Tuesday 23 April 2013

2.8 Suling Emas

"Kwee-koko... ah, betapa cintaku kepadamu..." Nenek itu berbisik-bisik dan terisak penuh kebahagiaan dan haru.

Suaranya pun suara Ang-siauw-hwa ! "Kwee-koko, betapa rindunya aku kepadamu..."

Kwee Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan di atas lantai. Tangannya meraba-raba dan lain saat ia telah mencetuskan batu api sehingga bunga api berpijar-pijar memberi penerangan sekilatan saja. Namun sinar terang sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar bunga api itu ia melihat muka yang halus, cantik jelita, hidung mancung bibir merah mata indah. Muka Ang-siauw-hwa!


"Koko, jangan nyalakan pelita, aku... malu..." Dalam gelap Kwee Seng terbelalak. Akan tetapi ia segera memeluk wanita itu, penuh kasih sayang, penuh kerinduan yang selama ini ditekan-tekannya.


"Kekasihku..., kau.. kau Kim Lin... Ang-siauw-hwa... alangkah rinduku kepadamu!"


Kwee Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan cintanya, bahkan cinta kasihnya yang pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu Sian, ia tumpahkan kepada nenek itu ! Kesadarannya kadang-kadang memperingatkannya bahwa yang berada dalam pelukannya adalah seorang nenek akan tetapi ia tidak mau menerima peringatan ini, karena menurut perasaannya ia berkasih-kasihan mesra dengan seorang wanita muda yang dalam anggapannya kadang-kadang seperti Ang-siauw-hwa dan kadang-kadang seperti Liu Lu Sian !


Memang di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia, mahluk yang banyak sekali melakukan penyelewengan-penyelewengan, mahluk yang selemah-lemahnya, setiap orang manusia tentu ada saja kelemahannya di samping kebaikan-kebaikannya. Pemuda ini dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya, seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasih-kasihan dengan seorang nenek ? Dalam anggapannya, ia memperisteri seorang wanita yang muda dan cantik jelita ! Inilah kelemahan Kwee Seng, pendekar muda yang sakti itu. Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah, mudah terpengaruh.


Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih-kasihan dengan nenek Neraka Bumi yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah Ang-siauw-hwa setengah Liu Lu Sian ! Tak pernah nenek itu membolehkan dia menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab, dilayani nenek itu yang bergerak cepat menyediakan segala kebutuhan makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap. Akan tetapi Kwee Seng merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri nenek tua renta yang berkeriputan kedua pipinya.


Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang mahluk yang berkasih-kasihan itu. Malam itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti wajahnya. Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, di mana ia tidur dalam sebuah kamar yang terhias indah, di atas pembaringan dari kayu cendana berukir, di samping isterinya, seorang puteri yang cantik jelita ! Hawa udara amat dingin, menyusup ke tulang sum-sum, membuatnya setengah sadar. Ketika membuka matanya sedikit, ia melihat keadaan remang-remang, teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya meraba-raba dan menyentuh rambut halus di dekatnya, ia membalik dan memeluk isterinya puteri cantik jelita, menarik napas panjang penuh kebahagiaan.


Tiba-tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi ! Ia berada dalam kamar kitab bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap lagi ? Ada cahaya memasuki kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti ! Ia dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibat-libat tangan dan lehernya, dapat melihat kepala yang ia dekap di dadanya. Kegelapan yang mengerikan telah pergi !


Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak memeluk isterinya, hendak memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia membungkuk dan... tiba-tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur seakan-akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin, tidur pulas dengan napas panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau, pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan gadis jelita seperti yang ia anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh keriput !


Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora nafsunya sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari ini ia berkasih-kasihan dengan seorang nenek-nenek ! Bukan lagi mengorbankan diri untuk menyenangkan hati nenek-nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk membalas budi, sama sekali bukan, karena selama belasan hari ini dialah yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra ! Dialah yang seakan-akan tergila-gila, dan ternyata ia telah tergila-gila kepada seorang nenek-nenek !


Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya sendiri, "Plak-plak-plak-plak!" Begitu terus menerus berkali-kali sampai kedua pipinya menjadi merah biru dan bengkak-bengkak, kemudian ia lari keluar dari kamar itu sambil masih terus tertawa-tawa. Cepat sekali ia lari seperti dikejar setan. Memang ia dikejar setan. Setan bayangan pikirannya sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi setan yang mengejar-ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu ! Malu dan harus ia pergi dari situ cepat-cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia tidak mendengar lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus memanggil-manggilnya. Begitu tiba di tepi sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut yang sudah mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran setan itu segera meloncat ke tengah.


"Byuuur!" Air muncrat tinggi. Akan tetapi biarpun ia sudah terjun ke dalam air dan menyelam di dalam air dingin, tetap saja bayangan itu mengejar-ngejarnya dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan kaki tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.


Ia tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan menangis, memanggil-manggil namanya dengan suara mengharukan, seorang wanita yang rambutnya riap-riapan; rambut yang hitam halus dan panjang, seorang wanita yang pakaiannya tambal-tambalan, yang mukanya basah air mata, muka yang cantik jelita kedua pipinya kemerahan hidungnya mancung bibirnya merah matanya jernih, muka yang muda dan jelita. Kwee Seng tidak sempat melihat betapa wanita muda yang cantik ini menangis, di tangan kanannya tergenggam gagang kipasnya yang dahulu rusak ketika ia terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak sempat melihat betapa tangan kiri wanita jelita itu tergenggam sebuah topeng daripada kulit yang amat halus buatannya, topeng seorang nenek-nenek tua renta..!


Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang sesungguhnya merupakan tokoh penting, kalau tidak yang terpenting, dalam cerita ini. Sebelum kita melupakan gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak gara-gara karena kecantikan dan kegagahannya ini, marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalamannya yang amat menarik.


Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu Sian tidak mau ikut pulang dengan ayahnya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yang memeberi waktu satu tahun kepadanya untuk merantau dan "memilih suami". Gadis itu masih berdiri termangu-mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah jurang dimana Kwee Seng terjungkal dan lenyap. Betapapun juga, ia merasa kasihan kepada Kwee Seng yang ia tahu amat mencintanya. Untuk penghabisan kali ia menjenguk ke jurang hitam itu dan berkata lirih. "Salahmu dan bodohmu sendiri, mudah saja menjatuhkan hati terhadap setiap gadis cantik." Kemudian ia menyimpan pedangnya dan berlari menuruni puncak bukit. Ia kembali menuju ke benteng, akan tetapi tidak langsung ke sana, melainkan berkuda memasuki sebuah dusun yang masih ramai karena penduduknya mengandalkan keamanan dusun mereka dengan benteng yang letaknya tidak jauh dari situ.


Sewaktu Lu Sian makan dalam sebuah warung untuk sekalian beristirahat menentramkan pikirannnya yang terguncang dan sambil makan ia mengenangkan keadaan Jenderal Kam Si Ek yang amat menarik hatinya, ia mendengar derap kaki banyak kuda memasuki dusun. Pelayan warung kelihatan gugup sekali dan di luar terdengar orang berteriak-teriak. Tadinya Lu Sian tidak mempedulikan keadaan ini, akan tetapi ketika derap kaki kuda, mendekat, ia kaget sekali mendengar gemuruh kaki kuda, menandakan bahwa yang datang adalah pasukan yang banyak jumlahnya. Dan ketika ia menengok ke jalan, orang-orang sudah lari cerai-berai bersembunyi.


"Ada apakah, Lopek?" tanyanya kepada tukang warung yang juga kelihatan takut.


"Nona, tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus segera barsembunyi dan kalau nona sayang keselamatanmu, sebaiknya ikut bersembunyi pula."


"Ada apakah ? Barisan apa yang datang itu?"


"Entah barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada pasukan berkuda yang banyak sekali lewat kampung ini, dan pada saat seperti sekarang ini, semua pasukan merupakan perampok-perampok yang jahat, apalagi kalau melihat wanita cantik." Setelah berkata demikian, tukang warung itu tanpa menanti Lu Sian lagi sudah lari melalui pintu belakang !


Lu Sian tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa yang perlu ia takutkan ? Pasukan itu boleh jadi ganas dan menggangu orang baik-baik, akan tetapi terhadap dia, mereka akan bisa apakah ? Boleh coba-coba ganggu kalau hendak berkenalan dengan pedangnya ! Akan tetapi ketika mendengar derap kaki kuda itu sudah dekat, ia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk ke luar warung menonton.


Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan berkuda, dengan kuda yang bagus-bagus, dipimpin oleh seorang komandan muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan dimana terdapat seorang wanita muda sedang membetot-betot tangan puteranya yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya orang berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda, usianya takkan lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya kuning bersih.


"Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku, malam ini bersenang-senang denganku. Ha-ha-ha!" Penunggang kuda itu membungkukan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit ketakutan.


"Tar-tar!" Dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring, "Mundur kau ! Masuk barisan kembali ! Di wilayah Kam-goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan namaku ? Orang tolol!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah Si Opsir Muda. Wanita itu cepat-cepat menggendomg anaknya yang menangis dan lenyap ke belakang sebuah rumah.


Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian, jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke arahnya, tersenyum-senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk termenung, lenyap nafsu makannya.


Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar-benar seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri dari orang-orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan serta kekuatan menindas Si Lemah ? Ia harus menguji kepandaiannya.


Setelah rombongan tentara itu lenyap berangsur-angsur penduduk kembali ke rumah masing-masing jalan penuh lagi oleh orang-orang yang hilir mudik. Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran-heran melihat Lu Sian masih duduk di situ, "Eh, kau masih berada di sini, Nona ? Hebat, benar-benar Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat dengan benteng Kam-goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun ini sejak lama seperti dusun-dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."


"Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti itu terhadap rakyat?"


"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang seperti Kam-goanswe diberi panjang umur!"


Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau dibandingkan dengan Kwee Seng. Teringat ia penuh kekaguman betapa Kam Si Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng-kauw untuk menolong seorang pemuda yang kalah. Masih terngiang di telinganya kata-kata Kam Si Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang .... Akan tetapi .... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah kata-katanya, kata-kata yang jelas merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga "ada hati" terhadapnya.


Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah menghias diri serapi-rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin, bahkan beberapa orang penjaga yang berada di pintu benteng, kelihatan sedang bermain kartu di bawah sinar pelita reng. Dengan mudah Lu Sian lalu melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa menit kemudian ia telah berloncatan ke atas genteng.


Akan tetapi ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek yang berada di tengah-tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara orang berkata-kata dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia berindap dan dengan hati-hati melayang ke bawah memasuki gedung dari belakang, dan di lain saat ia mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan di mana terjadi pertengkaran. Ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui Lan berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya kemerahan metanya berapi-api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga orang perwira, dengan muka tertawa-tawa mengejek. Seorang di antaranya, yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi dilihat Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.


"Lai Li-hiap , sebagai bekas pembantu Sutemu, saya harap Li-hiap (Nona Yang Gagah) suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami, Li-hiap tidak berhak mencampurinya." Kata perwira yang duduk di kiri.


"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah kekerasan Kam-goanswe. Sekarang Phang-ciangkun (Panglima Phang) yang memegang komando di benteng ini, Lai-hiap tidak berhak mencampuri urusan kami!" kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan. "Sudah terlalu banyak Li-hiap biasanya mencampuri urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum anak buah kami padahal biarpun Li-hiap adalah kakak sepergurun Kam-goanswe namun Li-hiap tetap seorang biasa, bukan anggauta ketentaraan."


Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menuding telunjuknya ke arah dua orang bekas pembntu adik seperguruannya itu. "Kalian manusia-manusia yang pada dasarnya sesat ! Suteku menjalankan disiplin keras, menghukum tentara menyeleweng, itu sudah semestinya ! Dan aku membantu Suteku menegakkan nama baik benteng ini, mencegah anak buah melakukan penganiayaan kepada rakyat, juga sudah merupakan kewajiban setiap orang gagah. Di depan Sute, kalian berpura-pura baik, sekarang , baru setengah hari Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang buruk ! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta benda rakyat. Orang-orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara ? Pantasnya dikirim ke neraka !"


Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata, memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi komandan baru benteng itu, Phang-ciangkun yang tinggi besar dan berkulit hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan


 "Nona, betapapun juga, kedua orang saudara ini berkata benar bahwa semenjak saat berangkatnya Sutemu tadi, secara sah akulah yang menjadi komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona, sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu akan peraturan-peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah tanggung jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona sekarang hendak turun tangan sendiri ? Bukankah ini berarti Nona melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata kepada komandan barunya ? Nona, harap nona suka bersabar dan daripada kita bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal-hal tidak baik dan memalukan kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum bersama dan bersenang-senang!" Setelah demikian, komandan muda itu memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri-seri mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.


Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu bahwa sutenya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam kekuasaan komandannya, maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat keluar dari dalam rumah itu.


Tiga orang perwira itu tertawa-tawa bergelak. "Ha-ha-ha, perempuan galak itu pergi! Baik sekali ! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek ? Ha-ha-ha!" kata seorang yang duduk di kiri.


Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Sucinya menyusul, biarlah ditangkap sekali. Phang-ciangkun, mari kita bersenang-senang makan minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha-ha-ha!"


Mereka bertiga tertawa-tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena secara tiba-tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata. Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas sehingga mencetak bentuk tubuhnya, rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul, ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga.


Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, kan tetapi juga terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phang-ciangkun agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman, maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan berkata.


"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari ! Kau sudah menyusul datang ? Apakah hendak menemaniku makan minum?"


Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget karena tahu-tahu meja di depannya telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya, Phang-ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua sedangkan dia sendiri melompat ke pingir, akan tetapi tetap saja ada kuah sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali. Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di tangan, menerjang Lu Sian.


"Tahan!" teriak Phang-ciangkun, yang betapapun juga, merasa sayang kepada gadis yang luar biasa cantiknya ini, tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan ingin menawannya hidup-hidup. Dua orang temannya menahan golok dan meloncat mundur.


"Nona, kau siapakah ? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk ? Tidak ada permusuhan di antara kita!"


Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka hitam itu. "Ihh, manusia keparat ! Kau masih bisa bilang tidak ada permusuhan ? kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya, menghina sucinya. Dan kau masih bilang tidak ada apa-apa?"


"Eh, kau apanya Kam Si Ek?" "Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahu-tahu pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung-gulung dan menyambar ke arah Phang-ciangkun. Perwira ini kaget bukan main. Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya, dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran untuk bertindak sewenang-wenang, yang hanya berani dan sombong karena mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang Toa-hong-kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya ? Tak sampai sepuluh jurus, Phang-ciangkun sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum roboh tiga orang itu sempat berteriak-teriak memanggil bala bantuan, akan tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya melihat Pang-ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap. Para penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan gebreng dipukul bertalu-talu karena tadinya mereka itu semua bersenang-senang karena mereka terbebas daripada tindakan disiplin keras dari Kam Si Ek.


Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut minta-minta ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa bertindak sewenang-wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di tangannya, akan tetapi begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya, ia tidak akan merasa malu-malu untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.


"Hayo lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan Phang-ciangkun untuk mencelakakan Kam Si Ek ! Sekali kau membohong, pedangku akan memenggal lehermu!"


Merasa betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara tergagap-gagap perwira itu berkata, "Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar Wanita), saya... saya hanya orang bawahan, tidak ikut-ikut...! Yang mengatur semua adalah Phang-ciangkun dan teman-temannya di Shan-si. Karena iri terhadap nama besar dan kekuasaan Kam-goanswe, untuk diajak berunding mengenai urusan negara. Kesempatan ini dipergunakan Phang-ciangkun yang mengundang Kam-goanswe ke ibu kota, akan tetapi di sana ia telah bersekongkol dengan teman-temannya untuk menangkap Kam-goanswe dan melaporkan kepada Gubernur bahwa Kam-goanswe tidak mau menghadap dan malah merencanakan pemberontakan."


"Hemm, keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. Hayo katakan di mana Kam Si Ek akan di tahan !"


"Saya... saya tidak tahu betul, hanya ... hanya mendengar dari Phang-ciangkun bahwa pencegatan akan dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam Kelenteng Tee-kong-bio di kota itu ... dan ... ahh!!" jerit terakhir ini mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Yoa-hong-kiam memisahkan kepala dari badannya.


Lu Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan tentara yang tadinya mengejarnya telah mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan pakaiannya, bahkan memukuli Si Pemilik rumah penginapan dan merampas harta benda orang itu pula.


Penduduk sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang terbunuhnya ciangkun baru. Mereka merasa kuatir sekali karena Jenderal Kam sudah pergi, dan diam-diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian. Maka ketika gadis ini muncul, mereka itu, terutama sekali orang-orang tua para gadis yang terculik ke dalam benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian untuk membebaskan gadis-gadis itu. Tanpa menjawab Lu Sian lenyap ke dalam gelap, dengan hati panas ia kembali ke benteng !


Tak lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam benteng. Kandang kuda kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda yang paling baik, tunggangan Phang-ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan, telah lenyap ! Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati-matian untuk membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang lain ia sama sekali tidak peduli.


Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai. Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan makmur karena selain letaknya di kaki gunung Cin-ling-san, juga di sebelah selatan kota ini mengalir Sungai Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani di daerah itu. Pintu gerbang-pintu gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikut-kereta-kereta yang membawa banyak dagangan. Selain ini, juga sebagai kota pelabuhan sungai, banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.


Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia tunggangi adalah kuda milik Pang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai itu sambil berjalan perlahan.


Akan tetapi, ke manapun juga Liu Lu Sian pergi dan dimanapun ia berada, selalu gadis ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki-laki, yang terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguhpun keadaan macam ini selau mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki-laki menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar. Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia daripada perhatian orang di jalan, sungguhpun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan !


Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.


"Paman pelayan, tahukah kau dimana letaknya Klenteng tee-kong bio di kota ini ? Aku hendak pergi bersembahyang ke sana."


Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut, lalu Si Pelayan menengok ke kanan kiri lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan. "Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng ternama di kota ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan-im-bio di sebelah timur jembatan besar, atau ke Hai-ong-bio di dekat sungai atau..."


"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio." Jawab Lu Sian yang sudah menduga bahwa agaknya Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. Aku hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Di manakah letaknya kelenteng itu?" Memang tentu saja tidak sukar mencari kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi daripada bertanya-tanya orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.


"memang, Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan nona. Akan tetapi sungguh-sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi seorang tamu seperti nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah orang-orang gelandangan, hwesio-hwesio yang suka minta derma paksa dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di sebelah utara kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi ke sana..."


"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu Sian yang merasa tak sabar lagi mendengar ucapan Si Pelayan. Pelayan itu melihat sinar mata marah dari Lu Sian, membalikkan tubuhnya dan pergi sambil mengangkat pundak.


Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar dari rumah penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di punggung. Kembali banyak pasang mata laki-laki menoleh ke arahnya, bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek. Ketika ia lewat di jalan yang menuju ke utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok orang muda terdiri dari lima orang yang tadinya bercakap-cakap di pinggir jalan, saling berbisik ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja berdiri di tengah jalan sikap yang menjemukan. Melihat mereka itu ia tidak takut biarpun ia membawa-bawa pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang-orang yang mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat maka hendak menggodanya.


Lu Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan-urusan kecil. Ia menghadapi urusan besar hendak mencari dan menolong Kam Si Ek, apa gunanya melayani segala macam laki-laki kurang ajar seperti mereka itu ! Ia mengerahkan lwee-kangnya dan terus melangkah dengan tindakan gagah, sama sekali tidak melirik ke arah mereka. Sebaliknya, lima orang laki-laki itu membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan seperti dikomando mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan mata masih melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya yang tak menjadi gentar melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya, berjalan seenaknya akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang diinjaknya ambles sampai sejengkal dalamnya ? Seekor gajah pun takkan meninggalkan tapak kaki seperti itu di atas jalan yang banyak batunya !


Lu Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh. Genteng-gentengnya banyak yang pecah dan sepasang ukiran naga di atas genteng kelenteng itu pun sudah luntur warnanya dan mustika naga di tengah yang diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah-pecah pula. Tembok bangunan kelenteng juga sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng Tee-kong-bio ini dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat, maka menjadi amat buruk. Pekarangannya luas, bahkan di belakangnya juga terdapat kebun yang luas, bangunannya besar, akan tetapi di depan kelenteng sudah tidak tampak asap hio (dupa) mengebul seperti sudah menjadi tanda pada tiap rumah kelenteng. Namun, di tembok besar masih terdapat ukiran dengan huruf-huruf besar yang juga sudah lenyap warnanya, yaitu huruf TEE KONG BIO (Kelenteng Malaikat Bumi).


Dilihat dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan-akan tidak ada penghuninya. Pintu depannya yang terdiri dari sepasang daun pintu amat besar dan tebal, juga tertutup. Tanpa ragu-ragu lagi Lu Sian memasuki pekarangan dan sesampainya di depan pintu, ia menggunakan tangannya mendorong. Terdengar suara berkerit seperti biasa bunyi daun pintu yang lama tidak dibuka tutup. Lu Sian menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap lengang, tidak ada sambutan pada suara daun pintu itu. Kiranya hanya daun pintu yang terdepan itu daja yang terkunci. Dari luar kin tampak jendela-jendela dan daun-daun pintu sebelah dalam terbuka belaka, ada yang terbuka separuh ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi jelas bahwa tempat ini pernah dikunjungi orang-orang, malah bekas telapak kaki pada debu di lantai masih baru. Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan di luar, penuh debu dan kotor tidak terpelihara. Di sana-sini tampak kertas-kertas butut, ada pula tikar-tikar butut. Meja toapekong (arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi, dan tempat toapekong juga kosong. Hanya arca-arca yang sudah hampir rusak, singa-singaan batu yang tiada harganya, masih tetap di tempatnya. Barang-barang lain yang berharga tidak tampak lagi.


Dengan penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga kosong, tidak tampak manusia. Dengan hati-hati ia melangkah lagi. Terdengar suara gerakan di sebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut pedangnya dengan tangan kanan, lalu memasuki sebuah kamar di ruangan tengah itu. Di atas meja yang terbuat daripada bata tampak sebuah pot kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di sudut ruangan terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa-apa lagi. Lu Sian melangkah di ambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki kamar.


"Wer-wer-wer ......!!" Tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan dadanya. Lu Sian cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap pada dinding di belakangnya. "Hui-to (Golok Terbang)!" Lu Sian berseru kaget karena maklum bahwa hanya orang-orang pandai saja yang dapat melontarkan golok terbang sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia maklum menghadapi lawan tangguh.


"Hanya pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya marah.


Dari arah dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban, "Hanya pengecut saja yang memasuki tempat orang tanpa permisi!"


Merah sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata-kata itu. Akan tetapi sebagai seorang yang wataknya tidak mau kalah, ia membentak, "Kalau kau bukan pengecut, keluarlah!"


Terdengar daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki-laki yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Lu Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya tentu seorang hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang jahat yang telah menculik Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang pemuda yang tampan, berkepala kecil bertopi batok, wajahnya yang muda dan tampan membayangkan kelicikan, terutama pada mulutnya yang tersenyum mengejek dan matanya yang seperti mata burung hantu. Juga pemuda itu tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian, benar-benar tercengang sampai memandang dengan melongo.


"Aduhai, Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya yang datang berkunjung..!" katanya, masih terpesona.


Sebaliknya, Lu Sian marah dan mendongkol sekali. "Cih, tak tahu malu ! mengaku-aku ini tempat kediamanmu sedangkan tempat ini adalah sebuah kelenteng tua yang sudah kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"


Orang itu segera menjura, sikapnya manis dibuat-buat, matanya tetap mengincar wajah cantik dan mulutnya tersenyum. "Bukan, Nona. Sama sekali aku bukan pendeta, melainkan seorang pemuda, berdarah bangsa Khitan yang gagah berani, namaku Bayisan..."


"Tak peduli namamu anjing atau kucing aku tidak sudi mengenalnya ! Yang jelas, serangan gelapmu tadi tak mungkin dapat kudiamkan saja tanpa terbalas!" Sambil berkata demikian, Lu Sian melangkah maju, pedangnya siap menerjang.


Akan tetapi pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar.


"Aku tadi tidak tahu bahwa yang datang adalah seorang dara perkasa yang cantik jelita, kalau aku tahu, mana aku tega menyerang dengan hui-to ? Untung kau demikian pandai mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau mukamu sampai lecet."


"Keparat bermulut busuk!" Lu Sian marah dan pedangnya bergerak mengeluarkan suara berdesing. Bayisan cepat meloncat mundur dengan wajah kaget sekali. Pedang itu menyambar hebat, menyerempet meja batu yang menjadi terbelah dua seperti agar-agar terbabat pisau tajam saja !


"Kau... kau... puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ! Kau puteri Ketua Beng-kauw yang bernama Liu Lu Sian!"


Diam-diam Lu Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini sehingga melihat sekali gerakan pedangnya saja sudah dapat mengenalnya ? Ia terkejut dan heran, terpaksa menunda serangannya, membentak. "Hemm, kau sudah tahu siapa aku, tidak lekas berlutut?"


Akan tetapi Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak-bahak. "Bagus ! Bagus sekali ! Karena terhalang urusan penting, aku tidak sempat datang mengunjungi pesta Beng-kauw dan mencoba untuk memetik bunga dewata dari Beng-kauw ! Sekarang bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya ? Sudah lama aku mendengar bahwa puteri Beng-kauw memiliki ilmu kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya, dan memiliki kecantikan yang tiada bandingya di dunia. Sudah terlalu banyak aku melihat wanita cantik, akan tetapi tidak ada seorang pun yang boleh dikata tiada bandingnya. Akan tetapi melihat kau, benar-benar tak pernah aku melihat lain wanita yang dapat menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian ! Aha, kebetulan sekali!"


Akan tetapi ucapan ini sudah membuat Lu Sian tak dapat menahan kemarahannya lagi. Juga ia menjadi lega karena ternyata dari ucapannya itu bahwa Bayisan bukan mengenalnya dari sekali gerakan pedangnya tadi, melainkan dari dugaan tentang ilmu pedang dan kecantikannya. Maka sambil berseru keras ia menggerakkan pedangnya lagi sambil melangkah maju dan menusukkan pedangnya se arah dada lawan.



Bayisan cepat mengelak, miringkan badan ke bawah. Akan tetapi pedang Lu Sian yang bergerak aneh sudah mengejar dengan lanjutan serangan membabat ke arah leher. Cepatnya bukan main ! Bayisan terkejut, cepat ia menggulingkan diri ke bawah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, sambil berguling ia melepaskan sebatang hui-to ke arah lawan.


"Tranggg!" Lu Sian menangkis hui-to lawan dan sekarang Bayisan sudah berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan sambil tertawa.


"Hebat ilmu pedangmu dan hebat kecantikanmu ! Kau patut menjadi isteri Panglima Bayisan, mari juitaku, mari ikut aku ke Khitan. Kita berdua akan dapat merebut kekuasaan di sana dan hidup bahagi..."


"Tranggg!" Terpaksa Bayisan menangkis karena cepat sekali pedang Lu sian sudah menyambar, membacok mulutnya sehingga terpaksa ia menghentikan kata-katanya. Akan tetapi selanjutnya ia tidak berani membuka mulut lagi karena Lu Sian sudah menyerangnya secara bertubi-tubi. Pedang nona ini berkelebatan laksana naga mengamuk dengan gerakan-gerakan aneh dan ganas. Inilah Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang dahsyat. Angin dari pedang ini menggerakkan daun-daun pohon yang tumbuh di pot besar di sudut kiri kamar, malah beberapa helai daun rontok karenanya. Ujung pedangnya berubah banyak sekali, akan tetapi dengan jelas Bayisan melihat ujung yang asli menyerang ganas ke arah perutnya sedangkan ujung pedang lain hanya bayangan karena cepatnya pedang bergerak.


Tentu saja pemuda Khitan murid Ban-pi Lo-cia ini tidak mau dirinya disate oleh pedang lawan. Cepat ia mengubah kuda-kuda kaki menjadi miring sambil menghantamkan pedangnya dari kiri ke kanan. Kembali terdengar suara nyaring bertemunya kedua pedang dan sebelum Lu Sian sempat menyerang kembali, bayisan sudah melanjutkan pedangnya menusuk ke arah dada kiri ! Lu Sian menggerakkan lengan, pedangnya sudah terputar ke kanan dan tepat sekali menangkis. Namun Bayisan hanya menggertak, sebelum pedang tertangkis ia sudah menarik kembali pedangnya, membuat gerakan lengkung dan membabat ke arah kaki sedangkan tubuhnya mendoyong ke depan dengan tangan kiri terbuka jarinya mencengkram ke arah dada. Gerakan yang dahsyat, berbahaya, dan juga kurang ajar !


"Aiihhh!!" Seruan yang keluar dari mulut Lu Sian ini bukan seruan biasa, melainkan pekik yang dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga kalau saja Bayisan tidak kuat sinkangnya, tentu akan roboh karena lumpuh terserang pekik luar biasa ini ! Ternyata, seperti juga Bayisan, gadis puteri beng-kauwcu ini sudah mempelajari mempergunakan jerit yang mengandung tenaga khikang untuk merobohkan lawan. Melihat lawannya tidak terpengaruh oleh pekikannya dan serangan berbahaya itu terus dilanjutkan, Lu Sian meloncat ke atas, membiarkan pedang lawan membabat angin di bawah kedua kakinya sedangkan pedangnya sendiri dengan kecepatan kilat lalu berkelebat membabat tangan kiri lawan yang hendak berbuat kurang ajar tadi.


Di sini terbukti kehebatan Lu Sian yang dapat mengubah kedudukan terserangmenjadi penyerang. Namun lawannya juga seorang ahli karena cepat-cepat dapat menarik tangan kirinya sedangkan pedang yang membabat angin itu sudah cepat menusuk tepat ke arah hidung Lu Sian selagi gadis ini turun kembali ke atas lantai. Serangan ini terlalu mudah bagi Lu Sian dan dielakkannya. Bayisan mempergunakan ilmu pedang gaya barat, kembali pedangnya mebabat kedua kaki, begitu membabat tubuhnya mendoyong ke belakang sehingga tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membarengi dengan serangan balasan. Dan setiap kali Lu Sian meloncat, pedang Bayisan sudah terputar dan menyambut lagi kedua kaki yang turun !


Menjemukan!" Lu Sian berseru keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, hampir dua meter tingginya dan dari atas pedangnya langsung membabat leher lawan yang tubuhnya mendoyong ke belakang. Bagaikan seekor kura-kura menyembunyikan kepala ke dalam leher, Bayisan menarik lehernya ke bawah dan dengan hati ngeri ia mendengar mendesingnya pedang tepat di atas tengkuknya, dan alangkah kagetnya katika ia melihat Lu Sian tidak turun ke bawah melainkan tadi meloncat dan kini tepat berada di atas kepalanya, kedua kakinya berbareng melakukan gerakan menendang ke bawah ke arah ubun-ubun dan lehernya !


"Lihai...!" serunya, dan kembali ia menggelinding ke atas lantai, tidak peduli bahwa debu tidak saja mengotori bajunya, juga mukanya terkena debu sehingga muka yang tampan menjadi coreng-moreng ! Akan tetapi ia selamat daripada bahaya maut dan kini mereka sudah saling berhadapan lagi.


"Perempuan liar ! Kau tidak tahu dicinta orang ! Baik, aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu, kalau kau masih hidup dalam pertempuran ini, lihat betapa kau akan menjadi permainanku sebelum kau kubunuh..."


"Tutup mulut!" Lu Sian meloncat ke depan dan kini ia menggunakan jurus Pat-mo Kiam-hoat yang paling lihai. Pedangnya tidak berdesing lagi, melainkan menyambar tanpa suara, hanya angin gerakan pedangnya terasa panas seperti mengandung api. Pedang itu membabat lagi ke arah mulut, mulut pemuda yang kurang ajar dan amat dibencinya. Ia sudah membayangkan akan merobek mulut itu dengan pedangnya. Akan tetapi Bayisan juga sudah marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia terima dari Ban-pi Lo-cia. Pedangnya membuat gerakan menyilang, pertama menangkis dan kedua menekan dari atas dengan maksud menindih pedang lawan untuk dapat menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan. Namun perhitungannya meleset. Pat-mo Kiam-hoat merupakan ilmu pedang hitam yang penuh dengan akal muslihat, mana mudah ditindih ? Bagaikan belut licinnya, pedang itu sudah melesat keluar dari tenaga tindihannya dan kini membacok ke arah paha kanannya. Bayisan melangkah mundur, dan membarengi pukulan ke arah pusar, sedangkan tangan kirinya kini merupakan senjata hebat dengan dorongan ke depan, mengarah muka dengan pengerahan tenaga sinkang.


Dengan gerakan yang lemas dan indah Lu Sian menekuk tubuh ke kiri tanpa mengubah kedudukan kaki sehingga kepalanya hampir menempel tanah, kemudian pedangnya dari arah kiri itu melesat ke depan hendak merobek perut! "Trang, trang !" Dua kali pedang bertemu karena bagitu ditangkis pedang Lu Sian sudah bergerak lagi membacok pundak yang hanya dapat dihindarkan dengan tangkisan ke dua.


Serang-menyerang mati-matian terjadi, setiap tusukan dibalas bacokan dan demikian sebaliknya. Mereka berputaran di dalam ruangan itu, bertanding tanpa saksi, ada kalanya tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka, ada kalanya mereka bertanding lambat dan bergerak berputar-putar, seperti dua ekor ayam berlaga. Hampir seratus jurus mereka bertanding, peluh membasahi muka, namun belum ada yang terluka atau terdesak. Biarpun ilmu kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, juga berbeda sumber, namun ternyata tingkat mereka seimbang. Lu Sian kalah sedikit tenaganya, namun kekalahan ini tertutup oleh kelebihannya dalam kelincahan gerak.


Sebagai seorang pemuda mata keranjang yang sudah biasa menggoda dan merusak wanita, tentu saja Bayisan terpesona dan tergila-gila kepada Lu Sian yang memiliki kecantikan sukar dicari tanding, namun kehebatan ilmu silat gadis ini membuat ia merasa penasaran sekali sehingga serangan-serangannya tidak lagi main-main dan lenyaplah keinginannya menawan hidup-hidup karena lawannya benar-benar berbahaya sekali. Kini ia tidak peduli lagi apakah ia akan dapat menawan hidup-hidup atau harus membunuh, pokoknya ia harus menang karena kalau ia kalah berarti kematian baginya ! Mereka bertanding tanpa sebab tertentu, keduanya sudah melupakan urusan yang membuat mereka datang ke tempat itu.


Setekah lewat seratus jurus dan Liu Lu Sian yang maklum akan kemenangannya dalam ginkang, cepat mempergunakan kemenangan ini, mengerahkan ginkangnya, menggerakkan tubuhnya secepat burung walet menyambar-nyambar, pedangnya berkelebat bagaikan kilat halilintar. Dengan campuran Toa-hong Kiam-hoat dan Pat-mo Kiam-hoat, ia dapat mendesak lawannya tanpa memberi kesempatan pedangnya beradu, karena terlalu sering beradu pedang berarti kerugian baginya karena ia kalah tenaga. Bayisan mulai terdesak dan di dalam hati ia menyumpah-nyumpah. Namun, tidaklah mudah bagi Lu Sian untuk mengalahkan lawan ini, lawan yang baru kali ini ia temui tanpa dapat menjatuhkannya dengan segera. Selain Kwee Seng baru kali ini ia bertemu tanding yang begini muda tapi begini tangguh, sehingga ia merasa penasaran sekali, penasaran dan marah sehingga ia tidak akan berhenti sebelum dapat membinasakannya !


Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, pedangnya yang telah mengurung lawan, meluncur dari atas menusuk tengkuk Bayisan yang baru saja membalikkan tubuh karena melihat gadis itu tahu-tahu sudah bergerak cepat dan berada di belakangnya. Bayisan mengerti bahwa tengkuk lehernya berada dalam keadaan gawat, salah-salah bisa putus, maka sambil membalik tadi ia cepat membabitkan pedang dengan setengah putaran melindungi tengkuk. Akan tetapi karena ia menangkis dengan badan setengah membalik, maka kali ini tenaganya tidak dapat dipergunakan sepenuhnya dan tidak berhasil menindih tenaga Lu Sian yang sebaliknya memang memperhitungkan hal ini dan telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, menggetarkan pedang yang tersalur tenaga sinkang sehingga untuk beberapa detik kedua pedang saling menempel dan lekat ! Pada detik itu juga Lu Sian telah menggerakkan tangan kirinya dan dalam pandangan Bayisan, tangan kiri gadis itu seakan-akan berubah menjadi seekor ular karena gerakannya lenggak-lenggok macam ular akan tetapi tahu-tahu dua buah jari tangan itu telah mengancam sepasang biji matanya ! Hebat sekali serangan Lu Sian kali ini, karena gerakan tubuhnya adalah berdasarkan Toa-hong-kun, gerakan pedangnya berdasarkan Pat-mo Kiam-hoat, sedangkan tangan kirinya ini mainkan gerakan Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti). Sekaligus dapat mainkan jurus-jurus campuran dari tiga macam ilmu silat tinggi, dapat dibayangkan kehebatannya.


"Ayaaaaa!!" Bayisan berseru keras saking kagetnya, mengerahkan tenaga untuk menarik pedang dan terus menggunakan tenaga tarikan itu untuk melempar tubuhnya ke belakang, bergulingan sampai beberapa meter dan baru berhenti setelah tubuhnya membentur dinding. Akan tetapi pada saat ia melompat bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar cepat ke arah Lu Sian ! Kiranya ketika menghindarkan diri daripada serangan maut sambil bergulingan tadi, Bayisan sudah mengeluarkan senjata rahasianya dan begitu meloncat bangun telah membalas dengan senjata gelap ini. Memang hebat ! Kali ini ia tidak menggunakan hui-to yang telah dua kali ia pergunakan tanpa hasil, maka kini ia menggunakan Jarum Racun Hitam (Hek-tok-ciam) yang pernah ia pergunakan terhadap Kwee Seng sehingga pemuda sakti itu terjungkal ke dalam jurang. Sekarang, saking jengkelnya menghadapi gadis jelita yang amat hebat ilmu kepandaiannya ini, Bayisan tidak segan-segan mempergunakan jarum racunnya.


Melihat sinar hitam dan desir angin, Lu Sian berseru marah. Dia sendiri adalah seorang ahli senjata rahasia jarum, tentu saja sekali melihat ia tahu benda apa yang menyambar itu. Tangan kirinya menyambar ikat pinggangnya dari sutera, dan sekali menggerakkan pergelangan tangan, ikat pinggang itu bergulung menjadi sinar kuning emas dan tergulunglah jarum-jarum hitam lawan menempel pada ujung ikat pinggang. Kemudian sekali ia menggentakkan tangan kirinya, jarum-jarum itu terbang ke arah Bayisan ! Ini masih belum hebat, biarpun sudah membikin Bayisan berseru kagum dan kaget, karena gerakan kain dari tangan kiri Lu Sian menciptakan sinar hitam tertiup angin, menyambar ke arah Bayisan. Ternyata gadis ini pun mengeluarkan jarum hitamnya, selain mengembalikan senjata lawan, juga memberi "hidangan" yang sama dan yang tidak kalah lezatnya !


"Aiiihhh, perempuan iblis!" teriak Bayisan yang cepat memutar pedangnya menangkis jarum-jarum itu. Lu Sian tersenyum puas dan menerjang maju lagi. Kembali terdengar berdesingnya pedang, disusul berkerontangannya kedua pedang bertemu, dan menyambarnya angin dari gerakan kedua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi ini.


Pada saat itu, terdengar suara bentakan laki-laki dari luar, "Iblis Khitan penjahat cabul, kau menipu kami!" Maka muncullah tiga orang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti jembel pengemis. Mereka itu berpakaian pengemis, pakaian mereka penuh tambalan bermacam-macam warna, akan tetapi tubuh mereka tampak sehat dan kuat, sedangkan gerakan mereka ketika muncul diruangan itu, kelihatan gesit-gesit sekali. Mereka semua membawa sebatang tongkat di tangan , tongkat yang butut akan tetapi di ujungnya dipasangi besi berwarna merah.


Munculnya tiga orang jembel ini menhentikan pertandingan itu. Bayisan memandang mereka dengan kening berkerut. "Apa maksud kalian memaki?" bentaknya.


"Masih pura-pura lagi ! Kau mengaku seorang pendekar yang hendak membantu pembebasan Kam-goanswe yang kami muliakan, akan tetapi apakah yang kau lakukan di dusun Ki-san ? Kau membasmi keluarga yang dengan baik hati telah menolong dan merawatmu. Keparat!" Setelah seorang di antara tiga jembel itu berkata demikian, mereka serentak maju menerjang. Melihat ini, Bayisan kaget sekali. Gerakan mereka itu cukup hebat, seungguhpun tentu ia tidak gentar menghadapi keroyokan tiga orang pengemis ini, namun kalau mereka bertiga membantu Lu Sian menghadapinya, tentu ia akan celaka. Kepandaiannya melawan Lu Sian berimbang, ada sedikit saja bantuan yang menambah tenaga Lu Sian, berarti ia menghadapi maut. Bayisan cerdik orangnya. Melihat gelagat tidak menguntungkan dirinya, ia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke luar dari jendela. Tiga orang pengemis itu mengejar cepat. "Hendak lari ke mana kau jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)?"


Akan tetapi Lu Sian tidak mengejar. Gadis ini hanya mengangkat pundaknya saja. Ia tidak mempunyai urusan dengan Bayisan, dan pertandingan tadi sudah cukup untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya terhadap kekurang ajaran Bayisan. Tentang Bayisan memperkosa atau membunuh orang, itu bukan urusannya dan ia tidak akan mencampuri. Apalagi kalau mendengar kata-kata pengemis tadi bahwa Bayisan bermaksud membantu pembebasan Kam Si Ek. Bukankan itu berarti bahwa Bayisan adalah seorang sahabat Kam Si Ek ?


Tiga orang pengemis tadi baru mengejar sampai di depan kelenteng, tiba-tiba Bayisan membalik dan menyerang mereka dengan jarum-jarum hitamnya. Tiga orang pengemis itu bukan orang-orang sembarangan pula, cepat mereka mengelak sehingga jarum-jarum itu lewat di dekat tubuh mereka, menancap dan lenyap ke dalam tembok. Akan tetapi bau jarum-jarum itu yang amis membuat mereka kaget sekali.


"Jarum-jarum beracun...!" teriak mereka dan sejenak mereka ragu-ragu untuk melanjutkan pengejaran. Bayisan sudah pergi jauh dan melihat jarum beracun ini, tiga orang pengemis itu tidak berani mengejar lagi, dan teringat akan gadis perkasa yang tadi sanggup menahan pedang orang Khitan yang kosen itu, mereka segera memasuki kelenteng.


Lu Sian tidak membuang waktu lagi. Melihat mereka menjura dengan hormat, sebelum mereka membuka mulut ia sudah bertanya, "Tiga sahabat dari partai pengemis manakah?"


Pada masa itu memang para pengemis membentuk perkumpulan, dan hal ini dipergunakan oleh orang-orang kang-ouw untuk menyamar sebagai pengemis pula dan terbentuklah perkumpulan-perkumpulan pengemis mereka dapat bergerak leluasa dan tidak begitu menarik perhatian.


Tahu bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, pengemis tertua menjura dan memperkenalkan diri. "Kami adalah pimpinan dari Wei-ho-kai-pang."


"Ah, kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) adalah Sin-tung Sam-kai (Tiga Pengemis Tongkat Sakti)? Hemm, kebetulan sekali. Aku adalah Liu Lu Sian, puteri Beng-kauwcu..."


"Ah, maaf... maaf, kami telah berlaku kurang hormat terhadap Li-Hiap. Maaf bahwa beberapa bulan yang lalu kami tidak dapat datang menghadap ayah Li-hiap (Pendekar Wanita)."


"Tidak apa," kata Lu Sian yang serta merta menganggap mereka itu sahabat karena ucapan merkea tadi yang memuliakan Kam Si Ek. "Tahukah kalian dimana adanya Kam-goanswe sekarang? Aku mendengar bahwa dia dijebak orang jahat di kelenteng ini, dan tadi kalian bicara tentang Kam-goanswe kepada orang Khitan itu, apa artinya semua ini? Harap Sam-wi suka menceritakan dengan jelas."


Diam-diam tiga orang itu saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa hubungannya puteri Beng-kauw dengan jederal muda yang mereka kagumi itu. Akan tetapi mengingat akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Bang-kauw, dan menduga bahwa gadis ini tentu bermaksud baik, mereka lalu bercerita.


Memang sesungguhnya Kam Si Ek dengan hanya sedikit pengawal telah keluar dari benteng menuju ke ibu kota Shan-si untuk memenuhi panggilan Gubernur Li Ko Yung yang disampaikan oleh Phang-siangkun Si Komandan muka hitam yang diam-diam mengatur pengkhianatan untuk menjatuhkan Kam Si Ek. Setelah tiba di kota Poki, rombongan Kam Si Ek dicegat oleh gerombolan yang memang sudah disiapkan terlebih dulu. Celakanya, para pengawal Kam Si Ek diam-diam sudah disogok pula oleh Phang-siangkun sehingga selagi tidur, Kam Si Ek disergap dan dijadikan tawanan. Penyergapan dilakukan di dalam kelenteng yang memang diajukan sebagai tempat penginapan oleh para pengawal Kam Si ek. Sebagai seorang komandan yang jujur dan tidak mau menggangu rakyat, Kam Si Ek memang biasa melakukan perjalanan sederhana, menginap pun di mana saja asal jangan mengganggu penduduk, maka usul untuk bemalam di rumah kelenteng itu diterimanya baik.


"Kami menyaksikan itu semua karena kebetulan sekali kelenteng tua ini sejak lama menjadi tempat perkumpulan kami para pengemis Wei-ho-kai-pang." Demikian seorang di antara pimpinan kai-pang (perkumpulan jembel) itu berkata, "Kami amat kagum kepada Kam-goanswe dan ingin sekali menolongnya, akan tetapi apakah yang dapat kami lakukan terhadap pasukan yang begitu ketat, apalagi yang dikawal pula oleh tokoh-tokoh rahasia berilmu tinggi yang sengaja dikirim dari Kerajaan Liang?"


"Hemm, kalau begitu, yang merencanakan panawanan tehadap diri Kam-goanswe adalah Kerajaan Liang?"


"Betul, Li-hiap. Seperti diketahui, Kerjaan Liang setelah berhasil merobohkan Kerajaan Tang, selalu mengalami rong-rongan dari pelbagai pihak yang hendak menjatuhkannya pula. Terjadi perebutan kekuasaan dan selain ancaman bangsa liar dari utara, juga Kerajaan Liang harus menghadapi ancaman yang tidak kalah hebatnya dari bangsa sendiri yang memperebutkan kekuasaan setelah Kerajaan Tang roboh. Kam-goanswe terkenal sebagai seorang jenderal yang jujur, setia dan pengetahuannya akan ilmu perang amat terkenal. Inilah sebabnya Kerajaan Liang ingin sekali mempergunakan tenaganya dan cara satu-satunya hanya menculiknya karena Jenderal Kam tidak pernah mau mengakui kedaulatan kerajaan-kerajaan baru yang banyak muncul setelah Kerajaan Tang jatuh. Dia seorang pahlawan sejati, seorang patriot yang betul-betul hanya mementingkan negara dan rakyat, sama sekali tidak meributkan soal kedudukan dan kemuliaan pribadi."


Lu Sian biasanya tidak peduli akan keadaan negara. Kini ia tertarik sekali dan makin kagumlah ia terhadap Kam Si Ek, amat senang hatinya mendengar nama pemuda pilihan hatinya itu dipuji-puji. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan cerita tiga orang pengemis itu, cerita tentang keadaan negara yang biasanya ia takkan suka mempedulikannya.


Menurut cerita Sin-tung Sam-kai, semenjak Kerajaan Tang roboh pada tahun 907 oleh pemberontakan Gubernur Ho-nan yang bernama Cu Bun yang kemudian mendirikan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Liang, maka keadaan tidak pernah aman. Perang terjadi dimana-mana, perebutan kekuasaan terjadi. Para pejabat tinggi bekas Kerajaan Tang mengangkat diri sendiri menjadi raja muda dan sebagian besar tidak mau tunduk kepada raja baru itu. Sementara itu, ancaman dari utara dan barat masih terus datang sehingga keadaan makin kacau balau. Banyak pula bekas pejabat tinggi Kerajaan Tang yang masih setia dan mereka ini pun menggunakan pelbagai usaha untuk mendirikan kembali kerajaan yang sudah jatuh.


"Sehari setelah Kam-goanswe dibawa pergi oleh pasukan Kerajaan Liang, di sini muncul Bayisan yang mengaku seorang pendekar sahabat baik Kam-goanswe. Dia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga kami percaya dan ketika dia minta bantuan kami untuk menyelidiki kemana Kam-goanswe dibawa, kami lalu mengerahkan anak buah kami untuk melakukan penyelidikan itu. Akan tetapi, dengan kaget kami mendengar berita dari seorang anak buah kami akan kejahatan Bayisan itu di dusun Ki-san."


"Apa yang ia lakukan?" "Seorang pencari kayu di hutan pada suatu hari mendapatkan Bayisan dalam keadaan pingsan di dalam hutan. Pencari kayu she Chie itu menolongnya dan membawanya pulang ke rumah. Akan tetapi apa yang dilakukan jahanam itu sebagai balas budi ini ? Dua hari kemudian ia membunuh pencari kayu berikut isterinya dan anak-anaknya sebanyak tiga orang berikut gadis itu sendiri ! Tentu saja kami yang mendengar ini menjadi marah sekali dan menyerbu ke sini, kiranya Li-hiap sudah lebih dulu datang menggempurnya. Sayang ia terlalu lihai sehingga kita tak dapat membinasakannya!"


Akan tetapi Lu Sian sama sekali tidak tertarik oleh cerita tentang Bayisan ini, maka tanyanya cepat, "Lalu, bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian ? Kemana dibawanya Kam-goanswe oleh pasukan itu?"


"Sudah kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Ho-nan."


Ke manapun juga akan kukejar, pikir Lu Sian. Ibu kota Ho-nan yang sekarang menjadi kota raja adalah Kai-feng, dan ia harus segera berangkat ke sana.


"dan Bayisan itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa ia hendak menolong Kam-goanswe pula?"


"Kami tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami dapat menduganya, Li-hiap. Bukan tak mungkin bahwa dia pun seorang kepercayaan Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali mempergunakan tenaga dan pikiran Kam-goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri sudah berkali-kali mengalami kekalahan apabila berhadapan dengan pasukan yang dipimpin Kam-goanswe."


"Baik, terima kasih, Sin-tung Sam-kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku hendak menyelidiki ke Kai-feng."


"Berhati-hatilah, Li-hiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja-raja muda banyak menarik tenaga orang-orang pandai yang tentu akan berlomba merampas seorang penting seperti Kam-goanswe."


Dengan tergesa-gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib jenderal muda she Kam itu, Liu Lu Sian segera meninggalkan kota Poki, kembali ke dusun keluar kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia membalapkan kuda itu ke timur-laut, menuju ke kota raja dari Kerajaan Liang.


Apa yang diceritakan secara singkat oleh Sin-tung Sam-kai tiga orang pimpinan perkumpulan jembel Wei-ho-kai-pang itu memang benar. Perebutan kekuasaan di antara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang, para bekas pangeran dan raja muda yang mengangkat diri sendiri setelah Kerajaan Tang roboh, benar-benar membuat rakyat amat menderita. Rakyat yang tidak tahu apa-apa, yang lemah dan miskin, selalu yang menjadi korban tiap kali terjadi perang dan keributan. Pemuda-pemudanya dipaksa menjadi tentara, hasil sawah ladangnya dirampasi, pajaknya diperberat secara paksa, gadis-gadisnya yang muda dan cantik diambil secara paksa untuk menghibur pasukan-pasukan yang lewat.


Akan tetapi, mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang, bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka. Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan daripada menjaga keamanan rakyat. Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Masanya pula bagi orang-orang sakti yang di masa aman tenteram pergi ke guha-guha, ke puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi laut untuk bertapa, untuk turun gunung masuk kota raja untuk menawarkan kepandaian mencari jasa dan kedudukan mulia ! Dan memang para raja muda yang mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar, amat membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini. Tidak peduli si orang sakti itu terdiri daripada golongan hitam maupun putih, penjahat maupun pendeta, asal sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata, pakaian indah, makanan lezat, atau wanita cantik.


Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara. Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan kekuasaan yang memecah-mecah bangsa. Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masing-masing membela yang mempergunakan mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai persilatan besar, kelenteng-kelenteng besar yang mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret-seret.


Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada di lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi ! Namun karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan tetapi, pada suatu hari, ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.


Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak oleh air hujan, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik perhatian Lu Sian. Tiba-tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan semak-semak.


Popular posts