"Bu Song, kitab ini biarpun hanya terisi sajak-sajak kuno, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelajaran ilmu yang luar biasa. Kuncinya berada pada suling emas itulah. Hal inipun sudah kuketahui dan juga diketahui oleh semua orang kang-ouw. Memang aneh sekali mengapa Bu Kek Siansu menghadiahkan benda-benda seperti itu kepada dua orang sastrawan lemah. Memang suling dan kitab itu adalah pegangan para sastrawan, akan tetapi di balik sajak dan suara suling, terdapat daya yang hebat sekali dan yang dapat dipergunakan orang jahat untuk memperhebat kepandaiannya. Kau telah berjodoh dengan kitab ini dan sudah dipilih oleh mendiang sastrawan Ciu Gwan Liong, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk mencari suling emas itu ke Pulau Pek-coa-to di Lam Hai."
Pesan Kim-mo Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah menuruni bukit di lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara itu, di Lam-hai (Laut Selatan). Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara. Suhunya telah memberi tahu bahwa Pulau Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga dari timur, yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan tetapi agak panjang dan bentuknya berliku seperti tubuh ular. Juga dibandingkan dengan pulau lain, pulau ini tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka inilah agaknya pulau ini disebut Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Demikian pikir Bu Song. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya seperti ular putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di atas pulau itu memang terdapat semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat di tempat lain, ular yang amat berbisa!
Selagi Bu Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu, tiba-tiba hatinya girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan ini hendak berlayar mencari ikan. Bu Song segera berlari menghampiri lalu berkata, "Twako, apakah kau hendak berlayar?"
Nelayan itu kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang maka heranlah ia melihat seorang pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya agak asing, dengan lidah orang utara.
"Betul. Seperti biasa saya hendak mencari ikan," jawab nelayan itu sambil memasang tali layar dan bersiap-siap.
"Kebetulan sekali, Twako. Kautolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya pulang pergi?"
Nelayan itu tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu Song. Berkali-kali ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya bergantian lalu bertanya, "Kongcu, pulau yang mana...?"
"Itu yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to..."
"Wah...!" Tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata terbelalak. Bu Song merasa tidak enak hatinya. "Twako, kenapa?"
Dengan suara tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya, "Kongcu... mau apakah... pergi ke... pulau itu...?" Sungguh aneh, muka yang menghitam karena sering dipanggang terik matahari itu kelihatan ketekutan ketika memandang Bu Song.
"Ah, aku hanya ingin pesiar, Twako."
Orang itu menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini bukan sengaja hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka ingin pesiar ke tempat itu.
"Kongcu salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih pulau... maut... itu?"
"Pulau maut? Apa maksudmu, Twako?" "Ah, Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali. Karena keangkeran pulau itulah maka tempat ini sekarang menjadi sepi. Para nelayan merasa takut mencari ikan di muara ini, karena adanya pulau itulah. Jangankan mendarat, mendekati pulau itu saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa!"
"Mengapa begitu?" "Entahlah. Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar biasa, berbisa dan buas. Selain itu, agaknya juga... iblis dan siluman menjadi penghuninya. Sudahlah, Kongcu, membicarakannya saja merupakan pantangan di sini. Saya seorang pelayan yang terpaksa mencari ikan di sini, karena satu-satunya sumber nafkah saya adalah pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu benar-benar salah pilih kalau hendak bersenang-senang dan berpesiar di daerah ini."
"Tidak salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. jangan kau kuatir, aku dapat menjaga diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau suka mengantarku ke sana." Bu Song sengaja mengeluarkan lima potong perak yang ia dapat dari suhunya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung uang perak dan beberapa potong uang emas.
Melihat lima potong perak ini, Si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak itu! mencari ikan sebulan belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan tetapi ia memandang Bu Song dan berkata lagi, "Bukan saya tidak mau menyeberangkan ke sana, Kongcu. Akan tetapi aku takut." "Tidak usah takut, aku menjamin keselamatanmu."
"Kongcu kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat daripada Kongcu tewas secara aneh di dekat pulau itu..."
"Kau tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku ke pulau itu dan kau boleh berlayar mencari ikan. Nanti menjelang senja, kau jemput aku. Bagaimana?"
Si Nelayan ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia memperlihatkan kepandaiannya agar nelayan ini hilang rasa takutnya. Ia menghampiri sebuah batu karang besar dan berkata, "Twako, apakah penghuni pulau itu kepalanya lebih kuat daripada batu karang ini?" Ia menggerakkan tangan kanannya menampar. Terdengar suara keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah berantakan!
Si Nelayan melongo dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kongcu adalah seorang demikian kuat. Baiklah, akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya hanya mengantar dan menjemput, tidak ikut mendarat di sana."
"Jangan kuatir, asal perahumu sudah dekat dengan daratan pulau itu, tidak perlu terlalu dekat dan kau boleh tinggalkan aku untuk dijemput senja nanti."
Nelayan itu menyeret perahunya dan tak lama kemudian, setelah dapat melalui ombak yang memecah di pantai, lajulah perahu itu membawa Bu Song dan Si Nelayan berlayar ke tengah laut. Berdebar jantung Bu Song. Ia sama sekali tidak tahu akan keadaan pulau itu. Mendiang Ciu Gwan Liong hanya menceritakan bahwa kakak sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di pulau kosong yang bernama Pek-coa-to ini. Kenapa sekarang Si Nelayan menceritakan hal yang aneh-enah dan seram! Kalau memang pulau itu sedemikian hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun sastrawan tua itu dapat hidup di sana? Bu Song tidak menjadi gentar, malah keanehan perkara ini makin menarik hatinya untuk segera mendarat di pulau itu, membuktikan omongan Si Nelayan dan pesan mendiang Ciu Gwan Liong.
Dengan perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat laju, sebentar saja mereka sudah tiba di dekat pulau itu. kiranya yang membuat pulau itu tampak putih dari jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang besar yang mengandung kapur. Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak kelihatan ada bahaya mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh Si Nelayan menggigil ketakutan. Maka Bu Song lalu meloncat ke darat. "Kau pergilah mencari ikan, Twako. Nanti sore jemput aku di tempat ini!" Si Nelayan hanya mengangguk-angguk dan cepat-cepat memutar perahunya untuk menjauhi tempat yang ditakuti ini.
Bu Song tersenyum ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau Nelayan itu agaknya menjadi korban kepercayaan tahyul maka ketakutan seperti itu. Pulau ini agaknya sunyi dan tenteram, sama sekali tidak ada bahaya mengancam kecuali keadaannya yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia. Ia melompat ke atas batu karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan pemeriksaan dari atas tentang keadaan pulau itu. Setelah tiba di puncaknya, ia memandang ke bawah. Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup subur, banyak pohon-pohon yang merupakan hutan. Akan tetapi sekeliling pulau itu adalah pantai batu karang sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang putih. Beberapa menit lamanya Bu Song mengintai dari atas, akan tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Ke mana ia harus mencari Ciu Bun? Benarkah kakek sastrawan itu berada di situ? Pulau ini hanya kecil saja. Ia tentu dapat menjelajahi sampai habis dan kembali ke tempat ia mendarat sebelum senja.
Bu Song turun dari batu karang itu dan berloncatan dari batu ke batu menuju ke tengah pulau. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan sinar putih menyambar lehernya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Sinar itu lewat dan ketika ia menengok ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga ia tidak tahu senjata rahasia apakah yang menyambarnya tadi. Jantungnya berdebar. Kiranya benar ada orangnya dan agaknya orang itu berwatak keji karena buktinya tanpa tahu-tahu sudah menyerang dengan senjata rahasia! Ia memandang ke kanan dari mana senjata rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah kananya hanya tampak batu karang dan tidak ada tanda-tanda manusia di situ. Ia kaget sekali. Tadi ia diserang lagi dan kini bahkan serangan itu datang dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri. Juga menggunakan senjata rahasia seperti tadi, putih kecil yang menyerang leher, perut dan kaki. Untung ia dapat bergerak cepat dan loncatannya tadi menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya. Agaknya sedikitnya ada tiga orang manusia yang memusuhinya.
"Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang dengan maksud baik, bukan untuk bermusuhan dengan siapa juga."
Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda putih. Bu Song penasaran dan ingin memperlihatkan kepandaiannya. Dengan dua jari tangan ia menyambar benda putih itu dan berhasil menjepitnya. Akan tetapi hampir saja ia berteriak saking kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor ular putih yang kini terjepit di antara dua jarinya akan tetapi ular itu telah menggigit telapak tangannya! Bu Song gemas dan sekali remas kepala ular itu hancur. Telapak tangannya mengeluarkan darah sedikit, Bu Song tidak kuatir. Tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko, maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia berhasil mendorong keluar darahnya melalui luka. Darahnya berubah putih yang keluar dari luka, tanda keracunan! Akan tetapi hanya sedikit dan setelah yang mengucur keluar adalah darah merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia diam-diam merasa geli. Kiranya ia tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil "terbang" atau lebih tepat, meluncur dan melayang. Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan dia yang digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song mengapa Si Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan ia pun menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan hati-hati ia berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan dengan mengelak atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang ahli meniup suling, akan tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan di mana terdapat bukit-bukit dengan batu-batu hitam. Girang sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya! Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu. kini ia tiba di daerah penuh pasir. Dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu bergerak memutar!
Begitu jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan. Mukanya pucat melihat pasir itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi. Benar-benar tempat yang amat berbahaya.
Kini ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan demikian terhindarlah ia dari bahaya itu dan akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana suara suling kini terdengar jelas.
Suara suling itu keluar dari sebuah gua. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan menghampiri. Gua itu merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia berada di tempat orang, Bu Song tidak berani masuk dan hanya berdiri di depan gua, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling berhenti dan Bu Song segera berseru.
"Apakah Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.
"Saya datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"
Segera terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan, "Sin-jiu Couw Pa Ong, apa artinya semua lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan Liong?"
Bu Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong? "Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu Song!" teriaknya. Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia masih merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan menikah lagi.
"Orang muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?" Agaknya orang di dalam gua yang gelap itu dapat melihatnya yang berada di luar gua, buktinya dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.
"Sama sekali bukan, Paman."
"Kau membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"
"Sebelum Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."
"Aaahhh...!" Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang muda, coba kaubacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"
Bu Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca pun ia sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.
"Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu."
Kitab kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar dimengerti. Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang tokoh Mohism, yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang saling bertentangan atau saling berlawanan.
Begitu mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam gua berseru girang, "Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai di sini tentu memiliki kepandaian, siapakah Gurumu?"
"Suhu bernama Kim-mo Taisu." "Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat buas!"
Bu Song melangkah masuk. Karena orang di dalam gua sudah memberi peringatan, ia bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya siap. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya mencium bau yang amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki gua itu sehingga ia dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang merayap itu adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa! Kulitnya tebal, matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang seperti lidah ular dan dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis. Suara mendesis makin hebat dan ternyata bukan seekor saja binatang itu, melainkan ada empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.
Bu Song berdiri memasang kuda-kuda dan begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari terbuka.
"Desss!!" Binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung. Lega hati Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan daripada membahayakan. Ia tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di balik batu karang yang gelap di kanan kiri gua.
"Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!" Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap. Ketika tiba di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua tinggi kurus bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi ketika ia berjalan keluar, langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan.
Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song. "Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat, jangan samapi ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar dari dalam gua.
"Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"
Kakek itu berhenti di depan gua dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan membayangkan kecurigaan.
"Kau mengenal dia?"
"Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."
Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang. "Apa... ? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song, kauceritakan semua kepadaku!"
Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari gua. Di situ Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan suhunya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.
Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas, "Tua bangka itu benar-benar telah menyeleweng jauh daripada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?"
"Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya." Kembali Bu Song bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.
Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya. "Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan dikutuk!"
Hening sejenak, kemudian Ciu Bun berkata, "Nah, kau ambil kitab itu, kau baca sajaknya dan aku akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu, setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya, dan suara suling ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi sajak. Kami yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah sastrawan-sastrawan yang mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda berharga ini bagi kami semata-mata hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni sastera diselaraskan dengan seni suara. Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan suara suling ini sudah dapat diselaraskan seperti mestinya, maka akan mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin menjernihkan pikiran dan menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke tingkat batin yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu, aku yakin bahwa dua benda ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia persilatan, karena buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan mengejar-ngejar kami. Nah, kaubacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali dengan suling ini!"
Bu Song mendengar penjelasan itu merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu menyesuaikan bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu Bun sudah meniup sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh lagi bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya yang membaca huruf-huruf secara lambat.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu. "Ngieeehhh... ngieeehhh!"
Seketika Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini, Bu Song juga menghentikan bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di depan gua tadi kini tampak sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua orang laki-laki aneh sekali karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan laki-laki yang dibelakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara "ngieeeeh-ngieeeeh" tadi. Dua orang laki-laki ini benar-benar luar biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka terbungkus kulit berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana sebatas lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk mulutnya besar dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana seperti pertama.
"Kiu-ji dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!"
Muka kedua orang gundul itu menjadi ketakutan, Si Gendut lalu menggerak-gerakkan seekor kuda agar kudanya berlari cepat. "Tidak... tidak... tidak...!" Mereka berkata ketakutan.
Benar-benar pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keinginan hatinya. "Paman, siapakah mereka tadi?"
"Mereka itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari binatang-binatang berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."
"Jadi Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
Ciu Bun mengangguk. "Tentu saja tinggal di sini! dengarlah. Couw Pa Ong adalah sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu menjabat kedudukan guru sastera di kota raja! Atas ajakannyalah aku tiggal di sini untuk menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini. Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular kepadanya. Sikapnya mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia suling dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan tetapi setelah kutahu bahwa pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu menghibur diri. Ia penasaran lalu memasukkan aku ke dalam gua itu, dijaga oleh binatang-binatang liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki gua hanyalah dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap adikku untuk memaksa kami kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali adikku bertemu dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah dapat menangkap contohku tadi?"
"Sudah, Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena hal ini memang amat sukar dimengerti." "Memang. Sekarang biarlah kau belajar meniup suling..." "Paman, saya sudah biasa bersuling dan mendapat petunjuk Suhu..."
"Bagus! Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang kubaca!"
Mereka bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan suling anak muda ini. Memang ia berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran perasaannya. Pula, karena Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi sulingnya, mengarah bunyi huruf dan ketika meniup suling, seluruh perhatiannya dicurahkan kepada makna dari huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan merayu-rayu.
"ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Demikianlah bunyi sajak terakhir itu dan sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru,
"Ya Tuhan....!!" Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia terkejut melihat wajah kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biarpun wajah itu amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila, kedua tangan memegang kitab, lalu bibirnya bergerak.
"Dapat sudah sekarang... ya Tuhan, dapat sudah..." Bu Song tidak mengerti, lalu bertanya hormat, "Paman, apakah yang Paman maksudkan?"
"Bu Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" Tiba-tiba kakek itu bertanya, suaranya biasa kembali. "Sudah, Paman." "Kalau begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kaubawalah suling itu pergi dari sini. cepat! Kau sudah tahu akan rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song."
Bu Song mendekati. "Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah Paman ikut pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?"
"Tertawan? Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau pergi cepat jangan sampai dia datang mendapatkan kau di sini."
"Tapi, Paman..." "Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda. Pergilah!" Kakek itu berkata dengan suara tegas sehingga Bu Song tidak berani membantah lagi. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara itu seperti berteriak girang.
"Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Ketika Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru sambil mengerahkan khikang di dadanya, "Kak nelayan...! Kemarilah...!!"
Layar itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama Si Nelayan yang berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi Si Nelayan memandang ke arah pulau dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat lagi mengemudi perahu. Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu membawa sebuah batu karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu!"
Dua batu karang itu besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!
"Cepat jalankan perahu ke tengah!" Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong sambil mengerahkan sin-kangnya.
"Byurrr...!" Dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena papan atas perahu yang diinjaknya jebol! Selain itu, dua batu karang yang terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya miring dan hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.
"Kongcu.... Mereka itu tadi.... Siluman.... Atau ibliskah.....?" Bu Song tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka akan tewas, mengingat betapa selain di pulau itu terdapat banyak binatang buas dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila dan kejam.
"Agaknya mereka itu iblis pulau. Aka tetapi untung kita dapat melarikan diri!" jawab Bu Song. Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke daratan yang aman.
Bu Song menyimpan sulingnya diselipkan di ikat pinggang dan tertutup baju. Ia maklum bahwa suling itu tentu akan menimbulkan perkara kalau sampai terlihat orang jahat. Orang-orang kang-ouw mencarinya tentu mengharapkan hikmatnya, sedangkan orang-orang jahat tentu juga menginginkannya karena harganya. Suling ini terbuat dari emas yang tentu saja mahal harganya.
Setelah tiba di darat, Bu Song menambah hadiah sepotong perak kepada nelayan itu yang menjadi girang sekali karena hari itu ia benar-benar mendapatkan rejeki besar. Kemudian Bu Song meninggalkan pantai dan melakukan perjalanan cepat ke utara. Ia harus mencari suhunya dan menceritakan semua pengalamannya di Pulau Pek-coa-to.
Makin ke utara, makin ramailah ia mendengar orang bicara tentang perubahan besar di kerajaan. Ia mendengar bahwa seorang panglima besar yang gagah perkasa telah mengambil alih kekuasaan dan medirikan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Sung! Juga mendengar bahwa kaisar baru ini amat murah hati, tidak akan menghukum siapapun juga asal tidak mengadakan perlawanan. Karena berita inilah maka di kota-kota kecil tidak timbul keributan, dan para pembesar melakukan tugasnya seperti biasa sambil menanti perkembangan lebih lanjut. Pada waktu itu, Bu Song berusia dua puluh tiga tahun.
Maklum bahwa suhunya tentu memperhatikan perubahan di kota raja, ia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja mencari suhunya
Kita tinggalkan dulu Bu Song yang melakukan perjalanan menuju ke kota raja, dan mari kita menengok keadaan Suma Ceng, gadis bangsawan yang tak dapat menahan gelora cinta kasihnya sehingga mengadakan hubungan rahasia dengan Bu Song, pegawai ayahnya itu.
Melihat betapa puterinya telah mencemarkan nama keluarga, Pangeran Suma Kong marah bukan main. "Anak macam itu hanya akan menyeret nama orang tuanya ke dalam lumpur kehinaan!" Ia memaki setelah menerima laporan puteranya. "Lebih baik mati daripada dibiarkan hidup! Boan-ji (Anak Boan), enyahkan saja dia dari muka bumi!"
Suma Boan terkejut. Ia juga merasa tak senang dan marah melihat adiknya melakukan perhubungan gelap dengan Bu Song. Akan tetapi betapapun juga Suma Boan menyayang adiknya. Ia tidak mempunyai saudara lain kecuali Suma Ceng. Bagaimana ia tega membunuhnya? Diam-daim ia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa Bu Song sampai dapat lolos dari tangannya.
"Ayah, harap ampunkan Ceng-moi. Betapapun juga, yang salah besar dan jahat adalah Bu Song. Ceng-moi seorang yang masih muda, tentu saja mudah di bujuk dan dipikat. Ayah, karena hal itu telah terjadi, maka sebaiknya kita mencari jalan keluar."
"Jalan keluar satu-satunya hanyalah menyuruhnya minum racun agar habis riwayatnya dan tidak mengotori nama keluarga kita!" bentak Pangeran Suma Kong marah.
"Bukan begitu, Ayah. Yang kumaksudkan adalah jalan keluar yang baik dan terhormat. Betapapun juga, Ceng-moi adalah adikku, mana aku tega kepadanya? Ayah, sahabatku Pangeran Kiang pernah melihat Ceng-moi dan pernah dalam keadaan mabok ia memuji-muji Ceng-moi di depanku. Ayah, aku dapat atur agar Ceng-moi segera dijodohkan dengan dia! Selain sahabat baik, dia pun belajar silat kepadaku, dan dalam segala hal, dia selalu menurut kepadaku."
Berseri sedikit wajah Suma Kong yang tadinya keruh. Pangeran Kiang yang dimaksudkan puteranya itu memang betul bukan seorang yang cukup "berharga" untuk menjadi mantunya. Seorang pangeran miskin, sudah tiada ayah lagi, hanya mengandalkan Jenderal Cao Kuang Yin yang menjadi pamannya. Akan tetapi betapapun juga orang muda itu masih seorang pangeran! Tidak buruk!
"Sesukamulah. Akan tetapi atur supaya cepat-cepat menikah, dalam bulan ini juga. Siapa tahu..." Suma Kong mengigit bibir dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku mengerti, Ayah." Demikianlah, dengan perataraan Suma Boan, urusan perjodohan itu dibicarakan. Pangeran Kiang adalah seorang pangeran muda yang tidak punya ayah lagi, menganggur, hidupnya hanya bersenang-senang, menjadi sahabat, murid, juga "antek" Suma Boan. Mendengar usul dan bujukan Suma Boan, serta merta ia menyatakan setuju dengan hati girang. Ibunya miskin, pamannya yaitu adik ibunya, Jenderal Cao Kuang Yin yang terkenal, adalah seorang pembesar bu (militer) yang jujur dan setia sehingga hidupnya sederhana dan tidak kaya raya, sehingga bantuan dari paman ini pun hanya sekadarnya.
Kalau disatu pihak Pangeran Kiang Ti girang bukan main atas usul Suma Boan, karena dia sendiri sampai mati pun tidak berani lancang melamar puteri Pangeran Suma Kong yang kaya raya itu, adalah di lain pihak Suma Ceng mendengarkan berita yang disampaikan kakaknya itu, dengan banjir air mata.
"Koko... ah, mengapa begini...?" ratap tangisnya. "Dimana... Kanda Bu Song...? Kau apakan dia...?
Suma Boan marah sekali kepada adiknya, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang kakak membuatnya kasihan juga. ia mendongkol bahwa dalam keadaan seperti itu adiknya masih saja memikirkan Bu Song!
"Ceng Ceng! Kau ini puteri seorang bangsawan agung! Puteri seorang pangeran besar! Pergunakanlah pikiranmu dan akal sehat. Mengapa kau merendahkan diri sedemikian rupa? Apakah kau hendak menyeret nama baik ayah dan keluarga ke dalam lumpur?"
"Aku... aku... cinta padanya, Koko..."
"Setan! Sudah, jangan sebut-sebut lagi namanya. Bu Song sudah mampus!"
Ceng Ceng menangis tersedu-sedu. "Kaubunuh dia...! Ah, kaubunuh dia, Koko... kenapa kau tidak bunuh aku sekali...!"
"Goblok? Kalau tidak ada kakakmu ini yang berjuang mati-matian, apa kaukira sekarang kau masih hidup? Ayah lebih senang melihat kau mati daripada kau bermain gila dengan seorang macam Bu Song."
"Ohhh..., Ayah...!" Suma Ceng makin sedih mendengar hal ini.
"Dengar, Ceng-moi. Mengadakan hubungan gelap, apalagi dengan seorang yang kedudukannya rendah, hukumannya hanya mati bagi seorang gadis bangsawan. Akan tetapi aku berhasil meredakan kemarahan Ayah dan mengusulkan agar kau dijodohkan dengan Pangeran Kian Ti."
"Aku tidak mau... tidak sudi...!" "Plak!" Suma Boan menampar pipi adiknya sehingga Suma Ceng hampir terpelanting jatuh.
"Auuhhh!" Suma Ceng berdiri, memegangi pipinya dan memandang dengan mata terbelalak kepada kakaknya. Biasanya, kakak kandungnya ini amat mencintanya, tidak pernah memukulnya. Maka ia menjadi kaget dan heran, lupa akan kesedihannya dan memandang dengan mata terbelalak.
"Ceng-moi, kau tahu apa artinya kalau perbuatanmu yang tak tahu malu ini diketahui orang luar? Cemar yang menimpa keluarga kita berarti menodai nama keluarga raja! Dan akibatnya, tidak hanya kau yang menerima hukuman, juga Ayah dan kita sekeluarga! Mungkin Ayah akan dihentikan, dipecat, dan dibuang! Nah, inginkah kau melihat hal itu terjadi?"
Suma Ceng menundukkan kepala, terisak-isak dan menggeleng-gelengkan kepala. Suma Boan mendekati dan mengelus rambut adiknya. "Kau tahu aku sayang kepadamu dan aku melakukan ini untuk kebaikanmu pula. Kiang Ti adalah seorang pemuda yang baik, dia keturunan pangeran setingkat dengan ayah. Tentang dia miskin bukanlah hal yang perlu dipikirkan. Bukankah Ayah keadaannya cukup? Nah, adikku yang manis, kau harus menurut demi kebaikanmu dan kebaikan keluarga kita."
Suma Ceng menubruk dan menyembunyikan muka di dada kakaknya sambil menangis tersedu-sedu. Suma Boan mengelus rambut adiknya dan tersenyum, maklum bahwa bujukannya berhasil.
Demikianlah, dalam enam bulan itu juga, secara meriah sekali Suma Ceng dikawinkan dengan Kiang Ti, pangeran yang miskin. Di balik tirai yang menutupi mukanya, Suma Ceng menangis. Sebaliknya, Kiang Ti tersenyum-senyum girang. Memang ia pernah melihat Suma Ceng dan mengagumi kecantikan puteri pangeran ini. Kini gadis yang membuatnya rindu dan mabok kepayang itu secara tak terduga-duga dijodohkan dengannya. Ia benar-benar merasa heran karena belum pernah ia mimpi kejatuhan bulan! Ia merasa untungnya baik sekalil.
Akan tetapi, kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Ceng menjadi isteri Kiang Ti, keadaannya menjadi terbalik sama sekali. Kini keluarga Suma Konglah yang merasa untungnya baik karena mempunyai mantu Kiang Ti. Seperti telah diketahui, Kiang Ti adalah putera seorang pangeran yang menjadi keponakan Jenderal Cao Kuang Yin. Dan kebetulan jenderal inilah yang menggulingkan tahta kerajaan, kemudian menjadi kaisar pertama dari Dinasti Sung! Tentu saja, Kiang Ti sebagai keponakan Kaisar, kini menjadi pangeran yang terhormat dan tinggi kedudukannya dan kerena itu, keluarga Suma juga ikut terangkat naik!
Memang hal ini sedikit banyak ada pengaruhnya dan menguntungkan Suma Kong. Dia terkenal sebagai seorang pangeran yang korup. Akan tetapi kaisar baru, yaitu bekas Jenderal Cao Kuang Yin, walaupun tahu akan watak korup pangeran ini, namun mengingat bahwa masih ada pertalian keluarga melalui Kiang Ti, tidak mau mengutik-utik tentang perbuatan-perbuatannya yang lalu, hanya memberi pensiun kepada Pangeran Suma Kong dan membiarkan keluarga pangeran yang sudah kaya raya itu pindah dari kota raja, ke kota An-sui. Adapun pangeran Kiang Ti yang masih keponakan Sang Kaisar, tentu saja dapat tinggal di kompleks istana yang megah, bersama isterinya yang telah mempunyai seorang putera. Pangeran Kiang Ti amat mencinta isterinya, dan karena sikap yang amat baik, penuh cinta dan penuh kesabaran dari Kian Ti ini maka sedikit banyak kepahitan hati Suma Ceng karena terpisah dari kekasihnya terobati.
Demikianlah keadaan keluarga Suma selama dua tahun itu, dan kini biarpun Suma Boan tinggal di An-sui bersama ayahnya, namun karena ia kaya raya dan masih terhitung keluarga kerajaan, di tambah pula dengan ilmu kepandaian yang tinggi sejak ia menjadi murid Pouw kai-ong, Suma Boan amat terkenal di kota raja. Siapakah yang tidak mengenal Suma Kongcu yang berjuluk Lui-kong-sian Si Dewa Guntur? Mengandalkan kedudukan keluarganya sebagai sanak kaisar, serta harta benda dan ilmunya, pemuda bangsawan ini malang melintang di kota raja dan sekitarnya tanpa ada yang berani mengganggunya.
Bu Song meninggalkan pantai selatan dan menuju ke utara. Akan tetapi baru saja ia meninggalkan pantai, ia mendengar suara aneh di atas kapalnya. Ketika ia memandang ke atas, ternyata seekor burung yang buruk rupanya terbang melintas dekat kepalanya sambil mengeluarkan bunyi "kuk-kuk-kuk!" dan teringatlah Bu Song bahwa pulau Pek-coa-to tadi pun serasa pernah ia melihat burung ini, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana. Burung itu adalah burung hantu, atau burung malam yang matanya berkilauan seperti mata kucing, bertelinga seperti kucing pula. Burung itu terbang cepat sekali dan lenyap di dalam sebuah hutan kecil di depan.
Hari telah menjelang senja ketika Bu Song mempergunakan ilmu lari cepat memasuki hutan kecil itu. Hutan itu kecil namun liar dan gelap, hutan belukar yang agaknya tidak pernah didatangi manusia. Banyak bagian yang gelap, apalagi karena di situ terdapat batu karang. Agaknya di jaman dahulu, air laut sampai di bagian daratan ini.
"Aduhhh...! Setan iblis siluman tak bermata! Perut orang diinjak-injak seenaknya, keparat!" Bu Song juga kaget bukan main. Tadinya tidak ada apa-apa di depannya, bagaimana ketika ia berlari, kakinya sampai bisa menginjak perut orang tanpa ia ketahui? Betapapun suram dan agak gelap tempat itu, tak mungkin ia tidak melihat seorang tidur telentang di depannya menghalang jalan. Tak mungkin! Tadinya benar-benar tidak ada siapa-siapa, bagaimana tahu-tahu kakek aneh itu dapat terinjak perutnya oleh kakinya? Ia demikian kaget sampai ia berjungkir-balik ke belakang dan mendengar suara marah-marah itu ia memandang penuh perhatian. Seorang kakek yang aneh. Tubuhnya pendek sekali seperti seorang anak berumur belasan tahun. Kakinya yang kecil telanjang, kedua tangannya juga kecil. Akan tetapi kepalanya besar, kepala seorang kakek tua renta penuh jenggot dan kumis panjang. Rambutnya panjang terurai. Benar-benar seorang kakek aneh dan kalau memang di dunia ini ada setan iblis atau siluman seperti makian kakek tadi, kiranya kakek inilah patut menjadi seorang diantaranya. Akan tetapi karena kakek itu pandai mengumpat caci, agaknya ia manusia biasa, pikir Bu Song. Cepat-cepat ia menjura dan memberi hormat.
"Mohon maaf sebesarnya, Kek. Saya tidak buta dan tidak sengaja menginjak perutmu, akan tetapi aku berani bersumpah bahwa tadi aku tidak melihat ada orang di sini!"
"Memang tidak ada! Kalau aku tidak sengaja membiarkan perutku tersentuh kakimu, apa kaukira akan mampu menginjak perutku? Cih!"
Diam-diam Bu Song terkejut dan juga mendongkol. Ia dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan sengaja hendak mempermainkannya, karena ia benar-benar tadi tidak melihat ada orang tidur di tengah jalan. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebat ilmu kepandaian kakek itu sehingga dapat membiarkan dirinya terinjak tanpa dia yang mengijaknya melihatnya! Karena yakin bahwa kakek itu seorang sakti, ia cepat-cepat memberi hormat lagi dan berkata,
"Maafkan saya, Locianpwe (Orang Tua Sakti). Sesungguhnya seorang muda seperti saya mana berani bersikap kurang ajar terhadap seorang tua? Apalagi sampai menginjak perut Locianpwe, selain tidak berani juga takkan sanggup melakukannya. Bolehlah saya bertanya, Locianpwe siapakah dan apakah maksud hati Locianpwe mempermainkan seorang muda seperti saya yang tidak bersalah apa-apa terhadap Locianpwe?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. Suara ketawanya amat tidak enak didengar, bukan seperti suara manusia. Bu Song teringat akan suara burung hantu yang tadi terbang lewat dan... benar saja, dari atas kini terdengar suara burung itu dan sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu burung hantu yang tadi itu kini sudah hinggap di atas pundak kanan kakek pendek itu!
"Siapa main-main? Aku sengaja membiarkan perutku kauinjak atau tidak, itu urusanku! Tapi yang jelas dan tak dapat dibantah lagi, kau sudah berlaku kurang ajar menginjak perutku. Betul tidak? Hayo, kausangkal kalau berani, kau... eh, siapa namamu?" Kata-kata dan sikap kakek ini amat menggelikan, tidak karuan dan seperti orang gila, atau seperti anak kecil yang nasar (mau menang sendiri).
"Nama saya Bu Song, Locianpwe, she... Liu." "Heh, Bu Song! Hayo bilang, kau tadi menginjak perutku atau tidak?" "Heh... betul... tapi... tapi saya tidak sengaja Locianpwe." "Tidak sengaja atau sengaja, apa bedanya? Yang jelas, buktinya kau sudah menginjak perutku. Kau tahu siapa aku?" "Saya belum mendapat kehormatan mengenal nama Locianpwe yang mulia." "Aku adalah Bu Tek Lojin! Dan kau sudah berani menginjak perutku, hukumannya hanya satu, yaitu mati!"
Biarpun tadinya Bu Song menganggap kakek itu seorang sakti yang patut ia hormati, akan tetapi mendengar ucapan-ucapannya dan melihat sikapnya, ia mulai merasa mendongkol sekali. Betapa pun saktinya, kiranya kakek ini bukanlah seorang yang patut dihormati, bukan seorang sakti yang budiman. Akan tetapi ia tetap menahan kemarahannya, dan bersikap sabar. Ia belum pernah mendengar nama Bu Tek Lojin. Biarpun tak dapat disangkal bahwa ia tadi telah menginjak perut orang, akan tetapi ia melakukan hal ini tanpa ia sengaja, bahkan Si Kakek itu sendiri yang agaknya sengaja mencari perkara.
"Bu Tek Lojin," jawabnya, tidak lagi menyebut locianpwe karena ia merasa tidak senang melihat sikap kakek yang luar biasa ini. "Yang memberi kehidupan kepadaku adalah Tuhan. Apabila Tuhan yang berkenan mengambil kehidupanku, aku akan pasrah dengan rela, akan tetapi kalau orang lain yang menghendaki kematianku, biarpun orang itu seorang tua terhormat dan sakti seperti kau, bagaimanapun juga akan kupertahankan hak hidupku!"
Kakek itu memandang dengan mata tajam dan tertarik. "Aha, kau pandai bicara. Bicaramu seperti seorang terpelajar, pakaianmu seperti seorang terpelajar pula, agaknya kau seorang sastrawan muda! Dan seorang terpelajar tentu pandai bermain catur. Orang muda, kau pandai main catur?"
Kakek aneh, pikir Bu Song. Bicaranya membolak-balik sukar ditentukan arahnya. Akan tetapi ia melayaninya juga dan menjawab, "Bermain catur tentu saja aku bisa, akan tetapi tidak pandai."
"Bagus!" Kakek itu terkekeh-kekeh dan dari balik bajunya ia mengeluarkan sehelai kertas yang dilipat-lipat dan segenggam biji catur. Kertas itu ia bentangkan di atas tanah dan ternyata adalah kertas gambar papan catur! "Duduklah, mari kita bertanding catur!"
Kakek itu tidak waras otaknya barangkali, pikir Bu Song. Akan tetapi ia menjadi curiga dan bertanya, "Bu Tek Lojin, apa arti permainan catur ini?"
"Ha-ha-ha, bicara tentang ilmu silat, memalukan sekali kalau aku melayani kau bertanding. Burungku akan mentertawakan aku, akan menganggap aku keterlaluan mendesak orang muda dengan ilmu silatku yang tentu saja jauh lebih unggul karena aku jauh lebih tua, menang pengalaman dan menang latihan. Akan tetapi permaianan catur tidak tergantung dari umur, melainkan dari siasat yang muda mengalahkan yang tua! Kalau tadi kukatakan bahwa kau telah berdosa kepadaku dan harus dihukum mati, sekarang aku memberi kesempatan kepadamu untuk menebus nyawamu dengan permaianan catur. Kalau kau menang, kesalahanmu menginjak-injak perutku habislah dan aku tidak menghendaki nyawamu!"
Bu Song diam-diam makin penasaran dan mendongkol. "Kalau aku kalah?" tanyanya, menahan hati panas.
"Ha-ha! Tentu saja kau kalah! Kalau kau kalah, berarti kau hutang dua kali kepadaku. Sebelum kubunuh kau harus menyerahkan suling emas dengan suka rela kepadaku!"
Berdebar jantung Bu Song. Kakek ini tidaklah gila, dan tidak bodoh. Kiranya sengaja mencari gara-gara dan mencari perkara karena ingin merampas suling dan untuk itu tidak akan segan-segan membunuhnya. Maklumlah Bu Song bahwa ia menghadapi hal yang amat gawat dan berbahaya dan oleh karena ini seketika ketenangannya timbul. Ia teringat akan nasihat suhunya bahwa dalam menghadapi perkara apapun juga, terutama sekali harus menenangkan hati. Ketenangan akan membuat kita waspada dan hanya dengan ketenangan kita akan dapat menguasai diri dan mengambil tindakan secara tepat. Maka ia lalu mengerahkan tenaga untuk menenangkan hati dan mengusir semua kekhawatiran. Bahkan wajahnya membayangkan senyum ketika ia memandang kakek itu.
"Orang tua, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa seorang perantau miskin seperti aku ini mempunyai sebuah benda dari emas?"
"Ha-ha-ho-ho-ho! Kau datang dari Pulau Pek-coa-to, aku mendengar suara suling di sana. Siapa lagi kalau bukan kepadamu suling itu diberikan oleh Ciu Bun si tua bangka berkepala batu? Ha-ha-ha! Dasar aku yang bodoh, percaya saja Si Kepala Batu telah dibunuh Couw Pa Ong!"
Makin kagetlah hati Bu Song. Kiranya kakek ini tahu pula bahwa ia bertemu dengan Ciu Bun di pulau. Kalau begini, tak dapat dihindarkan lagi. Kakek ini tentu luar biasa saktinya dan bertanding ilmu silat dengan kakek ini, jelas ia takkan menang. Namun bertanding catur, belum tentu! Suhunya sendiri, Kim-mo Taisu yang juga seorang jago catur, sukar mengalahkan dia dan menurut suhunya, ia memiliki bakat yang luar biasa untuk bermain catur.
"Baiklah, kuterima tantanganmu bermain catur, orang tua?" katanya, wajahnya berseri dan matanya bersinar. "Akan tetapi, sebagai seorang kakek yang sudah berusia tua, tidak sepatutnya engkau menipu mentah-mentah seorang muda seperti aku. Biarpun di sini tidak ada orang kecuali kita berdua, setidaknya kau tentu akan malu sikapmu itu diketahui burungmu."
"Apa? Menipumu mentah-mentah? Heh-heh, orang muda, jaga baik-baik lidahmu kalau kau ingin mati dengan lidah utuh nanti!"
"Bu Tek Lojin, orang bertanding apa saja ada taruhannya. Kita akan bertanding catur, jagi kita berdua harus bertaruh pula. Akan tetapi engkau tadi hanya menyuruh aku yang bertaruh, akan tetapi kau sendiri tanpa modal alias bermain tanpa taruhan. Kalau aku kalah, aku harus mati dan memberikan sebuah suling emas kepadamu. Akan tetapi kalau kau yang kalah, harus ada taruhannya pula!"
Mata kakek itu ketap-ketip (berkejap-kejap), agaknya otaknya dikerjakan keras-keras. Akhirnya ia mengangguk-angguk dan berkata, "Omonganmu cengli (menurut aturan) juga! Nah, kalau aku kalah, kau boleh bunuh aku!"
Kembali Bu Song kaget. Jawaban-jawaban kakek ini benar-benar aneh dan mengagetkan karena tidak disangka-sangka. Akan tetapi melihat betapa sepasang mata itu bersinar-sinar dan biji matanya bergerak-gerak seperti tingkah seorang kanak-kanak nakal yang cerdik dan penuh tipu muslihat, mulut yang tersembunyi di balik jenggot itu bergerak-gerak seperti menahan tawa, Bu Song maklum dan berseru,
"Wah, ternyata Bu Tek Lojin tidak hanya pandai ilmunya, akan tetapi pandai pula akal bulusnya. Pantas saja menjadi Bu Tek (Tiada Lawan), kiranya selain mengandalkan kesaktian juga mengandalkan tipu muslihat!"
Kakek itu yang tadinya sudah duduk menghadapi kertas bergambar papan catur, kini meloncat tinggi sehingga burung di pundaknya kaget dan mengembangkan sayapnya menjaga keseimbangan tubuh. Bu Tek Lojin mencak-mencak dan menari dengan kedua kakinya berloncatan, kedua tangannya bergerak seperti orang lari di tempat, mukanya menjadi merah dan matanya bergerak-gerak melotot. "Kurang ajar kau! Tipu muslihat apa yang kaumaksudkan sekarang? Awas, jangan bikin aku marah!"
"Habis, taruhanmu benar-benar tidak adil. Kalau kau kalah main catur, kau bilang aku boleh membunuhmu. Tentu saja ini tidak adil sama sekali. Aku boleh membunuhmu, akan tetapi dalam hatimu kau mentertawakan aku dan bilang mana aku sanggup membunuhmu? Wah, Bu Tek Lojin kakek tua, kau memberikan ekor menyembunyikan kepala! Tidak mau aku diakali begitu. Kalau kau mau memenuhi sayarat taruhanku, boleh kaucoba-coba melawan aku bermain catur kalau kau becus! Akan tetapi kalau tidak mau memenuhi syarat taruhanku, sudahlah, kalau kau orang tua hendak berlaku sewenang-wenang terhadap orang muda dan tidak malu didengar semua orang kang-ouw betapa kakek yang bernama Bu Tek Lojin beraninya hanya menghina orang muda, terserah kau apakan aku, boleh saja!"
Sejenak kakek itu tidak dapat berkata-kata. Ucapan Bu Song itu benar-benar tepat sekali menghantam apa yang tersembunyi di dalam rencana pikirannya sehingga ia menjadi terkesima, seolah-olah menerima serangan tepat di ulu hatinya. Kembali matanya berkedip-kedip memandang kagum lalu berkata, "Wah, kiranya kau bukan bocah sembarang bocah, cukup cerdik! Tentu akan merupakan lawan catur yang ulet! Coba kaukemukakan syaratmu, orang muda."
Sebetulnya Bu Song bukanlah termasuk orang muda yang suka banyak bicara, bukan pula pandai berdebat. Kalau sekarang ia bersikap demikian adalah semata-mata terdorong oleh pengertian yang timbul dari ketenangannya bahwa hanya dengan cara ini sajalah agaknya ia dapat menghadapi kakek ini!
"Begini syarat taruhanku, Bu Tek Lojin. Kalau aku kalah bermain catur denganmu, biarlah takluk dan menyerah kepadamu. Akan tetapi kalau kau yang kalah, kau harus pergi tinggalkan aku dan jangan mengganggu lagi, jangan minta benda emas atau suling segala macam dan jangan membunuh atau melukaiku! Coba pertimbangkan, kalau aku kalah, aku hanya minta engkau pergi dan aku tidak mengganggumu. Sebaliknya kalau aku kalah, aku takluk kepadamu dan menyerah. Bukankah ini berarti aku sudah banyak mengalah kepadamu?"
Kakek itu menggaruk-garuk jenggotnya yang putih dan tebal, mendapatkan seekor semut yang entah bagaimana tahu-tahu tersesat ke tempat itu, dengan gemas memencet semut itu hancur di antara kedua jarinya. Ia mengangguk-angguk. "Kongto, kongto (adil, adil). Mari kita mulai!"
Bu Song menarik napas lega. Setidaknya, bahaya pertama sudah dapat diatasi. Ia dapat menghadapi kakek ini bermain catur dengan tenang. Kalau ia menang nanti, ia bebas. Kalau kalah, ia masih dapat melihat keadaan. Kalau kakek itu tidak membunuhnya, tentu saja hal itu baik sekali. Kalau kakek itu akan memubunuhnya, tentu saja ia tidak akan tinggal diam dan mati konyol!
Permainan catur dimulai. Kakek itu mempersilakan Bu Song menggerakkan biji caturnya lebih dahulu. Bu Song berlaku hati-hati dan membuat gerakan sederhana. Akan tetapi gerakan biji catur kakek itu amat luar biasa, terlalu berani, kasar dan sama sekali tidak mempergunakan teknik bermain catur, membabi buta dan asal makan saja! Sibuk juga Bu Song menghadapi perlawanan kasar dan ceroboh macam ini. Kakek itu bermain seperti tidak mempergunakan otak sehingga sebentar saja Bu Song dipaksa saling makan dan dalam waktu singkat biji-biji catur mereka yang berada di atas papan tinggal sedikit.
Sekarang mulailah kakek itu benar-benar bermain catur. Gerakan-gerakan atau langkah-langkah biji caturnya teratur rapi, mendesak dan memancing penuh tipu muslihat dan ternyata merupakan tingkat permainan catur yang tinggi! Bu Song kaget dan mengertilah ia akan cara bermain lawannya. Ia tetap berlaku hati-hati sebelum menggerakkan biji caturnya. Kening pemuda ini sampai kerut-merut karena pencurahan perhatian yang bulat dan pemerasan otak yang sungguh-sungguh. Kakek itu pun kini tidak main-main lagi. Duduk tekun menghadapi papan catur, tangan kiri menekan tanah, lutut kaki tangan diangkat untuk menumpangkan tangan kanan, matanya tidak pernah berkedip memandang papan catur, bibir yang tersembunyi di balik kumis itu berkemak-kemik seperti orang membaca doa atau menghafal sesuatu. Bahkan burung hantu yang hinggap di atas lengan kanannya juga diam tak bergerak seperti mati.
Pertandingan kini menegangkan sekali. Bu Song menang sebuah biji catur. Biji caturnya tinggal empat, akan tetapi biji catur kakek itu tinggal tiga buah lagi! Kini setiap gerakan dilakukan hati-hati dan setelah memakan waktu pemikiran yang cukup lama. Keadaannya tegang. Biarpun mereka berdua kelihatan tenang-tenang dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, bahkan bergerak pun hanya kalau menjalankan biji catur, namun ketegangannya tidak kalah oleh pertandingan silat. Hal ini adalah karena bagi Bu Song, pertandingan ini sama artinya dengan pertandingan mengadu nyawa!
Dalam keadaan menang kuat satu biji, Bu Song berusaha memancing lawan dengan umpan-umpannya. Ia mengumpankan biji yang kelebihan itu dan apabila lawannya kena dipancing, tentu dalam waktu singkat ia dapat menghabiskan biji catur lawan. Akan tetapi dalam keadaan kalah kuat itu, Bu Tek Lojin ternyata cerdik sekali dan tidak menghiraukan umpan, melainkan main dalam sistim pertahanan yang ulet bukan main.
Bu Song menukar siasat. Karena semua umpan pancingannya tidak berhasil, ia kini mempergunakan kelebihan biji caturnya untuk mendesak dan mengurung, lalu menggiring biji-biji lawan ke sudut sehingga Si Kakek itu tidak bisa mendapatkan jalan keluar lagi kecuali mengadu biji atau saling makan. Dan kalau saling makan, berarti Bu Song akan menang karena ia masih kelebihan sebuah biji catur!
Sampai lama kakek itu memandang ke arah papan di mana tiga buah biji caturnya sudah kehabisan jalan. Keringat besar-besar memenuhi dahinya dan akhirnya ia menarik napas panjang, menggerakkan biji caturnya dan terpaksa makan biji catur lawan. Bu Song tersenyum. Kemenangan sudah pasti berada di tangannya. Dengan gembira ia pun balas memakan, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia hendak mengambil biji catur lawan, biji catur itu lekat pada kertas dan tak dapat diambil kecuali kalau dengan kertasnya. Diam-diam ia mendongkol sekali. Kakek ini mulai curang, pikirnya, atau menggunakan akal bulus. Terpaksa ia lalu mengerahkan sin-kangnya, disalurkan pada jari-jari tangannya dan dapatlah ia kini mengambil biji catur itu dari atas kertas dan tiba-tiba Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak dan melompat berdiri.
"Ha-ha-ha! Hebat kepandaianmu main catur." Dengan girang Bu Song juga bangkit berdiri dan hatinya lega sekali." "Bu Tek Lojin, apakah kau mengaku kalah?"
"Eh, Bu Song. Selain ilmu bermain catur, juga tenaga lwee-kangmu lumayan. Kau murid siapa?"
"Suhu Kim-mo Taisu berkenan memberi sedikit pelajaran kepada saya." "Oh-oh-oh...! Kiranya murid Kim-mo Taisu? Ha-ha-ha, benar-benar tidak kusangka! Orang gila itu punya murid sebaik ini? Berapa tahun kau belajar ilmu silat dari Si Gila itu?"
Tak senang hati Bu Song mendengar suhunya disebut orang gila dan sama sekali tidak dipandang mata oleh kakek ini, padahal ia tahu benar betapa di dunia kang-ouw gurunya adalah seorang tokoh besar yang disegani kawan atau lawan. Akan tetapi ia menjawab juga, "Hanya dua tahun. Dibanding dengan Suhu, saya belum ada sepersepuluhnya!"
Mendadak kakek itu menggerakkan tubuhnya dan alangkah kagetnya Bu Song karena tanpa peringatan apa-apa kakek itu sudah menyerangnya dengan pukulan yang hebat sekali karena mendatangkan angin berciutan. Pukulan tangan kiri kakek dengan jari tangan terbuka itu menusuk ke arah dadanya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Akan tetapi pukulan susulan tangan kanan kakek itu memasuki bagian lambung kiri! Kecepatan serangan susulan ini tidak memungkinkan Bu Song mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis.
"Dukkk!" Tubuh kakek itu tergetar sehingga burung hantu yang hinggap di pundaknya mengeluarkan suara keras lalu terbang ke atas. Akan tetapi tubuh Bu Song terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya! Orang muda itu terhuyung-huyung dan setelah beberapa meter jauhnya barulah ia berhasil mempertahankan diri agar tidak sampai terbanting jatuh. Cepat ia memutar tubuh menghadapi kakek itu, lalu menegur, "Bu Tek Lojin, apakah begitu mudah kau melupakan janji taruhanmu?"
Akan tetapi kakek itu menjawab dengan makian, "Bocah lancang. Berani kau berani gila dan membohongi seorang tua bangka seperti aku?"
Kakek itu tertawa mengejek. "Kaukira aku begitu bodoh? Jangankan belajar kepada Kim-mo Taisu si gila itu, biarpun kau belajar dari aku sendiri, tak mungkin kau seperti sekarang ini!"
"Aku bersumpah bahwa aku tidak membohong!" "Sudahlah! Keluarkan suling emas itu dan kau ajari aku meniup suling!"
Bu Song kaget. Tak disangkanya kakek ini seorang yang sama sekali tidak merasa malu untuk melanggar janjinya. Kalau begini, percuma saja ia tadi mati-matian menggunakan otak untuk memenangkan pertandingan catur!
"Bu Tek Lojin! Benar-benarkah kau tidak malu melanggar janjimu? Kau sudah kalah bermain catur, berarti kau harus memenuhi taruhanmu!"
"Huh! Jangan banyak cerewet! Aku minta pinjam suling dan minta kau mengajar tiupan suling, sama sekali tidak pernah kujanjikan. Hayo cepat keluarkan suling emas itu, jangan kaubikin marah orang tua seperti aku!"
Bu Song maklum bahwa kakek ini hanya menggunakan ucapan tipuan, akan tetapi sesungguhnya ingin merampas suling berikut rahasianya. Akhirnya ia toh harus melawan dengan kekerasan juga. Maka ia berdiri tegak, menggeleng kepala dan menjawab,
"Bu Tek Lojin! Suling adalah alat musik untuk menenangkan hati dan pikiran, dan menjadi pegangan seorang yang suka akan kesenian dan kesusasteraan. Aku sudah berjanji takkan memberikan benda ini kepada siapapun juga. Harap kau jangan memaksa."
Kakek itu berjingkrak-jingkrak saking marahnya. "Bocah sial! Semua tokoh kang-ouw tidak ada seorang pun berani membantah perintahku! Apa kau sudah bosan hidup? Serang dia!" Ia membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah Bu Song. Agaknya ini merupakan perintah bagi burung hantu yang terbang berputaran di atas karena tiba-tiba burung itu mengeluarkan pekik menyeramkan lalu seperti sebuah peluru kendali burung itu meluncur ke arah muka Bu Song, menyerang dengan paruh dan kedua cakarnya ditambah kedua sayapnya yang menampar!
Bu Song sudah siap siaga. Sungguhpun ia tidak mengira bahwa binatang itu yang akan mewakili Si Kakek menyerangnya, namun karena ia sudah siap, dengan mudah saja ia berhasil mengelak dengan merendahkan dirinya. Burung itu menyambar lewat di atas kepalanya, akan tetapi luar biasa sekali burung ini karena begitu sambarannya luput, secara tiba-tiba ia dapat menghentikan luncuran tubuhnya dan dengan gerakan sayap ia sudah membalik, lalu menerjang lagi mengarah sepasang mata Bu Song! Cepat dan tak terduga-duga gerakan ini sehingga biarpun Bu Song sekali lagi mengelak, burung itu masih berhasil menggores pipi kanan Bu Song dengan cakarnya! Luka di pipi itu tidak berbahaya, hanya luka kulit, namun mengeluarkan darah menetes-netes!
Bu Tek Lojin tertawa terkekeh-kekeh dan bertepuk-tepuk tangan. Mendengar ini, bangkit kemarahan di hati Bu Song. Ia mulai panas. Apalagi burung itu kini sudah menyambar pula dari depan. Tadi Bu Song sampai terkena cakaran karena ia kurang hati-hati dan sama sekali tidak menduga bahwa binatang itu dapat bergerak secepat itu, atau ada juga sedikit sikap memandang rendah. Burung hantu itu hanya seekor burung sebesar ayam, tentu saja ia tadinya memandang rendah. Siapa kira, burung itu ternyata bukanlah burung biasa dan memiliki gerakan cepat dan berbahaya! Bahkan gerak-geriknya seperti seorang ahli silat yang terlatih baik, kini dengan gerakan ekor dan sayapnya, burung itu sudah membalik lagi dan menerjang Bu Song, seperti tadi menyerang muka, paruhnya menusuk di antara kedua mata, sayapnya menghantam kanan kiri kepala bagian pelipis, kedua cakarnya mencengkeram ke arah tenggorokan! Serangan hebat yang boleh dikatakan serangan maut!
Namun Bu Song selain marah juga sudah siap dan waspada. Kini ia tidak mau mengelak, melainkan mengulur tangan kanan ke depan menyambut burung itu dengan cengkeraman dari samping. Cengkeraman tangan Bu Song ini hebat karena mengandung pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Kalau burung itu kena dicengkeram oleh jari-jari tangan kanan Bu Song, pasti akan hancur! Burung itu ternyata hebat. Paruhnya mengeluarkan teriakan keras, agaknya ia kaget menghadapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu dan secara luar biasa tubuhnya membalik ke atas dan... cengkeraman tangan Bu Song luput! Bahkan susulan hantaman tangan kiri Bu Song yang dilancarkan menyusul cengkeramannya juga tidak dapat menyusul kecepatan gerakan burung itu dan hanya menyerempet ekornya sehingga tiga helai bulu ekor burung itu rontok!
Si burung hantu agaknya menjadi marah sekali. Dari atas ia menyambar turun dengan kecepatan roket, menerjang kepala Bu Song. Kagetlah orang muda ini, cepat ia miringkan tubuh menggerakkan kepala, namun pita rambutnya masih terkena cengkeraman dan terlepaslah rambutnya! Bu Song tidak diberi kesempatan karena lagi-lagi burung itu sudah menerjangnya sambil mengeluarkan pekik menyeramkan. Benar-benar seekor burung luar biasa, pikir Bu Song. Kali ini Bu Song mengangkat lengan kanan melindungi kepala, akan tetapi ia sengaja tidak balas menyerang, melainkan memberikan lengannya sebagai umpan dan penutup kepala. Agaknya burung itu yang juga penasaran tak pernah dapat mengenai kepala lawan, kini hendak melampiaskan kemarahannya kepada lengan itu. Ia mencengkeram, mematuk dan manampar lengan kanan Bu Song. Namun, begitu kedua cakarnya mencengkeram lengan kanan Bu Song yang kulitnya keras licin karena penuh hawa sakti sehingga kuku-kuku burung tajam meruncing itu hanya merobek baju, tangan kiri Bu Song bergerak menghantam, tepat mengenai punggung burung itu.
"Bukkk!" Burung itu mengeluarkan pekik keras lalu tubuhnya mencelat, kedua sayapnya berusaha terbang namun sia-sia, ia jatuh lagi seperti sebuah batu, berdebuk di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi karena tulang-tulang punggungnya remuk dagingnya hancur. Dari paruhnya keluar darah.
"Wah, berani kau membunuh burungku yang kupelihara puluhan tahun?" bentak Bu Tek Lojin marah.
"Aku hanya membela diri," bantah Bu Song. "Burungmu yang menyerang dan hendak membunuhku!" Bu Song membereskan rambutnya yang terlepas awut-awutan, mengikat kembali dengan sutera pengikat rambut yang tadi terlepas dan jatuh ke tanah.
Kakek itu menarik napas panjang. "Nah, kaukeluarkan suling emas itu cepat-cepat!" Bu Song mendongkol sekali. "Kalau saya tidak mau menuruti permintaanmu, bagaimana Bu Tek Lojin?"
"Mau atau tidak masa bodoh, pokoknya kau harus keluarkan suling emas itu!" jawaban ini disusul tangan kakek itu yang diulur ke depan mencengkeram dada Bu Song.
Dari tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat sehingga belum juga tangan kakek itu mendekati dada, Bu Song sudah merasa betapa dadanya tergetar hebat. Cepat ia terus saja maju hendak mencengkeram pundaknya, ia mengerahkan tenaga dan melawan mati-matian. Dengan gerakan yang gesit ia berhasil mengelak, lalu dari samping ia membalas dengan pukulan tangan kiri. Biarpun baru belajar dua tahun lebih, akan tetapi karena memang dasar-dasar ilmu silat tinggi sudah ada padanya, maka Bu Song sudah berhasil mewarisi ilmu-ilmu simpanan Kim-mo Taisu, yaitu ilmu silat tangan kosong Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti), Cap-jit-seng-kun (Ilmu Silat Tujuh Belas Bintang), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan). Empat ilmu ini adalah ilmu silat pilihan, tingkatnya tinggi dan hanya dapat dimainkan oleh orang yang memiliki sin-kang sempurna karena setiap gerakan selalu harus disertai pengerahan tenaga lwee-kang. Oleh karena ini maka pukulannya ke arah dada kakek itu pun bukan pukulan biasa, dan sebelum tiba di tubuh orang sudah didahului angin pukulan yang dahsyat pula.
Namun kakek itu amat luar biasa gerakannya. Hanya dengan kepretan jari tangan saja ia berhasil menghalau serangan balasan Bu Song, kemudian dengan gerak ilmu silat aneh sekali ia mulai mendesak Bu Song. Pemuda ini yang maklum akan kesaktian lawan, melawan sekuat tenaga, namun ia kalah cepat sehingga untuk tiga kali serangan lawan ia hanya dapat membalas satu kali saja!
"Wah, kau bohong...! Kau bohong...!" kakek itu menyerang, mendesak sambil memaki-maki. Bu Song diam saja. Bagaimana ia dapat menjawab kalau seluruh perhatiannya harus ia curahkan untuk menjaga diri agar jangan sampai terkena pukulan lawan yang lihai ini?
"Masa belajar dua tahun sudah memiliki kepandaian seperti ini? Kau bohong atau... memang kau seorang manusia luar biasa!" Sambil bicara kakek pendek itu melakukan gerakan yang amat aneh dan cepat sehingga tanpa dapat dicegah lagi dalam serangkaian serangan yang susul menyusul, lutut Bu Song terkena ciuman ujung kaki telanjang itu hingga pemuda ini terguling!
Tentu saja Bu Song terkejut sekali. Dengan gerakan lincah, begitu tubuhnya mencium tanah, ia menggerakkan kaki tangannya menekan dan sekaligus tubuhnya sudah mencelat ke atas dan berdiri kembali. Malah kini ia mengeluarkan suling emas dari balik bajunya dan serta merta Bu Song menyerang dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat! Ia tidak berpedang, maka suling itu dapat ia pergunakan sebagai pedang. Hebat sekali gerakan Pat-sian Kiam-hoat ini dan ternyata suling itu juga merupakan benda mujijat karena sekali berkelebat telah membentuk segulung cahaya kekuningan yang menyilaukan mata, bahkan mengeluarkan bunyi melengking aneh karena dalam gerakan itu lubangnya kemasukan angin seperti ditiup!
"Aih...!" Bu Tek Lojin mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya ia lempar ke belakang, terus ia bergulingan di atas tanah menjauh. Setelah melompat berdiri, ia memandang kaget dan kagum. "Wah, hebat ilmu pedangmu, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu. Akan tetapi dua tahun... ah, tak mungkin! Dan suling emas itu.... hebat pula!"
Akan tetapi sambil bicara, kakek itu sudah menerjang maju lagi, dengan gerakan aneh dan cepat, tubuhnya miring-miring kemudian menerjang Bu Song dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin menderu. Bu Song yang sudah bertekad bulat tidak hendak menyerahkan sulingnya mentah-mentah dan hendak melawan sekuat tenaga, menyambut bayangan kakek yang berkelebatan itu dengan gerakan sulingnya. Ia tetap mainkan Pat-sian Kiam-hoat bahkan kini tangan kirinya ia gerakkan dengan ilmu Lo-hai San-hoat. Biarpun ilmu silat ini adalah ilmu silat yang khusus diciptakan Kim-mo Taisu untuk mainkan senjata kipas, akan tetapi dapat juga dimainkan dengan tangan kosong. Gerakan kipas menampar dengan jari-jari dikembangkan, adapun totokan ujung gagang kipas dapat diubah menjadi totokan jari tangan.
Kembali Bu Tek Lojin memuji-muji. Kakek yang tak pernah mau kalah dan merasa bahwa dialah orang nomor satu di dunia ini, tidak memuji kosong belaka. Dalam hatinya ia benar-benar memuji. Baru sekali ini selama hidupnya ia bertemu dengan seorang muda yang begini hebat kepandaiannya, apalagi kalau diingat bahwa orang muda ini hanya belajar silat selama dua tahun! Dia sendiri merasa tidak sanggup mendidik murid yang bagaimana berbakat pun selama dua tahun menjadi sehebat ini!
Pertandingan kini berlangsung lebih hebat daripada tadi. Memang Bu Song seorang luar biasa. Dia memang kurang latihan kalau dibandingkan dengan lawannya. Akan tetapi gerakan-gerakannya sudah hampir sempurna, apalagi suling emas di tangannya itu ternyata cocok sekali dipakai mainkan Pat-sian Kiam-hoat. Tubuhnya tidak nampak lagi, lenyap saking cepatnya gerakan kaki tangan dan terselimut gulungan sinar kuning menyilaukan mata dari suling itu. Gulungan sinar ini memanjang dan membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga emas bermain-main, sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi angin berciutan.
Namun, lawannya adalah seorang sakti dan luar biasa. Memiliki sin-kang yang jauh melampaui manusia biasa sehingga Bu Song selalu masih terdesak. Ketika tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan kakek itu, Bu Tek Lojin tertawa dan meloncat ke atas, membiarkan jari-jari tangan Bu Song bertemu dengan pundaknya.
"Plakkk!" Bu Song kaget sekali, tangannya serasa hancur dan panas. Selagi ia hendak melompat ke belakang, kakek itu sudah menyambar ke depan, tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah matanya sedangkan tangan kiri merampas suling! Bu Song terkejut melihat tangan yang menyambar ke arah mata. Lengan sedikit saja tentu matanya akan menjadi buta atau setidaknya mukanya akan terluka dan bercacad. Terpaksa ia mengelak dan karena perhatiannya tercurah sepenuhnya menghadapi bahaya mengerikan ini, ia tidak dapat mencegah lagi sulingnya terampas. Ia hanya merasa betapa tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan menjadi seperti lumpuh, kemudian sulingnya terlepas dari genggamannya. Dengan nekat ia melancarkan tendangannya mengenai pantat kurus Si Kakek tua yang sudah membalikkan tubuh setelah berhasil merampas suling, dan... tubuh kakek itu terlempar ke atas tinggi sekali dan tidak turun lagi!
Pesan Kim-mo Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah menuruni bukit di lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara itu, di Lam-hai (Laut Selatan). Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara. Suhunya telah memberi tahu bahwa Pulau Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga dari timur, yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan tetapi agak panjang dan bentuknya berliku seperti tubuh ular. Juga dibandingkan dengan pulau lain, pulau ini tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka inilah agaknya pulau ini disebut Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Demikian pikir Bu Song. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya seperti ular putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di atas pulau itu memang terdapat semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat di tempat lain, ular yang amat berbisa!
Selagi Bu Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu, tiba-tiba hatinya girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan ini hendak berlayar mencari ikan. Bu Song segera berlari menghampiri lalu berkata, "Twako, apakah kau hendak berlayar?"
Nelayan itu kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang maka heranlah ia melihat seorang pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya agak asing, dengan lidah orang utara.
"Betul. Seperti biasa saya hendak mencari ikan," jawab nelayan itu sambil memasang tali layar dan bersiap-siap.
"Kebetulan sekali, Twako. Kautolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya pulang pergi?"
Nelayan itu tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu Song. Berkali-kali ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya bergantian lalu bertanya, "Kongcu, pulau yang mana...?"
"Itu yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to..."
"Wah...!" Tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata terbelalak. Bu Song merasa tidak enak hatinya. "Twako, kenapa?"
Dengan suara tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya, "Kongcu... mau apakah... pergi ke... pulau itu...?" Sungguh aneh, muka yang menghitam karena sering dipanggang terik matahari itu kelihatan ketekutan ketika memandang Bu Song.
"Ah, aku hanya ingin pesiar, Twako."
Orang itu menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini bukan sengaja hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka ingin pesiar ke tempat itu.
"Kongcu salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih pulau... maut... itu?"
"Pulau maut? Apa maksudmu, Twako?" "Ah, Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali. Karena keangkeran pulau itulah maka tempat ini sekarang menjadi sepi. Para nelayan merasa takut mencari ikan di muara ini, karena adanya pulau itulah. Jangankan mendarat, mendekati pulau itu saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa!"
"Mengapa begitu?" "Entahlah. Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar biasa, berbisa dan buas. Selain itu, agaknya juga... iblis dan siluman menjadi penghuninya. Sudahlah, Kongcu, membicarakannya saja merupakan pantangan di sini. Saya seorang pelayan yang terpaksa mencari ikan di sini, karena satu-satunya sumber nafkah saya adalah pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu benar-benar salah pilih kalau hendak bersenang-senang dan berpesiar di daerah ini."
"Tidak salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. jangan kau kuatir, aku dapat menjaga diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau suka mengantarku ke sana." Bu Song sengaja mengeluarkan lima potong perak yang ia dapat dari suhunya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung uang perak dan beberapa potong uang emas.
Melihat lima potong perak ini, Si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak itu! mencari ikan sebulan belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan tetapi ia memandang Bu Song dan berkata lagi, "Bukan saya tidak mau menyeberangkan ke sana, Kongcu. Akan tetapi aku takut." "Tidak usah takut, aku menjamin keselamatanmu."
"Kongcu kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat daripada Kongcu tewas secara aneh di dekat pulau itu..."
"Kau tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku ke pulau itu dan kau boleh berlayar mencari ikan. Nanti menjelang senja, kau jemput aku. Bagaimana?"
Si Nelayan ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia memperlihatkan kepandaiannya agar nelayan ini hilang rasa takutnya. Ia menghampiri sebuah batu karang besar dan berkata, "Twako, apakah penghuni pulau itu kepalanya lebih kuat daripada batu karang ini?" Ia menggerakkan tangan kanannya menampar. Terdengar suara keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah berantakan!
Si Nelayan melongo dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kongcu adalah seorang demikian kuat. Baiklah, akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya hanya mengantar dan menjemput, tidak ikut mendarat di sana."
"Jangan kuatir, asal perahumu sudah dekat dengan daratan pulau itu, tidak perlu terlalu dekat dan kau boleh tinggalkan aku untuk dijemput senja nanti."
Nelayan itu menyeret perahunya dan tak lama kemudian, setelah dapat melalui ombak yang memecah di pantai, lajulah perahu itu membawa Bu Song dan Si Nelayan berlayar ke tengah laut. Berdebar jantung Bu Song. Ia sama sekali tidak tahu akan keadaan pulau itu. Mendiang Ciu Gwan Liong hanya menceritakan bahwa kakak sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di pulau kosong yang bernama Pek-coa-to ini. Kenapa sekarang Si Nelayan menceritakan hal yang aneh-enah dan seram! Kalau memang pulau itu sedemikian hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun sastrawan tua itu dapat hidup di sana? Bu Song tidak menjadi gentar, malah keanehan perkara ini makin menarik hatinya untuk segera mendarat di pulau itu, membuktikan omongan Si Nelayan dan pesan mendiang Ciu Gwan Liong.
Dengan perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat laju, sebentar saja mereka sudah tiba di dekat pulau itu. kiranya yang membuat pulau itu tampak putih dari jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang besar yang mengandung kapur. Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak kelihatan ada bahaya mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh Si Nelayan menggigil ketakutan. Maka Bu Song lalu meloncat ke darat. "Kau pergilah mencari ikan, Twako. Nanti sore jemput aku di tempat ini!" Si Nelayan hanya mengangguk-angguk dan cepat-cepat memutar perahunya untuk menjauhi tempat yang ditakuti ini.
Bu Song tersenyum ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau Nelayan itu agaknya menjadi korban kepercayaan tahyul maka ketakutan seperti itu. Pulau ini agaknya sunyi dan tenteram, sama sekali tidak ada bahaya mengancam kecuali keadaannya yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia. Ia melompat ke atas batu karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan pemeriksaan dari atas tentang keadaan pulau itu. Setelah tiba di puncaknya, ia memandang ke bawah. Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup subur, banyak pohon-pohon yang merupakan hutan. Akan tetapi sekeliling pulau itu adalah pantai batu karang sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang putih. Beberapa menit lamanya Bu Song mengintai dari atas, akan tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Ke mana ia harus mencari Ciu Bun? Benarkah kakek sastrawan itu berada di situ? Pulau ini hanya kecil saja. Ia tentu dapat menjelajahi sampai habis dan kembali ke tempat ia mendarat sebelum senja.
Bu Song turun dari batu karang itu dan berloncatan dari batu ke batu menuju ke tengah pulau. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan sinar putih menyambar lehernya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Sinar itu lewat dan ketika ia menengok ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga ia tidak tahu senjata rahasia apakah yang menyambarnya tadi. Jantungnya berdebar. Kiranya benar ada orangnya dan agaknya orang itu berwatak keji karena buktinya tanpa tahu-tahu sudah menyerang dengan senjata rahasia! Ia memandang ke kanan dari mana senjata rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah kananya hanya tampak batu karang dan tidak ada tanda-tanda manusia di situ. Ia kaget sekali. Tadi ia diserang lagi dan kini bahkan serangan itu datang dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri. Juga menggunakan senjata rahasia seperti tadi, putih kecil yang menyerang leher, perut dan kaki. Untung ia dapat bergerak cepat dan loncatannya tadi menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya. Agaknya sedikitnya ada tiga orang manusia yang memusuhinya.
"Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang dengan maksud baik, bukan untuk bermusuhan dengan siapa juga."
Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda putih. Bu Song penasaran dan ingin memperlihatkan kepandaiannya. Dengan dua jari tangan ia menyambar benda putih itu dan berhasil menjepitnya. Akan tetapi hampir saja ia berteriak saking kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor ular putih yang kini terjepit di antara dua jarinya akan tetapi ular itu telah menggigit telapak tangannya! Bu Song gemas dan sekali remas kepala ular itu hancur. Telapak tangannya mengeluarkan darah sedikit, Bu Song tidak kuatir. Tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko, maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia berhasil mendorong keluar darahnya melalui luka. Darahnya berubah putih yang keluar dari luka, tanda keracunan! Akan tetapi hanya sedikit dan setelah yang mengucur keluar adalah darah merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia diam-diam merasa geli. Kiranya ia tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil "terbang" atau lebih tepat, meluncur dan melayang. Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan dia yang digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song mengapa Si Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan ia pun menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan hati-hati ia berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan dengan mengelak atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang ahli meniup suling, akan tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan di mana terdapat bukit-bukit dengan batu-batu hitam. Girang sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya! Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu. kini ia tiba di daerah penuh pasir. Dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu bergerak memutar!
Begitu jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan. Mukanya pucat melihat pasir itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi. Benar-benar tempat yang amat berbahaya.
Kini ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan demikian terhindarlah ia dari bahaya itu dan akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana suara suling kini terdengar jelas.
Suara suling itu keluar dari sebuah gua. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan menghampiri. Gua itu merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia berada di tempat orang, Bu Song tidak berani masuk dan hanya berdiri di depan gua, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling berhenti dan Bu Song segera berseru.
"Apakah Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.
"Saya datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"
Segera terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan, "Sin-jiu Couw Pa Ong, apa artinya semua lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan Liong?"
Bu Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong? "Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu Song!" teriaknya. Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia masih merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan menikah lagi.
"Orang muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?" Agaknya orang di dalam gua yang gelap itu dapat melihatnya yang berada di luar gua, buktinya dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.
"Sama sekali bukan, Paman."
"Kau membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"
"Sebelum Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."
"Aaahhh...!" Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang muda, coba kaubacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"
Bu Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca pun ia sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.
"Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu."
Kitab kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar dimengerti. Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang tokoh Mohism, yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang saling bertentangan atau saling berlawanan.
Begitu mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam gua berseru girang, "Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai di sini tentu memiliki kepandaian, siapakah Gurumu?"
"Suhu bernama Kim-mo Taisu." "Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat buas!"
Bu Song melangkah masuk. Karena orang di dalam gua sudah memberi peringatan, ia bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya siap. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya mencium bau yang amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki gua itu sehingga ia dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang merayap itu adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa! Kulitnya tebal, matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang seperti lidah ular dan dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis. Suara mendesis makin hebat dan ternyata bukan seekor saja binatang itu, melainkan ada empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.
Bu Song berdiri memasang kuda-kuda dan begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari terbuka.
"Desss!!" Binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung. Lega hati Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan daripada membahayakan. Ia tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di balik batu karang yang gelap di kanan kiri gua.
"Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!" Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap. Ketika tiba di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua tinggi kurus bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi ketika ia berjalan keluar, langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan.
Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song. "Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat, jangan samapi ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar dari dalam gua.
"Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"
Kakek itu berhenti di depan gua dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan membayangkan kecurigaan.
"Kau mengenal dia?"
"Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."
Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang. "Apa... ? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song, kauceritakan semua kepadaku!"
Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari gua. Di situ Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan suhunya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.
Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas, "Tua bangka itu benar-benar telah menyeleweng jauh daripada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?"
"Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya." Kembali Bu Song bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.
Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya. "Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan dikutuk!"
Hening sejenak, kemudian Ciu Bun berkata, "Nah, kau ambil kitab itu, kau baca sajaknya dan aku akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu, setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya, dan suara suling ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi sajak. Kami yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah sastrawan-sastrawan yang mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda berharga ini bagi kami semata-mata hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni sastera diselaraskan dengan seni suara. Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan suara suling ini sudah dapat diselaraskan seperti mestinya, maka akan mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin menjernihkan pikiran dan menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke tingkat batin yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu, aku yakin bahwa dua benda ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia persilatan, karena buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan mengejar-ngejar kami. Nah, kaubacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali dengan suling ini!"
Bu Song mendengar penjelasan itu merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu menyesuaikan bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu Bun sudah meniup sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh lagi bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya yang membaca huruf-huruf secara lambat.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu. "Ngieeehhh... ngieeehhh!"
Seketika Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini, Bu Song juga menghentikan bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di depan gua tadi kini tampak sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua orang laki-laki aneh sekali karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan laki-laki yang dibelakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara "ngieeeeh-ngieeeeh" tadi. Dua orang laki-laki ini benar-benar luar biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka terbungkus kulit berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana sebatas lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk mulutnya besar dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana seperti pertama.
"Kiu-ji dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!"
Muka kedua orang gundul itu menjadi ketakutan, Si Gendut lalu menggerak-gerakkan seekor kuda agar kudanya berlari cepat. "Tidak... tidak... tidak...!" Mereka berkata ketakutan.
Benar-benar pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keinginan hatinya. "Paman, siapakah mereka tadi?"
"Mereka itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari binatang-binatang berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."
"Jadi Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
Ciu Bun mengangguk. "Tentu saja tinggal di sini! dengarlah. Couw Pa Ong adalah sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu menjabat kedudukan guru sastera di kota raja! Atas ajakannyalah aku tiggal di sini untuk menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini. Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular kepadanya. Sikapnya mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia suling dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan tetapi setelah kutahu bahwa pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu menghibur diri. Ia penasaran lalu memasukkan aku ke dalam gua itu, dijaga oleh binatang-binatang liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki gua hanyalah dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap adikku untuk memaksa kami kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali adikku bertemu dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah dapat menangkap contohku tadi?"
"Sudah, Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena hal ini memang amat sukar dimengerti." "Memang. Sekarang biarlah kau belajar meniup suling..." "Paman, saya sudah biasa bersuling dan mendapat petunjuk Suhu..."
"Bagus! Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang kubaca!"
Mereka bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan suling anak muda ini. Memang ia berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran perasaannya. Pula, karena Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi sulingnya, mengarah bunyi huruf dan ketika meniup suling, seluruh perhatiannya dicurahkan kepada makna dari huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan merayu-rayu.
"ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Demikianlah bunyi sajak terakhir itu dan sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru,
"Ya Tuhan....!!" Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia terkejut melihat wajah kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biarpun wajah itu amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila, kedua tangan memegang kitab, lalu bibirnya bergerak.
"Dapat sudah sekarang... ya Tuhan, dapat sudah..." Bu Song tidak mengerti, lalu bertanya hormat, "Paman, apakah yang Paman maksudkan?"
"Bu Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" Tiba-tiba kakek itu bertanya, suaranya biasa kembali. "Sudah, Paman." "Kalau begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kaubawalah suling itu pergi dari sini. cepat! Kau sudah tahu akan rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song."
Bu Song mendekati. "Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah Paman ikut pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?"
"Tertawan? Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau pergi cepat jangan sampai dia datang mendapatkan kau di sini."
"Tapi, Paman..." "Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda. Pergilah!" Kakek itu berkata dengan suara tegas sehingga Bu Song tidak berani membantah lagi. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara itu seperti berteriak girang.
"Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Ketika Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru sambil mengerahkan khikang di dadanya, "Kak nelayan...! Kemarilah...!!"
Layar itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama Si Nelayan yang berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi Si Nelayan memandang ke arah pulau dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat lagi mengemudi perahu. Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu membawa sebuah batu karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu!"
Dua batu karang itu besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!
"Cepat jalankan perahu ke tengah!" Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong sambil mengerahkan sin-kangnya.
"Byurrr...!" Dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena papan atas perahu yang diinjaknya jebol! Selain itu, dua batu karang yang terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya miring dan hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.
"Kongcu.... Mereka itu tadi.... Siluman.... Atau ibliskah.....?" Bu Song tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka akan tewas, mengingat betapa selain di pulau itu terdapat banyak binatang buas dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila dan kejam.
"Agaknya mereka itu iblis pulau. Aka tetapi untung kita dapat melarikan diri!" jawab Bu Song. Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke daratan yang aman.
Bu Song menyimpan sulingnya diselipkan di ikat pinggang dan tertutup baju. Ia maklum bahwa suling itu tentu akan menimbulkan perkara kalau sampai terlihat orang jahat. Orang-orang kang-ouw mencarinya tentu mengharapkan hikmatnya, sedangkan orang-orang jahat tentu juga menginginkannya karena harganya. Suling ini terbuat dari emas yang tentu saja mahal harganya.
Setelah tiba di darat, Bu Song menambah hadiah sepotong perak kepada nelayan itu yang menjadi girang sekali karena hari itu ia benar-benar mendapatkan rejeki besar. Kemudian Bu Song meninggalkan pantai dan melakukan perjalanan cepat ke utara. Ia harus mencari suhunya dan menceritakan semua pengalamannya di Pulau Pek-coa-to.
Makin ke utara, makin ramailah ia mendengar orang bicara tentang perubahan besar di kerajaan. Ia mendengar bahwa seorang panglima besar yang gagah perkasa telah mengambil alih kekuasaan dan medirikan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Sung! Juga mendengar bahwa kaisar baru ini amat murah hati, tidak akan menghukum siapapun juga asal tidak mengadakan perlawanan. Karena berita inilah maka di kota-kota kecil tidak timbul keributan, dan para pembesar melakukan tugasnya seperti biasa sambil menanti perkembangan lebih lanjut. Pada waktu itu, Bu Song berusia dua puluh tiga tahun.
Maklum bahwa suhunya tentu memperhatikan perubahan di kota raja, ia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja mencari suhunya
Kita tinggalkan dulu Bu Song yang melakukan perjalanan menuju ke kota raja, dan mari kita menengok keadaan Suma Ceng, gadis bangsawan yang tak dapat menahan gelora cinta kasihnya sehingga mengadakan hubungan rahasia dengan Bu Song, pegawai ayahnya itu.
Melihat betapa puterinya telah mencemarkan nama keluarga, Pangeran Suma Kong marah bukan main. "Anak macam itu hanya akan menyeret nama orang tuanya ke dalam lumpur kehinaan!" Ia memaki setelah menerima laporan puteranya. "Lebih baik mati daripada dibiarkan hidup! Boan-ji (Anak Boan), enyahkan saja dia dari muka bumi!"
Suma Boan terkejut. Ia juga merasa tak senang dan marah melihat adiknya melakukan perhubungan gelap dengan Bu Song. Akan tetapi betapapun juga Suma Boan menyayang adiknya. Ia tidak mempunyai saudara lain kecuali Suma Ceng. Bagaimana ia tega membunuhnya? Diam-daim ia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa Bu Song sampai dapat lolos dari tangannya.
"Ayah, harap ampunkan Ceng-moi. Betapapun juga, yang salah besar dan jahat adalah Bu Song. Ceng-moi seorang yang masih muda, tentu saja mudah di bujuk dan dipikat. Ayah, karena hal itu telah terjadi, maka sebaiknya kita mencari jalan keluar."
"Jalan keluar satu-satunya hanyalah menyuruhnya minum racun agar habis riwayatnya dan tidak mengotori nama keluarga kita!" bentak Pangeran Suma Kong marah.
"Bukan begitu, Ayah. Yang kumaksudkan adalah jalan keluar yang baik dan terhormat. Betapapun juga, Ceng-moi adalah adikku, mana aku tega kepadanya? Ayah, sahabatku Pangeran Kiang pernah melihat Ceng-moi dan pernah dalam keadaan mabok ia memuji-muji Ceng-moi di depanku. Ayah, aku dapat atur agar Ceng-moi segera dijodohkan dengan dia! Selain sahabat baik, dia pun belajar silat kepadaku, dan dalam segala hal, dia selalu menurut kepadaku."
Berseri sedikit wajah Suma Kong yang tadinya keruh. Pangeran Kiang yang dimaksudkan puteranya itu memang betul bukan seorang yang cukup "berharga" untuk menjadi mantunya. Seorang pangeran miskin, sudah tiada ayah lagi, hanya mengandalkan Jenderal Cao Kuang Yin yang menjadi pamannya. Akan tetapi betapapun juga orang muda itu masih seorang pangeran! Tidak buruk!
"Sesukamulah. Akan tetapi atur supaya cepat-cepat menikah, dalam bulan ini juga. Siapa tahu..." Suma Kong mengigit bibir dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku mengerti, Ayah." Demikianlah, dengan perataraan Suma Boan, urusan perjodohan itu dibicarakan. Pangeran Kiang adalah seorang pangeran muda yang tidak punya ayah lagi, menganggur, hidupnya hanya bersenang-senang, menjadi sahabat, murid, juga "antek" Suma Boan. Mendengar usul dan bujukan Suma Boan, serta merta ia menyatakan setuju dengan hati girang. Ibunya miskin, pamannya yaitu adik ibunya, Jenderal Cao Kuang Yin yang terkenal, adalah seorang pembesar bu (militer) yang jujur dan setia sehingga hidupnya sederhana dan tidak kaya raya, sehingga bantuan dari paman ini pun hanya sekadarnya.
Kalau disatu pihak Pangeran Kiang Ti girang bukan main atas usul Suma Boan, karena dia sendiri sampai mati pun tidak berani lancang melamar puteri Pangeran Suma Kong yang kaya raya itu, adalah di lain pihak Suma Ceng mendengarkan berita yang disampaikan kakaknya itu, dengan banjir air mata.
"Koko... ah, mengapa begini...?" ratap tangisnya. "Dimana... Kanda Bu Song...? Kau apakan dia...?
Suma Boan marah sekali kepada adiknya, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang kakak membuatnya kasihan juga. ia mendongkol bahwa dalam keadaan seperti itu adiknya masih saja memikirkan Bu Song!
"Ceng Ceng! Kau ini puteri seorang bangsawan agung! Puteri seorang pangeran besar! Pergunakanlah pikiranmu dan akal sehat. Mengapa kau merendahkan diri sedemikian rupa? Apakah kau hendak menyeret nama baik ayah dan keluarga ke dalam lumpur?"
"Aku... aku... cinta padanya, Koko..."
"Setan! Sudah, jangan sebut-sebut lagi namanya. Bu Song sudah mampus!"
Ceng Ceng menangis tersedu-sedu. "Kaubunuh dia...! Ah, kaubunuh dia, Koko... kenapa kau tidak bunuh aku sekali...!"
"Goblok? Kalau tidak ada kakakmu ini yang berjuang mati-matian, apa kaukira sekarang kau masih hidup? Ayah lebih senang melihat kau mati daripada kau bermain gila dengan seorang macam Bu Song."
"Ohhh..., Ayah...!" Suma Ceng makin sedih mendengar hal ini.
"Dengar, Ceng-moi. Mengadakan hubungan gelap, apalagi dengan seorang yang kedudukannya rendah, hukumannya hanya mati bagi seorang gadis bangsawan. Akan tetapi aku berhasil meredakan kemarahan Ayah dan mengusulkan agar kau dijodohkan dengan Pangeran Kian Ti."
"Aku tidak mau... tidak sudi...!" "Plak!" Suma Boan menampar pipi adiknya sehingga Suma Ceng hampir terpelanting jatuh.
"Auuhhh!" Suma Ceng berdiri, memegangi pipinya dan memandang dengan mata terbelalak kepada kakaknya. Biasanya, kakak kandungnya ini amat mencintanya, tidak pernah memukulnya. Maka ia menjadi kaget dan heran, lupa akan kesedihannya dan memandang dengan mata terbelalak.
"Ceng-moi, kau tahu apa artinya kalau perbuatanmu yang tak tahu malu ini diketahui orang luar? Cemar yang menimpa keluarga kita berarti menodai nama keluarga raja! Dan akibatnya, tidak hanya kau yang menerima hukuman, juga Ayah dan kita sekeluarga! Mungkin Ayah akan dihentikan, dipecat, dan dibuang! Nah, inginkah kau melihat hal itu terjadi?"
Suma Ceng menundukkan kepala, terisak-isak dan menggeleng-gelengkan kepala. Suma Boan mendekati dan mengelus rambut adiknya. "Kau tahu aku sayang kepadamu dan aku melakukan ini untuk kebaikanmu pula. Kiang Ti adalah seorang pemuda yang baik, dia keturunan pangeran setingkat dengan ayah. Tentang dia miskin bukanlah hal yang perlu dipikirkan. Bukankah Ayah keadaannya cukup? Nah, adikku yang manis, kau harus menurut demi kebaikanmu dan kebaikan keluarga kita."
Suma Ceng menubruk dan menyembunyikan muka di dada kakaknya sambil menangis tersedu-sedu. Suma Boan mengelus rambut adiknya dan tersenyum, maklum bahwa bujukannya berhasil.
Demikianlah, dalam enam bulan itu juga, secara meriah sekali Suma Ceng dikawinkan dengan Kiang Ti, pangeran yang miskin. Di balik tirai yang menutupi mukanya, Suma Ceng menangis. Sebaliknya, Kiang Ti tersenyum-senyum girang. Memang ia pernah melihat Suma Ceng dan mengagumi kecantikan puteri pangeran ini. Kini gadis yang membuatnya rindu dan mabok kepayang itu secara tak terduga-duga dijodohkan dengannya. Ia benar-benar merasa heran karena belum pernah ia mimpi kejatuhan bulan! Ia merasa untungnya baik sekalil.
Akan tetapi, kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Ceng menjadi isteri Kiang Ti, keadaannya menjadi terbalik sama sekali. Kini keluarga Suma Konglah yang merasa untungnya baik karena mempunyai mantu Kiang Ti. Seperti telah diketahui, Kiang Ti adalah putera seorang pangeran yang menjadi keponakan Jenderal Cao Kuang Yin. Dan kebetulan jenderal inilah yang menggulingkan tahta kerajaan, kemudian menjadi kaisar pertama dari Dinasti Sung! Tentu saja, Kiang Ti sebagai keponakan Kaisar, kini menjadi pangeran yang terhormat dan tinggi kedudukannya dan kerena itu, keluarga Suma juga ikut terangkat naik!
Memang hal ini sedikit banyak ada pengaruhnya dan menguntungkan Suma Kong. Dia terkenal sebagai seorang pangeran yang korup. Akan tetapi kaisar baru, yaitu bekas Jenderal Cao Kuang Yin, walaupun tahu akan watak korup pangeran ini, namun mengingat bahwa masih ada pertalian keluarga melalui Kiang Ti, tidak mau mengutik-utik tentang perbuatan-perbuatannya yang lalu, hanya memberi pensiun kepada Pangeran Suma Kong dan membiarkan keluarga pangeran yang sudah kaya raya itu pindah dari kota raja, ke kota An-sui. Adapun pangeran Kiang Ti yang masih keponakan Sang Kaisar, tentu saja dapat tinggal di kompleks istana yang megah, bersama isterinya yang telah mempunyai seorang putera. Pangeran Kiang Ti amat mencinta isterinya, dan karena sikap yang amat baik, penuh cinta dan penuh kesabaran dari Kian Ti ini maka sedikit banyak kepahitan hati Suma Ceng karena terpisah dari kekasihnya terobati.
Demikianlah keadaan keluarga Suma selama dua tahun itu, dan kini biarpun Suma Boan tinggal di An-sui bersama ayahnya, namun karena ia kaya raya dan masih terhitung keluarga kerajaan, di tambah pula dengan ilmu kepandaian yang tinggi sejak ia menjadi murid Pouw kai-ong, Suma Boan amat terkenal di kota raja. Siapakah yang tidak mengenal Suma Kongcu yang berjuluk Lui-kong-sian Si Dewa Guntur? Mengandalkan kedudukan keluarganya sebagai sanak kaisar, serta harta benda dan ilmunya, pemuda bangsawan ini malang melintang di kota raja dan sekitarnya tanpa ada yang berani mengganggunya.
Bu Song meninggalkan pantai selatan dan menuju ke utara. Akan tetapi baru saja ia meninggalkan pantai, ia mendengar suara aneh di atas kapalnya. Ketika ia memandang ke atas, ternyata seekor burung yang buruk rupanya terbang melintas dekat kepalanya sambil mengeluarkan bunyi "kuk-kuk-kuk!" dan teringatlah Bu Song bahwa pulau Pek-coa-to tadi pun serasa pernah ia melihat burung ini, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana. Burung itu adalah burung hantu, atau burung malam yang matanya berkilauan seperti mata kucing, bertelinga seperti kucing pula. Burung itu terbang cepat sekali dan lenyap di dalam sebuah hutan kecil di depan.
Hari telah menjelang senja ketika Bu Song mempergunakan ilmu lari cepat memasuki hutan kecil itu. Hutan itu kecil namun liar dan gelap, hutan belukar yang agaknya tidak pernah didatangi manusia. Banyak bagian yang gelap, apalagi karena di situ terdapat batu karang. Agaknya di jaman dahulu, air laut sampai di bagian daratan ini.
"Aduhhh...! Setan iblis siluman tak bermata! Perut orang diinjak-injak seenaknya, keparat!" Bu Song juga kaget bukan main. Tadinya tidak ada apa-apa di depannya, bagaimana ketika ia berlari, kakinya sampai bisa menginjak perut orang tanpa ia ketahui? Betapapun suram dan agak gelap tempat itu, tak mungkin ia tidak melihat seorang tidur telentang di depannya menghalang jalan. Tak mungkin! Tadinya benar-benar tidak ada siapa-siapa, bagaimana tahu-tahu kakek aneh itu dapat terinjak perutnya oleh kakinya? Ia demikian kaget sampai ia berjungkir-balik ke belakang dan mendengar suara marah-marah itu ia memandang penuh perhatian. Seorang kakek yang aneh. Tubuhnya pendek sekali seperti seorang anak berumur belasan tahun. Kakinya yang kecil telanjang, kedua tangannya juga kecil. Akan tetapi kepalanya besar, kepala seorang kakek tua renta penuh jenggot dan kumis panjang. Rambutnya panjang terurai. Benar-benar seorang kakek aneh dan kalau memang di dunia ini ada setan iblis atau siluman seperti makian kakek tadi, kiranya kakek inilah patut menjadi seorang diantaranya. Akan tetapi karena kakek itu pandai mengumpat caci, agaknya ia manusia biasa, pikir Bu Song. Cepat-cepat ia menjura dan memberi hormat.
"Mohon maaf sebesarnya, Kek. Saya tidak buta dan tidak sengaja menginjak perutmu, akan tetapi aku berani bersumpah bahwa tadi aku tidak melihat ada orang di sini!"
"Memang tidak ada! Kalau aku tidak sengaja membiarkan perutku tersentuh kakimu, apa kaukira akan mampu menginjak perutku? Cih!"
Diam-diam Bu Song terkejut dan juga mendongkol. Ia dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan sengaja hendak mempermainkannya, karena ia benar-benar tadi tidak melihat ada orang tidur di tengah jalan. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebat ilmu kepandaian kakek itu sehingga dapat membiarkan dirinya terinjak tanpa dia yang mengijaknya melihatnya! Karena yakin bahwa kakek itu seorang sakti, ia cepat-cepat memberi hormat lagi dan berkata,
"Maafkan saya, Locianpwe (Orang Tua Sakti). Sesungguhnya seorang muda seperti saya mana berani bersikap kurang ajar terhadap seorang tua? Apalagi sampai menginjak perut Locianpwe, selain tidak berani juga takkan sanggup melakukannya. Bolehlah saya bertanya, Locianpwe siapakah dan apakah maksud hati Locianpwe mempermainkan seorang muda seperti saya yang tidak bersalah apa-apa terhadap Locianpwe?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. Suara ketawanya amat tidak enak didengar, bukan seperti suara manusia. Bu Song teringat akan suara burung hantu yang tadi terbang lewat dan... benar saja, dari atas kini terdengar suara burung itu dan sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu burung hantu yang tadi itu kini sudah hinggap di atas pundak kanan kakek pendek itu!
"Siapa main-main? Aku sengaja membiarkan perutku kauinjak atau tidak, itu urusanku! Tapi yang jelas dan tak dapat dibantah lagi, kau sudah berlaku kurang ajar menginjak perutku. Betul tidak? Hayo, kausangkal kalau berani, kau... eh, siapa namamu?" Kata-kata dan sikap kakek ini amat menggelikan, tidak karuan dan seperti orang gila, atau seperti anak kecil yang nasar (mau menang sendiri).
"Nama saya Bu Song, Locianpwe, she... Liu." "Heh, Bu Song! Hayo bilang, kau tadi menginjak perutku atau tidak?" "Heh... betul... tapi... tapi saya tidak sengaja Locianpwe." "Tidak sengaja atau sengaja, apa bedanya? Yang jelas, buktinya kau sudah menginjak perutku. Kau tahu siapa aku?" "Saya belum mendapat kehormatan mengenal nama Locianpwe yang mulia." "Aku adalah Bu Tek Lojin! Dan kau sudah berani menginjak perutku, hukumannya hanya satu, yaitu mati!"
Biarpun tadinya Bu Song menganggap kakek itu seorang sakti yang patut ia hormati, akan tetapi mendengar ucapan-ucapannya dan melihat sikapnya, ia mulai merasa mendongkol sekali. Betapa pun saktinya, kiranya kakek ini bukanlah seorang yang patut dihormati, bukan seorang sakti yang budiman. Akan tetapi ia tetap menahan kemarahannya, dan bersikap sabar. Ia belum pernah mendengar nama Bu Tek Lojin. Biarpun tak dapat disangkal bahwa ia tadi telah menginjak perut orang, akan tetapi ia melakukan hal ini tanpa ia sengaja, bahkan Si Kakek itu sendiri yang agaknya sengaja mencari perkara.
"Bu Tek Lojin," jawabnya, tidak lagi menyebut locianpwe karena ia merasa tidak senang melihat sikap kakek yang luar biasa ini. "Yang memberi kehidupan kepadaku adalah Tuhan. Apabila Tuhan yang berkenan mengambil kehidupanku, aku akan pasrah dengan rela, akan tetapi kalau orang lain yang menghendaki kematianku, biarpun orang itu seorang tua terhormat dan sakti seperti kau, bagaimanapun juga akan kupertahankan hak hidupku!"
Kakek itu memandang dengan mata tajam dan tertarik. "Aha, kau pandai bicara. Bicaramu seperti seorang terpelajar, pakaianmu seperti seorang terpelajar pula, agaknya kau seorang sastrawan muda! Dan seorang terpelajar tentu pandai bermain catur. Orang muda, kau pandai main catur?"
Kakek aneh, pikir Bu Song. Bicaranya membolak-balik sukar ditentukan arahnya. Akan tetapi ia melayaninya juga dan menjawab, "Bermain catur tentu saja aku bisa, akan tetapi tidak pandai."
"Bagus!" Kakek itu terkekeh-kekeh dan dari balik bajunya ia mengeluarkan sehelai kertas yang dilipat-lipat dan segenggam biji catur. Kertas itu ia bentangkan di atas tanah dan ternyata adalah kertas gambar papan catur! "Duduklah, mari kita bertanding catur!"
Kakek itu tidak waras otaknya barangkali, pikir Bu Song. Akan tetapi ia menjadi curiga dan bertanya, "Bu Tek Lojin, apa arti permainan catur ini?"
"Ha-ha-ha, bicara tentang ilmu silat, memalukan sekali kalau aku melayani kau bertanding. Burungku akan mentertawakan aku, akan menganggap aku keterlaluan mendesak orang muda dengan ilmu silatku yang tentu saja jauh lebih unggul karena aku jauh lebih tua, menang pengalaman dan menang latihan. Akan tetapi permaianan catur tidak tergantung dari umur, melainkan dari siasat yang muda mengalahkan yang tua! Kalau tadi kukatakan bahwa kau telah berdosa kepadaku dan harus dihukum mati, sekarang aku memberi kesempatan kepadamu untuk menebus nyawamu dengan permaianan catur. Kalau kau menang, kesalahanmu menginjak-injak perutku habislah dan aku tidak menghendaki nyawamu!"
Bu Song diam-diam makin penasaran dan mendongkol. "Kalau aku kalah?" tanyanya, menahan hati panas.
"Ha-ha! Tentu saja kau kalah! Kalau kau kalah, berarti kau hutang dua kali kepadaku. Sebelum kubunuh kau harus menyerahkan suling emas dengan suka rela kepadaku!"
Berdebar jantung Bu Song. Kakek ini tidaklah gila, dan tidak bodoh. Kiranya sengaja mencari gara-gara dan mencari perkara karena ingin merampas suling dan untuk itu tidak akan segan-segan membunuhnya. Maklumlah Bu Song bahwa ia menghadapi hal yang amat gawat dan berbahaya dan oleh karena ini seketika ketenangannya timbul. Ia teringat akan nasihat suhunya bahwa dalam menghadapi perkara apapun juga, terutama sekali harus menenangkan hati. Ketenangan akan membuat kita waspada dan hanya dengan ketenangan kita akan dapat menguasai diri dan mengambil tindakan secara tepat. Maka ia lalu mengerahkan tenaga untuk menenangkan hati dan mengusir semua kekhawatiran. Bahkan wajahnya membayangkan senyum ketika ia memandang kakek itu.
"Orang tua, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa seorang perantau miskin seperti aku ini mempunyai sebuah benda dari emas?"
"Ha-ha-ho-ho-ho! Kau datang dari Pulau Pek-coa-to, aku mendengar suara suling di sana. Siapa lagi kalau bukan kepadamu suling itu diberikan oleh Ciu Bun si tua bangka berkepala batu? Ha-ha-ha! Dasar aku yang bodoh, percaya saja Si Kepala Batu telah dibunuh Couw Pa Ong!"
Makin kagetlah hati Bu Song. Kiranya kakek ini tahu pula bahwa ia bertemu dengan Ciu Bun di pulau. Kalau begini, tak dapat dihindarkan lagi. Kakek ini tentu luar biasa saktinya dan bertanding ilmu silat dengan kakek ini, jelas ia takkan menang. Namun bertanding catur, belum tentu! Suhunya sendiri, Kim-mo Taisu yang juga seorang jago catur, sukar mengalahkan dia dan menurut suhunya, ia memiliki bakat yang luar biasa untuk bermain catur.
"Baiklah, kuterima tantanganmu bermain catur, orang tua?" katanya, wajahnya berseri dan matanya bersinar. "Akan tetapi, sebagai seorang kakek yang sudah berusia tua, tidak sepatutnya engkau menipu mentah-mentah seorang muda seperti aku. Biarpun di sini tidak ada orang kecuali kita berdua, setidaknya kau tentu akan malu sikapmu itu diketahui burungmu."
"Apa? Menipumu mentah-mentah? Heh-heh, orang muda, jaga baik-baik lidahmu kalau kau ingin mati dengan lidah utuh nanti!"
"Bu Tek Lojin, orang bertanding apa saja ada taruhannya. Kita akan bertanding catur, jagi kita berdua harus bertaruh pula. Akan tetapi engkau tadi hanya menyuruh aku yang bertaruh, akan tetapi kau sendiri tanpa modal alias bermain tanpa taruhan. Kalau aku kalah, aku harus mati dan memberikan sebuah suling emas kepadamu. Akan tetapi kalau kau yang kalah, harus ada taruhannya pula!"
Mata kakek itu ketap-ketip (berkejap-kejap), agaknya otaknya dikerjakan keras-keras. Akhirnya ia mengangguk-angguk dan berkata, "Omonganmu cengli (menurut aturan) juga! Nah, kalau aku kalah, kau boleh bunuh aku!"
Kembali Bu Song kaget. Jawaban-jawaban kakek ini benar-benar aneh dan mengagetkan karena tidak disangka-sangka. Akan tetapi melihat betapa sepasang mata itu bersinar-sinar dan biji matanya bergerak-gerak seperti tingkah seorang kanak-kanak nakal yang cerdik dan penuh tipu muslihat, mulut yang tersembunyi di balik jenggot itu bergerak-gerak seperti menahan tawa, Bu Song maklum dan berseru,
"Wah, ternyata Bu Tek Lojin tidak hanya pandai ilmunya, akan tetapi pandai pula akal bulusnya. Pantas saja menjadi Bu Tek (Tiada Lawan), kiranya selain mengandalkan kesaktian juga mengandalkan tipu muslihat!"
Kakek itu yang tadinya sudah duduk menghadapi kertas bergambar papan catur, kini meloncat tinggi sehingga burung di pundaknya kaget dan mengembangkan sayapnya menjaga keseimbangan tubuh. Bu Tek Lojin mencak-mencak dan menari dengan kedua kakinya berloncatan, kedua tangannya bergerak seperti orang lari di tempat, mukanya menjadi merah dan matanya bergerak-gerak melotot. "Kurang ajar kau! Tipu muslihat apa yang kaumaksudkan sekarang? Awas, jangan bikin aku marah!"
"Habis, taruhanmu benar-benar tidak adil. Kalau kau kalah main catur, kau bilang aku boleh membunuhmu. Tentu saja ini tidak adil sama sekali. Aku boleh membunuhmu, akan tetapi dalam hatimu kau mentertawakan aku dan bilang mana aku sanggup membunuhmu? Wah, Bu Tek Lojin kakek tua, kau memberikan ekor menyembunyikan kepala! Tidak mau aku diakali begitu. Kalau kau mau memenuhi sayarat taruhanku, boleh kaucoba-coba melawan aku bermain catur kalau kau becus! Akan tetapi kalau tidak mau memenuhi syarat taruhanku, sudahlah, kalau kau orang tua hendak berlaku sewenang-wenang terhadap orang muda dan tidak malu didengar semua orang kang-ouw betapa kakek yang bernama Bu Tek Lojin beraninya hanya menghina orang muda, terserah kau apakan aku, boleh saja!"
Sejenak kakek itu tidak dapat berkata-kata. Ucapan Bu Song itu benar-benar tepat sekali menghantam apa yang tersembunyi di dalam rencana pikirannya sehingga ia menjadi terkesima, seolah-olah menerima serangan tepat di ulu hatinya. Kembali matanya berkedip-kedip memandang kagum lalu berkata, "Wah, kiranya kau bukan bocah sembarang bocah, cukup cerdik! Tentu akan merupakan lawan catur yang ulet! Coba kaukemukakan syaratmu, orang muda."
Sebetulnya Bu Song bukanlah termasuk orang muda yang suka banyak bicara, bukan pula pandai berdebat. Kalau sekarang ia bersikap demikian adalah semata-mata terdorong oleh pengertian yang timbul dari ketenangannya bahwa hanya dengan cara ini sajalah agaknya ia dapat menghadapi kakek ini!
"Begini syarat taruhanku, Bu Tek Lojin. Kalau aku kalah bermain catur denganmu, biarlah takluk dan menyerah kepadamu. Akan tetapi kalau kau yang kalah, kau harus pergi tinggalkan aku dan jangan mengganggu lagi, jangan minta benda emas atau suling segala macam dan jangan membunuh atau melukaiku! Coba pertimbangkan, kalau aku kalah, aku hanya minta engkau pergi dan aku tidak mengganggumu. Sebaliknya kalau aku kalah, aku takluk kepadamu dan menyerah. Bukankah ini berarti aku sudah banyak mengalah kepadamu?"
Kakek itu menggaruk-garuk jenggotnya yang putih dan tebal, mendapatkan seekor semut yang entah bagaimana tahu-tahu tersesat ke tempat itu, dengan gemas memencet semut itu hancur di antara kedua jarinya. Ia mengangguk-angguk. "Kongto, kongto (adil, adil). Mari kita mulai!"
Bu Song menarik napas lega. Setidaknya, bahaya pertama sudah dapat diatasi. Ia dapat menghadapi kakek ini bermain catur dengan tenang. Kalau ia menang nanti, ia bebas. Kalau kalah, ia masih dapat melihat keadaan. Kalau kakek itu tidak membunuhnya, tentu saja hal itu baik sekali. Kalau kakek itu akan memubunuhnya, tentu saja ia tidak akan tinggal diam dan mati konyol!
Permainan catur dimulai. Kakek itu mempersilakan Bu Song menggerakkan biji caturnya lebih dahulu. Bu Song berlaku hati-hati dan membuat gerakan sederhana. Akan tetapi gerakan biji catur kakek itu amat luar biasa, terlalu berani, kasar dan sama sekali tidak mempergunakan teknik bermain catur, membabi buta dan asal makan saja! Sibuk juga Bu Song menghadapi perlawanan kasar dan ceroboh macam ini. Kakek itu bermain seperti tidak mempergunakan otak sehingga sebentar saja Bu Song dipaksa saling makan dan dalam waktu singkat biji-biji catur mereka yang berada di atas papan tinggal sedikit.
Sekarang mulailah kakek itu benar-benar bermain catur. Gerakan-gerakan atau langkah-langkah biji caturnya teratur rapi, mendesak dan memancing penuh tipu muslihat dan ternyata merupakan tingkat permainan catur yang tinggi! Bu Song kaget dan mengertilah ia akan cara bermain lawannya. Ia tetap berlaku hati-hati sebelum menggerakkan biji caturnya. Kening pemuda ini sampai kerut-merut karena pencurahan perhatian yang bulat dan pemerasan otak yang sungguh-sungguh. Kakek itu pun kini tidak main-main lagi. Duduk tekun menghadapi papan catur, tangan kiri menekan tanah, lutut kaki tangan diangkat untuk menumpangkan tangan kanan, matanya tidak pernah berkedip memandang papan catur, bibir yang tersembunyi di balik kumis itu berkemak-kemik seperti orang membaca doa atau menghafal sesuatu. Bahkan burung hantu yang hinggap di atas lengan kanannya juga diam tak bergerak seperti mati.
Pertandingan kini menegangkan sekali. Bu Song menang sebuah biji catur. Biji caturnya tinggal empat, akan tetapi biji catur kakek itu tinggal tiga buah lagi! Kini setiap gerakan dilakukan hati-hati dan setelah memakan waktu pemikiran yang cukup lama. Keadaannya tegang. Biarpun mereka berdua kelihatan tenang-tenang dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, bahkan bergerak pun hanya kalau menjalankan biji catur, namun ketegangannya tidak kalah oleh pertandingan silat. Hal ini adalah karena bagi Bu Song, pertandingan ini sama artinya dengan pertandingan mengadu nyawa!
Dalam keadaan menang kuat satu biji, Bu Song berusaha memancing lawan dengan umpan-umpannya. Ia mengumpankan biji yang kelebihan itu dan apabila lawannya kena dipancing, tentu dalam waktu singkat ia dapat menghabiskan biji catur lawan. Akan tetapi dalam keadaan kalah kuat itu, Bu Tek Lojin ternyata cerdik sekali dan tidak menghiraukan umpan, melainkan main dalam sistim pertahanan yang ulet bukan main.
Bu Song menukar siasat. Karena semua umpan pancingannya tidak berhasil, ia kini mempergunakan kelebihan biji caturnya untuk mendesak dan mengurung, lalu menggiring biji-biji lawan ke sudut sehingga Si Kakek itu tidak bisa mendapatkan jalan keluar lagi kecuali mengadu biji atau saling makan. Dan kalau saling makan, berarti Bu Song akan menang karena ia masih kelebihan sebuah biji catur!
Sampai lama kakek itu memandang ke arah papan di mana tiga buah biji caturnya sudah kehabisan jalan. Keringat besar-besar memenuhi dahinya dan akhirnya ia menarik napas panjang, menggerakkan biji caturnya dan terpaksa makan biji catur lawan. Bu Song tersenyum. Kemenangan sudah pasti berada di tangannya. Dengan gembira ia pun balas memakan, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia hendak mengambil biji catur lawan, biji catur itu lekat pada kertas dan tak dapat diambil kecuali kalau dengan kertasnya. Diam-diam ia mendongkol sekali. Kakek ini mulai curang, pikirnya, atau menggunakan akal bulus. Terpaksa ia lalu mengerahkan sin-kangnya, disalurkan pada jari-jari tangannya dan dapatlah ia kini mengambil biji catur itu dari atas kertas dan tiba-tiba Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak dan melompat berdiri.
"Ha-ha-ha! Hebat kepandaianmu main catur." Dengan girang Bu Song juga bangkit berdiri dan hatinya lega sekali." "Bu Tek Lojin, apakah kau mengaku kalah?"
"Eh, Bu Song. Selain ilmu bermain catur, juga tenaga lwee-kangmu lumayan. Kau murid siapa?"
"Suhu Kim-mo Taisu berkenan memberi sedikit pelajaran kepada saya." "Oh-oh-oh...! Kiranya murid Kim-mo Taisu? Ha-ha-ha, benar-benar tidak kusangka! Orang gila itu punya murid sebaik ini? Berapa tahun kau belajar ilmu silat dari Si Gila itu?"
Tak senang hati Bu Song mendengar suhunya disebut orang gila dan sama sekali tidak dipandang mata oleh kakek ini, padahal ia tahu benar betapa di dunia kang-ouw gurunya adalah seorang tokoh besar yang disegani kawan atau lawan. Akan tetapi ia menjawab juga, "Hanya dua tahun. Dibanding dengan Suhu, saya belum ada sepersepuluhnya!"
Mendadak kakek itu menggerakkan tubuhnya dan alangkah kagetnya Bu Song karena tanpa peringatan apa-apa kakek itu sudah menyerangnya dengan pukulan yang hebat sekali karena mendatangkan angin berciutan. Pukulan tangan kiri kakek dengan jari tangan terbuka itu menusuk ke arah dadanya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Akan tetapi pukulan susulan tangan kanan kakek itu memasuki bagian lambung kiri! Kecepatan serangan susulan ini tidak memungkinkan Bu Song mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis.
"Dukkk!" Tubuh kakek itu tergetar sehingga burung hantu yang hinggap di pundaknya mengeluarkan suara keras lalu terbang ke atas. Akan tetapi tubuh Bu Song terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya! Orang muda itu terhuyung-huyung dan setelah beberapa meter jauhnya barulah ia berhasil mempertahankan diri agar tidak sampai terbanting jatuh. Cepat ia memutar tubuh menghadapi kakek itu, lalu menegur, "Bu Tek Lojin, apakah begitu mudah kau melupakan janji taruhanmu?"
Akan tetapi kakek itu menjawab dengan makian, "Bocah lancang. Berani kau berani gila dan membohongi seorang tua bangka seperti aku?"
Kakek itu tertawa mengejek. "Kaukira aku begitu bodoh? Jangankan belajar kepada Kim-mo Taisu si gila itu, biarpun kau belajar dari aku sendiri, tak mungkin kau seperti sekarang ini!"
"Aku bersumpah bahwa aku tidak membohong!" "Sudahlah! Keluarkan suling emas itu dan kau ajari aku meniup suling!"
Bu Song kaget. Tak disangkanya kakek ini seorang yang sama sekali tidak merasa malu untuk melanggar janjinya. Kalau begini, percuma saja ia tadi mati-matian menggunakan otak untuk memenangkan pertandingan catur!
"Bu Tek Lojin! Benar-benarkah kau tidak malu melanggar janjimu? Kau sudah kalah bermain catur, berarti kau harus memenuhi taruhanmu!"
"Huh! Jangan banyak cerewet! Aku minta pinjam suling dan minta kau mengajar tiupan suling, sama sekali tidak pernah kujanjikan. Hayo cepat keluarkan suling emas itu, jangan kaubikin marah orang tua seperti aku!"
Bu Song maklum bahwa kakek ini hanya menggunakan ucapan tipuan, akan tetapi sesungguhnya ingin merampas suling berikut rahasianya. Akhirnya ia toh harus melawan dengan kekerasan juga. Maka ia berdiri tegak, menggeleng kepala dan menjawab,
"Bu Tek Lojin! Suling adalah alat musik untuk menenangkan hati dan pikiran, dan menjadi pegangan seorang yang suka akan kesenian dan kesusasteraan. Aku sudah berjanji takkan memberikan benda ini kepada siapapun juga. Harap kau jangan memaksa."
Kakek itu berjingkrak-jingkrak saking marahnya. "Bocah sial! Semua tokoh kang-ouw tidak ada seorang pun berani membantah perintahku! Apa kau sudah bosan hidup? Serang dia!" Ia membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah Bu Song. Agaknya ini merupakan perintah bagi burung hantu yang terbang berputaran di atas karena tiba-tiba burung itu mengeluarkan pekik menyeramkan lalu seperti sebuah peluru kendali burung itu meluncur ke arah muka Bu Song, menyerang dengan paruh dan kedua cakarnya ditambah kedua sayapnya yang menampar!
Bu Song sudah siap siaga. Sungguhpun ia tidak mengira bahwa binatang itu yang akan mewakili Si Kakek menyerangnya, namun karena ia sudah siap, dengan mudah saja ia berhasil mengelak dengan merendahkan dirinya. Burung itu menyambar lewat di atas kepalanya, akan tetapi luar biasa sekali burung ini karena begitu sambarannya luput, secara tiba-tiba ia dapat menghentikan luncuran tubuhnya dan dengan gerakan sayap ia sudah membalik, lalu menerjang lagi mengarah sepasang mata Bu Song! Cepat dan tak terduga-duga gerakan ini sehingga biarpun Bu Song sekali lagi mengelak, burung itu masih berhasil menggores pipi kanan Bu Song dengan cakarnya! Luka di pipi itu tidak berbahaya, hanya luka kulit, namun mengeluarkan darah menetes-netes!
Bu Tek Lojin tertawa terkekeh-kekeh dan bertepuk-tepuk tangan. Mendengar ini, bangkit kemarahan di hati Bu Song. Ia mulai panas. Apalagi burung itu kini sudah menyambar pula dari depan. Tadi Bu Song sampai terkena cakaran karena ia kurang hati-hati dan sama sekali tidak menduga bahwa binatang itu dapat bergerak secepat itu, atau ada juga sedikit sikap memandang rendah. Burung hantu itu hanya seekor burung sebesar ayam, tentu saja ia tadinya memandang rendah. Siapa kira, burung itu ternyata bukanlah burung biasa dan memiliki gerakan cepat dan berbahaya! Bahkan gerak-geriknya seperti seorang ahli silat yang terlatih baik, kini dengan gerakan ekor dan sayapnya, burung itu sudah membalik lagi dan menerjang Bu Song, seperti tadi menyerang muka, paruhnya menusuk di antara kedua mata, sayapnya menghantam kanan kiri kepala bagian pelipis, kedua cakarnya mencengkeram ke arah tenggorokan! Serangan hebat yang boleh dikatakan serangan maut!
Namun Bu Song selain marah juga sudah siap dan waspada. Kini ia tidak mau mengelak, melainkan mengulur tangan kanan ke depan menyambut burung itu dengan cengkeraman dari samping. Cengkeraman tangan Bu Song ini hebat karena mengandung pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Kalau burung itu kena dicengkeram oleh jari-jari tangan kanan Bu Song, pasti akan hancur! Burung itu ternyata hebat. Paruhnya mengeluarkan teriakan keras, agaknya ia kaget menghadapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu dan secara luar biasa tubuhnya membalik ke atas dan... cengkeraman tangan Bu Song luput! Bahkan susulan hantaman tangan kiri Bu Song yang dilancarkan menyusul cengkeramannya juga tidak dapat menyusul kecepatan gerakan burung itu dan hanya menyerempet ekornya sehingga tiga helai bulu ekor burung itu rontok!
Si burung hantu agaknya menjadi marah sekali. Dari atas ia menyambar turun dengan kecepatan roket, menerjang kepala Bu Song. Kagetlah orang muda ini, cepat ia miringkan tubuh menggerakkan kepala, namun pita rambutnya masih terkena cengkeraman dan terlepaslah rambutnya! Bu Song tidak diberi kesempatan karena lagi-lagi burung itu sudah menerjangnya sambil mengeluarkan pekik menyeramkan. Benar-benar seekor burung luar biasa, pikir Bu Song. Kali ini Bu Song mengangkat lengan kanan melindungi kepala, akan tetapi ia sengaja tidak balas menyerang, melainkan memberikan lengannya sebagai umpan dan penutup kepala. Agaknya burung itu yang juga penasaran tak pernah dapat mengenai kepala lawan, kini hendak melampiaskan kemarahannya kepada lengan itu. Ia mencengkeram, mematuk dan manampar lengan kanan Bu Song. Namun, begitu kedua cakarnya mencengkeram lengan kanan Bu Song yang kulitnya keras licin karena penuh hawa sakti sehingga kuku-kuku burung tajam meruncing itu hanya merobek baju, tangan kiri Bu Song bergerak menghantam, tepat mengenai punggung burung itu.
"Bukkk!" Burung itu mengeluarkan pekik keras lalu tubuhnya mencelat, kedua sayapnya berusaha terbang namun sia-sia, ia jatuh lagi seperti sebuah batu, berdebuk di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi karena tulang-tulang punggungnya remuk dagingnya hancur. Dari paruhnya keluar darah.
"Wah, berani kau membunuh burungku yang kupelihara puluhan tahun?" bentak Bu Tek Lojin marah.
"Aku hanya membela diri," bantah Bu Song. "Burungmu yang menyerang dan hendak membunuhku!" Bu Song membereskan rambutnya yang terlepas awut-awutan, mengikat kembali dengan sutera pengikat rambut yang tadi terlepas dan jatuh ke tanah.
Kakek itu menarik napas panjang. "Nah, kaukeluarkan suling emas itu cepat-cepat!" Bu Song mendongkol sekali. "Kalau saya tidak mau menuruti permintaanmu, bagaimana Bu Tek Lojin?"
"Mau atau tidak masa bodoh, pokoknya kau harus keluarkan suling emas itu!" jawaban ini disusul tangan kakek itu yang diulur ke depan mencengkeram dada Bu Song.
Dari tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat sehingga belum juga tangan kakek itu mendekati dada, Bu Song sudah merasa betapa dadanya tergetar hebat. Cepat ia terus saja maju hendak mencengkeram pundaknya, ia mengerahkan tenaga dan melawan mati-matian. Dengan gerakan yang gesit ia berhasil mengelak, lalu dari samping ia membalas dengan pukulan tangan kiri. Biarpun baru belajar dua tahun lebih, akan tetapi karena memang dasar-dasar ilmu silat tinggi sudah ada padanya, maka Bu Song sudah berhasil mewarisi ilmu-ilmu simpanan Kim-mo Taisu, yaitu ilmu silat tangan kosong Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti), Cap-jit-seng-kun (Ilmu Silat Tujuh Belas Bintang), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan). Empat ilmu ini adalah ilmu silat pilihan, tingkatnya tinggi dan hanya dapat dimainkan oleh orang yang memiliki sin-kang sempurna karena setiap gerakan selalu harus disertai pengerahan tenaga lwee-kang. Oleh karena ini maka pukulannya ke arah dada kakek itu pun bukan pukulan biasa, dan sebelum tiba di tubuh orang sudah didahului angin pukulan yang dahsyat pula.
Namun kakek itu amat luar biasa gerakannya. Hanya dengan kepretan jari tangan saja ia berhasil menghalau serangan balasan Bu Song, kemudian dengan gerak ilmu silat aneh sekali ia mulai mendesak Bu Song. Pemuda ini yang maklum akan kesaktian lawan, melawan sekuat tenaga, namun ia kalah cepat sehingga untuk tiga kali serangan lawan ia hanya dapat membalas satu kali saja!
"Wah, kau bohong...! Kau bohong...!" kakek itu menyerang, mendesak sambil memaki-maki. Bu Song diam saja. Bagaimana ia dapat menjawab kalau seluruh perhatiannya harus ia curahkan untuk menjaga diri agar jangan sampai terkena pukulan lawan yang lihai ini?
"Masa belajar dua tahun sudah memiliki kepandaian seperti ini? Kau bohong atau... memang kau seorang manusia luar biasa!" Sambil bicara kakek pendek itu melakukan gerakan yang amat aneh dan cepat sehingga tanpa dapat dicegah lagi dalam serangkaian serangan yang susul menyusul, lutut Bu Song terkena ciuman ujung kaki telanjang itu hingga pemuda ini terguling!
Tentu saja Bu Song terkejut sekali. Dengan gerakan lincah, begitu tubuhnya mencium tanah, ia menggerakkan kaki tangannya menekan dan sekaligus tubuhnya sudah mencelat ke atas dan berdiri kembali. Malah kini ia mengeluarkan suling emas dari balik bajunya dan serta merta Bu Song menyerang dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat! Ia tidak berpedang, maka suling itu dapat ia pergunakan sebagai pedang. Hebat sekali gerakan Pat-sian Kiam-hoat ini dan ternyata suling itu juga merupakan benda mujijat karena sekali berkelebat telah membentuk segulung cahaya kekuningan yang menyilaukan mata, bahkan mengeluarkan bunyi melengking aneh karena dalam gerakan itu lubangnya kemasukan angin seperti ditiup!
"Aih...!" Bu Tek Lojin mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya ia lempar ke belakang, terus ia bergulingan di atas tanah menjauh. Setelah melompat berdiri, ia memandang kaget dan kagum. "Wah, hebat ilmu pedangmu, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu. Akan tetapi dua tahun... ah, tak mungkin! Dan suling emas itu.... hebat pula!"
Akan tetapi sambil bicara, kakek itu sudah menerjang maju lagi, dengan gerakan aneh dan cepat, tubuhnya miring-miring kemudian menerjang Bu Song dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin menderu. Bu Song yang sudah bertekad bulat tidak hendak menyerahkan sulingnya mentah-mentah dan hendak melawan sekuat tenaga, menyambut bayangan kakek yang berkelebatan itu dengan gerakan sulingnya. Ia tetap mainkan Pat-sian Kiam-hoat bahkan kini tangan kirinya ia gerakkan dengan ilmu Lo-hai San-hoat. Biarpun ilmu silat ini adalah ilmu silat yang khusus diciptakan Kim-mo Taisu untuk mainkan senjata kipas, akan tetapi dapat juga dimainkan dengan tangan kosong. Gerakan kipas menampar dengan jari-jari dikembangkan, adapun totokan ujung gagang kipas dapat diubah menjadi totokan jari tangan.
Kembali Bu Tek Lojin memuji-muji. Kakek yang tak pernah mau kalah dan merasa bahwa dialah orang nomor satu di dunia ini, tidak memuji kosong belaka. Dalam hatinya ia benar-benar memuji. Baru sekali ini selama hidupnya ia bertemu dengan seorang muda yang begini hebat kepandaiannya, apalagi kalau diingat bahwa orang muda ini hanya belajar silat selama dua tahun! Dia sendiri merasa tidak sanggup mendidik murid yang bagaimana berbakat pun selama dua tahun menjadi sehebat ini!
Pertandingan kini berlangsung lebih hebat daripada tadi. Memang Bu Song seorang luar biasa. Dia memang kurang latihan kalau dibandingkan dengan lawannya. Akan tetapi gerakan-gerakannya sudah hampir sempurna, apalagi suling emas di tangannya itu ternyata cocok sekali dipakai mainkan Pat-sian Kiam-hoat. Tubuhnya tidak nampak lagi, lenyap saking cepatnya gerakan kaki tangan dan terselimut gulungan sinar kuning menyilaukan mata dari suling itu. Gulungan sinar ini memanjang dan membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga emas bermain-main, sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi angin berciutan.
Namun, lawannya adalah seorang sakti dan luar biasa. Memiliki sin-kang yang jauh melampaui manusia biasa sehingga Bu Song selalu masih terdesak. Ketika tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan kakek itu, Bu Tek Lojin tertawa dan meloncat ke atas, membiarkan jari-jari tangan Bu Song bertemu dengan pundaknya.
"Plakkk!" Bu Song kaget sekali, tangannya serasa hancur dan panas. Selagi ia hendak melompat ke belakang, kakek itu sudah menyambar ke depan, tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah matanya sedangkan tangan kiri merampas suling! Bu Song terkejut melihat tangan yang menyambar ke arah mata. Lengan sedikit saja tentu matanya akan menjadi buta atau setidaknya mukanya akan terluka dan bercacad. Terpaksa ia mengelak dan karena perhatiannya tercurah sepenuhnya menghadapi bahaya mengerikan ini, ia tidak dapat mencegah lagi sulingnya terampas. Ia hanya merasa betapa tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan menjadi seperti lumpuh, kemudian sulingnya terlepas dari genggamannya. Dengan nekat ia melancarkan tendangannya mengenai pantat kurus Si Kakek tua yang sudah membalikkan tubuh setelah berhasil merampas suling, dan... tubuh kakek itu terlempar ke atas tinggi sekali dan tidak turun lagi!