Monday, 22 April 2013

1.7 Bu Kek Siansu



Setelah menyuruh para pelayan membersihkan meja di ruangan itu, dan sekali lagi memanggil kepala pengawal dan menekankan agar penjagaan diperketat dan selalu diadakan perondaan bergilir, Pat-jiu Kai-ong lalu duduk bersila di dalam ruang an itu untuk mengumpulkan tenaga dan mempertajam pendengarannya sehingga biar pun dia berada di dalam istana, namun dia ikut pula menjaga dan meronda mempergu-nakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua suara yang tidak wajar di luar istana. Malam makin larut dan keadaan sunyi sekali di istana itu dan sekitarnya. Para pelayan yang mendengar dari para pengawal, dengan muka pucat tinggal berke-lompok di kamar seseorang di antara mereka, tidak berani membuka suara dan hanya saling pandang dengan mata penuh rasa takut. Para selir juga berkelompok di dalam kamar Pat-jiu Kai-ong, agar terhibur dengan adanya Swi Liang pemuda yang tampan itu. Bahkan ada di antara mereka yang tanpa-malu-malu membelai pemuda itu, me-megang tangannya, mengusap dagunya, membereskan rambutnya. Akan tetapi mereka tidak berani berbuat lebih dari itu, dan tidak berani mengeluarkan suara. Juga para pengawal agaknya melakukan penjagaan dengan teliti dan hati-hati, tidak bersu-ara seperti biasanya kalau mereka melakukan penjagaan tentu diisi dengan sendau gurau dan mengobrol. Kesunyian yang mengerikan itu tidak menyenangkan hati Pat-jiu Kai-ong. Akan tetapi dia amat memerlukan kesunyian ini agar penjagaan dilaku-kan lebih tertib dan rapi pula. dia merasa tersiksa dan diam-diam dia memaki musuh gelap itu. Kalau sampai tertawan, tentu akan dihukum dan disiksanya seberat mungkin!

Tiba-tiba terdengar suara jeritan susul-menyusul yang datangnya dari dalam kamarnya! Pat-jiu Kai-ong cepat melompat dan hanya dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah menerjang masuk ke dalam kamarnya. Dilihatnya kelima orang selir-nya menangis dan kelihatan gugup dan ketakutan, akan tetapi dua orang muda yang tadi terbelenggu di atas pembaringannya, seperti dua tusuk daging panggang yang dihidangkan di atas meja makan dan siap untuk diganyangnya, kini telah lenyap tanpa bekas! "Apa yang terjadi? Keparat, diam semua! Jangan menangis, apa yang terjadi?" Lima orang selir itu menjatuhkan diri berlutut dan seorang di antara mereka bercerita dengan suara gagap, "Ada... ada... setan...., hanya tampak bayangan berkelebat ke atas ranjang dan... dan mereka berdua... tahutahu telah lenyap..."

 "Tolol!!" Pat-jiu Kai-ong berkelebat keluar melalui jendela kamar yang terbu-ka, terus berloncatan memeriksa sampai dia bertemu dengan para pengawal di luar istana, namun dia tidak melihat jejek dua orang tawanan yang lenyap itu.

"Kalian tidak melihat orang masuk?" Bentaknya kepada para pengawal. "Tidak ada, Pangcu."

"Bodoh! Kalau tidak ada, bagaimana dua orang tawanan itu lenyap?"

Kagetlah para pengawal itu dan Pat-jiu Kai-ong, dibantu oleh para pengawal-nya lalu mengadakan pemeriksaan di dalam istana. Mula-mula timbul dugaannya bahwa tentu Lu-san Lojin dan dua orang anaknya itu benar-benar mempunyai kawan-kawan di luar, buktinya kedua orang muda itu ditolong mereka. Akan tetapi ketika dia menjenguk kedalam kamartahanan, Lu-san Lojin masih mengeletak pingsan di atas lantai!

"Cepat lakukan penjagaan tadi. Tutupsemua jalan masuk! Bagi-bagi tenaga!" Pat-jiu Kai-ong memerintah dengan suara yang agak parau karena harus diakuinya bahwa jantungnya tergetar juga oleh rasa gentar menyaksikan sepak terjang musuh gelap yang aneh dan amat luar biasa itu. Setelah sekali lagi memeriksa sendiri dengan memepersiapkan tongkat ditangan, sampai tidak ada lubang yang tidak dijenguknya di dalam dan di sekitar gedungnya dan mendapatkan keyakinan bahwa tidak ada orang bersembunyi di dalam gedung, Pat-jiu Kai-ong kembali ke dalam ruangan besar dan menanti dengan jantung berdebar. Malam telah makin larut dan musuh yang aneh itu telah mulai memperlihatkan bahwa musuh itu memang ada dengan menculik dua orang tawannan itu secara aneh. Biarpun lima orang selirnya bukan ahli-ahli silat ting-gi, namun lima pasang mata tidak dapat melihat orang yang menculik pemudapemudi itu di depan hidung mereka, sungguh merupakan hal yang amat aneh! Pat-jiu Kai-ong bergidik dan membalik-balik gudang ingatan di dalam otaknya. Siapakah Ratu Pulau Es? Apalagi dengan ratunya, dengan penghuni Pulau Es dia tidak pernah bertemu, kecuali satu kali dengan Han Ti Ong ketika memperebutkan Sin-tong. Dan di mana adanya pulau dongeng itu dia pun tidak tahu. Pertemuannya dengan Han Ti Ong tidak boleh dianggap permusuhan, dan adaikata ada yang sakit hati, kiranya sakit hati itu seharusnya datang dari dia, bukan dari pihak Pulau Es atau Han Ti Ong yang telah berhasil menangkan perebutan atas diri Sin-tong! Mengapa kini muncul tokoh rahasia yang mengaku bernama Ratu Pulau Es? Siapakah yang bermain-main dengan dia?

Melihat sepak terjang orang rahasia ini, caranya membunuh ayam, dapat di-pastikan bahwa orang itu kejam dan aneh, ciri seorang tokoh golongan hitam, bukan golongan putih yang selalu datang secara berterang. Siapakah tokoh golongan hitam yang memusuhinya? Tentu saja banyak, dan di antara mereka, yang paling menonjol adalah Kiam-mo Cai-li Liok Si! Wanita itukah yang kini datang mengganggunya? "Ha-ha-ha!" Dia tertawa keras-keras, hatinya menjadi besar. Mengapa dia takut? Andaikata Kia-mo Cai-li sendiri yang datang, diapun tidak takut! Dan siapakah lain wanita di dunia Kang-ouw yang lebih mengerikan daripada Kiam-mo Cai-li?

"Iblis atau manusia, jantan atau betina, keluarlah dari tempat persembunyian! Hayo serbulah, aku Pat-jiu Kai-ong tidak takut kepada siapa pun juga! Kalau kau diam saja, berarti kau pengecut hina dan penakut, ha-ha-ha-ha!" Karena merasa ter-siksa oleh keadaan sunyi yang mengerikan itu, Pat-jiu Kai-ong berusaha mengusir rasa takutnya dengan teriakan keras ini yang tentu saja didengar oleh semua penghuni gedung itu. Dan agaknya, sebagai sambutan atas tantangannya, tiba-tiba terdengar suara ayam jagonya yang berada di belakang, di kandang ayam, berkeruyuk keras sekali!

"Ha-ha-ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa mendengar ayamnya sendiri yang men-jawab, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut dan mukanya berubah. Keruyuk ayamnya itu berhenti setengah jalan dan terputus oleh suara "kok!" suara ayam kesakitan! Suara ini disusul suara berkotek riuh dari ayam-ayam betina di dalam kandang, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu mereka akan tetapi suara berkotek ini pun berhenti sete-ngah jalan dan bekali-kali terdengar suara "ko" suara ayam dicekik atau dihentikan suara dan hidupnya!

"Keparat...!!" Pat-jiu Kai-ong yang bermuka merah saking marahnya itu sudah meloncat keluar dan langsung lari ke kandang. Hampir dia bertubrukan dengan dua orang pengawal yang juga mendengar keanehan di kandang itu. Kini dengan sebuah obor yang dipegang oleh pengawal, mereka bertiga memeriksa kandang dan di bawah sinar obor tampaklah oleh mereka bahwa dua puluh ayam yang berada di kandang itu, jantan, betina, semua telah tewas dengan leher putus! Darah merah muncrat ke mana-mana, membuat lantai dan dinding kandang itu menjadi merah mengerikan. "Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong memaki dan mereka bertiga sejenak menjadi seperti arca memandang ke dalam kandang. Sunyi di situ, bahkan tidak ada angin berkelisik, membuat suasana menjadi menyeramkan. "Ngeooonggg...!" Suara kucing yang tiba-tiba terdengar ini yang membuat mereka tersentak kaget dan memandang ke atas genting. Si Putih satu-satunya kucing peliharan di gedung itu, berkelebat melompat sambil menggereng, seolah-olah menghadapi musuh dan marah. Akan tetapi gerengannya terhenti tiba-tiba dan Pat-jiu Kai-ong cepat melompat ke kiri ketika ada benda jatuh dari atas genteng menimpanya.

"Bukkk!" Ketika pengawal yang membawa obor mendekat, ternyata yang terjatuh itu adalah bangkai kucing Si Putih yang baru saja mengeong tadi! "Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong memaki untuk kedua kalinya dan tubuhnya sudah melayang ke atas genting, diikuti oleh duaorang pengawalnya. Melihat betapa obor yang dipegang pengawal itu tidak padam ketika dia meloncat ke atas genting mem-buktikan bahwa pengawal itu sudah memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi kembali ketiganya termangu-mangu di atas genting karena tidak tampak bayangan seorang manusian pun. Keadaan sunyi. Sunyi ekali, terlampau sunyi seolah-olsh gedung itu telah berubah menjadi tanah kuburan! "Hung-hung! Huk-huk-huk...!!"

Riuhlah suara tiga ekor anjng peliharaan gedung itu menggonggong dan menyalak-nyalak di sebelah kanan gedung. Suara ini mengejutkan mereka, apalagi suaran gonggongan mereka yang riuh rendah itu tiba-tiba ditutup dengan suara "kaing...! nguik... nguikkk... nguikkkkk!" Dan suasana menjadi sunyi kembali, lebih sunyi dari tadi sebelum terdengar gonggongan anjing-anjing itu. "Bedebah...!" Pat-jiu Kai-ong melompat dari atas genting, tidak dapat disusul oleh dua orang pengawalnya itu saking cepatnya dan sebentar saja dia sudah tiba di sebelah kanan gedungnya, di kandang anjing. Seperti sudah dikhawatirkannya, tiga ekor anjing itu sudah mengge-letak mati dengan leher hampir putus dan darah mengalir di bawah bangkai mereka. Tiga orang pengawal yang terdekat sudah tiba pula dan mereka saling pandang de-ngan muka berubah pucat! Seperti terngiang di telinga Pat-jiu Kai-ong suara Lu-san Lojin ketika membacakan isi surat, "Malam ini, semua mahluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong, dari binatang sampai manusia, akan kubasmi habis!"

Semua binatang peliharaannya , ayam, kucing, dan anjing, sudah mati semua dan sekarang tentu tiba gilirannya manusianya! Teringat akan ini, Pat-jiu Kai-ong cepat berkata, suaranya sudah mulai gemetar

"Cepat, semua berkumpul denganku di dalam gedung...!" Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh jeritan-jeritan di sebelah luar dan di depan gedung itu. Mereka cepat berlari menuju ke depan gedung dan tampaklah oleh mereka dua orang pengawal yang berjaga di luar sudah menggeletak tak bergerak di atas tanah. Ketika seorang pengawal yang membawa obor mendekat, Pat-jiu Kai-ong melihat bahwa dua orang pengawalnya yang terlentang itu telah tewas dengan mata melotot dan dari mata, hidung, telinga, dan mulut keluar darah hitam sedangkan di dahi mereka itu tampak jelas cap jari tangan yang kecil panjang, tiga buah banyaknya dan mudah dilihat bahwa itu adalah tanda jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Begitu dalam gambar jari itu sampai garis-garisnya tampak! "Kurang ajar! Mari kita berkumpul semua...!" Akan tetapi kembali terdengar pekik mengerikan dari sebelah kiri gedung. Mereka kembali berlari-lari ke tempat itu dan melihat tiga orang pengawal lain sudah menjadi mayat dalam keadaan yang sama seperti dua orang korban pertama. Segera tersusul pula pekik-pekik mengerikan itu dari belakang gedung. Pat-jiu Kai-ong dan tiga orang pengawalnya ini, termasuk pengawal kepala Si brewok, mengejar ke belakang dan empat orang pengawal sudah menggeletak tewas dalam keadaan mengerikan, presis seperti yang lain. Dalam sekejap mata saja sembilan orang pengawal telah tewas. Mereka itu berada di depan, di sebelah kiri, di belakang gedung, akan tetapi kematian mereka susul menyusul begitu cepatnya, seolah-olah banyak musuhyang datang dari berbagai jurusan. Namun, biarpun mulutnya tidak menyataakan sesuatu, Pat-jiu Kai-ong maklum bahwa tanda dari jari tangan itu dibuat oleh jari tangan yang sama, dan bahwa pembunuhnya itu hanya satu orang saja, seorang yang memiliki ilmu kepan-daian luar biasa sehingga para pengawal itu agaknya sama sekali tidak mampu melakukan perlawanan. Tiga orang pengawal saling pandang dengan muka pucat. Melihat muka mereka, Pat-jiu Kai-ong menjadi penasaran dan merah sehingga timbul kembali keberaniannya yang tadi agak berkurang karena jerih. Dia berteriak memaki, "jahanan pengecut! Hayo keluarlah dan lawan aku Pat-jiu Kai ong!" Setelah dia mengeluarkan kata-kata ini dengan suara nyaring, keadaan menjadi sunyi sekali, sunyi yang amat menggelisahkan damn menyeramkan, seolah-olah dalam kegelapan dan kesunyian malam itu tampak mulut iblis menyeringai dan menanti saat untuk mener-kam dan mencabut nyawa !

Pat-jiu Kai-ong makin penasaran. Dia sendiri adalah seorang manusia yang dikenal sebagai iblis, jarang menemui tandingan dan ditakuti banyak orang dari semua golongan. Akan tetapi malam ini dia, Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kai-pang yang terkenal, memiliki anggauta ratusan orang banyaknya, seorang di atara datuk kaum sesat atau golongan hitam yang ditakuti orang, dia dipermainkan orang! Dan orang itu, kalau melihat namanya sebagai ratu tentulah seorang wanita! Apa lagi dia melihat bahwa bekas jari tangan di dahi para korban itu pun jari tangan wanita yang kecil meruncing!

"Hem, pengecut benar dia, "katanya kepada tiga orang pengawalnya yang diam-diam telahkehilangan separuh dari nyali mereka. "Kita harus menggunakan pancingan. Biar aku mengintai dari atas, kalian berjalan-jalan di sini. kalau dia muncul menyerang, aku tentu dapat melihatnya dan aku akan meloncat turun. Bersiaplah kalian!"

Setelah berkata demikian, dengan gerakan ringan seperti seekor kelelawar, Pat-jiu Kaiong melompat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan sambil mengintai. Dia melihat tiga orang pengawalnya itu masing-masing telah mencabut senjata mereka. Si Brewok menggunakan sebatang tombak panjang yang ujungnya berkait, orang ke dua mengeluarkan golok besar dan orang ketiga sebatang pedang. Mereka berdiri saling membelakangi dan mata mereka memandang tajam ke depan, telinga mereka memperhatikan setiap suara. Akan tetapi sunyi saja sekeliling tempat itu. Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong melihat sesosok bayangan melayang turun dari atas pohon! Celaka pikirnya. Kiranya si laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di depan gedung. Bayangan itu sukar di lihat bentuknya karena cepat sekali gerakannya, tahu-tahu telah berada di depan Si Brewok. Tiga orang pengawal itu menggerakan senjata, akan tetapi anehnya, tampak oleh Pat-jiu Kai-ong betapa tiga buah senjata mereka itu telah berpindah tangan! entah bagaimana caranya karena dari atas genteng itu dia tidak dapat melihat jelas. Yang dia ketahuinya hanyalah betapa tiga orang pengawalnya itu kini lari ketakutan! "Hik-hik-hik!" Suara ketawa ini membuat bulu tengkuk Pat-jiu Kai-ong berdiri dan dia melihat sinar-sinar menyambar ke arah tiga orang pengawal yang lari, melihat mereka roboh dan memekik, terjungkal takbergerak lagi karena punggung mereka ditembus oleh senjata mereka masing-masing!

"Keparat jangan lari kau!" Pat-jiu Kai-ong sudah melayang turun dan tongkat nya sudah diputar-putar. Akat tetapi bayangan itu melesat dan lenyap dari tempat itu! Pat-jiu Kai-ong menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan sesuatu. Dia makin penasaran. Dihampirinya tiga orang pengawalnya. Mereka telah tewas dan ha-nya mereka bertiga yang tidak dicap dahinya dengan tiga buah jari tangan hitam akan tetapi kematian mereka cukup mengerikan. Tombak golok dan pedang itu menembus punggung pemilik masing-masing sampai ujungnya keluar dari hulu hati! Dan sambit an tiga buah senjata yang berlainan bentuknya itu dilakukan secara berbareng dari jarak yang cukup jauh, tepat mengenai tiga sasarannya yang sedang berlari. Hal ini saja membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian orang aneh itu Mendadak Pat-jiu Kai-ong tersentak kaget. Di dalam gedung! Betapa tololnya dia! Semua pengawalnya yang berjumlah dua belas orang telah tewas semua. Tentu sekarang musuh itu masuk ke dalam gedung untuk membunuh orang-orang di dalam gedung. Secepat kilat dia meloncat dan lari memasuki gedung. Benar saja, terdengar pekik susul-menyusul dan begitu melewati pintu depan, dia sudah melihat para pelayannya telah menjadi mayat dan berserakan di sana-sini. Cepat dia lari ke dalam kamarnya dan dengan mata terbe-lalak dia melihat lima orang selirnya telah mati semua, dahi mereka juga ada bekas tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka mereka mengalirkan darah hitam! Sunyi sekali di dalam gedung itu, kesunyian yang penuh rahasia.

Lu-san Lo-jin! Pat-jiu Kai-ong teringat dan dia cepat lari ke dalam tempat tahanan, hanya untuk melihat bahwa kakek itu pun telah tewas dan di dahinya ter-dapat pula tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka mereka menga-lirkan darah hitam! Kini dia benar-benar bingung. Jelas bahwa musuh ini bukanlah kawan Lu-san Lojin seperti yang disangkanya semula! Makin bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam ruangan besar di mana dia tadi makan minum dengan Lu-san Lojin dan dua anaknya, di mana dia tadi menanti datangnya musuh rahasia. Dan begitu memasuki ruangan itu, dia tertegun! Ruangan itu kini terang sekali, agaknya ada yang menambah lampu penerangan. Ketika dia melihat, benar saja bahwa di situ terdapat banyak lampu, banyak sekali karena agaknya semua lampu penerangan dibawa dan dikumpulkan di ruangan itu. Dan di atas kursinya yang tadinya ditinggalkan kosong, kini tampak duduk seorang wanita! Di depan wanita itu, juga duduk di atas kursi, tampak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang memandangnya dengan mata penuh selidik.

Wanita itu cantik, pakaiannya mewah dan indah, anak itu pun tampan dan bersih serta mewah pakaiannya. Wanita itukah yang membunuh semua orang di gedungnya? Tak mungkin agaknya. wanita itu usianya paling banyak tiga puluh lima tahun, cantik dan kelihatan halus gerak-geriknya, hanya sepasang matanya mengelu-arkan sinar yang aneh dan dingin sekali.

"Ibu, dia inikah orangnya?" Tiba-tiba anak kecil itu bertanya, suaranya nyaring, memecahkan kesunyian yang sejak tadi mencekam. "Benar, dialah Si Bedebah Pat-jiu Kai-ong." Wanita itu berkata, suaranya halus akan tetapi dingin menyeramkan.

"Kalau begitu, mengapa ibu tidak lekas membunuhnya?" Wanita itu ter-senyum dan wajah yang cantik itu makin cantik, akan tetapi juga makin dingin menyeramkan, kemudian bangkit berdiri berlahan-lahan. "Kau lihat sajalah ibumu menundukan Si jembel busuk ini." Wanita itu ternyata bertubuh tinggi ramping dan ketika melangkah maju, tampak gerakan kedua kakinya lemah lembut. Pat-jiu Kai-ong sudah dapat menguasai hatinya dan timbul keberaniannya setelah melihat bahwa orang itu hanyalah seorang manusia biasa, wanita yang kelihatan lemah pula, bukan seorang iblis yang menyeramkan sama sekali.

"Siapakah engkau? Siapa pembunuh orang-orangku dan apa hubunganmu dengan Ratu Pulau Es yang mengancamku?" Wanita itu kini tiba di depan Pat-jiu Kai-ong sehingga raja pengemis ini dapat mencium bau harum semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian wanita itu.

"Akulah Ratu Pulau Es, aku pula yang telah membunuh semua mahluk hidup di dalam gedungmu, semua telah kubunuh kecuali engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku harus membunuhmu berlahan-lahan, menyiksamu sampai puas hatiku." Mendengar ancam-an ini, Raja Pengemis yang biasanya berhati kejam dan keras itu, menjadi berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya melenyapkan semua rasa jerih dan dia membentak, "Perempuan sombong! Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi Pat-jiu Kai-ong?"

“Pat-jiu Kai-ong, agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk-tumpuk se-hingga engkau tidak dapat mengenal korban-korbanmu lagi. Pandanglah aku baik-baik dan kumpulkan ingatanmu! Lupakah kau apa yang terjadi di kaki pegunungan Jeng-hoa-san sepuluh tahun yang lalu?"

Pat-jiu Kai-ong memandang dan terbayanglah peristiwa di Jeng-hoa-san sebelum dia naik ke puncak gunung itu untuk mencari Sin-tong. Kini dia dapat mengenal wajah ini, wajah cantik yang pernah merintihrintih dan memohon pem-bebasan, namun yang dia permainkan secara kejam.

"Kau... kau... Cap-she Sin-hiap...?" Tanyanya ragu-ragu. "Benar. Aku adalah anggauta paling muda dari Cap-sha Sin-hiap. Dua belas orang suhengku telah kaubu-nuh. Ingatkah sekarang kau?" Pat-jiu Kai-ong tertawa. Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang telah diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas dari Cap-sha Sin-hiap, perlu apa dia takut? Biar perempuan ini agaknya telah mem-perdalam ilmunya selama sepuluh tahun ini, akan tetapi perlu apa dia takut?

"Ha-ha-ha, kiranya engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat kepada-mu, siapa bisa melupakan kenang-kenangan manis selama tiga hari itu? Ha-ha-ha, betapa mesranya!"

“Jahanam! Kematian sudah di depan mata dan kau masih berlagak? Pat-jiu Kai-ong, aku telah datang dan rasakanlah pembalasanku, aku akan membuat kau menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu!"

"Perempuan sombong, mampuslah!" Pat-jiu Kai-ong sudah menerjang dengan tongkatnya melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukan tongkatnya yang tentu akan menembus dada wanita itu kalau tidak depat wanita itu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis. "Trakk!" Tongkat itu menyeleweng dan terkejutlah Pat-jiu Kai-ong. Ternyata lawannya ini benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat dan telah memiliki sinkang yang tak boleh dipandang ringan.

Tentu saja! Wanita itu bukan lain adalah The Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau permaisuri Raja Pulau Es, Han Ti Ong yang sakti! Wanita ini selama sepuluh tahun telah menggembleng diri, di bawah petunjuk suaminya yang amat mencintainya. Bahkan suaminya telah menurunkan ilmu-ilmu yang khusus un-tuk menghadapi ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong dan ilmu mujijat Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis ini atas permintaan The Kwat Lin. Karena itu, biarpun ada seba-tang pedang menepel di punggungnya, The Kwat Lin tidak menggunakan senjata melainkan ujung lengan bajunya untuk menghadapi tongkat dan memang kedua ujung lengan baju ini yang merupakan sepasang senjata yang dilatihnya khusus untuk me-ngatasi tongkat Raja Pengemis itu.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, The Kwat Lin menggunakan kesempatan selagi Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau Neraka, untuk meninggalkan Pulau Es. Hal ini sudah bertahun-tahun dia citacitakan. Dia menjadi istri Han Ti Ong hanya karena ingin mewarisi ilmu kepandaiannya, akan tetapi setelah menjadi permaisuri, dia pun ingin memiliki pusaka Pulau Es dan benda-benda berharga lainya. Maka dia menanti kesempatan baik untuk meninggalkan pulau, tentu saja mening-galkan untuk selamanya karena pada hakekatnya dia tidak suka tinggal di pulau itu. Siapa suka tinggal di Pulau Es yang membosankan itu, jauh dari dunia ramai? Pergilah dia mengajak puteranya, Han Bu Hong, meninggalkan Pulau Es sewaktu suaminya tidak ada, membawa pusaka Pulau Es. Dengan alasan akan menyusul suaminya yang menyerbu Pulau Neraka, tidak ada seorang pun berani menghalangi kepergiannya dan akhirnya, dengan kepandaiannya yang sudah tinggi, dia berhasil mendarat. Berbulan-bulan dia menyelidiki dan akhirnya dia dapat menemukan tempat tinggal musuh besarnya di lereng Heng-san. Dia mengajak puteranya dan setelah menyembunyikan puteranya, dia menyelidiki istana Raja Pengemis itu. Melihat Swi Liang dan Swi Nio, dia tertarik sekali, maka dia menculik mereka dan membawa mereka ke dalam hutan di mana Bu Hong menanti ibunya.

"Kalian kuselamatkan dengan maksud untuk mengangkat kalian berdua menjadi muridku ," dia berkata tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal kalian pilih, mati atau hidup. Kalau ingin mati, kalian semestinya mati karena kalian berada di gedung Pat-jiu Kai-ong. karena sekarang belum malam, maka kalian belum mestinya dibunuh dan karenanya boleh pula kukeluarkan dari sana. Kalau kalian ingin hidup harus suka menjadi muridku. Bagaimana?"

Tentu saja dua orang muda itu ingin hidup dan segera berlutut di depan calon Subo (ibu guru) mereka. "Harap subo sudi menolong Ayah kami...." kata Swi Liang. "Kalian tinggal saja di sini menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita lihat saja nanti." The Kwat Lin meninggalkan dua orang murid itu bersama puternya, kemudian mulailah dia turun tangan membunuh-bunuhi semua binatang peliharaan gedung raja Pengemis itu lalu membunuhi semua pengawal, pelayan, selir dan juga Lusan Lojin dibunuhnya karena dia sudah berjanji akan membunuh semua orang didalam gedung itu, apalagi dia tahu bahwa kalau tidak dibunuh, kakek itu tentu akan menjadi peng-halang baginya mengambil murid Swi Liang dan Swi Nio yang menarik hatinya.

Akhirnya dia keluar dari gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di hutan. Akhirnya bersama puteranya, dia dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu setelah membunuh semua orang di dalam gedung. Han Bu Ong anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di kursi dan menonton pertandingan dengan mata terbelalak dan jarang berkedip. Dia sama sekali tidak merasa takut atau khawatir. Dia percaya penuh kepada kelihaian ibunya dan memang sejak kecil anak ini memi-liki keberanian luar biasa dan kekerasan hati yang amat aneh bagi seorang anak se-besar itu. Melihat kekejaman-kekejaman yang terjadi, dia tidak pernah merasa ngeri, bahkan merasa gembira!

Barulah hati Pat-jiu kai-ong terkejut sekali setelah selama lima puluh jurus dia mainkan tongkatnya dia tidak mampu menembus pertahanan sepasang ujung lengan baju lawannya. Bahkan lawannya terkekeh-kekeh mengejeknya dan biarpun lawannya hanya mainkan ujung lengan baju, namun ternyata tongkat yang biasanya dia andal kan itu sama sekali tidak berdaya! "Keparat, mampuslah!" Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong berseru keras, disusul dengan gerengan dahsyat yang menggetarkan seluruh ruangan itu. Han Bu Ong terplanting jatuh dari kursinya, akan tetapi bocah ini sudah duduk bersila dan mengatur pernapasan, menutup pendengaran. Ternyata sekecil itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya sehingga dengan dasar latihan sinkang Inti Salju, dia kini mampu menulikan telinga dan menghadapi auman Sai-cu Ho-kang dari Pat-jiu Kai-ong! Padahal lawan yang tidak begitu kuat sinkangnya, mendengar auman Sai-cu Ho-kang yang berdasarkan Khi-kang yang amat kuat ini, sudah akan roboh.

Sementara itu, The Kwat Lin yang melihat puteranya dapat menyelamatkan diri, sudah mengeluarkan suara terkekeh-kekeh dan lawannya terkejut bukan main karena dari suara ini keluar getaran yang menghancurkan ilmunya bahkan menyerangnya dengan hebat. Terpaksa dia menghentikan auman Sai-cu Ho-kang dan mempercepat gerakan tongkatnya dengan ilmu Tongkat Pat-mo-tung-hoat (Ilmu Tongkat Delapan Iblis) yang dahsyat. The Kwat Lin memang hendak mempermain kan lawannya, maka dia hanya menangkis dan mengelak. Hal ini sengaja dilaku-kannya untuk memamerkan kepandaiannya dan untuk meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan akan roboh olehnya sehingga lawannya yang amat dibencinya itu akan ketakutan setengah mati! Dan memang usahanya ini berhasil. Keringat dingin membasahi muka pat-jiu Kai-ong dan tahulah kake ini bahwa mengandalkan ilmu silat saja, dia tidak akan menang melawan wanita yang pernah dipermainkannya dan diperkosanya selama tiga hari tiga malam itu. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakan sinkang dan tiba-tiba dia memekik dan menghantamkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. The Kwat Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan menggunakan ilmu Hiat-ciang Hoatsut ini. Dan dia sudah mendengar dari suaminya akan ilmu mujijat ini, maka dia bersikap hati-hati dan tidak berani memandang rendah. Bahkan ketika menyaksikan cahaya merah menyambar keluar, merasakan getaran mujijat dan mencium bau amis darah yang memuakan, dia terkejut sekali dan cepat dia menekuk kedua lututnya sedikit, kemudian mendorongkan tela-pak tangan kanannya dengan tiga buah jari tangan diluruskan. Hawa dingin meluncur keluar dari telapak tangannya menyambut hawa pukulan Hiat-ciang Hoat-sut.

"Dess!"dua benturan tenaga mujijat bertemu dan tubuh kedua orang itu terge- tar hebat! Kiranya tenaga Hiatciang Hoat-sut sudah sedemikian ampuhnya sehingga dalam benturan tenaga ini, Pat-jiu Kai-ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat Lin. Kalau kakek itu merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali, sebaliknya The Kwat Lin merasa tubuhnya panas! Namun keduanya dapat melawan hawa ini dan berkali-kali mereka mengadu tenaga sinkang lewat telapak tangan mereka . Tiba-tiba ujung lengan baju kiri The Kwat Lin menyambar kearah ubun-ubun kepala kakek itu yang menjadi terkejut sekali dan menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melihat dan tangan The Kwat Lin menyambar ke depan dari dalam lengan baju itu, menangkap tongkat. Pat-jiu Kai-ong cepat menghantamkan tangan kirinya lagi de-ngan tenaga Hiat-ciang Hoat-sut sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh wanita itu yang cepat sekali menarik tongkat yang diceng-kramnya menangkis. "Krekkkk!" Tongkat raja pengemis itu hancur terkena pukul-annya sendiri dan selagi dia terkejut bukan main, tahu-tahu ujung lengan baju kanan wanita itu sudah menyambar ke arah matanya! Dia berteriak kaget, miringkankepala, akan tetapi ternyata ujung lengan baju itu tidak menyerang mata, melainkan menye-leweng ke bawah dan menotok lehernya.

"Auggghh...!" Kalau orang lain yang terkena totokan yang tepat mengenai jalan darah, tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat-jiu Kai-ong sudah kebal, maka totokan yang kuat itu hanya membuat ia terhuyung ke belakang. Melihat ini, The Kwat Lin tertawa terkekeh, kedua tangannya bergerak dengan cepat sekali dan biarpun raja pengemis itu sudah berusaha mati-matian membela diri, namun karena totokan pertama membuat pandangan matanya berkunang sehingga gerakan-nya menjadi kurang cepat, dua kali totokan lagi dan sebuah tamparan dengan tiga jari tangan yang tepat mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan! Ketika dia siuman. Pat-jiu Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah terlentang di atas lantai dan dia tidak mampu menggerakan kaki tangannya, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara karena selain tertotok jalan darah yang membuatnya menjadi lumpuh, juga urat ganggu di lehernya telah ditotok. Tahulah dia bahwa dia tak berdaya lagi dan nyawa-nya berada di tangan lawan, dan dia pun maklum bahwa wanita ini tidak akan mung-kin mengampuni kesalahannya.Maka dia memejamkan mata menanti datangnya kematian.

"Bret-bret-brettt..., hi-hik! lihatlah, Bu Ong, lihat binatang ini!" Pat-jiu Kai-ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh pakaiannya di-renggut lepas semua sehingga dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jerih sebab seorang datuk macam Pat-jiu Kai-ong juga tidak mengenal takut, dia menggerakan pelupuk mata dan mengintai dari balik bulu matanya. Dia melihat anak laki-laki turun dari kursinya, memandanginya dan tertawa.

"Heh-heh, ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh, menjijikkan!" The Kwat Lin tertawa-tawa, kemudian sekali ujung lengan bajunya bergerak menyambar ke arah leher Patjiu Kai-ong, kakek ini terbebas dari totokan urat ganggunya dan dapat mengeluarkan suara.

"Perempuan hina, mau bunuh lekas bunuh! Aku tidak takut mati!" teriaknya marah. "Hi-hik, enak saja! Ingatkah kau betapa aku dahulupun minta-minta mati kepadamu? Tidak, engkau harus mengalami siksaan, mati sekarat demi sekarat! Bu Ong, dia inilah yang membunuh dua belas orang Supekmu secara kejam . Maukah kau membalaskan sakit hati dan kematian para Suoekmu?"

"Tentu saja! Akan kubunuh anjing tua ini!" Bu Ong sudah melangkah maju dan anak ini memandang dengan muka bengis. "Nanti dulu, Bu Ong.Terlampau enak baginya kalau dibunuh begitu saja. Tidak, untuk setiap orang dari suhengku, dia harus menderita satu macam siksaan. Jari tangannya. Hi-hak, jari-jari tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh orang suheng! Dan dua buah daun telinganya itu untuk kedua suheng yang lain," The Kwat Lin mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil tertawa-tawa, kemudian dia menggerakan khikangnya, "mengirim suara" dengan ilmunya yang tinggi ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar oleh anaknya,

"Pat-jiu Kai-ong , tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu! hasil kotor dari perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kaulihatlah anakmu, darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!" Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia ingin sekali mem-peroleh keturunan, terutama seorang putera, akan tetapi biarpun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali, tetap saja para selir itu tidak pernah memperoleh ke-turunannya. sekarang, secara tidak sengaja dia telah memperoleh seorang putera! dan puteranya itu dengan pedang di tangan menghampirinya, siap untuk menyiksanya! Tadi dia terheran melihat betapa bekas anggauta Cap-sa Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang terkenal gagah itu menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan keke-jaman. Kira-kira wanita itu memang sengaja hendak menyiksanya dengan menggu-nakan tangan keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu seperti juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan membunuh ayah sendiri!

"Anak... jangan...dengarkanlah...."

"Pratttt...!" Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang tadinya hendak mmperingatkan anak laki-laki itu karena urat ganggunya dileher telah ditotok oleh lengan baju The Kwat Lin yang terkekeh menyeringai.

"Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu sebagai seorang datuk? Lihatlah baik-baikdan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong, pergunakan pedang itu . Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk Twa-supek dan Ji-supekmu!"

"Baik, Ibu!"

Bu Ong lalu melangkah maju dan dua kali pedang itu berkelebat karena anak itu ternyata sudah pandai menggunakan pedang itu danbuntunglah kedua daun telinga Pat-jiu Kai-ong ! Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek itu. Air matanya meloncat keluar membasahi pipinya!

"Ha-ha, ibu! Lihat, dia menangis !" Anak itu bersorak dan mengambil dua buah daun telinga itu.

"He-he, seperti teling babi!" Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi bukan menangis karena rasa nyaeri dan pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati yang lebih hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang se-jak puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini bersorak girang melihat penderi-taannya! Dia tidak takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia meng-hadapi siksaan dan kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan batin yang hampir tak kuat dia menanggungnya .

"Teruskan,Bu Ong.Masih ada sepuluh orang Supekmu yang belum dibalaskan sakit hatinya.Jari-jari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan saja, satu demi satu buntungkan!" Mulailah penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak ini seolah-olah telah menjadi gila, dengan tertawa-tawa dia membuntungi se-mua jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari, dia bersorak kegirangan. Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong dan diceritakan betapa Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang suhengnya dan betapa raja pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus membalas dendam itu. Maka kini anak itu samasekali tidak me-naruh rasa kasihan, bahkan hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu.

Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia tidak menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah melakukan perbuatan sewenang-wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini sudah jamak. Hanya satu hal yang membuat air matanya bercucuran adalah melihat betapa dia di-siksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri. Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh tahun, telah menjadi seorang iblis cilik yang demikian kejam! Kini The Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat dan menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari lagi itu, yang berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi sebuah ten-dangan dari samping yang dilakukan oleh The Kwat Lin membuat dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu menggeliat-geliat. "Mundurlah, Bu-ong. lihat sekarang ibumu yang akan turun tangan. Aku akan mem-balas sendiri perbuatannya kepadaku terdahulu!" The Kwat Lin menghampiri musuh nya dengan pedang di tangan.

"Pat-jiu Kai-ong, ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu? Bayangkanlah,hi-hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa menyiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau yang menderita . Sudah adil bukan? Nah, terimalah ini... ini... ini...!" Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin ber-gerak dan tubuh kakek itu bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang itu membabat keseluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya me-ngenai ujung sedikit, tidak membahayakan keselamatan nyawa namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh kakek itu kini berlepotan darah, mukanya di-penuhi oleh kerut-merut menahan nyeri.

"Hi-hik, bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!" Kembali pedang itu digerakan, kini menusuk nusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga menembus kulit daging akan tetapi tidak membunuh dan darah keluar makin banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu berkelojotan seperti dalam sekarat. "Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata dan ujung pedangnya membabat ke bawah pusar. Wanita itu tertawa bergelah, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa sambil berdongak ke atas.

"suheng sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah puaskah kalian?" Dan dia terisak, lalu menghampiri tubuh yang berkelojotan itu. "akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam keadaan tersiksa di antara mayat-mayat yang membusuk, selama tiga hari tiga malam!" The Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kautunggu di sini sebentar!" Tubuhnya berkelebat mening-galkan ruangan itu dan dengan cepat dia telah datang menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu penuh dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiuKai-ong yang mandi darah.  JILID 10

“Nah, nikmatilah sekaratmu selama tiga hari!" The Kwat Lin lalu menggan-deng tangan anaknya dan mengajak pergi meninggalkan gedung itu. Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di depan gedung, Swi Liang dan Swi Nio menyambut mereka dengan mata penuh harapan. "Mana Ayah, Subo?" Swi Liang bertanya. "Bagaimana dengan dia?" Swi Nio juga bertanya. "Ayah kalian telah tewas...." Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi Liang mengepal tinjunya dan berkata, "Si jahanam Patjiu Kai-ong! aku harus membalas kematian Ayah!"

"Subo, bantulah kami..." kata pula Swi Nio, "kami harus menuntut balas!" "Heh-heh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian. Pat-jiu Kai-ong telah di balas dan sekarang sedang sekarat di antara tumpukan mayat, he-he-heh! Wah, aku mendapat bagian pesta tadi. Akulah yang membuntungi kedua telinganya dan sepuluh jari tangannya. Menyenangkan sekali!" Swi Liang dan Swi Nio terbelalak memandang "sute" ini. Ucapan anak itu benar-benar membuat mereka merasa serem. Memang, mendengar kematian ayah mereka yang tanpa keraguan lagi mereka yakin tentu dilakukan oleh Pat-jiu Kai-ong, mereka pun merasa sakit hati dan ingin mem-balas dendam. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh sute mereka menurut pengakuan anak itu, sungguh luar biasa sekali. Membuntungi kedua daun telinga dan sepuluh jari tangannya, dan perbuatan itu dianggap menyenangkan sekali dan berpesta, benar-benar membuat mereka bergidik!

"Musuhmu sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang dan tidak me-mikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas, dan kalian akan kuajak bersamaku sebagai muridku . Akulah pengganti ayah kalian." Swi Liang dan Swi Nio menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo mereka sambil bercucuran air mata. "Terima kasih subo..." Kata mereka di antara tangis mereka. "Perkenankan kami mengubur jenasah Ayah, " kata pula Swi Liang.

"Tidak perlu. Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah itu aku akan mem-bakar gedung itu." Biarpun merasa heran dan kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua orang yang sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak mem-bantah. Mereka tentu saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut pula di lempar oleh The kwat Lin di dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong untuk ikut menyiksa musuh besar ini!

Memang Pat-jiu Kai-ong tersiksa hebat bukan main. Ketika tadi anaknya membuntungi jari-jari tangannya, dia melihat muka anaknya itu berubah-ubah men-jadi muka banyak anak laki-laki yang menjadi korbanya. Puluhan, bahkan ratusan anak laki-laki yang menjadi korbannya itu seolah-olah mengeroyoknya, memaki dan mengejeknya, dan kini, setelah tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri sampai menu-suk-nusuk tulang, dia ditinggalkan di antara mayat-mayat itu. Celaka baginya, tubuh nya yang terlatih memiliki daya tahan yang amat kuat sehingga dia tidak menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat pingsan atau mati sekali, tentu dia tidak akan menderita sehebat itu. Mayat-mayat itu mulai mengeluarkan bau yang memuakan pada hari ke dua. Bau darah yang mengering dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur tubuhnya, masih diganggu lagi oleh bayangan anak-anak yang dahulu menjadi korbanya, membuat Pat-jiu Kai-ong menangis di dalam hatinya, me-nyesali perbuatannya yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti itu.

Tiga hari kemudian, The Kwat Lin muncul dan perempuan ini tertawa berge-lak melihat musuh besarnya masih belum mati. Senang sekali hatinya. Dahulu, dia diperkosa dan dipermainkan di antara mayat-mayat suhengnya selama tiga hari tiga malam, dan kini dia dapat membalas secara memuaskan sekali.

"Hi-hik, kau sudah puas sekarang?" ejeknya. "Nah, mampuslah kau. Pat-jiu Kai-ong!" pedangnya berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah pusar kakek itu dicincang hancur oleh pedang di tangan The Kwat Lin. Setelah merasa puas melihat mayat musuh besarnya, barulah dia membuat api dan membakar gedung itu, lalu berlari keluar. Dengan air mata bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio memandang nyala api yang membakar gedung, maklum bahwa mayat ayah mereka ikut terbakar. "Ayahmu telah sempurna," kata The Kwat Lin. "Tak perlu menangis lagi, hayo kalian ikut bersamaku. Kalau kalian rajin mempelajari ilmu, kelak kalian tidak akan menga-lami penghinaan orang lagi." Dengan hati berat namun karena tidak ada orang lain yang mereka pandang setelah ayah mereka meninggal, dua orang muda itu terpaksa mengikuti The Kwat Lin bersama Han Bu Ong pergi meninggalkan Hen-san.


***


Bu-tong-pai adalah sebuah perkumpulan silat yang besar, merupakan sebuah di antara "partaipartai" persilatan yang terkenal. Akan tetapi pada saat itu, Bu-tong-pai sedang berkabung. Di markas perkumpulan itu yang letaknya di lereng pegu-nungan Bu-tong-san, dari pintu gerbang sampai rumah-rumah para tokoh dan murid kepala, tampak kibaran kain-kain putih menghias pintu, tanda bahwa Bu-tong-pai sedang berkabung. Siapakah yang meninggal dunia? Bukan lain adalah ketua Bu-tong-pai yang sudah berusia lanjut, yaitu Kiu Bhok San-jin yang meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun. Baru saja upacara penguburan selesai dilakukan oleh para anak murid Bu-tong-pai, para tamu telah meninggalkan Pegunungan Bu-tong-san, akan tetapi semua anak buah murid Bu-tong-pai masih berkumpul di sekitar kuburan baru itu. Suasana penuh pergabungan dan masih tampak beberapa orang murid yang mengusap air mata. Kui Bhok San-jin terkenal sebagai seorang ketua dan guru yang baik dan yang dicintai oleh para anak murid Bu-tong-pai. "Suhu...!" Seruan ini mem-buat semua orang menengok dan tampaklah seoang wanita cantik berlari mendatangi, diikuti oleh seorang muda-mudi remaja dan seorang anak laki-laki. Wanita itu tidak menoleh ke kanan kiri, melainkan langsung berlari menghampiri kuburan baru dan menjatuhkan diri berlutut di depan batu nisan sambil menangis.

"Ahh, bukankah dia Sumoi The Kwat Lin....?" Seorang murid Kui Bhok San-jin yang usianya lima puluhan berseru. Semua orang memandang dan kini mereka pun mengenal wanita yang berpakaian indah seperti seorang nyonya bangsawan itu. The Kwat Lin! Tentu saja mereka semua kini teringat. Bukankah The Kwat Lin meru-pakan seorang anak murid Bu-tong-pai yang amat terkenal, sebagai orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap yang sudah bertahun-tahun lenyap tanpa meninggalkan jejak? "Benar, dia orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap!" terdengar seruan-seruan setelah mereka mengenal wanita cantik itu. Mendengar suara-suara itu, wanita ini lalu bang-kit berdiri, menyusuti air matanya, kemudian memandang kepada mereka sambil berkata,

"Benar, aku adalah The Kwat Lin, orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap. Masih baik kalian mengenalku! Sekarang suhu telah meninggal dunia, siapakah yang akan menggantikannya sebagai ketua Bu-tong-pai?" Para tokoh Bu-tong-pai terkejut menyaksikan sikap angkuh ini. Di antara mereka, terdapat delapan orang yang terhi-tung suheng-suheng dari The Kwat Lin, dan orang tertua di antara mereka adalah seorang kakek berpakaian seperti pendeta tosu. Sejak tadi kakek tosu ini mengerutkan alisnya setelah mendengar bahwa wanita itu adalah seorang muda dari Cap-sha Sin-hiap, maka kini mendengar pertanyaan Kwat Lin, dia melangkah maju dan berkata, "Sian-cai..., tak pernah pinto sangka bahwa anggauta termuda dari Cap-sha Sin-hiap akan muncul hari ini. Berarti engkau adalah murid termuda dari mendiang suheng, dan kalau engkau ingin mengetahi, pinto yang dipilih oleh anak murid Bu-tong-pai, juga telah ditunjuk oleh mendiang suheng menjadi ketua di Bu-tong-pai."

Kwat Lin mengangkat mukanya memandang. Tosu itu bertubuh kecil sedang, dan biarpun mukanya penuh keriput, namun matanya bersinar terang dan jenggotnya yang terpelihara baik mengitari mulutnya itu masih hitam semua, demikian pula rambutnya yang diikat dan diberi tusuk konde dari perak. Pakaiannya sederhana saja, pakaian seorang pendeta To yang longgar.

"Siapakah Totiang?"

"Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu kalau seorang murid keponakan tidak mengenal susioknya sendiri. Ketahuilah bahwa pinto adalah Kui Tek Tojin, satu-satunya sau-dara seperguruan dari mendiang Kui Bhok San-jin." Kwat Lin sudah pernah mende-ngar nama susioknya (paman gurunya) ini, seorang tosu perantau, sute termuda dan satu-satunya yang masih hidup dari mendiang suhunya. Dia mencibirkan bibirnya yang merah dengan gaya mengejek, kemudian berkata dengan suara lantang,

"Ah, kiranya Susiok Kui Tek Tojin yang menggantikan Suhu menjadi ketua Bu-tong-pai? Sungguh keputusan yang sama sekali tidak tepat! Aku tidak setuju sama sekali kalau Susiok yang menjadi ketua!" Tosu itu membelalakan matanya dan me-mandang kaget, heran dan penasaran. Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata, seorang tosu lain yang bernama Souw Cin Cu, murid tertua dari Kui Bhok San-jin, melangkah maju dan berkata,

"Sumoi, apa yang kaukatakan ini? Betapa beraninya engkau mengatakan demikian! Keputusan ini tidak saja sesuai dengan petunjuk suhu, juga telah menjadi keputusan kami semua. Pula, Susiok merupakan satu-satunya saudara seperguruan mendiang Suhu, sehingga kedudukannya paling tinggi dan usianya paling tua di antara kita. Siapa lagi kalau bukan Beliau yang menggantikan Suhu menjadi ketua kita?"

"Siancai, kedatangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka, juga pendapat yang mengejutkan. Betapapun juga, sebagai murid mendiang Suheng, dia berhak berbicara untuk kepentingan dan kebaikan Bu-tong-pai. The Kwat Lin, bukankah demikian namamu tadi? Kalau menurut pendapatmu, siapa gerangan yang patut dijadikan ketua Bu-tong-pai menggantikan Suheng yang telah tidakada?"

"Harap maafkan aku, Susiok. Bukan sekali-kali aku memandang rendah ke-pada Susiok, akan tetapi penolakanku itu berdasarkan perhitungan yang matang." Kwat Lin berkata kepada calon ketua Bu-tong-pai itu, mengejutkan dan menghe-rankan semua orang yang mendengar dan melihat sikap tidak menghormat dari wanita itu.

"Pertama-tama sejak dahulu Susiok selalu merantau, tidak pernah memper-dulikan keadaan Bu-tong-pai, apalagi Susiok adalah seorang tosu sehingga kalau Susiok yang menjadi ketua Bu-tong-pai, ada bahayanya Bu-tong-pai akan berubah menjadi perkumpulan Agama To! Berbeda sekali dengan pendirian mendiang Suhu yang bebas sehingga murid suhu pun terdiri dari bermacam-macam golongan. Selain itu, selama ini Bu-tong-pai makin kehilangan sinarnya, menjadi bahan ejekan dan bahan penghinaan orang lain."

"Ahhhh...!" terdengar suara memprotes dari sana-sini dan Souw Cin Cu kem-bali berkata penasaran, "Sumoi aku benar-benar merasa heran mendengar kata-kata mu dan melihat sikapmu. Sepuluh tahun engkau dan para suhengmu menghilang dan kini engkau muncul seperti seorang yang lain. Seperti langit dengan bumi bedanya antara engkau dahulu dan engkau sekarang! Sumoi, kau mengatakan bahwa Bu-tong-pai menjadi lemah dan menjadi bahan ejekan dan penghinaan orang lain. Apa artinya ini?"

"Souw Cin Cu Suheng, selama bertahun-tahun ini Cap-sha Sin-hiap telah lenyap, tahukah engkau apa yang terjadi dengan mereka?"

"Kami telah berusaha menyelidiki namun tidak dapat menemukan kalian." "Hemm, itulah tandanya bahwa Bu-tong-pai amat lemah, sehingga semua suhengku, tokoh-tokoh Cap-sha Sin-hiap, dibunuh orang tanpa diketahui oleh Bu-tong-pai!" Semua orang terkejut sekali mendengar bahwa dua belas orang dari Cap-sha Sin-hiap telah dibunuh orang!

"Siapa yang membunuh mereka?" Souw Cin Cu bertanya dengan suara marah sekali. Hati siapa yang takkan menjadi panas dan marah mendengar bahwa dua belas orang saudara seperguruannya dibunuh orang?

"Hemm, terlambat sudah! Dua belas orang Suheng dibunuh oleh Pat-jiu Kai-ong ketua Pat-jiu Kai-pang di Heng-san."

"Ohhh...!" kini Kui Tek Tojin berseru kaget, "Pat-jiu Kai-ong...?? mengapa..?"

Kwat Lin tersenyum mengejek. "Ahhh, tentu Susiok pernah mendengar nama besarnya dan menjadi gentar, bukan? Memang dialah datuk sesat yang terkenal itu, yang telah membunuh dua belas orang Suhengnya. dan peristiwa itu berlalu begitu saja! Tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai mengalami penghinaan, dan Butong- pai sendiri diam saja. Apalagi berusaha membalas dendam, bahkan tahupun tidak akan peristiwa itu! Ini tandanya bahwa Bu-tong-pai lemah! Kini Bu-tong-pai hendak diketahui oleh Susiok, apakah akan dijadikan markas kaum pendeta Tosu dan menjadi makin lemah lagi? Aku sendirilah yang harus turun tangan membunuh musuh-musuh besar kami, membunuh Pat-jiu Kai-ong dan membasmi Pat-jiu Kai-pang di Heng-san. Melihat kelemahan Bu-tong-pai, aku tidak setuju kalau mendiang Suhu digantikan kedudukannya oleh Susiok Kui Tek To-jin harus diganti oleh orang yang memiliki kepandaian tinggi dan dapat memajukan dan memperkuat Bu-tong-pai, barulah tepat!"

Kwat Lin bicara penuh semangat, mukanya yang cantik dan berkulit halus itu kemerahan, sepasang matanya bersinar-sinar dan dengan tajamnya menyapu wajah semua anak murid Bu-tong-pai yang hadir di situ. Pandang mata bekas orang termuda Cap-sha Sin-hiap ini membuat banyak anak murid Butong- pai merasa gentar dan mereka hanya menunduk untuk menghindarkan pandang mata Kwat Lin. Akan tetapi, delapan orang suheng dari Kwat Lin memandang dengan marah dan penasaran. Adapun Kui Tek Tojin hanya tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil mengang-guk - angguk, matanya memandang wajah wanita itu penuh selidik.

"The Kwat Lin, omonganmu penuh semangat terhadap kedudukan Bu-tong-pai. Andaikata benar semua kata-katamu itu, habis siapakah yang kaupandang tepat untuk menjadi ketua Bu-tong-pai?" Kui Tek Tojin berkata lagi dengan sikap tenang. "Untuk waktu ini, kiranya tidak ada orang lain lagi dari Bu-tong-pai kecuali aku sendiri!"

Kini benar-benar terkejut dan terheran-heranlah semua anak murid Bu-tong-pai yang berada di situ. Begitu beraninya wanita ini. Biarpun tak dapat disangkal lagi bahwa The Kwat Lin merupakan murid utama pula dari mendiang Bhok Sanjin dan orang termuda Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi pada waktu itu dia bukanlah orang yang memiliki tingkat tertinggi di Bu-tong-pai. Sama sekali bukan! Di atas dia masih ada delapan orang suhengnya, murid-murid Kui Bhok San-jin yang lebih tua, dan lebih lagi di situ masih ada Kui Tek Tojin yang tentu saja memiliki tingkat jauh lebih tinggi karen tosu ini adalah paman gurunya!

"Murid Murtad!!" Tiba-tiba Souw Cin Cu membentak garang dan meloncat maju, diikutipula oleh sute-sutenya. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka The Kwat Lin. "The Kwat Lin, engkau sungguh tidak patut menjadi murid Bu-tong-pai! Kiranya engkau menghilang sepuluh tahun hanya untuk pulang sebagai iblis wanita yang murtad terhadap perguruanya sendiri. Dan kami berkewajiban untuk mengajar seorang murid murtad!" Sambil berkata demikian, Souw Cin Cu menerjang ke depan dengan dahsyat. Souw Cin Cu merupakan murid pertama atau paling tua dari Kui Bhok San-jin. sungguhpun tidak dapat dikatakan bahwa dia memiliki tingkat ilmu silat paling tinggi, akan tetapi setidaknya tingkatnya sejajar dengan orang-orang tertua dari Cap-sha Sin-hiap dan sebenarnya masih lebih tinggi setingkat jika dibandingkan dengan ilmu kepandaian The Kwat Lin ketika masih menjadi orang termuda Cap-sha Sin-hiap dahulu. Akan tetapi, Kwat Lin sekarang sama sekali tidak bisa disamakan dengan Kwat Lin sepuluh tahun yang lalu. Dia telah mewarisi ilmu, silat ilmu silat tinggi dan mujijat dari Pulau Es! Tingkatnya sudah tinggi sekali dan dengan tenang saja dia memandang ketika suhengnya itu menerjangnya. Apalagi karena dia mengenal benar jurus yang dipergunakan oleh suhengnya, jurus dari ilmu silat Ngo-heng-kun. Ketika tangan kiri Souw Cin Cu mencengkeram ke arah lehernya dan tangan kanan tosu itu menampar pelipis, dia diam saja seolah-olah dia hendak menerima dua serangan ini tanpa melawan. Akan tetapi setelah hawa sambaran pukulan itu sudah terasa olehnya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari bawah ke atas. "Plak-plak-plak!!" Kedua lengan Souw Cin Cu telah terpental, bahkan tubuh tosu ini terpelanting ketika tangan Kwat Lin yang tadi sekaligus menangkis kedua lengan itu melanjutkan gerakannya dengan tamparan pada pundaknya. Tamparan yang perlahan saja, akan tetapi sudah cukup murid pertama mendiang Kui Bhok San-jin terpelanting!

Diam-diam Kui Tek Tojin terkejut heran menyaksikan gerakan tangan wanita itu, gerakan yang amat cepat dan aneh, gerakan yang sama sekali tidak dikenalnya dan tentu saja bukan jurus ilmu silat Butong- pai! Akan tetapi tujuh orang sute dari Suow Cin Cu sudah menjadi marah dan tanpa dikomando lagi mereka menerjang maju. Akan tetapi The Kwat Lin tertawa, tubuhnya bergerak sedemikian cepatnya dan berturut-turut tujuh orang ini pun terguling roboh di dekat Suow Cin Cu! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dirobohkan, akan tetapi tahu-tahu terpelanting dan bagian yang tertampar tangan Kwat Lin, biarpun tidak sampai patah tulang, akan tetapi amat nyeri. Padahal tamparan itu perlahan saja. Bagaimana andaikata wanita itu menampar dengan pengerahan tenaga sekuatnya, sukar dibayangkan akibatnya. Betapapun juga, delapan orang murid utama dari Bu-tong-pai ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu mudah dan mereka sudah meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing!

"Ibu, mengapa tidak dibunuh saja tikus-tikus menjemukan ini?" Tiba-tiba Bu Ong berteriak. Anak ini sudah bertolak pinggang dan memandang marah kepada para pengeroyok ibunya. Kalau saja tangannya tidak dipegang erat-erat oleh Swi Liang dan Swi Nio, suheng dan sucinya, tentu dia sudah menerjang maju membantu ibunya. Akan tetapi memang sebelumnya, SwiLiang dan Swi Nio sudah dipesan oleh subo mereka untuk menjaga Bu Ong, dan terutama sekali mencegah bocah ini mencampuri urusannya dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kwat Lin tersenyum mengejek melihat delapan orang suhengnya itu mengeluarkan senjata.

"Hemmm, apakah kalian ini sudah buta? Apakah para suheng tidak melihat bahwa tingkat kepandaianku jauh melebihi kalian, dan bahkan andaikata Suhu masih hidup, beliau sendiri tidak akan mampu menandingi aku."

"Keparat...!" Souw Cin Cu dan tujuh orang sutenya menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba Kui Tek Tojin berseru, "Tahan senjata! Mundur kalian!" Mendengar teriakan ini, delapan orang ini serentak mundur mentaati perintah calon ketua mereka. Kui Tek Tojin melangkah maju menghampiri wanita yang tersenyum-senyum itu. "Siancai... kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi maka berani menentang Bu-tong-pai! The kwat Lin, selama ini engkau telah mempelajari ilmu silat dari luar Bu-tong-pai, tidak tahu dari perguruan manakah?"

"Memang benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak perlu aku menceritakan kepada siapapun juga."

"Hei, tosu bau! Ibu adalah Ratu dari Pulau Es, tahukah engkau?"

"Bu Ong...!" Kwat Lin membentak puteranya, akan tetapi anak itu sudah ter-lanjur bicara dan bukan main kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak murid Bu-tong-pai mendengar ini. Pulau Es hanya disebut-sebut dalam dongeng saja, dan memang nama besar tokoh Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es amat terkenal di dunia kang-ouw. Timbul keraguan di dalam hati Kui Tek Tojin, akan tetapi karena wanita di hadapannya itu juga merupakan anak murid Bu-tong-pai, maka dia menekan perasaan nya dan berkata, "The Kwat Lin, kalau engkau masih mengaku sebagai murid Bu-tong-pai, betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, engkau harus tunduk kepada pimpinan Bu-tong-pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah mempelajari ilmu silat dari golongan lain dan tidak lagi merasa sebagai orang Bu-tong-pai, engkau tidak berhak mencampuri urusan dalam dari Bu-tong-pai." Kwat Lin tersenyum mengejek.

" Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi bahwa aku telah membelajari ilmu silat dari golongan lain dan tingkat kepandaianku menjadi jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Butong- pai. Akan tetapi aku bukan saja masih mengaku orang Bu-tong-pai, bahkan ingin memimpin Bu-tongpai menjadi perkumpulan terkuat di dunia. Akan kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu silat Bu-tong-pai agar tidak ada lagi golongan lain yang berani memandang rendah Bu-tong-pai, apalagi menghina anak murid Bu-tong-pai seperti yang terjadi kepada Cap-sha Sin-hiap sepuluh tahun yang lalu." "Hemm, kalau begitu, pinto sebagai calon ketua Bu-tong-pai, terpaksa melarang dan menentang kehendakmu, The Kwat Lin."

"Dengan cara bagaimana kau hendak menentangku, Susiok?"

"Dengan mempertaruhkan nyawaku. Kehormatan Bu-tong-pai lebih penting dari pada nyawa seorang ketuanya. Majulah dan mari kita putuskan persoalan ini dengan kepandaian kita ."

The Kwat Lin tersenyum. "Susiok, betapapun mudahnya bagiku membunuh-mu, membunuh para suheng dan membunuh semua orang yang menentangku. Akan tetapi, aku bahkan ingin menolong kalian, ingin mengangkat namaBu-tong-pai, maka biarlah aku hanya akan mengalahkan Susiok tanpa membunuhmu."

Ucapan ini malah merupakan penghinaan yang luar biasa sekali, karena me-ngalahkan lawan tanpa membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari lawannya! Merah muka tosu tua itu. Dia dipandang rendah oleh murid kepo-nakannya sendiri! Bukan hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari Bu-tong-pai, sebagai calon ketua Bu-tong-pai, dihina oleh seorang anggauta muda Bu-tong-pai! Oleh karena itu, tosu tua ini mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan wanita yang kini dipandangnya bukan sebagai anggauta Bu-tong-pai lagi, melainkan sebagai seorang musuh yang hendak mengacau Bu-tong-pai.

"The Kwat Lin sebagai seorang ketua Bu-tong-pai, pinto menyediakan nyawa untuk mempertahankan kehormatan Bu-tong-pai terhadap siapapun juga , dan saat ini pinto akan mempertahankannya terhadap engkau! Majulah!" sambil berkata demikian tosu tua berjenggot lebat ini meloncat ke depan, tongkatnya di tangan kanan dan ujung lengan bajunya melambai panjang. Kwat Lin mengenal tongkat itu. Tongkat kayu cendana yang harum dan menghitam saking tuanya, tongkat yang menjadi tong-kat pusaka para ketua Bu-tong-pai sejak dahulu. Dia maklum pula bahwa tongkat itu hanya sebagai lambang kedudukan ketua belaka, namun dalam hal ilmu silat bersen-jata, ujung lengan baju kakek itu jauh lebih barbahaya dari pada tongkatnya. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek ini sudah memiliki tingkat tertinggi dari Bu-tong-pai, dan telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga kedua ujung lengan bajunya dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh yang dapat menghadapi senjata apapun juga dari lawan, dapat dibikin kaku keras seperti besi dan lemas seperti ujung cambuk yang dapat melakukan totokan-totokan maut keseluruh jalan darah di tubuh lawan! Karena itu, dia tidak berani memandang rendah, cepat dia mengeluarkan pekik melengking, dan tubuhnya sudah bergerak maju, tangan kananya melakukan pukulan dorongan dengan telapak tangan sambil mengerahkan tenaga sinkang Swat-im Sin-jiu. Hawa yang amat dingin menghembus ke depan menyerang kakek itu. Swat-im Sin-jiu adalah tenaga dalam inti salju yang dilatihnya di Pulau Es, kekuatannya dahsyat bu-kan main karena hawa yang menyambar ini mengandung tenaga sakti yang menda-tangkan rasa dingin.

"Siancai...!!" Tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa hawa yang menyam-bar dari depan amat dinginnya, membuat tangannya ketika mendorong kembali terasa membeku. Maka dia lalu mengerakan tongkat di tangan kanannya, mengambil keun-tungan dari ukuran tongkat yang panjang, menghantam ke arah kepala wanita itu dari samping. "Wuuuuttt... plakkkk!" Dengan berani sekali Swat Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka untuk memapaki sambaran tongkat dari samping, terus menceng-kram tongkat itu dan mengerahkan sinkang, menyalurkannya lewat getaran tongkat dan kembali tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa lengan kanannya yang meme-gang tongkat terasa dingin dan lumpuh! Kesempatan baik ini, dalam satu detik pada saat lawan masih terkejut dan belum sempat mengerahkan sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin dengan jalan menarik ke bawah, bergulingan ke depan dan menghantam ke arah lawan dengan tangan kananya, kini menggerakan tenaga sinkang yang berhawa panas!

"Ouhhh...!" Kui Tek Tojin berteriak, cepat meloncat ke belakang dan tentu saja tongkatnya dapat dirampas. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang melawan getar-an melalui tongkat, dengan niat merampasnya kembali, akan tetapi pukulan lawannya dari bawah yang ditangkis dengan tangan kanan, ternyata luar biasa kuat dan panas-nya, mengejutkannya karena perubahan sinkang yang berlawanan itu tidak disangka-sangkanya, maka untuk menyelamatkan diri, terpaksa dia meloncat ke belakang dan mengorbankan tongkatnya. Kwat Lin sudah melompat kebelakang pula, memegang tongkat itu dengan kedua tangan di atas kepala sambil tertawa dan berkata,

"Hi-hik, tongkat pusaka telah berada di tanganku, berarti akulah ketua Bu-tong-pai!

"Kembalikan tongkat!" Kui Tek Tojin berteriak marah dan kedua lengannya bergerak ketika tubuhnya menerjang maju. Dengan amat cepatnya kedua ujung lengan bajunya bergerak seperti kilat menyambar-nyambar dan dalam segebrakan itu, Kwat Lin telah dihujani sembilan kali totokan yang amat berbahaya! Sukarlah membebas-kan diri dari ancaman totokan yang hebat ini dan andaikata Kwat lin bukan seorang pewaris ilmu-ilmu dari Pulau Es, tidak mungkin dia dapat menghindarkan diri lagi. Dia menggunakan ginkangnya berloncatan menghindar, akan tetapi sebuah totokan yang meleset masih mengenai pergelangan tangannya, membuat tongkat pusaka itu terlepas dari peganganya! Kwat Lin menjerit marah, pedangnya sudah dicabutnya, yaitu pedang Ang-bwe-kiam dan tampak sinar merah berkeredepan dan menyambar-nyambar dahsyat. "Bret-brettttt...!!" Kui Tek Tojin berteriak kaget, meloncat mundur dan ternyata bahwa ujung lengan bajunya telah terbabat buntung oleh pedang di tangan Kwat Lin, dan sekarang wanita itu telah mengambil lagi tongkat pusaka yang tadi terpaksa dilepaskan oleh tangannya yang tertotok.

"Susiok! Dan kalian para suheng semua! Kalau kalian mendesak, terpaksa aku akan mematahkan tongkat pusaka ini kemudian membunuh kalian dan merampas Bu-tong-pai dengan kekerasan!" Dia mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi.

"Aku hanya menuntut hak seorang murid Bu-tong-pai yang memiliki tingkat tinggi dan memegang tongkat wasiat itu, hak menjadi ketua dengan niat untuk mempertinggi tingkat Butong- pai!" Delapan orang suheng itu masih penasaran dan mereka hendak menyerbu ke depan, akan tetapi Kui Tek Tojin mengangkat tangan ke atas dan berkata,

"Mundurlah kalian. Dia benar, kita tidak boleh melawan pemegang tongkat pusaka!" Kemudian dia berkata kepada Kwat Lin, "Baiklah, melihat tongkat pusaka di tanganmu, kami tidak akan melawan. Akan tetapi, betapapun juga kami tidak dapat menerima engkau menjadi ketua kami dan kami harap engkau tidak memaksa anak murid Bu-tong-pai yang tidak mau tunduk kepadamu dan meninggalkan tempat ini." Kwat Lin tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk memusuhi anak murid Bu-tong-pai. Dia tidak membenci Bu-tong-pai, melainkan hendak mencarikan kemuliaan bagi puteranya dengan perantaraan sebuah perkumpulan besar dan dia akan mengusa-hakan agar Bu-tong-pai menjadi sebuah perkumpulan yang paling kuat dan paling besar.

"Terserah kepadamu, Susiok." dia lalu memandang ke sekeliling, kepada para anak murid Bu-tong-pai, "Haiii, semua anggauta dan murid Bu-tong-pai, dengar lah baik-baik! Betapapun juga aku adalah murid Bu-tong-pai sejak kecil, dan di dalam sepak terjang Cap-sha Sin-hiap, kalian juga sudah tahu betapa aku dan para suheng telah menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai dan aku ingin menyebarkan ilmuku kepada kalian semua agar kalian menjadi orang-orang yang lihai dan Bu-tong-pai menjadi perkumpulan yang paling kuat di dunia ini. Terserah kepada kalian apakah hendak besetia kepada nama Bu-tong-pai dan menjadi murid-muridku, ataukah hendak ber-setia kepada tosu Kui Tek Tojin dan delapan orang suhengku ini yang hendak mem-belakangi Bu-tong-pai!"

Berisiklah keadaan di situ setelah Kwat Lin mengeluarkan kata-kata ini. Para anak murid Bu-tong-pai saling bicara sendiri, saling berbantahan dan akhirnya hanya ada dua puluh orang termasuk Kui Tek Tojin yang meninggalkan tempat itu, menu-runi bukit dan memasuki sebuah hutan di kaki bukit yang dipilih oleh Kui Tek Tojin untuk menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu sambil menanti perkembangan selanjutnya. Sisanya semua suka mengangkat Kwat Lin menjadi ketua mereka setelah mereka tadi menyaksikan betapa lihainya Kwat Lin dan mereka semua ingin memper-oleh bagian pelajaran ilmu silat yang tinggi. Demikianlah, mulai hari itu, The Kwat Lin menjadi ketua yang baru dari Bu-tong-pai yang dipimpinnya dengan gaya dan bentuk yang baru pula. Dengan harta benda berupa emas permata yang amat mahal, yang didapatkan dan dilarikannya dari Pulau Es, dia membangun markas Bu-tong-pai menjadi bangunan yang megah, mewar dan kuat. Bahkan dalam keinginan hatinya untuk lekas-lekas melihat Butong- pai menjadi perkumpulan yang kuat dan banyak anggautanya, dia menerima anggauta-anggauta baru. Anggauta baru diterima dari golongan apapun juga, syaratnya hanya satu bahwa mereka itu haruslah memiliki kepandaian yang sampai pada tingkat tertentu, dan bersumpah setia sampai mati kepada Bu-tongpai. Karena mendengar bahwa ketua Bu-tong-pai yang baru adalah seorang wanita yang cantik yang memiliki kesaktian hebat, juga amat kaya raya, maka banyaklah orang-orang kang-ouw dan golongan kaum sesat yang tadinya hidup seba-gai perampok dan bajak-bajak yang tidak tertentu penghasilanya, berdatanganlah dan masuk menjadi anggauta Bu-tong-pai!

Mulai pulalah The Kwat Lin mengatur dan merencanakan cita-citanya untuk puteranya. Dengan kerja sama antara dia dan para anggauta baru yang berpengalaman mulailah dia diam-diam mengadakan kontak dan mencari kesempatan untuk menghu-bungi para pembesar tinggi yang merupakan kekuatan rahasia untuk membrontak terhadap kaisar.

Inilah cita-cita The Kwat Lin. Dia pernah menjadi ratu, menjadi istri seorang raja, biarpun hanya raja kecil yang menguasai Kerajaan Pulau Es, karena itu, dia menganggap bahwa puteranya, Han Bu-ong, adalah seorang pangeran! Seorang pa-ngeran haruslah bercita-cita menjadi raja. Bukan raja kecil yang hanya menguasai sebuah pulau, melainkan raja besar! Dan satu-satunya jalan untuk dapat mencapai ini, hanyalah menggulingkan kaisar sehingga kelak ada kesempatan bagi puteranya untuk menjadi kaisar! Tentu saja untuk membrontak sendiri dengan mengandalkan kekuat-anBu-tong-pai merupakan hal yang tak masuk diakal dan hanya merupakan bunuh diri, maka dia mencari kesempatan mengadakan kontak dengan para pembesar tinggi yang berambisi seperti dia sehingga mungkin bagi mereka untuk menggunakan bala tentara yang dapat dikuasai untuk mencapai cita-cita mereka itu.

Memang sesungguhnyalah bahwa kemuliaan duniawai atau alam benda merupakan keadaan yang amat berba-haya. Tak dapat disangkal pula bahwa hidup memang memerlukan kebendaan sebagai pelengkap dan pelangsung hidup, dan amat baiklah kalau orang dapat menggunakan keduniawian itu pada tempat sebenarnya. Akan tetapi, akan celakalah dan hanya akan menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri dan bagi orang lain kalau manusia sudah dikuasai oleh duniawi yang merupakan harta benda, kedudukan, nama besar, kepandaian dan lain-lain sebagainya. Alam kebendaan ini mempunyai sifat seperti arak. Diminum dengan kesadaran dan pengertian akan menjadi obat, tapi di lain saat dalam keadaan lalai akan menjadi minuman yang memabokan. Dan sekali orang mabok oleh duniawi, akan timbullah perbuatan sombong, sewenang-wenang, dan lupa segala. yang ada hanyalah keinginan memenuhi segala kehendaknya dengan cara apapun juga tanpa mengharamkan dengan segala cara.

Demikian pula terjadi dengan The Kwat lin. Dahulu, belasan tahun yang lalu, The Kwat Lin merupaka seorang pendekar wanita yang gagah perkasa menentang kejahatan yang gigih sehingga namanya bersama dua belas orang suhengnya sebagai Cap-sha Sin-hiap amatlah terkenal. Akan tetapi setelah malapetaka menimpa Cap-sha Sin-hiap, dendam menaburkan bibit yang merobah seluruh pandangan hidupnya. Setelah dia berhasil membalas dendam secara keji dan kejam sekali, bibit itu masih berkembang biak dan merobah sifat, dari dendam kepada pengejaran kemuliaan yang tanpa batas.


***


Sudah terlalu lama kita meninggalkan Han Swat Hong. puteri dari Raja Han Ti Ong dan sebaiknya kita mengikuti pengalamanya agar tidak tertinggal terlampau jauh. Seperti kita ketahui, Swat Hong yang berwatak keras itu marah-marah ketika melihat betapa Sin Liong menolong seekor biruang dan tidak mempedulikan dia.Dianggapnya Sin Liong sengaja mencari-cari alasan untuk menghambat perjalanan, padahal dia ingin sekali segera mencari dan menemukan ibunya yang tidak ia diketahui kemana perginya dan bagaimana nasibnya setelah badai yang amat dahsyat mengamuk dise-kitar lautan itu. Akan tetapi tentu saja bukan dengan hati yang sesungguhnya dia hendak meninggalkan Sin Liong di pulau kosong itu, melainkan hanya untuk sekedar menunjukan kemarahan hatinya saja. Karena itu setelah perahunya jauh meninggalkan pulau itu sehingga pulau dimana Sin Liong mengobati biruang itu tidak nampak lagi, dara itu memutar lagi perahunya dan hendak kembali kepada Sin Liong. Sudah diba-yangkannya betapa Sin Liong yang selalu sabar dan selalu mengalah kepadanya itu akan minta maaf dan menyatakan penyesalan hatinya, dan dia yang akan memaaf-kannya! Saat - saat seperti itu mendatangkan keharuan, kebanggan dan kemenangan di dalam hatinya. Betapa bingung dan kagetnya ketika kemudian dia mendapat kenyataan bahwa dia tersesat jalan dan tidak tahu lagi dimana dia meninggalkan Sin Liong tadi! Demikian banyaknya pulau yang sama bentuknya di lautan itu, banyak sekali bongkahan es yang datang dan pergi seperti hidup saja! Setelah berputar putar tanpa hasil dan yakin bahwa dia berada makin jauh dari tempat dimana Sin Liong berada, setelah berteriak - teriak memanggil dengan pengerahan khikang tanpa ada jawabannya dan memutar perahu keluardari daerah penuh pulau kecil yang membi-ngungkan itu. Biarlah, dia akan pergi saja melanjutkan perjalanan seorang diri men-cari ibunya. Dia merasa yakin bahwa suhengnya itu tentu akan dapat menyelamatkan diri. Suhengnya memiliki ilmu kepandaian yg amat tinggi. Swat Hong tidak tahu bahwa perahunya menuju ke selatan, bukan menuju ke daerah Pulau Es lagi. Namun karena maksudnya untuk mencari ibunya, dara ini seolah - olah berlayar tanpa tujuan dan membiarkan saja kemana perahu yang terdorong angin itu membawanya. Pada suatu hari , tampaklah olehnya garis hitam di sebelah kanan, masih jauh sekali, akan tetapi dengan girang dia dapat mengenal bahwa garis hitam yang amat panjang membujur dari kanan kiri itu adalah sebuah daratan yang agaknya tiada bertepi. Itulah daratan besar, pikirnya dengan girang dan dia segera membelokan perahunya menuju ke garis hitam itu. Ketika perahunya sudah tiba di dekat pantai yang sunyi, dia melihat ada sebuah perahu lain yang meluncur cepat dari sebelah kirinya. Perahu kecil dan yang berada di perahu itu seorang laki-laki muda yang kelihatannya gagah dan tam-pan. Pemuda itu pun memandang kepadanya sehingga dua pasang mata saling pandang sejenak. Akan tetapi Swat Hong membuang muka dan tidak mempedulikan orang yang tidak dikenalnya itu, terus saja mendayung perahunya ke tepi. Begitu perahunya mendekati daratan, dia lalu meloncat ke daratan, tidak menghiraukan pera-hunya lagi. Memang dia tidak berpikir untuk kembali ke tempat itu dan berperahu lagi. Untuk apa berlayar? Pulau Es sudah kosong. Dia akan mencari ibunya di daratan besar, karena kalau ibunya berada di suatu pulau, agaknya tentu tidak akan dapat ter-lepas dari amukan badai yang dahsyat itu. Kalau ibu berada di daratan besar , dan ini mungkin saja terjadi, barulah ada harapan bahwa ibunya masih hidup dapat bertemu dengannya. Andaikata tidak, dia pun akan merantau di daratan besar, tidak kembali kelaut. Dan dia tahu bahwa demikian pula agaknya pendapat suhengnya karena sebe-lum berpisah mereka sudah membicarakan hal ini berkali-kali.

Nenek moyangnya yang selama ini menjadi raja di Pulau Es juga berhasal dari daratan besar! Setelah kini Kerajaan Pulau Es terbasmi badai dan tidak ada lagi, sepatutnya kalau dia sebagai ahli waris satu-satunya kembali pula ke daratan besar! "Heiii... Nona! Tunggu...!!" Swat Hong mengerutkan alisnya dan berhenti melang-kahkan kakinya, membalik dan melihat betapa pemuda yang berada di dalam perahu tadi sudah menambatkan perahunya dan juga perahu yang ditinggalkanya meloncat tadi, di pantai. Kini pemuda itu berlari mengejarnya.

"Mau apa engkau mengejardan memanggil aku?" Swat Hong bertanya, matanya memandang penuh selidik. Pemuda itu usianya tentu hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, yang perawakanya tinggi besar dan matanya menyorotkan kejujuran dan membayangkan kekerasan dan keberanian. Kedua lengan yang tampak tersembul keluar dari lengan baju pendek itu kekar berotot membayangkan tenaga yang hebat, juga bajunya yang terbuat dari kain tipis membayangkan dada yang bidang, terhias sedikit rambut, berotot dan kuat sekali. Melihat bahan pakaiannya dapat di duga bahwa pemuda ini seorang yang beruang, namun melihat dari keadaan tubuhnya dan kaki tangannya, agaknya dia biasa dengan pekerjaan berat. Seorang petani atau seorang nelayan, pikir Swat Hong, kagum juga memandang tubuh yang kokoh kuat itu. Pemuda itu tersenyum. Senyumnya lebar memperlihatkan deretan gigi yang kokoh kuat pula, senyum terbuka seorang yang berwatak jujur dan bersahaja. Akan tetapi sikapnya ketika mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, membuktikan bahwa dia pernah"makan sekolahan" alias terpelajar, terbukti pula dari kata-katanya yang biarpun ringkas dan singkat akan tetapi tetap sopan.

"Maafkanlah, Nona meninggalkan perahu begitu saja, aku merasa sayang dan membantu meminggirkannya. Melihat gerakan Nona ketika meloncat, jelas bahwa Nona berkepandaian tinggi. Aku ingin sekali belajar kenal." Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya sedang tidak senang, karena selain kegagalannya mencari ibu, juga perpisahanya dengan Sin Liong setidaknya mendatangkan rasa gelisah dihatinya. Kini ada pemuda yang amat lancang ingin "belajar kenal", sungguh menggemaskan.

"Aku tidak membutuhkan perahu itu lagi, dan aku tidak peduli apakah kau meminggirkannya atau hendak memilikinya, aku tidak minta bantuanmu. Tentang belajar kenal biasanya hanya pedang, kepalan tangan dan tendangan kaki saja yang mau belajar kenal dengan orang asing lancang!" Sepasang mata lebar itu terbelalak seolah-olah memandang sesuatu yang amat aneh, namun membayangkan kekaguman yang luar biasa. Dan memang, di luar dugaan Swat Hong sendiri, sikap dan kata-katanya tadi mendatangkan rasa kagum yang amat besar di dalam hati pemuda ini. Telah menjadi ciri khas pemuda ini yang mengagumi sikap orang yang terbuka, jujur, kasar dan tanpa pura-pura seperti sikap Swat Hong yang baru saja diperlihatkan.

"Ha-ha-ha-ha!" Pemuda itu tertawa bergelak dan kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Ini pun ciri khasnya. Kalau dia tertawa, air matanya keluar seperti orang menangis. Dengan punggung tangannya yang besar dan berotot dia menghapus air matanya. "Nona hebat sekali! Ha-ha-ha , aku Kwee Lun selama hidupku baru sekarang ini bertemu dengan seorang nona yang begini hebat! Diantara seribu orang gadis, belum tentu ada satu! Nona, kalau sudi, perkenalkanlah aku Swee Lin, biarpun jelek dan kasar bukanlah tidak terkenal. Ayahku adalah seorang pelaut biasa dan sudah meninggal, demikian pula Ibuku. Aku anak pelaut akan tetapi sejak kecil aku sudah ikut kepada guruku. Guruku inilah yang terkenal. Guruku adalah Lam Hai Sen-jin, pertapa yang amat terkenal di dunia kang-ouw, dan kami berdua tinggal diPulau Kura-kura di laut selatan."

Melihat sikap terbuka ini, geli juga hati Swat Hong. Kini dia melihat jelas bahwa pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar. Kasar memang, akan tetapi kekasar-an yang memang menjadi wataknya yang terbuka. Orang macam ini baik dijadikan sahabat, pikirnya. Akan tetapi harus dibuktikan dulu apakah pemuda ini pantas men-jadi sahabatnya, sungguhpun menurut pengakuannya dia murid seorang pertapa yang namanya terkenal di dunia kang-ouw! Swat Hong tersenyum.

"Aihh, engkau lebih pantas menjadi seorang penjual jamu! Setelah engkau memperkenalkan semua nenek moyangmu kepadaku, dengan maksud apakah engkau seorang pria minta perkenalan dengan seorang wanita?" Kwee Lun mengerutkan alisnya yang sangat lebat seperti dua buah sikat ditaruh melintang di dahinya itu, dan dia menggeleng-geleng kepalanya.

"Memang, sebelumaku berangkat merantau, suhu berpesan dengan sungguh bahwa aku tidak boleh mendekati wanita cantik yang katanya amat berbahaya mele-bihi ular berbisa! Akan tetapi, biarpun Nona cantik sukar dicari cacatnya, namun kepandaian Nona tinggi dan sikap Nona jujur menyenangkan. Aku ingin bersahabat, karena sekarang ini baru pertama kali aku merantau seorang diri, aku membutuhkan seorang sahabat yang pandai seperti Nona untuk memberi petunjuk kepadaku. Untuk budi Nona ini, tentu aku akan berusaha menyenangkan hatimu."

Swat Hong makin terheran. Dia tidak tahu apakah pemuda ini pintar atau bodoh. Sikapnya terbuka akan tetapi biarpun kata-katanya teratur, ada bayangan ketololan. "Hemm, kau bisa apa sih? Bagaimana engkau bisa menyenangkan hatiku?" Dia menyelidik. "Aku? Wah, aku bodoh akan tetapi kalau ada orang-orang kurang ajar kepadamu, tanpa Nona turun tangan sendiri, aku sanggup menghajar mereka! Dia melonjorkan kedua lengannya yang kekar berotot itu. "Dan jangan Nona sangsi lagi, biar ada lima puluh orang, aku masih sanggup menghadapi mereka, kalau perlu diban-tu sengan senjataku kipas dan pedang. Kalau Nona senang sajak, aku banyak menge-nal sajak kuno yang indah dan di waktu Nona kesepian, aku dapat menghibur Nona dengan nyanyian! Aku suka sekali bernyanyi."

Hampir saja Swat Hong tertawa geli orang yang kekar seperti seekor singa buas ini membaca sajak, bernyanyi dan senjatanya kipas? Benar-benar seorang pemu-da yang aneh, akan tetapi tentu saja dia belum mau percaya begitu saja. Sambil memandang tajam dia berkata, "Hemm, kau bicara tentang pedang dan kipas sebagai senjata, akan tetapi aku tidak melihat engkau membawa senjata apa-apa."

Ahh, tunggu dulu, Nona. Aku memang sengaja meninggalkanya di perahu!" Setelah berkata demikian, Kwee Lun membalikan tubuhnya dan berlari cepat sekali ke perahunya dan ketika dia sudah kembali ke depan Swat Hong, benar saja dia telah membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah dan sebuah kipas bergagang perak yang diselipkan di ikat pinggangnya!

"Mengapa baru sekarang kau memperlihatkan senjata-senjatamu?"

"Aih, kalau tadi aku membawa senjata, tentu akan menimbulkan dugaan yang bukan-bukan dan untuk berkenalan dengan seorang gadis, bagaimana aku berani membawa senjata? Tentu disangka perampok atau bajak!" Mauatau tidak, Swat Hong tersenyum. Timbul rasa sukanya kepada pemuda kasar yang aneh ini.

"Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan engkau seorang pria, mana mungkin menjadi sahabat? Tidak patut dilihat orang." Mata yang lebar itu kembali terbelalak penuh penasaran dan tangan kirinya dikepalkan.

"Apa peduli katakata orang? Kalau ada yang berani mengatakan yang bukan-bukan tentu akan kuhancurkan mulutnya! Wanita adalah seorang manusia, pria pun seorang manusia. Apa salahnya berkenalan dan bersahabat? Nona, aku Kwee Lun bukan seorang yang berpikiran kotor, juga aku tidak akan sembarangan memilih kawan! Aku kagum melihat Nona, maka kalau Nona sudi, harap memperkenalkan diri." Swat Hong makin tertarik, akan tetapi dia masih ragu-ragu apakah orang ini patut dijadikan seorang teman. Biarpun lagaknya seperti jagoan, siapa tahu kalau kosong belaka?

"Kau bilang tadi murid seorang tosu yang terkenal?"

"Ya, Suhu Lam Hai Seng-jin merupakan tokoh yang paling terkenal di daerah selatan!"

"Kalau begitu, ilmu silatmu tentu lebih lihai daripada bicaramu sepeti penjual jamu?"

"Ihhh, harap jangan mentertawakan! Biarpun tidak selihai Nona yang dapat kulihat dari gerakan meloncat dari perahu tadi, akan tetapi masih tidak terlalu orang di dunia ini yang akan sanggup mengalahkan Kwee Lun!"

"Tidak ada artinya kalau hanya disombongkan dan dibanggakan tanpa ada buktinya! Aku juga tidak sembarangan memperkenalkan diri kepada orang lain. Untuk membuktikan apakah kau patut menjadi kenalanku, cabut kedua senjatamu, dan coba kau hadapi pedangku!" Sambil berkata demikian, Swat Hong sudah mencabut pedangnya perlahan-lahan dan tampaklah sinar pedang ketika sinar matahari menimpanya.

"Akan tetapi, Nona...." Kwee Lun meragu. Biarpun dia tadi menyaksikan betapa gesit dan ringannya tubuh nona itu melayang ke daratan, namun dia tidak percaya apakah nona ini mampu menandingi pedang dan kipasnya!

"Tidak usah banyak ragu. Kalau kau tidak mau, pergilah dan jangan meng-gangguku lebih lama lagi!"

"Srat...!!" Pedang terhunus sudah berada di tangan kanan Kwee Liu dan sarung pedangnya dilempar ke atas tanah, sedangkan tangan kirinya sudah mencabut kipas gagang perak yang telah dikembangkan dan melindungi dadanya, adapun pedang itu dilonjorkan ke depan. "Aku telah siap, Nona." Swat Hong memang ingin sekali melihat sampai di mana kepandaian pemuda yang aneh ini, maka tanpa banyak kata lagi dia sudah meloncat ke depan dan menggerakan pedangnya dengan hebat sekali. Pedang di tangannya itu adalah pedang biasa saja, akan tetapi karena yang menggerakan adalah tangan yang mengandung tenaga sinkang istimewa dari Pulau Es, maka pedang itu lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar yang menyilau kan mata dan tubuh dara itu juga tertutup oleh gulungan sinar pedang saking cepatnya tubuh itu berloncatan. "Aihhh...!!" Kwee Lun berseru keras dan cepat dia mengge-rakan pedang dan kipas. Memang sudah diduganya bahwa dara itu lihai sekali, akan tetapi menyaksikan gerakan pedang yang demikian luar biasa, dia menjadi kaget, kagum, heran dan juga gembira. Tanpa ragu-ragu dia lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua ilmu silatnya untuk menandingi dara yang mengagumkan hatinya ini. Seperti telah kita kenal di permulaan cerita ini ketika terjadi para tokoh kang-ouw memperebutkan Sin Liong yang ketika itu dikenal sebagai Sin-tong (bocah ajaib), guru pemuda itu, Lam Hai Seng-jin, adalah seorang tosu yang selain ahli dalam Agama To, juga pandai bernyanyi, dan lihai sekali ilmu silatnya. Namun terkenal sebagai pertapa atau pemilik Pulau Kura-kura di Lam-hai dan senjatanya yang berupa hudtim dan kipas mengangkat tinggi namanya di dunia kang-ouw. Agaknya kepandaian itu telah diturunkan semua kepada murid tunggalnya ini, namun tentu saja karena muridnya bukanlah seorang tosu, senjata hudtim diganti dengan pedang. Pedang dan kipas adalah senjata yang ringan, kini dimainkan oleh kedua lengan Kwee Lun yang mengandung tenaga gajah, tentu saja dapat dibayangkan betapa cepatnya kedua senjata itu bergerak sampai tidak tampak lagi sebagai senjata kipas dan pedang, melainkan tampak hanya gulungan sinar yang berkelebatan dan saling belit dengan sinar pedang di tangan Swat Hong. "Cringgg...!" Tiba-tiba pemuda itu berseru kaget dan pedangnya mencelat ke atas terlepas dari tangannya.

Swat Hong tersenyum. Dia tadi sudah menyaksikan bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup lihai, bahkan dalam hal kecepatan dan tenaga tidaklah kalah banyak dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri. Adanya dia dapat membuat pemuda itu terlepas dalam waktu tiga puluh jurus, hanyalah karena selain dasar ilmu silatnya lebih tinggi daripada pemuda itu, juga kenyataan bahwa pemuda itu tidak mau menye-rangnya dengan sungguh-sungguh dan mendasarkan permainannya pada tingkat penguji dan berlatih saja. Kalau pemuda itu merupakan lawan sungguh-sungguh, dia sendiri sangsi apakah akan dapat merobohkannya dalam waktu seratus jurus.

"Wah, kau hebat sekali, Nona! Aku mengaku kalah!" Kwee Lun menjura dan menyimpan kipasnya. Suaranya bersungguh-sungguh, karena memang pemuda ini walaupun tadi tidak mau menyerang sungguh-sungguh, namun dari gerakan lawannya dia sudah dapat melihat bahwa dara itu benar-benar memiliki ilmu silat yang amat aneh dan amat kuat. "Aku terlalu rendah untuk menjadi sahabatmu."

"Kwee-twako, kau terlalu merendah. Ilmu kepandaianmu hebat! Perkenal-kanlah, aku bernama Hat Swat Hong...." Sampai di sini, dara itu meragu karena dia masih sangsi apakah dia akan memperkenalkan diri sebagai seorang puteri dari Kerajaan Pulau Es yang asing dan yang telah terbasmi habis oleh badai itu.

"Ilmu pedang Nona hebat bukan main, juga amat aneh gerakannya, Selama melakukan peratauan dengan Suhu, dan mendengar penjelasan Suhu, sudah banyaklah aku mengenal dasar ilmu silat perkumpulan besar di dunia kang-ouw akan tetapi meli-hat gerakan pedangnya tadi, aku benar-benar tidak tahu lagi, sedikit pun tidak menge-nalnya. Maukah Nona Han Swat Hong memperkenalkannya kepadaku?"

"Kwee-twako, sebenarnya aku akan merahasiakan keadaanku, Baru pertama kali ini aku menginjak daratan besar dan aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan di dunia kang-ouw, apa lagi memperkenalkan diriku. Akan tetapi memang sudah nasib, begitu mendarat bertemu dengan engkau, dan sikapmu menarik hatiku, membuat aku tidak dapatmenyembunyikan diri lagi. Aku akan menceritakan keada-anku hanya dengan satu janji darimu, Twako."

Kwee Lun memunggut pedangnya, mengikatkan sarung pedang di punggung lalu membusungkan dadanya yang sudah membusung tegap itu sambil menepuk dada dan berkata,

"Nona Han...."

"Kwee-twako, sekali mau mengenal orang, aku tidak mau bersikap kepalang. Aku menyebutmu Twako (kakak), berarti aku sudah percaya kepadamu. Maka janganlah kau masih bersikap sungkan menyebutku Nona. Namaku Swat Hong dan tak perlu kau menyebutku Nona seperti orang asing."

"Hemm, bagus sekali!" Kwee Lun bertepuk tangan dan memandang ke langit. "Bukan main! Aku benarbenar berbahagia dapat memperoleh adik seperti engkau! Nah, Hong-moi (adik Hong), kauceritakanlah kepada kakakmu ini. Ceritakan semua-nya, kalau ada penasaran, akulah yang akan membereskan untukmu! Kakakmu ini sekali bicara tentu akan dipertahankan sampai mati!" Diam-diam Swat Hong merasa girang dan kagum. Inilah seorang laki-laki sejati! Seorang jantan! Sekaligus dia mem-peroleh seorang sahabat yang boleh dipercaya seorang kakak dan sebagai pengganti seorang keluarga setelah dia kehilangan segala-galanya. Dia telah kehilangan ibunya, ayahnya, keluarga ayahnya, bahkan akhirnya dia kehilangan suhengnya dan dalam keadaan seperti itu tiba-tiba muncul seorang seperti Kwee Lun!

"Kwee-twako aku baru saja meninggalkan tempat tinggalku di tengah-tengah laut di sekitar sana!" Dia menuding ke arah laut bebas.

"Di manakah tempat tinggalmu itu? Di sebuah pulau?" Swat Hong mengangguk, masih agak ragu-ragu.

"Pulau apa, Hong-moi?"

"PulauEs..."

"Hah...?" Benar saja seperti dugaannya, nama Pulau Es mendatangkan keka-getan luar biasa, bahkan wajah pemuda itu berubah menjadi agak pucat dan dia memandang dara itu seperti orang melihat iblis di tengah hari!

"Pulau... Pulau Es...??" Seperti juga semua orang di dunia kang-ouw, Pulau Es hanya didengarnya seperti dalam dongeng saja, dan pangeran Han Ti Ong yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw disebut sebagai seorang dari Pulau Es, seorang yang memiliki kepandaian seperti dewa! Dan kini pemuda itu mendengar bahwa dara itu dari Pulau Es. "Kwee-twako! Jangan memandangku seperti memandang siluman begitu...!"

"Ohh... eh...., maafkan aku, Moi-moi! Hati siapa yang mau percaya? Akan tetapi aku percaya padamu, Moimoi! Wah! aku percaya sekarang! Kau pantas kalau dari Pulau Es. Ilmu kepandaianmu luar biasa, bukan seperti manusia lumrah. Mana ada gadis biasa mampu mengalahkan Kwee Lun dalam beberapa jurus saja? Aku malah bangga! Seorang penghuni Pulau Es menyebutku twako dan kusebut Moi-moi! Ha-ha-ha-ha, Suhu tentu akan tercengang saking kagetnya kalau mendengar ini!" Melihat pemuda itu petentang- petenteng mengangkat dada seperti orang membang-gakan diri sebagai seorang sahabat baik penghuni Pulau Es, Swat Hong menjadi geli hatinya. "Hong-moi, engkau tidak tahu betapa bangga dan besarnya hatiku. Aihh, sekali ini, baru saja meninggalkan Suhu untuk merantau seorang diri, aku telah bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Betapa bangga hatiku!" Swat Hong terkejut. Baru teringat olehnya bahwa dia tadi belum melanjutkan syaratnya, maka cepat dia berkata,

"Kalau begitu, berjanjilah bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada siapapun juga tentang keadaan diriku, kecuali namaku saja. Berjanjilah Twako!" Kwee Lun memandang kecewa. "Tidak menceritakan kepada siapapun juga bahwa engkau adalah penghuni Pulau Es? waaahhh... ini..." Tentu saja hatinya kecewa karena hal yang amat dibanggakan itu tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Mana bisa dia berbangga kalau begitu?

"Kwee Lun." tiba-tiba Swat Hong berkata dengan lantang. "Hanya ada dua pilihan bagimu. Berjanji memenuhi permintaanku dan selanjutnya menjadi sahabat baiku, atau kau tidak mau berjanji akan tetapi kuanggap sebagai seorang musuh!" "Wah-wah... aku berjanji! Aku berjanji! Bukan karena takut kepadamu, Hong-moi, aku bukan seorang penakut dan juga tidak takut mati, akan tetapi karena memang aku merasa suka sekali kepadamu. Aku tidak sudi menjadi musuh! Nah, aku berjanji, biarlah aku bersumpah bahwa aku tidak akan menceritakan kepada siapapun juga tentang asal-usulmu, kecuali... hemm, tentu saja kalau... kalau kau sudah mengijinkan aku. Siapa tahu..." Sambungnya penuh harap.

Swat Hong tersenyum lega. "Baiklah, Kwee-twako. Aku percaya bahwa eng-kau akan memegang teguh janjimu. Sekarang dengarlah cerita singkatku dan kuharap kau suka membantuku. Aku adalah puteri dari Raja Pulau Es..."

"Aduhhhh...." Kembali mata itu terbelalak dan kwee Lun segera membungkuk, agaknya malah akan berlutut! "Twako, kalau kau berlutut atau melakukan hal yang bukan-bukan lagi, aku takan sudi bicara lagi kepadamu!"

Kwee Lun berdiri tegak lagi. "Hayaaaa... siapa bisa menahan datangnya hal-hal yang mengejutkan secara bertubi-tubi ini? Baiklah, aku taat... eh, benarkah aku boleh menyebutmu Moi-moi?"

"Siapa bilang tidak boleh ! Aku hanya bekas puteri raja! Ayahku telah me-ninggal dunia dan Ibuku..., ah, aku sedang mencari Ibuku yang pergi entah kemana. Kwee-twako, aku tidak bisa menceritakan lebih banyak lagi. Yang penting kauketahui hanya bahwa Ibuku telah berbulan-bulan meninggalkan Pulau Es, entah ke mana perginya dan aku sedang mencarinya. Juga aku telah saling berpisah dengan Suheng ku. aku sedang pergi merantau dan sekalian mencari Ibuku dan Suhengku."

"Aku akan membantumu!" Kwee Lun menggulung lengan bajunya yang memang sudah pendek sampai kebawah siku itu. "Jangan khawatir!"

"Terima kasih, Twako. Dan sekarang, engkau hendak ke manakah?"

"Sudah kukatakan tadi bahwa aku meninggalkan Pualu Kura-kura untuk pergi merantau meluaskan pengalaman, sekalian memenuhi permintaan penduduk kota Leng-sia-bun yang berada tak jauh dari pantai ini."

"Permintaan apa, Twako?"

"Beberapa orang penduduk bersusah payah mencari Suhu di Pulau Kura-kura, dan mereka mohon pertolongan Suhu untuk menghancurkan komplotan busuk yang merajalela di kota ini. Suhu lalu memerintahkan aku pergi, dan sekalian aku diberi waktu setahun untuk merantau sendirian. Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini. Marilah kau ikut bersamaku ke Leng-sia-bun, tentu kau akan gembira melihat keramaian ketika aku menghadapi komplotan itu. Setelah selesai urusanku di sana,aku menemanimu mencari Suhengmu dan Ibumu." Swat Hong mengangguk setuju. Lega juga hatinya, karena kini ada seorang teman yang setidaknya lebih banyak mengenal keadaan daratan besar dari pada dia yang asing sama sekali.

"Baik, Twako. Akan tetapi perutku...."

"Eh, perutmu mengapa? Sakit...."

"Sakit.... lapar...!"  JILID 11

Kwee Lun tertawa-tawa bergelak dan Swat Hong juga tertawa. Keduanya merasa lucu dan gembira karena mendapatkan seorang teman yang cocok wataknya! "Kalau begitu, tidak jauh bedanya dengan perutku! mari kita cepat pergi. Leng-sia-bun terdapat banyak makanan enak!"

"Tapi .... perahumu itu? Bagaimana kalau ada yang curi nanti ?"

"Hemm, siapa berani mencurinya? Lihat, bentuk perahuku itu. Bentuknya seperti seekor kura-kura, lengkap dengan kepalanya dan ekornya. Melihat itu, semua orang tahu bahwa itu milik Pulau Kura-kura, siapa berani mengganggunya? Perahumu yang berada di dekat perahuku juga aman."

"Wah, kalau begitu nama Suhumu sudah terkenal sekali!"

Memang, dan sekarang aku akan membuat nama agar sama terkenalnya dengan nama suhu!" Berangkatlah kedua orang muda itu menuju ke utara, melalui sepanjang pantai itu lalu mendekati sebuah daerah pegunungan, menuju ke kota Leng-sia-bun yang letaknya tidak jauh dari pantai laut, tak jauh dari muar sungai Huai.

Kota Leng-sia-bun merupakan kota pantai yang ramai dan padat penduduknya. Karena daerah ini merupakan daerah perdagangan yang menampung datangnya hasil bumi dari pedalaman untuk dibawa oleh perahu-perahu ke pantai laut yang lain, juga merupakan pasar besar pagi para nelayan, maka penduduknya cukup makmur. Rumah-rumah besar, toko-toko, hotel-hotel dan restoran-restoran membuktikan kemakmuran kota itu. Akan tetapi, seperti biasa terjadi dimanapun juga di penjuru dunia dan di jaman apa pun, di kota Leng-sia-bun muncul juga manusia-manusia yang mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan dan menumpuk harta benda dengan cara yang tidak layak, tidak halal, bahkan tidak mempedulikan lagi nilai-nilai kemanusiaan.

Telah bertahun-tahun, di kota itu merajalela komplotan yang dipimpin oleh seorang hartawan bernama Ciu Bo jin dan terkenal dengan sebutan Ciu- wangwe (Hartawan Ciu). Sebenarnya, tanpa diketahui oleh siapa pun di kota itu, Ciu-wangwe adalah bekas seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah rambutnya mulai putih dan dia berhasil mengumpulkan kekayaan, tinggallah dia di kota Leng-sia-bun menjadi seorang pedagang. Mula-mula dia mendirikan sebuah rumah makan. Setelah rumah makannya maju, dia membuka rumah judi dan rumah penginapan. Tentu saja dia mengumpulkan bekas teman-temannya dari kalangan hitam untuk bekerja kepadanya dan merangkap menjadi tukang pukul, akan tetapi Ciu-wangwe melarang keras kepada anak buahnya untuk memperlihatkan sikap kasar dan sewenang-wenang karena dia maklum bahwa itu bukan merupakan cara untuk mengumpulkan kekayaan di sebuah kota. Dengan licin sekali, Ciu-wangwe mempe-ngaruhi para pembesar kota itu dengan jalan seringkali mengirimkan hadiah kepada mereka. Bahkan bukan uang saja yang dijadikan umpan untuk memancing ikan besar dan menjinakan haimau, akan tetapi dia juga mempergunakan wanita-wanita muda! Terkenallah hotel dan rumah judi yang didirikan Ciu-wangwe karena kedua tempat ini juga merupakan tempat berpelesir di mana disediakan perempuan muda sebagai pela-cur-pelacur kelas tinggi! Bahkan restorannya juga amat laris karena disitu bercokol pula beberapa orang pelacur cantik yang melayani para tamu makan minum dan memberi kesempatan kepada para tamu sambil makan minum untuk colek sana sini! Biarpun banyak penduduk Leng-sia-bun yang menjadi korban judi, banyak rumah tangga berantakan, namun tidak ada orang yang mampu menyalahkan Ciu-wangwe karena rumah judi, hotel dan restoran yang dibukanya adalah sah dan mendapat restu serta perlindungan dari para pembesar setempat. Bahkan secara terang-terangan, hampir semua pembesar di kota itu menjadi langganan Ciu-wangwe. Mereka yang gemar berjudi menjadi langganan pokoan ( tempat judi) di mana mereka dapat berjudi apa saja sepuasnya dan tentu saja dalam melayani para pembesar berjudi, orang-orang kepercayaan Ciuwangwe tidak berani main curang, tidak seperti jika melayani umum di situ dilakukan kecurangan-kecurangan yang menjamin kemenangan bagi si bandar judi. Bagi para pembesar yang senang pelesir dengan wanita, mereka mendatangi likoan (hotel) di mana tersedia kamar yang mewah berikut pelacurnya yang tinggal pilih dan mereka memperoleh pelayanan istimewa! Bagi yang mengutamakan lidah dan mulut, tersedia restoran yang menyediakan atau mengirim arak wangi dan masakan lezat! Kesewenang-wenangan Ciu-wangwe tidaklah tampak atau terasa secara langsung oleh penduduk. Hanya apabila ada orang berani mendirikan tempat judi, restoran atau hotel baruyang menyaingi perusahannya, maka diam-diam tukang pukulnya akan bertindak dan memaksa si pemilik perusahan itu untuk menutup pintu dan menurunkan papan nama perusahan! Boleh orang lain membuka akan tetapi harus kecil-kecilan dan mengirim "pajak" sebagai penghormatan kepada Ciu-wangwe!

Akan tetapi, beberapa bulan belakangan ini terjadilah kegemparan-kegemparan di daerah kota Leng-sia-bun. Kegemparan yang terasa oleh kaum pria yang doyan pelesir di restoran dan hotel milik Ciuwangwe. Hanya bedanya, kalau kegemparan para penduduk dusun disertai tangis, adalah kegemparan di hotel-hotel itu diiringi suara ketawa gembira sungguhpun di malam hari juga mengakibatkan tangis mnye-dihkan. Apakah yang terjadi di kedua tempat itu? Di kota Leng-sia-bun, di dalam hotel milik Ciuwangwe, kini seringkali terdapat "barang baru", yaitu pelacur-pelacur muda yang baru, dan daun-daun muda seperti ini paling disuka oleh bandot-bandot tua yang tidak segan-segan membuang uang sebanyaknya untuk memetik daun-daun muda itu! dan di dalam tempat-tempat rahasia di belakang hotel, di dalam kamar-kamar gelap sering kali terjadi hal yang mengerikan di mana seorang gadis remaja dipaksa dan dicambuki, disiksa sampai mereka itu terpaksa menyang-gupi untuk dijadikan pelacur dan melayani kaum pria! Dan sekali dara remaja ini melayani seorang tamu, segala akan berjalan lancar dan beberapa bulan kemudian perempuan remaja itu akan menjadi seorang pelacur kelas tinggi yang dijadikan rebutan! Pada waktu yang bersamaan, terjadi geger di dusun-dusun di sekita daerah itu. Banyak yang menyaingi perusahannya, maka diam-diam tukang pukulnya akan bertindak dan memaksa si pemilik perusahan itu untuk menutup pintu dan menurunkan papan nama perusahan! Boleh orang lain membuka akan tetapi harus kecil-kecilan dan mengirim "pajak" sebagai penghormatan kepada Ciu-wangwe! Akan tetapi, beberapa bulan belakangan ini terjadilah kegemparan-kegemparan di daerah kota Leng-sia-bun. Kegemparan yang terasa oleh kaum pria yang doyan pelesir di restoran dan hotel milik Ciuwangwe. Hanya bedanya, kalau kegemparan para penduduk dusun disertai tangis, adalah kegemparan di hotel-hotel itu diiringi suara ketawa gembira sungguhpun di malam hari juga mengakibatkan tangis mnyedihkan. Apakah yang terjadi di kedua tempat itu? Di kota Leng-sia-bun, di dalam hotel milik Ciuwangwe, kini seringkali terdapat "barang baru", yaitu pelacur-pelacur muda yang baru, dan daun-daun muda seperti ini paling disuka oleh bandot-bandot tua yang tidak segan-segan membuang uang sebanyaknya untuk memetik daun-daun muda itu! dan di dalam tempat-tempat rahasia di belakang hotel, di dalam kamar-kamar gelap sering kali terjadi hal yang mengerikan di mana seorang gadis remaja dipaksa dan dicambuki, disiksa sampai mereka itu terpaksa menyanggupi untuk dijadikan pelacur dan melayani kaum pria! Dan sekali dara remaja ini melayani seorang tamu, segala akan berjalan lancar dan beberapa bulan kemudian perempuan remaja itu akan menjadi seorang pelacur kelas tinggi yang dijadikan rebutan! Pada waktu yang bersamaan, terjadi geger di dusun-dusun di sekita daerah itu. Banyak untuk mereka, hati siapa yang takkan senang? Karena sudah merasa tersudut dan tidak berdaya lagi, akhirnya mereka teringat akan nama besar Lam-hai Seng-jin, Majikan pulau kura-kura yang terkenal sebagai seorang pertapa yang suka menolong kesukaran orang lain yang memerlukan pertolongan. Terutama sekali mereka yang mempunyai anak perempuan dan yang merasa gelisah kalau-kalau pada suatu malam akan tiba giliran mereka didatangi penculik yang akan melarikan anak mereka, segera bermufakat untuk mita pertolongan pertapa itu dan akhirnya berangkatlah serombong-an orang menuju ke pulau Kura-kura.

Lam-hai Seng-jin menerima pelaporan mereka dan merasa kasihan, maka dia mengutus murid tunggalnya yang sudah mewarisi ilmu kepandaiannya untuk mewaki-linya menyelidiki dan memberi hajaran kepada komplotan penjahat itu. Juga dia memberi ijin kepada muridnya untuk merantau selama satu tahun. Setelah memberi banyak nasihat, berangkatlah Kwee Lun seorang diri naik perahu menuju ke daratan besar dan tanpa disangkanya, dia telah berjumpa dengan Han Swat Hong puteri kerajaan Pulau Es! Pada hari itu kota Leng-sia-bun sibuk seperti biasa. Keadaan tetap ramai dan biasa seperti tidak terjadi sesuatu dan seperti tidak akan terjadi sesuatu. Tidak ada seorang pun yang tahu, di antara sebagian besar penduduk yang memang tidak memikirkan lagi, bahkan malam tadi telah terjadi seperti biasa, yaitu pemerkosaan dara-dara culikan baru seperti seklompok domba disembelih, dan tidak ada pula yang tahu bahwa pagi hari itu muncul dua orang yang akan mendatangkan perubahan besardi kota itu, menimbulkan geger yang akan menggemparkan kota dan akan menjadi bahan cerita sampai bertahun-tahun lamanya.

Setelah menyelidiki di mana letaknya rumah makan milik Ciu-wangwe, Kwee Lun mengajak Swat Hong mendatangi rumah makan itu. Sebuah rumah makan yang bangunannya indah dan besar, dengan cat baru dan di depan rumah makan terdapat tulisan dengan huruf besar "RUMAH ARAK" yang berarti restoran.

"Hong-moi, engkau lapar bukan? Mari kita makan dan minum di sini." Swat Hong memandang heran. Bukankah ini rumah makan milik Hartawan Ciu yang menjadi pemimpin komplotan penjahat di kota ini yang akan dibasmi Kwee Lun? Dia memandang dan melihat mata pemuda itu bersinar, kemudian Kwee Lun memejam-kan sebelah mata penuh arti. Swat Hong tersenyum geli. Mengertilah dia kini. Pemuda itu hendak mengajaknya makan sampai kenyang lebih dulu sebelum turun tangan. Dan memang dia merasa lapar sekali!

"Aku tidak bisa bekerja tanpa makan lebih dulu," pemuda itu berkata lirih ketika mereka memasuki rumah makan dan Swat Hong tersenyum-senyum. Sepagi itu, rumah makan sudah terisi setengahnya oleh mereka yang beruang, karena rumah makan ini terkenal sebagai rumah makan mahal. Dua orang pelayan, pria dan wanita, yang wanita masih muda dan genit, dengan wajah yang ditutup warna putih dan merah yang tebal seperti tembok dikapur dan digambar, menyambut mereka dengan sikap manis. Kwee Lun dan Swat Hong diantar ke sebuah meja kosong di sudut dan dengan suara lantang Kwee Lun memesan makanan dan minuman yang paling lezat, dalam jumlah banyak sekali. Para pelayan menjadi terheran-heran mendengar pesanan masakan yang pantasnya untuk menjamu sepuluh orang! Akan tetapi melihat sikap kasar dari pemuda tinggi besar itu, pula melihat dua batang pedang dan kipas yang diletakan di atas meja, mereka tidak berani banyak cakap dan melayani mereka. Diam-diam seorang pelayan memberi tahu kepada kepala tukang pukul yang berada di dalam. Dua orang tukang pukul yang berpakaian biasa, dan dengan sikap biasa pula, keluar dari dalam dan berjalan lewat dekat meja Kwee Lun dan Swat Hong. Kedua orang tidak perduli dan berpura-pura tidak melihat. Juga Swat Hong melanjutkan makan sambil kadang -kadang tersenyum geli menyaksikan betapa temannya itu ma-kan dengan lahapnya. Dia belum menghabiskan setengah mangkok, Kwee Lun sudah menyapu bersih lima mangkok. Ketika dua orang itu lewat, Swat Hong hanya melirik sebentar dan mengerahkan ilmu sehingga telinganya terbuka dan dapat menangkap dengan ketajaman luar biasa ke arah kedua orang itu yang masih berjalan-jalan di ruangan itu, seolah-olah sedang memriksa dan kadang-kadang membenarkan letak kursi dan meja yang kosong.

"Aku tidak mengenal mereka," terdengar yang kurus pucat berkata. "Tapi gadis itu hebat....," kata orang ke dua yang pendek dan berperut gendut. "Kalau dia bisa didapatkan, tentu Loya (Tuan Tu) akan memberi banyak hadiah kepada kita." "Hushh... apa kau mau menyaingi pekerjaan Tian-ci-kwi (Setan Berjari Besi)?"

"Ah, siapa tahu, dengan cara halus bisa mendapatkan dia...."

"Tapi pemuda itu kelihatan jantan!"

"Huh, takut apa? Orang kasar seperti itu...."

"Tapi jangan memancing keributan, Lote, kita nanti tentu dimarahi Loya."

"Aku tidak bodoh, mari kita pergunakan cara halus. Lihat, mereka telah selesai makan. Raksasa itu makannya melebihi babi!" Swat Hong yang sedang minum ham-pir tersedak karena geli hatinya mendengar temannya yang gembul itu dimaki seperti babi. Akan tetapi Kwee Lun agaknya tidak mempedulikan sesuatu dan tidak melaku-kan penyelidikan seperti Swat Hong, tidak mendengar makian itu dan mengelus-elus perutnya yang kenyang. Dia kelihatan puas sekali telah dapat makan minum secukup-nya di dalam restoran itu. Pada saat itu dua orang tukang pukul tadi sudah mengham-piri mereka. Yang kurus pucat sudah menjura sambil berkata,

"kami mewakili Ciu-wangwe pemilik restoran ini menghaturkan selamat datang kepada Jiwi." Sebelum Kwee Lun yang terheran-heran menjawab, Si Gendut pendek sudah menyambung sambil menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum ramah. "Tentu Jiwi datang dari jauh dan lelah. Majikan kami juga memiliki hotel yang paling besar, paling bersih dan paling baik di kota ini, letaknya di sebelah kiri rumah makan ini. Jiwi akan dapat mengaso dengan enak di hotel kami dan kalau Loya kami mendengar bahwa Jiwi adalah tamu dari jauh, tentu biayanya akan diberi potongan separuhnya."

Kwee Lun sudah mengerutkan alisnya, mukanya merah dan dia seakan-akan memperoleh kesempatan mulai beraksi. "kalian berani mengganggu kami yang sedang makan?"

Mendadak kakinya tertendang ujung kaki Swat hong dan ketika dia meman-dang, dia melihat isyarat dalam sinar mata gadis itu, maka dia hanya mengerutkan alis dan tidak melanjutkan kata-katanya. Swat Hong sendiri segera berkata kepada dua orang itu dengan suara ramah dan sikap manis, "Kalian sungguh ramah, tentu majikan kalian adalah seorang yang mengenal pribudi. Baik, kami memang hendak bermalam barang dua hari di kota ini. Akan tetapi melihat keramahan kalian, aku ingin bertemu dengan majikan kalian untuk menghaturkan terima kasih."

Dua orang itu saling pandang. "Marilah kami antarkan Nona dan Tuan agar memperoleh kamar yang paling baik di hotel, kemudian kami akan melapor kepada majikan kami...."

"Tidak usah repot-repot!" Swat Hong berkata cepat. "Temanku ini masih hendak melanjutkan makan minum....heiii! Pelayan tambah araknya! Biarlah saya yang menemui majikan kalian dan memilih kamar di hotel sebelah. Kami sudah men-dengar tentang kebaikan hati majikan kalian dari pembesar-pembesar di kota ini, dan kami memang ingin minta pekerjaan. Aku ingin bekerja apa saja yang pantas dan temanku itu.... dia tentu bisa menjadi seorang penjaga keselamatan. Dapat dibayang-kan betapa girangnya hati kedua orang itu. Sudah terbayang di depan mata betapa mereka akan menerima pujian berikut hadiah dari Ciu-wangwe. Seorang nona begini cantik jelita seperti bidadari, tanpa susah payah datang sendiri ke depan mulut, tinggal membuka mulut dan mencaplok saja! Ciuwangwe tentu senang sekali, bukan untuk hartawan itu sendiri yang kesenangannya bukan memeluk wanita cantik, melainkan untuk menyenang hati para pembesar setempat. Ciu-wangwe sendiri kesenangannya hanya satu, yaitu uang dan kedudukan!



Bersambung ...

Popular posts