Monday 22 April 2013

1.14 Bu Kek Siansu


"Ibu.....!"

"Ayahhhhh.....!" Ouw Sian Kok menghentikan amukannya dan menjatuhkan diri ber-lutut. Tadi dia mengira bahwa puterinya telah tewas, maka panggilan itu menggetarkan jan-tungnya dan membuat dia lemas.

"Kau.....kau Soan Cu.....?"

"Ayahhhhhhh..... Hu-hu-hu-huuuuu.....!!" Soan Cu menangis dalam rangkulan ayahnya yang juga bercucuran air mata. Baru pertama kali Ouw Sian Kok dapat mencucurkan iar mata. "Wutttt..... trangggggg......!!" Dua batang golok terpental oleh tangkisan oleh tangkisan Ouw Sian Kok tanpa menoleh karena dia sedang mendekat dan menciumi dahi puterinya.

"Ayah, aku puas..... dapat bertemu denganmu.......!"

"Soan Cu...... aihhhh, anakku, kauampunkan dosa ayahmu....." Ouw Sian Kok berkata dengan suara terisak. "Trang-trang..... dessss!!" Dua orang pengawal yang berani menyerang roboh oleh tangkisan pedang Ouw Sian Kok dan mecuatnya kaki Soan Cu yang menendang. "Ah, jangan kau keluarkan tenaga....." kata Ouw Sian Kok melihat betapa tendangan tadi membuat napas Soan Cu memburu.

"Ayah..... aku.....aku tidak kuat lagi.....kalu larilah, ayah......."

"Soan Cu......! Soan Cuuuu......!!" Sian Kok meraung-raung ketika menyaksikan dengan mata sendiri betapa puterinya yang baru dilihatnya selama hidup puterinya itu, menghembus-kan napas di dalam dekapnya, dengan bibir tersenyum. Laki-laki gagah perkasa itu masih terus meraung-raung, dengan air mata bercucuran ketika dia telah membaringkan tubuh puteri nya ke atas lantai kemudian dia mengamuk seperti seekor naga, menyebar maut diantara pe-ngeroyoknya! Hujan senjata tidak dirasakannya lagi pedangnya sampai menjadi merah dari ujung sampai kegagang, bahkan sampai ke lengannya! Sementara itu Liu Bwee yang sudah banyak kehilangan darah juga makin lemas gerakannya. kalau tidak ada Swat Hong, tentu dia roboh oleh Ouwyang Cin Cu. Untung bagi mereka agaknya kakek yang sudah menjadi Kok-su ini hanya setengah hati saja bertempur, sering kali dia sengaja mundur dan membiarkan anak buah pengawal yang mengeroyok. Hal ini karena dia sebetulnya tidak begitu suka kepa-da The Kwat Lin yang dianggapnya berbahaya. Pula, setelah sekarang dia telah memperoleh kedudukan tinggi, dia tidak membutuhkan kerja sama dengan The Kwat Lin. Selain itu, juga dia ingin menghindarkan sedapat mungkin permusuhan dengan orang-orang lihai, apalagi keluarga dari Pulau Es!

"Swat Hong, cepat kau pergi......!"

"Tidak, Ibu!" "Kalau tidak, kau akan mati......!"

"Mati bersamamu merupakan kebahagiaan, Ibu!"

"Hushhhh, anak bodoh. kalau begitu siapa yang akan mengembalikan pusaka? Kauingat pesan Ayahmu."

"Tapi, Ibu....."

"kalau kau membantah dan sampai tewas di sini, Ibumu tidak akan dapat mati dengan mata meram."

"Ibu......!"

"Lihatlah, dia.....diapun akan mati..... Ibu ada seorang teman yang baik......Ibu dan dia.....ah, kami senang mati bersama.....kau jangan ikut-ikut......!"

Mendengarkan ucapan ini, Swat Hong terkejut sekali dengan menengok ke arah Ouw Sian Kok yang mengerikan keadaannya itu.Mengertilah dia bahwa Ibunya dan laki-laki per-kasa itu telah saling jatuh cinta! Jantungnya seperti ditusuk, teringat dia akan kesalahan ayah nya terhadap ibunya. Ibunya tidak bersalah, sudah sepantasnya menjatuhkan hati kepada pria lain karena disakiti hatinya oleh suami yang tergila-gila kepada wanita lain!

"Ibu......"

"Pergilah, dan ajak pemuda gagah itu!" Sambil bercucuran air mata, Swat Hong meng-amuk, memutar pedangnya dan mendekati Kwee Lun yang juga masih mengamuk.

"Toako, hayo kita pergi!!"

"Eh? Ibumu? Soan Cu? Ayahnya.......?"

"Ayolah.....!!"

"Baik, baik.....!" Mereka berdua membuka jalan darah, akhirnya berhasil meloncat keluar.

"Jangan kejar mereka! kepung saja yang berada di dalam!" terdengar Ouwyang Cin Cu berseru. Tidak terlalu lama Ouw Sian Kok dan Liu Bwee dapat bertahan. Mereka sudah keha-bisan tenaga, juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Akhirnya, mereka roboh berdekatan, di dekat mayat Soan Cu. Ouwyang Cin Cu menghela napas panjang, kagum sekali menyaksikan kegagahan mereka itu. Dia masih belum menduga bahwa tiga orang yang telah tewas ini ada-lah orang-orang yang datang dari tempat yang hanya didengarnya dalam dongeng! wanita cantik setengah tua itu adalah bekas permaisuri Raja Pulau Es, sedangkan laki-laki perkasa dan dara jelita itu adalah ayah dan anak dari Pulau Neraka, bahkan merupakan tokoh pimpin-an! Dia menghela napas pula ketika melihat bahwa The Kwat Lin juga tewas dalam keadaan mengerikan. Diam-diam dia merasa lega, karena dia maklum betapa dilubuk hati wanita ini tersembunyi cita-cita yang amat hebat, yang kelak mungkin membahayakan kedudukan kaisar, dan kedudukannya sendiri.

Setelah membuat laporan kepada Kaisar baru, yaitu An Lu Shan, tentang kematian The Kwat Lin bekas jenderal ini hanya menarik napas panjang. "Hemm, sayang sekali, dia meru-pakan tenaga yang berguna." Kemudian mengelus jenggotnya dan berkata, "kalau begitu ba-gaimana dengan puteranya?"

"Menurut pendapat hamba, puteranya itu masih berdarah Raja Pulau Es yang kabarnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan kerajaan lama. Maka kalau dia dibiarkan saja menjadi pangeran di sini, kelak kalau sudah dewasa tentu akan merupakan bahaya."

An Lu Shan mengangguk-angguk. "habis bagaimana pendapatmu?" Kok Su yang meru-pakan penasehat utama itu mengerutkan alisnya yang bercampur uban, lalu berkata,

"Mereka itu datang dari Rawa Bangkai, biarlah dia hamba bawa kembali ke sana, diberi kedudukan sebagai penguasa di Rawa Bangkai dan daerahnya. Anak kecil itu tidak tahu apa-apa, asal diberi kedudukan di sana mengepalai bekas anak buah ibunya dan Kiam-mo Cai-li, tentu kelak akan senang hatinya."

"Baiklah, urusan ini kuserahkan kepadamu untuk dibereskan."


Demikianlah, setelah penguburan jenazah ibunya selesai, Han Bu Ong yang masih kecil itu menurut saja ketika oleh Ouwyang Cin Cu diberitahu bahwa dia oleh kaisar "diangkat" menjadi "raja muda" yang berkuasa di Rawa Bangkai, di mana telah dibangun sebuah gedung mewah lengkap dengan semua pelayan dan perabot. Di tempat ini, Han Bu Ong hidup cukup mewah. Akan tetapi anak ini memang mempunyai kecerdikan yang luar biasa. Biarpun dia di-cukupi hidupnya, diam-diam dia mengerti bahwa dia sengaja setengah"dibuang" oleh Kaisar dan Ouwyang Cin Cu setelah ibunya tewas. Maka dia mencatat di dalam hatinya bahwa selain Swat Hong dan Kwee Lun yang menjadi musuh besarnya, juga Ouwyang Cin Cu sebetulnya bukanlah seorang sahabat yang setia dari ibunya.

Anak kecil ini dengan rajin lalu melatih dirinya dengan ilmu-ilmu peninggalan ibunnya yang masih ada padanya. Dia harus menggembleng dirinya dan kelak, selain dia harus mem-balas kepada musuh-musuhnya, juga dia akan berusaha untuk merampas kembali pusaka-pusaka Pulau Es yang dicuri oleh Swat Hong. Dia merasa bahwa dia berhak memiliki pusaka itu karena bukankah dia putera Raja Pulau Es? Dari ibunya dia dahulu mendengar bahwa sia-pa yang mewarisi pusaka Pulau Es dan melatih semua ilmu yang terdapat di dalam kitab-kitab itu, tentu akan menjadi jago nomer satu di dunia.


***

Para pembaca yang mengikuti pengalaman Kwa Sin Liong tentu menjadi penasaran kalau pemuda sakti itu sampai tewas dalam keadaan yang demikian mengerikan! Tidak, dia tidak mati! Memang nyaris dia tewas dimakan ratusan ekor ular berbisa yang menjadi peng-huni sumur itu. Akan tetapi kalau orang belum tiba saatnya untuk mati, ada saja penolongnya yang bisa dianggak tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa. Dalam halnya Sin Liong tidak ada yang tidak masuk akal atau luar biasa. Memang tubuhnya yang pingsan itu terlempar ke dalam sumur di mana terdapat ratusan ekor ular berbisa dari segala jenis, akan tetapi tidak ada seekorpun ular yang berani menggigitnya. Apalagi menggigit, mendekatipun mereka itu tidak berani, bahkan begitu tubuh pemuda itu terjatuh, ular-ular itu cepat menyingkir ketakutan. Hal ini adalah karena tanpa sengaja di saku baju Sin Liong terdapat batu mustika hijau dari Pulau Es! Seperti kita ketahui, batu mustika hijau ini adalah milik Han Swat Hong yang telah me-nyelamatkan nyawa gadis ini pula ketika terserang racun. Ketika Sin Liong mengobati sumoi nya itu, dia menyimpan batu mustika ini di dalam saku bajunya sehingga ketika dia terlempar ke dalam sumur, batu mustika itu ikut terbawa olehnya dan menjadi penyelamatnya karena ti-dak ada ular yang berani mendekatinya. Sebetulnya pemuda ini menderita luka yang amat pa-rah dan yang akan mematikan akibatnya bagi orang lain. Namun, pemuda ini pada dasarnya memiliki tubuh yang sempurna, bersih darahnya dan kuat tulang dan urat-uratnya, apalagi se-jak kecil dia menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Han Ti Ong sehingga dia memilki tubuh yang amat kuat dan tahan derita.

Dua hari dua malam dia rebah pingsan di dasar sumur yang lembab, tampa diusik oleh ular-ular itu yang hanya memandang dari jauh seolah-olah dia merupakan mahluk yang menakutkan. Pada hari ke tiga, nampak tanda hidup pada tubuh yang tadinya tak bergerak-gerak seperti mati itu dengan suara mengeluh panjang, kemudian tubuh itu bergerak dan bangkit duduk dengan susah payah. Sejenak Sin Liong merasa nanar dan bingung melihat bahwa dirinya berada di tempat yang amat gelap. Begitu gelapnya sehingga dengan terkejut dia menyangka bahwa matanya telah menjadi buta. Akan tetapi, ketika dia menoleh, tampak lah sedikit cahaya di belakangnya, dan mengertilah dia dengan hati lega bahwa dia tidak buta, melainkan berada di tempat yang amat gelap. Dia tidak tahu bahwa dia dilempar ke sumur dan sumur itu kini telah tertutup oleh batu-batu besar dari atas ketika guha terowongan itu se-ngaja diruntuhkan oleh Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin. Melihat cahaya terang di belakang nya, Sin Liong menggerakan tubuhnya hendak menyelidiki, akan tetapi dia mengeluh karena begitu bergerak, dadanya terasa nyeri bukan main! Dia teringat akan pertempuran itu dan mu-lai mengertilah dia bahwa tentu dia telah tertawan dan berada dalam tempat tahanan rahasia yang amat gelap. Maka dia segera duduk bersila mengatur pernapasan di tempat lembab dan pengap itu, menyalurkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Memang dia memiliki sinkang yang amat kuat berkat latihan di Pulau Es, maka tak lama kemudian dia telah mengo-bati luka di dalam tubuhnya dan menyelamatkan rasa nyeri-nyeri di tubuhnya. Begitu dia menghentikan latihannya, terasa betapa perutnya lapar sekali. Dia tidak tahu bahwa sudah dua hari dua malam perutnya sama sekali tidak diisi apa-apa. Sin Liong bangkit berdiri dengan hati-hati. Tangannya meraih ke atas. kosong. Dia mencoba meloncat dengan kedua tangannya di atas kepala.Tetap saja disebelah atasnya kosong, tanda bahwa tempat tahanan itu tinggi bukan main! Seperti sumur! Betapapun dalamnya sumur itu tentu dia akan meloncat keluar, pikirnya.

Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, kemudian dengan ilmu ginkangnya yang isti-mewa, dia melompat lagi ke atas, kedua tangannya tetap menjaga di atas kepala. "Plakkkkk!" Tubuhnya melayang lagi ke bawah. Kedua tangannya bertemu dengan batu besar yang amat berat, yang menutup lubang sumur itu! Beberapa kali Sin Liong menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari dalam sumur, dan sekali meloncat, dia menggunakan sinkang di kedua ta-ngannya untuk mendorong batu. Akan teteapi usahanya ini selalu gagal. Tentu saja tidak mungkin bagi seorang manusia, betapa kuatpun dia, untuk meloncat sambil mendorong tum-pukan batu-batu besar yang menutup mulut sumur itu, batu-batu sebesar rumah dan yang sebongkah saja beratnya ada yang seribu kati! Akhirnya Sin Liong pun maklum bahwa usaha nya meloloskan diri melalui atas tidak mungkin baginya. Maka dia mulai meraba-raba di se-kelilingnya. Sumur itu tidak berapa lebar, paling banyak bergaris tengah tiga meter. Ketika dia mendengar suara mendesis-desis dan mencium bau hamis, tahulah dia bahwa di tempat itu terdapat banyak ular berbisa. Kemudian tampak olehnya melalui cahaya redup tadi bahwa di bagian bawah terdapat sebuah lubang dan agaknya dari tempat itulah ular-ular keluar dari su-mur. Begitu dia mendekati lubang ini, tampak olehnya ekor ular berkelebat di dalam cahaya remang-remang itu, menjauhkan diri. Dia merasa heran mengapa binatang-binatang itu tidak mengganggunya ketika dia pingsan dan kini kelihatan takut kalau didekatinya.

Dia teringat, meraba saku bajunya dan tersenyum mengeluarkan batu hijau yang menge-luarkan sinar di dalam gelap itu. Inilah penolongku,pikirnya. Hatinya menjadi makin tenang. Dengan adanya batu mustika hijau ini, tidak perlu takut menghadapi binatang berbisa apa pun. Akan tetapi, melihat batu mustika itu, teringatlah dia kepada Swat Hong dan dia merasa kha-watir juga. Musuh demikian lihai, dia sendiri kena ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur ini. Bagaimana nasib Swat Hong? Dia harus cepat keluar dari tempat ini untuk menolong Swat Hong. Kekhawatirannya terhadap sumoinya itu membuat dia makin bersemangat men-cari jalan keluar. Lubang dari mana ular-ular itu keluar dari sumur terlalu sempit untuk dapat diterobos, maka Sin Liong lalu menggunakan kedua tangannya untuk membongkar batu di lubang itu, memperlebar lubang dengan jalan memukul pecah batu batu di sekelilingnya. Tidak mudah pekerjaan ini, karena selain tubuhnya masih lemah, juga batu-batu di tempat itu amat kerasa dan hanya dapat digempurnya sedikit demi sedikit. Namun akhirnya dapat juga dia memperlebar lubang itu sehingga dia dapat merangkak melalui lubang sambil terus meng-gempur lubang di depat yang merupakan terowongan panjang. Melihat betapa makin lama cahayanya dari seberang terowongan kecil itu makin terang, hatin Sin Ling membesar. Jelas bahwa di seberang itu terdapat tempat terbuka dari mana sinar matahari dapat masuk, pikirnya. Akan tetapi pekerjaan menerobos terowongan kecil yang merupakan liang ular dengan hanya menggunakan kedua tangan kosong, memakan waktu lama juga. Saking hausnya, dia mene-ngadah untuk menerima titik-titk air yang jatuh dari atas, yaitu dari dinding sumur yang me-ngeluarkan air. biarpun memakan waktu lama, dapat juga dia mengobati dahaga dengan me-minum secara demikian. Namun perutnya yang lapar terpaksa harus berpuasa lagi sampai tiga hari! karena setelah tiga hari, barulah dia berhasil merangkak keluar dari terowonganitu dan tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, akan tetapi juga merupakan tempat tertutup! Bedanya, kalau sumur pertama merupakan tempat sempit dan gela, maka ruangan kedua ini luas sekali, garis tengahnya tidak kurang dari sepuluh meter, merupakan sebuah ruang dalam tanah yang aneh.

Di sebelah atas, jauh dan tinggi sekali, tertutup oleh tanah atau batu dan ada celah-celah yang merupaka retakan batu-batu dari mana sinar matahari dapat menerobos masuk. Sin Liong menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan dalam tanah ini dan harapannya kandas sa-ma sekali. Kalau sumur pertama itu merupakan tahanan yang sukar diterobos adalah tempat ini lebih sukar lagi untuk meloloskan diri. Ular-ular yang banyak sekali berbelit-belit dan kelihatan ketakutan, ada yang merayap naik, ada pula yang menerobos terowongan yang su-dah melebar itu untuk kembali ke dalam sumur pertama! Sin Liong termenung. Dari kamar tahanan kecil dia pindah ke kamar tahanan besar! Hanya lebih lebar dan memperoleh pene-rangan sinar matahari yang tidak seberapa. Itulah bedanya! Akan tetapi dia tidak menjadi putus harapan. Dihadapinya kenyataan ini dengan tabah dan dilenyapkannya kekhawatiran di dalam hatinya tentang diri sumoinya dengan keyakinan bahwa apa pun yang akan terjadi, terjadilah tanpa dipengaruhi segala kekhawatiran yang tiada gunanya! Dia sendiri menghadapi bencana, menghadapi ancaman maut dan inilah yang terutama harus dihadapi dan diatasi lebih dulu.

Dia mulai memeriksa kalau-kalau ada jalan keluar dari tempat itu. Sama sekali tidak ada jalan keluar. Akan tetapi, dia menemukan benda-benda yang sementara dapat menolongnya dari ancaman kelaparan, yaitu jamur yang agaknya bertumbuhan dengan subur di tempat itu karena memperoleh sinar matahari. Perutnya lapar sekali dan pengetahuannya tentang tetum-buhan meyakinkan hatinya.maka mulailah dia memilih jamur-jamur yang tak mengandung racun, lalu mulai dia makan jamur. Dalam keadaan lapar bukan main, ternyata jamur-jamur mentah itu terasa enak juga! Soal minum dia tidak usah khawatir karena di beberapa tempat pada dinding batu itu terdapat air yang menetes. Ditampungnya tetesan air itu dengan kedua tangannya, lalu diminumnya. Luar biasa segarnya air yang disaring oleh tanah dan batu itu. Setelah yakin benar bahwa tidak ada jalan keluar dari tempat itu, Sin Liong menerima kenya-taan ini dan dia giat berlatih ilmu. Di dalam kesunyian yang amat hebat itu perasaan dan piki-ran Sin Liong menjadi luar biasa tajamnya. Semua ilmu yang pernah dipelajari dan dibacanya dahulu sukar dimengerti olehnya karena kitab-kitab kuno Pulau Es memang amat sukar diar-tikan, kini menjadi jelas dan dapat dia selami intinya. Oleh karena inilah maka diluar dari ke-sadarannya sendiri, ilmu kesaktiannya bertambah dengan hebat dan cepatnya. Juga ditempat ini dia mulai mengenal diri sendiri, mengenal arti hidup yang sesungguhnya. Tanpa disadari-nya sendiri, dari dalam pribadinya timbul kekuatan mujijat, kekuatan yang dimiliki oleh setiap orang manusia namun yang selalu terpendam dan tetap tersembunyi sampai saat terakhir dari hidup manusia yang selalu dipermainkan oleh nafsu yang disebut aku.

Tanpa terasa oleh Sin Liong sendiri yang selama hidup di dalam ruang bawah tanah itu sama sekali tidak pernah memikirkan atau mengenal waktu, pemuda luar biasa ini telah ber-ada di tempat itu selama dua tahun! Dia mengerti bahwa tanpa bantuan dari luar, tidak mung-kin dia meloloskan diri dari tempat itu, maka sudah sejak lama dia tidak lagi berusaha untuk keluar dari situ. Selama itu, yang menjadi teman-temannya hanyalah ular-ular berbisa! Ter-nyata oleh pemuda itu bahwa binatang berbisa seperti ular pun mengenal siapa lawan siapa kawan. Karena selama itu dia tidak pernah mengganggu mereka, ular-ular itu pun jinak dan sama sekali tidak pernah menyerangnya, biarpun dia menjauhkan batu mustika hijau dari tubuhnya. Binatang-binatang ini hanya menyerang untuk menjaga diri saja dari bahaya yang datang mengancam diri mereka. Juga tanpa disadari sendiri oleh Sin Liong, tubuhnya yang setiap hari hanya dihidupkan oleh sari jamur yang bermacam-macam itu, pertumbuhannya sama sekali berlainan dengan manusia biasa. makanan amat mempengaruhi tubuh dan sari jamu yang dimakannya selama dua tahun itu mendatang kan kepekaan luar biasa, dan kepe-kaan tubuh ini pun mempengaruhi pula pertumbuhan batinnya. Dia menjadi seorang manusia luar biasa, tidak menderita apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa, karena di dalam keadaan apapun juga, menghadapi keadaan apa adanya, sewajarnya, sebagaimana adanya yang diang-gap sudah semestinya demikian, tidak ada lagi apa yang disebut menyenangkan atau tidak menyenangkan, tidak ada lagi yang disebut senang atau susah, tidak ada lagi puas atau kece-wa. Dalam keadaan seperti itu, tubuh sehat dan batin tenang, yang ada hanyalah rasa suka ria yangsukar dilukiskan karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kesukaan atau kegembiraan yang dapat dicari. Suatu nikmat yang bukan datang dari gairah nafsu atau kesenangan, nikmat hidup yang datang tanpa dicari, yang terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan, seperti batin Sin Liong di waktu itu.

Pada suatu hari, di sebelah atas dari tempat rahasia ini, terjadilah kesibukan besar. Pu-luhan orang katai yang tubuhnya pendek akan tetapi besarnya seperti manusia biasa, bertubuh kuat dan bertenaga besar, dipimpin oleh seorang pemuda tanggung sedang membongkari re-runtuhan batu-batu di dalam terowongan bawah tanah itu. pemuda tanggung yang berpakaian mewah itu bukan lain adalah Bu Ong, yang kini telah mengumpulkan sisa orang-orang kerdil bekas taklukan di Rawa Bangkai dan menjadi pimpinan mereka. Han Bu Hong kini telah menjadi seorang pemuda tanggung yang lihai dan tidak ada seorang pun di antara tokoh-tokoh orang kerdil mampu melawannya. Agaknya, untuk menjadikan mimpi ibunya sebagai kenya-taan, dia telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua atau lebih tepat lagi menjadi "raja" dari orang-orang katai ini. Gedung di Rawa Bangkai hanya menjadi tempat tinggal umum, akan tetapi diam-diam dia mendirikan "kerajaan kecil" di bawah tanah. Bahkan dia telah memba-ngun sebuah ruang seperti istana di bawah tanah, lengkap dengan kursi kebesaran yang di-hiasai dengan sebuah tengkorak di samping hiasan mahal seperti permadani, lukisan dan tulisan indah. Sering kali dia secara sembunyi mengadakan pertemuan dan rapat rahasia de-ngan para tokoh orang katai yang menjadi pembantunya, dan pemuda tanggung ini diam-diam merencanakan pekerjaan besar untuk melanjutkan cita-cita ibunya.

Demikianlah, karena dia ingin menggunakan terowongan bawah tanah itu sebagai mar-kas partai orang kerdil , dan juga karena dia ingin mencari kalau-kalau ada harta atau pusaka peninggalan Rawa bangkai di terowongan itu, dia lalu mengerahkan para anak buahnya untuk membersihkan bagian terowongan yang dahulu diruntuhkan oleh ibunya dan oleh Kiam-mo Cai-li.

"Akan tetapi, Siauw-pangcu (Ketua Cilik)," seorang pembantu membantah sebelum pembongkaran dilakukan . "Tempat ini dahulu sengaja diruntuhkan oleh Ibu Pangcu untuk menutupi sumur ular di mana tubuh musuh Ibu Pangcu dilempar. Karena musuh itu lihai bu-kan main, maka Ibu Pangcu bersama Kiam-mo Cai-li dan Ouwyang Cin Cu memutuskan untuk menutup saja tempat ini agar pemuda sakti itu tidak mampu hidup kembali."

Han Bu Ong tertawa. "Ha, ha, mana mungkin Kwa Sin Liong dapat hidup kembali? Dia sudah di lempar di sumur ular, andaikata dia tidak mati oleh ular-ular itu, tentu selama dua tahun dikubur hidup-hidup di sumur itu dia kini sudah menjadi setan tengkorak, tinggal rang-kanya saja. Mengapa khawatir? Hayo bongkar! Kalau tidak dibongkar, terowongan ini tertu-tup sampai di sini, padahal kita amat membutuhkan sebagai jalan rahasia yang amat penting bagi perkumpulan kita."

Karena alasan yang dikemukakan ketua cilik ini memang tepat, maka beramai-ramai para manusia katai itu segera bekerja keras, membongkari batu-batu yang besar-besar dan be-rat itu, menggunakan alat pendongkel dan lain-lain. Hiruk pikuk suara di dalam terowongan itu dan pekerjaan yang berat itu biarpun dilakukan oleh hampir lima puluh orang, tetap saja memakan waktu yang cukup lama. Memang sesungguhnyalah bahwa merusak itu mudah membangun itu sukar, mengotori itu mudah membersihkannya tidak semudah itu. Setelah bekerja keras selama sepekan, barulah batu besar terakhir yang menutupi sumur dapat di-singkirkan. Han Bu Ong dan para anak buahnya seperti berlomba lari menghampiri sumur dan melongok ke dalam sumur yang amat gelap itu. Pada saat itu, terdengar suara angin menyam-bar dari bawah dan berkelebatlah bayangan orang yang melayang dari bawah, Han Bu Ong dan semua orang terkejut. Ketika mereka menoleh dan memandang bayangan orang yang tadi meloncat melewati kepala mereka, mereka melihat seorang laki-laki muda berdiri di situ sambil tersenyum, seorang pemuda yang berwajah tampan, yang memiliki sepasang mata yang lembut pandangannya namun bersinar cahayanya, pemuda yang pakaiannya lapuk dan compang camping. Tidak ada orang kerdil yang mengenal pemuda ini karena memang kea-daannya jauh berbeda dengan tahun yang lalu. Akan tetapi Han Bu Ong dengan suara gemetar membentakkan perintah,

"Serbu! Bunuh dia...!!" Orang -orang katai yang tadinya bengong terheran-heran dan ketakutan karena menduga keras bahwa tentu hanyalah siluman saja yang keluar dari sumur tertutup itu, ketika mendengar bentakan ini menjadi sadar. Kini mereka pun ingat bahwa tentu ini pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar ke dalam sumur. Biarpun mereka bergidik ngeri dan gentar mendapat kenyataan bahwa orang yang dua tahun lalu dilempar ke sumur ular yang tertutup kini ternyata masih hidup, namun karena maklum bahwa ini adalah musuh mereka dengan teriakan-teriakan ganas mereka menyerang orang itu. Memang benar dugaan Han Bu Ong. Orang ini bukan lain adalah Kwa Sin Liong.

Ketika Sin Liong akhirnya dari bawah mendengar suara hirup pikuk disebelah atas kemudian melihat cahaya turun melalui terowongan kecil jalan ular, dia menyeberangi tero-wongan dan tiba di dasar sumur pertama. akhirnya dia melihat betapa atap sumur yang tadinya tertutup batu besar itu terbuka dan melayanglah dia keluar. karena selama dua tahun dia tidak bertemu orang, begitu melihat Bu Ong dan orang-orang kerdil, dia tersenyum girang. Akan tetapi orang-orang kerdil itu dengan bermacam senjata telah menyerangnya. Sin Liong hanya mengerahkan sinkangnya membiarkan belasan senjata tajam menimpa tubuhnya. Terdengarlah teriakan-teriakan kaget karena semua senjata, baik yang tajam maupun yang tumpul, begitu mengenai tubuh pemuda itu, membalik seperti mengenai gumpalan karet yang amat kuat.

"Adik Bu Ong...bukankah engkau sute (Adik Seperguruan)...?"Sin Liong berkata halus sambil memandang kepada Han Bu Ong.

"Iblis! Siluman! Bunuh dia...!!"Bu Ong berteriak-teriak dengan muka pucat dan mata terbelalak. Biarpun hati mereka gentar sekali, namun orang katai itu kembali menyerbu dan hujan senjata menyambar tubuh Sin Liong. Kembali senjata-senjata itu mental, bahkan ada yang terlepas dari pegangan tangan pemiliknya. Sin Liong menarik napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya yang menjadi makincompang-camping, terkena bacokan senjata-senajata itu, kemudian sekali bergerak tubuhnya berkelebat melewati kepala para pengero-yoknya yang bertubuh pendek dan lenyap. Gegerlah para orang katai. Akan tetapi Han Bu Ong menyabarkan dan menenangkan hati mereka. Dia merasa yakin bahwa betapapun lihai nya Sin Liong, pemuda itu agaknya tidak akan mengganggunya. Maka dia melanjutkan ren-cananya dan melakukan perundingan dengan para anak buahnya. Seperti juga ibunya dahulu, pemuda tanggung ini sudah mulai dengan usahanya untuk mencari kedudukan dengan meng-hubungi seorang "pangeran" baru yang juga merasa tidak puas dengan kedudukan yang dipe-rolehnya setelah perjuangan mereka berhasil.

Pangeran ini dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani yang bergabung dengan An Lu Shan, bernama Shi Su beng yang kini dianugerahi pangkat "pangeran" oleh An Lu Shan. Shi Su Beng bermaksud untuk merebut tahta kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila terjadi kegagalan, maka terowongan bawah tanah milik Han Bu Ong itulah yang akan dijadi-kan tempat persembunyian. Setelah selesai mempersiapkan segala-galanya dan tempat itu di-tinjau sendiri oleh Pangeran Shi Su Beng, Han Bu Hong lalu pergi ke kota raja bersama seku-tunya itu untuk mulai melaksanakan siasat yang sudah mereka rencanakan lebih dahulu.

Memang selama dua tahun itu terjadi dua hal yang banyak tercatat da Kemenangan An Lu Shan ternyata tidak mendatangkan kemakmuran atau keamanan, bahkan sebaliknya. Selain kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan dan menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya itu kini menyusun kekuatan di barat untuk menyerbu dan merampas kembali kota raja, juga di dalam istana pemerintah baru sendiri terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan! Semua ini terjadi karena memang sesungguhnya para pemimpin pemberontak yang dahulu membe-rontak terhadap pemerintah dengan dalih "demi rakyat" atau demi keadilan, demi kebenaran, demi negara dan lain istilah muluk-muluk lagi itu sesungguhnya hanyalah "berjuang" demi dirinya sendiri saja! Semua istilah itu tak lain tak bukan hanyalah untuk dijadikan "modal" perjuangannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri. Hal ini sudah terlalu sering terjadi di dunia, berulang-ulang, namun sampai sekarang rakyat di seluruh dunia tetap bodoh, mau saja di peralat dan dicatut namanya oleh orang-orang yang berambisi untuk diri pribadi. Betapa banyaknya bukti akan kepalsuan ini dapat dilihat dalam sejarah di negara manapun di dunia ini. Sekelompok orang berambisi untuk keuntungan mereka sendiri, dengan siasat cerdik menggunakan nama rakyat untuk mencapai tujuan mereka, kalau perlu mereka mengorbankan rakyat. Rakyat sudah cukup puas memperoleh gelar "pahlawan" kalau sampai tewas dalam perjuangan yang sebenarnya adalah menyalah gunakan demi keuntungan kelompok yang mempergunakan mereka itu. dalam sejarah. Inilah sebabnya maka jika perjuangan telah berhasil, jika para kelompok pimpinan yang berambisi sudah memperoleh apa yang mereka kejar-kejar, maka rakyat pun dilupakan sudah! Bukan sengaja dilupakan, melainkan karena mereka yang sudah berhasil merampaskedudukan itu pun harus menghadapi lawan atau saingan yang juga ingin merebut kedudukan itu. Rakyat adalah orang yang berada dibawah, dan yang terinjak memang selalu yang berada di bawah. yang berada di atas tidak akan terinjak, akan tetapi mereka itu saling berebutan di antara mereka sendiri, memperebutkan kedudukan yang lebih enak dan empuk dari pada kedudukan yang telah dimilikinya.

Demikianlah pula dengan An Lu Shan dan teman-temannya yang telah berhasil dalam "perjuangan" mereka merampas kedudukan tahta kerajaan. Teman-teman yang tadinya ber-juang bahu-membahu, menjadi kawan senasib sependeritaan, yaitu di waktu mereka mem-berontak, kini setelah memperoleh apa yang mereka cita-citakan , berbalik mencurigai, saling iri! Memang belum ada yang secara berterang berani menentang An Lu Shan, bekas panglima yang masih amat kuat kedudukannya, didukung oleh pasukan-pasukan inti dan tampaknya semua pembantunya sudah menyetujui sebulatnya kalau An Lu Shan menjadi Kaisar. Akan tetapi diam-diam, banyak yang mepersoalkan pembagian pangkat dan kedudukan. Tentu saja yang merasa tidak puas adalah mereka yang memperoleh pangkat agak kecil, sedangkan yang menerima pangkat besar merasa curiga dan hati-hati menghadapi bekas teman yang memper-oleh pangkat yang lebih kecil. Terjadi dan berlangsunglah konflik sembunyi diantara mereka.


Ke manakah perginya Swat Hong dan Kwee Lun? Di bagian depan telah diceritakan betapa dua orang muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari keluar dari istana The Kwat Lin dan terus keluar dari kota raja Tiang-an. Mereka berlari dengan cepat mempergunakan kege-lapan malam, berhasil keluar dari benteng tembok kota raja karena para penjaga yang berada dalam suasana pesta kemenangan itu tidak melakukan penjagaan yang terlampau ketat. Se-telah terang tanah dan mereka tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota raja barulah keduanya berhenti, terengah-engah dan Swat Hong menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar. Wajahnya pucat biarpun muka dan lehernya penuh keringat yang di usapnya dengan ujung lengan bajunya. Pandang matanya merenung jauh sekali, dan dia diam saja, sama sekali tidak berkata-kata, sama sekali tidak bergerak, seperti dalam keadaan setengah sadar. Kwee Lun juga menghapus peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang kepada Swat Hong. beberapa kali dia menggerakan bibir hendak bicara namun ditahannya lagi. Pe-muda yang biasanya bergembira ini merasa betapa jantungnya seperti diremas-remas. Dia sendiri merasa kehilangan dan amat berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita yang amat dicintainya. Akan tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya menghadapi kematian, dia melupakan kedu-kaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat Hong. Melihat betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan, Kwee Lun merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja, gadis ini bisa jatuh sakit, kalau hanya sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau ter-serang batinnya lebih berbahaya lagi. Akhirnya dia memberanikan diri berkata lirih dan halus, "Mati hidup adalah berada di tangan Thian, kita manusia tak dapat menguasainya, Nona." Mendengar kata-kata ini, Swat Hong menengok dan memandang, akan tetapi pandang matanya tetap kosong, seolah-olah kata-kata itu tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya terdengar suara meragu,

"Hemm....?" Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk perasaan Kwee Lun. Maka pemuda ini lalu memberanikan diri melangkah lebih jauh lagi dengan kata-kata yang lebih membuka kenyataan, "Ibumu gugur sebagai seorang yang gagah perkasa."

Sepasang mata yang kehilangan sinar itu terbelalak, seolah-olah baru sadar dan bibir yang gemetar itu bergerak, mula-mula lirih makin lama makin keras, ".....Ibu.....? Ibu...., Ibu....!" Swat Hong menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ibunya.

"Tenanglah, Nona. Tenanglah....." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan gadis itu, akan tetapi suaranya sendiri parau dan agak tersedu.

"Ibu....! Mengapa aku meninggalkan ibu mati sendiri....? Ibu....! Hu-hu-huuuuuuuk, Ibuuuuuuuu.....!" Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan, akan tetapi melihat Swat Hong menjambak-jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir.

"Ingatlah, Nona. Ingatlah pesan Ibumu..... tentang pusaka Pulau Es...."

Swat Hong mengangkat muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah air mata, dia menubruk. "Toako.... ahhhh, Toako....!" Dan menangislah dia tersedu-sedu di dada pemuda itu yang dianggapnya merupakan satu-satunya sahabat di dunia yang baginya kosong ini. Kwee Lun memejamkan mata dan membiarkan gadis itu menangis terisak-isak. Dengan se-senggukan Swat Hong berkata, "Ibu tewas..... di depan mataku..... dan aku tidak dapat menolongnya..... hu-hu-huuuuuuuhhhh...... dan Ayah pun sudah tiada, Suheng juga...... hu-huuuuuuuuuhhh apa gunanya aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari pusaka dan mengembalikan ke Pulau Es?' Seperti seorang yang mendadak menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu melompat bangun mengepal tinju.

"Katakan, Kwee-toako, apa gunanya semua ini? Ayah ibuku sudah meninggal, dan su-heng satu-satunya orang yang kucinta..... dia pun tidak ada lagi......! katakan, apa perlunya aku hidup lebih lama?"

Kwee Lun teringat akan kematian Soan Cu yang menghancurkan perasaannya, akan tetapi dia menekan kedukaannya dan berkata, suaranya nyaring bersemangat, "Adik Hong, tidak semestinya seorang perkasa seperti engkau mengeluarkan kata-kata bernada putus asa seperti itu! Engkau adalah puteri dari Pulau Es! Kedukaan apa pun yang menimpa dirimu, harus kau atasi dengan gagah perkasa! Aku dapat memahami pesan mendiang Ibumu yang mulia dan gagah perkasa itu. Kalau pusaka keluargamu dari Pulau Es terjatuh ke tangan orang lain, bukankah itu amat sayang, berbahaya dan juga merendahkan ? Pusaka itu telah disela-matkan oleh Nona Bu Swi Nio dan Saudara Liem Toan Ki. Sebaiknya kalau kita segera me-nyusul mereka dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau Es."

Ucapan penuh semangat itu benar-benar menyadarkan Swat Hong, menarik gadis itu dari lembah kedukaan yang hampir mematahkan semangatnya. Dia menahan isak, menarik napas panjang dan menghapus air matanya, lalu memandang kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee Lun. "Kwee-toako, terima kasih atas peringatanmu. Hampir aku lupa akan tu-gasku. Memang benar, sudah berani hidup harus berani menghadapi apa pun yang menimpa kita. Engkau sungguh baik sekali, Toako. Engkau sendiri menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku......"

Kwee Lun mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar.....aku mencinta Soan Cu....... aku mencintanya......"

"Dan aku mencintai Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Engkau sendiri menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku......"

Kwee Lun mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar.... aku mencinta Soan Cu.... aku mencintanya........"

"Dan aku mencinta Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Akan tetapi, kau masih mempuyai Gurumu, sedangkan aku hanya seorang diri..... ah, sudahlah. Aku akan pergi, Toako. Semoga engkau akan dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupmu. Engkau baik sekali dan terima kasih."

Swat Hong berkelebat dan meloncat pergi. "Nanti dulu! Hong-moi.... biarlah aku membantumu....."

"Tidak usah, Kwee-toako. Aku akan menyusul mereka ke Puncak Awan Merah, kemu-dian aku akan kembali ke Pulau Es.... untuk.... untuk selamanya. Selamat tinggal!"

Swat Hong meloncat dengan cepat sekali dan sebentar saja dia sudah lenyap mening-galkan Kwee Lun yang menjadi lemas. Pemuda ini menjatukan dirinya duduk di atas tanah dan baru sekarang dia tidak dapat menahan bertitiknya air matanya dan baru sekarang terasa olehnya betapa dia kehilangan Soan Cu, betapa dunia terasa amat hampa dan sunyi. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan teringatlah dia kepada gurunya, Lam-hai Seng-jin yang seperti orang tuanya sendiri. Dia harus kembali ke Pulau Kura-kura di Lam-hai dan terbayang olehnya betapa suhunya itu akan terheran mendengar semua pengalamannya dengan keluarga Pulau Es!

Dengan perasaan yang kosong dan sunyi, ingatan akan gurunya ini merupakan setitik harapan kegembiraan hidupnya dan berlahan-lahan Kwee Lun meninggalkan hutan itu untuk kembali kepada gurunya yang sudah amat lama ditinggalkannya.

Sementara itu, dengan mata masih merah oleh tangisnya, Han Swat Hong melanjutkan perjalanan seorang diri dengan cepat untuk mengejar Swi Nio dan Toan KI. Kalau dia dapat menyusul mereka dan minta kembali Pusaka Pulau Es dia dapat langsung kembali ke Pulau Es dan selanjutnya...... entah, dia sendiri tidak tahu apakah dia ada niat untuk kembali ke da-ratan besar. Tidak, dia akan tinggal di pulau itu, di mana dia terlahir. Biarpun pulau itu sudah kosong, dia akan tinggal di tempat kelahirannya itu sampai mati! Bercucuran pula air matanya ketika dia berpikir sampai di situ dan terkenang kepada suhengnya. Kalau saja ada suhengnya di sisinya, tentu tidak akan begini merana hatinya. Akan tetapi, betapapun cepat Swat Hong melakukan pengejaran, tetap saja dia tidak berhasil menyusul Swi Nio dan Toan Ki. Bahkan ketika dia tiba di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw, di tempat ini dia hanya disambut oleh Ang-in Mo-ko Thio Sam, kakek yang menjadi murid kepala Tee-tok itu yang menceritakan bahwa Tee-tok bersama puterinya telah beberapa pekan pergi turun gunung dan bahwa selama itu tidak ada tamu, juga tidak ada Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki seperti yang ditanyakan oleh gadis itu.

Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya mulai bertanya-tanya. Celaka, pikirnya, ja-ngan-jangan dia telah salah memilih orang untuk dipercaya menyelamatkan Pusaka Pulau Es! Jangan-jangan dua orang muda itu sengaja melarikan pusaka-pusaka itu dan bersembunyi! Timbul kecurigaan yang diikuti kemarahan di hatinya, dan berbareng dengan perasaan ini timbul pula semangatnya yang tadinya amat menurun itu. Hidupnya masih perlu dan ada gu-nanya, setidaknya dia harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain! Perasaan marah dan khawatir ini mendatangkan perasaan bahwa dia masih amat dibutuhkan untuk hidup terus. Sambil menahan kemarahannya, dia berkata kepada murid ke-pala Tee-tok itu, "Andaikata ada datang Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki, harap minta kepada mereka untuk menanti saya di sini. Dua bulan lagi saya akan kembali menemui mereka." Ang-in Mo-ko Thio Sam yang sudah mengetahui kelihaian dara yang pernah menggegerkan Awan Merah ini, mengangguk-angguk.

Kemudian Swat Hong meninggalkan Puncak Awan Merah untuk mengambil jalan kem-bali ke jurusan kota raja untuk mencari kalau-kalau dua orang muda itu dapat berjumpa de-ngannya di jalan. Namun semua perjalanannya sia-sia belaka. Dua bulan kemudian, kembali dia tiba di Puncak Awan Merah dan untuk kedua kalinya Ang-in Mo-ko (Iblis Tua Awan Merah) menyatakan penyesalannya bahwa dua orang muda yang dicari itu belum juga datang, bahkan gurunya juga belum pulang. "Saya malah merasa gelisah juga memikirkan Suhu." kata kakek itu. "Keadaan di mana-mana sedang ribut dengan perang, akan tetapiSuhu pergi begitu lamanya belum juga pulang." Swat Hong menahan kemarahannya. Tidak salah lagi, pikirnya. Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki tentu berlaku khianat, menginginkan pusaka-pusaka itu untuk diri mereka sendiri. Aku harus mencari mereka dan selain merampas kembali pusaka, juga akan kuhajar mereka! Dia berpamit lalu pergi lagi, di sepanjang jalan dia memaki-maki Bu Swi Nio yang dipercaya.

"Dasar murid iblis betina itu," gerutunya. "Gurunya sudah mati, kini muridnya yang menyusahkan aku!" Mulailah Swat Hong mencari-cari kedua orang itu tanpa hasil. sampai dua tahun dia berkelana mencari-cari kedua orang muda itu namun anehnya, tidak ada seo-rang pun manusia yang tahu akan mereka. Akhirnya timbullah pikirannya bahwa sangat boleh jadi Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki yang tadinya adalah anak buah An Lu Shan yang kini membalik dan berkhianat itu takut kepada pembalasan pemerintah baru dan telah lari me-ngungsi ke barat, ke Secuan. Sangat boleh jadi! Pikiran ini membuat dia mengambil kepu-tusan dan berangkatlah dia ke Secuan. Sambil mencari pusaka, dia pun ingin membantu Kaisar yang kabarnya sedang menyusun kekuatan untuk menyerang dan merebut kembali tahta kerajaan. Sebaliknya kalau dia membantu, pikirnya. Selain untuk mengisi kekosongan hidupnya, juga sekalian untuk mencari Bu Swi Nio an Liem Toan Ki, juga untuk menghan-curkan semua kaki tangan An Lu Shan termasuk Ouwyang Cin Cu, dan juga mengingat bahwa ayahnya adalah seorang keturunan pangeran atau raja muda, maka sebenarnya dia masih berdarah bangsawan dan masih ada hubungan darah dengan keluarga kaisar sehingga sepatutnyalah kalau dia membantu.

Sementara itu, di ibu kota yang telah diduduki An Lu Shan, di dalam istana di mana An Lu Shan mengangkat diri sendiri menjadi raja, terjadilah hal-hal yang hebat! An Lu Shan sen-diri masih melanjutkan wataknya yang kasar dan mau menang sendiri. Satu di antara kesuka-annya adalah wanita, maka begitu dia berhasil, tak pernah berhenti setiap malam dia berganti wanita mana saja yang dipilih dan ditunjuknya, tidak peduli wanita itu masih gadis atau isteri orang lain sekalipun! Pada suatu malam, dalam keadaan mabok dan sedang gembiranya, An Lu Shan lupa diri dan dalam keadaan setengah sadar dia memasuki kamar mantu perempuan nya yang sudah lama sekali dia rindukan secara diam-diam. Kalau sadar dan tidak mabok, dia masih menahan hasrat hatinya. Akan tetapi malam itu, dalam keadaan mabok, dia tidak mem-pedulikan apa-apa lagi dan memasuki kamar mantunya! Tidak ada seorang pun manusia di dalam istana yang berani melarang, dan pada saat itu, putera An Lu Shan sedang tidak berada di situ. Dengan penuh perasaan duka dan ketakutan, mantu yang muda dan cantik jelita itu tidak kuasa menolak atau memberontak, sambil menangis dia terpaksa membiarkan dirinya dipeluk dan diciumi mertua yang mabok itu. Dengan suara lirih dan membujuk dia masih berusaha mengingatkan An Lu Shan, namun seorang laki-laki yang tidak hanya mabok arak, melainkan juga mabok cinta berahi, tidak mempedulikan apa pun. wanita hanya dapat merintih dan menangis, diseling suara ketawa gembira dari An Lu Shan.

Ketika pintu kamar itu dengan paksa dibuka dari luar oleh pangeran, An Lu Shan telah tidur mendengkur kelelahan dengan muka merah karena banyak arak, sedangkan isteri pangeran itu menangis terisak-isak, berlutut di atas lantai. Pangeran itu menjadi mata gelap, pedang dicabut dan sekali meloncat dia telah menikam dada ayahnya sendiri. "Crappp....!"

"Auhhh.... haiii.... kau.... kau.....?" An Lu Shan yang bertubuh kuat itu, biarpun pedang telah menembus dadanya, masih dapat meloncat dan memcengkeram ke arah puteranya. Akan tetapi pangeran yang sudah mata gelap itu mengelak, kakinya menendang sehingga An Lu Shan terdorong jatuh, membuat pedang itu masuk makin dalam. Dia berkelojotan dan tak bergerak lagi!

"Tangkap pembunuh.....!!" teriakan ini keluar dari mulut Shi Su Beng yang bersama de-ngan Han Bu Ong sudah lari ke dalam kamar. Shi Su Beng menggerakan pedangnya dan terdengar teriakan mengerikan ketika pangeran itu roboh pula di dekat mayat ayahnya dalam keadaan tak bernyawa pula karena lehernya hampir putus terbabat pedang Pangeran Shi Su Beng! Gegerlah seluruh istana. rapat kilat diadakan dan Shi Su Beng yang dianggap membela Kaisar itu mempergunakan kesempatan ini untuk merampas kedudukan Kaisar!

Dalam keadaan kacau balau itu, Shi Su Beng mengangkat diri sendiri sebagai raja dan Han Bu Ong menjadi raja muda pembantunya yang setia! Hanyalah mereka berdua saja yang tahu bahwa semua peristiwa itu memang digerakkan oleh mereka berdua! Shi Su Beng yang membangkitkan berahi An Lu Shan terhadap mantu perempuannya, bahkan di dalam mabok, Shi Su Beng yang membujuk supaya Kaisar baru itu memasuki kamar dengan mengatakan bahwa di dalam kamar itu dia telah menyediakan seorang wanita cantik mirip mantunya itu untuk An Lu Shan! Dan selagi An Lu Shan yang mabok itu menggagahi mantunya sendiri, diam-diam Han Bu Ong menghubungi pangeran dan membisikan bahwa ada penjahat mema-suki kamarnya. Maka terjadilah seperti apa yang telah direncanakan oleh mereka berdua, yaitu kematian An Lu Shan di tangan puteranya sendiri dan kemudian kematian pangeran di tangan Shi Su Beng. Terjadilah perubahan besar-besaran di kota raja, pergantian kekuasaan dan kembali Han Bu Ong berhasil mengangkat dirinya sendiri seperti yang dicita-citakan ibunya, yaitu menjadi seorng pangeran yang berkuasa, jauh lebih berkuasa dari pada di waktu ibunya masih hidup, yaitu menjadi tangan kanan penguasa baru yang menjadi sekutunya!

Akan tetapi, jatuhnya An Lu Shan dan berpindahnya kekuasaan di tangan Shi Su Beng, masih saja belum meredakan ketegangan-ketegangan di kota raja akibat perebutan kekuasaan. Seperti biasa penguasa baru mengangkat teman-temannya sendiri menduduki jabatan tinggi, melakukan penggeseran-penggeseran sehingga menimbulkan dendam dari kawan-kawan yang berbalik menjadi lawan. Dalam keadaan seperti itu, kacau rencana perebutan kekuasaan, kalau perlu dengan cara halus maupun kasar, para pemberontak yang kini memegang tampuk kera-jaan itu menjadi lalai. Mereka terlalu memandang rendah Kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan, menganggap keluarga Kaisar lama itu sudah jatuh benar-benar. Kesibukan untuk kepentingan ambisi pribadi membuat mereka lengah dan kurang memperhatikan pertahanan sehingga mereka tidak tahu betapa Kaisar dan keluarganya di Secuan telah membentuk keku-atan baru untuk melakukan pembalasan! Kaisar Tua Hian Tiong, yang hancur lahir batinya karena bukan hanya mahkota kerajaan dirampas oleh pemberontak An Lu Shan, akan tetapi terutama sekali karena selirnya tercinta, Yang Kui Hui, harus mati digantung oleh kepu-tusannya sendiri, setibanya di Secuan, menjadi seorang kakek yang patah semangat dan selalu tenggelam dalam duka cita. Dalam keadaan mengungsi itu, di Secuan, keluarga kaisar dan para pengikutnya yang masih setia, menerima keputusan Kaisar Tua untuk mengangkat Kai-sar baru, yaitu putera mahkota yang bergelar Su Tiong.

Pada waktu itu sisa pasukan pemerintah yang telah kalah perang terhadap An Lu Shan, di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu I, telah menyusul pula ke Secuan. Kaisar Su Tiong lalu menghimpun kekuatan dari rakyatnya di daerah Secuan, dan minta bantuan kepada negara-negara tetangga yang bersahabat. Maka terkumpullah pasukan-pasukan campuran yang terdiri dari bermacam suku, bahkan terdapat pula bangsa Turki, Tibet, dan kemudian sekali datang pula bala bantuan dari pasukan Arab yang dikirim sebagai tanda bersahabat oleh Kalipu. Pasukan-pasukan itu disusun menjadi barisan besar dan diberi latihan-latihan berat dalam persiapa kaisar Su Tiong untuk merampas kembali kerajaannya, Kok Cu I.

Tidak ada hal penting terjadi selama perjalanan Swat Hong menuju ke Secuan. Gadis yang dahulu berwatak periang dan jenaka itu, yang wajahnya selalu berseri dan gembira, kini menjadi pendiam dan ada garis-garis dan bayangan muram di wajahnya yang tetap cantik jelita walaupun tidak pernah bersolek. Perantauan selama dua tahun mencari-cari pusakanya yang hilang tanpa hasil itu membuat dia merasa berduka dan juga penasaran sekali. Di dalam hatinya di berjanji bahwa dia takkan pernah berhenti mencari sebelum mendapatkan pusaka Pulau Es itu. Dalam perantauannya itu dia mendengar pula tentang kematian An Lu Shan dan puteranya. Ketika dia tiba di Secuan, pada waktu itu Kaisar yang baru, yaitu Kaisar Si Tiong, memang sedang menyusun tenaga di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu I sendiri. panglima Kok ini menyebar para pembantunya, yaitu panglima-panglima bawahan di seluruh daerah Secuan untuk menerima dan mendaftar para sukarelawan yang hendak masuk menjadi tentara. Seorang di antara bawahannya yang bertugas mengumpulkan bala bantuan bahkan menghubungi orang-orang asing dari barat ini adalah Panglima Bouw Kiat.

Panglima inilah yang telah berjasa menghubungi orang-orang Arab sehingga akhirnya Kaliphu (yang kuasa di Arab) sendiri mengirim pasukan bala bantuan. Bouw Kiat berke-dudukan di sebuah dusun daerah selatan dan di sini dia menyusun pasukannya sambil menja-mu pasukan dari Arab yang sebagian kecil sebagai pasukan pelopor telah tiba di situ. panglimaKok Cu I yang cerdik memisah-misahkan para pasukan asing yang membantunya agar menjauhkan terjadinya bentrokan. Pasukan bantuan dari Turki berada di utara, dari Tibet berada di selatan dan dari timur adalah pasukan yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.

Pada suatu hari, Swat Hong tiba di daerah yang dikuasai oleh Panglima Bouw Kiat inilah. Dara ini merasa heran ketika melihat ada banyak tentara asing yang bertubuh jangkung, bersikap gagah dan berkulit coklat gelap, bermata tajam dan bercambang bauk berkeliaran di daerah itu. Di tengah jalan, dia melihat seorang laki-laki asing yang tinggi besar dan gagah, memegang gandewa dan anak panah dikelilingi prajurit-prajurit Han dan Arab sambil tertawa-tawa. Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang gagah itu berkata dalam bahasa Han yang kaku, "Lihat burung-burung itu! Aku akan menurunkannya sekaligus tiga ekor. Yang mana kalian pilih?"

Swat Hong tertarik , berhenti dan memandang ke atas. Diam-diam dia terkejut dan me-nganggap orang itu sombong. Mana bisa menjatuhkan burung-burung yang terbang begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau orang ini bukan seorang ahli panah yang sakti?

"Tiga ekor dari depan!" terdengar teriakan.

"Tidak, yang paling belakang adalah paling sukar!" kata orang lain.

Perwira bangsa Arab itu tersenyum dan tampaklah giginya yang rata dan putih berki-lauan, kumisnya bergerak-gerak. "Biar kujatuhkan dua terdepan dan burung terakhir!" Kelompok burung yang terbang tinggi sudah tiba tepat di atas mereka. Perwira itu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya, lalu menarik tali gendewa . Terdengar suara men-jepret dan meluncurlah tiga batang anak panah seperti tiga sinar berkilauan ke atas. Dari ba-wah tidak kelihatan bagaimana burung-burung itu terkena anak panah, namun jelas tampak betapa dua ekor burung terdepan dan seekor paling belakang tiba-tiba runtuh ke bawah. Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semua orang melihat bahwa dada burung itu tertusuk anak panah, mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.

"Boleh juga dia," pikir Swat Hong sungguhpun dia maklum bahwa kepandaiannya me-manah seperti itu hanyalah berguna untuk pertempuran jarak jauh dan sama sekali tidak ada artinya untuk pertandingan berhadapan. Tentu kalah cepat oleh am-gi (senjata rahasia) seperti jarum, paku, piauw dan lain-lain.

"Hai, Nona! Tepuk tangan untuk kelihaian Perwira Ahmed!" Tiba-tiba ada seorang laki-laki menegur Swat Hong. Laki-laki ini adalah seorang perajurit Han dan sambil menyeringai dia bertepuk tangan dan mendesak Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan.  JILID 23 Akan tetapi Swat Hong tidak mau melayaninya, membuang muka dan melanjutkan langkahnya. Akan tetapi laki-laki itu melompat dan menghadang didepannya sambil bertolak pinggang. "Eitt..... nanti dulu! Berani kau menghina Perwira Ahmed? Dia bukan hanya lihai dan menembak tepat, juga banyak wanita tergila-gila kepadanya! Dan kau berani memandang rendah?"

Swat Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!" sambil melangkah terus. "Dan kau laki-laki kurang ajar!" Swat Hong berkata dan sekali dia meng-gerakan lengannya yang terpegang, dia berbalik sudah memegang pergelangan tangan laki-laki itu dan begitu dia membetot, laki-laki itu jatuh tersungkur mencium tanah!

"Aihhh, berani kau memukulku?" Prajurit itu marah sekali dan cepat melompat dan menubruk. "Plakkk! Augghhh....!" Perajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya membengkak. Melihat ini, lima orang perajurit kawan orang pertama itu menjadi marah dan menerjang maju.

"Tangkap, dia tentu mata-mata!" Swat Hong merasa muak sekali dan juga marah. Meli-hat lima orang itu menerjang dan hendak berlumba menangkap dan merangkulnya, kaki ta-ngannya bergerak dan dalam segebrakan saja, lima orang itu pun roboh tersungkur dan tidak dapat berlagak lagi karena mengaduh-aduh kesakitan. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan banyak anak buah pasukan mengurung, akan tetapi tiba-tiba perwira yang ahli menggunakan anak panah tadi meloncat maju dan menghadik. "Mundur semua!"

Setelah orang-orang mundur tidak melanjutkan gerakan mereka untuk mengeroyok, perwira itu membungkuk di depan Swat Hong sambil berkata, "Harap Nona maafkan. Sudah lazim bahwa anak buah pasukan selalu bersikap kasar. Nona tentu bukan orang sini, kalau boleh bertanya hendak ke manakah?"

"Hemm, pikir Swat Hong. Pantas kalau banyak wanita tergila-gila. Memang perwira yang bernama Ahmed ini gagah sekali, gagah dan tampan, amat keras daya tariknya terhadap wanita terutama sekali sepasang matanya yang tajam dengan bulu mata panjang lentik dan alis yang tebal itu. Juga dagunya berlekuk dan menambah kejantanannya. Selain tampan dan gagah, juga laki-laki ini pandai bersikap manis terhadap wanita.

"Sudahlah," kata Swat Hong. “Aku pun tidak ingin mencari permusuhan, asal mereka jangan kurang ajar. Bahkan aku ingin menghadap Kaisar untuk membantu perjuangannya. Di manakah aku dapat menghadap Kaisar?"

Mendengar ucapan gadis yang cantik jelita dan gagah itu, seketika lenyaplah kemarahan para prajurit. "Aih, kiranya seorang lihiap (pendekar wanita)!"

"Tentu tokoh kang-ouw kenamaan!"

Perwira Ahmed menghentikan ribut-ribut itu dan kembali dia tersenyum, manis dan me-narik sekali. "Untuk membantu perjuangan, tidak perlu menghadap Sri Baginda, Nona. Tidak mudah menghadap Sri Baginda yang sedang sibuk. Kebetulan di sini juga merupakan markas dan dipimpin Bouw-ciangkun. Banyak pula orang-orang kang-ouw yang telah diterima men-jadi sukarelawan. Akan tetapi baru sekarang datang seorang sukarelawati seperti Nona. Ahh, terimalah hormat dan rasa kagumku, Nona. Engkau tentulah yang disebut pendekar wanita dari dunia kang-ouw, bukan?"

Swat Hong tidak peduli, yang penting adalah membantu perjuangan untuk membasmi An Lu Shan dan keturunan atau penggantinya. "Dapatkah aku bertemu dengan Bouw-ciang-kun?"

"Tentu saja. Akan tetapi, perkenankanlah aku memuaskan keinginan hatiku yang sudah terpendam bertahun-tahun untuk menyaksikan kelihaian seorang pendekar wanita dari timur, Nona." Perwira Ahmed memperlihatkan gendewanya. "Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak panah?"

Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu, mungkin perwira ini ter-masuk seorang di antara para pengujinya.

"Senjata ini kurang praktis untuk pertandingan jarak dekat dan terang-terangan." Perwira Ahmed mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum manis. "Benarkah? Nona, dengan gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam jarak seratus langkah, biar-pun musuh itu menggunakan senajta apa pun untuk melindungi dirinya. Aku dapat melepas-kan anak panah terus-menerus dan bertubi-tubi sampai puluhan batang!"

"Hemm, mungkin berhasil merobohkan segala burung dan manusia yang bodoh saja."

"Wah....!" Ahmed membelalakkan matanya. "Apakan di dunia ini ada orang yang sang-gup menyelamatkan diri dalam jarak seratus langkah dari gendewaku?"

"Boleh kaucoba. Aku bersedia."

"Eiiiihhh, jangan, Nona! Aku akan menyesal selama hidupku kalau sampai melukaimu, apalagi membunuhmu!"

"Tidak perlu khawatir, aku malah akan menghadapi hujan anak panahmu itu dengan tangan kosong!"

"Mustahil!" Orang Han yang pertama kali dirobohkan Swat Hong, kini mendekat dan karena dia maklum akan kelihaian dara itu, kini dia hendak mencari muka dan berkata,

"Saudara Ahmed, jangan memandang rendah seorang lihiap. Dia pasti akan sanggup memenuhi kata-katanya."

Atas dorongan dan desakan banyak orang, akhirnya Ahmed mau juga mencoba kepan-daian wanita cantik jelita itu. Dengan tenang Swat Hong melangkah sambil menghitung sampai seratus, langkah pendek-pendek saja, kemudian membalik dan menghadapi Ahmed dengan mata tak berkedip.

"Wah, terlalu dekat....! Terlalu dekat sekali! langkahmu begitu pendek-pendek, Nona. Ini hanyalah lima puluh langkah, tidak ada seratus!" Ahmed berteriak sambil melangkah mun-dur sampai lima puluh langkah. Diam-diam Swat Hong memuji kejujuran dan niat baik di hati perwira asing itu. "Terserah kepadamu. Nah, aku sudah siap." katanya.

Ahmed ragu-ragu, mukanya agak pucat. "Tapi...... tapi, setidaknya kau harus membawa pedang untuk menangkis atau sebuah perisai."

"Tidak perlu. Seranglah!" Didesak oleh orang banyak, dan memang di dalam hatinya dia juga merasa penasaran sekali, Ahmed lalu memasang lima batang anakpanah di gende-wanya, dan masih ada puluhan batang di tempat anak panah yang siap untuk disambar tangan kanan menyusul rombongan anak panah terdahulu. "Nona, siap dan hati-hatilah!" teriaknya dan terdengar suara menjepret ketika tampak lima sinar berturut-turut meluncur ke arah Swat Hong, diikuti oleh puluhan pasang mata yang tidak berkedip dan dengan hati penuh kete-gangan. Swat Hong melihat betapa lima batang anak panah itu meluncur disekeliling tubuh nya. Tahulah dia bahwa orang itu memang amat hebat ilmu panahnya akan tetapi juga amat lembut hatinya terhadap wanita sehingga sengaja membuat anak panah rombongan pertama menyeleweng. Dia diam saja tidak bergerak membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan menahan napas dari semua orang yang sudah merasa ngeri melihat nona itu sama sekali tidak mengelak! Ahmed membelalakkan matanya. hampir dia tidak percaya. Anak panahnya itu hanya sedikit saja selisihnya dari kulit tubuh wanita itu, namun wanita itu dengan tenang saja berdiri diam tidak bergerak!

"Tidak perlu sungkan, bidik yang tepat!" Swat Hong berkata setelah dia merasa yakin bahwa luncuran anak panah itu dapat diikuti dengan pandang matanya sehingga mudah bagi dia untuk menjaga diri. Lima batang lagi anak panah sudah berada di gendewa Ahmed dengan cepat bukan main dan kembali terdengar suara menjepret ketika lima batang anak panah itu menyambar seperti kilat ke arah Swat Hong. Dara itu melihat betapa lima batang ini menyam-bar ke arah kakinya semua, maka dia mengerti bahwa Ahmed masih saja khawatir kalau-kalau mencelakainya, maka dia meloncat dan sekaligus menendang ke bawah sehingga dia bukan hanya mengelak, bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah itu! Ahmed menge-luarkan seruan kagum dan kini dia pun tidak ragu-ragu lagi akan kehebatan pendekar wanita itu. Anak panahnya meluncur bertubi-tubi seperti hujan derasnya, susul menyusul ke arah tubuh Swat Hong dan dara ini pun memperlihatkan kepandaiannya. Sambil mengelak ber-loncatan ke sana-sini, tangannya menyambar dan dua batang anak panah ditangkapnya dengan kedua tangannya, lalu dia menggunakan dua batang anak panah itu untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian dengan cepat dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak panah yang meluncur cepat ke arah Ahmed.

“Auhhh....!" Ahmed berteriak kaget dan gendewanya terlepas dari tangan kirinya karena tangan kirinya itu kena sambar sebatang anak panah. Gendewanya terlepas akan tetapi tangan kirinya tidak terluka karena anak panah yang menyambar tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan ujung yang runcing yang mengenai tangannya, melainkan ujung bela-kang yang bulu-bulunya telah dibuang . Ahmed segera lari menghampiri Swat Hong, meman-dang penuh kagum, kemudian dia membungkuk sampai dalam sambil berkata,

"Duhai....., Nona adalah setangkai bunga di tengah padang pasir! Satu di antara puluhan ribu wanita belum tentu ada yang seperti Nona...... saya merasa kagum dan hormat sekali.....!" Wajah Swat Hong menadi merah. Bukan main hebatnya pujian yang keluar dari mulut pria ini, pujian yang aneh dan istimewa. Akan tetapi sebelum dia menjawab terdengar kaki kuda ber-derap dan muncullah seorang panglima sebangsa Ahmed naik kuda. Usianya tentu sudah em-pat puluhan tahun, tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan, akan tetapi begitu bertemu pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada panglima ini karena pandang mata itu seolah-olah hendak menelanjangi dan sinar mata orang itu seperti dapat menembus pakaian nya! Ahmed cepat berdiri dengan tegak memberi hormat kepada atasannya. Panglima itu lalu bertanya kepada Ahmed dalam bahasa mereka sendiri yang tidak dimengerti oleh Swat Hong, dijawab pula oleh Ahmed. Panglima itu mengangguk-angguk, bicara lagi lalu memutar kuda-nya pergi dari tempat itu setelah melempar kerling penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong. "Nona, Komandanku tadi bertanya tentang Nona dan menyuruh Nona langsung saja menghadap Bouw-ciangkun untuk melapor. Tentu saja bantuan tenaga seorang yang berke-pandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan dibutuhkan. Mari Nona, saya antar."

"kau baik sekali, terima kasih," jawab Swat Hong yang merasa memperoleh seorang sahabat dalam diri perwira yang simpatik ini.

"Nama saya Ahmed, Nona." Swat Hong tersenyum, mengerti bahwa itulah cara yang sopan dari sahabat barunya untuk menanyakan namanya. "Dan namaku Han Swat Hong." Mereka memasuki sebuah bangunan besar dan di ruangan dalam, Ahmed membawa Swat Hong ke dalam sebuah kamar di mana duduk seorang tua berpakaian panglima perang. Orang ini berusia lima puluh tahun lebih, mukanya bulat dan matanya sipit menjadi agak lebar ketika dia memandang Swat Hong yang datang bersama Ahmed. Setelah memberi hormat, Ahmed berkata "Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi sukarelawati."

"Hemm, aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau boleh pergi meninggalkan Nona ini di sini," jawab Panglima Bouw dengan sikap angkuh. Menyaksikan sikapnya ini saja Swat Hong sudah merasa kurang senang. Ahmed memberi hormat, melirik kepada Swat Hong lalu melangkah keluar dengan tegap. Setelah derap kaki Ahmed tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi sunyi sekali biarpun di situ, selain Bouwciangkun dan Swat Hong, masih terdapat empat orang pengawal yang berdiri di sudut kamar seperti arca. "Silahkan duduk, Nona." Suara Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti tadi, melainkan lunak dan manis. Hal ini membuat Swat Hong makin tidak senang lagi, akan tetapi karena kedatang- annya hendak membantu kerajaan melawan pemberontak, bukan hendak berhubungan dengan orang ini, dia tidak banyak cakap, lalu duduk. "Kami telah mendengar akan kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian di luar tadi. Kebetulan sekali kedatangan Nona, karena Kaisar memang membutuhkan seorang pengawal wanita untuk menjaga keselamatan keluarga Kaisar. Oleh karena itu, harap Nona menanti di dalam pesanggrahan, kalau kesempatan sudah terbuka, kami akan mengantarkan Nona untuk menghadap Kaisar sendiri."

Girang juga hati Swat Hong karena dia lebih senang untuk bekerja dekat dengan kelu-arga Kaisar daripada bekerja sama dengan para prajurit Kaisar itu. Pula, memang karena me-rasa bahwa ayahnya adalah masih sedarah dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga Kaisar, maka pekerjaan menjadi pengawal untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar amatlah cocok baginya. "Baik, saya akan menanti," jawabnya.

Setelah mencatatkan nama Swat Hong, Bouw-ciangkun sendiri lalu mengantarkan dara itu pergi ke pesanggrahan, yaitu sebuah bangunan yang terpencil, berada di pinggir gunung, bangunan yang bentuknya indah dan mungil. Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong me-lihat beberapa orang penjaga yang jumlahnya hanya belasan orang akan tetapi senjata mereka aneh, yaitu sebatang pedang yang bengkak-bengkok seperti ular dan memegang perisai yang bentuknya seperti batok kura-kura.

"Mereka ini adalah pasukan istimewa, pasukan pengawalku." kata Bouw-ciangkun men-jelaskan dengan nada suara bangga ketika Swat Hong memandang mereka itu yang berdiri tegak dan memberi hormat kepada Bouwciangkun dengan gagah. Setelah mereka memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun melanjutkan, "Mereka terdiri dari orang-orang pilihan, berma-cam suku bangsa di barat dan utara."

Akan tetapi Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang pasukan penga-wal tadi, karena dia sedang memperhatikan keadaan pesanggrahan yang cukup mewah itu. "Rumah ini kosong?" tanyanya. "Memang di kosongkan dan disediakan untuk tamu agung. Karena sekarang tidak ada tamu, maka Nona boleh beristirahat di sini barang sehari dua hari untuk menanti kesempatan Kaisar dapat menerima Nona menghadap. saya akan mengirim dua orang pelayan wanita untuk melayani segala keperluan Nona, dan sekarang juga saya akan berusaha melaporkan kedatanganNona kepada kaisar."

Swat Hong hanya memangguk dan pembesar itu pergi meninggalkannya. Ketika Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesangrahan itu yang ternyata mewah dan lengkap dengan kamar tidur yang indah, masuklah dua orang pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan.

"Kami menerima perintah untuk melayani Nona di sini," kata mereka dan segera mere-ka sibuk di dapur. Swat Hong merasa tidak enak hatinya. Dia melamar untuk menjadi pejuang membantu Kaisar, akan tetapi dia diterima seperti seorang tamu agung, ditempatkan di rumah mungil dan dilayani dengan istimewa seperti dimanja! Apakah karena dia wanita? Ataukah karena dia memperlihatkan kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi pengawal keluarga Kaisar? Dia ingin melihat-lihat keadaan di luar. Akan tetapi baru saja dia meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba-tiba muncullah tiga orang mengawal istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular dan perisai kura-kura tadi.

"Harap Nona jangan meninggalkan pondok . Kami diperintah untuk menjaga pesang-grahan dan kalau Nona memaksa pergi kami harus mengawal Nona." Swat Hong menge-rutkan alisnya. Akan tetapi karena maksud itu baik, biarpun dianggapnya tidak ada gunanya, aneh dan menyebalkan, dia tidak menjawab melainkan kembali memasuki pondok, terus ke kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan. Dia merasa seperti seorang asing di situ. Tiba-tiba dia tersenyum teringat kepada Ahmed. Untung ada orang yang simpatik itu. Seti-daknya, dia yakin bahwa dia mempunyai seorang sahabat yang boleh dipercaya. Akan tetapi baru saja dia beristirahat di atas tempat tidur yang lunak itu, terdengar suara hiruk pikuk di luar. Swat Hong yang memang selalu merasa tidak enak itu meloncat dan berlari ke luar. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang datang adalah Bouw-ciangkun dan Panglima Arab tinggi besar yang menjadi atasan Ahmed tadi, diiringkan oleh tujuh orang pelayan pria yang membawa baki tertutup. Begitu berhadapan, Bouw-ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata,

"Kiong-hi (selamat), Nona Han. Kami telah menghadap Kaisar dan karena Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh menghadap sendiri. Sementara itu, Beliau mengirim kami berdua untuk menemani Nona menerima hidangan yang dikirim dari dapur keluarga Kaisar!" Hati Swat Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi karena nama Kaisar disebut-sebut, dia ti-dak berani menolak. Dia tahu bahwa penolakan hadiah dari Kaisar dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan! Banyak dia mengerti tentang peraturan kerajaan, karena selain dia sendi-ri adalah puteri raja di Pulau Es juga dia banyak membaca kitab-kitab ayahnya tentang peng-hidupan keluarga Raja di daratan besar. Terpaksa dia membalas dengan menjura penuh hor-mat, kemudian bersama dua orang panglima itu dia memasuki pondok dan duduk menghadapi meja besar bersama mereka berdua. Setelah hidangan yang lengkap dan masih panas diatur di atas meja dan para pelayan mudur berdiri di sudut, dua orang pelayan wanita muncul melayan i mereka makan minum. Bouw-ciangkun memperkenalkan panglima itu sebagai panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang membantu. "kami mengandalkan bantuan sahabat-sahabat dari barat ini untuk merampas kembali kota raja." antara lain Bouw-ciangkun berkata, akan tetapi urusan itu hanya didengarkan sepintas lalu saja oleh Swat Hong yang menghendaki agar pertemuan ini cepat selesai. Dengan tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu mengisi cawan-cawan kosong di depan Swat Hong, Panglima Arab, dan dia sendiri, lalu me-ngangkat cawan arak sambil berkata, "mari kita mulai makan minum bersama dengan mengu-capkan terima kasih kepada Sri Baginda dengan mengangkat cawan penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda Kaisar!" Swat Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka, kemudian Bouw-ciangkun mempersilahkan Swat Hong dan Panglima Arab itu untuk mulai makan. Sambil makan, Bouw-ciangkun dengan gembira menceritakan keadaan mereka, keku-atan yang sedang mereka susun, juga menceritakan kekacauan di kota raja sebagai akibat perebutan kekuasaan di antara para peberontak sendiri. Betapa An Lu Shan dan puteranya tewas dan sekarang Shi Su Beng yang berkuasa juga menghadapi bersaingan dari bekas kawan-kawannya sendiri.

"Ha-ha-ha, seperti sekumpulan anjing memperebutkan tulang!" Dia menutup ceritanya sambil tertawatawa. Panglima Arab itu yang diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik, mengeluarkan sebuah guci yang bentuknya seperti tanduk kerbau, membuka tutupnya dan mencium bau harum yang aneh. Sambil tertawa dia mengacungkan guci tanduk kerbau itu sambil berkata, "Nona adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dipilih untuk menjadi pengawal Sri Baginda. karena itu sudah sepatutnya menerima penghormatan kami dengan anggur padang pasir ini! Marilah kita minum tiga cawan untuk pertama, demi keselamatan Sri Baginda sekeluarga!"

Dia mengisi cawan arak di depan Swat Hong dengan minum dari guci tanduk kerbau itu, tidak banyak, hanya setengah cawan kurang. karena dia diajak minum demi keselamatan kelu-arga kaisar, tentu saja Swat Hong tidak menolak, apalagi karena dia melihar betapa Bouw ciangkun dan Panglima Hussin sendiri juga minum. Diminumnya cawannya dan ternyata ang-gur itu enak dan tidak begitu keras, manis dan harum sungguhpun agak aneh harumnya. "Secawan lagi kita minum demi persahabatan kita!" Kembali Swat Hong minum dari cawan araknya yang sudah diisi lagi setengahnya. "Dan cawan terakhir kita minum untuk keme-nangan perjuangan kita!" Sekali ini cawan itu dipenuhi dan karena anggur itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh apa-apa, Swat Hong tidak khawatir dan minum anggur sampai habis. panglima Hussin dan Bouw-ciangkun tertawa girang dan melanjutkan makan minum sepuas-puasnya. Setelah kenyang, kedua orang panglima itu berpamit dan sambil tertawa Bouw-ciangkun berkata, "Harap Nona jangan pergi meninggalkan pesanggrahan ini karena siapa tahu tiba-tiba saja Sri Baginda Kaisar telah siap menerima kunjungan Nona. hal itu bisa saja terjadi di siang hari atau di malam hari. Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam pesanggrahan dan sewaktu-waktu, kalau Sri Baginda menghendaki, aku sendiri atau Panglima Hussin yang akan datang menjemput Nona."

Swat Hong mengangguk dan setelah dua orang panglima itu pergi dan meja dibersihkan lalu ditinggal pergi oleh para pelayan, dialalu minta kepada wanita pelayan untuk menyedia-kan air. Setelah mandi dan tukar pakaian, Swat Hong kembali beristirahat di dalam kamar yang indah itu. Berada di dalam kamar ini teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau Es, kamar yang lebih indah dan lebih menyenangkan lagi. Dia menutup mulut dengan tangan dan menguap..... goyang-goyang kepalanya. Mengapa dia begini mengantuk? Dia menguap lagi. Bukan main! Rasa kantuk sukar dipertahankannya lagi. Aneh sekali! Hari baru menjelang senja, belum malam. Pula habis makan dan mandi, mana bisa mengantuk? Kembali dia menguap dan Swat hong meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua pelipisnya. Ini tidak wajar, pikirnya! Rasa kantuk yang amat hebat dan terbayanglah wajah Panglima Hussin yang mengajaknya minum sampai tiga kali, kemudian terbayanglah dan terdengar lagi kata-kata Bouw-ciangkun yang menyatakan bahwa kalau Kaisar menghendaki, sewaktu-waktu dia atau Panglima Hussin akan datang menjenguknya. Semua ini dilakukan sambil tertawa-tawa dan seakan-akan ada "main mata" di antara kedua orang panglima itu!

"Celaka....!" dia mengeluh, ingin dia turun membasahi muka denan air, akan tetapi dia tidak kuat, baru saja dia turun, dia sudah terguling ke atas lantai karena kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai dengan pulasnya! Tak lama kemudian, setelah matahari mulai condong ke barat, sesosok bayangn seorang pemuda berkelebat dan mengintai pesang-rahan itu dari balik batu-batu gunung. pemuda ini tinggi besar, gagah dan tampan, dengan sebatang pedang di punggungnya, berpakaian sederhana dan matanyabersinar-sinar penuh kemarahan.

Pemuda ini adalah Kwee Lun! Bagaimana dia dapat datang di tempat jauh itu? Seperti telah dituturkan di bagian depan, dua tahun yang lalu pemuda ini berpisah dari Swat Hong dan langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura di Lam-hai. Tepat seperti dugaannya semula, gurunya, Lam-hai Seng-jin, terheran-heran dan kagum mendengar penuturan muridnya ter-utama pengalaman muridnya yang bertemu dan bersahabat dengan penghuni Pulau Es! Setelah muridnya selesai menceritakan semua pengalamannya, juga tentang kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang dicintainya. Dengan suara berduka, kakek itu berkata, "Pengalamanmu sudah cukup, muridku. Sekarang biarlah aku memperdalam ilmumu dan menerima sisa-sisa dari semua kepandaianku. Setelah itu, berangkatlah kau lagi ke daratan besar. Negara sedang kacau balau dilanda oleh para pemberontak. Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya kaisar mengungsi ke Secuan, maka sebaiknya kalau kau kelak menyusul ke sana untuk membantu kaisar, jangan membiarkan dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak." Demikianlah, Kwee Lun berlatih silat untuk yang terakhir dari gurunya, terutama sekali memperhebat ilmu pedang yang dimainkan bersama dengan kipas di tangan kirinya. Setahun kemudian berangkatlah dia meninggalkan Pulau Kura-kura untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung dia pergi ke barat, ke Secuan!

Kebetulan sekali dia tiba pada hari itu juga, berbareng dengan datangnya Swat Hong! Hanya bedanya, kalau Swat Hong datang dari timur, adalah Kwee Lun datang dari selatan, akan tetapi mereka memasuki daerah yang sama yaitu yang dikuasai oleh Bouw-ciangkun. Kwee Lun terus melaporkan diri dan langsung diterima sebagai sukarelawan. Dia tidak tahu bahwa pada siang hari itu juga Swat Hong datang dan bertemu dengan perwira Ahmed dari pasukan Arab yang diperbantukan. Tanpa disengaja, ketika Kwee Lun berjalan-jalan dan bertemu dengan para perajurit Han, bertanya-tanya tentang keadaan, dia mendengar kelakar seorang di antara para prajurit itu.

"Wah, enak juga menjadi panglima tentara asing! Selain jaminannya lebih hebat, juga hiburannya lebih luar biasa lagi. Bayangkan saja, dara perkasa yang mengebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan sebagai hadiah kepada Panglima Hussin!"

"Ah, masa?"

"Hem, jelita sekali dia!"

"Dan masih perawan hijau lagi!"

"Akan tetapi ilmu silatnya hebat! jangan-jangan panglima itu akan mampus olehnya!"

"Mudah-mudahan begitu!"

"tapi panglima itu terkenal pandai, dan lihat saja Perwira Ahmed itu, dimana-mana para wanita tergila-gila kepadanya. Agaknya mereka memiliki jimat untuk menundukan hati wani-ta." Mendengar ini, Kwee Lun mengerutkan alisnya. Tak disangkanya, di tempat seperti ini dia mendengarkan peristiwa yang sepantasnya terjadi di dunia penjahat. Seorang dara diha-diahkan begitu saja! Mendengar bahwa dara itu lihai ilmu silatnya, dia tertarik.

"Kalau wanita itu lihai, mana bisa dia dihadiahkan begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum.

"Aha, kau tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang dapat dilakukan oleh Bouw-ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah ada wanita yang dapat melawan apabila dikehendaki oleh Pang-lima Hussin itu. Apalagi kalauBouw-ciangkun sudah mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya Bouw-ciangkun selalu berusaha mengambil hati orang-orang berkulit hitam itu!" Kwee Lun makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya memper-oleh keterangan bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu kabarnya telah dikurung di dalam pesanggerahan, yaitu rumah kecil terpencil yang oleh para perajurut diberi nama tempat pen-jagalan perawan!

"Hem, semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan kebe-naran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biarpun sekarang aku menjadi seorang pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapapun juga datangnya! Dengan pikiran ini, Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia sudah mendekati rumah pesang-gerahan itu dan menyelinap untuk menyelidiki dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki ru-mah itu dan menolong si gadis yang hendak dijadikan korban. Melihat betapa di empat penju-ru terdapat empat orang penjaga yang selalu melakukan perondaan mengelilingi pesanggerah-an itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai. Penjaga-penjaga yang memegang pedang ular dan perisai kura-kura itu kelihatanya bukan penjaga-penjaga sembarangan. Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk dapat memasuki pesanggrahan itu tan-pa diketahui orang. Asal saja dia tdak terlambat, pikirnya. Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi datang menghampiri pesanggerahan itu. Empat orang penjaga menghadangnya, mereka bercakap-cakap dan perwira itu dibiarkan oleh para penjaga memasuki pesanggrahan. Hemm, ini agaknya pembesar yang di "hadiahi" gadis itu, pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat. Kebetulan sekali terdapat seorang penjaga meronda di dekat tempat dia ber-sembunyi,

"Keparat busuk!" Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat dari tempat sembunyinya. Penjaga itu terkejut cepat menarik perisai kura-kura di depan dadanya dan mengangkat pe-dangnya, siap untuk menyerang. "Haaaaiiiiittttt!!!" Tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung menendang dengan tumit kaki kanan di depan. "Bresss....!!" Perisai kura-kura itu ternyata kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi pemegangnya terdorong dan terjeng-kang bergulingan. Mendengar suara berisik ini, berdatanganlah para penjaga lain dan dalam waktu sebentar saja Kwee Lun terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk dikepung oleh belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan perisai kukra-kura itu. Sementara itu, perwira berkumis yang bukan lain adalah Perwira Ahmed tadi, setelah berhasil meyakinkan para penjaga bahwa dia datang untuk memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan, terkejut mendengar ribut-ribut dan ketika dia menengok, dia melihat seorang pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini menduga bahwa tentu pemuda itu datang untuk menolong Swat Hong, maka dia bergegas memasuki rumah itu. Dua orang pelayan wanita dibentaknya untuk minggir.

"Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang! Didorongnya dau pintu kamar dan ce-pat ditutupnya dari dalam. Melihat SwatHong rebah terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Ahmed cepat berlutut dan mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya.

"Huh, benar jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!" gerutunya sambil mem-buka tutup botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan hidung Swat Hong. Tak lama kemudian dara itu terbangun, mengeluh dan merintih, "Aduhh....pening kepalaku....."

"Sttt..... Nona Swat Hong...... sadarlah...... aku datang menolongmu......"

Ahmed mengguncang-guncang dara itu. Swat Hong membuka matanya dan terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya.

"Lekas kaucium ini....." Ahmed kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat Hong. Gadis itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Ahmed, maka dia tidak mem-bantah dan disedotnya botol itu. Tercium bau keras dan dia tersedak lalu berbangkis.

“Apa.... apa yang terjadi......?" Swat Hong bertanya, kepalanya masih agak pening.

"Lekas kau telan ini...." Ahmed memberikan sebutir pil hitam.

"Engkau telah terkena racun Hashish yang dicampurkan di dalam anggur. Ini obat penawarnya." Teringatlah Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia tertidur di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu menelan pel kecil itu dan benar saja, peningnya hilang dan pikirannya terang kembali.

"Nona, aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku bahwa kau tentu diberi anggur bercampur hashish. Lekas kau keluar, di luar sedang terjadi pertem-puran. Seorang pemuda agaknya datang hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan kipas...."

"Kwee Lun.....!" Swat Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan hendak lari keluar.

"Nanti dulu, Nona."

Swat Hong berhenti. "kau baik sekali, Saudara Ahmed. Aku berterima kasih kepa-damu."

"Bukan itu. kau....kau harus lukai aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan dihu-kum mati sebagai pengkhianat."

Barulah sadar Swat Hong betapa perwira ini telah menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri. "Kau adalah seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega untuk melukaimu? Kau sahabatku..... dan ternyata di segala bangasa, ada saja manusianya yang jahat dan baik, ti-dak ada bedanya dengan bangsa lain. Aku mengerti maksudmu, saudara Ahmed, nah, biar ku-robohkan kau dengan totokan!" Swat Hong bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan da-rah di tubuh Ahmed telah di totoknya dan perwira itu terguling roboh dan tak mampu berge-rak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu bergerak. Swat Hong cepat menyambar botol dan sisa obat penawar, memasukannya di dalam sakunya, kemudian dia menendang meja kursi sampai terpelanting ke kanan kiri sehingga menimbulkan kesan se-olah-olah di kamar itu telah terjadi pertempuran, mencabut pedang dari pinggang Ahmed dan melemparkan pedang di lantai, kemudian dia memegang tangan Ahmed dan berkata, suaranya terharu, "Selamat tinggal!" Saudara Ahmed. Sekali lagi terima kasih dan kita takkan bertemu kembali."

Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Ahmed tersenyum penuh kagum, mulut nya hanya dapat berkata," Kau..... setangkai bunga di padang pasir........"

Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang pelayan wanita yang lari menda-tangi dia tendang terguling dan menjerit-jerit, kemudian dia terus lari ke luar. Heran juga ke-tika dia melihat bahwa dugaannya tadi benar ketika mendengar penuturan Ahmed tentang seorang pemuda bersenjata kipas dan pedang. Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar pesanggrahan! Gerakan pemuda itu hebat bukan main karena memang selama satu tahun dia berlatih dengan tekun. Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga merupakan pasukan yang terlatih dan memiliki keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka yang aneh, yaitu pedang ular dan perisai kura-kura, akan tetapi juga mereka itu membentuk barisan yang kokoh kuat, saling membantu dan banyak menggunakan perisai untuk berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai, persis gerakan seekor kura-kura menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya. Menghadapi kepungan yang ketat ini, Kwee Lun merasa kewalahan juga. Akan tetapi dia mengamuk dengan penuh keberanian dan akhirnya dia dapat membobolkan kepungan dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian men-dadak dia meloncat melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya dan begitu berada di luar kepungan dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedang dan kipasnya. Empat belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan tetapi mendadak terdengar lengking nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari luar kepungan.

"Nona Han....!"

"Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru Swat Hong. Kwee Lun girang bukan main, tak pernah disangkanya bahwa dara yang hendak dijadikan korban itu adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik juga, karena ternyata bahwa gadis yang akan ditolongnya itu berbalik malah menolongnya!

"Kita lari saja, Nona. tidak perlu melawan tentara yang amat banyak!"

"Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she Bouw....!"

Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk dan berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun sendiri! Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar suara melengking nayring dan tubuhnya melesat se-perti terbang cepatnya, pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun. panglima ini terkejut, menggerakan pedang menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir putus terbabat pedang di tangan Swat Hong!

"Nona, jangan...." Kwee Lun lari mendekat dan mereka sudah dikepung oleh ratusan orang perajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian komandan mereka secara yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Semua orang menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari pihak pemberontak!

"Tangkap mata-mata!"

"Bunuh mereka!"

"Tahan semua senjata....!!" Kwee Lun berteriak dan suaranya mengatasi semua keri-butan itu, semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu dengan marah. Mau bicara apa lagi mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini?

"Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami adalah musuh-musuh pemberontak. Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi celakanya, Nona Han Swat Hong yang beriktikad baik ini dicurangi oleh Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat membantu ba-nyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan ini!"

"Tangkap......!"

"Bunuh.....! Dia telah membunuh Bouw-ciangkun......!"

"Jangan percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!" Kini tempat itu penuh dengan perajurit, tidak hanya ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biarpun di antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun, namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.

"Menyesal tidak berhasil, Nona."

"Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati."

"Benarkah?"

"Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali, Kwee-toako."

"Kalau begitu, marilah mati bersama!" Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya, mereka saling membelakangi dan saling melindungi. Para pera-jurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu. Tiba-tiba terdengar suara yang halus dan tenang, namun penuh wibawa,

"Harap Cu-wi sekalian tidak menggerakkan senjata.......!" Sungguh ajaib sekali. Biarpun ada di antara mereka yang tidak mempedulikan kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa bahwa tangan mereka tidakmampu bergerak! Terdengar seruanseruan kaget dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para perajurit. Juga Kwee Lun dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Seorang pemuda yang berpakaiannya sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir.

"Su.... Suhenggggg.....!" Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari pe-gangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong! "Suheng..... aihhh, Suheng...... Ibuku....."

"Tenanglah, Sumoi, tenanglah........" Suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya. "Suheng..... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kautinggalkan aku lagi....."

"Tidak, Sumoi. Tidak lagi."

"Aku cinta padamu, Suheng! Aku cnta padamu!" Tanpa malu-malu Swat Hong mene-riakkan suara hatinya ini di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit! Kwee Lun memandang semua itu dan dua titik air mata membasahi bulu matanya. Dia merasa terharu, juga girang sekali, girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan berkata,

"Kwa-taihiap, syukur bahwa engkau masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa girang...." Sin Liong tersenyum kepadanya.

"Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan kipasmu, tidak perlu melanjutkan pembunuhan yang tidak ada gunanya ini." Kwee Lun menurut, akan tetapi matanya memandang ragu dan sambil menyarungkan pedang dan menyimpan kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi.... mereka itu....?"

Terdengar teriakan-teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata-mata musuh!"

"Bunuh pemberontak!"

"Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!" Ribuan orang perajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suhengnya dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong. Betapapun juga, gentar dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apalagi dia tidak boleh melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat pemuda ini. Sin Liong memegang lengan sumoinya dan terdengarlah suaranya penuh kesabaran dan kete-nangan yang wajar, "Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka berdua ini bukan mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi perkenankan kami pergi, kemudian sebaik-nya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat diambil tidakan tepat, demi ketertiban."

Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi semua teriakan dan anehnya orang-orang itu tidak berteriak-teriak lagi. "Kami hendak pergi sekarang!" Sin Liong memegang le-ngan Swat Hong dengan tangan kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu menarik kedua orang itu keluar dari kepungan.

Swat Hong dan Kwee Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena ketika mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada seo-rang pun di antara para perajurit yang mencoba untuk menghalangi mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang memandang mereka, seolah-olah para perajurit itu tidak melihat mereka! Dan memang begitulah. Para perajurit itu pun bengong ketika secara tiba-tiba setelah pemuda tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba-tiba saja lenyap dari situ tanpa mening-galkan bekas! Setelah Sin Liong dan dua orang temannya pergi jauh, barulah gempar di tem-pat itu dan akhirnya Kaisar memperoleh laporan tentang semua peristiwa yang terjadi. Pang-lima Hussin dikirim pulang dan pimpinan pasukannya diserahkan kepada Ahmed! Sementara itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan.

Ketika mereka tiba jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata, "Su-heng, mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku ingin sekali menjadi sukarelawati, mem-bantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang telah mengakibatkan kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek buyutku!"

"Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap. Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan membasmi pemberontak." Sin Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoinya dan diajak duduk di atas rumput. Swat Hong du-duk dekat suhengnya dan memandang wajah suhengnya dengan penuh kagum dan kasih sa-yang. "Kwee-toako, benarkah engkau tertarik dengan perang, dengan saling bunuh membu-nuh antara manusia, antara bangsa sendiri itu? Betapa mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah, untuk menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi bunuh-membunuh hanya untuk membela sekelompok manu-sia lain saling memperebutkan kemuliaan duniawi, sungguh patut disesalkan. Mereka itu hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita-cita sendiri.

"Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee-toako. Ingat saja pengalamanku. Aku jauh-jauh datang untuk menjadi sukarelawati, membantu mereka, akan tetapi belum apa-apa aku sudah akan dikorbankan demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu." Swat Hong berkata kemudian dia menceritakan pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek buyutnya, sampai dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut. "Aku tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka-pusaka Pulau Es. Maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus men-cari mereka yang kurasa melarikan diri membawa pusaka-pusaka itu untuk mereka sendiri. Sungguh menggemaskan!"

"Jangan tergesa-gesa berperasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak kita me-mang harus mencari mereka dan meminta kembali pusaka-pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es."

Kwee Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat Hong. Ke-mudian mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya. "Bagaimana engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan ditutupdengan reruntuhan guha, dapat menyelamatkan diri, Suheng? dan selama ini engkau kemana saja?"

Sin Liong tersenyum. "Aku memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba saatnya aku mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini telah meno-longku, Sumoi." Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong menerima batu itu dan menciumnya. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya girang. Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur itu dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang-orang kerdil.

"Ahh, Ibunya yang mencelakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!" Swat Hong berseru heran. "lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan menyelamatkan aku dan Kwee-toako?"

"Mula-mula aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah te-was di sana, akan tetapi juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau dimusuhi oleh para pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan, maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali melihat engkau dan Kwee-toako dikeroyok para perajurit." Sin Liong tidak memberitahukan bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah-olah dia tahu bahwa sumoinya berada di Secuan. Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan rahasia lagi baginya!

Tiba-tiba Kwee Lun bertanya nada suaranya hati-hati dan penuh sungkan, "Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu bahwa Taihiap memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi..... tadi di sa-na seruan taihiap membuat ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun..... tidak mampu bergerak. Kemudian....... ketika kita pergi, terjadi keajaiban, seolah-olah mereka itu sama se-kali tidak melihat kita pergi....."

Sin Liong hanya tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab.

"Benar! Apa yang telah kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya.

"Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun tidak melakukan apa-apa."

Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan watak Suhengnya dan ka-dang-kadang ucapan suhengnya tidak dimengerti sama sekali, maka jawaban sederhana ini cukup baginya. Tidak demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa Pemuda Pulau Es itu bukanlah manusia biasa, maka cepat dia berkata, "Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya....... saya mohon petunjuk......"

Sin Liong menoleh, memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi. "Kau sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura-kura, Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku yakin bahwa engkau tidak akan menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba-coba mainkan pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin."

Bukan main girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan hormat sambil mengucap-kan terima kasih, kemudian dia mencabut pedang dan kipasnya lalu bermain silat di depan Sin Ling dan Swat Hong. Seperti kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal semua inti ilmu silat dari gerakan pertama saja. Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya, Swat Hong bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata, "Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu, Toako." Pemuda luar biasa ini lalu memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran-heran, kagum dan girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu merupakan penyempurnaan dari semua ilmu silatnya.Dia menerima dan melatih petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah, sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini melakukan per-jalanan ke timur dan disepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan untuk menghimpun tenaga sinkang. Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar-be-nar bukan seorang manusia biasa. Tidak tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti ilmu silatnya lebih sempurna daripada dia sendiri! Maka ketika tiba saatnya berpisah, dia tanpa ragu-ragu menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong!

"Harap jangan berlebihan, Kwee-toako," kata Sin Liong.

"Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga mencela.

"Kwa-taihiap, saya boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya belum tentu selama hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji-wi (Kalian). Perkenankan sa-ya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya tidak akan melupakan Ji-wi!"

"Hushhhh..... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan perjalanan," kata Sin Long dengan suara tenang dan biasa saja, lalu mengajak sumoinya pergi dari situ. Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun masih berlutut dengan mata basah air mata! Dia pun terharu, akan tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun hampir dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong, suhengnya, pria yang dicintainya, berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini yang dapat menyusahkan hatinya lagi!


Sudah terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah du-gaan Swat Hong bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian dan mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja.

Bersambung...

Popular posts