? Kalau begitu, kita tidak perlu pergi ke sana, sumoi."
"Aku harus pergi ke sana!" dara itu berkeras. Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sukar benar melayani sumoinya ini yang memiliki watak aneh dan hati yang keras sepeti baja. "Aku hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk mencari ibu, akan tetapi kalau kita pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak mau. Kau harus berjanji tidak akan membuat kekacauan di sana, sumoi."
"Hemmm, agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi sahabat baik Pulau Neraka, ya? Karena ada...."
"Sumoi, harap jangan bicara yang tidak-tidak. Memang kita sahabat baik me-reka! Lupakah kau ketika mereka mengantar kita ketika meninggalkan pulau itu? Karena itu, aku hanya mau pergi ke sana kalau untuk mencari ibumu dan menjenguk mereka sebagai sahabat, melihat keadaan mereka setelah ada badai mengamuk."
Swat Hong cemberut, akan tetapi menjawab juga. "Baiklah, kita lihat saja nanti." Dan me-reka lalu mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan tetapi, se-telah mereka tiba di daerah Pulau Neraka, mereka menjadi bingung dan pangling ka-rena didaerah itu telah terjadi perubahan hebat sekali. Mungkin karena akibat badai yang mengamuk, yang ternyata mengambil daerah yang amat luas itu, di sekitar situ telah muncul gunung-gunung es yang anat besar sehingga Pulau Neraka yang bia-sanya tampak dari jauh sebagai raksasa yang tidur itu kini tidak kelihatan lagi karena semua jurusan terhalang pandangannya olehgunung-gunung es. Mereka mendayung perahu berputar namun tidak dapat keluar dari kurungan gunung-gunung es itu. "Ahhh, dahulu tidak ada gunung-gunung es besar seperti ini," kata Swat Hong.
"Ini tentu diakibatkan oleh badai itu, Sumoi. Biarlah kita mengaso dulu dan aku akan mencoba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau tunggu saja di sini."
Perahu itu menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong meloncat ke daratan es. Kemudian dia menggunakan ilmunya berlari cepat, mendaki gunung es itu untuk melihat dan mengenali daerah itu dari atas puncaknya yang tinggi. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras sekali yang mengguncangkan seluruh gunung es itu. Sin Liong terkejut dan dengan cepat dia menoleh untuk melihat apa yang menge-luarkan suara seperti itu. Dari jauh tampak olehnya seekor beruang besar sedang menggerakkan kedua kaki depanya ke arah burung-burung yang menyambar-nyambar di atasnya. Burung-burung nazar (burung botak pemakan bangkai) yang besar besar beterbangan di atas biruang itu dan menyerangnya dari atas sambil mengeluarkan suara pekik mengerikan. Melihat ini, Sin Liong cepat berlari mendekati. Ternyata beruang itu terluka parah juga di beberapa bagian anggauta badannya, sedangkan di bawah kakinya tampak bangkai seekor ular laut yang besar. Jelaslah bahwa biruang itu tadi berkelahi dengan ular laut itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita luka-luka dan burung-burung nazar yang kelaparan itu kini hedak mengeroyoknya dan ten-tu saja ingin makan bangkai ular besar. Sin Liong segera menggunakan salju yang digenggam untuk menyambiti burung-burung itu. Terdengar suara plak-plok-plak-plok disusul suara burung-burung nazar berkaok-kaok kesakitan dan mereka terbang ketakutan menjauhi tempat itu karena setiap kali terkena sambitan salju, terasa nyeri sekali. Dengan beberapa loncatan saja Sin Liong sudah tiba di depan biruang itu. Beruang yang berkulit hitam dan amat besar itu menyeringai dan mengerang, mem-perlihatkan gigi bertaring yang amat runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh kecurigaan dan kemarahan kepada Sin Liong.
"Tenanglah, aku datang untuk menolongmu," kata Sin Liong sambil maju lebih dekat. "Auuughh..!" Beruang itu menggerang dan kaki depan yang kiri menyambar kearah dada Sin Liong. Melihat betapa telapak kaki itu berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat menangkap pergelangan kaki depan itu. Kiranya telapak kaki itu tertusuk tulang dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan ular laut, beruang itu mencengkram tubuh ular dan sedemikian kuatnya dia mencengkeram sampai tulang punggung ular patah dan menusuk ke dalam daging di telapak kaki depan itu, Sin Liong segera mencabut tulang itu. Darah mengucur deras dan dia segera membalut dengan sapu-tangannya. Beruang itu kini tidak marah lagi. Agaknya dia cerdik dan dapat mengerti bahwa orang yang datang ini bukan musuh, bahkan menolongnya. Kaki depan yang terluka itu kini tidak nyeri lagi dan tentu saja , karena yang membuat dia tersiksa rasa nyeri tadi adalah karena tulang yang menancap itu.
"Coba kuperiksa, apa lagi yang perlu kuobati," Sin Liong berkata dan dia memeriksa luka-luka di tubuh beruang itu. Ada sebuah luka di tengkuk yang membengkak. Tahulah SinLiong bahwa luka ini cukup berbahaya, kalau tidak lekas diberi obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa beruang itu.
"Hemmm, aku harus mencarikan daun obat untuk luka-luka-mu,"katanya, lupa bahwa beruang itu tentu saja tidak mengerti apa yang dia katakan.
"Hai, Suheng, ada apakah?" Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas. Sin Liong menoleh dan melihat Sumoinya turun berlari-lari cepat sekali. Setelah dekat, beruang itu menggerang dan memandang Swat Hong dengan marah. "Huh, binatang buruk!" Swat Hong memaki.
"Dia terluka cukup berat, akan tetapi dia menang berkelahi melawan ular laut itu. Lihat, betapa besarnya ular itu, Sumoi. Beruang itu kuat sekali. Aku ha-rus mengobatinya sampai sembuh." Swat Hong mengerutkan alisnya,
"Perlu apa menolong binatang buas seperti itu, Suheng? Membuang-buang waktu saja."
"Dia tidak buas lagi, sumoi. lihat betapa jinaknya. Dia pun mahluk hidup yang perlu kita tolong. Aku merasa kasihan kepadanya,sumoi."
"Wah, kau lebih mementingkan dia..."
"Hei..., ada apa engkau...?" Tiba-tiba Sin Liong berteriak melihat beruang itu meng-gereng-gereng dan menarik-narik tangannya, seolah-olah hendak mengajak Sin Liong pergi dari situ! Beruang itu makin keras menggereng dan makin kuat menariknya. Diam-diam Sin Liong kagum bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa besarnya, dan kiranya dia hanya akan dapat menandingi tenaga raksasa ini kalau dia mengge-rakan sinkang sekuatnya! Akan tetapi tiba-tiba dia mendapat firasat tidak baik melihat sikap beruang itu, maka disambarnya tangan sumoinya dan dia berteriak. "Awas, sumoi. Mari pergi, dia menghendaki demikian, entah mengapa?" JILID
Sin Liong memegang erat-erat lengan sumoinya dan membiarkan dirinya diseret oleh biruang itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa berlompatan dan berlarian ke gunung es yang lain yang berdekatan. Baru saja mereka melompat ke atas gunung es lain itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan gunung es dimana mereka berada tadi telah pecah berantakan menjadi keping-keping kecil. Kiranya gunung es itu ditabrak oleh gunung es yang lain dan hal ini agaknya telah diketahui oleh si Beruang tanpa melihat datangnya gunung es yang tak tampak dari situ. Ternyata binatang itu hanya diperingatkan oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia! Sin Liong berdiri dengan muka pucat, kemudian dia merangkul beruang itu.
"Terima kasih, kakak beruang. Kiranya engkau malah menyelamatkan kami berdua."
Akan tetapi Swat Hong merasa tidak senang. "Suheng, mari kita segera pergi dari sini. Tempat ini amat berbahaya. Lihat, gunung es tadi hancur dan itu kelihatan dari sini perahu kita. Untung tidak hilang. Marilah, suheng."
"Nanti dulu, sumoi. Aku harus mencarikan daun obat untuk mengobati luka-luka di tubuh beruang ini."
"Ah, perlu apa? Kita bisa celaka di sini..."
"Sumoi, dia telah menyelamatkan nyawa kita!"
"Hemm, begitukah? Engkau pun tadi telah menyelamatkan nyawanya ketika kau mengusir burung-burung nazar itu, bukan? Aku melihat dari jauh. Berarti sudah terbalas semua budi, bukan Marilah, Suheng."
"Tidak, sumoi. Kita tinggal di sini dulu sampai aku selesai mengobatinya." Swat Hong menjadi marah. "Agaknya kau lebih sayang biruang betina ini dari pada aku!"
"Sumoi...!" Akan tetapi Swat Hong sudah berlari pergi, berloncatan di atas pecahan es dan menuju ke perahu mereka, meloncat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu pergi dari situ! Sin Liong menjadi bingung dan hampir membuka mulut menegur, akan tetapi karena maklum bahwa hal itu percuma saja, dia membatalkan niatnya. "Ngukkk... nguuuuukkk...." Beruang itu mendengus-dengus dan menciumi kepalanya. "Ahhh, Enci (Kakak Perempuan) beruang, betapa sukarnya menyelami watak wanita. Aku telah membuat hatinya kecewa dan marah, akan tetapi bagaimana hatiku dapat tega meninggalkan engkau yang terancam bahaya maut oleh lukamu?" Sin Liong lalu mengajak beruang itu mencari daun. Karena perahu sudah dibawa pergi Swat Hong, Maka terpaksa dia mencari pulau yang masih ada tetumbuhannya dengan jalan berloncatan dari batu es lainnya, dan kalau jaraknya terlalu jauh, beruang itu menggendongnya dan membawanya berenang ke batu es lainya atau kadang-kadang Sin Liong menggunakan sebongkah es yang mengambang sebagai perahu, didayung dengan tangannya yang kuat. Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang amat sukar, dapat juga dia menemukan pulau yang masih ada tetumbuhannya dan di pulau kecil itu, mulailah dia mengobati luka-luka beruang itu sampai sembuh. Pada suatu hari dia melihat sebuah perahu kosong terbalik mengambang tidak jauh dari pulau. Dia merasa girang sekali. Cepat menyuruh beruang mengambilnya dan hatinya terharu ketika mengenal perahu itu sebagai sebuah di antara perahu pulau es. Tentu penumpangnya telah lenyap ditelan badai, pikirnya. Dia lalu membuat dayung dari cabang pohon dan setelah biruang hitam itu sembuh benar, dia lalu melompat ke perahu dan mendayungnya meninggalkan pulau. Akan tetapi tiba-tiba beruang itu terjun ke air dan berenang mengejar perahunya. "Heii, kakak beruang, kembalilah. Engkau sudah sembuh, dan aku harus pergi mencari sumoi!"
"Nguuuk...nguukk...!" Beruang hitam itu mengeluarkan suara mengeluh dan mukanya seperti orang menangis! Sin Liong tersenyum. "Hmm, kau hendak ikut, ya? Nah, loncatlah ke atas!" Seolah-olah mengerti arti kata-kata Sin Liong, biruang itu lalu meloncat ke dalam perahu kini mukanya kelihatan berseri, matanya bersinar-sinar dan lidahnya terjulur keluar seperti sikap seekor anjing yang kegirangan.
"Kau boleh ikut sampai aku dapat menemukan kembali sumoi!" kata Sin Liong. "Kalau sumoi tidak menghendaki kau ikut, kau harus kutinggalkan karena kau telah sembuh."
Demikianlah, Sin Liong kini melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka. Dari puncak sebuah gunung es, dia dapat melihat dari jauh dan kini dia tahu di mana letaknya Pulau Neraka. Beruang yang kini menggantikan tempat Swat Hong, menjadi temannya berlayar itu kelihatan girang sekali ketika perahu meluncur dan binatang ini telah jinak benar-benar. Setelah kini dia mengenal kembali keadaan dan tahu di mana letaknya Pulau Neraka, perjalanan dapat dilakukan dengan cepat. Setelah dekat de-ngan Pulau Neraka, dia menyaksikan suatu yang membuatnya terheran dan merasa tegang. Sebuah perahu besar kelihatan mendarat di Pulau Neraka. Jelas bukan perahu Pulau Neraka yang kecil-kecil. Perahu itu besar sekali, perahu layar yang hanya dipergunakan untuk pelayaran jauh. Dan perahu itu pun dalam keadaan payah, jelas kelihatan bekas diamuk badai. Tiang layarnya patah, layarnya cabik-cabik dan perahu itu tidak ada orangnya sama sekali, berdiri miring di pantai Pulau Neraka. Apakah yang telah terjadi di Pulau Neraka? Ternyata bahwa seperti juga pulau lain. Pulau Neraka tidak luput dari amukan badai. Hanya karena letaknya agak jauh dari pusat amukan badai, maka penderitaannya tidak sehebat pulau lain, terutama Pulau Es. Air juga naik tinggi dan menenggelamkan setengah bagian pulau ini, banyak pula penghu-ninya yang tidak keburu lari ke tempat tinggi, diseret dan ditelan badai. Perahu-perahu lenyap, pohon-pohon yang berada di tepi pantai bobol semua. Dan setelah badai mereda, sebuah perahu besar terdampar di tepi pantai.Perahu itu adalah perahu bajak laut!
Setelah air menyurut, para bajak laut yang terdiri-dari dua puluh lima orang itu segera mendarat. Mereka itu kelelahan dan kelaparan, bahkan ada lima orang di antara mereka tewas ketika badai mengamuk sehingga jumlah mereka hanya tinggal dua pu-luh lima orang itulah. Mereka mendarat di kepalai oleh raja bajak yang memimpin mereka, raja yang amat terkenal di sepanjang pantai muara-muara sungai Huangho dan Yangce. Kepala bajak ini adalah seorang laki-laki tinggi besar yang buta sebelah matanya. Mata kiri yang buta karena tusukan pedang lawan dalam pertandingan, kini ditutupi oleh sebuah kain hitam sehingga ia kelihatan lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar dan di antara para nelayan dan pedagang yang suka berperahu, dia dikenal sebagai Tok-gan-hai-liong (Naga Laut Mata Satu) dan namanya adalah Koan Sek. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu mereka yang diamuk oleh badai dahsyat itu telah mendarat di Pulau Neraka! Andaikata mereka tahu juga, mere-ka tentu tidak merasa takut karena pada waktu itu, nama Pulau Neraka hanya dikenal oleh Orang-orang Pulau Es. Untuk dunia ramai, yang dikenal hanyalah Pulau Es, yang dikenal sebagai tempat yang hanya terdapat dalam sebuah dongeng. Betapapun juga, Pulau Es merupakan nama yang ditakuti oleh semua orang termasuk para bajak. Akat tetapi karena pulau dimana perahu mereka mendarat bukanlah Pulau Es, melainkan pulau yang hitam penuh tetumbuhan, mereka menjadi berani dan setelah badai mereda dan air menyurut, mereka lalu menyerbu ke tengah pulau. Untung bagi mereka bahwa badai yang amat dahsyat itu membuat air laut naik dan mengamuk di daratan pulau sehingga binatang-binatang berbisa pun menjadi panik dan ketakutan, lari bersembuyi dan belum berani keluar.
Andaikata mereka itu berani menyerbu pulau dalam keadaan biasa tentu mere-ka akan menjadi korban binatang-binatang itu dan sukarlah dibayangkan apa akan jadinya. Mungkin sekali tidak ada diantara mereka yang akan dapat lolos betapapun liar, ganas dan lihai mereka itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan girangnya hati para bajak itu ketika mendapat kenyataan bahwa di tengah pulau itu terdapat pondok-pondok yang dibuat oleh manusia! Akan tetapi keheranan mereka segera berubah menjadi kekagetan hebat ketika para penghuni pulau itu menyambut mereka dengan serangan dahsyat tanpa peringatan apa-apa. Karena mereka adalah bajak-bajak yang sudah biasa berkelahi dan mengadu nyawa, maka serbuan para penghuni Pulau Nera-ka itu mereka sambut dengan gembira. mereka mengira bahwa penghuni pulau itu adalah orang-orang biasa saja. Maka besar sekali kekagetan mereka ketika mendapat kenyataan betapa kurang lebih dua puluh orang, yaitu sisa penghuni Pulau Neraka yang tidak dibasmi oleh badai, yang berani menyambut mereka dengan serangan itu rata-rata memiliki kepandaian hebat! Terjadilah perang tanding yang seru dan mati matian. Bajak laut pimpinan Tok-gan-hai-liong itu pun bukan orang-orang biasa melainkan penjahat penjahat pilihan yang selain kuat dan ganas, juga rata-rata pandai ilmu silat. Apalagi Tok-gan-hai-liong sendiri bersama seorang pembantu yang sebe-tulnya adalah sutenya (adik seperguruan) sendiri yang bernama Coa Liok Gu, seorang ahli pedang yang lihai sekali. Sedangkan Tok-gan-hai-liong Koan Sek sendiri adalah seorang ahli bermain senjata ruyung yang ujungnya merupakan sebuah bola baja yang berat dan keras. Para penghuni Pulau Neraka masih terguncang oleh amukan badai, bahkan ketua mereka, Ouw Kong Ek, sedang menderita sakit hebat. Semenjak penyerbuan pasukan Pulau Es yang dipimpin oleh Han Ti Ong, Ouw Kong Ek jatuh sakit. Mungkin karena dia merasa terlalu marah, dan mungkin juga karena usianya yang sudah tua. Pernyerbuan dari Pulau Es itu merupakan hal yang amat menyakitkan hatinya, dan juga hati para penghuni Pulau Neraka, mendatangkan rasa dendam yang lebih mendalam. Apalagi melihat betapa catatan pengobatan dari Kwa Sin Liong telah dihancurkan oleh Han Ti Ong, hati Ouw Kong Ek merasa sakit sekali. Untung masih ada beberapa macam obat yang hafal olehnya, akan tetapi sebagian besar telah dibas-mi oleh Raja Pulau Es yang marah itu. Pada saat bajak laut menyerbu, Ouw Kong Ek tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Dia dijaga dan dirawat oleh cucunya, Ouw Soan Cu. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek ini ketika ada anak buah nya yang datang melapor bahwa pulau yang baru saja diamuk badai itu kini disebu oleh sepasukan bajak laut yang ganas dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi!
"Keparat...!" Kakek itu meloncat bangun akan tetapi terguling kembali dan Soan Cu segera memegang lengan kakeknya, membantunya untuk rebah kembali. "Tenanglah, Kong-kong! Biarlah aku yang keluar untuk membantu teman-teman membasmi bajak laut yang tidak tahu diri itu." Ouw Kong Ek terpaksa hanya meng-angguk karena dia sendiri masih tidak kuat untuk bangun, apalagi bertempur. "Hati-hatilah, Soan Cu..." Dia percaya akan kepandaian cucunya yang tentu akan dapat me-ngusir bajak-bajak laut yang biasanya hanya terdiri orang-orang kasar itu. Dengan pedang di tangan Soan Cu lalu berlari keluar. Melihat anak buahnya sudah bertanding mati-matian melawan bajak-bajak yang ganas, apalagi melihat seorang wanita Pulau Neraka digeluti oleh dua orang laki-laki kasar sampai wanita itu menjerit-jerit namun dua orang laki-laki itu malah tertawa-tawa dan merobek-robek pakaian wanita itu, Soan Cu menjadi marah sekali. Dia mengeluarkan teriakan marah, tubuhnya yang ramping mencelat ke depan, pedangnya menyambar dan dua orang bajak yang sedang memperkosa wanita itu roboh dengan leher terkuak lebar dan hampir putus! Wanita itu cepat membereskan pakaiannya, menyambar goloknya dan seperti seekor harimau kelaparan dia membacoki tubuh dua orang bajak tadi. Melihat sepak terjang Soan Cu yang kembali sudah merobohkan dua orang bajak, Tok-gan-hailiong Koan Sek dan Coa Liok Gu, dibantu oleh beberapa orang bajak lain cepat mengepung dan menge-royoknya. Namun Soan Cu mengamuk hebat dan pedangnya berubah segulung sinar terang yang menyambar Dahsyat, membuat dua orang pimpinan bajak itu terkejut dan harus memainkan senjata dengan hati-hati sekali agar jangan sampai mereka menjadi korban kedahsyatan sinar pedang yang dimainkan oleh dara itu. "Lepas tulang ikan!!" Tiba-tiba kepala bajak itu memberi aba-aba kepada sutenya dan mereka berdua telah meloncat mundur, membiarkan anak buah mereka yang empat orang banyaknya melanjutkan pengeroyokan, sedangkan mereka berdua lalu mengayun tangan berkali-kali ke arah Soan Cu. Sinar lembut bertubi-tubi menyambar ke arah Soan Cu dari depan dan belakang. Dara ini memandang rendah senjata rahasia mereka. Dia adalah Seorang dara Pulau Neraka sudah terlalu banyak racun dikenalnya bahkan dia telah menggunakan obat anti racun maka dia tidak terlalu khawatir ketika sebuah di antara senjata rahasia lawan yang lembut itu mengenai pahanya.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kakinya itu setengah lumpuh dan begitu dia menggerakan pedang, tubuhnya terhuyung, kepalanya pening. "Aihhh...!" Dia berseru nyaring, lebih merasa heran daripada khawatir. Dara ini tidak tahu bahwa lawannya menggunakan am-gi (senjata gelap) berupa tulang berbentuk duri dari sirip semacam ikan laut yang berbisa. Bisa dari ikan laut ini tentu saja tidak dapat disamakan dengan bisa dari binatang darat, maka bisa yang asing ini tidak dapat ditolak oleh obat anti racun yang dipakainya. "Sute, tangkap nona manis ini...!" Teriak Koan Sek dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gerengan yang dahsyat dan yang membuat mereka kaget bukan main. Dua orang bajak yang mende-ngar suara itu dekat sekali dibelakang mereka menengok dan... mereka itu terjengkang dan merangkak untuk melarikan diri dengan ketakutan. Kiranya yang menggerang itu adalah seekor binatang raksasa hitam yang menakutkan. Seekor beruang yang lebar moncongnya cukup untuk mencaplok kepala mereka sekaligus!
Sin Liong yang datang bersama biruang itu cepat meloncat mendekati Soan Cu merampas pedang dari tangan dara itu dan memondongnya dengan tangan kiri, kemudian sekali meloncat dia telah berada di punggung biruang, lengan kiri memeluk dan menjaga tubuh Soan Cu yang dipangkunya karena dara itu telah menjadi pingsan sedangkan tangan kanan menggerakan pedang dara itu sambil beseru "Kakak biruang, lawan mereka yang berani mendekat!" Biruang itu menggereng-gereng dan ketika melihat dari kiri ada sinar menyambar, yaitu sinar pedang yang digerakan oleh Coa Liok Gu sute dari kepala bajak, tiba-tiba kaki depan kiri yang kini dipergunakan seperti tangan itu bergerak menangkis, bukan menangkis pedang melainkan men-cengkram kepala Coa Liok Gu. Tentu saja orang ini kaget dan sekali merendahkan tubuh, membalikan pedang dan siap untuk menyerang lagi. Begitu lengan biruang itu menyambar lawan, dia meloncat ke atas dan menusukan pedangnya mengarah bagian antara kedua mata biruang itu. "Cringgg...!!" Pedangnya terpental dan dia harus cepat melempar tubuh ke belakang kalau tidak ingin dadanya robek oleh cakar biruang sete-lah pedangnya ditangkis oleh Sin Liong tadi. "Siuuuut...!!" Senjata ruyung berujung baja di tangan Koan Sek sudah bergerak menyambar dengan ganas, menghantam punggung biruang hitam dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga dahsyat.
"Cringgg...! Tranggg...!!" Dua kali senjata berat itu ditangkis oleh Sin Liong dan dua kali pula kepala bajak itu berseru kaget karena telapak tangannya hampir terkupas kulitnya dan terasa panas dan perih. Pada saat dia terbelalak dan terheran, biruang itu sudah membalikan tubuh dan sekali kaki depannya yang kanan menampar, kepala bajak itu mencoba menangkis, namun senjatanya terlepas dari pegangannya dan biruang itu sudah menubruknya dan mencengkram ke arah lehernya. "Kakak biruang, jangan ...!" Sin Liong membentak. Biruang itu terkejut dan ragu-ragu se-hingga kesempatan itu dapat dipergunakan oleh Koan Sek untuk meloncat jauh kebelakang. Dia dan pembantu utamanya, Coa Liok Gu berdiri dengan muka pucat memandang pemuda yang menunggang biruang itu membawa pergi tubuh dara jelita yang pingsan. Biarpun pedang masih berada di tangannya, Coa Liok Gu tidak lagi berani menyerang karena dia maklum bahwa selain biruang raksasa itu amat kuat, juga pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa sekali. Sin Liong merasa bingung dan gelisah menyaksikan pertempuran hebat itu. "Hentikan pertempuran...!" Dia berseru berkali-kali namun percuma saja, para bajak laut dan penghuni Pulau Neraka adalah orang-orang kasar yang pada saat itu sedang marah, maka sukar untuk dibujuk. Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan panjang dan suara itu segera disusul suara berdengungdengung dan berdesis-desis. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Sin Liong ketika dia melihat datangnya binatang-binatang kecil yang berbisa. Ular, kelabang, kalajengking dan sebangsanya berdatangan dari semua penjuru, merayap cepat seolah-olah digerakan oleh suara melengking iru, dan yang lebih mengerikan lagi, lebah-lebah putih datang pula beterbangan! Saking kagetnya Sin Liong melompat turun dari punggung biruang dan kini biruang itu pun terkejut dan ketakutan, seolah-olah binatang raksasa ini sudah mengerti bahwa bahaya maut datang mengancamnya. "Uhhh... apa yang terjadi...?" Soan Cu mengeluh dan siuman dari pingsannya. Melihat dara itu sudah siuman. Sin Liong agak lega. "Bagaimana lukamu?"
"Nyeri sekali, panas... eh, siapa yang memimpin binatang-binatang berbisa itu?" Soan Cu turun dari pondongan Sin Liong. "Cepat pergunakan obat penolak ini..." Dia mengeluarkan sebungkus obat penolak dari ikat pinggangnya. Setelah menaburkan obat bubuk di sekeliling mereka bertiga, yaitu Soan Cu, Sin Liong dan biruang betina, Soan Cu berkata lagi, "Sin Liong tolong... kau tangkap Si Mata Satu itu...aku membutuhkan obat penawar racun am-gi-nya (senjata gelapnya)...." Melihat betapa wajah dara itu pucat sekali tanda menderita kenyerian hebat, Sin Liong mak-lum bahwa tentu dara itu terkena senjata rahasia yang mengandung racun luar biasa sekali. Maka tanpa menjawab tubuhnya mencelat kearah Koan Sek yang masih be-ngong memandang ke depan, matanya terbelalak ketika melihat betapa anak buahnya mulai menjadi korban pengeroyokan binatang-binatang berbisa. Maka ketika tubuh Sin Liong menyambar, dia terkejut sekali, mengira bahwa pemuda itu akan menye-rangnya. Dia tadi sudah mengambil kembali senjatanya, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mengayun senjatanya menghantam ke arah Sin Liong. Pemuda ini tadi melepaskan pedangnya, melihat betapa dia disambut serangan dahsyat, cepat dia miringkan tubuhnya, membiarkan senjata berat itu lewat dan secepat kilat kedua tangannya menyambar dan sebelumnya Koan Sek tahu apa yang terjadi, senjatanya telah terampas dan dibuang oleh pemuda itu sedangkan tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul seperti seorang anak kecil saja. Percuma dia meronta, karena pemuda itu sudah meloncat seperti terbang, kembali ke dalam lingkaran obat penolak yang ditaburkan Soan Cu.
Koan Sek menggigil. Selain dia maklum betapa lihainya pemuda ini, juga dia merasa ngeri sekali menyaksikan apa yang terjadi di luar lingkaran obat bubuk itu. Terdengar jerit dan pekik mengerikan. Orang-orang Pulau Neraka telah mundur dan menonton sambil sambil tertawa-tawa. Akan tetapi anak buah bajak laut itu mengha-dapi penyerangan binatang-binatang berbisa dan sama sekali mereka tak berdaya. Apalagi penyerangan lebah-lebah putih membuat mereka panik. Mengerikan sekali melihat mereka berkelojotan merintih-rintih dan menangis mengerung-ngerung ka-rena tidak tahan menderita rasa nyeri yangmenyengati sekujur tubuh. "Cepat bertin-dak, halau mereka, Soan Cu!" Sin Liong berkata dengan alis berkerut. Biarpun yang dikeroyok binatang-binatang itu adalah kaum bajak, namun dia tidak dapat menyak-sikan peristiwa mengerikan itu. Soan Cu menggeleng kepala.
"Tak mungkin. Mereka digerakan oleh suara melengking itu..."
"Suara apa itu? Siapa yang membunyikan?" Soan Cu tersenyum dan meng-gigit bibirnya menahan rasa nyeri. Pahanya seperti dibakar dan rasa nyeri menusuk-nusuk jantung. "Siapa lagi? Satu-satunya orang yang dapat melakukannya hanyalah Kong-kong... augghh ..." Dara itu roboh pingsan lagi dalam rangkulan Sin Liong. "Aduh celaka..., binatang-binatang itu...." Tok-gan-hai-liong Koan Sek menggigil dan dia hendak lari dari tempat itu ketika melihat bagaimana pembantunya, Coa Liok Gu, sudah sibuk memutar pedang untuk berusaha mengusir lebah-lebah putih yang mengeroyoknya. "Kalau kau keluar dari sini, engkau pun akan mengalami nasib yang sama," Kata Sin Liong, menunjuk ke arah lingkaran putih dari obat penolak.
"Binatang-binatang itu tidak berani memasuki lingkaran ini." Koan Sek memandang dan matanya terbelalak ngeri melihat betapa ular-ular beracun yang bermacam macam warnanya itu benar saja membalik lagi ketika mendekati garis lingkaran. Bahkan lebah-lebah putih yang terbang dekat, agaknya mencium bau penolak itu dan mereka itu pun terbang membalik, mengamuk dan menyerang para bajak yang berada di luar lingkaran. Saking ngerinya melihat betapa Coa Liok Gu menjerit dan roboh karena kakinya tergigit seekor ular, kemudian betapa pemban-tunya yang juga merupakan sutenya melolong-lolong dan bergulingan, dikeroyok banyak sekali binatang yang mengerikan, kepala bajak ini tak dapat lagi menahan dirinya dan dia menjatuhkan diri berlutut! Sin Liong sendiri merasa ngeri menyaksi-kan peristiwa yang terjadi disekelilingnya. Kalau saja dia dapat melihat Ouw Kong Ek, tentu dia akan meloncat dan memaksa kakek itu menghentikan pekerjaanya yang kejam, membunuh para bajak seperti itu. Akat tetapi celakanya, suara itu melengking tinggi dan sukar diketahui dari mana datangnya, bahkan kakek itu pun tidak tampak. pula, mana mungkin dia berani meninggalkan Soan Cu yang pingsan itu bersama kepala bajak? Maka pemuda ini merasa seperti disayatsayat jantungnya menyaksikan pembunuhan yang amat kejam itu, melihat betapa dua puluh empat orang bajak mene-mui kematian secara mengerikan, berkelojotan dan melolong-lolong, akhirnya suara jeritan mereka makin lemah dan berubah seperti suara binatang disembelih, kemudian tubuhnya tidak berkelojotan lagi dan binatang-binatang kecil berbisa yang kelaparan itu masih menggerogoti kulit dan daging mereka! Kemudian tampaklah Ouw Kong Ek, Tocu Pulau Neraka.
Kakek ini datang ke tempat itu sambil merangkak dengan susah payah, tubuhnya kelihatan lemah dan kurus, mukanya pucat dan sambil merangkak itu dia meniup sebatang alat tiup terbuat daripada batang alang-alang, menyerupai suling kecil. Pantas saja suaranya melengking tinggi dan aneh. Beberapa orang anggauta Pulau Neraka segera maju dan mengangkat ketua mereka, memapahnya datang dan kini binatang-binatang itu berangsur-angsur merayap pergi setelah Ouw KongEk merobah merobah suara tiupan sulingnya. Akhirya yang tinggal hanya mayatmayat dua puluh empat orang bajak dalam keadaan mengerikan, dan mayat tujuh orang penghuni Pulau Neraka yang tewas dalam pertempuran. "Ahhh, engkau pula yang menolong cucuku, Taihiap?" Ouw Kong Ek dituntun anak buahnya datang mendekat. Sin Liong mengerutkan alisnya. "To-cu, engkau sungguh kejam, membunuh mereka seperti itu." Kakek itu terbelalak. "Aku? kejam? Dan mereka ini...?" Dia menuding ke arah mayat-mayat para bajak laut. "Dan...hei, siapa dia ini? Ah, bukankah dia ini pe-mimpin mereka?" Ouw Kong Ek sudah melangkah maju menghampiri Koan Sek yang berdiri dengan muka pucat. "Tahan dulu, Tocu! Memang dia pemimpin bajak, akan tetapi nyawa cucumu berada didalam tangannya!"
"Soan Cu...!" Ouw Kong Ek memandang tubuh dara yang dipondong oleh Sin Liong dan berada dalam keadaan pingsan itu. "Mengapa dia?"
"Terkena senjata beracun." Kemudian dia memandang Koan Sek dan membentak, "hayo kauberikan obat penawar senjata gelapmu!" Tok-gan-hai-liong Koan Sek adalah seorang yang sudah berpengalaman, seorang yang menjelajah di dunia kang-ouw, maka dia tentu saja cerdik sekali. Tadi ketika menyaksikan betapa semua anak buahnya, juga sutenya, tewas secara mengerikan, dia ketakutan setengah mati dan kehilangan akalnya. Akan tetapi sekarang setelah dia melihat kesempatan untuk menolong diri, timbul kembali keberaniannya dan dia tersenyum.
"Agaknya kita telah salah masuk. Tidak tahu pulau apakah ini dan siapa kalian ini?" tanyanya kepada Sin Liong karena dia merasa jerih sekali menghadapi pemuda yang dia tahu amat lihai dan sama sekali bukan tandingannya itu. "Kau belum tahu? Ini adalah Pulau Neraka dan dia itu adalah ketuanya." Dia menuding kepada Ouw Kong Ek. "Sedangkan Nona ini adalah cucunya. Maka kau harus cepat memberikan obat penawarnya."
"Ha-ha, mudah saja! Mudah saja memberi obat penawarnya. Aihh, kiranya kami telah memasuki sebuah pulau iblis dengan penghuni-penghuninya seperti iblis pula! Benar-benar kami telah membuat kesalahan besar! Orang muda, mudah saja mengobati luka Nona ini, akan tetapi bagaimana dengan aku sendiri? Anak buahku telah tewas semua dan aku dalam cengkraman kalian!"
"Engkau... engkau akan kusiksa, kucincang sampai hancur!" Ouw Kong Ek membentak. "Ha-ha-ha, boleh! Lakukan sekarang, karena aku tidak takut mati setelah aku melihat bahwa aku mempunyai banyak teman terutama sekali cucumu. Kalau orang tidak lagi menyayangkan kematian seorang dara jelita muda remaja seperti dia ini, apalagi kematian seorang tua bangka seperti aku. Ha-ha-ha! biarlah aku mati ditemani oleh dara remaja ini!" Ouw Kong Ek sudah marah sekali, kedua tangannya dikepal sehingga suling batang alang-alang itu hancur di tangannya. Melihat kema-rahan ketua Pulau Neraka itu, Sin Liong Berkata, "Ouw-tocu apa yang dikatakan benar. Sudah kuperiksa luka cucumu dan ternyata dia terkena racun yang aneh sekali yang belum pernah aku melihatnya. Maka, biarlah kita menukar keselamatannya dengan keselamatan Soan Cu. Betapapun juga , nyawa Soan Cu jauh lebih berharga dari pada kehidupan seorang sesat seperti dia."
"Ha-ha-ha , itu baru omongan yangtepat!" Tok-gan-hai-liong Koan Sek yang merasa "mendapat angin" berkata dengan dada dibusungkan. Dia tidak takut lagi sekarang. Nyawa cucu ketua Pulau Es berada di tangannya. Apalagi yang ditakutinya? "Iblis keparat! Hayo kauberikan obat untuk cucuku dan kau boleh minggat dari sini!"Ouw Kong Ek membentak.
"Ha-ha-ha, aku Tok-gan-hai-liong Koan Sek bukan seorang tolol." Dia lalu menoleh kepada Sin Liong. "Orang muda apakah kedudukanmu di Pulau Neraka ini?" Dia memang tidak dapat menduga karena tadi dia mendengar ketua Pulau Neraka menyebut taihiap (pendekar besar) kepada pemuda ini. Dan kalau ada yang dipercaya di situ. Maka satu-satunya orang adalah pemuda ini. "Aku bukan penghuni Pulau Neraka aku adalah seorang dari Pulau Es...."
"heeeehhh...??" Mata Tok-ganhai- liong yang tinggal satu itu terbelalak dan mukanya pucat. Dia merasa seolah-olah dalam mimpi. Setelah bertemu dengan Pulau Neraka yang aneh dan mengerikan di mana semua anak buahnya tewas, dia bertemu pula dengan seorang pemuda sakti yang mengaku datang dari Pulau Es, sebuah sebu-tan yang tadinya dikiranya hanya terdapat dalam dongeng tahyul belaka. Mimpikah dia? Ataukah dia sudah mati ditelan badai dan sekarang ini adalah pengalaman dari rohnya?
"Pulau... Pulau... Es...?" Dia berkata lirih. Sin Liong mengangguk tak sabar. Dia tadi mengaku sebenarnya, siapa mengira malah membuat kepala bajak ini menja-di termangu-mangu seperti orang sinting. "Kalau begitu, aku hanya mau memberikan obat penawar jika engkau yang mengantarku sampai ke sebuah perahu di pantai Pulau Neraka ini."
"Jahanam, kau tidak percaya kepadaku?" Ouw Kong Ek membentak dan para pembantunya sudah mengangkat senjata mengancam. "Terserah, bunuhlah. Aku toh akan mati bersama dia ini." Sin Liong menyerahkan tubuh Soan Cu yang masih pingsan kepada kakeknya, kemudian berkata, "ouw-tocu, biarlah kita memenuhi permintaannya. Harap sediakan perahu untuknya." Terpaksa Ouw Kong Ek meng-gerakan kapalanya memberi isyarat kepada anak buahnya, kemudian memandang kepada kepala bajak itu dengan mata mendelik. Koan Sek lalu berjalan bersama Sin Liong dan dua anak buah Pulau Neraka menuju ke tepi laut. Setelah sebuah perahu dipersiapkan, kepala bajak itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam sakunya. Benda itu ternyata adalah seekor kuda laut sebesar ibu jari tangan yang sudah kering.
"Nona itu terkena racun yang terkandung dalam duri ikan yang tidak dapat diobati kecuali dengan ini. Bubuklah dan masak, lalu minumkan airnya. Tentu dia akan sembuh." Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah banyak pengetahuannya tentang pengobatan akan tetapi tentu saja belum pernah dia mengenal rahasia racun yang keluar dari dalam lautan. Dia menyerahkan bangkai kuda laut kering itu kepada dua orang penghuni Pulau Neraka sambil berkata,
"Berikan ini kepada Ouw-tocu, suruh menumbuk halus dan masak dengan air, kemudian minumkan kepada Nona. Bagaimana hasilnya supaya cepat melapor ke sini. Aku menunggu di sini."
Dua orang itu menerima kuda laut mati dan berlari memasuki pulau, sedangkan Sin Liong lalu duduk di tepi pantai dengan sikap tenang. "Kau tidak mau membiarkan aku pergi?" Koan Sek bertanya penuh khawatir. Jangan tergesa-gesa," jawab Sin Liong.
"Aku harus yakin dulu bahwa obatmu benar-benar manjur, baru aku akan membolehkan engkau pergi. Bukankah itu adil namanya?"
Koan Sek menghela napas dan menjatuhkan diri duduk di dalam perahu. Dia maklum bahwa kalau mela-wan, dia tidak akan menang. "Dia pasti akan sembuh. Dalam keadaan seperti ini, ma-na aku berani main-main?" Sin Liong diam saja. Kepala bajak itu menggunakan mata tunggalnya untuk memandangi pemuda itu penuh selidik, kemudian bertanya,
"Orang muda, benarkah engkau dari Pulau Es?" Sin Liong mengangguk. "Dan siapa namamu?"
"Kwa Sin Liong. Mengapa engkau bertanya-tanya?"
"Tadinya aku mengira bahwa Pulau Es hanyalah sebuah dongeng..."
"Hemm.., memang sekarang hanya tinggal dongeng..." Sin Liong berkata sambil merenung jauh membayangkan keadaan Pualu Es yang telah terbasmi oleh badai dan kini tinggal menjadi sebuah pulau kosong yang menyedihkan. "Nguuk... nguuukkk..." Sin Liong menoleh dan tersenyum "Eh, Enci biruang. Kau menyusulku?" Biruang itu menghampiri, dan memperlihatkan taringnya ketika dia melihat Koan Sek di atas perahu di depan pemuda itu. "Binatang yang hebat!" Koan Sek berkata dan bulu tengkuknya berdiri. Pemuda ini seperti bukan manusia biasa ! dan mempunyai binatang peliharaan seperti itu!
"Kau bilang tadi... tinggal dongeng apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa, lupakanlah," kata Sin Liong sambil mengelus biruang yang sudah bertiarap di depannya. "Orang muda she kwa... eh, Tai-hiap... kenapa kau mau membebaskan aku?" Sin Liong mengangkat mukanya memandang dan kepala bajak itu menjadi lebih heran lagi melihat betapa pandang mata pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kebencian atau permusuhan dengannya?
"Mengapa tidak? engkau pun membebaskan Soan Cu." Sin Liong menengok dan tampaklah dua orang tadi datang berlari-lari.
"Kwa-taihiap, Nona sudah sembuh!" Sin Liong mengangguk kepada Koan Sek. "Pergilah, cepat! Lebih cepat lebih baik dan harap kau jangan sekali-kali mendekati pulau ini."
Koan Sek menjawab, "Terima kasih. Satu kalipun sudah cukuplah!" Dia mengkirik. "Pulau Iblis seperti ini siapa yang ingin melihatnya lagi?" Dia lalu meng-gerakan dayungnya dan perahu meluncur cepat meninggalkan Pulau Neraka. Ketika Sin Liong bersama biruangnya tiba kembali ke tengah pulau benar saja bahwa Soan Cu telah sembuh sama sekali dari pengaruh racun. Hanya luka di pahanya yang ting-gal dan luka itu sudah diobati oleh Kong-kongnya. Para penghuni Pulau Neraka se-dang sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan mengerikan itu dan Sin Liong lalu diajak masuk ke pondoknya oleh Ouw Kong Ek dan Soan Cu. "Taihiap, lagi-lagi engkau yang datang menolong kami, "kata Ouw Kong Ek. "Kalau engkau tidak segera datang entah bagaimana dengan aku. Mungkin sudah mati, Sin Liong," kata Soan Cu dengan mata bersinarsinar penuh kagum dan terima kasih.
"Ahh, mengapa Tocu dan kau masih bersikap sungkan terhadap aku? Bukan-kah kita ini sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku datang dengan maksud yang sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Sumoi. Apakah dia tidak datang ke sini?" Soan Cu dan kakeknya memandang kaget dan juga heran, dan di dalam pandang mata Ouw Kong Ek terkandung rasa hati tidak senang. Sin Liong maklum akan ketidaksenangan hati kakek itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata,
"Harap saja Tocu tidak menyangka yang bukan-bukan terhadap Sumoi. Apa yang dilakukan oleh Suhu di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Su-moi."
"Jadi Taihiap sudah tahu apa yang diperbuat oleh Han Ti Ong di sini?" Sin Liong mengangguk. "Aku dapat menduganya. Tentu dia marah-marah karena pute-rinya pernah ditahan di sini."
"Bukan hanya marah-marah!" kata Soan Cu mengepal tinju. "Orang itu sombong sekali! Dia menghina kakek, biar pun tidak melakukan pembunuhan tapi dia memukul semua orang!"
"Kau juga dipukulnya?" Sin Liong bertanya.
"Tadinya, melihat aku seorang wanita dan masih muda, dia tidak mau memu-kulku, akan tetapi karena melihat kakek dipukul, aku menyerangnya dan aku roboh oleh tamparan. Dia memang sakti, akan tetapi ganas dan kejam, bahkan semua cata-tanmu dihancurkan! Sekali waktu kami akan menuntut balas, kami akan menyerang Pulau Es!"
Sin Liong menarik napas panjang. "Lupakan saja niat itu, selain tidak baik juga tidak ada gunanya. Kerajaan Pulau Es tidak ada lagi sekarang, telah musnah." "Hei...? Apa maksudmu, Taihiap...?" kakek itu bertanya, terbelalak. "Apa yang telah terjadi?" Soan Cu juga bertanya.
"Dilanda badai... habis seluruhnya, semua penghuninya termasuk suhu dan seluruh benda di sana habis terbasmi kecuali bangunan istana yang telah kosong sama sekali..." Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat malapetaka yang penimpa Pulau Es, dan betapa secara aneh dan kebetulan saja dia dan Sumoinya terluput dari bencana.
Kakek dan cucu itu mendengarkan dengan melongo kemudian kakek itu bertepuk tangan dan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha-ha! Dendam ratusan tahun le-nyap dalam sekejap mata! kami orang-orang buangan yang dianggap berdosa, diang-gap dikutuk tuhan, malah masih dapat hidup melanjutkan riwayat, sedangkan peng-huni Pulau Es yang suci dan agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja musnah! Ha-ha-ha, siapa yang lebih dilindungi tuhan? Han Ti Ong, tanpa kami bergerak, engkau dan kerajaanmu lenyap sudah!" Kakek itu tertawa-tawa sampai air matanya keluar sehingga sukar dikatakan apakah dia itu tertawa, ataukah menangis.
Mengapa Taihiap sekarang mencari Nona Swat Hong ke sini? Apa yang terjadi dengan dia?" Sin Liong lalu menceritakan niat perjalanannya bersama Swat Hong, yaitu untuk mencari ibu Swat Hong yang sampai kini tidak diketahui berada di mana. Dan betapa di jalan mereka menjadi bungung dan tersesat karena badai telah menciptakan pemandangan yang berbeda di permukaan laut sehingga sehingga me-reka mendarat di gunung es dan betapa dia menemukan biruang hitam. "Sumoi berangkat melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka karena disangkanya ibunya berada di sini, sedangkan aku mengobati biruang." Sin Liong menutup ceritanya, tentu saja dia segera menceritakan kemarahan Swat Hong kepadanya. "Apakah dalam beberapa hari ini dia tidak dantang ke sini?" Soan Cu menjawab, "Untung saja dia tidak datang, Sin... eh, Taihiap."
"Soan Cu mengapa engkau meniru kakekmu, bersungkan kepadaku dan menyebut Taihiap segala?"
"Biarlah, Taihiap," Kata Ouw Kong Ek. "Tidak pantas kalau dia menyebut namamu begitu saja. Dan engkau memang menolong kami dan pantas disebut Taihiap karena kepandaianmu tinggi sekali."
"Kaukatakan tadi untung Sumoi tidak datang ke sini, mengapa?"
"Andaikata dia datang, tentu akan terjadi apa-apa yang tidak baik antara dia dan Kong-kong. Ketahuilah, semenjak Raja Pulau Es datang mengacau di sini, Kong-kong jatuh sakit, dan kebencian kami semua terhadap Pulau Es makin mendalam. Maka kalau Sumoimu, Swat Hong datang, tentu akan terjadi hal yang tidak baik." Sin Liong mengangguk-angguk, merasa lega bahwa sumoinya tidak mendahului datang ke Pulau Neraka, akan tetapi juga menimbulkan kegelisahannya karena dia jadi tidak tahu ke mana sumoinya yang pemarah itu kini berada!
“Bajak-bajak laut itu, dari mana datangnya dan mengapa mengacau ke sini?" tanyanya.
"Entah. Tahu-tahu mereka muncul dan perahu besar mereka terdampar di tepi pulau."
"Agaknya mereka juga diamuk badai."
"Mungkin." Soan Cu melanjutkan. "Kami diserang selagi kong-kong sakit. Kong-kong tidak dapat turun dari pembaringan, maka aku yang menggantikannya, aku keluar menyambut mereka, akan tetapi karena kurang hati-hati, karena meman-dang rendah am-gi mereka, aku hampir celaka kalau tidak ada engkau yang datang di waktu yang tepat, Taihiap."
"Akan tetapi akhirnya, biarpun sakit, Kong-kongmu dapat membunuh semua bajak laut itu." Sin Liong bergidik ngeri mengenangkan kematian para bajak itu. "Ugh-ugh....!" Kakek itu terbatuk-batuk. "Bajak-bajak macam itu saja kalau aku tidak sakit, kalau Soan Cu tidakmemandang rendah dan kalau para penghuni tidak baru saja diamuk badai, tidak ada artinya bagi kami. Kalau binatang-binatang Pulau Neraka bersembunyi ketakutan diamuk badai, mana mereka mampu masuk? Sudahlah, sekarang saya hendak menyampaikan permohonan yang amat penting bagi Taihiap." "Ah, Tocu, Di antara kita yang sudah menjadi sahabat, perlu apa banyak sungkan lagi? Kalau ada sesuatu, katakanlah saja, mana perlu menggunakan permohonan lagi?" jawab Sin Liong. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu turun dari bangkunya dan menja-tuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! Tentu saja pemuda ini menjadi sibuk sekali, cepat membangunkan kakek itu dan berkata,
"Tocu, harap jangan begini. Aku yang muda mana berani menerimanya? Ada keperluan apakah? katakan saja, aku tentu akan membantumu sedapat mungkin." Sin Liong berkata dengan hati tidak enak, me-ngira akan menghadapi hal yang sulit. Setelah duduk kembali dan mengatur napasnya yang terengah-engah karena kesehatannya belum pulih kembali dan tubuhnya terasa amat lelah, kakek itu berkata,
"Kwa-taihiap, aku sudah tua dan tidak mempunyai keturunan lain kecuali Soan Cu. Taihiap sudah melihat sendiri keadaan di Pulau Neraka yang merupakan tempat tidak baik untuk seorang dara seperti Soan Cu. Oleh karena itu, setelah kini kerajaan Pulau Es tidak ada, berarti bahwa Pulau Neraka telah bebas dan kami bukan-lah orang-orang buangan lagi. Soan Cu juga bukan keturunan orang buangan lagi dan sewaktu-waktu kami boleh meninggalkan pulau ini. Karena itu, aku mohon dengan sepenuh hatiku, sudilah Taihiap membawa Soan Cu bersama Taihiap untuk mengenal dunia ramai, dan syukur kalau Taihiap dapat mengatur agar cucuku ini tidak usah lagi kembali dan tinggal di Pulau Neraka ini. Kuharap permohonan ini tidak akan ditolak oleh Taihiap."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Permintaan yang sama sekali tidak pernah disangkanya! "Akan tetapi, Ouw-tocu, hendaknya diingat bahwa aku sendiri adalah seorang sebatangkara yang tidak mempunyai apa-apa, tidak mempunyai tempat tinggal dan masih belum kuketahui apa akan jadinya dengan diriku ini."
"Kalau Taihiap merantau, bawalah dia merantau, ke mana saja aku sudah pasrah sepenuhnya. Baik dia akan Taihiap anggap sebagai sahabat, sebagai saudara, atau kalau mungkin.... dari lubuk hatiku kuharap sebagai calon jodoh, aku sudah merasa lega dan senang, asal dia tidak tersiksa tinggal di neraka ini."
Sin Liong merasa sukar untuk menolak, akan tetapi juga berat untuk menerima, maka dia menoleh kepada Soan Cu dan berkata, "Soal ini sebaiknya kita serahkan kepada Soan Cu sendiri. Kalau memang dia suka merantau meninggalkan pulau ini, tentu saja aku tidak keberatan mengadakan perjalanan bersama. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku menerima usul perjodohan Tocu, dan sewaktu-waktu dia boleh pergi ke mana saja, jadi aku tidak terikat oleh perjanjian apapun juga."
"Taihiap, jangan khawatir. Memang aku sejak dulu tidak kerasan tinggal di sini, hanya karena kedudukanku sebagai seorang keluarga buangan saja yang mence-gah aku meninggalkan Pulau Neraka. Sekarang aku telah bebas, dan betapapun juga, aku akan pergi dari sini. Hanya kalau bersama Taihiap, tentu hati Kong-kong akan merasa lebih aman, dan juga untukku sendiri yang tidak ada pengalaman, melakukan perjalanan bersamamu merupakan hal yang menyenangkan sekali. Aku hendak pergi mencari ayahku, Taihiap."
"Dan aku hendak mencari Swat Hong dan ibunya."
"Kalau begitu, mari kita mencari berdua, siapa tahu dalam mencari Sumoimu itu , aku dapat bertemu dengan ayahku."
Setelah mendapat banyak pesan dan melihat Kong-kongnya, membawa pula bekal berupa pakaian dan sekantung emas simpanan Kong-kongnya, berangkatlah Soan Cu bersama Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka dengan sebuah perahu. Selama hidupnya yang lima belas tahun itu, belum pernah Soan Cu meninggalkan pulau, maka setelah perahu meluncur jauh dan dia hampir tidak dapat melihat lagi Kongkongnya bersama semua sisa penghuni Pulau Neraka yang mengantarkanya sampai ke pantai, Soan Cu tak dapat menahan bercucurannya air matanya.
"Soan Cu, mengapa kau menangis? Kalau kau tidak tega meninggalkan kakekmu, masih belum terlambat untuk kembali," kata Sin Liong yang sebetulnya merasa tidak enak sekali memikul kewajiban ini. Biarpun dia tidak terikat sesuatu, namun sedikit banyak dia dibebani keselamatan dara ini, dan kalau dara ini wataknya seaneh Swat Hong, dia tentu akan menjadi lebih pusing lagi!
"Ah, tidak, Taihiap. Aku hanya merasa perih hatiku meninggalkan tempat yang sejak kulahir menjadi tempat tinggalku itu. Orang sedunia boleh menyebutnya Pulau Neraka, akan tetapi setelah aku berangkat meninggakan pulau itu, terasa olehku bahwa disitu adalah sorga."
Sin Loing tersenyum dan mendayung perahunya lebih cepat lagi. Pernyataan yang keluar dari mulut dara ini merupakan pelajaran yang amat penting baginya, membuka matanya melihat kenyataan bahwa sorga maupun neraka itu berada dalam hati manusia itu sendiri! Betapapun indahnya suatu tempat kalau tidak berkenan di hatinya, akan merupakan neraka, sebaliknya betapapun buruknya suatu tempat kalau berkenan di hatinya akan menjadi sorga!
Jadi, baik buruk, senang, susah, puas kecewa, semua ini bukan ditentukan oleh keadaan di luar, melainkan ditentukan oleh keadaan hati dan pikiran sendiri. keadaan di luar merupakaan kenyataan yang wajar, dan hanya pikiranlah yang menentukan dengan menilai, membandingkan, maka lahirlah puas, kecewa, senang, susah, baik, buruk, dan lain-lain hal yang saling bertentangan itu. Bahagialah orang yang dapat menghadapi segala sesuatu dengan mata terbuka, memandang segala sesuatu seperti APA ADANYA, tanpa penilaian. tanpa perbandingan. Orang bahagia tidak mengenal susah senang, karena bahagia bukan susah bukan pula senang, bukan puas bukan pula kecewa, melainkan suatu keadaan di atas itu semua, sama sekali tidak terganggu oleh pertentanganpertentangan itu.
Perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Soan Cu meluncur terus, ujung depan nya yang meruncing membelah air yang tenang seperti sebuah pisau membelah agar-agar biru. Soan Cu sudah melupakan kesedihan hatinya dan kini dara itu memandang ke depan dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh harapan akan masa depan yang berlainan sama sekali dengan keadaan di Pulau Neraka. Banyak sudah dia mendengar dongeng kakeknya yang juga hanya mendengar dari nenek moyangnya tentang keadaan di dunia rame, dan sekarang dia sedang menuju kepada kenyataan yang akan dilihatnya dengan mata sendiri!
*****
Pusat perkumpulan Pat-jiu-kaipang (Perkumpulan pengemis Tangan Delapan) berada di lereng Pegunungan Hen-san. Dari luar, tempat itu memang pantas disebut pusat perkumpulan pengemis karena hanya merupakan tempat di dataran tinggi yang dikelilingi pagar bambu yang tingginya hampir dua kali tinggi orang, pagar yang butut dan bambu-bambu itu mengingatkan orang akan tongkat bambu yang biasa di-bawa oleh para pengemis. Akan tetapi kalau orang sempat menjenguk di dalamnya, dia akan terheran-heran menyaksikan sebuah rumah gedung yang pantas juga disebut sebuah istana kecil berdiri megah dan mewah sekali! Inilah tempat tinggal Pat-jiu Kai-ong, Si Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kaipang di lereng Hengsan! Pat-jiu kai-ong sudah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan tangkas dan belum begitu tua, sungguhpun pakaianya selalu butut, sebutut tongkatnya, sama sekali tidak sesuai dengan keadaan gedungnya. Hanya kalau hari sudah menjadi gelap saja maka berubahlah raja pengemis ini, pakaiannya diganti dengan pakaian tidur yang layaknya dipakai seorang pangeran! Dan mulailah kehi-dupan yang berlawanan dengan keadaan hidupnya di waktu siang, berbeda jauh seperti bumi dan langit. Di waktu siang, dia lebih patut disebut seorang pengemis kelaperan yang berkeliaran di sekitar rumah gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan pakaian indah dan tubuh bersih, dia bersenang-senang makanminum dengan hidangan serba lezat dan mahal, dilayani oleh lima orang selirnya yang muda-muda, cantik dan genit. Pat-jiu Kai-ong tinggal tinggal didalam istananya yang mewah akan tetapi yang dikelilingi pagar bambu tinggi sehingga tidak tampak dari luar itu bersama lima orang selirnya, lima orang pelayan dan selosin orang anak buahnya yang meru-pakan pengawal-pengawalnya. Selosin orang ini tentu saja merupakan tokoh-tokoh dalam pat-jiu Kai-pang, karena mereka adalah pembantu yang boleh diandalkan, atau juga murid-murid tingkat satu dari raja pengemis itu. para pengawal itu melakukan penjagaan siang malam secara bergilir dan mereka tinggal di dalam rumah samping di kanan kiri istana ketua mereka.
Adapun Pat-jiu Kai-pang mempunyai anggota yang banyak dan yang tersebar luas di kota-kota. Dengan mengandalkan nama besar perkumpulan itu, terutama sekali nama besar Kai-ong, para anggauta itu dapat mengumpulkan sumbangan-sumbangan yang besar dan sebagian dari pada hasil sumbangan ini mereka setorkan kepada Pat-jiu kai-ong. Inilah membuat raja pengemis menjadi kaya raya dan dapat hidup mewah sekali. Selosin orang pembantunya, selain pengawal dan penjaga istananya, juga ber-tugas untuk turun tangan mewakili ketua mereka apabila ada cabang yang kurang dalam memberi setoran! Pat-jiu Kai-ong sendiri yang sudah hidup makmur jarang meninggalkan istananya di Heng-san. Hanya urusan besar saja yang dapat menariknya pergi meninggalkan tempat yang amat menyenangkan hatinya itu. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dia ikut pula memperebutkan Sin-tong Si Anak Ajaib karena dia pada waktuitu ingin cepat-cepat menyempurnakan ilmu yang sedang diciptakan dan dilatihnya, yaitu ilmu Hiat-ciang-hoatsut (Ilmu Sihir Tangan Darah). Jika pada waktu itu dia berhasil merebut Sintong, tentu dalam waktu satu tahun saja ilmunya akan sempurna. Akan tetapi karena seperti diceritakan di bagian depan, dia gagal dan Sin-tong dibawa pergi oleh pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka dia harus mengorbankan puluhan orang bocah untuk dimakan otaknya dan disedot darah dan sumsumnya. Kini dia telah mahir dengan ilmu hitam yang mengerikan itu, akan tetapi sayangnya, setiap tahun dia harus mengisi tenaga itu dengan pengorbanan seorang bocah!
Pada suatu hari , pagi-pagi sekali, selagi Pat-jiu Kai-ong seperti biasa mening-galkan kehidupan malamnya yang mewah, berpakaian sebagai seorang pengemis berjalan-jalan di dalam taman bunga di belakang istananya, membawa tongkat butut dan berlatih silat di waktu embun pagi masih tebal, tiba-tiba seorang pengawalnya datang menghadap dan melaporkan bahwa ada tiga orang tamu datang ingin bertemu dengan Si Raja Pengemis. "Hemm, siapakah pagi-pagi begini sudah datang meng-gangguku?" Pat-jiu Kai-ong berkata dengan alis berkerut. Akan tetapi karena merasa penasaran, dia tidak memerintahkan pengawalnya mengusir orang itu dan terutama sekali ketika mendengar pelaporan itu bahwa yang datang adalah seorang kakek bersama dua orang muda, seorang dara jelita dan seorang muda tampan. Hatinya tertarik sekali ketika mendengar bahwa kakek itu mengaku sebagai seorang "sahabat lama."
Ketika dia keluar membawa tongkat bututnya dan bertemu dengan tiga orang itu, Pat-jiu Kai-ong memandang tajam. Dia kagum melihat pemuda yang amat tampan dan pemudi yang amat cantik jelita itu. Wajah mereka yang mirip satu sama lain menunjukan bahwa mereka adalah kakak beradik, pemudanya berusia kurang lebih enam belas tahun, pemudinya lima belas atau empat belas tahun. Sampai lama pan-dang mata Pat-jiu Kai-ong melekat kepada dua orang muda itu, keduanya membuat hatinya terguncang penuh kagum dan andaikata dia tidak menahan perasaannya, tentu mulutnya akan mengeluarkan air liur! Barulah dia terkejut ketika mendengar kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Pat-jiu Kai-ong kurasa engkau belum begitu pikun untuk melupakan dua orang anakku ini. Mereka adalah Swi Liang dan Swi Nio, ha-ha-ha! Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak menge-nal kedua nama ini. Dia memandang dengan mata terheran kepada laki-laki yang berdiri di depannya, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian sederhana berwarna kuning, dengan kepala yang beruban itu terlindung kain pembungkus rambut yang berwarna kuning pula. Kakek itu tertawa lagi.
"Wah, Pat-jiu Kai-ong, benar-benar engkau telah lupa kepada kami? Lupa kepada sahabatmu di Lusan ini?"
"Ahhhh...!" Pat-jiu Kai-ong tertawa, mukanya berseri dan dia cepat membungkuk untuk memberi hormat. "Kiranya sahabat Bu yang datang? maaf, maaf, mataku sudah lamur saking tuanya sehingga tidak mengenal sahabat baik yang kurang lebih sepuluh tahun tak pernah kujumpi. Jadi ini kedua anakmu itu? Dahulu mereka baru berusia lima enam tahun, kecil dan lucu serta berani, bahkan kalau tidak salah, anak perempuanmu ini yang dahulu menantang pibu kepadaku. Ha-ha-ha!"
Dara berusia lima belas tahun yang cantik jelita itu menunduk dan kedua pipinya berubah merah. "Harap Pangcu sudi memaafkan saya."
"Aih-aih...! Ini tentu orang tua lusan ini yang mengajarnya. Menyebutku Pangcu segala!"
"Ha-ha-ha, Pangcu. Bukankah engkau memang Ketua dari Pat-jiu Kai-pang? Mengapa tidak mau disebut Pangcu oleh puteriku?" Kakek itu berkata.
"Wah, jangan berkelabar. Anak-anak yang baik, sebut saja aku paman. marilah masuk, kita bicara di dalam." Pat-jiu-kai-ong lalu bertepuk tangan dan para pengawalnya muncul. "lekas beritahukan para pelayan agar mempersiapkan hidangan makan pagi yang baik untuk tamuku yang terhormat, Lu-san Lojin (Orang Tua Dari Lusan) dan dua orang putera-puterinya!" Para pengawal itu mundur dan Pat-jiu-kai-ong menggandeng tangan kakeknya itu, sambil tertawatawa mereka memasuki istana dan duduk di ruangan dalam menghadapi meja dan duduk di kursi-kursi yang berukir indah. Sambil memandang ke kanan kiri mengagumi keindahan ruangan itu, Lu-san Lojin berkata memuji, "Sungguh hebat! Lama sudah aku mendengar bahwa Pat-jiu-kai-ong tinggal disebuah istana yang megah, kiranya keadaan di sini melampau segalanya yang telah kudengar. Hebat sekali!" Sejak tadi Pat-jiu-kai-ong merayapi tubuh pemuda dan pemudi itu dengan pandangan matanya. Dia kagum bukan main melihat dara cantik jelita dan pemuda yang tampan dan gagah itu.
"Ha-ha, kau terlalu memuji, sahabat. Aku tidak mengira bahwa hari ini tempatku yang buruk akan meneriama kehormatankedataangan seorang tamu agung, seorang penolongku yang budiman bersama putra dan puterinya yang begini elok." Kedua orang tua ini lalu bercakap-cakap dengan gembira membicarakan masa lampau.
Siapakah kakek ini? Dia adalah Lu-san Lojin, seorang ahli silat dan ahli pengobatan yang semenjak istrinya meninggal dunia, meninggalkan dua orang anak, lalu mengajak dua orang anaknya itu mengasingkan diri ke puncak Lu-san, dan di sana dia bertapa sambil mendidik dan menggembleng putera puterinya. Sepuluh tahun yang lalu, setelah gagal merebut Sin-tong, dalam kekecewaannya Pat-jiu Kai-ong lalu mengamuk di sepanjang jalanan, menculik dan membunuhi bocah-bocah yang diang-gapnya cukup sehat. Ketika dia tiba di kaki Pegunungan Lu-san, dia berada dalam keadaan keracunan hebat. Hal ini terjadi karena dia terlampau banyak membunuh anak laki-laki, makan otak mereka dan menghisap darah serta sumsum mereka untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau banyak melatih diri dengan ilmu hitam Hiat-ciang Hoat-sut. Karena hatinya yang penasaran mengapa dia tidak dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin-tong, maka dia lupa akan ukuran tenaga sendiri dan melatih diri dengan ilmu hitam itu, dia terlampau terburu-buru dan akibatnya, hawa mujijat dari ilmu itu membalik dan membuat dia terluka dalam, keracunan hebat sehingga dia terhuyung-huyung dan hampir pingsan ketika tiba di kaki Pegunungan Lu-san. Dia maklum akan keadaan dirinya, tahu bahwa dia terancam bahaya maut maka hatinya menjadi khawatir sekali. Kebetulan baginya, pada saat itu keadaannya terlihat oleh Lu-san Lojin yang sedang turun gunung bersama putera-puterinya yang pada waktu itu baru berusia enam dan lima tahun, sebagai seorang gagah dan berilmu tinggi, Lu-san Lojin cepat menolong Pat-jiu Kai-ong. Setelah memeriksa keadaan raja pengemis itu, dia maklum bahwa Pat-jiu Kai-ong memerlukan perawatan khusus, maka diajaknya orang ini naik ke puncak Lu-san. Di situ Pat-jiu Kai-ong diobati Lu-san Lojin sampai sembuh . Selama satu bulan berada di Lu-san, raja pengemis ini menerima perawatan yang amat baik dari Lu-san Lojin, maka dia merasa berterima kasih sekali dan menganggap pertapa itu sebagai penolong dan sahabat baiknya. Juga dia mengenal dua orang bocah yang mungil itu.
Karena kebaikan hati Lu-san Lojin, biarpun dia melihat Swi Liang sebagai seorang anak yang mempunyai darah bersih dan tulang kuat, dia tidak tega untuk mengganggu anak laki-laki itu. Di lain pihak, ketika mendengar bahwa yang ditolongnya adalah Pat-jiu kai-ong ketua Pat-jiu kai-pang, Lusan Lojin terkejut sekali. Akan tetapi dia menjadi bangga bahwa raja pengemis yang namanya terkenal itu menganggapnya sebagai sahabat baik. Maka setelah sembuh, mereka berpisah sebagai sahabat yang berjanji untuk saling mengunjungi dan saling membantu.
"Sungguh aku tidak tahu diri dan tidak mengenal budi," setelah makan minum Pat-jiu Kai-ong berkata kepada tamunya. "Sepatutnya akulah yang datang mengun-jungi kalian di Lu-san, bukan kalian yang jauhjauh datang mengunjungi aku."
"Ahhh, mengapa kau menjadi sungkan begini? Kita bersama telah mempunyai kewajiban masing-masing sehingga tentu saja telah sibuk dengan pekerjaan. Kamu pun hanya kebetulan saja lewat di kaki Pegunungan Heng-san, maka aku teringat kepadamu dan mengajak kedua anakku untuk mendekati Pegunungan Hengsan men-carimu." "Terima kasih, engkau baik sekali, Lu-san Lojin. Akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, kalian datang dari manakah?"
Lu-asn Lojin menarik napas panjang dan menoleh kepada puteranya, meman-dang puterinya seolah-olah minta ijinnya, Swi Liang menganggukan kepalanya ke-pada ayahnya, dan menunduk. Dianggap oleh pemuda ini bahwa Pat-jiu Kai-ong adalah seorang sahabat baik ayahnya, bahkan seperti saudara sendiri, maka tidak ada salahnya kalau raja pengemis itu mengetahui urusannya. Siapa tahu raja pengemis itu dapat membantunya . "Kami baru saja datang dari Lokyang, melakukan perjalanan sejauh itu dan ternyata sia-sia belaka perjalanan kami untuk mencari Tee-tok Siangkoan Houw."
"Tee-tok Siangkoan Houw? Ah, ada urusan apakah engkau mencari racun bumi itu, Lu-san Lojin?"
"Sebetulnya urusan lama, urusan perjodohan, semenjak kecil, antara Tee-tok dan aku telah terdapat persetujuan untuk menjodohkan puteraku Bu Swi Liang ini dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Akan tetapi, setelah keduanya menjadi dewasa, tidak ada berita dari Tee-tok sehingga hatiku merasa khawatir sekali. Aku sudah berusaha mencarinya, namun selalu sia-sia. Akhir-akhir ini aku mendengar bahwa dia berada di Lokyang, akan tetapi setelah jauh-jauh kami bertiga mencarinya di sana, ternyata dia tidak berada di sana pula. Hemm, sikap orang tua itu masih selalu aneh dan penuh rahasia." JILID 9
"Ha-ha-ha, ala salahmu sendiri! mengapa mengikat perjanjian dengan seorang iblis seperti Tee-tok?"
"Pat-jiu Kai-ong, jangan bergurau. Ini urusan yang penting bagi kami, karena itu, kami mengharap bantuanmu yang mempunyai banyak anak buah, agar suka menyelidiki di mana kami dapat bertemu dengan Tee-tok Siangkoan Houw."
"Baik, baik... jangan khawatir. Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya, dan kalian bermalamlah di sini, jangan tergesa-gesa pulang."
Lu-san Lojin menggeleng kepala. "Sudah terlalu lama kami meninggalkan pondok, kami hanya dapat bermalam untuk satu malam saja. Besok pagi-pagi kami harus melanjutkan perjalanan."
"Semalaman cukuplah, Biar kupergunakan untuk menjamu kalian sepuas hatiku."
Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di luar istana raja pengemis itu. Tak lama kemudian dua orang pengawal pribadi Kai-ong masuk dengan muka pucat dan kelihatan takut.
"Ada apa? mau apa kalian mengganggu kami?" Kai-ong membentak marah dan menurunkan cawan araknya keras-keras ke atas meja sehingga meja itu tergetar. "Pangcu... ampunkan kami berdua... terpaksa kami mengganggu karena ada peristiwa yang amat aneh dan mengkhawatirkan kami semua."
"Apa yang terjadi? Hayo cepat ceritakan." Dengan wajah ketakutan, seorang di antara dua orang pengawal itu lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi di luar istana. Karena Pangcu sedang menjamu tamu, para pengawal menjaga di luar dan mereka sedang mengagumi seekor ayam jago kesayangan Pat-jiu Kai-ong. Raja pengemis itu memang suka sekali memelihara ayam jago dan kadang-kadang meng-adunya. Pagi hari itu seperti biasa, seorang pelayan memandikan dan memberi makan ayam jago itu, dan memuji-mujinya sebagai jago peranakan tanah selatan yang amat baik. Tiba-tiba ayam jago itu menggelepar di dalam kedua tangannya, darah muncrat dan ayam itu mati, dadanya ditembusi sehelai benda lembut yang kemudian ternyata adalah sebatang daun! Di tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada tulisanya. "Kami telah meloncat dan mencari di sekeliling, akan tetapi tidak ada bayangan seorang pun manusia, Pangcu. Agaknya hanya iblis saja yang dapat menggunakan sehelai daun untuk menyambit dan membunuh ayam jago dan...."
"Cukup!" Raja pengemis itu marah sekali mendengar jagonya dibunuh orang. "Kalian tolol semua! Mana kain yang ada tulisan itu!" Kepala pengawal yang mukanya penuh bewok itu dengan kedua tangan gemetar, menyerahkan sehelai kain putih kepada ketuanya. kain itu ada tulisannya dengan huruf-huruf kecil berwarna hitam, akan tetapi ada noda-noda darah, darah ayam jago tadi. Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong yang menerima kain itu, sejenak menjadi bingung dan baru ia teringat bahwa dia tidak mampu membaca. Dia buta huruf! Dengan jengkel dan agak malu dia lalu melemparkan kain itu kepada Lu-san Lojin sambil berkata, "Harap kaubacakan ini untukku!" Lu-san Lojin menyambar kain yang melayang ke arahnya itu, lalu matanya memandang tulisan.
Mukanya berubah, matanya terbelalak. "Wah... apa artinya ini?"
"Lojin! bagaimana bunyinya?" Pat-jiu Kai-ong bertanya, suaranya membentak. Lu-san Lojin lalu membaca huruf-huruf itu.
Malam ini, semua mahluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong dari binatang sampai manusia, akan kubasmi habis!" Ratu Pulau Es.
"Ratu PulauEs...?" Pat-jiu Kai-ong tertawa. "Siapakah dia? Aku tidak menge-nalnya. Hai pelawak dari manakah yang main-main seperti ini? Ha-ha-ha, biar dia datang hendak kulihat magaimana macamnya!"
"Kai-ong, harap jangan main-main. Biarpun hanya seperti dalam dongeng, nama Pulau Es amat terkenal, katanya penghuninya memiliki kepandaian seperti dewa, apalagi dahulu yang terkenal dengan sebutan Pangeran Han Ti Ong...."
"Ha-ha-ha, siapa perduli? Aku tidak ada permusuhan dengan Han Ti Ong, bahkan dia yang pernah mengganggu aku. Mengapa sekarang ada ratu dari sana hendak membunuhku dengan ancaman sesombong itu? Aku tidak percaya. He, pengawal apakah kalian tahu akan isi surat?" Dua orang pengawal itu mengangguk. "Sudah Pangcu."
"Apa kalian takut?"
"Ti... tidak, Pangcu, Hanya... hanya amat aneh itu..."
"Sudahlah. Setelah kalian tahu isinya, hayo kalian dua belas orang melakukan penjagaan yang ketat terutama malam ini. Kita jangan mudah digertak lawan yang membadut! Biarkan dia datang, kita tangkap dia dan kita permainkan dia, ha-ha-ha!" "Kai-ong harap hati-hati...." kata Lu-san Lojin setelah para pengawal itu keluar dari ruangan itu.
"Ha-ha-ha, mengapa khawatir? Apalagi baru seorang badut, biar Han Ti Ong sendiri yang datang, setelah kini Hiat-ciang Hoat-sut kulatih sempurna, aku takut apa?" Kakek dari Lu-san itu kelihatan ragu-ragu, akan tetapi untuk menyatakan bah-wa dia takut, tentu saja dia tidak mau dengan hati berat dia bersama dua orang anak nya menemani tuan rumah makan minum dan bercakap-cakap sampai lewat tengah hari. Kemudian mereka dipersilahkan mengaso sejenak dalam kamartamu, akan tetapi menjelang senja, mereka sudah dipersilahkan makan minum lagi. Sekali ini mereka benar-benar takjub. Melihat Pat-jiu Kai-ong kini bertukar pakaian, pakaian malam yang indah dan mewah! Mengignat betapa siang tadi Kai-ong merupakan seorang pengemis yang berpakaian butut, dan kini seperti seorang raja, benar-benar membuat Lu-san Loji hampit tertawa, seperti melihat seorang badut pemain lenong! Dan hida-ngan yang dikeluarkan di meja juga istimewa, jauh lebih lengkap daripada siang tadi! "Ha-ha, ayo makan minum. Kita berpesta sampai kenyang!" kata tuan rumah itu mempersilahkan tamutamunya. Setelah hidangan tinggal sedikit dan perut mereka kenyang sekali, Pat-jiu Kai-ong mengusap-ngusap bibirnya yang berminyak dan perutnya yang gendut, matanya memandang ke arah Bu Swi Liang dan Bu Swi Nio penuh gairah, lalu dia berkata, kata-kata yang sama sekali tidak pernah disangka oleh para tamunya dan yang membuat mereka terkejut setengah mati,
"Lu-san Loji, sekarang kau tidurlah dalam kamarmu dan jangan hiraukan badut yang hendak mengganggu. Adapun dua orang anakmu ini, yang cantik jelita dan tampan gagah, biarlah mereka berdua besenang-senang dengan aku dalam kamarku, ha-ha-ha!"
"Kai-ong!" Lu-san Lojin membentak. "Apa... maksud kata-katamu ini?"
Pat-jiu Kai-ong memandang tamunya sambil tersenyum lebar. "Apa maksudnya? Swi Liang begini tampan gagah dan Swi Nio cantik jelita dan segar, sungguh aku suka sekali kepada mereka. Kalau mereka bedua bersama dengan aku dalam kamarku, tentu mereka akan terlindung dan....hemmm, aku ingin sekali ber-senang dengan mereka, tidur-tiduran dengan mereka sejenak."
"Kai-ong, apa kau gila??" Lu-san Lojin hampir tidak dapat percaya akan pendengaranya sendiri.
"Eh, mengapa? Apa salahnya aku tidur dengan dua orang keponakanku ini? Heh-heh, tak tahan aku melihat puterimu yang muda dan cantik segar, dan puteramu yang tampan dan ganteng ini. Anak-anak baik, marilah kalian layani pamanmu..." "Keparat!" Lu-san Lojin melompat ke depan dan dua orang anaknya yang berada di belakangnya pun sudah siap dengan pedang di tangan.
"Pat-jiu Kai-ong! Harap kau jangan main gila dan jelaskan apa sebabnya perubahan sikapmu ini. Mau apa engkau dengan anak-anakku?"
"Ha-ha-ha! Siapa main gila? Sebelum kalian muncul, tidak pernah ada terjadi apa-apa di sini. Akan tetapi begitu kalian muncul, muncul pula orang aneh yang mem-bunuh ayamku dan mengeluarkan ancaman. Siapa lagi kalau bukan teman dan kaki tanganmu? Dan kau tentu sudah mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong tidak pernah me-nyia- nyiakan kecantikan seorang dara remaja seperti putermu ini dan puteramu yang tampan ini tentu memiliki otak yang bersih, darah yang segar dan sumsum yang kuat. Perlu sekali untuk menambah keampuhan Hiat-ciang Hoat-sut agar makin kuat meng-hadapi lawan kalau malam ini ada yang berani datang!"
"Iblis jahanam! Kiranya engkau seorang manusia iblis yang busuk!" Lu-san Lojin sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya. Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sebagai bekas murid Hoa-sanpai yang sudah memperdalam ilmunya dengan ciptaanya sendiri, hasil renungannya di waktu bertapa. Kepalan tangnnya menyambar dahsyat, mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi kiranya hanya dalam ilmu pengobatan saja dia menang jauh dibandingkan dengan Pat-jiu Kai-ong. Dalam ilmu berkelahi, dia tidak mampu menandingi Kai-ong yang amat lihai. Sambil tertawa, Kai-ong mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar dua kali dan kakek Lu-san itu terpaksa harus menarik kembali kedua tanganya karena dari kedudukan menyerang, dia malah menjadi yang diserang karena perge-langan kedua tangannya terancam totokan ujung lengan baju itu! dua orang naknya yang sudah marah sekali karena merasa dihina, sudah menerjang maju pula dengan pedang mereka. Swi Liang menusuk dari samping kiri ke arah lambung kakek pe-ngemis itu, sedangkan dari kanan Swi Nio membabatkan pedangnya ke arah leher. "Ha-ha, bagus! Kalian benar-benar menggairahkan!" kata kakek itu dan dia bersikap seolah-olah tidak tahu bahwa dirinya diserang. Akan tetapi setelah kedua pedang itu menyambar dekat, tiba-tiba kedua tangannya menyambar dan.... dua batang pedang itu telah dicengkramnya dengan telapak tangan!
Swi Liang dan Swi Nio terkejut bukan main, akan tetapi melihat betapa kedua batang pedang mereka itu dipegang oleh tangan kakek itu, mereka cepat menggerakan tenaga menarik pedang dengan maksud melukai telapak tangan Pat-jiu Kai-ong. Namun usaha mereka ini sia-sia belaka, pedang mereka tak dapat dicabut, seolah-olah dicengkeram jepitan baja yang amat kuat.
"Manusia tak kenal budi!"
"wirrrr... tar-tar!" Pat-jiu Kai-ong merasa terkejut melihat menyambarnya sinar kuning dan ternyata bahwa Lu-san Lojin melolos sabuknya yang berwarna ku-ning dan kini menggunakan sabuk itu sebagai senjata. Kakek ini memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, dan memainkan sabuk sebagai senjata sudah merupakan kehaliannya. Sabuk lemas di tangannya itu dapat bergerak seperti pecut, dapat pula menjadi sebatang senjata yang kaku dengan pengerahkan sinkangnya. "Krekk-krekkk!" dua batang pedang itu patah-patah dalam cengkraman Pat-jiu Kai-ong dan sambil melompat mundur menghindarkan sambaran ujung sabuk, raja pengemis ini menyambitkan dua ujung pedang yang dipatahkanya ke arah Lu-san Lojin. "Trang-tranggg!" Dua batang ujung pedang itu terlempar ke lantai ketika ditangkis oleh ujung sabuk(ikat pinggang) dan kini Lu-san Lojin mendesak ke depan dengan putaran senjatanya yang istimewa. Sedangkan kedua orang anaknya telah mundur dan hanya menonton di pinggir karena mereka terkejut menyaksikan pedang mereka dipatahkan begitu saja oleh kedua tangan lawan dan mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak berguna membantu ayah mereka. Pada saat itu, muncullah empat orang pengawal yang mendengar suara ribut-ribut. Melihat mereka, Pat-jiu Kai-ong berkata, "Tangkap dua orang muda ini, akan tetapi awas, jangan lukai mereka!" Empat orang pengawal itu segera menubruk maju hendak menangkap Swi Liang dan Swi Nio. Tentu saja kakak beradik ini melawan sekuat tenaga, akan tetapi biarpun keduanya memiliki ilmu silat tinggi, namun empat orang pengawal itu pun merupakan murid-murid ter-pandai dari Pat-jiu Kai-ong, maka ketika dua orang di antara mereka menggunakan tongkat, dalam belasan jurus saja Swi Liang dan Swi Nio dapatditotok dan roboh dan lumpuh.
“Ha-ha-ha, belenggu kaki tangan mereka baik-baik... kemudian lempar mereka ke atas tempat tidurku... haha- ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa sambil menyambar tong-katnya. Setelah dia bertongkat, maka kini dia menghadapi Lu-san Lojin dengan lebih leluasa. Kakek dari Lu-san itu marah bukan main melihat putera dan puterinya digo-tong pergi dari ruang itu. Dia mengejar dan menggerakan ikat pinggangnya, namun Pat-jiu Kai-ong menghadangnya sambil tertawa-tawa dan menyerangnya dengan tongkatnya sehingga terpaksa kakek Lu-san itu melayaninya bertanding. Pertandingan yang amat seru dan diam-diam Pat-jiu Kai-ong harus mengaku bahwa ilmu kepan-daian kakek yang pernah menolongnya ini memang hebat.
"Pat-jiu Kai-ong, benar-benarkah kau lupa akan budi orang? Aku pernah menyelamatkan nyawamu, apakah sekarang engkau mencelakakan kami bertiga?" Lu-san Lojin berkata membujuk karena khawatir melihat nasib puterinya.
"Ha-ha-ha, dahulu memang engkau pernah menolongku, akan tetapi sekarang kalian datang dengan niat buruk!"
"Tidak! Kau salah duga! Kami tidak ada sangkut pautnya dengan si pembunuh ayam!"
"Ha-ha-ha, Lu-san Lojin! Kalian menyelundup ke dalam dan bergerak dari dalam, sedangkan setan itu bergerak dari luar. Begitukah?" Tongkat di tangan Pat-jiu Kai-ong menyambar ganas. "Plak-plakk!" Ujung sabuk kakek Lu-san menangkis dua kali akan tetapi dia merasa betapa telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga Si Raja Pengemis itu benar-benar amat kuat.
"Pat-jiu Kai-ong, kau salah menduga, kami tidak ada hubungan dengan musuh yang datang. Lepaskankedua anakku dan kau berjanji akan membantumu menghadapi musuh gelap itu."
"Wah, berat kalau disuruh melepaskan. Lu-san Lojin, dengan baik-baik. Aku tergila-gila melihat anak-anakmu. Pinjamkan mereka kepadaku untuk satu dua malam, dan kau bantu aku menghadapi musuh, baru aku akan membebaskan kalian."
"Iblis busuk!" Lu-san Lojin marah sekali dan dengan nekat dia lalu mengerah-kan seluruh tenaga untuk melawan raja pengemis ini karena dia maklum bahwa beta-papun juga hati yang kotor dari raja pengemis itu tidak mudah dibujuk. Satu-satunya jalan untuk menolong anak-anaknya adalah melawan mati-matian. "Plakkk!" Tiba-tiba ujung sabuk melibat tongkat, keduanya saling betot untuk merampas senjata. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berhasil merampas senjata lawan dan kesem-patan ini dipergunakan oleh Pat-jiu Kai-ong untuk menggerakan tangan kirinya de-ngan telapak tangan terbuka ke arah lawan. Lu-san Lojin terkejut melihat telapak tangan yang menjadi merah seperti tangan berlumuran darah itu. Dia belum pernah mengenal limu Hiat-ciang Hoat-sut dari raja pengemis itu, namun dia pernah mende-ngar akan hal ini, tahu pula betapa keji dan berbahayanya ilmu itu. Akan tetapi untuk mengelak dia harus melepaskan sabuknya dan hal ini pun amat berbahaya. Dengan senjata itu saja dia masih kewalahan melawan Pat-jiu Kai-ong, apalagi tanpa senjata, maka dengan nekat dia lalu menggerakan tangan pula menyambut pukulan itu. "Dessss...! Aduhhh...!!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lu-san Lojin terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mulutnya mengeluarkan darah segar dan matanya mendelik. Kakek ini pingsan dan menderita luka dalam yang amat parah! "Lempar dia di kamar tahanan!" Pat-jiu Kai-ong berkata sambil tertawa. Setelah tubuh kakek yang pingsan itu digusur pergi oleh para pengawalnya. Pat-jiu Kai-ong meng-hampiri meja di mana dia tadi menjamu para tamunya, menyambar guci arak dan menenggaknya habis, kemudian sambil tertawa-tawa dia memasuki kamarnya.
Pemuda dan pemudi She Bu itu sudah rebah terlentang di atas pembaringan Pat-jiu Kai-ong yang lebar. Dalam keadaan terbelenggu kaki tanganya. Lima orang selirnya menjaga di situ. Ketiaka dia masuk sambil tertawa gembira, Bu Swi Liang memandang dengan mata melotot penuh kebencian, akan tetapi Bu Swi Nio meman-dang dengan mata terbelalak ketakutan dan mencucurkan air mata. Pat-jiu Kai-ong menghampiri pembaringan, menggunakan tangannya untuk membelai dan menghusap pipi Swi Nio dan Swi Liang sambil berkata, "Manis, jangan menangis dan kau jangan marah. Aku akan menemani kalian dan bersenang-senang sepuas hati setelah kami menangkan musuh gelap yang mengancam."
Dia menengok ke arah lima orang selirnya dan berkata garang. "Temani mereka, jaga baik- baik jangan sampai ada yang lolos, dan kalau ada apa-apa, cepat berteriak memanggil para pengawal. Mengerti?"
Lima orang selir itu mengangguk dan kakek itu meninggalkan kamar lagi. Sebelum orang yang membunuh ayam jagonya dan yang mengirim surat ancaman itu dapat ditangkap atau dibunuh, tentu saja dia tidak bernafsu untuk bersenang-senang dengan dua orang muda yang tertawan itu. Dia percaya penuh bahwa menghadapi se-orang pengacau saja, para pengawalnya akan dapat mengatasinya, akan tetapi dia harus berhati-hati dan ikut melakukan penjagaan sendiri. Setelah keadaan benar-benar aman barulah dia boleh bersenag-senang. Dia belum yakin benar apakah musuh gelap itu ada hubungannya dengan Lu-san Lojin dan kedua orang anaknya, akan tetapi ada hubungan atau tidak, setelah tiga orang itu dibuat tidak berdaya, berarti mengurangi bahaya. Dia harus berhati-hati, maklum bahwa dia mempunayi banyak musuh. Siapa tahu kalau Lu-san Lojin yang termasuk golongan putih itu juga memusuhi. Andaikata tidak sekalipun, mana bisa dia melepaskan dua orang muda yang cantik jelita dan tampan itu? Pat-jiu Kai-ong duduk lagi di ruangan tadi sambil melanjutkan minum arak. Dia maklum bahwa malam ini dua belas orang pengawalnya menjaga dengan tertib dan penuh kewaspadaan. Ingin dia tertawa keras-keras mengusir kesunyian malam yang mendatangkan perasaan tidak enak. Hemmm, Ratu Pulau Es? Hanya dongeng! Pembunuh ayam itu tidak perlu ditakuti. Andaikata dia mampu mengalah kan dua belas orang pengawalnya, hal yang sukar dipercaya, masih ada dia sendiri. Hiat-ciang Hoat-sut, ilmu yang dilatihnya belasan tahun kini telah dapat diandalkan. Tadipun, hanya menggunakan sebagian kecil tenaganya saja, ilmu itu telah meroboh kan Lu-san Lojin. Dia tidak takut! "Aku tidak takut!" serunya kuat-kuat. "Datanglah kamu, hai Ratu Pulau Es keparat! Ha-ha-ha!" Para pelayan sudah menyalakan lampu-lampu penerangan dan atas perintah para pengawal, pelayanpelayan ini menambah jumlah lampu sehingga keadaan di seluruh gedung itu menjadi terang.
Bersambung ...
"Hemm, bicaralah. Aku tidak tahu apa-apa," Kata Swat Hong yang tentu saja merasa malu untuk bicara tentang hal yang asing baginya itu.
"Swat Hong, apakah kau cinta kepadaku?" Dara itu makin merah mukanya. Tak disangkanya bahwa suhengnya akan bertanya secara langsung seperti itu se-hingga dia merasa seperti diserang dengan tusukan pedang yang amat dhasyat! Dia mengangkat muka memandang suhengnya dengan bingung. "Aku...aku...ah, aku tidak tahu..." dan dia menundukan mukanya. "Sumoi, sudah sering aku melihat sikapmu yang aneh. Engkau marah-marah ketika kita berada di Pulau Neraka. Engkau cemburu melihat Soan Cu berbuat baik kepadaku, dan kau tidak senang melihat Kongkongnya hendak menjodohkan Soan Cu dengan aku. Sumoi, aku tidak tahu apa cemburu itu tandanya cinta? Akan tetapi, jawablah demi pemecahan persoalan yang kita hadapi ini. Cintakah kau kepadaku?" Disinggung-singgung tentang sikapnya di Pulau Neraka yang jelas menadakan rasa cemburunya, Swat Hong menjadi makin malu. Dicobanya untuk menjawab, akan tetapi begitu dia bertemu pandang dengan suhengnya, dia menjadi makin malu dan ditutupinya mukanya dengan kedua tangan, kepalanya digeleng-gelengkan dan dia berkata, "Aku tidak tahu...aku tidak tahu... kau saja yang bicara, Suheng. Kau saja yang menjawab apakah kau cinta padaku atau tidak!" Dan kini dia menurunkan kedua tangannya, sepasang matanya yang bening itu kini dengan penuh selidik menatap wajah Sin Liong! Sin Liong menariknapas panjang. "Itulah yang membingungkan hatiku selama ini,Sumoi. Mau bilang tidak mencintaimu, buktinya aku suka kepadamu. Akan tetapi untuk menyatakan bahwa aku cinta padamu, sulit pula karena aku sendiri tidak tahu bagaimana sesungguhnya cinta itu. Apakah seperti cintanya suhu terhadap ibumu yang berakhir dengan peristiwa menyedihkan itu? ataukah seperti cintanya Ibumu kepada Suhu? Ataukah seperti cintanya The Kwat Lin dan suhu? Hemm, mengapa semua cinta itu demikian palsu dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan? Aku menjadi ngeri melihat cinta macam itu, Sumoi." Swat Hong memandang heran. "Ahhh, aku tidak pernah memikirkan cinta seperti yang kau kemukakan ini, suheng."
"Mudah saja. Lihat saja apa yang terjadi antara Suhu, Ibumu, dan The Kwat Lin. Seperti itukah cinta? Hanya mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian, dan permusuhan hebat. Apakah itu cinta? Kalau seperti itu, aku ngeri dan aku tidak berani berlancang mulut menyatakan cinta kepada siapapun, Sumoi. Karena, kalau hanya se-perti itu akibatnya, maka cinta yang kunyatakan hanyalah merupakan kembang bibir belaka, hanya cinta palsu belaka. Bayangkan saja, Sumoi. Di antara kita berdua, sejak kecil sampai sekarang menjelang dewasa, tidak pernah ada pertentangan dan tidak pernah ada urusan apa-apa. Akan tetapi, setelah kita berdua mengaku cinta, lalu tim-bul soal-soal ceburu, kecewa dan lain-lain. Apalagi setelah menjadi suami is-tri .hemm, betapa mengerikan kalau melihat contoh yang kita saksikan di Pulau Es ini."
Swat Hong menunduk dan tak mampu menjawab. Persoalan yang diajukan oleh Sin Liong ituterlampau berat baginya, sulit untuk dimengerti. Baginya, sebagai seorang wanita, dia haus akan cinta kasih, akan perhatian, akan pemanjaan dari seo-rang pria yang menyenangkan hatinya, seperti suhengnya ini. Akan tetapi, setelah mendengar uraian Sin Liong tentang cinta yang diambilnya peristiwa di Pulau Es sebagai contoh, dia pun ngeri dan tidak berani menyatakan perasaanya itu. "Aku tidak tahu, Suheng.., aku tidak mengerti. Terserah kepadamu sajalah..." Sin Liong kembali menarik napas panjang. Dia memang sudah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa dia harus membalas budi kebaikan suhunya yang sudah berlimpah-limpah diberikan kepadanya. Satu-satunya jalan untuk membalas budi hanya dengan menye-nangkan hati suhunya yang sedang berduka itu. Dia harus menerima keputusan suhunya, yaitu menerima menjadi jodoh Swat Hong! Akan tetapi dia tidak boleh membuat dara itu menderita dengan keputusannya ini, maka dia harus tahu terlebih dahulu bagaimana pendirian Swat Hong. Dan sekarang, dara itu sama sekali tidak berani mengaku tentang cinta. "Sumoi, sekarang begini saja. Andai kata aku meme-nuhi permintaan suhu, yaitu mau menerima ikatan jodoh denganmu, menjadi calon suamimu, bagaimana dengan pendapatmu?" Swat Hong menunduk dan menggigit bibirnya. Akhirnya dia dapat berbisik. "Aku tidak tahu, terserah kepadamu dan kepada ayah..."
"Maksudku, apakah engkau merasa terpaksa? Apakah hal ini menyenangkan hatimu? Sumoi, harap kau suka berterus terang. Kalau kau, seperti aku, tidak bisa mengaku cinta begitu saja, setidaknya kukatakan apakah ikatan jodoh ini tidak menimbulkan penyesalan bagimu?" Swat Hong tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.
"Kalau begitu, andaikata aku menerima, engkau pun akan menerimanya dengan senang hati?" Swat Hong mengangguk! "Kalau begitu, mari kita pergi meng-hadap Ayahmu. Aku akan menerima permintaannya, karena betapapun juga, kita harus menghiburnya, menyenangkan hatinya. Aku telah berhutang banyak budi dari suhu, maka kalau dengan penerimaan ini aku dapat sekedar membalas budinya, aku akan merasa senang." Sin Liong mengambil dayung perahu itu dan menggerakan dayung.
"Suheng, kau menerima karena kasihan kepada Ayah? jadi kau...kau tidak cin-ta kepadaku?"
"Sumoi aku tidak berani berlancang mulut mengaku cinta. Aku telah banyak menyaksikan cinta kasih yang kuragukan kemurniannya. Aku khawatir bahwa sekali cinta diucapkan dengan mulut, maka itu bukanlah cinta lagi. Aku tidak tahu, apakah cinta itu sesungguhnya, maka aku tidak berani lancang mengaku, Sumoi..." "Ahhh...!!" Jeritan Swat Hong ini adalah campuran dari rasa kecewa dan juga kekangetan hebat, matanya terbelalak memandang kedepan. Melihat wajah Sumoinya, Sin Liong cepat menengok dan pada saat itu terdengar ledakan dahsyat dibarengi dibarengi dengan cahaya kilat yang seolah-olah membakar dunia. Tampak oleh Sin Liong yang terbelalak memandang itu air muncrat tinggi sekali disusul asap dan api, muncul dari permukaan laut antara perahunya dan Pulau Es. Kedua orang muda yang terbelalak dengan muka pucat itu tidak berkesempatan untuk terheran lebih lama lagi karena tiba-tiba karena perahu mereka dilontarkan keatas, dalam saat lain perahu itu telah dipermainkan oleh gelombang yang mendahsyat dan menggunung. Suara mengguruh memenuhi telinga mereka dan keheningan yang baru saja mencekam lautan itu kini terisi dengan kebisingan yang sukar dilukiskan. Sin Liong berteriak, "Sumoi, bantu aku! Jangan sampai perahu terguling!" keduanya mengerahkan tenaga, menggunakan dayungnya untuk mengatur keseimbangan perahu. Namun, kekuatan gelombang air laut yang amat dahsyat itu mana dapat ditahan oleh tenaga manusia, biarpun kedua orang pemuda itu adalah tokoh-tokoh Pulau Es sekalipun? Perahu mereka menjadi permainan gelombang, dilontarkan tinggi ke atas, disambut dan diseret kebawah, seolah-olah tangan malaikat maut atau ekor naga laut yang menyeret perahu ke dasar laut, akan tetapi tiba-tiba dihayun lagi keatas, ditarik ke kanan, didorong kekiri sehingga kedua orang murid Raja Han Ti Ong itu menjadi pening dan setengah pingsan! Mereka tidak ingat akan waktu lagi, tidak tahu berapa lama mereka diombang-ambingkan air laut, tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa ombak, dan mereka tidak sempat menggunakan pikiran lagi. Yang ada hanya naluri untuk menyelamatkan diri, menjaga sekuat tenaga agar perahu mereka tidak sampai terguling dan tangan mereka tidak sampai terlepas memegangi pinggiran perahu. Dengan tangan kanan memegang pinggiran perahu, tangan kiri Sin Liong memegang lengan kanan sumoinya. Betapapun juga, dia tidak akan melepaskan sumoinya! Swat Hong yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut itu, sekali ini menangis dengan muka pucat dan mata terbelalak. Terlampau hebat keganasan air laut baginya, terlampau mengerikan melihat gelombang setinggi gunung yang seolah-olah setiap saat hendak mencengkram dan menelannya itu! Tiba-tiba Swat Hong menjerit. Segulung ombak besar datang dan menelan perahu itu. Mereka gelagapan karena ditelan air, kemudian mereka merasa betapa perahu mereka dilambungkan ke atas. "Brukkk...!" Keduanya terpental keluar, akan tetapi masih saling bergandeng tangan. Cepat Sin Liong menyapu mukanya agar kedua matanya dapat memandang. Ternyata perahu mereka telah dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang penuh batu karang, sebuah pulau yang menjulang tinggi akan tetapi hanya kecilkecil sekali, merupakan sebuah batu karang besar yang menonjol tinggi. "Sumoi, lekas..., kita naik ke sana...!!" Sin Liong tidak mempedulikan tubuhnya yang terasa sakit semua, membantu sumoinya merangkak bangun. Pipi kanan dan lengan kiri Swat Hong berdarah, akan tetapi gadis itu pun agaknya tidak merasakan semua ini, tersaruk-saruk dia dibantu suhengnya merangkak dan menyeret perahu ke atas, kemudian mereka melanjutkan pendakian ke atas puncak batu karang itu dengan susah payah. Akhirnya mereka tiba di puncak batu karang dan apa yang tampak oleh mereka dari tempat tinggi ini benar-benar menggetarkan jantung. Air di sekeliling mereka. Air yang menggila, bergerak berputaran, gelombang yang dahsyat menggunung, suara yang gemuruh seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit. Batu karang besar , atau lebih tepat disebut pulau kecil dari batu itu tergetar-getar, seolah-olah menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan badai yang mengamuk. Tidak tampak apa-apa pula selain air, air dankegelapan, kadang-kadang diseling cahaya menyambar dari atas, seperti lidah api seekor naga yang bernyala-nyala, "Ouhhhh..!" Swat Hong menangis dan cepat dipeluk oleh suhengnya. Tubuh dara itu menggigil, pakaiannya robek-robek. "Tenanglah... tenanglah, Sumoi...." Sin Liong berbisik dan pemuda ini mengerti bahwa bukan hanya sumoinya yang disuruhnya tenang, melainkan hatinya sendiri juga! Pengalaman ini sungguh dahsyat dan tidak mungkin dapat terlupa selama hidupnya. Kebesaran dan kekuasan alam nampak nyata. membuat dia merasa kecil tak berarti, kosong dan remeh sekali! Sin Liong dan Swat Hong yang dipeluknya tidak tahu lagi berapa lamanya mereka berada di tempat itu. Siang malam tiada bedanya, yang tampak hanya kegelapan, air, dan kadang-kadang kilatan cahaya halilintar. Yang terdengar hanyalah gemuruh air, angin menderu, dan kadang-kadang ledakan halilintar. Tidak memikirkan dan merasakan apa-apa, yang ada hanya takjub dan ngeri! Di luar tahunya dua orang itu, mereka telah berada di pulau batu karang selama sehari semalam! Akhirnya badai mereda, badai yang ditimbulkan oleh ledakan gunung berapi di bawah laut! Kegelapan mulai menipis, akhirnya tampak kabut putih bergerak perlahan meninggalkan tempat itu, air mulai tenang dan menurun, akhirnya tampaklah sinar matahari disusul oleh bola api itu sendiri setelah kabut terusir pergi. Tampaklah lautan luas terbentang di bawah dan baru sekarang ternyata oleh dua orang muda itu bahwa mereka duduk dipuncak batu karang yang amat tinggi! Swat Hong mengeluh, baru terasa betapa penat tubuhnya, betapa luka-luka kecil dari kulitnya yanglecet-lecet, dan betapa haus dan lapar leher dan perut! "Sumoi, badai sudah mereda. Mari kita turun. Aihh, itu perahu kita. Untung tidak pecah," kata Sin Liong dan dia menggandeng tangan sumoinya, menuruni batu karang. Perahu mereka tidak pecah, akan tetapi layar dan dayungnya lenyap. Sin Liong mengangkat perahu itu, membawanya turun kebawah. "Mari kita lekas pulang, Sumoi. Biar kudayung dengan kedua tangan." Swat Hong duduk didalam perahu, mengeluh lagi dan berkata penuk kegelisahan, "Bagaimana dengan Pulau Es? Badai mengamuk demikian hebatnya, Suheng." Aku tidak tahu, mudah-mudahan mereka selamat. Maka, kita harus cepat pulang." dia lalu menggunakan kedua tangannya yang kuat sebagai dayung. Perahu bergerak, meluncur di atas air yang tenang dan licin seperti kaca, sama sekali tidak ada tanda-tanda di permukaan air bahwa air itu telah mengamuk sedemikian hebatnya baru-baru ini. Tak lama kemudian Sin Liong medapatkan dayung yang dipatahkan dari batang pohon yang hanyut di air. Agaknya pulau-pulau kecil disekita tempat itu telah diamuk badai sedemikian hebatnya sehingga pohon-pohon tumbang dan terbawa air. Setelah keadaan cuaca terang kembali, Sin Liong dapat menentukan arah perahu dan tak lama kemudian tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya masih seperti biasa, sebuah pualu keputihan memanjang di kaki langit, berkilaun tertimpa sinar matahari. Hati mereka lega. Dari jauh kelihatannya tidak terjadi perubahan di pulau itu. Setelah agak dekat, mereka melihat pula puncak atap istana di Pulau Es, maka legalah hati mereka. Hati Sin Liong mulai berdebar tegang ketika perahunyasudah menepel di Pulau Es. Keadaannya begitu sunyi. Sunyi dan mati! Tidak kelihatan seorang pun di pantai, bahkan tidak tampak sebuah perahu pun. Dan bukit-bukit es tidak seperti biasanya, kacau balau tidak karuan dan berubah bentuknya! Dengan hati tidak enak kedua orang muda itu belari-lari ketengah pulau. Makin ke tengah, makin pucat wajah mereka. Tidak ada seorang pun kelihatan, dan juga pondok-pondok yang biasanya terdapat di sana-sini, sekarang habis sama sekali. Tidak ada sebuah pun pondok yang tampak! Seolah-olah semua telah disapu bersih, tersapu bersih dari pulau itu. "Auhhhh...!" Swat Hong berdiri dengan muka pucat, kedua kakinya menggigil. "Mari kita ke istana, Sumoi!" Sin Liong yang berkata dengan suara bergetar lalu menyambar lengan sumoinya dan diajaknya dara itu lari ke dalam istana. Beberapa kali terdengar Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan, dan Sin Liong juga kaget bukan main. Mereka seperti memasuki sebuah kuburan! Sunyi, kosong, dan tidak ada bekas-bekasnya tempat itu didiami manusia! Habis sama sekali, baik prabot-prabotan istana maupun manusia-manusianya! Tidak tertinggal sepotong pun benda atau seorang pun manusia. Habis semua! Ke mana pun mereka lari dan ber-teriak-teriak memanggil, yang terdengar hanya gema suara mereka sendiri! "Oughhh...!!" Swat Hong tidak menahan himpitan perasaan yang ngeri dan berduka, tubuhnya tergelimpang dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat disambar oleh Sin Liong. "Sumoi...!" Akan tetapi suara ini kandas dikerongkongannya dan tanpa disa-dari pula, kedua pipi Sin Liong basah oleh airmatanya yang mengalir deras menuruni kanan kiri hidungnya ketika dia memondong tubuh sumoinya yang pingsan itu ke dalam kamar. Akan tetapi dia termangu-mangu ketika tiba di ambang pintu kamar yang terbuka, karena kamar itu pun kosong dan bersih, tidak ada sebuah atau sepotong pun prabotannya. terpaksa dia merebahkan tubuh sumoinya di atas lantai, dan dia sendiri merebahkan kepala diatas kedua lututnya sambil menangis. terlampau hebat peristiwa yang dihadapinya. Pulau Es telah disapu bersih oleh badai! Bersih sama sekali sehingga agaknya tidak ada seorang pun manusia yang tertolong, tidak ada sepotong pun barangnya yang tinggal, kecuali bangunan istana yang memang amat kuat itu. Setelah siuman, Swat Hong menangis, "Aih, mengapa..? Mengapa...? ayah, kasihan sekali Ayah...!" Akhirnya Sin Liong dapat menghibur dan membu-juknya. Mereka berdua lalu mengadakan pemeriksaan dan mendapat kenyataan bahwa benar-benar Pulau Es telah diamuk badai. Agaknya air laut telah naik sedemikian tinggi sehingga pulau itu teredam air. Mereka menemukan beberapa potong pakaian yang tersangkut di batu-batu dan dengan hati terharu penuh kedukaan mereka me-ngumpulkan pakaian itu, entah punya siapa, sebagai barang peninggalan yang amat berharga. Kemudian mereka memeriksa istana. Memang ada beberapa benda yang masih tertinggal di dalam kamar di bawah tanah, akan tetapi yang berada di atas, semua habis dan lenyap. "Suheng, lihat ini...!" tiba-tiba Swat Hong berkata sambil menunjuk ke dinding.
Sin Liong cepat menghampiri dan keduanya mengenal goresan tangan Han Ti Ong yang agaknya menggunakan jari tangan yang penuh tenaga sinkang untuk menulis di dinding batu itu! "Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Ki-ong." Pendek saja "surat dinding" itu, namun cukup jelas isinya. Sin Liong menarik napas panjang. Kasihan dia kepada suhunya yang mati meninggalkan dendam itu! "Suheng lihat ini..." Tak jauh dari tulisan itu terdapat bekas jari-jari tangan mencengkram dinding. Mudah saja mereka menggambarkan keadaan Han Ti Ong dan keduanya tak dapat menahan tangis mereka. Agaknya, dalam menghadapi amukan badai, Han Ti Ong berhasil menggunakan tenaganya untuk mempertahankan diri beberapa lamanya dengan mencengkram dinding dan sempat pula membuat tulisan itu sebelum kekuatan yang jauh lebih besar dari pada kekuatanya menyeret keluar dari istana dan bahkan dari pulau itu! "Kasihan sekali suhu..." Sin Liong menghapus air matanya. Swat Hong mengepal tinjunya. "Aku akan mencari perempuan iblis itu, selain merampas kembali pusaka Pulau Es,juga menghukumnya! Dialah yang mencelakakan ibuku, yang mencelakakan Ayahku!"
Sin Liong menarik napas panjang. Sudah diduganya ini. Tentu akan terjadi balas-membalas. Dendam tak kunjung habis! "Sumoi, Suhu hanya meninggalkan pesan agar kita mencari kembali pusaka-pusaka itu...."
"Kau yang mencari pusaka, aku yang membunuh iblis betina itu!" Swat Hong berseru penuh semangat. "Dan Bu Ong... hemm,apa pula artinya ini? Bukan putera ayah?"
"Sumoi, tenanglah dan dengarlah penuturanku. Mungkin hanya aku dan ayahmu saja yang tahu akan nasib wanita itu, nasib yang amat buruk dan mengerikan. Tahukah kau apa yang telah dialami oleh The Kwat Lin sebelum ditolong ayahmu?" Sin Liong lalu menceritakan keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila karena dua be-las orang suhengnya dibunuh orang dan agaknya, melihat keadaannya, gadis yang tadinya seorang pendekar wanita perkasa itu telah diperkosa di antara mayat para su-hengnya. "Kurasa demikianlah kejadiannya. Setelah suhu menyatakan bahwa Bu Ong adalah keturunan Kai-ong, teringatlah aku. Jelas bahwa The Kwat Lin diperkosa oleh pembunuh dua belas orang anak murid Bu-tongpai itu, sehingga anak yang dilahir-kannya itu, Han Bu Ong, adalah keturunan Kai-ong yang memperkosanya dan mem-bunuh para suhengnya."
Mendengar penuturan tentang nasib mengerikan yang dialami ibu tirinya, Swat Hong bergidik. Akan tetapi dia mengomel. "Yang berbuat jahat kepadanya ada-lah Raja Pengemis itu, mengapa dia membalasnya kepada ibu? Dan dia telah meng-hancurkan penghidupan Ayah. Betapapun juga, aku harus mencarinya dan memba-laskan sakit hati ibu dan Ayah."
Sin Liong maklum bahwa membantah kehendak sumoinya ini percuma, hanya akan menimbulkan pertentangan saja. Maka diam-diam dia mengambil keputusan un-tuk selalu mendamping sumoinya, selain menjaga keselamatan dara ini, juga kalau perlu mencegah sepak terjangnya yang terdorong oleh nafsu dan dendam. Betapapun juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai, dara ini kehilangan ayah bunda, tiada sanak kadang, tiada handai taulan dan dialah satu-satunya orang yang patut melindunginya, sebagai suhengnya. Ataukah sebagai calon suami? Sin Liong tidak mengerti dan tidak berani memutuskan. Biarlah hal perjodohan itu diserahkan kepada keadaan kelak. Dia tidak membantah ketika sumoinya mengajaknya meninggalkan Pulau Es yang telah kosong itu, untuk mencari ibunya, dan kalalu masih juga tidak berhasil, untuk pergi ke daratan besar mencari The Kwat Lin. Beberapa hari kemudian, setelah yakin benar bahwa tidak ada seorang pun di antara penghuni Pulau Es yang selamat dan kembali ke pulau itu, Sin Liong dan Swat Hong berangkat meninggalkan Pulau Es. Ketika perahu kecil yang mereka dayung itu meluncur meninggalkan pulau, Swat Hong me-mandang kearah pulau dengan air mata bercucuran. Juga Sin Liong merasa terharu dan berduka mengingat akan nasib para penghuni Pulau Es yang mengerikan itu.
Mereka berdua mendayung perahu menuju ke selatan dan di sepanjang perja-lanan ini mereka menemukan bukti-bukti kedahsyatan badai dan keanehan alam yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi di bawah laut itu. Ada pulau yang lenyap sa-ma sekali , dan ada pula pulau yang baru muncul begitu saja, pulau yang amat aneh, pulau batu karang yang masih jelas kelihatan bahwa pulau ini tadinya merupakan da-sar laut dengan segala keindahannya, dengan mahluk hidup dan tetumbuhannya yang kini semua mengeras menjadi batu karang dengan bermacam bentuk. Banyak pulau yang mengalami nasib serupa dengan pulau Es, yaitu menjadi gundul, habis sama se-kali tetumbuhan atasnya. diam-diam terbayang dalam pikiran Sin Liong betapa dah-syat kekuasan alam. Andaikata semua lautan yang mengamuk seperti beberapa hari yang lalu itu, agaknya dunia akan menjadi kiamat! Melihat keadaan pulau-pulau itu, timbul rasa khawatir dalam hati Sin Liong tentang keadaan Pulau Neraka. Tentu pulau itu pun tidak terluput dari amukan badai, pikirnya. Padahal baru saja pulau itu menga-lami penyerbuan Han Ti Ong dan pasukannya! Sin Liong merasa kasihan sekali terha-dap nasib para penghuni Pulau Neraka. Apakah pulau itu seperti juga Pulau Es, disapu bersih dan seluruh penghuninya terbasmi habis?
"Agaknya ibumu tidak berada diantara pulau-pulau ini," Beberapa hari kemu-dian setelah merasa mencari dengan sia-sia, Sin Liong mengemukakan pendapat. "Bagaimana kalau kita mencari ke utara lagi. Siapa tahu kali ini kita berhasil, dan kita dapat juga bertanya ke Pulau Neraka kalau-kalau ibumu ke sana." "Hemm, agaknya engkau sudah rindu kepada Soan Cu, suheng."
Sian Liong mengerutkan alisnya. "sumoi, kau...cemburu lagi?"
Wajah dara itu menjadi merah. "Aku hanya berkata sewajarnya."
"Sudahlah. Kalau kau cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau Neraka," kata Sin Liong menarik napas panjang. Hening sejenak dan mereka telah menghentikan gerakan dayung karena mereka masih belum mendapat keputusan akan mencari ke mana.
"Kita ke Pulau Neraka!" tiba-tiba Swat Hong berkata. "Ehhh...??"
"Aku harus ke sana. Aku akan menegur kakek berkepala besar itu! Pulau Neraka yang menjadi biang keladi sehingga Ayah marah-marah kepada kita, hampir saja kita dibunuhnya. Karena Pulau Neraka telah berani menawanku." "Hemm, Sumoi. Mengapa kejadian yang telah lewat dipersoalkan lagi? Bukankah Ayamu telah me-nyerbu ke sana kurasa Ayahmu telah menghukum mereka menurut cerita anak buah pasukan? Kalau begitu, kita tidak perlu pergi ke sana, sumoi."
"Aku harus pergi ke sana!" dara itu berkeras. Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sukar benar melayani sumoinya ini yang memiliki watak aneh dan hati yang keras sepeti baja. "Aku hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk mencari ibu, akan tetapi kalau kita pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak mau. Kau harus berjanji tidak akan membuat kekacauan di sana, sumoi."
"Hemmm, agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi sahabat baik Pulau Neraka, ya? Karena ada...."
"Sumoi, harap jangan bicara yang tidak-tidak. Memang kita sahabat baik me-reka! Lupakah kau ketika mereka mengantar kita ketika meninggalkan pulau itu? Karena itu, aku hanya mau pergi ke sana kalau untuk mencari ibumu dan menjenguk mereka sebagai sahabat, melihat keadaan mereka setelah ada badai mengamuk."
Swat Hong cemberut, akan tetapi menjawab juga. "Baiklah, kita lihat saja nanti." Dan me-reka lalu mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan tetapi, se-telah mereka tiba di daerah Pulau Neraka, mereka menjadi bingung dan pangling ka-rena didaerah itu telah terjadi perubahan hebat sekali. Mungkin karena akibat badai yang mengamuk, yang ternyata mengambil daerah yang amat luas itu, di sekitar situ telah muncul gunung-gunung es yang anat besar sehingga Pulau Neraka yang bia-sanya tampak dari jauh sebagai raksasa yang tidur itu kini tidak kelihatan lagi karena semua jurusan terhalang pandangannya olehgunung-gunung es. Mereka mendayung perahu berputar namun tidak dapat keluar dari kurungan gunung-gunung es itu. "Ahhh, dahulu tidak ada gunung-gunung es besar seperti ini," kata Swat Hong.
"Ini tentu diakibatkan oleh badai itu, Sumoi. Biarlah kita mengaso dulu dan aku akan mencoba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau tunggu saja di sini."
Perahu itu menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong meloncat ke daratan es. Kemudian dia menggunakan ilmunya berlari cepat, mendaki gunung es itu untuk melihat dan mengenali daerah itu dari atas puncaknya yang tinggi. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras sekali yang mengguncangkan seluruh gunung es itu. Sin Liong terkejut dan dengan cepat dia menoleh untuk melihat apa yang menge-luarkan suara seperti itu. Dari jauh tampak olehnya seekor beruang besar sedang menggerakkan kedua kaki depanya ke arah burung-burung yang menyambar-nyambar di atasnya. Burung-burung nazar (burung botak pemakan bangkai) yang besar besar beterbangan di atas biruang itu dan menyerangnya dari atas sambil mengeluarkan suara pekik mengerikan. Melihat ini, Sin Liong cepat berlari mendekati. Ternyata beruang itu terluka parah juga di beberapa bagian anggauta badannya, sedangkan di bawah kakinya tampak bangkai seekor ular laut yang besar. Jelaslah bahwa biruang itu tadi berkelahi dengan ular laut itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita luka-luka dan burung-burung nazar yang kelaparan itu kini hedak mengeroyoknya dan ten-tu saja ingin makan bangkai ular besar. Sin Liong segera menggunakan salju yang digenggam untuk menyambiti burung-burung itu. Terdengar suara plak-plok-plak-plok disusul suara burung-burung nazar berkaok-kaok kesakitan dan mereka terbang ketakutan menjauhi tempat itu karena setiap kali terkena sambitan salju, terasa nyeri sekali. Dengan beberapa loncatan saja Sin Liong sudah tiba di depan biruang itu. Beruang yang berkulit hitam dan amat besar itu menyeringai dan mengerang, mem-perlihatkan gigi bertaring yang amat runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh kecurigaan dan kemarahan kepada Sin Liong.
"Tenanglah, aku datang untuk menolongmu," kata Sin Liong sambil maju lebih dekat. "Auuughh..!" Beruang itu menggerang dan kaki depan yang kiri menyambar kearah dada Sin Liong. Melihat betapa telapak kaki itu berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat menangkap pergelangan kaki depan itu. Kiranya telapak kaki itu tertusuk tulang dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan ular laut, beruang itu mencengkram tubuh ular dan sedemikian kuatnya dia mencengkeram sampai tulang punggung ular patah dan menusuk ke dalam daging di telapak kaki depan itu, Sin Liong segera mencabut tulang itu. Darah mengucur deras dan dia segera membalut dengan sapu-tangannya. Beruang itu kini tidak marah lagi. Agaknya dia cerdik dan dapat mengerti bahwa orang yang datang ini bukan musuh, bahkan menolongnya. Kaki depan yang terluka itu kini tidak nyeri lagi dan tentu saja , karena yang membuat dia tersiksa rasa nyeri tadi adalah karena tulang yang menancap itu.
"Coba kuperiksa, apa lagi yang perlu kuobati," Sin Liong berkata dan dia memeriksa luka-luka di tubuh beruang itu. Ada sebuah luka di tengkuk yang membengkak. Tahulah SinLiong bahwa luka ini cukup berbahaya, kalau tidak lekas diberi obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa beruang itu.
"Hemmm, aku harus mencarikan daun obat untuk luka-luka-mu,"katanya, lupa bahwa beruang itu tentu saja tidak mengerti apa yang dia katakan.
"Hai, Suheng, ada apakah?" Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas. Sin Liong menoleh dan melihat Sumoinya turun berlari-lari cepat sekali. Setelah dekat, beruang itu menggerang dan memandang Swat Hong dengan marah. "Huh, binatang buruk!" Swat Hong memaki.
"Dia terluka cukup berat, akan tetapi dia menang berkelahi melawan ular laut itu. Lihat, betapa besarnya ular itu, Sumoi. Beruang itu kuat sekali. Aku ha-rus mengobatinya sampai sembuh." Swat Hong mengerutkan alisnya,
"Perlu apa menolong binatang buas seperti itu, Suheng? Membuang-buang waktu saja."
"Dia tidak buas lagi, sumoi. lihat betapa jinaknya. Dia pun mahluk hidup yang perlu kita tolong. Aku merasa kasihan kepadanya,sumoi."
"Wah, kau lebih mementingkan dia..."
"Hei..., ada apa engkau...?" Tiba-tiba Sin Liong berteriak melihat beruang itu meng-gereng-gereng dan menarik-narik tangannya, seolah-olah hendak mengajak Sin Liong pergi dari situ! Beruang itu makin keras menggereng dan makin kuat menariknya. Diam-diam Sin Liong kagum bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa besarnya, dan kiranya dia hanya akan dapat menandingi tenaga raksasa ini kalau dia mengge-rakan sinkang sekuatnya! Akan tetapi tiba-tiba dia mendapat firasat tidak baik melihat sikap beruang itu, maka disambarnya tangan sumoinya dan dia berteriak. "Awas, sumoi. Mari pergi, dia menghendaki demikian, entah mengapa?" JILID
Sin Liong memegang erat-erat lengan sumoinya dan membiarkan dirinya diseret oleh biruang itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa berlompatan dan berlarian ke gunung es yang lain yang berdekatan. Baru saja mereka melompat ke atas gunung es lain itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan gunung es dimana mereka berada tadi telah pecah berantakan menjadi keping-keping kecil. Kiranya gunung es itu ditabrak oleh gunung es yang lain dan hal ini agaknya telah diketahui oleh si Beruang tanpa melihat datangnya gunung es yang tak tampak dari situ. Ternyata binatang itu hanya diperingatkan oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia! Sin Liong berdiri dengan muka pucat, kemudian dia merangkul beruang itu.
"Terima kasih, kakak beruang. Kiranya engkau malah menyelamatkan kami berdua."
Akan tetapi Swat Hong merasa tidak senang. "Suheng, mari kita segera pergi dari sini. Tempat ini amat berbahaya. Lihat, gunung es tadi hancur dan itu kelihatan dari sini perahu kita. Untung tidak hilang. Marilah, suheng."
"Nanti dulu, sumoi. Aku harus mencarikan daun obat untuk mengobati luka-luka di tubuh beruang ini."
"Ah, perlu apa? Kita bisa celaka di sini..."
"Sumoi, dia telah menyelamatkan nyawa kita!"
"Hemm, begitukah? Engkau pun tadi telah menyelamatkan nyawanya ketika kau mengusir burung-burung nazar itu, bukan? Aku melihat dari jauh. Berarti sudah terbalas semua budi, bukan Marilah, Suheng."
"Tidak, sumoi. Kita tinggal di sini dulu sampai aku selesai mengobatinya." Swat Hong menjadi marah. "Agaknya kau lebih sayang biruang betina ini dari pada aku!"
"Sumoi...!" Akan tetapi Swat Hong sudah berlari pergi, berloncatan di atas pecahan es dan menuju ke perahu mereka, meloncat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu pergi dari situ! Sin Liong menjadi bingung dan hampir membuka mulut menegur, akan tetapi karena maklum bahwa hal itu percuma saja, dia membatalkan niatnya. "Ngukkk... nguuuuukkk...." Beruang itu mendengus-dengus dan menciumi kepalanya. "Ahhh, Enci (Kakak Perempuan) beruang, betapa sukarnya menyelami watak wanita. Aku telah membuat hatinya kecewa dan marah, akan tetapi bagaimana hatiku dapat tega meninggalkan engkau yang terancam bahaya maut oleh lukamu?" Sin Liong lalu mengajak beruang itu mencari daun. Karena perahu sudah dibawa pergi Swat Hong, Maka terpaksa dia mencari pulau yang masih ada tetumbuhannya dengan jalan berloncatan dari batu es lainnya, dan kalau jaraknya terlalu jauh, beruang itu menggendongnya dan membawanya berenang ke batu es lainya atau kadang-kadang Sin Liong menggunakan sebongkah es yang mengambang sebagai perahu, didayung dengan tangannya yang kuat. Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang amat sukar, dapat juga dia menemukan pulau yang masih ada tetumbuhannya dan di pulau kecil itu, mulailah dia mengobati luka-luka beruang itu sampai sembuh. Pada suatu hari dia melihat sebuah perahu kosong terbalik mengambang tidak jauh dari pulau. Dia merasa girang sekali. Cepat menyuruh beruang mengambilnya dan hatinya terharu ketika mengenal perahu itu sebagai sebuah di antara perahu pulau es. Tentu penumpangnya telah lenyap ditelan badai, pikirnya. Dia lalu membuat dayung dari cabang pohon dan setelah biruang hitam itu sembuh benar, dia lalu melompat ke perahu dan mendayungnya meninggalkan pulau. Akan tetapi tiba-tiba beruang itu terjun ke air dan berenang mengejar perahunya. "Heii, kakak beruang, kembalilah. Engkau sudah sembuh, dan aku harus pergi mencari sumoi!"
"Nguuuk...nguukk...!" Beruang hitam itu mengeluarkan suara mengeluh dan mukanya seperti orang menangis! Sin Liong tersenyum. "Hmm, kau hendak ikut, ya? Nah, loncatlah ke atas!" Seolah-olah mengerti arti kata-kata Sin Liong, biruang itu lalu meloncat ke dalam perahu kini mukanya kelihatan berseri, matanya bersinar-sinar dan lidahnya terjulur keluar seperti sikap seekor anjing yang kegirangan.
"Kau boleh ikut sampai aku dapat menemukan kembali sumoi!" kata Sin Liong. "Kalau sumoi tidak menghendaki kau ikut, kau harus kutinggalkan karena kau telah sembuh."
Demikianlah, Sin Liong kini melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka. Dari puncak sebuah gunung es, dia dapat melihat dari jauh dan kini dia tahu di mana letaknya Pulau Neraka. Beruang yang kini menggantikan tempat Swat Hong, menjadi temannya berlayar itu kelihatan girang sekali ketika perahu meluncur dan binatang ini telah jinak benar-benar. Setelah kini dia mengenal kembali keadaan dan tahu di mana letaknya Pulau Neraka, perjalanan dapat dilakukan dengan cepat. Setelah dekat de-ngan Pulau Neraka, dia menyaksikan suatu yang membuatnya terheran dan merasa tegang. Sebuah perahu besar kelihatan mendarat di Pulau Neraka. Jelas bukan perahu Pulau Neraka yang kecil-kecil. Perahu itu besar sekali, perahu layar yang hanya dipergunakan untuk pelayaran jauh. Dan perahu itu pun dalam keadaan payah, jelas kelihatan bekas diamuk badai. Tiang layarnya patah, layarnya cabik-cabik dan perahu itu tidak ada orangnya sama sekali, berdiri miring di pantai Pulau Neraka. Apakah yang telah terjadi di Pulau Neraka? Ternyata bahwa seperti juga pulau lain. Pulau Neraka tidak luput dari amukan badai. Hanya karena letaknya agak jauh dari pusat amukan badai, maka penderitaannya tidak sehebat pulau lain, terutama Pulau Es. Air juga naik tinggi dan menenggelamkan setengah bagian pulau ini, banyak pula penghu-ninya yang tidak keburu lari ke tempat tinggi, diseret dan ditelan badai. Perahu-perahu lenyap, pohon-pohon yang berada di tepi pantai bobol semua. Dan setelah badai mereda, sebuah perahu besar terdampar di tepi pantai.Perahu itu adalah perahu bajak laut!
Setelah air menyurut, para bajak laut yang terdiri-dari dua puluh lima orang itu segera mendarat. Mereka itu kelelahan dan kelaparan, bahkan ada lima orang di antara mereka tewas ketika badai mengamuk sehingga jumlah mereka hanya tinggal dua pu-luh lima orang itulah. Mereka mendarat di kepalai oleh raja bajak yang memimpin mereka, raja yang amat terkenal di sepanjang pantai muara-muara sungai Huangho dan Yangce. Kepala bajak ini adalah seorang laki-laki tinggi besar yang buta sebelah matanya. Mata kiri yang buta karena tusukan pedang lawan dalam pertandingan, kini ditutupi oleh sebuah kain hitam sehingga ia kelihatan lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar dan di antara para nelayan dan pedagang yang suka berperahu, dia dikenal sebagai Tok-gan-hai-liong (Naga Laut Mata Satu) dan namanya adalah Koan Sek. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu mereka yang diamuk oleh badai dahsyat itu telah mendarat di Pulau Neraka! Andaikata mereka tahu juga, mere-ka tentu tidak merasa takut karena pada waktu itu, nama Pulau Neraka hanya dikenal oleh Orang-orang Pulau Es. Untuk dunia ramai, yang dikenal hanyalah Pulau Es, yang dikenal sebagai tempat yang hanya terdapat dalam sebuah dongeng. Betapapun juga, Pulau Es merupakan nama yang ditakuti oleh semua orang termasuk para bajak. Akat tetapi karena pulau dimana perahu mereka mendarat bukanlah Pulau Es, melainkan pulau yang hitam penuh tetumbuhan, mereka menjadi berani dan setelah badai mereda dan air menyurut, mereka lalu menyerbu ke tengah pulau. Untung bagi mereka bahwa badai yang amat dahsyat itu membuat air laut naik dan mengamuk di daratan pulau sehingga binatang-binatang berbisa pun menjadi panik dan ketakutan, lari bersembuyi dan belum berani keluar.
Andaikata mereka itu berani menyerbu pulau dalam keadaan biasa tentu mere-ka akan menjadi korban binatang-binatang itu dan sukarlah dibayangkan apa akan jadinya. Mungkin sekali tidak ada diantara mereka yang akan dapat lolos betapapun liar, ganas dan lihai mereka itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan girangnya hati para bajak itu ketika mendapat kenyataan bahwa di tengah pulau itu terdapat pondok-pondok yang dibuat oleh manusia! Akan tetapi keheranan mereka segera berubah menjadi kekagetan hebat ketika para penghuni pulau itu menyambut mereka dengan serangan dahsyat tanpa peringatan apa-apa. Karena mereka adalah bajak-bajak yang sudah biasa berkelahi dan mengadu nyawa, maka serbuan para penghuni Pulau Nera-ka itu mereka sambut dengan gembira. mereka mengira bahwa penghuni pulau itu adalah orang-orang biasa saja. Maka besar sekali kekagetan mereka ketika mendapat kenyataan betapa kurang lebih dua puluh orang, yaitu sisa penghuni Pulau Neraka yang tidak dibasmi oleh badai, yang berani menyambut mereka dengan serangan itu rata-rata memiliki kepandaian hebat! Terjadilah perang tanding yang seru dan mati matian. Bajak laut pimpinan Tok-gan-hai-liong itu pun bukan orang-orang biasa melainkan penjahat penjahat pilihan yang selain kuat dan ganas, juga rata-rata pandai ilmu silat. Apalagi Tok-gan-hai-liong sendiri bersama seorang pembantu yang sebe-tulnya adalah sutenya (adik seperguruan) sendiri yang bernama Coa Liok Gu, seorang ahli pedang yang lihai sekali. Sedangkan Tok-gan-hai-liong Koan Sek sendiri adalah seorang ahli bermain senjata ruyung yang ujungnya merupakan sebuah bola baja yang berat dan keras. Para penghuni Pulau Neraka masih terguncang oleh amukan badai, bahkan ketua mereka, Ouw Kong Ek, sedang menderita sakit hebat. Semenjak penyerbuan pasukan Pulau Es yang dipimpin oleh Han Ti Ong, Ouw Kong Ek jatuh sakit. Mungkin karena dia merasa terlalu marah, dan mungkin juga karena usianya yang sudah tua. Pernyerbuan dari Pulau Es itu merupakan hal yang amat menyakitkan hatinya, dan juga hati para penghuni Pulau Neraka, mendatangkan rasa dendam yang lebih mendalam. Apalagi melihat betapa catatan pengobatan dari Kwa Sin Liong telah dihancurkan oleh Han Ti Ong, hati Ouw Kong Ek merasa sakit sekali. Untung masih ada beberapa macam obat yang hafal olehnya, akan tetapi sebagian besar telah dibas-mi oleh Raja Pulau Es yang marah itu. Pada saat bajak laut menyerbu, Ouw Kong Ek tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Dia dijaga dan dirawat oleh cucunya, Ouw Soan Cu. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek ini ketika ada anak buah nya yang datang melapor bahwa pulau yang baru saja diamuk badai itu kini disebu oleh sepasukan bajak laut yang ganas dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi!
"Keparat...!" Kakek itu meloncat bangun akan tetapi terguling kembali dan Soan Cu segera memegang lengan kakeknya, membantunya untuk rebah kembali. "Tenanglah, Kong-kong! Biarlah aku yang keluar untuk membantu teman-teman membasmi bajak laut yang tidak tahu diri itu." Ouw Kong Ek terpaksa hanya meng-angguk karena dia sendiri masih tidak kuat untuk bangun, apalagi bertempur. "Hati-hatilah, Soan Cu..." Dia percaya akan kepandaian cucunya yang tentu akan dapat me-ngusir bajak-bajak laut yang biasanya hanya terdiri orang-orang kasar itu. Dengan pedang di tangan Soan Cu lalu berlari keluar. Melihat anak buahnya sudah bertanding mati-matian melawan bajak-bajak yang ganas, apalagi melihat seorang wanita Pulau Neraka digeluti oleh dua orang laki-laki kasar sampai wanita itu menjerit-jerit namun dua orang laki-laki itu malah tertawa-tawa dan merobek-robek pakaian wanita itu, Soan Cu menjadi marah sekali. Dia mengeluarkan teriakan marah, tubuhnya yang ramping mencelat ke depan, pedangnya menyambar dan dua orang bajak yang sedang memperkosa wanita itu roboh dengan leher terkuak lebar dan hampir putus! Wanita itu cepat membereskan pakaiannya, menyambar goloknya dan seperti seekor harimau kelaparan dia membacoki tubuh dua orang bajak tadi. Melihat sepak terjang Soan Cu yang kembali sudah merobohkan dua orang bajak, Tok-gan-hailiong Koan Sek dan Coa Liok Gu, dibantu oleh beberapa orang bajak lain cepat mengepung dan menge-royoknya. Namun Soan Cu mengamuk hebat dan pedangnya berubah segulung sinar terang yang menyambar Dahsyat, membuat dua orang pimpinan bajak itu terkejut dan harus memainkan senjata dengan hati-hati sekali agar jangan sampai mereka menjadi korban kedahsyatan sinar pedang yang dimainkan oleh dara itu. "Lepas tulang ikan!!" Tiba-tiba kepala bajak itu memberi aba-aba kepada sutenya dan mereka berdua telah meloncat mundur, membiarkan anak buah mereka yang empat orang banyaknya melanjutkan pengeroyokan, sedangkan mereka berdua lalu mengayun tangan berkali-kali ke arah Soan Cu. Sinar lembut bertubi-tubi menyambar ke arah Soan Cu dari depan dan belakang. Dara ini memandang rendah senjata rahasia mereka. Dia adalah Seorang dara Pulau Neraka sudah terlalu banyak racun dikenalnya bahkan dia telah menggunakan obat anti racun maka dia tidak terlalu khawatir ketika sebuah di antara senjata rahasia lawan yang lembut itu mengenai pahanya.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kakinya itu setengah lumpuh dan begitu dia menggerakan pedang, tubuhnya terhuyung, kepalanya pening. "Aihhh...!" Dia berseru nyaring, lebih merasa heran daripada khawatir. Dara ini tidak tahu bahwa lawannya menggunakan am-gi (senjata gelap) berupa tulang berbentuk duri dari sirip semacam ikan laut yang berbisa. Bisa dari ikan laut ini tentu saja tidak dapat disamakan dengan bisa dari binatang darat, maka bisa yang asing ini tidak dapat ditolak oleh obat anti racun yang dipakainya. "Sute, tangkap nona manis ini...!" Teriak Koan Sek dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gerengan yang dahsyat dan yang membuat mereka kaget bukan main. Dua orang bajak yang mende-ngar suara itu dekat sekali dibelakang mereka menengok dan... mereka itu terjengkang dan merangkak untuk melarikan diri dengan ketakutan. Kiranya yang menggerang itu adalah seekor binatang raksasa hitam yang menakutkan. Seekor beruang yang lebar moncongnya cukup untuk mencaplok kepala mereka sekaligus!
Sin Liong yang datang bersama biruang itu cepat meloncat mendekati Soan Cu merampas pedang dari tangan dara itu dan memondongnya dengan tangan kiri, kemudian sekali meloncat dia telah berada di punggung biruang, lengan kiri memeluk dan menjaga tubuh Soan Cu yang dipangkunya karena dara itu telah menjadi pingsan sedangkan tangan kanan menggerakan pedang dara itu sambil beseru "Kakak biruang, lawan mereka yang berani mendekat!" Biruang itu menggereng-gereng dan ketika melihat dari kiri ada sinar menyambar, yaitu sinar pedang yang digerakan oleh Coa Liok Gu sute dari kepala bajak, tiba-tiba kaki depan kiri yang kini dipergunakan seperti tangan itu bergerak menangkis, bukan menangkis pedang melainkan men-cengkram kepala Coa Liok Gu. Tentu saja orang ini kaget dan sekali merendahkan tubuh, membalikan pedang dan siap untuk menyerang lagi. Begitu lengan biruang itu menyambar lawan, dia meloncat ke atas dan menusukan pedangnya mengarah bagian antara kedua mata biruang itu. "Cringgg...!!" Pedangnya terpental dan dia harus cepat melempar tubuh ke belakang kalau tidak ingin dadanya robek oleh cakar biruang sete-lah pedangnya ditangkis oleh Sin Liong tadi. "Siuuuut...!!" Senjata ruyung berujung baja di tangan Koan Sek sudah bergerak menyambar dengan ganas, menghantam punggung biruang hitam dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga dahsyat.
"Cringgg...! Tranggg...!!" Dua kali senjata berat itu ditangkis oleh Sin Liong dan dua kali pula kepala bajak itu berseru kaget karena telapak tangannya hampir terkupas kulitnya dan terasa panas dan perih. Pada saat dia terbelalak dan terheran, biruang itu sudah membalikan tubuh dan sekali kaki depannya yang kanan menampar, kepala bajak itu mencoba menangkis, namun senjatanya terlepas dari pegangannya dan biruang itu sudah menubruknya dan mencengkram ke arah lehernya. "Kakak biruang, jangan ...!" Sin Liong membentak. Biruang itu terkejut dan ragu-ragu se-hingga kesempatan itu dapat dipergunakan oleh Koan Sek untuk meloncat jauh kebelakang. Dia dan pembantu utamanya, Coa Liok Gu berdiri dengan muka pucat memandang pemuda yang menunggang biruang itu membawa pergi tubuh dara jelita yang pingsan. Biarpun pedang masih berada di tangannya, Coa Liok Gu tidak lagi berani menyerang karena dia maklum bahwa selain biruang raksasa itu amat kuat, juga pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa sekali. Sin Liong merasa bingung dan gelisah menyaksikan pertempuran hebat itu. "Hentikan pertempuran...!" Dia berseru berkali-kali namun percuma saja, para bajak laut dan penghuni Pulau Neraka adalah orang-orang kasar yang pada saat itu sedang marah, maka sukar untuk dibujuk. Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan panjang dan suara itu segera disusul suara berdengungdengung dan berdesis-desis. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Sin Liong ketika dia melihat datangnya binatang-binatang kecil yang berbisa. Ular, kelabang, kalajengking dan sebangsanya berdatangan dari semua penjuru, merayap cepat seolah-olah digerakan oleh suara melengking iru, dan yang lebih mengerikan lagi, lebah-lebah putih datang pula beterbangan! Saking kagetnya Sin Liong melompat turun dari punggung biruang dan kini biruang itu pun terkejut dan ketakutan, seolah-olah binatang raksasa ini sudah mengerti bahwa bahaya maut datang mengancamnya. "Uhhh... apa yang terjadi...?" Soan Cu mengeluh dan siuman dari pingsannya. Melihat dara itu sudah siuman. Sin Liong agak lega. "Bagaimana lukamu?"
"Nyeri sekali, panas... eh, siapa yang memimpin binatang-binatang berbisa itu?" Soan Cu turun dari pondongan Sin Liong. "Cepat pergunakan obat penolak ini..." Dia mengeluarkan sebungkus obat penolak dari ikat pinggangnya. Setelah menaburkan obat bubuk di sekeliling mereka bertiga, yaitu Soan Cu, Sin Liong dan biruang betina, Soan Cu berkata lagi, "Sin Liong tolong... kau tangkap Si Mata Satu itu...aku membutuhkan obat penawar racun am-gi-nya (senjata gelapnya)...." Melihat betapa wajah dara itu pucat sekali tanda menderita kenyerian hebat, Sin Liong mak-lum bahwa tentu dara itu terkena senjata rahasia yang mengandung racun luar biasa sekali. Maka tanpa menjawab tubuhnya mencelat kearah Koan Sek yang masih be-ngong memandang ke depan, matanya terbelalak ketika melihat betapa anak buahnya mulai menjadi korban pengeroyokan binatang-binatang berbisa. Maka ketika tubuh Sin Liong menyambar, dia terkejut sekali, mengira bahwa pemuda itu akan menye-rangnya. Dia tadi sudah mengambil kembali senjatanya, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mengayun senjatanya menghantam ke arah Sin Liong. Pemuda ini tadi melepaskan pedangnya, melihat betapa dia disambut serangan dahsyat, cepat dia miringkan tubuhnya, membiarkan senjata berat itu lewat dan secepat kilat kedua tangannya menyambar dan sebelumnya Koan Sek tahu apa yang terjadi, senjatanya telah terampas dan dibuang oleh pemuda itu sedangkan tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul seperti seorang anak kecil saja. Percuma dia meronta, karena pemuda itu sudah meloncat seperti terbang, kembali ke dalam lingkaran obat penolak yang ditaburkan Soan Cu.
Koan Sek menggigil. Selain dia maklum betapa lihainya pemuda ini, juga dia merasa ngeri sekali menyaksikan apa yang terjadi di luar lingkaran obat bubuk itu. Terdengar jerit dan pekik mengerikan. Orang-orang Pulau Neraka telah mundur dan menonton sambil sambil tertawa-tawa. Akan tetapi anak buah bajak laut itu mengha-dapi penyerangan binatang-binatang berbisa dan sama sekali mereka tak berdaya. Apalagi penyerangan lebah-lebah putih membuat mereka panik. Mengerikan sekali melihat mereka berkelojotan merintih-rintih dan menangis mengerung-ngerung ka-rena tidak tahan menderita rasa nyeri yangmenyengati sekujur tubuh. "Cepat bertin-dak, halau mereka, Soan Cu!" Sin Liong berkata dengan alis berkerut. Biarpun yang dikeroyok binatang-binatang itu adalah kaum bajak, namun dia tidak dapat menyak-sikan peristiwa mengerikan itu. Soan Cu menggeleng kepala.
"Tak mungkin. Mereka digerakan oleh suara melengking itu..."
"Suara apa itu? Siapa yang membunyikan?" Soan Cu tersenyum dan meng-gigit bibirnya menahan rasa nyeri. Pahanya seperti dibakar dan rasa nyeri menusuk-nusuk jantung. "Siapa lagi? Satu-satunya orang yang dapat melakukannya hanyalah Kong-kong... augghh ..." Dara itu roboh pingsan lagi dalam rangkulan Sin Liong. "Aduh celaka..., binatang-binatang itu...." Tok-gan-hai-liong Koan Sek menggigil dan dia hendak lari dari tempat itu ketika melihat bagaimana pembantunya, Coa Liok Gu, sudah sibuk memutar pedang untuk berusaha mengusir lebah-lebah putih yang mengeroyoknya. "Kalau kau keluar dari sini, engkau pun akan mengalami nasib yang sama," Kata Sin Liong, menunjuk ke arah lingkaran putih dari obat penolak.
"Binatang-binatang itu tidak berani memasuki lingkaran ini." Koan Sek memandang dan matanya terbelalak ngeri melihat betapa ular-ular beracun yang bermacam macam warnanya itu benar saja membalik lagi ketika mendekati garis lingkaran. Bahkan lebah-lebah putih yang terbang dekat, agaknya mencium bau penolak itu dan mereka itu pun terbang membalik, mengamuk dan menyerang para bajak yang berada di luar lingkaran. Saking ngerinya melihat betapa Coa Liok Gu menjerit dan roboh karena kakinya tergigit seekor ular, kemudian betapa pemban-tunya yang juga merupakan sutenya melolong-lolong dan bergulingan, dikeroyok banyak sekali binatang yang mengerikan, kepala bajak ini tak dapat lagi menahan dirinya dan dia menjatuhkan diri berlutut! Sin Liong sendiri merasa ngeri menyaksi-kan peristiwa yang terjadi disekelilingnya. Kalau saja dia dapat melihat Ouw Kong Ek, tentu dia akan meloncat dan memaksa kakek itu menghentikan pekerjaanya yang kejam, membunuh para bajak seperti itu. Akat tetapi celakanya, suara itu melengking tinggi dan sukar diketahui dari mana datangnya, bahkan kakek itu pun tidak tampak. pula, mana mungkin dia berani meninggalkan Soan Cu yang pingsan itu bersama kepala bajak? Maka pemuda ini merasa seperti disayatsayat jantungnya menyaksikan pembunuhan yang amat kejam itu, melihat betapa dua puluh empat orang bajak mene-mui kematian secara mengerikan, berkelojotan dan melolong-lolong, akhirnya suara jeritan mereka makin lemah dan berubah seperti suara binatang disembelih, kemudian tubuhnya tidak berkelojotan lagi dan binatang-binatang kecil berbisa yang kelaparan itu masih menggerogoti kulit dan daging mereka! Kemudian tampaklah Ouw Kong Ek, Tocu Pulau Neraka.
Kakek ini datang ke tempat itu sambil merangkak dengan susah payah, tubuhnya kelihatan lemah dan kurus, mukanya pucat dan sambil merangkak itu dia meniup sebatang alat tiup terbuat daripada batang alang-alang, menyerupai suling kecil. Pantas saja suaranya melengking tinggi dan aneh. Beberapa orang anggauta Pulau Neraka segera maju dan mengangkat ketua mereka, memapahnya datang dan kini binatang-binatang itu berangsur-angsur merayap pergi setelah Ouw KongEk merobah merobah suara tiupan sulingnya. Akhirya yang tinggal hanya mayatmayat dua puluh empat orang bajak dalam keadaan mengerikan, dan mayat tujuh orang penghuni Pulau Neraka yang tewas dalam pertempuran. "Ahhh, engkau pula yang menolong cucuku, Taihiap?" Ouw Kong Ek dituntun anak buahnya datang mendekat. Sin Liong mengerutkan alisnya. "To-cu, engkau sungguh kejam, membunuh mereka seperti itu." Kakek itu terbelalak. "Aku? kejam? Dan mereka ini...?" Dia menuding ke arah mayat-mayat para bajak laut. "Dan...hei, siapa dia ini? Ah, bukankah dia ini pe-mimpin mereka?" Ouw Kong Ek sudah melangkah maju menghampiri Koan Sek yang berdiri dengan muka pucat. "Tahan dulu, Tocu! Memang dia pemimpin bajak, akan tetapi nyawa cucumu berada didalam tangannya!"
"Soan Cu...!" Ouw Kong Ek memandang tubuh dara yang dipondong oleh Sin Liong dan berada dalam keadaan pingsan itu. "Mengapa dia?"
"Terkena senjata beracun." Kemudian dia memandang Koan Sek dan membentak, "hayo kauberikan obat penawar senjata gelapmu!" Tok-gan-hai-liong Koan Sek adalah seorang yang sudah berpengalaman, seorang yang menjelajah di dunia kang-ouw, maka dia tentu saja cerdik sekali. Tadi ketika menyaksikan betapa semua anak buahnya, juga sutenya, tewas secara mengerikan, dia ketakutan setengah mati dan kehilangan akalnya. Akan tetapi sekarang setelah dia melihat kesempatan untuk menolong diri, timbul kembali keberaniannya dan dia tersenyum.
"Agaknya kita telah salah masuk. Tidak tahu pulau apakah ini dan siapa kalian ini?" tanyanya kepada Sin Liong karena dia merasa jerih sekali menghadapi pemuda yang dia tahu amat lihai dan sama sekali bukan tandingannya itu. "Kau belum tahu? Ini adalah Pulau Neraka dan dia itu adalah ketuanya." Dia menuding kepada Ouw Kong Ek. "Sedangkan Nona ini adalah cucunya. Maka kau harus cepat memberikan obat penawarnya."
"Ha-ha, mudah saja! Mudah saja memberi obat penawarnya. Aihh, kiranya kami telah memasuki sebuah pulau iblis dengan penghuni-penghuninya seperti iblis pula! Benar-benar kami telah membuat kesalahan besar! Orang muda, mudah saja mengobati luka Nona ini, akan tetapi bagaimana dengan aku sendiri? Anak buahku telah tewas semua dan aku dalam cengkraman kalian!"
"Engkau... engkau akan kusiksa, kucincang sampai hancur!" Ouw Kong Ek membentak. "Ha-ha-ha, boleh! Lakukan sekarang, karena aku tidak takut mati setelah aku melihat bahwa aku mempunyai banyak teman terutama sekali cucumu. Kalau orang tidak lagi menyayangkan kematian seorang dara jelita muda remaja seperti dia ini, apalagi kematian seorang tua bangka seperti aku. Ha-ha-ha! biarlah aku mati ditemani oleh dara remaja ini!" Ouw Kong Ek sudah marah sekali, kedua tangannya dikepal sehingga suling batang alang-alang itu hancur di tangannya. Melihat kema-rahan ketua Pulau Neraka itu, Sin Liong Berkata, "Ouw-tocu apa yang dikatakan benar. Sudah kuperiksa luka cucumu dan ternyata dia terkena racun yang aneh sekali yang belum pernah aku melihatnya. Maka, biarlah kita menukar keselamatannya dengan keselamatan Soan Cu. Betapapun juga , nyawa Soan Cu jauh lebih berharga dari pada kehidupan seorang sesat seperti dia."
"Ha-ha-ha , itu baru omongan yangtepat!" Tok-gan-hai-liong Koan Sek yang merasa "mendapat angin" berkata dengan dada dibusungkan. Dia tidak takut lagi sekarang. Nyawa cucu ketua Pulau Es berada di tangannya. Apalagi yang ditakutinya? "Iblis keparat! Hayo kauberikan obat untuk cucuku dan kau boleh minggat dari sini!"Ouw Kong Ek membentak.
"Ha-ha-ha, aku Tok-gan-hai-liong Koan Sek bukan seorang tolol." Dia lalu menoleh kepada Sin Liong. "Orang muda apakah kedudukanmu di Pulau Neraka ini?" Dia memang tidak dapat menduga karena tadi dia mendengar ketua Pulau Neraka menyebut taihiap (pendekar besar) kepada pemuda ini. Dan kalau ada yang dipercaya di situ. Maka satu-satunya orang adalah pemuda ini. "Aku bukan penghuni Pulau Neraka aku adalah seorang dari Pulau Es...."
"heeeehhh...??" Mata Tok-ganhai- liong yang tinggal satu itu terbelalak dan mukanya pucat. Dia merasa seolah-olah dalam mimpi. Setelah bertemu dengan Pulau Neraka yang aneh dan mengerikan di mana semua anak buahnya tewas, dia bertemu pula dengan seorang pemuda sakti yang mengaku datang dari Pulau Es, sebuah sebu-tan yang tadinya dikiranya hanya terdapat dalam dongeng tahyul belaka. Mimpikah dia? Ataukah dia sudah mati ditelan badai dan sekarang ini adalah pengalaman dari rohnya?
"Pulau... Pulau... Es...?" Dia berkata lirih. Sin Liong mengangguk tak sabar. Dia tadi mengaku sebenarnya, siapa mengira malah membuat kepala bajak ini menja-di termangu-mangu seperti orang sinting. "Kalau begitu, aku hanya mau memberikan obat penawar jika engkau yang mengantarku sampai ke sebuah perahu di pantai Pulau Neraka ini."
"Jahanam, kau tidak percaya kepadaku?" Ouw Kong Ek membentak dan para pembantunya sudah mengangkat senjata mengancam. "Terserah, bunuhlah. Aku toh akan mati bersama dia ini." Sin Liong menyerahkan tubuh Soan Cu yang masih pingsan kepada kakeknya, kemudian berkata, "ouw-tocu, biarlah kita memenuhi permintaannya. Harap sediakan perahu untuknya." Terpaksa Ouw Kong Ek meng-gerakan kapalanya memberi isyarat kepada anak buahnya, kemudian memandang kepada kepala bajak itu dengan mata mendelik. Koan Sek lalu berjalan bersama Sin Liong dan dua anak buah Pulau Neraka menuju ke tepi laut. Setelah sebuah perahu dipersiapkan, kepala bajak itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam sakunya. Benda itu ternyata adalah seekor kuda laut sebesar ibu jari tangan yang sudah kering.
"Nona itu terkena racun yang terkandung dalam duri ikan yang tidak dapat diobati kecuali dengan ini. Bubuklah dan masak, lalu minumkan airnya. Tentu dia akan sembuh." Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah banyak pengetahuannya tentang pengobatan akan tetapi tentu saja belum pernah dia mengenal rahasia racun yang keluar dari dalam lautan. Dia menyerahkan bangkai kuda laut kering itu kepada dua orang penghuni Pulau Neraka sambil berkata,
"Berikan ini kepada Ouw-tocu, suruh menumbuk halus dan masak dengan air, kemudian minumkan kepada Nona. Bagaimana hasilnya supaya cepat melapor ke sini. Aku menunggu di sini."
Dua orang itu menerima kuda laut mati dan berlari memasuki pulau, sedangkan Sin Liong lalu duduk di tepi pantai dengan sikap tenang. "Kau tidak mau membiarkan aku pergi?" Koan Sek bertanya penuh khawatir. Jangan tergesa-gesa," jawab Sin Liong.
"Aku harus yakin dulu bahwa obatmu benar-benar manjur, baru aku akan membolehkan engkau pergi. Bukankah itu adil namanya?"
Koan Sek menghela napas dan menjatuhkan diri duduk di dalam perahu. Dia maklum bahwa kalau mela-wan, dia tidak akan menang. "Dia pasti akan sembuh. Dalam keadaan seperti ini, ma-na aku berani main-main?" Sin Liong diam saja. Kepala bajak itu menggunakan mata tunggalnya untuk memandangi pemuda itu penuh selidik, kemudian bertanya,
"Orang muda, benarkah engkau dari Pulau Es?" Sin Liong mengangguk. "Dan siapa namamu?"
"Kwa Sin Liong. Mengapa engkau bertanya-tanya?"
"Tadinya aku mengira bahwa Pulau Es hanyalah sebuah dongeng..."
"Hemm.., memang sekarang hanya tinggal dongeng..." Sin Liong berkata sambil merenung jauh membayangkan keadaan Pualu Es yang telah terbasmi oleh badai dan kini tinggal menjadi sebuah pulau kosong yang menyedihkan. "Nguuk... nguuukkk..." Sin Liong menoleh dan tersenyum "Eh, Enci biruang. Kau menyusulku?" Biruang itu menghampiri, dan memperlihatkan taringnya ketika dia melihat Koan Sek di atas perahu di depan pemuda itu. "Binatang yang hebat!" Koan Sek berkata dan bulu tengkuknya berdiri. Pemuda ini seperti bukan manusia biasa ! dan mempunyai binatang peliharaan seperti itu!
"Kau bilang tadi... tinggal dongeng apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa, lupakanlah," kata Sin Liong sambil mengelus biruang yang sudah bertiarap di depannya. "Orang muda she kwa... eh, Tai-hiap... kenapa kau mau membebaskan aku?" Sin Liong mengangkat mukanya memandang dan kepala bajak itu menjadi lebih heran lagi melihat betapa pandang mata pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kebencian atau permusuhan dengannya?
"Mengapa tidak? engkau pun membebaskan Soan Cu." Sin Liong menengok dan tampaklah dua orang tadi datang berlari-lari.
"Kwa-taihiap, Nona sudah sembuh!" Sin Liong mengangguk kepada Koan Sek. "Pergilah, cepat! Lebih cepat lebih baik dan harap kau jangan sekali-kali mendekati pulau ini."
Koan Sek menjawab, "Terima kasih. Satu kalipun sudah cukuplah!" Dia mengkirik. "Pulau Iblis seperti ini siapa yang ingin melihatnya lagi?" Dia lalu meng-gerakan dayungnya dan perahu meluncur cepat meninggalkan Pulau Neraka. Ketika Sin Liong bersama biruangnya tiba kembali ke tengah pulau benar saja bahwa Soan Cu telah sembuh sama sekali dari pengaruh racun. Hanya luka di pahanya yang ting-gal dan luka itu sudah diobati oleh Kong-kongnya. Para penghuni Pulau Neraka se-dang sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan mengerikan itu dan Sin Liong lalu diajak masuk ke pondoknya oleh Ouw Kong Ek dan Soan Cu. "Taihiap, lagi-lagi engkau yang datang menolong kami, "kata Ouw Kong Ek. "Kalau engkau tidak segera datang entah bagaimana dengan aku. Mungkin sudah mati, Sin Liong," kata Soan Cu dengan mata bersinarsinar penuh kagum dan terima kasih.
"Ahh, mengapa Tocu dan kau masih bersikap sungkan terhadap aku? Bukan-kah kita ini sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku datang dengan maksud yang sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Sumoi. Apakah dia tidak datang ke sini?" Soan Cu dan kakeknya memandang kaget dan juga heran, dan di dalam pandang mata Ouw Kong Ek terkandung rasa hati tidak senang. Sin Liong maklum akan ketidaksenangan hati kakek itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata,
"Harap saja Tocu tidak menyangka yang bukan-bukan terhadap Sumoi. Apa yang dilakukan oleh Suhu di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Su-moi."
"Jadi Taihiap sudah tahu apa yang diperbuat oleh Han Ti Ong di sini?" Sin Liong mengangguk. "Aku dapat menduganya. Tentu dia marah-marah karena pute-rinya pernah ditahan di sini."
"Bukan hanya marah-marah!" kata Soan Cu mengepal tinju. "Orang itu sombong sekali! Dia menghina kakek, biar pun tidak melakukan pembunuhan tapi dia memukul semua orang!"
"Kau juga dipukulnya?" Sin Liong bertanya.
"Tadinya, melihat aku seorang wanita dan masih muda, dia tidak mau memu-kulku, akan tetapi karena melihat kakek dipukul, aku menyerangnya dan aku roboh oleh tamparan. Dia memang sakti, akan tetapi ganas dan kejam, bahkan semua cata-tanmu dihancurkan! Sekali waktu kami akan menuntut balas, kami akan menyerang Pulau Es!"
Sin Liong menarik napas panjang. "Lupakan saja niat itu, selain tidak baik juga tidak ada gunanya. Kerajaan Pulau Es tidak ada lagi sekarang, telah musnah." "Hei...? Apa maksudmu, Taihiap...?" kakek itu bertanya, terbelalak. "Apa yang telah terjadi?" Soan Cu juga bertanya.
"Dilanda badai... habis seluruhnya, semua penghuninya termasuk suhu dan seluruh benda di sana habis terbasmi kecuali bangunan istana yang telah kosong sama sekali..." Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat malapetaka yang penimpa Pulau Es, dan betapa secara aneh dan kebetulan saja dia dan Sumoinya terluput dari bencana.
Kakek dan cucu itu mendengarkan dengan melongo kemudian kakek itu bertepuk tangan dan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha-ha! Dendam ratusan tahun le-nyap dalam sekejap mata! kami orang-orang buangan yang dianggap berdosa, diang-gap dikutuk tuhan, malah masih dapat hidup melanjutkan riwayat, sedangkan peng-huni Pulau Es yang suci dan agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja musnah! Ha-ha-ha, siapa yang lebih dilindungi tuhan? Han Ti Ong, tanpa kami bergerak, engkau dan kerajaanmu lenyap sudah!" Kakek itu tertawa-tawa sampai air matanya keluar sehingga sukar dikatakan apakah dia itu tertawa, ataukah menangis.
Mengapa Taihiap sekarang mencari Nona Swat Hong ke sini? Apa yang terjadi dengan dia?" Sin Liong lalu menceritakan niat perjalanannya bersama Swat Hong, yaitu untuk mencari ibu Swat Hong yang sampai kini tidak diketahui berada di mana. Dan betapa di jalan mereka menjadi bungung dan tersesat karena badai telah menciptakan pemandangan yang berbeda di permukaan laut sehingga sehingga me-reka mendarat di gunung es dan betapa dia menemukan biruang hitam. "Sumoi berangkat melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka karena disangkanya ibunya berada di sini, sedangkan aku mengobati biruang." Sin Liong menutup ceritanya, tentu saja dia segera menceritakan kemarahan Swat Hong kepadanya. "Apakah dalam beberapa hari ini dia tidak dantang ke sini?" Soan Cu menjawab, "Untung saja dia tidak datang, Sin... eh, Taihiap."
"Soan Cu mengapa engkau meniru kakekmu, bersungkan kepadaku dan menyebut Taihiap segala?"
"Biarlah, Taihiap," Kata Ouw Kong Ek. "Tidak pantas kalau dia menyebut namamu begitu saja. Dan engkau memang menolong kami dan pantas disebut Taihiap karena kepandaianmu tinggi sekali."
"Kaukatakan tadi untung Sumoi tidak datang ke sini, mengapa?"
"Andaikata dia datang, tentu akan terjadi apa-apa yang tidak baik antara dia dan Kong-kong. Ketahuilah, semenjak Raja Pulau Es datang mengacau di sini, Kong-kong jatuh sakit, dan kebencian kami semua terhadap Pulau Es makin mendalam. Maka kalau Sumoimu, Swat Hong datang, tentu akan terjadi hal yang tidak baik." Sin Liong mengangguk-angguk, merasa lega bahwa sumoinya tidak mendahului datang ke Pulau Neraka, akan tetapi juga menimbulkan kegelisahannya karena dia jadi tidak tahu ke mana sumoinya yang pemarah itu kini berada!
“Bajak-bajak laut itu, dari mana datangnya dan mengapa mengacau ke sini?" tanyanya.
"Entah. Tahu-tahu mereka muncul dan perahu besar mereka terdampar di tepi pulau."
"Agaknya mereka juga diamuk badai."
"Mungkin." Soan Cu melanjutkan. "Kami diserang selagi kong-kong sakit. Kong-kong tidak dapat turun dari pembaringan, maka aku yang menggantikannya, aku keluar menyambut mereka, akan tetapi karena kurang hati-hati, karena meman-dang rendah am-gi mereka, aku hampir celaka kalau tidak ada engkau yang datang di waktu yang tepat, Taihiap."
"Akan tetapi akhirnya, biarpun sakit, Kong-kongmu dapat membunuh semua bajak laut itu." Sin Liong bergidik ngeri mengenangkan kematian para bajak itu. "Ugh-ugh....!" Kakek itu terbatuk-batuk. "Bajak-bajak macam itu saja kalau aku tidak sakit, kalau Soan Cu tidakmemandang rendah dan kalau para penghuni tidak baru saja diamuk badai, tidak ada artinya bagi kami. Kalau binatang-binatang Pulau Neraka bersembunyi ketakutan diamuk badai, mana mereka mampu masuk? Sudahlah, sekarang saya hendak menyampaikan permohonan yang amat penting bagi Taihiap." "Ah, Tocu, Di antara kita yang sudah menjadi sahabat, perlu apa banyak sungkan lagi? Kalau ada sesuatu, katakanlah saja, mana perlu menggunakan permohonan lagi?" jawab Sin Liong. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu turun dari bangkunya dan menja-tuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! Tentu saja pemuda ini menjadi sibuk sekali, cepat membangunkan kakek itu dan berkata,
"Tocu, harap jangan begini. Aku yang muda mana berani menerimanya? Ada keperluan apakah? katakan saja, aku tentu akan membantumu sedapat mungkin." Sin Liong berkata dengan hati tidak enak, me-ngira akan menghadapi hal yang sulit. Setelah duduk kembali dan mengatur napasnya yang terengah-engah karena kesehatannya belum pulih kembali dan tubuhnya terasa amat lelah, kakek itu berkata,
"Kwa-taihiap, aku sudah tua dan tidak mempunyai keturunan lain kecuali Soan Cu. Taihiap sudah melihat sendiri keadaan di Pulau Neraka yang merupakan tempat tidak baik untuk seorang dara seperti Soan Cu. Oleh karena itu, setelah kini kerajaan Pulau Es tidak ada, berarti bahwa Pulau Neraka telah bebas dan kami bukan-lah orang-orang buangan lagi. Soan Cu juga bukan keturunan orang buangan lagi dan sewaktu-waktu kami boleh meninggalkan pulau ini. Karena itu, aku mohon dengan sepenuh hatiku, sudilah Taihiap membawa Soan Cu bersama Taihiap untuk mengenal dunia ramai, dan syukur kalau Taihiap dapat mengatur agar cucuku ini tidak usah lagi kembali dan tinggal di Pulau Neraka ini. Kuharap permohonan ini tidak akan ditolak oleh Taihiap."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Permintaan yang sama sekali tidak pernah disangkanya! "Akan tetapi, Ouw-tocu, hendaknya diingat bahwa aku sendiri adalah seorang sebatangkara yang tidak mempunyai apa-apa, tidak mempunyai tempat tinggal dan masih belum kuketahui apa akan jadinya dengan diriku ini."
"Kalau Taihiap merantau, bawalah dia merantau, ke mana saja aku sudah pasrah sepenuhnya. Baik dia akan Taihiap anggap sebagai sahabat, sebagai saudara, atau kalau mungkin.... dari lubuk hatiku kuharap sebagai calon jodoh, aku sudah merasa lega dan senang, asal dia tidak tersiksa tinggal di neraka ini."
Sin Liong merasa sukar untuk menolak, akan tetapi juga berat untuk menerima, maka dia menoleh kepada Soan Cu dan berkata, "Soal ini sebaiknya kita serahkan kepada Soan Cu sendiri. Kalau memang dia suka merantau meninggalkan pulau ini, tentu saja aku tidak keberatan mengadakan perjalanan bersama. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku menerima usul perjodohan Tocu, dan sewaktu-waktu dia boleh pergi ke mana saja, jadi aku tidak terikat oleh perjanjian apapun juga."
"Taihiap, jangan khawatir. Memang aku sejak dulu tidak kerasan tinggal di sini, hanya karena kedudukanku sebagai seorang keluarga buangan saja yang mence-gah aku meninggalkan Pulau Neraka. Sekarang aku telah bebas, dan betapapun juga, aku akan pergi dari sini. Hanya kalau bersama Taihiap, tentu hati Kong-kong akan merasa lebih aman, dan juga untukku sendiri yang tidak ada pengalaman, melakukan perjalanan bersamamu merupakan hal yang menyenangkan sekali. Aku hendak pergi mencari ayahku, Taihiap."
"Dan aku hendak mencari Swat Hong dan ibunya."
"Kalau begitu, mari kita mencari berdua, siapa tahu dalam mencari Sumoimu itu , aku dapat bertemu dengan ayahku."
Setelah mendapat banyak pesan dan melihat Kong-kongnya, membawa pula bekal berupa pakaian dan sekantung emas simpanan Kong-kongnya, berangkatlah Soan Cu bersama Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka dengan sebuah perahu. Selama hidupnya yang lima belas tahun itu, belum pernah Soan Cu meninggalkan pulau, maka setelah perahu meluncur jauh dan dia hampir tidak dapat melihat lagi Kongkongnya bersama semua sisa penghuni Pulau Neraka yang mengantarkanya sampai ke pantai, Soan Cu tak dapat menahan bercucurannya air matanya.
"Soan Cu, mengapa kau menangis? Kalau kau tidak tega meninggalkan kakekmu, masih belum terlambat untuk kembali," kata Sin Liong yang sebetulnya merasa tidak enak sekali memikul kewajiban ini. Biarpun dia tidak terikat sesuatu, namun sedikit banyak dia dibebani keselamatan dara ini, dan kalau dara ini wataknya seaneh Swat Hong, dia tentu akan menjadi lebih pusing lagi!
"Ah, tidak, Taihiap. Aku hanya merasa perih hatiku meninggalkan tempat yang sejak kulahir menjadi tempat tinggalku itu. Orang sedunia boleh menyebutnya Pulau Neraka, akan tetapi setelah aku berangkat meninggakan pulau itu, terasa olehku bahwa disitu adalah sorga."
Sin Loing tersenyum dan mendayung perahunya lebih cepat lagi. Pernyataan yang keluar dari mulut dara ini merupakan pelajaran yang amat penting baginya, membuka matanya melihat kenyataan bahwa sorga maupun neraka itu berada dalam hati manusia itu sendiri! Betapapun indahnya suatu tempat kalau tidak berkenan di hatinya, akan merupakan neraka, sebaliknya betapapun buruknya suatu tempat kalau berkenan di hatinya akan menjadi sorga!
Jadi, baik buruk, senang, susah, puas kecewa, semua ini bukan ditentukan oleh keadaan di luar, melainkan ditentukan oleh keadaan hati dan pikiran sendiri. keadaan di luar merupakaan kenyataan yang wajar, dan hanya pikiranlah yang menentukan dengan menilai, membandingkan, maka lahirlah puas, kecewa, senang, susah, baik, buruk, dan lain-lain hal yang saling bertentangan itu. Bahagialah orang yang dapat menghadapi segala sesuatu dengan mata terbuka, memandang segala sesuatu seperti APA ADANYA, tanpa penilaian. tanpa perbandingan. Orang bahagia tidak mengenal susah senang, karena bahagia bukan susah bukan pula senang, bukan puas bukan pula kecewa, melainkan suatu keadaan di atas itu semua, sama sekali tidak terganggu oleh pertentanganpertentangan itu.
Perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Soan Cu meluncur terus, ujung depan nya yang meruncing membelah air yang tenang seperti sebuah pisau membelah agar-agar biru. Soan Cu sudah melupakan kesedihan hatinya dan kini dara itu memandang ke depan dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh harapan akan masa depan yang berlainan sama sekali dengan keadaan di Pulau Neraka. Banyak sudah dia mendengar dongeng kakeknya yang juga hanya mendengar dari nenek moyangnya tentang keadaan di dunia rame, dan sekarang dia sedang menuju kepada kenyataan yang akan dilihatnya dengan mata sendiri!
*****
Pusat perkumpulan Pat-jiu-kaipang (Perkumpulan pengemis Tangan Delapan) berada di lereng Pegunungan Hen-san. Dari luar, tempat itu memang pantas disebut pusat perkumpulan pengemis karena hanya merupakan tempat di dataran tinggi yang dikelilingi pagar bambu yang tingginya hampir dua kali tinggi orang, pagar yang butut dan bambu-bambu itu mengingatkan orang akan tongkat bambu yang biasa di-bawa oleh para pengemis. Akan tetapi kalau orang sempat menjenguk di dalamnya, dia akan terheran-heran menyaksikan sebuah rumah gedung yang pantas juga disebut sebuah istana kecil berdiri megah dan mewah sekali! Inilah tempat tinggal Pat-jiu Kai-ong, Si Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kaipang di lereng Hengsan! Pat-jiu kai-ong sudah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan tangkas dan belum begitu tua, sungguhpun pakaianya selalu butut, sebutut tongkatnya, sama sekali tidak sesuai dengan keadaan gedungnya. Hanya kalau hari sudah menjadi gelap saja maka berubahlah raja pengemis ini, pakaiannya diganti dengan pakaian tidur yang layaknya dipakai seorang pangeran! Dan mulailah kehi-dupan yang berlawanan dengan keadaan hidupnya di waktu siang, berbeda jauh seperti bumi dan langit. Di waktu siang, dia lebih patut disebut seorang pengemis kelaperan yang berkeliaran di sekitar rumah gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan pakaian indah dan tubuh bersih, dia bersenang-senang makanminum dengan hidangan serba lezat dan mahal, dilayani oleh lima orang selirnya yang muda-muda, cantik dan genit. Pat-jiu Kai-ong tinggal tinggal didalam istananya yang mewah akan tetapi yang dikelilingi pagar bambu tinggi sehingga tidak tampak dari luar itu bersama lima orang selirnya, lima orang pelayan dan selosin orang anak buahnya yang meru-pakan pengawal-pengawalnya. Selosin orang ini tentu saja merupakan tokoh-tokoh dalam pat-jiu Kai-pang, karena mereka adalah pembantu yang boleh diandalkan, atau juga murid-murid tingkat satu dari raja pengemis itu. para pengawal itu melakukan penjagaan siang malam secara bergilir dan mereka tinggal di dalam rumah samping di kanan kiri istana ketua mereka.
Adapun Pat-jiu Kai-pang mempunyai anggota yang banyak dan yang tersebar luas di kota-kota. Dengan mengandalkan nama besar perkumpulan itu, terutama sekali nama besar Kai-ong, para anggauta itu dapat mengumpulkan sumbangan-sumbangan yang besar dan sebagian dari pada hasil sumbangan ini mereka setorkan kepada Pat-jiu kai-ong. Inilah membuat raja pengemis menjadi kaya raya dan dapat hidup mewah sekali. Selosin orang pembantunya, selain pengawal dan penjaga istananya, juga ber-tugas untuk turun tangan mewakili ketua mereka apabila ada cabang yang kurang dalam memberi setoran! Pat-jiu Kai-ong sendiri yang sudah hidup makmur jarang meninggalkan istananya di Heng-san. Hanya urusan besar saja yang dapat menariknya pergi meninggalkan tempat yang amat menyenangkan hatinya itu. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dia ikut pula memperebutkan Sin-tong Si Anak Ajaib karena dia pada waktuitu ingin cepat-cepat menyempurnakan ilmu yang sedang diciptakan dan dilatihnya, yaitu ilmu Hiat-ciang-hoatsut (Ilmu Sihir Tangan Darah). Jika pada waktu itu dia berhasil merebut Sintong, tentu dalam waktu satu tahun saja ilmunya akan sempurna. Akan tetapi karena seperti diceritakan di bagian depan, dia gagal dan Sin-tong dibawa pergi oleh pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka dia harus mengorbankan puluhan orang bocah untuk dimakan otaknya dan disedot darah dan sumsumnya. Kini dia telah mahir dengan ilmu hitam yang mengerikan itu, akan tetapi sayangnya, setiap tahun dia harus mengisi tenaga itu dengan pengorbanan seorang bocah!
Pada suatu hari , pagi-pagi sekali, selagi Pat-jiu Kai-ong seperti biasa mening-galkan kehidupan malamnya yang mewah, berpakaian sebagai seorang pengemis berjalan-jalan di dalam taman bunga di belakang istananya, membawa tongkat butut dan berlatih silat di waktu embun pagi masih tebal, tiba-tiba seorang pengawalnya datang menghadap dan melaporkan bahwa ada tiga orang tamu datang ingin bertemu dengan Si Raja Pengemis. "Hemm, siapakah pagi-pagi begini sudah datang meng-gangguku?" Pat-jiu Kai-ong berkata dengan alis berkerut. Akan tetapi karena merasa penasaran, dia tidak memerintahkan pengawalnya mengusir orang itu dan terutama sekali ketika mendengar pelaporan itu bahwa yang datang adalah seorang kakek bersama dua orang muda, seorang dara jelita dan seorang muda tampan. Hatinya tertarik sekali ketika mendengar bahwa kakek itu mengaku sebagai seorang "sahabat lama."
Ketika dia keluar membawa tongkat bututnya dan bertemu dengan tiga orang itu, Pat-jiu Kai-ong memandang tajam. Dia kagum melihat pemuda yang amat tampan dan pemudi yang amat cantik jelita itu. Wajah mereka yang mirip satu sama lain menunjukan bahwa mereka adalah kakak beradik, pemudanya berusia kurang lebih enam belas tahun, pemudinya lima belas atau empat belas tahun. Sampai lama pan-dang mata Pat-jiu Kai-ong melekat kepada dua orang muda itu, keduanya membuat hatinya terguncang penuh kagum dan andaikata dia tidak menahan perasaannya, tentu mulutnya akan mengeluarkan air liur! Barulah dia terkejut ketika mendengar kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Pat-jiu Kai-ong kurasa engkau belum begitu pikun untuk melupakan dua orang anakku ini. Mereka adalah Swi Liang dan Swi Nio, ha-ha-ha! Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak menge-nal kedua nama ini. Dia memandang dengan mata terheran kepada laki-laki yang berdiri di depannya, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian sederhana berwarna kuning, dengan kepala yang beruban itu terlindung kain pembungkus rambut yang berwarna kuning pula. Kakek itu tertawa lagi.
"Wah, Pat-jiu Kai-ong, benar-benar engkau telah lupa kepada kami? Lupa kepada sahabatmu di Lusan ini?"
"Ahhhh...!" Pat-jiu Kai-ong tertawa, mukanya berseri dan dia cepat membungkuk untuk memberi hormat. "Kiranya sahabat Bu yang datang? maaf, maaf, mataku sudah lamur saking tuanya sehingga tidak mengenal sahabat baik yang kurang lebih sepuluh tahun tak pernah kujumpi. Jadi ini kedua anakmu itu? Dahulu mereka baru berusia lima enam tahun, kecil dan lucu serta berani, bahkan kalau tidak salah, anak perempuanmu ini yang dahulu menantang pibu kepadaku. Ha-ha-ha!"
Dara berusia lima belas tahun yang cantik jelita itu menunduk dan kedua pipinya berubah merah. "Harap Pangcu sudi memaafkan saya."
"Aih-aih...! Ini tentu orang tua lusan ini yang mengajarnya. Menyebutku Pangcu segala!"
"Ha-ha-ha, Pangcu. Bukankah engkau memang Ketua dari Pat-jiu Kai-pang? Mengapa tidak mau disebut Pangcu oleh puteriku?" Kakek itu berkata.
"Wah, jangan berkelabar. Anak-anak yang baik, sebut saja aku paman. marilah masuk, kita bicara di dalam." Pat-jiu-kai-ong lalu bertepuk tangan dan para pengawalnya muncul. "lekas beritahukan para pelayan agar mempersiapkan hidangan makan pagi yang baik untuk tamuku yang terhormat, Lu-san Lojin (Orang Tua Dari Lusan) dan dua orang putera-puterinya!" Para pengawal itu mundur dan Pat-jiu-kai-ong menggandeng tangan kakeknya itu, sambil tertawatawa mereka memasuki istana dan duduk di ruangan dalam menghadapi meja dan duduk di kursi-kursi yang berukir indah. Sambil memandang ke kanan kiri mengagumi keindahan ruangan itu, Lu-san Lojin berkata memuji, "Sungguh hebat! Lama sudah aku mendengar bahwa Pat-jiu-kai-ong tinggal disebuah istana yang megah, kiranya keadaan di sini melampau segalanya yang telah kudengar. Hebat sekali!" Sejak tadi Pat-jiu-kai-ong merayapi tubuh pemuda dan pemudi itu dengan pandangan matanya. Dia kagum bukan main melihat dara cantik jelita dan pemuda yang tampan dan gagah itu.
"Ha-ha, kau terlalu memuji, sahabat. Aku tidak mengira bahwa hari ini tempatku yang buruk akan meneriama kehormatankedataangan seorang tamu agung, seorang penolongku yang budiman bersama putra dan puterinya yang begini elok." Kedua orang tua ini lalu bercakap-cakap dengan gembira membicarakan masa lampau.
Siapakah kakek ini? Dia adalah Lu-san Lojin, seorang ahli silat dan ahli pengobatan yang semenjak istrinya meninggal dunia, meninggalkan dua orang anak, lalu mengajak dua orang anaknya itu mengasingkan diri ke puncak Lu-san, dan di sana dia bertapa sambil mendidik dan menggembleng putera puterinya. Sepuluh tahun yang lalu, setelah gagal merebut Sin-tong, dalam kekecewaannya Pat-jiu Kai-ong lalu mengamuk di sepanjang jalanan, menculik dan membunuhi bocah-bocah yang diang-gapnya cukup sehat. Ketika dia tiba di kaki Pegunungan Lu-san, dia berada dalam keadaan keracunan hebat. Hal ini terjadi karena dia terlampau banyak membunuh anak laki-laki, makan otak mereka dan menghisap darah serta sumsum mereka untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau banyak melatih diri dengan ilmu hitam Hiat-ciang Hoat-sut. Karena hatinya yang penasaran mengapa dia tidak dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin-tong, maka dia lupa akan ukuran tenaga sendiri dan melatih diri dengan ilmu hitam itu, dia terlampau terburu-buru dan akibatnya, hawa mujijat dari ilmu itu membalik dan membuat dia terluka dalam, keracunan hebat sehingga dia terhuyung-huyung dan hampir pingsan ketika tiba di kaki Pegunungan Lu-san. Dia maklum akan keadaan dirinya, tahu bahwa dia terancam bahaya maut maka hatinya menjadi khawatir sekali. Kebetulan baginya, pada saat itu keadaannya terlihat oleh Lu-san Lojin yang sedang turun gunung bersama putera-puterinya yang pada waktu itu baru berusia enam dan lima tahun, sebagai seorang gagah dan berilmu tinggi, Lu-san Lojin cepat menolong Pat-jiu Kai-ong. Setelah memeriksa keadaan raja pengemis itu, dia maklum bahwa Pat-jiu Kai-ong memerlukan perawatan khusus, maka diajaknya orang ini naik ke puncak Lu-san. Di situ Pat-jiu Kai-ong diobati Lu-san Lojin sampai sembuh . Selama satu bulan berada di Lu-san, raja pengemis ini menerima perawatan yang amat baik dari Lu-san Lojin, maka dia merasa berterima kasih sekali dan menganggap pertapa itu sebagai penolong dan sahabat baiknya. Juga dia mengenal dua orang bocah yang mungil itu.
Karena kebaikan hati Lu-san Lojin, biarpun dia melihat Swi Liang sebagai seorang anak yang mempunyai darah bersih dan tulang kuat, dia tidak tega untuk mengganggu anak laki-laki itu. Di lain pihak, ketika mendengar bahwa yang ditolongnya adalah Pat-jiu kai-ong ketua Pat-jiu kai-pang, Lusan Lojin terkejut sekali. Akan tetapi dia menjadi bangga bahwa raja pengemis yang namanya terkenal itu menganggapnya sebagai sahabat baik. Maka setelah sembuh, mereka berpisah sebagai sahabat yang berjanji untuk saling mengunjungi dan saling membantu.
"Sungguh aku tidak tahu diri dan tidak mengenal budi," setelah makan minum Pat-jiu Kai-ong berkata kepada tamunya. "Sepatutnya akulah yang datang mengun-jungi kalian di Lu-san, bukan kalian yang jauhjauh datang mengunjungi aku."
"Ahhh, mengapa kau menjadi sungkan begini? Kita bersama telah mempunyai kewajiban masing-masing sehingga tentu saja telah sibuk dengan pekerjaan. Kamu pun hanya kebetulan saja lewat di kaki Pegunungan Heng-san, maka aku teringat kepadamu dan mengajak kedua anakku untuk mendekati Pegunungan Hengsan men-carimu." "Terima kasih, engkau baik sekali, Lu-san Lojin. Akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, kalian datang dari manakah?"
Lu-asn Lojin menarik napas panjang dan menoleh kepada puteranya, meman-dang puterinya seolah-olah minta ijinnya, Swi Liang menganggukan kepalanya ke-pada ayahnya, dan menunduk. Dianggap oleh pemuda ini bahwa Pat-jiu Kai-ong adalah seorang sahabat baik ayahnya, bahkan seperti saudara sendiri, maka tidak ada salahnya kalau raja pengemis itu mengetahui urusannya. Siapa tahu raja pengemis itu dapat membantunya . "Kami baru saja datang dari Lokyang, melakukan perjalanan sejauh itu dan ternyata sia-sia belaka perjalanan kami untuk mencari Tee-tok Siangkoan Houw."
"Tee-tok Siangkoan Houw? Ah, ada urusan apakah engkau mencari racun bumi itu, Lu-san Lojin?"
"Sebetulnya urusan lama, urusan perjodohan, semenjak kecil, antara Tee-tok dan aku telah terdapat persetujuan untuk menjodohkan puteraku Bu Swi Liang ini dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Akan tetapi, setelah keduanya menjadi dewasa, tidak ada berita dari Tee-tok sehingga hatiku merasa khawatir sekali. Aku sudah berusaha mencarinya, namun selalu sia-sia. Akhir-akhir ini aku mendengar bahwa dia berada di Lokyang, akan tetapi setelah jauh-jauh kami bertiga mencarinya di sana, ternyata dia tidak berada di sana pula. Hemm, sikap orang tua itu masih selalu aneh dan penuh rahasia." JILID 9
"Ha-ha-ha, ala salahmu sendiri! mengapa mengikat perjanjian dengan seorang iblis seperti Tee-tok?"
"Pat-jiu Kai-ong, jangan bergurau. Ini urusan yang penting bagi kami, karena itu, kami mengharap bantuanmu yang mempunyai banyak anak buah, agar suka menyelidiki di mana kami dapat bertemu dengan Tee-tok Siangkoan Houw."
"Baik, baik... jangan khawatir. Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya, dan kalian bermalamlah di sini, jangan tergesa-gesa pulang."
Lu-san Lojin menggeleng kepala. "Sudah terlalu lama kami meninggalkan pondok, kami hanya dapat bermalam untuk satu malam saja. Besok pagi-pagi kami harus melanjutkan perjalanan."
"Semalaman cukuplah, Biar kupergunakan untuk menjamu kalian sepuas hatiku."
Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di luar istana raja pengemis itu. Tak lama kemudian dua orang pengawal pribadi Kai-ong masuk dengan muka pucat dan kelihatan takut.
"Ada apa? mau apa kalian mengganggu kami?" Kai-ong membentak marah dan menurunkan cawan araknya keras-keras ke atas meja sehingga meja itu tergetar. "Pangcu... ampunkan kami berdua... terpaksa kami mengganggu karena ada peristiwa yang amat aneh dan mengkhawatirkan kami semua."
"Apa yang terjadi? Hayo cepat ceritakan." Dengan wajah ketakutan, seorang di antara dua orang pengawal itu lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi di luar istana. Karena Pangcu sedang menjamu tamu, para pengawal menjaga di luar dan mereka sedang mengagumi seekor ayam jago kesayangan Pat-jiu Kai-ong. Raja pengemis itu memang suka sekali memelihara ayam jago dan kadang-kadang meng-adunya. Pagi hari itu seperti biasa, seorang pelayan memandikan dan memberi makan ayam jago itu, dan memuji-mujinya sebagai jago peranakan tanah selatan yang amat baik. Tiba-tiba ayam jago itu menggelepar di dalam kedua tangannya, darah muncrat dan ayam itu mati, dadanya ditembusi sehelai benda lembut yang kemudian ternyata adalah sebatang daun! Di tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada tulisanya. "Kami telah meloncat dan mencari di sekeliling, akan tetapi tidak ada bayangan seorang pun manusia, Pangcu. Agaknya hanya iblis saja yang dapat menggunakan sehelai daun untuk menyambit dan membunuh ayam jago dan...."
"Cukup!" Raja pengemis itu marah sekali mendengar jagonya dibunuh orang. "Kalian tolol semua! Mana kain yang ada tulisan itu!" Kepala pengawal yang mukanya penuh bewok itu dengan kedua tangan gemetar, menyerahkan sehelai kain putih kepada ketuanya. kain itu ada tulisannya dengan huruf-huruf kecil berwarna hitam, akan tetapi ada noda-noda darah, darah ayam jago tadi. Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong yang menerima kain itu, sejenak menjadi bingung dan baru ia teringat bahwa dia tidak mampu membaca. Dia buta huruf! Dengan jengkel dan agak malu dia lalu melemparkan kain itu kepada Lu-san Lojin sambil berkata, "Harap kaubacakan ini untukku!" Lu-san Lojin menyambar kain yang melayang ke arahnya itu, lalu matanya memandang tulisan.
Mukanya berubah, matanya terbelalak. "Wah... apa artinya ini?"
"Lojin! bagaimana bunyinya?" Pat-jiu Kai-ong bertanya, suaranya membentak. Lu-san Lojin lalu membaca huruf-huruf itu.
Malam ini, semua mahluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong dari binatang sampai manusia, akan kubasmi habis!" Ratu Pulau Es.
"Ratu PulauEs...?" Pat-jiu Kai-ong tertawa. "Siapakah dia? Aku tidak menge-nalnya. Hai pelawak dari manakah yang main-main seperti ini? Ha-ha-ha, biar dia datang hendak kulihat magaimana macamnya!"
"Kai-ong, harap jangan main-main. Biarpun hanya seperti dalam dongeng, nama Pulau Es amat terkenal, katanya penghuninya memiliki kepandaian seperti dewa, apalagi dahulu yang terkenal dengan sebutan Pangeran Han Ti Ong...."
"Ha-ha-ha, siapa perduli? Aku tidak ada permusuhan dengan Han Ti Ong, bahkan dia yang pernah mengganggu aku. Mengapa sekarang ada ratu dari sana hendak membunuhku dengan ancaman sesombong itu? Aku tidak percaya. He, pengawal apakah kalian tahu akan isi surat?" Dua orang pengawal itu mengangguk. "Sudah Pangcu."
"Apa kalian takut?"
"Ti... tidak, Pangcu, Hanya... hanya amat aneh itu..."
"Sudahlah. Setelah kalian tahu isinya, hayo kalian dua belas orang melakukan penjagaan yang ketat terutama malam ini. Kita jangan mudah digertak lawan yang membadut! Biarkan dia datang, kita tangkap dia dan kita permainkan dia, ha-ha-ha!" "Kai-ong harap hati-hati...." kata Lu-san Lojin setelah para pengawal itu keluar dari ruangan itu.
"Ha-ha-ha, mengapa khawatir? Apalagi baru seorang badut, biar Han Ti Ong sendiri yang datang, setelah kini Hiat-ciang Hoat-sut kulatih sempurna, aku takut apa?" Kakek dari Lu-san itu kelihatan ragu-ragu, akan tetapi untuk menyatakan bah-wa dia takut, tentu saja dia tidak mau dengan hati berat dia bersama dua orang anak nya menemani tuan rumah makan minum dan bercakap-cakap sampai lewat tengah hari. Kemudian mereka dipersilahkan mengaso sejenak dalam kamartamu, akan tetapi menjelang senja, mereka sudah dipersilahkan makan minum lagi. Sekali ini mereka benar-benar takjub. Melihat Pat-jiu Kai-ong kini bertukar pakaian, pakaian malam yang indah dan mewah! Mengignat betapa siang tadi Kai-ong merupakan seorang pengemis yang berpakaian butut, dan kini seperti seorang raja, benar-benar membuat Lu-san Loji hampit tertawa, seperti melihat seorang badut pemain lenong! Dan hida-ngan yang dikeluarkan di meja juga istimewa, jauh lebih lengkap daripada siang tadi! "Ha-ha, ayo makan minum. Kita berpesta sampai kenyang!" kata tuan rumah itu mempersilahkan tamutamunya. Setelah hidangan tinggal sedikit dan perut mereka kenyang sekali, Pat-jiu Kai-ong mengusap-ngusap bibirnya yang berminyak dan perutnya yang gendut, matanya memandang ke arah Bu Swi Liang dan Bu Swi Nio penuh gairah, lalu dia berkata, kata-kata yang sama sekali tidak pernah disangka oleh para tamunya dan yang membuat mereka terkejut setengah mati,
"Lu-san Loji, sekarang kau tidurlah dalam kamarmu dan jangan hiraukan badut yang hendak mengganggu. Adapun dua orang anakmu ini, yang cantik jelita dan tampan gagah, biarlah mereka berdua besenang-senang dengan aku dalam kamarku, ha-ha-ha!"
"Kai-ong!" Lu-san Lojin membentak. "Apa... maksud kata-katamu ini?"
Pat-jiu Kai-ong memandang tamunya sambil tersenyum lebar. "Apa maksudnya? Swi Liang begini tampan gagah dan Swi Nio cantik jelita dan segar, sungguh aku suka sekali kepada mereka. Kalau mereka bedua bersama dengan aku dalam kamarku, tentu mereka akan terlindung dan....hemmm, aku ingin sekali ber-senang dengan mereka, tidur-tiduran dengan mereka sejenak."
"Kai-ong, apa kau gila??" Lu-san Lojin hampir tidak dapat percaya akan pendengaranya sendiri.
"Eh, mengapa? Apa salahnya aku tidur dengan dua orang keponakanku ini? Heh-heh, tak tahan aku melihat puterimu yang muda dan cantik segar, dan puteramu yang tampan dan ganteng ini. Anak-anak baik, marilah kalian layani pamanmu..." "Keparat!" Lu-san Lojin melompat ke depan dan dua orang anaknya yang berada di belakangnya pun sudah siap dengan pedang di tangan.
"Pat-jiu Kai-ong! Harap kau jangan main gila dan jelaskan apa sebabnya perubahan sikapmu ini. Mau apa engkau dengan anak-anakku?"
"Ha-ha-ha! Siapa main gila? Sebelum kalian muncul, tidak pernah ada terjadi apa-apa di sini. Akan tetapi begitu kalian muncul, muncul pula orang aneh yang mem-bunuh ayamku dan mengeluarkan ancaman. Siapa lagi kalau bukan teman dan kaki tanganmu? Dan kau tentu sudah mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong tidak pernah me-nyia- nyiakan kecantikan seorang dara remaja seperti putermu ini dan puteramu yang tampan ini tentu memiliki otak yang bersih, darah yang segar dan sumsum yang kuat. Perlu sekali untuk menambah keampuhan Hiat-ciang Hoat-sut agar makin kuat meng-hadapi lawan kalau malam ini ada yang berani datang!"
"Iblis jahanam! Kiranya engkau seorang manusia iblis yang busuk!" Lu-san Lojin sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya. Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sebagai bekas murid Hoa-sanpai yang sudah memperdalam ilmunya dengan ciptaanya sendiri, hasil renungannya di waktu bertapa. Kepalan tangnnya menyambar dahsyat, mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi kiranya hanya dalam ilmu pengobatan saja dia menang jauh dibandingkan dengan Pat-jiu Kai-ong. Dalam ilmu berkelahi, dia tidak mampu menandingi Kai-ong yang amat lihai. Sambil tertawa, Kai-ong mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar dua kali dan kakek Lu-san itu terpaksa harus menarik kembali kedua tanganya karena dari kedudukan menyerang, dia malah menjadi yang diserang karena perge-langan kedua tangannya terancam totokan ujung lengan baju itu! dua orang naknya yang sudah marah sekali karena merasa dihina, sudah menerjang maju pula dengan pedang mereka. Swi Liang menusuk dari samping kiri ke arah lambung kakek pe-ngemis itu, sedangkan dari kanan Swi Nio membabatkan pedangnya ke arah leher. "Ha-ha, bagus! Kalian benar-benar menggairahkan!" kata kakek itu dan dia bersikap seolah-olah tidak tahu bahwa dirinya diserang. Akan tetapi setelah kedua pedang itu menyambar dekat, tiba-tiba kedua tangannya menyambar dan.... dua batang pedang itu telah dicengkramnya dengan telapak tangan!
Swi Liang dan Swi Nio terkejut bukan main, akan tetapi melihat betapa kedua batang pedang mereka itu dipegang oleh tangan kakek itu, mereka cepat menggerakan tenaga menarik pedang dengan maksud melukai telapak tangan Pat-jiu Kai-ong. Namun usaha mereka ini sia-sia belaka, pedang mereka tak dapat dicabut, seolah-olah dicengkeram jepitan baja yang amat kuat.
"Manusia tak kenal budi!"
"wirrrr... tar-tar!" Pat-jiu Kai-ong merasa terkejut melihat menyambarnya sinar kuning dan ternyata bahwa Lu-san Lojin melolos sabuknya yang berwarna ku-ning dan kini menggunakan sabuk itu sebagai senjata. Kakek ini memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, dan memainkan sabuk sebagai senjata sudah merupakan kehaliannya. Sabuk lemas di tangannya itu dapat bergerak seperti pecut, dapat pula menjadi sebatang senjata yang kaku dengan pengerahkan sinkangnya. "Krekk-krekkk!" dua batang pedang itu patah-patah dalam cengkraman Pat-jiu Kai-ong dan sambil melompat mundur menghindarkan sambaran ujung sabuk, raja pengemis ini menyambitkan dua ujung pedang yang dipatahkanya ke arah Lu-san Lojin. "Trang-tranggg!" Dua batang ujung pedang itu terlempar ke lantai ketika ditangkis oleh ujung sabuk(ikat pinggang) dan kini Lu-san Lojin mendesak ke depan dengan putaran senjatanya yang istimewa. Sedangkan kedua orang anaknya telah mundur dan hanya menonton di pinggir karena mereka terkejut menyaksikan pedang mereka dipatahkan begitu saja oleh kedua tangan lawan dan mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak berguna membantu ayah mereka. Pada saat itu, muncullah empat orang pengawal yang mendengar suara ribut-ribut. Melihat mereka, Pat-jiu Kai-ong berkata, "Tangkap dua orang muda ini, akan tetapi awas, jangan lukai mereka!" Empat orang pengawal itu segera menubruk maju hendak menangkap Swi Liang dan Swi Nio. Tentu saja kakak beradik ini melawan sekuat tenaga, akan tetapi biarpun keduanya memiliki ilmu silat tinggi, namun empat orang pengawal itu pun merupakan murid-murid ter-pandai dari Pat-jiu Kai-ong, maka ketika dua orang di antara mereka menggunakan tongkat, dalam belasan jurus saja Swi Liang dan Swi Nio dapatditotok dan roboh dan lumpuh.
“Ha-ha-ha, belenggu kaki tangan mereka baik-baik... kemudian lempar mereka ke atas tempat tidurku... haha- ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa sambil menyambar tong-katnya. Setelah dia bertongkat, maka kini dia menghadapi Lu-san Lojin dengan lebih leluasa. Kakek dari Lu-san itu marah bukan main melihat putera dan puterinya digo-tong pergi dari ruang itu. Dia mengejar dan menggerakan ikat pinggangnya, namun Pat-jiu Kai-ong menghadangnya sambil tertawa-tawa dan menyerangnya dengan tongkatnya sehingga terpaksa kakek Lu-san itu melayaninya bertanding. Pertandingan yang amat seru dan diam-diam Pat-jiu Kai-ong harus mengaku bahwa ilmu kepan-daian kakek yang pernah menolongnya ini memang hebat.
"Pat-jiu Kai-ong, benar-benarkah kau lupa akan budi orang? Aku pernah menyelamatkan nyawamu, apakah sekarang engkau mencelakakan kami bertiga?" Lu-san Lojin berkata membujuk karena khawatir melihat nasib puterinya.
"Ha-ha-ha, dahulu memang engkau pernah menolongku, akan tetapi sekarang kalian datang dengan niat buruk!"
"Tidak! Kau salah duga! Kami tidak ada sangkut pautnya dengan si pembunuh ayam!"
"Ha-ha-ha, Lu-san Lojin! Kalian menyelundup ke dalam dan bergerak dari dalam, sedangkan setan itu bergerak dari luar. Begitukah?" Tongkat di tangan Pat-jiu Kai-ong menyambar ganas. "Plak-plakk!" Ujung sabuk kakek Lu-san menangkis dua kali akan tetapi dia merasa betapa telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga Si Raja Pengemis itu benar-benar amat kuat.
"Pat-jiu Kai-ong, kau salah menduga, kami tidak ada hubungan dengan musuh yang datang. Lepaskankedua anakku dan kau berjanji akan membantumu menghadapi musuh gelap itu."
"Wah, berat kalau disuruh melepaskan. Lu-san Lojin, dengan baik-baik. Aku tergila-gila melihat anak-anakmu. Pinjamkan mereka kepadaku untuk satu dua malam, dan kau bantu aku menghadapi musuh, baru aku akan membebaskan kalian."
"Iblis busuk!" Lu-san Lojin marah sekali dan dengan nekat dia lalu mengerah-kan seluruh tenaga untuk melawan raja pengemis ini karena dia maklum bahwa beta-papun juga hati yang kotor dari raja pengemis itu tidak mudah dibujuk. Satu-satunya jalan untuk menolong anak-anaknya adalah melawan mati-matian. "Plakkk!" Tiba-tiba ujung sabuk melibat tongkat, keduanya saling betot untuk merampas senjata. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berhasil merampas senjata lawan dan kesem-patan ini dipergunakan oleh Pat-jiu Kai-ong untuk menggerakan tangan kirinya de-ngan telapak tangan terbuka ke arah lawan. Lu-san Lojin terkejut melihat telapak tangan yang menjadi merah seperti tangan berlumuran darah itu. Dia belum pernah mengenal limu Hiat-ciang Hoat-sut dari raja pengemis itu, namun dia pernah mende-ngar akan hal ini, tahu pula betapa keji dan berbahayanya ilmu itu. Akan tetapi untuk mengelak dia harus melepaskan sabuknya dan hal ini pun amat berbahaya. Dengan senjata itu saja dia masih kewalahan melawan Pat-jiu Kai-ong, apalagi tanpa senjata, maka dengan nekat dia lalu menggerakan tangan pula menyambut pukulan itu. "Dessss...! Aduhhh...!!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lu-san Lojin terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mulutnya mengeluarkan darah segar dan matanya mendelik. Kakek ini pingsan dan menderita luka dalam yang amat parah! "Lempar dia di kamar tahanan!" Pat-jiu Kai-ong berkata sambil tertawa. Setelah tubuh kakek yang pingsan itu digusur pergi oleh para pengawalnya. Pat-jiu Kai-ong meng-hampiri meja di mana dia tadi menjamu para tamunya, menyambar guci arak dan menenggaknya habis, kemudian sambil tertawa-tawa dia memasuki kamarnya.
Pemuda dan pemudi She Bu itu sudah rebah terlentang di atas pembaringan Pat-jiu Kai-ong yang lebar. Dalam keadaan terbelenggu kaki tanganya. Lima orang selirnya menjaga di situ. Ketiaka dia masuk sambil tertawa gembira, Bu Swi Liang memandang dengan mata melotot penuh kebencian, akan tetapi Bu Swi Nio meman-dang dengan mata terbelalak ketakutan dan mencucurkan air mata. Pat-jiu Kai-ong menghampiri pembaringan, menggunakan tangannya untuk membelai dan menghusap pipi Swi Nio dan Swi Liang sambil berkata, "Manis, jangan menangis dan kau jangan marah. Aku akan menemani kalian dan bersenang-senang sepuas hati setelah kami menangkan musuh gelap yang mengancam."
Dia menengok ke arah lima orang selirnya dan berkata garang. "Temani mereka, jaga baik- baik jangan sampai ada yang lolos, dan kalau ada apa-apa, cepat berteriak memanggil para pengawal. Mengerti?"
Lima orang selir itu mengangguk dan kakek itu meninggalkan kamar lagi. Sebelum orang yang membunuh ayam jagonya dan yang mengirim surat ancaman itu dapat ditangkap atau dibunuh, tentu saja dia tidak bernafsu untuk bersenang-senang dengan dua orang muda yang tertawan itu. Dia percaya penuh bahwa menghadapi se-orang pengacau saja, para pengawalnya akan dapat mengatasinya, akan tetapi dia harus berhati-hati dan ikut melakukan penjagaan sendiri. Setelah keadaan benar-benar aman barulah dia boleh bersenag-senang. Dia belum yakin benar apakah musuh gelap itu ada hubungannya dengan Lu-san Lojin dan kedua orang anaknya, akan tetapi ada hubungan atau tidak, setelah tiga orang itu dibuat tidak berdaya, berarti mengurangi bahaya. Dia harus berhati-hati, maklum bahwa dia mempunayi banyak musuh. Siapa tahu kalau Lu-san Lojin yang termasuk golongan putih itu juga memusuhi. Andaikata tidak sekalipun, mana bisa dia melepaskan dua orang muda yang cantik jelita dan tampan itu? Pat-jiu Kai-ong duduk lagi di ruangan tadi sambil melanjutkan minum arak. Dia maklum bahwa malam ini dua belas orang pengawalnya menjaga dengan tertib dan penuh kewaspadaan. Ingin dia tertawa keras-keras mengusir kesunyian malam yang mendatangkan perasaan tidak enak. Hemmm, Ratu Pulau Es? Hanya dongeng! Pembunuh ayam itu tidak perlu ditakuti. Andaikata dia mampu mengalah kan dua belas orang pengawalnya, hal yang sukar dipercaya, masih ada dia sendiri. Hiat-ciang Hoat-sut, ilmu yang dilatihnya belasan tahun kini telah dapat diandalkan. Tadipun, hanya menggunakan sebagian kecil tenaganya saja, ilmu itu telah meroboh kan Lu-san Lojin. Dia tidak takut! "Aku tidak takut!" serunya kuat-kuat. "Datanglah kamu, hai Ratu Pulau Es keparat! Ha-ha-ha!" Para pelayan sudah menyalakan lampu-lampu penerangan dan atas perintah para pengawal, pelayanpelayan ini menambah jumlah lampu sehingga keadaan di seluruh gedung itu menjadi terang.
Bersambung ...