Kedua orang pengemis itu berhenti, Si Kepala Besar tidak bergerak, hanya membalikkan tubuhnya, akan tetapi Si Kurus sudah melangkah lebar menghadapi Lu Sian sambil memutar-mutar tongkat ularnya dan menyeringai. "Nona mau bicara apakah?" Ia melangkah maju sampai dekat sekali sehingga terpaksa Lu Sian mundur dua langkah.
"Harum... sedap...!" Si Pengemis mengembang-kempiskan hidungnya karena memang tercium keharuman luar biasa ketika ia mendekati Lu Sian.
Diam-diam Tan Hui mendongkol sekali terhadap pengemis itu. Memang ia sendiri diam-diam sudah menjadi heran ketika ia mencium keharuman dari tubuh Lu Sian, akan tetapi mendengar seruan kurang ajar itu ia merasa panas dadanya. Benar-benar tidak patut sikap seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang seceriwis itu!
Lu Sian sengaja melempar senyum manis, matanya bergerak-gerak dengan kerling tajam, kemudian ia berkata, "Orang tua yang baik, kau tadi bilang kepada Tan-enghiong supaya mengajak aku menghadap pangcumu agar mendapat pengampunan, apa artinya itu?"
Si Pengemis tertawa ha-hah-he-heh. "Nona seorang yang cantik luar biasa seperti bidadari, harum seperti mawar hutan. Pangcu baru kami masih muda, tentu girang hatinya bertemu dengan orang seperti Nona, dan mungkin kemarahannya terhadap orang she Tan akan mencair."
Di dalam hati Lu Sian mendongkol. Siapa sudi mendapat pujian dari seorang kakek jembel buruk seperti ini? Akan tetapi wajahnya yang jelita itu tersenyum manis. "Pengemis tua, kau seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu lihai dan terkenal sekali. Bolehkah aku mendengar namamu yang mulia dan terkenal?"
Si Kurus kegirangan, terkekeh sampai keluar air matanya. "Wah, namaku sih tidak terlalu besar akan tetapi di dunia kang-ouw tentu cukup dikenal, cukup menggemparkan. Julukanku adalah Sin-coa Koai-tung (Tongkat Aneh Ular Sakti)!"
Kakek jembel itu mengharapkan Lu Sian menjadi kagum, akan tetapi ia sejenak tercengang ketika melihat gadis itu bertepuk tangan memuji. Hanya sejenak ia bingung melihat cara menyatakan kagum seperti ini, akan tetapi hatinya lalu membengkak besar saking bangganya. "Hebat, Kakek Jembel, hebat namamu! Pantas kaugoyang-goyang selalu tongkatmu seperti ular itu! Kiranya julukanmu Ular Sakti. Wah, hebat, seperti halilintar di tengah hari panas!"
Kembali pengemis itu melengak. "Seperti halilintar di tengah hari? Wah, baru sekali ini aku mendengar pujian begitu."
"Kau tahu, bukan? Halilintar yang menyambar-nyambar mengeluarkan suara keras, takkan mendatangkan hujan! Namamu seperti gentong kosong berbunyi nyaring! Seperti perut kosong kebanyakan angin, maka angin busuk pula yang dikeluarkan!"
Tan Hui tak dapat menahan senyumnya. Wah, Lu Sian ini terlalu berani, terlalu bebas dan liar, akan tetapi juga terlalu... menarik hati! Sebaliknya, Sin-coa Koai-tung marah bukan main. Tahu-tahulah ia sekarang bahwa ia telah dipermainkan oleh wanita cantik ini.
"Uh-uh, bocah kemarin sore berani kau memandang rendah tongkatku dan nama besarku?"
"Ah, sama sekali tidak. Sin-coa Koai-tung! Hanya mengingat nama julukanmu istimewa, tentu kau pun mempunyai keistimewaan pula."
"Memang, aku mempunyai dua keistimewaan. Pertama, sekali tongkatku ini bergerak, jiwa seorang manusia melayang! Dan sekali aku melihat wanita sejelita seperti kau ini, sekaligus hatiku lemas!" Ternyata kakek ini tidak hanya lihai julukannya, juga lihai pula mulutnya sehingga serentak ia mampu membalas.
Namun ia menghadapi Liu Lu Sian, gadis yang lincah jenaka, liar ganas dan pandai bicara. "Sayang sekali, tua bangka jembel, mulai hari ini julukanmu akan terganti dengan Tongkat Buntung Ular Buduk!" Kata-kata ini ditutup dengan gerakan tangan dan "singgg!" pedang Toa-hong-kiam sudah berada di tangan kanan sedangkan tangan kirinya di saat itu juga sudah mengipatkan tujuh batang Siang-tok-ciam yang hanya tampak sebagai kilatan sinar merah menuju semuanya ke arah muka Si Pengemis Kurus!
"Aiiihhh!" Pengemis itu kaget bukan main, akan tetapi ia lihai, karena dalam kegugupannya, tongkatnya sudah diputar cepat melindungi mukanya sehingga jarum merah itu kena dipukul runtuh.
"Monyet tua, makan pedangku!" Lu Sian sudah menerjang lagi dengan pedangnya. Ia menggunakan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-hoat, cepatnya bukan main, dahsyat bagaikan angin badai, sesuai dengan sifat dan namanya. Seperti badai mengeluarkan kilat bertubi-tubi, dalam serentetan serangan pedangnya sudah menyambar ke arah lima jalan darah berturut-turut!
"Eh... orang...! Oh... ting... cring-cring-cring....!" Lima kali pengemis itu menangkis dengan tongkatnya, keringat dingin mengucur membasahi mukanya karena hampir saja ia tak dapat menahan serbuan hebat itu. Baiknya ilmu tongkatnya memang lihai maka setelah berhasil menangkis lima kali sambil mengeluarkan seruan kaget, ia melompat ke belakang menjauhkan diri agar terlepas daripada rangkaian kilat menyambar itu. Lu Sian berdiri tersenyum memandang dengan sinar mata berseri-seri mengejek.
"Ular Buduk, apakah kau tidak lekas berlutut minta ampun?"
Kalau tadinya pengemis kurus tua itu tertarik oleh kecantikan Lu Sian yang berhasil membangkitkan darah tuanya yang sudah hampir mendingin, kini kakek itu menjadi demikian marahnya sehingga serasa dadanya hampir meledak dan ia mengeluarkan kata-kata. Setelah menelan ludah beberapa kali, barulah ia berteriak-teriak. "Bocah setan, agaknya kau sudah bosan hidup!" Berkata demikian ia lalu memutar tongkatnya dan menerjang maju. Tongkatnya menusuk dengan gerakan aneh dan karena ujung tongkat yang bergerak-gerak tak menentu itu sukar diduga ke mana hendak menyerang.
Sejak tadi Tan Hui melongo kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang dan ilmu melepas jarum wanita itu. Kini ia makin kagum lagi setelah menyaksikan betapa Lu Sian menghadapi tongkat yang digerakkan sedemikian lihainya dengan cara sembarangan dan main-main saja. Pedang di tangan Lu Sian membentuk garis-garis segi delapan seperti pat-kwa. Akan tetapi anehnya, ke mana pun ujung tongkat pengemis itu meluncur, ia pasti bertemu dengan garis pedang sehingga tongkatnya terpental kembali.
"Hebat wanita ini!" diam-diam Tan Hui berpikir. Ia mencoba untuk memperhatikan dan mengenal ilmu pedang itu, namun sia-sia. Sifatnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi ada kalanya mirip Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang tersohor, namun ini hanya mirip belaka karena sifatnya benar amat berlainan. Ilmu pedang ini aneh dan menyembunyikan sifat yang amat ganas. Dalam waktu singkat saja Sin-coa Koai-tung merasai keganasan ini karena tiba-tiba garis-garis itu berobah menjadi lingkaran berputar-putar dan tiba-tiba dari kedudukan mempertahankan, pedang itu berobah menjadi fihak penyerang karena setiap tangkisan dilanjutkan dengan tusukan yang kesemuanya mengarah bagian berbahaya. Mulailah pengemis itu terdesak dan celakanya, tangan kiri Lu Sian terus menerus bergerak, sekali bergerak menyambarlah sebatang jarum merah yang berbau wangi. Sambaran jarum dibarengi tusukan pedang. Serangan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Pat-jiu Sin-ong saja sudah hebat apalagi kini ditambah dengan serangan Siang-tok-ciam, tentu saja ia menjadi repot sekali.
"Menarilah, Ular Buduk, menarilah!" Lu Sian berkata mengejek dan menyerang makin gencar dengan jarum dan pedangnya. Sengaja ia menutup jalan bawah dengan serangan jarum bertubi-tubi sedangkan pedangnya merangsang ke arah muka sehingga keadaan pengemis itu seperti seekor kera dikeroyok tawon. Ia meloncat-loncat menghindarkan kakinya dari sambaran jarum, sedangkan sedapat mungkin ia melindungi mukanya dari ancaman pedang dengan pemutaran tongkatnya yang sudah tidak karuan lagi gerakannya!
Tiba-tiba Lu Sian membentak, disusul teriakan kesakitan. Cepat sekali hal ini terjadi, tahu-tahu pengemis itu roboh dengan paha tertusuk jarum dan telinganya menggelinding ke dekat kaki Lu Sian dan sekali bacok, tongkat itupun buntung!
"Nah, bukankah kau sekarang menjadi Tongkat Buntung Ular Buduk?" Lu Sian mengejek.
Kebetulan saat itu Lu Sian berdiri membelakangi pengemis kepala besar, dan agaknya ia tidak tahu betapa dengan penuh kemarahan kakek pengemis itu sudah melompat maju dan mengirim pukulan dengan tangan kosong yang menimbulkan angin bersiutan!
"Jangan curang!" Tiba-tiba Tan Hui berseru. Tempat ia berdiri cukup jauh, akan tetapi sekali kakinya menjejak tanah, tubuhnya berkelebat cepat luar biasa dan di lain saat ia telah menangkis pukulan jarak jauh yang dilakukan pengemis kepala besar.
"Dukkk!" Dua buah lengan yang kuat bertemu dan terus menempel. Alangkah kaget hati Tan Hui ketika mendapat kenyataan betapa lengannya seakan-akan lekat dan tak dapat ditarik kembali. Ia maklum bahwa pengemis itu mempergunakan lweekang yang amat tinggi, maka terpaksa ia pun lalu mengerahkan lweekangnya untuk melawan. Mereka bertanding tanpa bergerak, hanya kedua lengan saling tempel, saling mendorong dengan pengerahan tenaga lweekang. Pertandingan macam ini selalu lebih berbahaya daripada pertandingan ilmu silat yang setiap serangan masih dapat dielakkan. Akan tetapi adu tenaga macam ini, yang kalah tentu akan menderita luka dalam yang amat berbahaya. Ketika merasa betapa tenaga pengemis itu benar-benar amat kuat, makin lama dorongan dan tekanannya makin berat, diam-diam Tan Hui mengeluh. Kalau mengandalkan ilmu silat, kiranya takkan sukar mengalahkan lawan ini, akan tetapi sekarang sudah terlanjur mengadu tenaga, sukar baginya untuk mundur lagi. Maju payah, mundur berbahaya! Terpaksa ia nekat dan mengerahkan terus tenaga dalamnya.
"Koko, mengapa begini sabar melayani dia?" Tiba-tiba Lu Sian berkata halus di belakang Tan Hui sambil menepuk pundak pendekar itu. Tan Hui kaget. Tepukan itu biarpun perlahan namun dapat mengganggu pengerahan tenaga lweekangnya, karena tepukan itu agaknya mengarah punggung dekat pundak. Namun untuk menghindarkan diri tak mungkin. Celaka, pikirnya, apakah Lu Sian ini hendak mencelakai aku? Tapi suaranya begitu merdu, panggilannya "koko" begitu mesra.
"Plakkk!" Benar-benar Lu Sian menepuk punggungnya, tempat dimana hawa sin-kang lewat dan menjurus ke lengannya yang menempel dengan lengan lawan. Akan tetapi anehnya, tenaganya bukannya buyar melainkan menjadi makin kuat dan tahu-tahu kakek berkepala besar itu mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, lalu bergulingan beberapa kali baru meloncat berdiri dengan muka pucat!
"Kalian yang curang!!" Kakek itu memaki dan begitu kedua tangannya bergerak, ia sudah menyambar sebuah batu besar di sampingnya dan melontarkannya ke arah Tan Hui dan Lu Sian. Batu itu besar sekali, beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus kati, akan tetapi tidak begitu mudah dilontarkan seperti orang melontarkan sekepal batu saja!
Hebat serangan ini, karena jarak di antara mereka hanya empat meter sedangkan batu itu menyambar amat cepat. Lu Sian berseru keras dan tubuhnya lalu ia banting ke belakang, terus ia bergulingan menjauhi tempat itu. Ia melihat dengan penuh kekaguman betapa tubuh Tan Hui mencelat ke depan agak tinggi dan tepat pendekar itu hinggap di atas batu yang menyambar lewat, seperti seekor burung saja gerakan ini, kemudian ia "menunggang" batu itu dan ketika batu jatuh ke tanah, ia pun meloncat turun!
"Wah, kalau aku memiliki ginkang seperti itu, barulah puas hidupku!" Tanpa terasa lagi Lu Sian berseru penuh kekaguman.
Kakek berkepala besar itu telah menderita luka dalam. Ia menjura lalu berkata, "Hui-kiam-eng, kepandaianmu dan temanmu memang hebat. Akan tetapi kalau kau berani mendatangi tempat pangcu kami di Kang-hu untuk menerima puterimu atau menerima kematiamu, barulah kami benar-benar kagum!" Ia lalu menghampiri temannya yang masih merintih-rintih, dan menyeretnya pergi dari situ.
Adik Lu Sian, hebat bukan main kepandaianmu! Benar-benar tak pernah kusangka. Kiam-hoatmu aneh dan hebat, adapun tenaga lweekangmu... ah, benar-benar aku seperti tidak bermata tak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang sakti!"
Lu Sian tersenyum, girang sekali hatinya. "Ah, Tan Hui Koko, mengapa kau begitu memuji setinggi langit? Kalau mau bicara tentang kelihaian, kaulah orangnya. Terutama sekali ginkangmu, benar-benar membuat aku tunduk dan kagum. Kalau saja aku dapat memiliki ginkang seperti itu, ahh.. alangkah akan bahagia hatiku."
"Bagi seorang seperti kau ini, Adik Lu Sian, tidak ada lagi yang tak mungkin di dunia. Apa sukarnya mempelajari ginkang bagi kau uang sudah mampu mempelajari ilmu silat sehebat itu?"
"Benarkah? Benarkah, Kakak yang baik? Kau suka untuk mengajarkan ginkangmu kepadaku? Ah, terima kasih... kau baik sekali, baik sekali..." saking girangnya Lu Sian memegang lengan Tan Hui dengan kedua tangannya. Sejenak mereka berdiri seperti itu, mata saling pandang, dan di dalam hati masing-masing makin tertarik. Semenjak dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia karena sakit, Tan Hui hidup penuh dengan kesunyian. Hal itu biarpun amat mendukakan hatinya, namun dapat ia tahan, karena Tan Hui adalah seorang jantan yang berbatin kuat. Tidak mudah hatinya tergoda oleh kecantikan wanita, maka selama ini ia pun tinggal menduda, sedikit pun tidak pernah menoleh ke arah wanita lain, menekuni kesunyian hidupnya. Akan tetapi pertemuannya dengan Lu Sian ini adalah luar biasa. Wanita ini luar biasa cantiknya, luar biasa pula kepandaiannya. Tidaklah heran kalau Tan Hui menjadi tertarik. Hati seorang kakek pendeta sekalipun mungkin akan tergetar kalau melihat Lu Sian yang cantik jelita, yang semerbak harum, berlagak memikat hati. Bagi Tan Hui, Lu Sian merupakan wanita yang amat menarik, apalagi kalau diingat bahwa mendiang isterinya adalah seorang wanita lemah, berbeda sekali dengan Lu Sian ini yang dalam hal kepandaian, tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri!
"Bagaimana, Koko? Tentu kau mau mengajarku ginkang, bukan?"
Sudah berada di ujung lidah Tan Hui untuk menyanggupi, akan tetapi mengingat bahwa ilmu pedang dan ilmu ginkangnya adalah kepandaian yang merupakan ilmu turunan, ia merasa agak meragu. "Aku tidak keberatan... eh, tapi... ilmu itu belum pernah diturunkan kepada orang luar... eh, maksudku, itu adalah ilmu turunan..."
Lu Sian yang masih memegang lengan Tan Hui, merapatkan tubuhnya sehingga Tan Hui terpaksa meramkan mata karena keharuman yang menyengat hidungnya membuat hatinya berguncang keras. "Apakah kau tidak mau menganggap aku orang dalam...?" Suaranya merdu lirih seperti berbisik.
Pada saat itu, sudah banyak orang berkumpul karena tadi tertarik oleh keributan di depan rumah makan. Melihat ini, Tan Hui segera berkata perlahan.
"Moi-moi, tak baik bicara di sini seperti ini. Di manakah kau tinggal? Mari kita bereskan perhitungan dengan rumah makan dulu."
"Aku tinggal di penginapan sebelah rumah makan. Biarkan aku yang membayar, Tan-koko..."
Akan tetapi sebelum mereka memasuki rumah makan, serombongan orang kelihatan berlari mendatangi. Pakaian mereka adalah pakaian ahli silat, seperti yang biasa dipakai oleh orang-orang yang pekerjaannya pengawal atau tukang pukul. Akan tetapi begitu tiba di depan Tan Hui, tujuh orang itu segera menjatuhkan diri berlutut dan setelah dekat tampaklah bahwa mereka adalah para piauwsu (pengawal barang berharga) yang mukanya penuh debu dan keringat, bahkan di antara mereka ada yang terluka sehingga pakaian mereka berlumur darah.
"Tan-taihiap (Pendekar Besar Tan), mohon suka memberi pertolongan kepada kami para piauwsu yang celaka....!" Seorang diantara mereka yang tertua dan pundaknya terluka bacokan, segera berkata dengan suara penuh permohonan. "Kebetulan sekali kami yang bercelaka mendengar akan kehadiran Taihiap di sini, maka kami segera menghadap Taihiap untuk mohon pertolongan. Kalau Taihiap tidak suka menolong, berarti kami sekeluarga akan mati...."
Tan Hui mengerutkan keningnya. Tidak patut para piauwsu yang termasuk golongan orang gagah bersikap selemah ini. "Kalian ini rombongan piauwsu dari manakah dan apa yang terjadi sehingga kalian merengek-rengek seperti anak kecil?" tanyanya berisikan teguran.
"Maaf, Taihiap, kalau sikap kami menjemukan Taihiap. Akan tetapi karena kami sudah putus harapan. Ketahuilah, Tan-hiap. Kami dari perusahaan pengantar barang Hong-ma-piauwkiok (Perusahaan Pengantar Kuda Angin). Kali ini kami ditugaskan mengantar lima peti barang-barang berharga milik seorang pembesar yang pindah tempat, yang katanya berharga ribuan tali emas. Karena perjalanan menuju kota Sui-kiang biasanya aman, kami tidak merasa kuatir apa-apa. Ternyata, di luar dugaan, di lereng bukit itu, hanya empat puluh li dari sini, kami dihadang perampok, barang-barang kami dirampas semua, bahkan diantara kami ada yang tewas dan luka-luka. Gerombolan perampok itu agaknya masih baru di sana, dipimpin oleh kepalanya yang lihai. Tan-taihiap, harap tuan sudi menolong kami, karena kami tidak mampu merampas kembali lima buah peti itu pasti perusahaan kami akan bangkrut, dan kami semua akan diseret ke penjara!"
"Kalian tidak becus melawan perampok, mengapa berani menjadi piauwsu?" Tiba-tiba Lu Sian membentak mereka. "Memang piauwsu lawannya perampok, siapa kalah harus berani menanggung resikonya, mengapa kalian ribut merengek-rengek minta bantuan orang lain? Tak tahu malu! Hayo pergi, jangan ganggu lagi, kami punya urusan yang lebih penting!"
Tujuh orang piauwsu itu kaget sekali. Mereka bingung karena tidak tahu siapa adanya wanita cantik jelita yang galak itu. Akan tetapi karena melihat wanita itu berada di situ bersama Tan Hui, mereka lalu membentur-benturkan jidat ke tanah sambil memohon-mohon dengan suara pilu.
"Sudah bertahun-tahun mendengar nama besar Tan-taihiap sebagai pendekar budiman yang selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang menghadapi melapetaka! Kini kami mohon dengan segala kerendahan hati..."
"Hemmm, sudahlah jangan banyak ribut lagi. Biar kubereskan sebentar urusan kecil itu. Di mana adanya si perampok?"
"Koko! Kau hendak memenuhi permintaan mereka yang cerewet ini? Bukan urusan kita..."
"Hanya sebentar, Sian-moi. Bukit itu tampak dari sini, dan membereskan segala macam perampok hina apa sih sukarnya? Hanya makan waktu beberapa jam juga beres."
"Aku tidak sudi mencampuri urusan piauwsu-piauwsu tengik ini!" Lu Sian cemberut. Tan Hui tersenyum. "Biarlah aku sendiri yang mengurus hal ini, harap kau suka menanti. Tak lama aku kembali."
Lu Sian tidak menjawab, keningnya berkerut dan matanya memandang ke arah para piauwsu dengan marah. Kemudian ia membalikkan tubuh memasuki rumah makan. Setelah Tan Hui pergi dengan cepatnya diikuti para piauwsu yang seakan-akan hidup kembali karena mendapat harapan besar tertolong. Lu Sian lalu dengan sikap uring-uringan membayar harga makanan, menyuruh pelayan rumah makan mengambil alat tulils, lalu ditulisnya beberapa huruf di atas kertas yang kemudian dilipatnya dan diserahkannya kepada pengurus rumah makan.
"Kalau Tan Hiap datang, kauberikan surat ini kepadanya. Awas, jangan sampai lupa, surat ini sama harganya dengan sepasang telingamu!" Pengurus itu yang tadi melihat betapa wanita kosen ini membikin buntung telinga seorang pengemis lihai, menjadi ngeri dan hanya dapat memandang dengan lidah keluar ketika Lu Sian dengan langkah gesit keluar dari situ
Mengapa terjadi keanehan pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang? Dahulu perkumpulan ini terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan dan kebaikan, di bawah pimpinan Yu Jin Tianglo yang terkenal bijaksana dan keras terhadap anak buahnya sehingga jarang terjadi anak buah perkumpulan ini berani melakukan penyelewengan.
Akan tetapai, memang terjadi perubahan hebat sejak tiga bulan yang lalu. Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih bernama Pouw Kee Lui, berasal dari pantai Lautan Po-hai, datang membuat gara-gara. Pouw Kee Lui ini bukan orang sembarangan, ia murid seorang sakti yang bertapa di dalam gua-gua sepanjang pantai Po-hai. Semenjak kecil Pouw Kee Lui digembleng oleh pertapa ini dan memperoleh ilmu silat yang tinggi sekali. Akan tetapi beberapa tahun yang lalu, ia tidak dapat menahan gelora nafsunya yang memang selalu mengalahkan batinnya sehingga ia menculik dan memperkosa seorang wanita nelayan, membunuh suami wanita itu dan beberapa orang keluarganya yang hendak membela wanita itu. Gurunya marah sekali, akan tetapi dalam cengkeraman nafsu iblis, Pouw Kee Lui turun tangan pula terhadap gurunya yang sudah amat tua dan lemah sehingga ia berhasil membunuh gurunya sendiri, kemudian membunuh pula wanita itu! Peninggalan gurunya berupa kitab-kitab pelajaran ilmu kesaktian ia ambil semua dan pergilah Pouw Kee Lui meninggalklan pantai Po-hai dengan kedua tangan berlepotan darah pembunuhan kejam! Selama bertahun-tahun ia memperdalam ilmunya, mempelajari kitab-kitab dari suhunya, maka kepandaiannya makin meningkat tinggi.
Dalam perantauannya, Pouw Kee Lui yang sudah menjadi hamba nafsu itu mengumbar nafsu angkara murka, mengandalkan kepandaiannya untuk melakukan apa saja demi memuaskan dirinya. Merampok, membunuh, merampas wanita, dan mengganggu orang-orang kang-ouw untuk mengangkat diri dan namanya sehingga dalam beberapa tahun saja terkenallah nama Pouw Kee Lui sebagai seorang tokoh muda yang ganas dan kejam sepak terjangnya.
Pada suatu hari, yaitu tiga bulan yang lalu, sampailah Pouw Kee Lui di Kang-hu dan ia mendengar tentang perkumpulan Khong-sim Kai-pang yang terkenal dan kuat. Dengan tertarik ia mendatangi markas perkumpulan itu dan tercenganglah ia menyaksikan betapa kuil tua yang dijadikan pusat perkumpulan, ternyata di sebelah dalamnya terdapat perabot-perabot rumah yang cukup lumayan dan lengkap. Tertarik pula melihat betapa kedudukan ketua perkumpulan ini amat dihormat, baik oleh anak buah Khong-sim kai-pang yang mempunyai ratusan orang anggota, maupun oleh para penduduk sekitar tempat itu. Bahkan pembesar-pembesar negeri memandang perkumpulan ini dengan hormat! Maka timbullah niatnya yang bukan-bukan yaitu ingin merampas kedudukan ketua Khong-sim Kai-pang!
Dengan tenang ia mendatangi kuil di luar kota Khang-hu, dan dengan seenaknya pula ia menyatakan kepada Yu Jin Tianglo bahwa ia ingin menjadi ketua Khong-sim Kai-pang! Tentu saja belasan orang pimpinan itu menjadi marah, namun sekaligus mereka itu dirobohkan secara mudah oleh Pouw Kee Lui! Bahkan Yu Jin Tianglo sendiri yang tentu saja mempertahankan kedudukan, terutama nama besarnya, dalam pertandingan yang hebat terbunuh olehnya!
Sifat-sifat baik seseorang sukar ditiru dan tidak mudah menular. Sebaliknya sifat-sifat buruk itu tanpa diajarkan pun akan mudah ditiru dan merupakan semacam penyakit batin yang mudah menular. Setelah menyaksikan kesaktian petualang muda itu, para pimpinan Khong-sim Kai-pang mau tak mau terpaksa tunduk, dan kemudian, melihat sifat Pouw Kee Lui atau Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis) yang baru ini jauh berlainan dengan sifat dan watak Yu Jin Tianglo, para anggota perkumpulan ini menjadi gembira sekali. Nafsu mereka yang selama berada di bawah pimpinan dan pengawasan Yu Jin Tianglo seakan-akan tertekan, kini mendapat jalan keluar dan mulailah terjadi pelanggaran-pelanggaran oleh anak buah Khong-sim Kai-pang. Bahkan dendam yang selama ini terpaksa disimpan saja di dalam hati terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui karena Yu Jin Tianglo malah menyalahkan anak buahnya sendiri, kini meluap-luap dan ketika para pimpinan menceritakan kepada ketua baru itu. Pouw Kee Lui segera mengatur rencana dan menyuruh para pimpinan yang berkepandaian cukup tinggi untuk menculik puteri Tan Hui yang baru berusia lima tahun dari rumah paman bocah itu. Hal ini dilakukan untuk langsung pergi mencari Hui-kiam-eng Tan Hui, ketua baru ini merasa dirinya terlalu tinggi!
Demikianlah peristiwa hebat yang terjadi pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang dan yang tentu saja mengherankan hati Tan Hui dan juga Lu Sian yang sudah mendengar akan kebesaran perkumpulan itu dan ketuanya, Yu Jin Tianglo.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Pouw Kee Lui melihat anak buahnya mendapat penghinaan dari Tan Hui dan seorang wanita jelita bernama Lu Sian, malah dua orang pembantunya yang ia anggap berkepandaian cukup yang ia utus menantang Hui-kiam-eng Tan Hui, juga menerima penghinaan pula. Ia anggap penghinaan melampaui batas dan ketika sore hari itu ia mengambil keputusan untuk mencari sendiri Tan Hui, tiba-tiba muncullah Lu Sian yang menerobos masuk dengan pedang di tangan dan berseru.
"Di mana adanya Yu Jin Tianglo! Aku mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui untuk mengambil kembali puterinya!"
Di dalam kuil itu para pimpinan Khong-sim Kai-pang berkumpul, malah dua orang pengemis yang telinganya buntung dan Si Kepala Besar yang menderita luka dalam juga hadir di situ. Menyaksikan seorang wanita muda dengan pedang di tangan yang demikian cantik jelita, sejenak Pouw Kee Lui melongo terpesona dan keheranan. Ia dapat menduga tentu inilah teman Tan Hui yang telah membuntungi telinga pembantunya. Ia terheran-heran bagaimana ada seorang wanita muda yang cantik jelita seperti ini mampu melakukan hal itu. Pouw Kee Lui pada hakekatnya bukanlah seorang laki-laki mata keranjang, namun kali ini ia benar-benar terpesona dan untuk sejenak ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Namun ia tidak bodoh. Ia tahu bahwa seorang, apalagi kalau ia wanita, yang sudah berani dengan sikap begini tabah memasuki sarang lawan, tentulah memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Kepandaian dua orang pembantunya bukanlah rendah, dan kalau dua orang pembantunya itu setelah bertemu dengan wanita ini pulang dalam keadaan terluka cukup hebat, terkena jarum beracun harum, telinganya buntung dan isi dadanya terguncang dan terluka, jelas bahwa di dalam kai-pang, kiranya hanya dia seorang yang akan sanggup menandingi wanita itu. Maka sebagai seorang yang berpengalaman luas, ia bersikap hati-hati, ingin tahu lebih dulu siapa gerangan wanita ini dan dari golongan mana.
Akan tetapi, begitu dua orang pengemis yang kalah di depan rumah makan itu melihat munculnya Lu Sian, mereka sudah lantas memaki dan memandang dengan mata melotot. Ini cukup menjadi isyarat bagi para pimpinan pengemis yang jumlahnya ada tujuh orang lagi. Serentak mereka itu bangkit dan mencabut senjata masing-masing. Tujuh orang pengemis ini semua adalah pengemis tua dan yang memiliki kepandaian tinggi. Lima di antara mereka, bersenjatakan tongkat mereka, sedangkan yang dua orang mencabut pedang.
Namun Lu Sian sama sekali tidak takut. Dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan yang memegang pedang menudingkan ujung pedangnya ke arah tujuh orang pengemis itu, ia membentak.
"Aku tidak ada tempo untuk berurusan dengan segala macam jembel tua bangka! Suruh Yu Jin Tianglo keluar untuk bicara denganku!"
Akan tetapi tujuh orang pengemis itu tidak ada yang menjawab atau peduli, bahkan mereka lalu membuat gerakan mengurung nona yang cantik dan galak ini. Lu Sian menjadi gemas sekali dan ia sudah siap menerjang untuk memberi hajaran ketika di belakangnya terdengar suara yang jelas dan nyaring.
"Nona, Yu Jin Tianglo yang kautanyakan itu sudah mati."
Kaget sekali Lu Sian mendengar hal ini. Ia memang mendengar dari dua orang pengemis bahwa para para pengemis sudah mempunyai ketua baru, akan tetapi tidak ia sangka bahwa Yu Jin Tianglo sudah mati. Cepat ia memutar tubuh menghadapi Si Pembicara yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui. Ia melihat sorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya sedang, kumis dan jenggotnya pendek, wajahnya berkulit kasar akan tetapi tidaklah buruk bahkan mendekati tampan. Kelihatannya orang ini lemah dan tidak mempunyai kepandaian yang tinggi, akan tetapi sepasang matanya mencorong bagaikan mata srigala. Pakaiannya biar sederhana, namun tidak ada yang ditambal, maka ia sama sekali tidak kelihatan seperti anggota pengemis, apalagi seperti ketua pengemis.
"Mati...?" Lu Sian ketika memutar tubuhnya berseru. "Ya, mati," kata Pouw Kee Lui dan senyum sinis muncul di bibirnya. "Tidak kebetulan sekali, ia mati melawan aku."
Diam-diam kagetlah Lu Sian. Siapa kira, orang macam ini mampu mengalahkan bahkan membunuh Yu Jin Tianglo yang terkenal berkepandaian tinggi? Tak masuk akal! Orang di depannya ini pantasnya seorang petani gunung, atau paling hebat seorang pedagang obat keliling.
"Hemmmm," akhirnya ia mendengus, "kau siapakah?" Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tujuh orang pengemis tua sudah serentak maju menerjangnya. Terpaksa Lu Sian memutar pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi mereka yang sudah mengurungnya. Ia segera menggunakan jurus Delapan Iblis Menahan Hujan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-hoat, sekaligus ia menangkis datangnya hujan senjata, bahkan sekaligus pula dapat balas menyerang! Terdengar suara nyaring beradunya senjata dan di antara berdentingan ini Lu Sian mendengar orang itu tertawa dan berkata dengan nada mengejek.
"Namaku Pouw Kee Lui, Nona, dan akulah sekarang Ketua Khong-sim kai-pang!"
Lu Sian marah sekali karena ia kini dapat menduga bahwa ketua baru yang kelihatan lemah itu amat curang. Tentu tadi selagi bicara memberi perintah kepada para pembantunya untuk menyerbunya, menggunakan kesempatan selagi ia agak jengah. Baiknya ia dapat menghindarkan diri dari serangan mendadak itu dan kemarahannya meluap-luap ketika ia memaki, "Pengecut tengik! Kalau tidak lekas dibebaskan puteri Tan Hui, akan kubasmi habis Khong-sim Kai-pang hari ini!"
Pouw Kee Lui memperhatikan gerakan pedang nona itu dan diam-diam ia terkejut dan heran karena ia sama sekali tidak mengenal gerakan ilmu pedang yang mirip Pat-sian Kiam-hoat itu. Ia sudah berpengalaman dan boleh dibilang mengenal ilmu pedang dari golongan manapun, baik dari partai bersih maupun dari golongan hitam. Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan nona ini sama sekali asing baginya dan ia harus akui bahwa ilmu pedang ini hebat!
Tiba-tiba tedengar suara "wesss-wessss" beberapa kali dan.... Seorang demi seorang pengemis tua yang mengeroyok Lu Sian, terjungkal roboh karena mereka merasa kaki mereka menjadi lumpuh secara mendadak. Lu Sian sendiri tidak tahu mengapa mereka itu pada roboh dengan sendirinya, maka ia tidak mau mengotori pedangnya dengan lawan yang robh bukan oleh dia. Dengan heran dia hanya menambah tendangan saja yang membuat amereka roboh mencelat keluar dari ruangan, hiruk pikik mereka memaki dan menyatakan rasa heran.
"Ilmu siluman....!" "Dia bukan manusia!" Tujuh orang pengemis itu memaki-maki. Akan tetapi Pouw Kee Lui menjadi kaget bukan main. Matanya mengerling kekiri dan ia melihat sebuah kantung besar, seperti karung tempat beras, bersandar di sudut kiri ruangan itu, di belakang patung Budha. Ia tahu betul bahwa tadinya tak pernah ada karung seperti itu. Tentu dari karung itulah datangnya hawa pukulan yang membuat para pembantunya tadi roboh, maka ia berlaku hati-hati sekali. Gadis cantik jelita itu sudah lihai ilmu pedangnya, dan masih mempunyai pembantu yang demikian hebat ilmu pukulannya dari jarak jauh. Ia harus membikin wanita ini tidak berdaya, baru ia akan menghadapi tokoh aneh yang bersembunyi itu. Pouw Kee Lui memang cerdik dan juga banyak akal bulusnya. Kini dengan wajah tersenyum dan pandang mata kagum ia melangkah maju menghampiri Lu Sian sambil menjura dan berkata.
"Lihiap benar-benar hebat sekali, membuat orang kagum!" Akan tetapi ia menjura bukan sembarang menghormat karena diam-diam ia menggunakan tenaga dalam untuk melancarkan pukulan yang amat kuat. Lu Sian kaget. Tentu saja ia sudah bersiap sedia dan sudah pula menduga bahwa ketua baru Khong-sim Kai-pang ini mungkin melakukan serangan gelap berselimut penghormatan, akan tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa tenaga serangan gelap itu akan sehebat ini. Ia merasa dadanya sesak. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga untuk melawan dorongan tenaga yang tak tampak itu, dan legalah hatinya bahwa ia berhasil mendorong mundur hawa pukulan Pouw Kee Lui. Akan tetapi pada saat keduanya bersitegang mengerahkan tenaga dan pada saat Lu Sian merasa lega karena mengira bahwa tenaga dalamnya dapat menolak mundur lawan sehingga perasaan ini membuat ia agak lengah, tiba-tiba tangan kanan Pouw Kee Lui menyambar ke depan dan tahu-tahu lengan kiri Lu Sian sudah kena dicengkeram!
Lu Sian terkejut bukan main, tak pernah mengira lawan ini selicik itu karena biasanya orang yang saling mengadu tenaga lwee-kang seperti mereka itu, sama sekali tidak mengandung lain pikiran untuk melakukan serangan gelap seperti yang dilakukan ketua pengemis ini. Dicengkram lengan kirinya, Lu Sian merasa sakit sekali, seakan-akan dari telapak tangan kanan Pouw Kee Lui keluar api yang mengalir masuk melalui pergelangan tangannya yang dicengkram. Ia kaget dan marah, lalu menggerakkan pedang di tangan kanannya dibacokkan ke arah muka lawan.
Namun tenaga bacokan ini berkurang karena ia merasa tangan kirinya sakit sekali. Agaknya Si Ketua Pengemis menambah tenaga cengkeramannya. Begitu hebatnya rasa nyeri sehingga bacokan Lu Sian tidaklah sehebat yang ia inginkan. Dengan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya, Pouw Kee Lui menangkis, tepat mengenai tangan kanan Lu Sian yang memegang pedang. Begitu keras tangkisan ini sehingga terpaksa Lu Sian melepaskan pedangnya yang meluncur ke sebelah kanannya, ke arah karung yang bersandar di sudut belakang arca! Ini saja sudah membuktikan kehebatan tenaga dan kepandaian Pouw Kee Lui yang sekaligus sambil menangkis serangan pedang, dapat membuat pedang lawan menyerang "karung" itu.
Tepat seperti yang diduganya, karung itu bukan benda mati Karena tiba-tiba karung itu mencelat ke atas dan pedang Toa-hong-kiam yang menyambarnya itu terpental dan menancap pada lengan patung. Karung itu sendiri setelah jatuh di atas lantai, membal lagi ke atas dan hinggap di atas kepala arca itu, bergoyang-goyang akan tetapi tidak jatuh ke bawah.
Sementara itu, sejenak Lu Sian terkejut sekali oleh kelihaian ketua baru Khong-sim Kai-pang ini. Namun ia segera mengerahkan khikang, tubuhnya merendah dan tangan kanan dengan jari terbuka menghantam pusar lawan sambil tangan kirinya yang masih dicengkram itu di tarik keras.
Hebat sekali serangan yang bersifat ganas ini, serangan maut dengan pukulan dari ilmu silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) ditambah pengerahan tenaga sakti dan suara teriakan yang mengandung khi-kang. Pouw Kee Lui juga kaget, terpaksa melepaskan pegangannya dan mencelat mundur. Lu Sian sudah menyambar pedangnya yang menancap di lengan arca, dengan kemarahan meluap ia sudah siap lagi menghadapi lawannya yang tangguh, tangan kirinya diam-diam mengambil segenggam Siang-tok-ciam.
Pouw Kee Lui kagum menyaksikan kepandaian Lu Sian. Akan tetapi ia tahu, bahwa menghadapi gadis jelita ini, ia takkan kalah. Yang membuat ia ragu-ragu adalah setan karung itu, yang ia belum ketahui siapa, bahkan belum ia ketahui apakah isinya, manusia, binatang, ataukah setan? Akan tetapi ia dapat menduga bahwa yang berada dalam karung itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tiggi daripada kepandaian nona ini, bahkan belum tentu ia sendiri mampu menandinginya. Melihat munculnya tokoh rahasia ini tepat pada waktu Lu Sian datang mewakili Tan Hui, Ketua Khong-sim Kai-pang ini menjadi curiga dan ia berlaku lebih hati-hati. Seperti biasa, Pouw Kee Lui orangnya cerdik, dapat melihat gelagat dan tidak mau sembrono.
"Tahan dulu, Nona!" ia berseru melihat lawannya sudah siap hendak menerjangnya lagi, bahkan siap dengan jarum-jarum rahasia di tangan kiri. Ketika ia memeriksa luka akibat jarum merah yang wangi itu, ia sudah terheran dan menduga-duga, dari golongan mana wanita cantik yang menggunakan jarum beracun harum dan berwarna merah.
Lu Sian juga bukan seorang bodoh. Ia tahu bahwa ketua baru yang masih muda ini benar-benar amat lihai, dan ia masih belum tahu pula apakah atau siapakah adanya karung yang dapat bergerak aneh bahkan yang tidak termakan oleh pedangnya, yang dapat mengeluarkan hawa pukulan membikin roboh para pimpinan pengemis yang mengeroyoknya tadi dan sekarang masih bergoyang-goyang di atas kepala arca. Menghadapi seorang seperti Pouw Kee Lui, ia tidak boleh berlaku nekat dan sembrono. Maka ia pun menahan serangannya, memandang dengan mulut, hatinya masih mendongkol karena pergelangan tangan kirinya, masih terasa nyeri bekas cengkeraman Pouw Kee Lui yang kuat.
"Nona, terus terang saja, di antara kau dan aku tidak terdapat permusuhan apa-apa, bahkan selamanya baru kali ini kita saling jumpa. Urusan antara kami dan Hui-kiam-eng Tan Hui adalah urusan perkumpulan yang kupimpin, bukan urusanku pribadi, melainkan urusan Khong-sim Kai-pang. Oleh karena itu, untuk menghindarkan kesalahpahaman, bolehkah kami bertanya, siapakah Nona yang datang mewakili Tan Hui, dari golongan mana dan apa sebabnya mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui yang tidak berani datang sendiri?"
Lu Sian tersenyum mengejek. Setelah ia mendapat kenyataan bahwa ketua baru ini seorang lihai, pula di situ masih banyak terdapat pimpinan Khong-sim Kai-pang yang juga tidak boleh dipandang ringan kalau mereka maju mengeroyok, perlu ia mempergunakan nama Beng-kauw. Maka jawabnya dengan suara lantang.
"Dari golongan mana datangku, tak perlu kusebut-sebut karena terlampau besar untuk dibandingkan dengan perkumpulan segala macam jembel busuk. Akan tetapi kalau hendak mengetahui namaku, aku adalah Liu Lu Sian, adapun Ayahku adalah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan..."
"Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw)...??" Pouw Kee Lui memotong cepat dan kaget. "Betul. Nah, kau mau bicara apalagi?" Lu Sian berkata dengan suara angkuh. "Aku mendengar bahwa puteri Beng-kauwcu telah menikah dengan Kam-goanswe...?" "Sekarang tidak lagi!" Lu Sian cepat memotong. "Nah, sekarang kau mau serahkan puteri Hui-kiam-eng atau kita lanjutkan pertandingan?"
Pouw Kee Lui tersenyum. Tentu saja ia tidak takut menghadapi Lu Sian. Akan tetapi setelah ia mengetahui bahwa wanita ini adalah puteri Beng-kauwcu, ini lain lagi soalnya! Tentu saja ia tidak boleh main-main dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua dari Beng-kauw! Tidak nanti ia mau mengorbankan diri untuk membela anak buah Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis yang baru saja ia pimpin. Ia merebut kedudukan pangcu bukan karena ia terlalu mencinta para pengemis.
"Ah, kiranya puteri Beng-kauwcu! Di antara kita orang segolongan, perlu apa terjadi pertengkaran tiada artinya?"
"Kita bukan segolongan! Dan jangan kira aku datang untuk mengemis kebaikanmu. Aku bukan pengemis!"
Kembali Pouw Kee Lui tersenyum. Tidak terasa sakit hatinya karena ia sendiri pun tidak merasa sebagai pengemis biarpun ia mengepalai perkumpulan pengemis. Akan tetapi para pimpinan Khong-sim Kai-pang melototkan mata, karena mereka sebagai tokoh-tokoh pengemis merasa terhina.
"Biarlah kukembalikan anak Hui-kiam-eng, karena mengingat persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong!" Sambil berkata demikian, Pouw Kee Lui menoleh ke arah arca dan alangkah kagetnya melihat bahwa setan karung tadi sudah tidak berada lagi di tempat itu. Entah ke mana perginya! Ia meresa heran dan penasaran. Dengan kepandaiannya yang tinggi, bagaimana ia sampai tidak dapat melihat perginya mehluk aneh dalam karung itu? Ia menduga bahwa tentu karung itu terisi manusia sakti dari Beng-kauw yang terkenal dengan tokoh-tokohnya yang sakti. Ia menghela napas. Baiknya ia berlaku hati-hati. Kalau ia sampai berlaku ceroboh dan melanjutkan permusuhan dengan wanita ini, biarpun ia akan dapat menangkan Lu Sian, tapi tentu ia akan berhadapan dengan tokoh-tokoh Beng-kauw dan tentu setan karung itu seorang tokoh Beng-kauw yang akan membantu Lu Sian.
Ia memberi isyarat kepada seorang anggota kai-pang yang cepat masuk ke belakang kuil itu dan tak lama kemudian orang itu datang kembali menuntun seorang anak perempuan. Anak itu berusia lima tahun, wajahnya cantik dan masih kecil sudah tampak sifat kegagahannya karena anak itu tidak menangis, hanya dengan sepasang matanya yang bening memandang ke arah Lu Sian.
Lu Sian tersenyum kepada anak itu. "Anak baik, mari kau ikut aku pulang menemui Ayahmu." Akan tetapi anak itu diam saja, bergerak maju pun tidak, hanya memandang dengan penuh pertanyaan dan ragu-ragu, agaknya tidak percaya kepada Lu Sian. Akan tetapi ketika Lu Sian memondongnya, anak itu pun menurut saja, tidak membantah.
"Nah, sudah beres urusan kita, aku pergi Pouw-pangcu!" kata Lu Sian sambil melangkah keluar.
"Harap sampaikan hormatku kepada Beng-kauwcu!" kata Pouw Kee Lui tanpa mempedulikan sikap para pembantunya yang kelihatan penasaran. Setelah Lu Sian pergi jauh tak tampak bayangannya lagi, barulah Pouw Kee Lui menghadapi para pembantunya sambil berkata, suaranya keren.
"Kalian mau apa?" "Pangcu,sudah banyak anak buah kita celaka oleh wanita itu, pula, apakah kematian anak buah kita di tangan Tan Hui harus didiamkan saja? Bukankah hal ini, biarpun kami tahu bahwa Pangcu sengaja mengalah, akan dipandang oleh dunia kang-ouw bahwa kita telah dikalahkan oleh Tan Hui dan seorang temannya siluman betina? Bukankah Khong-sim Kai-pang akan menjadi bahan tertawaan dan..."
"Desss!" Pouw Kee Lui mengayun tangannya dan Si Pembicara itu, seorang pengemis tua, jatuh tersungkur, giginya yang tinggal buah itu meloncat keluar dari mulutnya yang berdarah.
"kau tua bangka tahu apakah? Kalian tidak tahu orang macam apakah aku ini sehingga mudah dikalahkan oleh Tan Hui dan wanita itu? Akan tetapi kalian harus menggunakan akal cerdik, tidak seperti kerbau gila asal berani menerjang saja tanpa perhitungan. Apakah kalian tidak tahu bahwa Beng-kauwcu adalah perkumpulan agama yang amat besar dan berpengaruh, menjadi tulang punggung dari Nan-cao? Ketua Beng-kauw adalah Koksu Negara Nan-cao yang dalam sedetik bisa mengumpulkan laksaan orang tentara! Kita Khong-sim Kai-pang sama sekali bukanlah lawan Beng-kauw, seperti anak kijang melawan harimau! Apakah kekuatan Khong-sim Kai-pang yang dulu dipimpin oleh seorang tua bangka lemah model Yu Jin Tianglo? Phuh, hanya dua ratusan orang! Sebelum kita menjadi besar dan kuat, jangan bertingkah hendak menentang Beng-kauw dengan jalan mencelakai puteri ketuanya. Sungguh tolol perbuatan begitu, berarti bunuh diri!"
Tercengang para pimpinan pengemis. Baru sekarang mereka mendengar keterangan yang begitu banyak isi dan alasannya. Makin tertarik mereka dan kagum akan pandangan ketua baru ini yang luas.
"Kami mentaati segala perintah Pangcu. Mohon penjelasan." Kata Si Kepala Besar. Pouw Kee Lui tertawa bergelak. "Di seluruh dunia ini, entah berapa banyaknya pengemis macam kalian yang sesungguhnya merupakan kekuatan yang besar. Akan tetapi kalian hanya berpisah-pisah secara berkelompok, merupakan kai-pang-kai-pang yang tidak ada artinya. Kalian lihat saja, aku akan menaklukkan semua kai-pang di seluruh negeri, dengan Khong-sim Kai-pang menjadi golongan teratas. Setelah itu, barulah kita menjadi kuat, dengan anak buah yang puluhan ribu orang banyaknya. Baru setelah itu, Beng-kauw dan yang lain-lain tak usah kita pandang lagi! Ha-ha-ha!"
Para pimpinan pengemis menjadi terkejut dan kagum. Memang tak pernah mereka memikirkan hal ini, dan dengan ketua seperti Pouw-pangcu ini, agaknya niat itu bukan mimpi belaka. Dahulu ketika Yu Jin Tianglo masih menjadi ketua mereka, perkumpulan Khong-sim Kai-pang sudah terkenal paling kuat. Apalagi Pouw-pangcu ini kepandaiannya jauh melebihi Yu Jin Tianglo! Maka mereka lalu tunduk mendengarkan uraian Pouw Kee Lui tentang rencananya hendak menundukkan para kai-pang, menjatuhkan ketua mereka dan kalau ada ketua kai-pang yang tidak tunduk akan dibunuhnya.
Sementara itu, sambil memondong anak perempuan Hui-kiam-eng Tan Hui, Lu Sian berlari cepat mempergunakan gin-kangnya menuju kembali ke dusun yang terletak tiga puluh li lebih, di mana ia meninggalkan pakaiannya di rumah penginapan. Anak perempuan itu tidur dalam pondongannya. Menjelang tengah malam, sampailah ia di dusun itu, terus saja ia langsung menuju ke pondok penginapan dengan niat menanti di situ sampai Tan Hui datang.
Akan tetapi pada saat itu, ia melihat banyak orang di ruangan depan penginapan. Kiranya Tan Hui baru saja kembali setelah menyelesaikan bantuannya pada para piauwsu. Pendekar ini berhasil mengalahkan para perampok dan merampas kembali barang-barang berharga yang menjadi tanggungan para pengawal. Dengan cepat Lu Sian menyelinap ke tempat gelap dan berindap-indap menghampiri rumah penginapan. Ia tidak dapat melihat jelas, akan tetapi dapat mendengar percakapan mereka. Terdengar suara seorang laki-laki yang parau, dan mudah dimengerti bahwa laki-laki itu sedang mengomeli Tan Hui, karena ucapannya begini.
"Dasar kau yang tidak mentaati nasihat orang tua! Kalau dulu-dulu kau suka menikah lagi dengan gadis pilihanku, tentu kau tidak akan merantau meninggalkan anakmu sehingga takkan terjadi urusan ini! Kau tahu sendiri betapa Lian-ji (Anak Lian) amat mencinta Siok Lan, dan dia masih terhitung saudara sepupu mendiang isterimu. Tidak akan ada wanita yang lebih tepat daripada Siok Lan untuk menjadi ibu Lian-ji..."
"Paman, harap jangan terlalu memarahi kakak Tan Hui, dia sedang menguatirkan anak Lian..." terdengar suara wanita, suaranya menggetar penuh perasaan dan tiba-tiba Lu Sian menjadi cemburu sekali. Ketika ia mengintai, di bawah sinar lampu tampaklah seorang laki-laki tua dan seorang gadis cantik di dalam ruangan itu, masih ada beberapa orang lain yang berpakaian piauwsu. Adapun Tan Hui duduk menunjang dagu di atas bangku.
Setelah menarik napas panjang berkali-kali, Tan Hui akhirnya meloncat bangun dan berkata, "Aku harus menyusulnya sekarang juga! Orang lain berusaha menolong Anakku, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"
"Kau terluka dan lelah, mana boleh pergi lagi menghadapi lawan tangguh? Tunggu sampai besok pagi juga belum terlambat." Kata suara parau.
"Akan tetapi Lauw-ko, Nona Lu pergi seorang diri, dan Khong-sim Kai-pang amat berbahaya, banyak orangnya yang pandai."
Pada saat itu, terdengar suara anak kecil berteriak. "Ayah...! Ayah...!" Dan anak perempuan yang tadi digendong Lu Sian meronta dari pondongan lalu lari masuk.
"Lian-ji...!" Seruan ini sekaligus keluar dari mulut mereka yang berada di ruangan, disusul tangis seorang wanita yang memeluk anak itu.
"Lian-ji! Syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nak..." "Bibi Lan...!" Anak itu menangis dalam pelukan gadis cantik, sedangkan tan Hui yang sudah meloncat dekat membelai rambut kepala puterinya dengan wajah berseri. Kemudian Tan Hui menghadap ke arah pintu dan berkata, "Adik Lu Sian, silakan masuk!"
Akan tetapi tidak ada orang yang masuk, tidak ada suara. Tan Hui terheran dan cepat meloncat keluar. Ia melihat bayangan Lu Sian terhuyung-huyung keluar dari halaman depan.
"Adik Lu Sian...!" Tan Hui mengejar dan ia berseru kaget ketika melihat tubuh nona itu terguling roboh. Cepat ia meloncat dekat dan memondong tubuh itu. "Kau... terluka...?" bisiknya.
Sambil merintih kesakitan Lu Sian berkata lirih. "... punggungku... terkena... jarum beracun...!" Lalu ia menjerit dan pingsan.
Kagetlah semua orang melihat Tan Hui datang memondong tubuh seorang wanita cantik yang pingsan. "Inilah Nona Lu Sian yang telah menolong Lian-ji dan membawanya pulang. Akan tetapi ia terluka parah, terkena racun. Lauw-ko, harap suka menjaga dan mengantar pulang Anak Lian lebih dulu ke rumah, biar Adik Siok Lan menemaninya. Aku harus mengantar Nona Lu Sian ini ke seorang ahli pengobatan racun, sekarang juga!"
Orang yang suaranya parau itu adalah kakak dari mendiang isteri Tan Hui. Melihat Tan Hui memondong tubuh seorang wanita cantik seperti itu, ia mengerutkan keningnya dan berkata. "Mengapa susah-susah? Apakah tidak lebih baik dirawat di penginapan sini lalu memanggil tabib?"
"Ah, kau tidak tahu, Lauw-ko. Luka jarum beracun amat berbahaya, dan hanya ahli-ahli saja yang dapat mengobatinya. Sudahlah, Nona ini telah menyelamatkan anakku sampai mengorbankan diri, bagaimana aku dapat ragu-tagu lagi untuk menolongnya? Harap Lauwko suka menjaga Lian-ji baik-baik, dan Adik Siok Lan, aku mohon bantuanmu menemani keponakanmu." Setelah berkata demikian, sambil kedua lengan memondong tubuh Lu Sian yang lemas. Tan Hui berkelebat dan sebentar saja ia sudah berada di luar rumah penginapan.
"Tan-taihiap, sekali lagi kami menghaturkan terima kasih atas bantuanmu dan maafkan kami yang tidak mampu balas menolong Tai-hiap yang menghadapi kesukaran." Seorang diantara para piauwsu itu berteriak, namun Tan Hui tidak mempedulikan mereka, dengan kecepatan luar biasa ia telah menggunakan gin-kangnya untuk berlari cepat meninggalkan dusun itu. Setengah malam penuh ia berlari cepat, bahkan pada keesokan harinya ia masih kelihatan berlari-lari cepat keluar masuk hutan dan dusun. Setelah matahari naik tinggi, Tan Hui memasuki sebuah dusun yang sunyi dan tiba-tiba ia mendengar Lu Sian mengeluh dan Tan Hui girang sekali karena tadinya ia merasa kuatir melihat Lu Sian tidak pernah bergerak dalam pondongannya, dan wajahnya pucat.
"Bagaimana, Sian-moi? Sakit sekalikah?" Ia berhenti sambil memandang wajah orang dalam pondongannya.
Lu Sian membuka mata, mengeluh lagi perlahan, lalu mengangguk. "Tan Hui Koko, kau hendak bawa aku ke manakah?"
"Di Lembah Sungai Yang-ce bagian selatan, ada seorang ahli pengobatan racun yang tinggal di kota I-kiang. Kalau aku berlari cepat, dalam tiga hari akan sampai di sana, dan kau tentu akan tertolong."
Lu Sian menggeleng kepala sambil mengerutkan alisnya yang hitam panjag dan bagus bentuknya. "Percuma, Koko, akan terlambat..."
Kaget sekali Tan Hui mendenagar hal ini, ia seorang ahli pedang dan ahli gin-kang, tidak banyak mengetahui tentang senjata-senjata beracun, maka ia menjadi kaget dan gugup. "Ah... kalau begitu... bagaimana baiknya Moi-moi?"
Sejenak Lu Sian diam saja, berpikir, lalu bertanya. "Tan Hui Koko, mengapa aku membingungkan keadaanku? Kalau aku sampai mati pun kau tidak akan rugi apa-apa!"
"Ah, jangan kau bilang begitu, Moi-moi. Kau telah mengorbankan diri untuk menolong puteriku. Aku bersedia mengorbankan nyawa untuk membalas budimu yang amat besar itu."
"Hemm, jadi hanya karena ingin membalas budi? Andaikata aku tidak menolong anakmu, tentu sekarang kau sudah tinggalkan aku mati kering di pinggir jalan tanpa peduli sedikit pun, bukan?"
"Ah... eh, bagaimana pula ini? Sian-moi, jangan kau berpikiran begitu! Biarpun kita baru saja berkenalan, akan tetapi aku... aku amat kagum dan suka kepadamu. Sudahlah, untuk apa bicara seperti ini? Sekarang yang paling penting, bagaimana harus membebaskanmu daripada bahaya racun. Sian-moi tadi kau bilang... dalam tiga hari terlambat. Bagaimana kau bisa bilang begitu? Apakah kau mengerti tentang pengaruh racun?"
"Aku tahu, bahkan aku mengerti bagaimana caranya mengobati luka karena jarum beracun ini. Akan tetapi aku sangsi apakah kau sudi melakukannya untukku." "Wah, bagus!! Tentu saja aku suka menolongmu, biarpun untuk itu aku harus korbankan apa juga. Moi-moi yang baik, lekas kaukatakan bagaimana aku dapat menyembuhkanmu!" Girang sekali Tan Hui, hal ini dapat dirasakan oleh Lu Sian yang merasa betapa kedua lengan laki-laki gagah itu memeluk tubuhnya makin erat. Diam-diam Lu Sian tersenyum di dalam hatinya.
"Tan-koko, tenanglah dulu. Kau ini lucu, melihat lukaku pun belum, kau sudah kebingungan tidak karuan. Lekaslah kau cari sebuah kamar penginapan di dusun ini."
"Kurasa tidak akan ada sebuah pun rumah penginapan di dusun kecil seperti ini." Tan Hui menjawab sangsi, memandang keadaan dusun yang sunyi itu.
"Kalau begitu, kita sewa rumah seorang petani. Nanti akan kuberi petunjuk kepadamu untuk mengobati punggungku. Mudah-mudahan saja berhasil dan nyawaku masih belum bosan tinggal di dalam badanku."
Tan Hui girang sekali dan diam-diam ia menjawab ucapan Lu Sian. "Siapa yang akan bosan tinggal di dalam tubuh seindah tubuhmu?" Akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu. Segera mereka bisa mendapatkan sebuah rumah kecil yang cukup bersih, yang mereka sewa dari keluarga petani. Dengan amat hati-hati Tan Hui meletakkan tubuh Lu Sian di atas sebuah pembaringan dalam kamar sederhana tapi cukup bersih di pondok itu.
"Aduhh...! Ah, punggungku yang terluka, kenapa kautelentangkan tubuhku...?" Lu Sian mengeluh kesakitan, membuat Tan Hui makin bingung dan cepat-cepat ia membantu wanita itu tertelungkup.
"Lekas, Koko, lekas periksa punggungku, sebelah kiri, ah, sakit sekali rasanya. Panas, perih dan gatal-gatal...!"
Tan Hui bingung melihat pinggang dan pinggul di depannya. "Ha... bagaiman bisa memeriksanya...?" ia tergagap karena memang ia merasa sungkan sekali. Punggung itu tertutup baju. Memeriksa punggung berarti harus membuka baju yang menutupnya, betapa mungkin?
"Ah, Koko, katanya kau hendak menolongku. Selagi nyawaku terancam oleh racun yang makin menghebat menjalar masuk mendekati jantungku, kau masih memakai segala sopan santun dan sungkan-sungkan? Katakanlah, kau mau menolongku atau tidak? Kalau tidak, lebih baik kau lekas pergi dan tinggalkan aku mati sendiri di sini!"
"Moi-moi kau tahu aku ingin sekali menolong..." "Kalau begitu, lekas kau buka baju di punggungku, kaurobek saja! Lekas periksa dan ceritakan kepadaku bagaimana macamnya dan di mana letaknya."
Mendengar ucapan yang keras ini, lenyap kebingungan Tan Hui. Tangannya merenggut baju di atas punggung dan "brettt!" baju luar berikut baju dalam yang tipis berwarna merah muda terobek oleh jari-jari tangannya yang kuat. Sejenak ia puyeng melihat kulit punggung yang putih halus seperti salju, dengan urat-urat merah membayang. Akan tetapi Tan Hui menggoyang kepalanya mengusir kepeningannya, dan ia berkerut kuatir melihat tujuh batang jarum merah menancap pada punggung berkulit putih halus itu, di sebelah kiri!
"Tujuh batang jarum merah!" Katanya dengan suara menggetar melihat betapa kulit di sekitar jarum-jarum itu mulai berwarna merah kebiruan, tanda keracunan hebat.
"Lekas cabut dan berikan jarum-jarumnya kepadaku!" karena ingin sekali menolong sedangkan dia sendiri memang tidak mengerti tentang senjata beracun, Tan hui memenuhi permintaan ini dengan cepat. Ketika tujuh batang jarum-jarum merah itu tercabut dan disimpan oleh Lu Sian yang memeriksa sebentar, tampak bekas tusukan jarum-jarum itu merupakan tujuh bintik-bintik merah. Lu Sian merogoh saku mengeluarkan dua batang jarum perak, memberikan jarum-jarum itu kepada Tan Hui.
"Tan-koko, kaucari lilin dan nyalakan lilin itu. Kemudian kaubakarlah ujung kedua jarum itu sebentar. Cepat, Koko. Racun ini sekali memasuki jantungku, nyawaku takkan bertahan sampai dua hari lagi!"
Mendengar ini bukan main kagetnya hati Tan Hui. Ia cepat mencari dan akhirnya datang kembali ke dalam kamar membawa lilin yang dinyalakan. Kemudian, sesuai dengan petunjuk Lu Sian, ia membakar ujung kedua jarum.
"Sekarang kautusuklah tepat di kedua jalan darah kian-ceng-hiat dengan jarum-jarum itu, Koko, diamkan sebentar lalu kautusukkan pada jalan darah hong-hu-hiat."
Jari-jari tangan Tan Hui gemetar ketika tangannya memegangi dua jarum perak, keningnya berkerut. Bermacam perasaan menggelora di dalam dadanya. Perasaan gelisah kalau-kalau Lu Sian takkan sembuh dan juga perasaan tidak karuan yang ditimbulkan oleh penglihatan di depannya! Lu Sian begitu bebas! Wanita ini seakan-akan menganggapnya bukan orang lain. Tidak sungkan-sungkan dan tidak malu-malu membuka robekan baju itu lebih besar lagi ketika ia menyuruh Tan Hui menusuk jalan darah di bawah pangkal lengan.
Biarpun dia merasa mulai lega hatinya karena kini di sekitar bintik-bintik merah itu tidak kelihatan biru lagi, namun setiap kali menusukkan jarum dan ujung jarinya menyentuh kulit punggung atau kulit lambung, Tan Hui menggigil dan terpaksa meramkan kedua matanya.
"koko, kau kenapakah...?" pertanyaan dengan suara halus merdu ini membuat Tan Hui sadar. Ia membuka matanya dan merahlah kedua pipinya ketika ia melihat betapa Lu Sian kini sudah duduk di depannya dan memandangnya dengan sepasang mata menyatakan kemakluman hati akan keadaannya!
"Aku... aku... ah, aku, telah berdosa besar terhadapmu, Moi-moi. Betapa aku berani berlancang tangan, menghadapimu, dalam keadaan begini."
Lu Sian meraih dan memegang lengan Tan Hui. "Aiih, mengapa kau bilang begitu? Koko, kau telah mengobatiku, mengapa lancang? Tentang keadaan kita seperti ini, apa salahnya? Bersamamu aku tidak merasa malu. Tan Hui Koko, bukankah... bukankah kau suka pula kepadaku seperti aku kagum dan suka kepadamu?"
Tan Hui menelan ludah. Bukan main wanita ini. Cantik jelita sukar dicari keduanya, berilmu tinggi pula. Laki-laki mana di dunia ini yang takkan tergila-gila? Apakah dia suka kepada Lu Sian? Pertanyaan gila! "Moi-moi, tentu saja aku suka kepadamu, aku kagum kepadamu. Akan tetapi ketahuilah, Sian-moi, aku hanya seorang duda yang sama sekali tidak cukup berharga untukmu dan...." Tiba-tiba Lu Sian menutupkan jari-jari tangannya yang kecil dan berkulit halus itu di depan mulut Tan hui, mencegahnya bicara lebih lanjut.
Betapapun hebatnya seseorang, sudah tentu sekali ada kelemahannya. Dan bagi pria, biasanya takkan kuat menghadapi rayuan wanita, betapa kuat pun si pria itu. Bujuk rayu seorang wanita cantik lebih dahsyat daripada gerak kilat ratusan anak panah atau ribuan mata pedang! Tan Hui adalah seorang pendekar yang memiliki nama besar. Nama julukan Hui-kiam-eng bukanlah nama kosong belaka. Ia merupakan seorang pendekar penegak keadilan dan kebenaran, penentang kejahatan, ditakuti lawan disegani kawan. Namun ia seorang laki-laki juga, malah ditinggalkan isterinya, seorang laki-laki yang haus akan cinta kasih, yang haus akan kehadiran wanita di dekatnya. Kalau saja ia tidak kematian isterinya, belum tentu ada wanita betapapun cantiknya akan dapat berhasil menggodanya. Akan tetapi kini keadaannya lain. Ia kehilangan isterinya, sedang haus akan cinta. Celakanya, ia berjumpa dengan seorang wanita seperti Lu Sian, seorang wanita yang hebat, cantik jelita, apalagi yang sudah menolong puterinya dengan pengorbanan. Wanita muda yang bajunya robek terbuka bagian punggung sampai hampir membuka dadanya, yang memegang tangannya, yang memandangnya dengan sinar mata mesra dan bibir tersenyum menantang. Herankah kita kalau kemudian Tan Hui terjungkal pertahanan batinnya dan tergila-gila membiarkan diri menjadi hamba nafsu asmara? Begitu tergila-gila pendekar ini sampai ia lupa bahwa perbuatannya ini adalah sebuah pelanggaran besar bagi seorang satria, bagi seorang pendekar! Lupa bahwa ia telah melanggar pantangan, melanggar susila. Lupa pula bahwa ia melanggar hukum keluarganya ketika ia berbisik-bisik menjanjikan kepada Lu Sian untuk menurunkan ilmu gin-kang yang luar biasa dengan keluarganya!
Tan Hui, pendekar besar berjuluk Hui-kiam-eng itu telah benar-benar menjadi mabok oleh kecantikan wajah dan keharuman tubuh Lu Sian. Mereka berdua lupa akan segala, mengejar kesenangan yang tak kunjung puas. Sampai berpekan-pekan Tan Hui dan Lu Sian berdiam di dusun sunyi itu, setiap hari bermain-main di pinggir anak sungai dalam hutan, bersenda-gurau, tertawa-tawa dan bermain cinta, di samping berlatih ilmu gin-kang yang diturunkan oleh Tan Hui kepada kekasihnya. Ilmu gin-kang keturunan keluarga Tan Hui ini memang hebat dan aneh pula cara melatihnya. Rahasia kehebatannya terletak dalam latihan pernapasan dan samadhi, cara penyaluran jalan darah di waktu mempergunakan ilmu ini untuk bergerak atau berlari cepat. Di situlah terletak perbedaannya dengan gin-kang dari golongan lain. Dan cara melatihnya pun istimewa, yaitu dengan bersamadhi dalam keadaan telanjang bulat! Inilah sebabnya mengapa Tan Hui pernah menyatakan keraguannya untuk mengajarkan gin-kang, dan menyatakan bahwa hanya orang "dalam" atau keluarga sendiri yang boleh melatihnya, karena untuk mengajar orang lain, bagaimana mungkin dengan syarat seperti itu? Akan tetapi setelah Lu Sian si cantik jelita menjadi kekasihnya, menjadi isteri walaupun di luar pernikahan, tentu saja syarat itu tidak menyusahkan mereka lagi.
Karena Lu Sian memang sudah memiliki ilmu silat tinggi, dan di samping ini juga amat cerdik, dalam waktu kurang lebih dua bulan saja ia sudah berhasil menguasai ilmu gin-kang yang diturunkan oleh kekasihnya kepadanya. Ia merasa girang sekali. Bukan hanya girang karena dapat mempelajari gin-kang yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai gin-kang nomor satu itu, juga ia merasa girang karena mendapat kenyataan bahwa Tan Hui adalah seorang kekasih yang menyenangkan hatinya. Seorang kekasih yang cocok dengannya, tidak seperti bekas suaminya, Jenderal Kam Si Ek, yang dalam segala hal ingin menonjolkan disiplin! Sudah dapat ia membayangkan berapa akan bahagia hidupnya di samping Tan Hui, karena kekasihnya ini sudah menyanggupi untuk berdua dengan dia menjelajah di dunia kang-ouw, mencari ilmu-ilmu yang lebih tinggi lagi dan sedapat mungkin ingin menjadi suami isteri jagoan nomor satu di dunia! Dengan Tan Hui di sampingnya, bukan tak mungkin cita-cita ini akan tercapai
Akan tetapi, betapapun juga, manusia takkan mampu mengatur nasibnya sendiri kalau perbuatannya bertentangan dengan prikebajikan. Mimpi yang muluk-muluk ini ternyata menghadapi kegagalan total yang menyedihkan! Pagi hari itu, ketika pagi-pagi sekali Lu Sian mendahului kekasihnya bangun dan pergi mandi di anak sungai, kebetulan datang serombongan orang mencari Hui-kiam-eng Tan Hui di dalam dusun. Mereka ini adalah serombongan piauwsu terdiri dari sembilan orang. Ketika bertemu dengan Tan Hui, mereka menceritakan bahwa mereka diminta tolong oleh kakak ipar pendekar ini untuk mencarinya sebagai pembalasan budi, tentu saja para piauwsu ini segera mencarinya. Selain menyampaikan pesan kakak iparnya agar Tan Hui segera pulang, juga para piauwsu ini membawa berita yang membuat Tan Hui hampir pingsan saking kagetnya. Akan tetapi pendekar ini masih mampu menekan perasaannya dan segera ia menyuruh pergi para piauwsu itu secepatnya sambil mengirim pesan kepada kakak iparnya bahwa ia segera pulang.
Demikianlah, ketika Lu Sian dengan wajah berseri, wajah seorang wanita dalam cinta, pulang dari anak sungai, ia disambut oleh Tan Hui dengan muka masam. Jelas sekali bahwa Tan Hui menahan-nahan gelora amarah yang mengamuk di hatinya. Menurutkan kata hatinya, ingin Tan Hui mengamuk, namun ia mencinta Lu Sian maka yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan singkat.
"Sian-moi, sampai saat ini sajalah hubungan kita. Aku hendak pergi sekarang. Selamat tinggal!"
"Eh-eh-eh, Koko, mengapa senda-guraumu tak enak benar pagi ini?" Lu Sian menangkap lengan kekasihnya yang hendak pergi itu. Ia masih menganggap kekasihnya bergurau.
Akan tetapi Tan Hui tidaklah bergurau. Ia merenggut lengannya yang dipegang Lu Sian secara kasar, sambil berkata. "Aku tidak bergurau. Aku benar-benar akan pergi meninggalkanmu karena hendak menikah dengan Siok Lan, gadis dusun yang baik!"
Tiba-tiba sepasang mata Lu Sian berkilat marah. Suaranya dingin sekali ketika ia menghadapi Tan Hui, sambil berkata, "Hemm, begitukah? Tan Hui, katakanlah apa yang menyebabkan perubahan pada dirimu ini! Mengapa kau marah-marah kepadaku dan seperti tiba-tiba membenciku? Apakah kesalahanku? Bukankah semalam kau masih memperlihatkan cinta kasih yang besat terhadap diriku dan..."
"Cukup?" Tan Hui membanting kakinya dengan marah, sedangkan mukanya berubah menjadi merah.
"Jangan sebut-sebut lagi hal itu, jangan sebut-sebut lagi perbuatan biadab kita yang tak mengenal tata susila. Perbuatan terkutuk!"
"Tan Hui, apa maksudmu? Kita saling mencinta, aku menyerahkan jiwa ragaku sebulatnya kepadamu, dan kaubilang itu terkutuk?"
"Perbuatan jina yang terkutuk! Apa kau masih ingin memaksa aku bicara? Sudahlah, aku pergi!" Tan Hui memaksa keluar dari pintu depan.
Akan tetapi Lu Sian meloncat dan menangkap lengannya. "Kau bicara! Kau keluarkan isi hatimu! Aku akan mati penasaran kalau kau tidak bicara. Hayo katakanlah, mengapa kau marah-marah dan membenci padaku!"
Dengan kening berkerut dan muka keruh Tan Hui membalikkan tubuhnya. Sejenak ia menunduk dan menarik napas panjang, lalu terdengar ia satu kali terisak. "Setiap kali aku menanyakan riwayatmu, kau selalu mengelak. Kiranya kau menyembunyikan rahasia dan aku menjadi barang permainanmu. Liu Lu Sian! Setelah kau menipuku, mewarisi gin-kang dan menyeretku ke dalam hubungan jina karena kau adalah isteri dari seorang Jederal Kam Si Ek, apakah kau sekarang masih tidak mau melepaskan aku?" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara pahit sekali oleh Tan Hui, tajam seperti pedang menusuk dada Lu Sian.
"Hemm, kiranya kau sudah tahu bahwa aku puteri Beng-kauwcu dan bekas isteri Kam-goanswe? Bekas isteri, kataku, karena aku sudah meninggalkannya. Tan Hui Koko, semalam kau masih bersikap baik, mengapa pagi-pagi ini kau berubah? Sejak kapankah kauketahui rahasiaku itu?"
"Tadi para piauwsu datang menyampaikan panggilan Lauw-ko dan mereka itu mendengar dari para pengemis Khong-sim Kai-pang tentang kau...."
"Uh-uh, begitukah? Koko berkali-kali kau bersumpah menyatakan cinta kasihmu. Apakah hal itu akan mudah kaulempar begitu saja? Apakah kau sama saja seperti lelaki-lelaki isi sampah yang bersumpah palsu, seperti kumbang yang terbang pergi begitu saja setelah menghisap madu dari kembang? Apakah kau seorang laki-laki begitu rendah ahlak?"
Tan Hui marah. "Liu Lu Sian, kau cukup tahu laki-laki macam apa aku ini! Aku pasti akan memenuhi janji-janjiku. Aku cinta kepadamu. Sampai detik ini pun aku masih cinta kepadamu, terkutuk! Akan tetapi kau adalah isteri Kam SI Ek, seorang pahlawan yang kuhormati. Aku telah berjina denganmu, ini saja sudah merupakan perbuatanku yang biadab, yang cukup membuat aku bisa mati karena malu. Akan tetapi engkau... hemm, Lu Sian, bagaimanakah Thian memberkahimu dengan wajah secantik itu dan tubuh seindah itu akan tetapi dengan hati serendah ini? Bagaimanakah kau seorang isteri dari seorang pahlawan terhormat bisa meninggalkan suami dengan bermain gila dengan laki-laki lain hanya untuk mencuri gin-kang? Kau manusia rendah, wanita tak tahu malu, biarpun aku cinta kepadamu, namun aku pun muak akan tingkah lakumu. Sudahlah, aku pergi sekarang, aku akan menikah dengan gadis kampung agar tidak dapat terjerat lagi oleh siluman betina macam engkau!"
"Harum... sedap...!" Si Pengemis mengembang-kempiskan hidungnya karena memang tercium keharuman luar biasa ketika ia mendekati Lu Sian.
Diam-diam Tan Hui mendongkol sekali terhadap pengemis itu. Memang ia sendiri diam-diam sudah menjadi heran ketika ia mencium keharuman dari tubuh Lu Sian, akan tetapi mendengar seruan kurang ajar itu ia merasa panas dadanya. Benar-benar tidak patut sikap seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang seceriwis itu!
Lu Sian sengaja melempar senyum manis, matanya bergerak-gerak dengan kerling tajam, kemudian ia berkata, "Orang tua yang baik, kau tadi bilang kepada Tan-enghiong supaya mengajak aku menghadap pangcumu agar mendapat pengampunan, apa artinya itu?"
Si Pengemis tertawa ha-hah-he-heh. "Nona seorang yang cantik luar biasa seperti bidadari, harum seperti mawar hutan. Pangcu baru kami masih muda, tentu girang hatinya bertemu dengan orang seperti Nona, dan mungkin kemarahannya terhadap orang she Tan akan mencair."
Di dalam hati Lu Sian mendongkol. Siapa sudi mendapat pujian dari seorang kakek jembel buruk seperti ini? Akan tetapi wajahnya yang jelita itu tersenyum manis. "Pengemis tua, kau seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu lihai dan terkenal sekali. Bolehkah aku mendengar namamu yang mulia dan terkenal?"
Si Kurus kegirangan, terkekeh sampai keluar air matanya. "Wah, namaku sih tidak terlalu besar akan tetapi di dunia kang-ouw tentu cukup dikenal, cukup menggemparkan. Julukanku adalah Sin-coa Koai-tung (Tongkat Aneh Ular Sakti)!"
Kakek jembel itu mengharapkan Lu Sian menjadi kagum, akan tetapi ia sejenak tercengang ketika melihat gadis itu bertepuk tangan memuji. Hanya sejenak ia bingung melihat cara menyatakan kagum seperti ini, akan tetapi hatinya lalu membengkak besar saking bangganya. "Hebat, Kakek Jembel, hebat namamu! Pantas kaugoyang-goyang selalu tongkatmu seperti ular itu! Kiranya julukanmu Ular Sakti. Wah, hebat, seperti halilintar di tengah hari panas!"
Kembali pengemis itu melengak. "Seperti halilintar di tengah hari? Wah, baru sekali ini aku mendengar pujian begitu."
"Kau tahu, bukan? Halilintar yang menyambar-nyambar mengeluarkan suara keras, takkan mendatangkan hujan! Namamu seperti gentong kosong berbunyi nyaring! Seperti perut kosong kebanyakan angin, maka angin busuk pula yang dikeluarkan!"
Tan Hui tak dapat menahan senyumnya. Wah, Lu Sian ini terlalu berani, terlalu bebas dan liar, akan tetapi juga terlalu... menarik hati! Sebaliknya, Sin-coa Koai-tung marah bukan main. Tahu-tahulah ia sekarang bahwa ia telah dipermainkan oleh wanita cantik ini.
"Uh-uh, bocah kemarin sore berani kau memandang rendah tongkatku dan nama besarku?"
"Ah, sama sekali tidak. Sin-coa Koai-tung! Hanya mengingat nama julukanmu istimewa, tentu kau pun mempunyai keistimewaan pula."
"Memang, aku mempunyai dua keistimewaan. Pertama, sekali tongkatku ini bergerak, jiwa seorang manusia melayang! Dan sekali aku melihat wanita sejelita seperti kau ini, sekaligus hatiku lemas!" Ternyata kakek ini tidak hanya lihai julukannya, juga lihai pula mulutnya sehingga serentak ia mampu membalas.
Namun ia menghadapi Liu Lu Sian, gadis yang lincah jenaka, liar ganas dan pandai bicara. "Sayang sekali, tua bangka jembel, mulai hari ini julukanmu akan terganti dengan Tongkat Buntung Ular Buduk!" Kata-kata ini ditutup dengan gerakan tangan dan "singgg!" pedang Toa-hong-kiam sudah berada di tangan kanan sedangkan tangan kirinya di saat itu juga sudah mengipatkan tujuh batang Siang-tok-ciam yang hanya tampak sebagai kilatan sinar merah menuju semuanya ke arah muka Si Pengemis Kurus!
"Aiiihhh!" Pengemis itu kaget bukan main, akan tetapi ia lihai, karena dalam kegugupannya, tongkatnya sudah diputar cepat melindungi mukanya sehingga jarum merah itu kena dipukul runtuh.
"Monyet tua, makan pedangku!" Lu Sian sudah menerjang lagi dengan pedangnya. Ia menggunakan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-hoat, cepatnya bukan main, dahsyat bagaikan angin badai, sesuai dengan sifat dan namanya. Seperti badai mengeluarkan kilat bertubi-tubi, dalam serentetan serangan pedangnya sudah menyambar ke arah lima jalan darah berturut-turut!
"Eh... orang...! Oh... ting... cring-cring-cring....!" Lima kali pengemis itu menangkis dengan tongkatnya, keringat dingin mengucur membasahi mukanya karena hampir saja ia tak dapat menahan serbuan hebat itu. Baiknya ilmu tongkatnya memang lihai maka setelah berhasil menangkis lima kali sambil mengeluarkan seruan kaget, ia melompat ke belakang menjauhkan diri agar terlepas daripada rangkaian kilat menyambar itu. Lu Sian berdiri tersenyum memandang dengan sinar mata berseri-seri mengejek.
"Ular Buduk, apakah kau tidak lekas berlutut minta ampun?"
Kalau tadinya pengemis kurus tua itu tertarik oleh kecantikan Lu Sian yang berhasil membangkitkan darah tuanya yang sudah hampir mendingin, kini kakek itu menjadi demikian marahnya sehingga serasa dadanya hampir meledak dan ia mengeluarkan kata-kata. Setelah menelan ludah beberapa kali, barulah ia berteriak-teriak. "Bocah setan, agaknya kau sudah bosan hidup!" Berkata demikian ia lalu memutar tongkatnya dan menerjang maju. Tongkatnya menusuk dengan gerakan aneh dan karena ujung tongkat yang bergerak-gerak tak menentu itu sukar diduga ke mana hendak menyerang.
Sejak tadi Tan Hui melongo kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang dan ilmu melepas jarum wanita itu. Kini ia makin kagum lagi setelah menyaksikan betapa Lu Sian menghadapi tongkat yang digerakkan sedemikian lihainya dengan cara sembarangan dan main-main saja. Pedang di tangan Lu Sian membentuk garis-garis segi delapan seperti pat-kwa. Akan tetapi anehnya, ke mana pun ujung tongkat pengemis itu meluncur, ia pasti bertemu dengan garis pedang sehingga tongkatnya terpental kembali.
"Hebat wanita ini!" diam-diam Tan Hui berpikir. Ia mencoba untuk memperhatikan dan mengenal ilmu pedang itu, namun sia-sia. Sifatnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi ada kalanya mirip Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang tersohor, namun ini hanya mirip belaka karena sifatnya benar amat berlainan. Ilmu pedang ini aneh dan menyembunyikan sifat yang amat ganas. Dalam waktu singkat saja Sin-coa Koai-tung merasai keganasan ini karena tiba-tiba garis-garis itu berobah menjadi lingkaran berputar-putar dan tiba-tiba dari kedudukan mempertahankan, pedang itu berobah menjadi fihak penyerang karena setiap tangkisan dilanjutkan dengan tusukan yang kesemuanya mengarah bagian berbahaya. Mulailah pengemis itu terdesak dan celakanya, tangan kiri Lu Sian terus menerus bergerak, sekali bergerak menyambarlah sebatang jarum merah yang berbau wangi. Sambaran jarum dibarengi tusukan pedang. Serangan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Pat-jiu Sin-ong saja sudah hebat apalagi kini ditambah dengan serangan Siang-tok-ciam, tentu saja ia menjadi repot sekali.
"Menarilah, Ular Buduk, menarilah!" Lu Sian berkata mengejek dan menyerang makin gencar dengan jarum dan pedangnya. Sengaja ia menutup jalan bawah dengan serangan jarum bertubi-tubi sedangkan pedangnya merangsang ke arah muka sehingga keadaan pengemis itu seperti seekor kera dikeroyok tawon. Ia meloncat-loncat menghindarkan kakinya dari sambaran jarum, sedangkan sedapat mungkin ia melindungi mukanya dari ancaman pedang dengan pemutaran tongkatnya yang sudah tidak karuan lagi gerakannya!
Tiba-tiba Lu Sian membentak, disusul teriakan kesakitan. Cepat sekali hal ini terjadi, tahu-tahu pengemis itu roboh dengan paha tertusuk jarum dan telinganya menggelinding ke dekat kaki Lu Sian dan sekali bacok, tongkat itupun buntung!
"Nah, bukankah kau sekarang menjadi Tongkat Buntung Ular Buduk?" Lu Sian mengejek.
Kebetulan saat itu Lu Sian berdiri membelakangi pengemis kepala besar, dan agaknya ia tidak tahu betapa dengan penuh kemarahan kakek pengemis itu sudah melompat maju dan mengirim pukulan dengan tangan kosong yang menimbulkan angin bersiutan!
"Jangan curang!" Tiba-tiba Tan Hui berseru. Tempat ia berdiri cukup jauh, akan tetapi sekali kakinya menjejak tanah, tubuhnya berkelebat cepat luar biasa dan di lain saat ia telah menangkis pukulan jarak jauh yang dilakukan pengemis kepala besar.
"Dukkk!" Dua buah lengan yang kuat bertemu dan terus menempel. Alangkah kaget hati Tan Hui ketika mendapat kenyataan betapa lengannya seakan-akan lekat dan tak dapat ditarik kembali. Ia maklum bahwa pengemis itu mempergunakan lweekang yang amat tinggi, maka terpaksa ia pun lalu mengerahkan lweekangnya untuk melawan. Mereka bertanding tanpa bergerak, hanya kedua lengan saling tempel, saling mendorong dengan pengerahan tenaga lweekang. Pertandingan macam ini selalu lebih berbahaya daripada pertandingan ilmu silat yang setiap serangan masih dapat dielakkan. Akan tetapi adu tenaga macam ini, yang kalah tentu akan menderita luka dalam yang amat berbahaya. Ketika merasa betapa tenaga pengemis itu benar-benar amat kuat, makin lama dorongan dan tekanannya makin berat, diam-diam Tan Hui mengeluh. Kalau mengandalkan ilmu silat, kiranya takkan sukar mengalahkan lawan ini, akan tetapi sekarang sudah terlanjur mengadu tenaga, sukar baginya untuk mundur lagi. Maju payah, mundur berbahaya! Terpaksa ia nekat dan mengerahkan terus tenaga dalamnya.
"Koko, mengapa begini sabar melayani dia?" Tiba-tiba Lu Sian berkata halus di belakang Tan Hui sambil menepuk pundak pendekar itu. Tan Hui kaget. Tepukan itu biarpun perlahan namun dapat mengganggu pengerahan tenaga lweekangnya, karena tepukan itu agaknya mengarah punggung dekat pundak. Namun untuk menghindarkan diri tak mungkin. Celaka, pikirnya, apakah Lu Sian ini hendak mencelakai aku? Tapi suaranya begitu merdu, panggilannya "koko" begitu mesra.
"Plakkk!" Benar-benar Lu Sian menepuk punggungnya, tempat dimana hawa sin-kang lewat dan menjurus ke lengannya yang menempel dengan lengan lawan. Akan tetapi anehnya, tenaganya bukannya buyar melainkan menjadi makin kuat dan tahu-tahu kakek berkepala besar itu mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, lalu bergulingan beberapa kali baru meloncat berdiri dengan muka pucat!
"Kalian yang curang!!" Kakek itu memaki dan begitu kedua tangannya bergerak, ia sudah menyambar sebuah batu besar di sampingnya dan melontarkannya ke arah Tan Hui dan Lu Sian. Batu itu besar sekali, beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus kati, akan tetapi tidak begitu mudah dilontarkan seperti orang melontarkan sekepal batu saja!
Hebat serangan ini, karena jarak di antara mereka hanya empat meter sedangkan batu itu menyambar amat cepat. Lu Sian berseru keras dan tubuhnya lalu ia banting ke belakang, terus ia bergulingan menjauhi tempat itu. Ia melihat dengan penuh kekaguman betapa tubuh Tan Hui mencelat ke depan agak tinggi dan tepat pendekar itu hinggap di atas batu yang menyambar lewat, seperti seekor burung saja gerakan ini, kemudian ia "menunggang" batu itu dan ketika batu jatuh ke tanah, ia pun meloncat turun!
"Wah, kalau aku memiliki ginkang seperti itu, barulah puas hidupku!" Tanpa terasa lagi Lu Sian berseru penuh kekaguman.
Kakek berkepala besar itu telah menderita luka dalam. Ia menjura lalu berkata, "Hui-kiam-eng, kepandaianmu dan temanmu memang hebat. Akan tetapi kalau kau berani mendatangi tempat pangcu kami di Kang-hu untuk menerima puterimu atau menerima kematiamu, barulah kami benar-benar kagum!" Ia lalu menghampiri temannya yang masih merintih-rintih, dan menyeretnya pergi dari situ.
Adik Lu Sian, hebat bukan main kepandaianmu! Benar-benar tak pernah kusangka. Kiam-hoatmu aneh dan hebat, adapun tenaga lweekangmu... ah, benar-benar aku seperti tidak bermata tak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang sakti!"
Lu Sian tersenyum, girang sekali hatinya. "Ah, Tan Hui Koko, mengapa kau begitu memuji setinggi langit? Kalau mau bicara tentang kelihaian, kaulah orangnya. Terutama sekali ginkangmu, benar-benar membuat aku tunduk dan kagum. Kalau saja aku dapat memiliki ginkang seperti itu, ahh.. alangkah akan bahagia hatiku."
"Bagi seorang seperti kau ini, Adik Lu Sian, tidak ada lagi yang tak mungkin di dunia. Apa sukarnya mempelajari ginkang bagi kau uang sudah mampu mempelajari ilmu silat sehebat itu?"
"Benarkah? Benarkah, Kakak yang baik? Kau suka untuk mengajarkan ginkangmu kepadaku? Ah, terima kasih... kau baik sekali, baik sekali..." saking girangnya Lu Sian memegang lengan Tan Hui dengan kedua tangannya. Sejenak mereka berdiri seperti itu, mata saling pandang, dan di dalam hati masing-masing makin tertarik. Semenjak dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia karena sakit, Tan Hui hidup penuh dengan kesunyian. Hal itu biarpun amat mendukakan hatinya, namun dapat ia tahan, karena Tan Hui adalah seorang jantan yang berbatin kuat. Tidak mudah hatinya tergoda oleh kecantikan wanita, maka selama ini ia pun tinggal menduda, sedikit pun tidak pernah menoleh ke arah wanita lain, menekuni kesunyian hidupnya. Akan tetapi pertemuannya dengan Lu Sian ini adalah luar biasa. Wanita ini luar biasa cantiknya, luar biasa pula kepandaiannya. Tidaklah heran kalau Tan Hui menjadi tertarik. Hati seorang kakek pendeta sekalipun mungkin akan tergetar kalau melihat Lu Sian yang cantik jelita, yang semerbak harum, berlagak memikat hati. Bagi Tan Hui, Lu Sian merupakan wanita yang amat menarik, apalagi kalau diingat bahwa mendiang isterinya adalah seorang wanita lemah, berbeda sekali dengan Lu Sian ini yang dalam hal kepandaian, tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri!
"Bagaimana, Koko? Tentu kau mau mengajarku ginkang, bukan?"
Sudah berada di ujung lidah Tan Hui untuk menyanggupi, akan tetapi mengingat bahwa ilmu pedang dan ilmu ginkangnya adalah kepandaian yang merupakan ilmu turunan, ia merasa agak meragu. "Aku tidak keberatan... eh, tapi... ilmu itu belum pernah diturunkan kepada orang luar... eh, maksudku, itu adalah ilmu turunan..."
Lu Sian yang masih memegang lengan Tan Hui, merapatkan tubuhnya sehingga Tan Hui terpaksa meramkan mata karena keharuman yang menyengat hidungnya membuat hatinya berguncang keras. "Apakah kau tidak mau menganggap aku orang dalam...?" Suaranya merdu lirih seperti berbisik.
Pada saat itu, sudah banyak orang berkumpul karena tadi tertarik oleh keributan di depan rumah makan. Melihat ini, Tan Hui segera berkata perlahan.
"Moi-moi, tak baik bicara di sini seperti ini. Di manakah kau tinggal? Mari kita bereskan perhitungan dengan rumah makan dulu."
"Aku tinggal di penginapan sebelah rumah makan. Biarkan aku yang membayar, Tan-koko..."
Akan tetapi sebelum mereka memasuki rumah makan, serombongan orang kelihatan berlari mendatangi. Pakaian mereka adalah pakaian ahli silat, seperti yang biasa dipakai oleh orang-orang yang pekerjaannya pengawal atau tukang pukul. Akan tetapi begitu tiba di depan Tan Hui, tujuh orang itu segera menjatuhkan diri berlutut dan setelah dekat tampaklah bahwa mereka adalah para piauwsu (pengawal barang berharga) yang mukanya penuh debu dan keringat, bahkan di antara mereka ada yang terluka sehingga pakaian mereka berlumur darah.
"Tan-taihiap (Pendekar Besar Tan), mohon suka memberi pertolongan kepada kami para piauwsu yang celaka....!" Seorang diantara mereka yang tertua dan pundaknya terluka bacokan, segera berkata dengan suara penuh permohonan. "Kebetulan sekali kami yang bercelaka mendengar akan kehadiran Taihiap di sini, maka kami segera menghadap Taihiap untuk mohon pertolongan. Kalau Taihiap tidak suka menolong, berarti kami sekeluarga akan mati...."
Tan Hui mengerutkan keningnya. Tidak patut para piauwsu yang termasuk golongan orang gagah bersikap selemah ini. "Kalian ini rombongan piauwsu dari manakah dan apa yang terjadi sehingga kalian merengek-rengek seperti anak kecil?" tanyanya berisikan teguran.
"Maaf, Taihiap, kalau sikap kami menjemukan Taihiap. Akan tetapi karena kami sudah putus harapan. Ketahuilah, Tan-hiap. Kami dari perusahaan pengantar barang Hong-ma-piauwkiok (Perusahaan Pengantar Kuda Angin). Kali ini kami ditugaskan mengantar lima peti barang-barang berharga milik seorang pembesar yang pindah tempat, yang katanya berharga ribuan tali emas. Karena perjalanan menuju kota Sui-kiang biasanya aman, kami tidak merasa kuatir apa-apa. Ternyata, di luar dugaan, di lereng bukit itu, hanya empat puluh li dari sini, kami dihadang perampok, barang-barang kami dirampas semua, bahkan diantara kami ada yang tewas dan luka-luka. Gerombolan perampok itu agaknya masih baru di sana, dipimpin oleh kepalanya yang lihai. Tan-taihiap, harap tuan sudi menolong kami, karena kami tidak mampu merampas kembali lima buah peti itu pasti perusahaan kami akan bangkrut, dan kami semua akan diseret ke penjara!"
"Kalian tidak becus melawan perampok, mengapa berani menjadi piauwsu?" Tiba-tiba Lu Sian membentak mereka. "Memang piauwsu lawannya perampok, siapa kalah harus berani menanggung resikonya, mengapa kalian ribut merengek-rengek minta bantuan orang lain? Tak tahu malu! Hayo pergi, jangan ganggu lagi, kami punya urusan yang lebih penting!"
Tujuh orang piauwsu itu kaget sekali. Mereka bingung karena tidak tahu siapa adanya wanita cantik jelita yang galak itu. Akan tetapi karena melihat wanita itu berada di situ bersama Tan Hui, mereka lalu membentur-benturkan jidat ke tanah sambil memohon-mohon dengan suara pilu.
"Sudah bertahun-tahun mendengar nama besar Tan-taihiap sebagai pendekar budiman yang selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang menghadapi melapetaka! Kini kami mohon dengan segala kerendahan hati..."
"Hemmm, sudahlah jangan banyak ribut lagi. Biar kubereskan sebentar urusan kecil itu. Di mana adanya si perampok?"
"Koko! Kau hendak memenuhi permintaan mereka yang cerewet ini? Bukan urusan kita..."
"Hanya sebentar, Sian-moi. Bukit itu tampak dari sini, dan membereskan segala macam perampok hina apa sih sukarnya? Hanya makan waktu beberapa jam juga beres."
"Aku tidak sudi mencampuri urusan piauwsu-piauwsu tengik ini!" Lu Sian cemberut. Tan Hui tersenyum. "Biarlah aku sendiri yang mengurus hal ini, harap kau suka menanti. Tak lama aku kembali."
Lu Sian tidak menjawab, keningnya berkerut dan matanya memandang ke arah para piauwsu dengan marah. Kemudian ia membalikkan tubuh memasuki rumah makan. Setelah Tan Hui pergi dengan cepatnya diikuti para piauwsu yang seakan-akan hidup kembali karena mendapat harapan besar tertolong. Lu Sian lalu dengan sikap uring-uringan membayar harga makanan, menyuruh pelayan rumah makan mengambil alat tulils, lalu ditulisnya beberapa huruf di atas kertas yang kemudian dilipatnya dan diserahkannya kepada pengurus rumah makan.
"Kalau Tan Hiap datang, kauberikan surat ini kepadanya. Awas, jangan sampai lupa, surat ini sama harganya dengan sepasang telingamu!" Pengurus itu yang tadi melihat betapa wanita kosen ini membikin buntung telinga seorang pengemis lihai, menjadi ngeri dan hanya dapat memandang dengan lidah keluar ketika Lu Sian dengan langkah gesit keluar dari situ
Mengapa terjadi keanehan pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang? Dahulu perkumpulan ini terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan dan kebaikan, di bawah pimpinan Yu Jin Tianglo yang terkenal bijaksana dan keras terhadap anak buahnya sehingga jarang terjadi anak buah perkumpulan ini berani melakukan penyelewengan.
Akan tetapai, memang terjadi perubahan hebat sejak tiga bulan yang lalu. Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih bernama Pouw Kee Lui, berasal dari pantai Lautan Po-hai, datang membuat gara-gara. Pouw Kee Lui ini bukan orang sembarangan, ia murid seorang sakti yang bertapa di dalam gua-gua sepanjang pantai Po-hai. Semenjak kecil Pouw Kee Lui digembleng oleh pertapa ini dan memperoleh ilmu silat yang tinggi sekali. Akan tetapi beberapa tahun yang lalu, ia tidak dapat menahan gelora nafsunya yang memang selalu mengalahkan batinnya sehingga ia menculik dan memperkosa seorang wanita nelayan, membunuh suami wanita itu dan beberapa orang keluarganya yang hendak membela wanita itu. Gurunya marah sekali, akan tetapi dalam cengkeraman nafsu iblis, Pouw Kee Lui turun tangan pula terhadap gurunya yang sudah amat tua dan lemah sehingga ia berhasil membunuh gurunya sendiri, kemudian membunuh pula wanita itu! Peninggalan gurunya berupa kitab-kitab pelajaran ilmu kesaktian ia ambil semua dan pergilah Pouw Kee Lui meninggalklan pantai Po-hai dengan kedua tangan berlepotan darah pembunuhan kejam! Selama bertahun-tahun ia memperdalam ilmunya, mempelajari kitab-kitab dari suhunya, maka kepandaiannya makin meningkat tinggi.
Dalam perantauannya, Pouw Kee Lui yang sudah menjadi hamba nafsu itu mengumbar nafsu angkara murka, mengandalkan kepandaiannya untuk melakukan apa saja demi memuaskan dirinya. Merampok, membunuh, merampas wanita, dan mengganggu orang-orang kang-ouw untuk mengangkat diri dan namanya sehingga dalam beberapa tahun saja terkenallah nama Pouw Kee Lui sebagai seorang tokoh muda yang ganas dan kejam sepak terjangnya.
Pada suatu hari, yaitu tiga bulan yang lalu, sampailah Pouw Kee Lui di Kang-hu dan ia mendengar tentang perkumpulan Khong-sim Kai-pang yang terkenal dan kuat. Dengan tertarik ia mendatangi markas perkumpulan itu dan tercenganglah ia menyaksikan betapa kuil tua yang dijadikan pusat perkumpulan, ternyata di sebelah dalamnya terdapat perabot-perabot rumah yang cukup lumayan dan lengkap. Tertarik pula melihat betapa kedudukan ketua perkumpulan ini amat dihormat, baik oleh anak buah Khong-sim kai-pang yang mempunyai ratusan orang anggota, maupun oleh para penduduk sekitar tempat itu. Bahkan pembesar-pembesar negeri memandang perkumpulan ini dengan hormat! Maka timbullah niatnya yang bukan-bukan yaitu ingin merampas kedudukan ketua Khong-sim Kai-pang!
Dengan tenang ia mendatangi kuil di luar kota Khang-hu, dan dengan seenaknya pula ia menyatakan kepada Yu Jin Tianglo bahwa ia ingin menjadi ketua Khong-sim Kai-pang! Tentu saja belasan orang pimpinan itu menjadi marah, namun sekaligus mereka itu dirobohkan secara mudah oleh Pouw Kee Lui! Bahkan Yu Jin Tianglo sendiri yang tentu saja mempertahankan kedudukan, terutama nama besarnya, dalam pertandingan yang hebat terbunuh olehnya!
Sifat-sifat baik seseorang sukar ditiru dan tidak mudah menular. Sebaliknya sifat-sifat buruk itu tanpa diajarkan pun akan mudah ditiru dan merupakan semacam penyakit batin yang mudah menular. Setelah menyaksikan kesaktian petualang muda itu, para pimpinan Khong-sim Kai-pang mau tak mau terpaksa tunduk, dan kemudian, melihat sifat Pouw Kee Lui atau Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis) yang baru ini jauh berlainan dengan sifat dan watak Yu Jin Tianglo, para anggota perkumpulan ini menjadi gembira sekali. Nafsu mereka yang selama berada di bawah pimpinan dan pengawasan Yu Jin Tianglo seakan-akan tertekan, kini mendapat jalan keluar dan mulailah terjadi pelanggaran-pelanggaran oleh anak buah Khong-sim Kai-pang. Bahkan dendam yang selama ini terpaksa disimpan saja di dalam hati terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui karena Yu Jin Tianglo malah menyalahkan anak buahnya sendiri, kini meluap-luap dan ketika para pimpinan menceritakan kepada ketua baru itu. Pouw Kee Lui segera mengatur rencana dan menyuruh para pimpinan yang berkepandaian cukup tinggi untuk menculik puteri Tan Hui yang baru berusia lima tahun dari rumah paman bocah itu. Hal ini dilakukan untuk langsung pergi mencari Hui-kiam-eng Tan Hui, ketua baru ini merasa dirinya terlalu tinggi!
Demikianlah peristiwa hebat yang terjadi pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang dan yang tentu saja mengherankan hati Tan Hui dan juga Lu Sian yang sudah mendengar akan kebesaran perkumpulan itu dan ketuanya, Yu Jin Tianglo.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Pouw Kee Lui melihat anak buahnya mendapat penghinaan dari Tan Hui dan seorang wanita jelita bernama Lu Sian, malah dua orang pembantunya yang ia anggap berkepandaian cukup yang ia utus menantang Hui-kiam-eng Tan Hui, juga menerima penghinaan pula. Ia anggap penghinaan melampaui batas dan ketika sore hari itu ia mengambil keputusan untuk mencari sendiri Tan Hui, tiba-tiba muncullah Lu Sian yang menerobos masuk dengan pedang di tangan dan berseru.
"Di mana adanya Yu Jin Tianglo! Aku mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui untuk mengambil kembali puterinya!"
Di dalam kuil itu para pimpinan Khong-sim Kai-pang berkumpul, malah dua orang pengemis yang telinganya buntung dan Si Kepala Besar yang menderita luka dalam juga hadir di situ. Menyaksikan seorang wanita muda dengan pedang di tangan yang demikian cantik jelita, sejenak Pouw Kee Lui melongo terpesona dan keheranan. Ia dapat menduga tentu inilah teman Tan Hui yang telah membuntungi telinga pembantunya. Ia terheran-heran bagaimana ada seorang wanita muda yang cantik jelita seperti ini mampu melakukan hal itu. Pouw Kee Lui pada hakekatnya bukanlah seorang laki-laki mata keranjang, namun kali ini ia benar-benar terpesona dan untuk sejenak ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Namun ia tidak bodoh. Ia tahu bahwa seorang, apalagi kalau ia wanita, yang sudah berani dengan sikap begini tabah memasuki sarang lawan, tentulah memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Kepandaian dua orang pembantunya bukanlah rendah, dan kalau dua orang pembantunya itu setelah bertemu dengan wanita ini pulang dalam keadaan terluka cukup hebat, terkena jarum beracun harum, telinganya buntung dan isi dadanya terguncang dan terluka, jelas bahwa di dalam kai-pang, kiranya hanya dia seorang yang akan sanggup menandingi wanita itu. Maka sebagai seorang yang berpengalaman luas, ia bersikap hati-hati, ingin tahu lebih dulu siapa gerangan wanita ini dan dari golongan mana.
Akan tetapi, begitu dua orang pengemis yang kalah di depan rumah makan itu melihat munculnya Lu Sian, mereka sudah lantas memaki dan memandang dengan mata melotot. Ini cukup menjadi isyarat bagi para pimpinan pengemis yang jumlahnya ada tujuh orang lagi. Serentak mereka itu bangkit dan mencabut senjata masing-masing. Tujuh orang pengemis ini semua adalah pengemis tua dan yang memiliki kepandaian tinggi. Lima di antara mereka, bersenjatakan tongkat mereka, sedangkan yang dua orang mencabut pedang.
Namun Lu Sian sama sekali tidak takut. Dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan yang memegang pedang menudingkan ujung pedangnya ke arah tujuh orang pengemis itu, ia membentak.
"Aku tidak ada tempo untuk berurusan dengan segala macam jembel tua bangka! Suruh Yu Jin Tianglo keluar untuk bicara denganku!"
Akan tetapi tujuh orang pengemis itu tidak ada yang menjawab atau peduli, bahkan mereka lalu membuat gerakan mengurung nona yang cantik dan galak ini. Lu Sian menjadi gemas sekali dan ia sudah siap menerjang untuk memberi hajaran ketika di belakangnya terdengar suara yang jelas dan nyaring.
"Nona, Yu Jin Tianglo yang kautanyakan itu sudah mati."
Kaget sekali Lu Sian mendengar hal ini. Ia memang mendengar dari dua orang pengemis bahwa para para pengemis sudah mempunyai ketua baru, akan tetapi tidak ia sangka bahwa Yu Jin Tianglo sudah mati. Cepat ia memutar tubuh menghadapi Si Pembicara yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui. Ia melihat sorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya sedang, kumis dan jenggotnya pendek, wajahnya berkulit kasar akan tetapi tidaklah buruk bahkan mendekati tampan. Kelihatannya orang ini lemah dan tidak mempunyai kepandaian yang tinggi, akan tetapi sepasang matanya mencorong bagaikan mata srigala. Pakaiannya biar sederhana, namun tidak ada yang ditambal, maka ia sama sekali tidak kelihatan seperti anggota pengemis, apalagi seperti ketua pengemis.
"Mati...?" Lu Sian ketika memutar tubuhnya berseru. "Ya, mati," kata Pouw Kee Lui dan senyum sinis muncul di bibirnya. "Tidak kebetulan sekali, ia mati melawan aku."
Diam-diam kagetlah Lu Sian. Siapa kira, orang macam ini mampu mengalahkan bahkan membunuh Yu Jin Tianglo yang terkenal berkepandaian tinggi? Tak masuk akal! Orang di depannya ini pantasnya seorang petani gunung, atau paling hebat seorang pedagang obat keliling.
"Hemmmm," akhirnya ia mendengus, "kau siapakah?" Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tujuh orang pengemis tua sudah serentak maju menerjangnya. Terpaksa Lu Sian memutar pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi mereka yang sudah mengurungnya. Ia segera menggunakan jurus Delapan Iblis Menahan Hujan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-hoat, sekaligus ia menangkis datangnya hujan senjata, bahkan sekaligus pula dapat balas menyerang! Terdengar suara nyaring beradunya senjata dan di antara berdentingan ini Lu Sian mendengar orang itu tertawa dan berkata dengan nada mengejek.
"Namaku Pouw Kee Lui, Nona, dan akulah sekarang Ketua Khong-sim kai-pang!"
Lu Sian marah sekali karena ia kini dapat menduga bahwa ketua baru yang kelihatan lemah itu amat curang. Tentu tadi selagi bicara memberi perintah kepada para pembantunya untuk menyerbunya, menggunakan kesempatan selagi ia agak jengah. Baiknya ia dapat menghindarkan diri dari serangan mendadak itu dan kemarahannya meluap-luap ketika ia memaki, "Pengecut tengik! Kalau tidak lekas dibebaskan puteri Tan Hui, akan kubasmi habis Khong-sim Kai-pang hari ini!"
Pouw Kee Lui memperhatikan gerakan pedang nona itu dan diam-diam ia terkejut dan heran karena ia sama sekali tidak mengenal gerakan ilmu pedang yang mirip Pat-sian Kiam-hoat itu. Ia sudah berpengalaman dan boleh dibilang mengenal ilmu pedang dari golongan manapun, baik dari partai bersih maupun dari golongan hitam. Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan nona ini sama sekali asing baginya dan ia harus akui bahwa ilmu pedang ini hebat!
Tiba-tiba tedengar suara "wesss-wessss" beberapa kali dan.... Seorang demi seorang pengemis tua yang mengeroyok Lu Sian, terjungkal roboh karena mereka merasa kaki mereka menjadi lumpuh secara mendadak. Lu Sian sendiri tidak tahu mengapa mereka itu pada roboh dengan sendirinya, maka ia tidak mau mengotori pedangnya dengan lawan yang robh bukan oleh dia. Dengan heran dia hanya menambah tendangan saja yang membuat amereka roboh mencelat keluar dari ruangan, hiruk pikik mereka memaki dan menyatakan rasa heran.
"Ilmu siluman....!" "Dia bukan manusia!" Tujuh orang pengemis itu memaki-maki. Akan tetapi Pouw Kee Lui menjadi kaget bukan main. Matanya mengerling kekiri dan ia melihat sebuah kantung besar, seperti karung tempat beras, bersandar di sudut kiri ruangan itu, di belakang patung Budha. Ia tahu betul bahwa tadinya tak pernah ada karung seperti itu. Tentu dari karung itulah datangnya hawa pukulan yang membuat para pembantunya tadi roboh, maka ia berlaku hati-hati sekali. Gadis cantik jelita itu sudah lihai ilmu pedangnya, dan masih mempunyai pembantu yang demikian hebat ilmu pukulannya dari jarak jauh. Ia harus membikin wanita ini tidak berdaya, baru ia akan menghadapi tokoh aneh yang bersembunyi itu. Pouw Kee Lui memang cerdik dan juga banyak akal bulusnya. Kini dengan wajah tersenyum dan pandang mata kagum ia melangkah maju menghampiri Lu Sian sambil menjura dan berkata.
"Lihiap benar-benar hebat sekali, membuat orang kagum!" Akan tetapi ia menjura bukan sembarang menghormat karena diam-diam ia menggunakan tenaga dalam untuk melancarkan pukulan yang amat kuat. Lu Sian kaget. Tentu saja ia sudah bersiap sedia dan sudah pula menduga bahwa ketua baru Khong-sim Kai-pang ini mungkin melakukan serangan gelap berselimut penghormatan, akan tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa tenaga serangan gelap itu akan sehebat ini. Ia merasa dadanya sesak. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga untuk melawan dorongan tenaga yang tak tampak itu, dan legalah hatinya bahwa ia berhasil mendorong mundur hawa pukulan Pouw Kee Lui. Akan tetapi pada saat keduanya bersitegang mengerahkan tenaga dan pada saat Lu Sian merasa lega karena mengira bahwa tenaga dalamnya dapat menolak mundur lawan sehingga perasaan ini membuat ia agak lengah, tiba-tiba tangan kanan Pouw Kee Lui menyambar ke depan dan tahu-tahu lengan kiri Lu Sian sudah kena dicengkeram!
Lu Sian terkejut bukan main, tak pernah mengira lawan ini selicik itu karena biasanya orang yang saling mengadu tenaga lwee-kang seperti mereka itu, sama sekali tidak mengandung lain pikiran untuk melakukan serangan gelap seperti yang dilakukan ketua pengemis ini. Dicengkram lengan kirinya, Lu Sian merasa sakit sekali, seakan-akan dari telapak tangan kanan Pouw Kee Lui keluar api yang mengalir masuk melalui pergelangan tangannya yang dicengkram. Ia kaget dan marah, lalu menggerakkan pedang di tangan kanannya dibacokkan ke arah muka lawan.
Namun tenaga bacokan ini berkurang karena ia merasa tangan kirinya sakit sekali. Agaknya Si Ketua Pengemis menambah tenaga cengkeramannya. Begitu hebatnya rasa nyeri sehingga bacokan Lu Sian tidaklah sehebat yang ia inginkan. Dengan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya, Pouw Kee Lui menangkis, tepat mengenai tangan kanan Lu Sian yang memegang pedang. Begitu keras tangkisan ini sehingga terpaksa Lu Sian melepaskan pedangnya yang meluncur ke sebelah kanannya, ke arah karung yang bersandar di sudut belakang arca! Ini saja sudah membuktikan kehebatan tenaga dan kepandaian Pouw Kee Lui yang sekaligus sambil menangkis serangan pedang, dapat membuat pedang lawan menyerang "karung" itu.
Tepat seperti yang diduganya, karung itu bukan benda mati Karena tiba-tiba karung itu mencelat ke atas dan pedang Toa-hong-kiam yang menyambarnya itu terpental dan menancap pada lengan patung. Karung itu sendiri setelah jatuh di atas lantai, membal lagi ke atas dan hinggap di atas kepala arca itu, bergoyang-goyang akan tetapi tidak jatuh ke bawah.
Sementara itu, sejenak Lu Sian terkejut sekali oleh kelihaian ketua baru Khong-sim Kai-pang ini. Namun ia segera mengerahkan khikang, tubuhnya merendah dan tangan kanan dengan jari terbuka menghantam pusar lawan sambil tangan kirinya yang masih dicengkram itu di tarik keras.
Hebat sekali serangan yang bersifat ganas ini, serangan maut dengan pukulan dari ilmu silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) ditambah pengerahan tenaga sakti dan suara teriakan yang mengandung khi-kang. Pouw Kee Lui juga kaget, terpaksa melepaskan pegangannya dan mencelat mundur. Lu Sian sudah menyambar pedangnya yang menancap di lengan arca, dengan kemarahan meluap ia sudah siap lagi menghadapi lawannya yang tangguh, tangan kirinya diam-diam mengambil segenggam Siang-tok-ciam.
Pouw Kee Lui kagum menyaksikan kepandaian Lu Sian. Akan tetapi ia tahu, bahwa menghadapi gadis jelita ini, ia takkan kalah. Yang membuat ia ragu-ragu adalah setan karung itu, yang ia belum ketahui siapa, bahkan belum ia ketahui apakah isinya, manusia, binatang, ataukah setan? Akan tetapi ia dapat menduga bahwa yang berada dalam karung itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tiggi daripada kepandaian nona ini, bahkan belum tentu ia sendiri mampu menandinginya. Melihat munculnya tokoh rahasia ini tepat pada waktu Lu Sian datang mewakili Tan Hui, Ketua Khong-sim Kai-pang ini menjadi curiga dan ia berlaku lebih hati-hati. Seperti biasa, Pouw Kee Lui orangnya cerdik, dapat melihat gelagat dan tidak mau sembrono.
"Tahan dulu, Nona!" ia berseru melihat lawannya sudah siap hendak menerjangnya lagi, bahkan siap dengan jarum-jarum rahasia di tangan kiri. Ketika ia memeriksa luka akibat jarum merah yang wangi itu, ia sudah terheran dan menduga-duga, dari golongan mana wanita cantik yang menggunakan jarum beracun harum dan berwarna merah.
Lu Sian juga bukan seorang bodoh. Ia tahu bahwa ketua baru yang masih muda ini benar-benar amat lihai, dan ia masih belum tahu pula apakah atau siapakah adanya karung yang dapat bergerak aneh bahkan yang tidak termakan oleh pedangnya, yang dapat mengeluarkan hawa pukulan membikin roboh para pimpinan pengemis yang mengeroyoknya tadi dan sekarang masih bergoyang-goyang di atas kepala arca. Menghadapi seorang seperti Pouw Kee Lui, ia tidak boleh berlaku nekat dan sembrono. Maka ia pun menahan serangannya, memandang dengan mulut, hatinya masih mendongkol karena pergelangan tangan kirinya, masih terasa nyeri bekas cengkeraman Pouw Kee Lui yang kuat.
"Nona, terus terang saja, di antara kau dan aku tidak terdapat permusuhan apa-apa, bahkan selamanya baru kali ini kita saling jumpa. Urusan antara kami dan Hui-kiam-eng Tan Hui adalah urusan perkumpulan yang kupimpin, bukan urusanku pribadi, melainkan urusan Khong-sim Kai-pang. Oleh karena itu, untuk menghindarkan kesalahpahaman, bolehkah kami bertanya, siapakah Nona yang datang mewakili Tan Hui, dari golongan mana dan apa sebabnya mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui yang tidak berani datang sendiri?"
Lu Sian tersenyum mengejek. Setelah ia mendapat kenyataan bahwa ketua baru ini seorang lihai, pula di situ masih banyak terdapat pimpinan Khong-sim Kai-pang yang juga tidak boleh dipandang ringan kalau mereka maju mengeroyok, perlu ia mempergunakan nama Beng-kauw. Maka jawabnya dengan suara lantang.
"Dari golongan mana datangku, tak perlu kusebut-sebut karena terlampau besar untuk dibandingkan dengan perkumpulan segala macam jembel busuk. Akan tetapi kalau hendak mengetahui namaku, aku adalah Liu Lu Sian, adapun Ayahku adalah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan..."
"Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw)...??" Pouw Kee Lui memotong cepat dan kaget. "Betul. Nah, kau mau bicara apalagi?" Lu Sian berkata dengan suara angkuh. "Aku mendengar bahwa puteri Beng-kauwcu telah menikah dengan Kam-goanswe...?" "Sekarang tidak lagi!" Lu Sian cepat memotong. "Nah, sekarang kau mau serahkan puteri Hui-kiam-eng atau kita lanjutkan pertandingan?"
Pouw Kee Lui tersenyum. Tentu saja ia tidak takut menghadapi Lu Sian. Akan tetapi setelah ia mengetahui bahwa wanita ini adalah puteri Beng-kauwcu, ini lain lagi soalnya! Tentu saja ia tidak boleh main-main dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua dari Beng-kauw! Tidak nanti ia mau mengorbankan diri untuk membela anak buah Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis yang baru saja ia pimpin. Ia merebut kedudukan pangcu bukan karena ia terlalu mencinta para pengemis.
"Ah, kiranya puteri Beng-kauwcu! Di antara kita orang segolongan, perlu apa terjadi pertengkaran tiada artinya?"
"Kita bukan segolongan! Dan jangan kira aku datang untuk mengemis kebaikanmu. Aku bukan pengemis!"
Kembali Pouw Kee Lui tersenyum. Tidak terasa sakit hatinya karena ia sendiri pun tidak merasa sebagai pengemis biarpun ia mengepalai perkumpulan pengemis. Akan tetapi para pimpinan Khong-sim Kai-pang melototkan mata, karena mereka sebagai tokoh-tokoh pengemis merasa terhina.
"Biarlah kukembalikan anak Hui-kiam-eng, karena mengingat persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong!" Sambil berkata demikian, Pouw Kee Lui menoleh ke arah arca dan alangkah kagetnya melihat bahwa setan karung tadi sudah tidak berada lagi di tempat itu. Entah ke mana perginya! Ia meresa heran dan penasaran. Dengan kepandaiannya yang tinggi, bagaimana ia sampai tidak dapat melihat perginya mehluk aneh dalam karung itu? Ia menduga bahwa tentu karung itu terisi manusia sakti dari Beng-kauw yang terkenal dengan tokoh-tokohnya yang sakti. Ia menghela napas. Baiknya ia berlaku hati-hati. Kalau ia sampai berlaku ceroboh dan melanjutkan permusuhan dengan wanita ini, biarpun ia akan dapat menangkan Lu Sian, tapi tentu ia akan berhadapan dengan tokoh-tokoh Beng-kauw dan tentu setan karung itu seorang tokoh Beng-kauw yang akan membantu Lu Sian.
Ia memberi isyarat kepada seorang anggota kai-pang yang cepat masuk ke belakang kuil itu dan tak lama kemudian orang itu datang kembali menuntun seorang anak perempuan. Anak itu berusia lima tahun, wajahnya cantik dan masih kecil sudah tampak sifat kegagahannya karena anak itu tidak menangis, hanya dengan sepasang matanya yang bening memandang ke arah Lu Sian.
Lu Sian tersenyum kepada anak itu. "Anak baik, mari kau ikut aku pulang menemui Ayahmu." Akan tetapi anak itu diam saja, bergerak maju pun tidak, hanya memandang dengan penuh pertanyaan dan ragu-ragu, agaknya tidak percaya kepada Lu Sian. Akan tetapi ketika Lu Sian memondongnya, anak itu pun menurut saja, tidak membantah.
"Nah, sudah beres urusan kita, aku pergi Pouw-pangcu!" kata Lu Sian sambil melangkah keluar.
"Harap sampaikan hormatku kepada Beng-kauwcu!" kata Pouw Kee Lui tanpa mempedulikan sikap para pembantunya yang kelihatan penasaran. Setelah Lu Sian pergi jauh tak tampak bayangannya lagi, barulah Pouw Kee Lui menghadapi para pembantunya sambil berkata, suaranya keren.
"Kalian mau apa?" "Pangcu,sudah banyak anak buah kita celaka oleh wanita itu, pula, apakah kematian anak buah kita di tangan Tan Hui harus didiamkan saja? Bukankah hal ini, biarpun kami tahu bahwa Pangcu sengaja mengalah, akan dipandang oleh dunia kang-ouw bahwa kita telah dikalahkan oleh Tan Hui dan seorang temannya siluman betina? Bukankah Khong-sim Kai-pang akan menjadi bahan tertawaan dan..."
"Desss!" Pouw Kee Lui mengayun tangannya dan Si Pembicara itu, seorang pengemis tua, jatuh tersungkur, giginya yang tinggal buah itu meloncat keluar dari mulutnya yang berdarah.
"kau tua bangka tahu apakah? Kalian tidak tahu orang macam apakah aku ini sehingga mudah dikalahkan oleh Tan Hui dan wanita itu? Akan tetapi kalian harus menggunakan akal cerdik, tidak seperti kerbau gila asal berani menerjang saja tanpa perhitungan. Apakah kalian tidak tahu bahwa Beng-kauwcu adalah perkumpulan agama yang amat besar dan berpengaruh, menjadi tulang punggung dari Nan-cao? Ketua Beng-kauw adalah Koksu Negara Nan-cao yang dalam sedetik bisa mengumpulkan laksaan orang tentara! Kita Khong-sim Kai-pang sama sekali bukanlah lawan Beng-kauw, seperti anak kijang melawan harimau! Apakah kekuatan Khong-sim Kai-pang yang dulu dipimpin oleh seorang tua bangka lemah model Yu Jin Tianglo? Phuh, hanya dua ratusan orang! Sebelum kita menjadi besar dan kuat, jangan bertingkah hendak menentang Beng-kauw dengan jalan mencelakai puteri ketuanya. Sungguh tolol perbuatan begitu, berarti bunuh diri!"
Tercengang para pimpinan pengemis. Baru sekarang mereka mendengar keterangan yang begitu banyak isi dan alasannya. Makin tertarik mereka dan kagum akan pandangan ketua baru ini yang luas.
"Kami mentaati segala perintah Pangcu. Mohon penjelasan." Kata Si Kepala Besar. Pouw Kee Lui tertawa bergelak. "Di seluruh dunia ini, entah berapa banyaknya pengemis macam kalian yang sesungguhnya merupakan kekuatan yang besar. Akan tetapi kalian hanya berpisah-pisah secara berkelompok, merupakan kai-pang-kai-pang yang tidak ada artinya. Kalian lihat saja, aku akan menaklukkan semua kai-pang di seluruh negeri, dengan Khong-sim Kai-pang menjadi golongan teratas. Setelah itu, barulah kita menjadi kuat, dengan anak buah yang puluhan ribu orang banyaknya. Baru setelah itu, Beng-kauw dan yang lain-lain tak usah kita pandang lagi! Ha-ha-ha!"
Para pimpinan pengemis menjadi terkejut dan kagum. Memang tak pernah mereka memikirkan hal ini, dan dengan ketua seperti Pouw-pangcu ini, agaknya niat itu bukan mimpi belaka. Dahulu ketika Yu Jin Tianglo masih menjadi ketua mereka, perkumpulan Khong-sim Kai-pang sudah terkenal paling kuat. Apalagi Pouw-pangcu ini kepandaiannya jauh melebihi Yu Jin Tianglo! Maka mereka lalu tunduk mendengarkan uraian Pouw Kee Lui tentang rencananya hendak menundukkan para kai-pang, menjatuhkan ketua mereka dan kalau ada ketua kai-pang yang tidak tunduk akan dibunuhnya.
Sementara itu, sambil memondong anak perempuan Hui-kiam-eng Tan Hui, Lu Sian berlari cepat mempergunakan gin-kangnya menuju kembali ke dusun yang terletak tiga puluh li lebih, di mana ia meninggalkan pakaiannya di rumah penginapan. Anak perempuan itu tidur dalam pondongannya. Menjelang tengah malam, sampailah ia di dusun itu, terus saja ia langsung menuju ke pondok penginapan dengan niat menanti di situ sampai Tan Hui datang.
Akan tetapi pada saat itu, ia melihat banyak orang di ruangan depan penginapan. Kiranya Tan Hui baru saja kembali setelah menyelesaikan bantuannya pada para piauwsu. Pendekar ini berhasil mengalahkan para perampok dan merampas kembali barang-barang berharga yang menjadi tanggungan para pengawal. Dengan cepat Lu Sian menyelinap ke tempat gelap dan berindap-indap menghampiri rumah penginapan. Ia tidak dapat melihat jelas, akan tetapi dapat mendengar percakapan mereka. Terdengar suara seorang laki-laki yang parau, dan mudah dimengerti bahwa laki-laki itu sedang mengomeli Tan Hui, karena ucapannya begini.
"Dasar kau yang tidak mentaati nasihat orang tua! Kalau dulu-dulu kau suka menikah lagi dengan gadis pilihanku, tentu kau tidak akan merantau meninggalkan anakmu sehingga takkan terjadi urusan ini! Kau tahu sendiri betapa Lian-ji (Anak Lian) amat mencinta Siok Lan, dan dia masih terhitung saudara sepupu mendiang isterimu. Tidak akan ada wanita yang lebih tepat daripada Siok Lan untuk menjadi ibu Lian-ji..."
"Paman, harap jangan terlalu memarahi kakak Tan Hui, dia sedang menguatirkan anak Lian..." terdengar suara wanita, suaranya menggetar penuh perasaan dan tiba-tiba Lu Sian menjadi cemburu sekali. Ketika ia mengintai, di bawah sinar lampu tampaklah seorang laki-laki tua dan seorang gadis cantik di dalam ruangan itu, masih ada beberapa orang lain yang berpakaian piauwsu. Adapun Tan Hui duduk menunjang dagu di atas bangku.
Setelah menarik napas panjang berkali-kali, Tan Hui akhirnya meloncat bangun dan berkata, "Aku harus menyusulnya sekarang juga! Orang lain berusaha menolong Anakku, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"
"Kau terluka dan lelah, mana boleh pergi lagi menghadapi lawan tangguh? Tunggu sampai besok pagi juga belum terlambat." Kata suara parau.
"Akan tetapi Lauw-ko, Nona Lu pergi seorang diri, dan Khong-sim Kai-pang amat berbahaya, banyak orangnya yang pandai."
Pada saat itu, terdengar suara anak kecil berteriak. "Ayah...! Ayah...!" Dan anak perempuan yang tadi digendong Lu Sian meronta dari pondongan lalu lari masuk.
"Lian-ji...!" Seruan ini sekaligus keluar dari mulut mereka yang berada di ruangan, disusul tangis seorang wanita yang memeluk anak itu.
"Lian-ji! Syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nak..." "Bibi Lan...!" Anak itu menangis dalam pelukan gadis cantik, sedangkan tan Hui yang sudah meloncat dekat membelai rambut kepala puterinya dengan wajah berseri. Kemudian Tan Hui menghadap ke arah pintu dan berkata, "Adik Lu Sian, silakan masuk!"
Akan tetapi tidak ada orang yang masuk, tidak ada suara. Tan Hui terheran dan cepat meloncat keluar. Ia melihat bayangan Lu Sian terhuyung-huyung keluar dari halaman depan.
"Adik Lu Sian...!" Tan Hui mengejar dan ia berseru kaget ketika melihat tubuh nona itu terguling roboh. Cepat ia meloncat dekat dan memondong tubuh itu. "Kau... terluka...?" bisiknya.
Sambil merintih kesakitan Lu Sian berkata lirih. "... punggungku... terkena... jarum beracun...!" Lalu ia menjerit dan pingsan.
Kagetlah semua orang melihat Tan Hui datang memondong tubuh seorang wanita cantik yang pingsan. "Inilah Nona Lu Sian yang telah menolong Lian-ji dan membawanya pulang. Akan tetapi ia terluka parah, terkena racun. Lauw-ko, harap suka menjaga dan mengantar pulang Anak Lian lebih dulu ke rumah, biar Adik Siok Lan menemaninya. Aku harus mengantar Nona Lu Sian ini ke seorang ahli pengobatan racun, sekarang juga!"
Orang yang suaranya parau itu adalah kakak dari mendiang isteri Tan Hui. Melihat Tan Hui memondong tubuh seorang wanita cantik seperti itu, ia mengerutkan keningnya dan berkata. "Mengapa susah-susah? Apakah tidak lebih baik dirawat di penginapan sini lalu memanggil tabib?"
"Ah, kau tidak tahu, Lauw-ko. Luka jarum beracun amat berbahaya, dan hanya ahli-ahli saja yang dapat mengobatinya. Sudahlah, Nona ini telah menyelamatkan anakku sampai mengorbankan diri, bagaimana aku dapat ragu-tagu lagi untuk menolongnya? Harap Lauwko suka menjaga Lian-ji baik-baik, dan Adik Siok Lan, aku mohon bantuanmu menemani keponakanmu." Setelah berkata demikian, sambil kedua lengan memondong tubuh Lu Sian yang lemas. Tan Hui berkelebat dan sebentar saja ia sudah berada di luar rumah penginapan.
"Tan-taihiap, sekali lagi kami menghaturkan terima kasih atas bantuanmu dan maafkan kami yang tidak mampu balas menolong Tai-hiap yang menghadapi kesukaran." Seorang diantara para piauwsu itu berteriak, namun Tan Hui tidak mempedulikan mereka, dengan kecepatan luar biasa ia telah menggunakan gin-kangnya untuk berlari cepat meninggalkan dusun itu. Setengah malam penuh ia berlari cepat, bahkan pada keesokan harinya ia masih kelihatan berlari-lari cepat keluar masuk hutan dan dusun. Setelah matahari naik tinggi, Tan Hui memasuki sebuah dusun yang sunyi dan tiba-tiba ia mendengar Lu Sian mengeluh dan Tan Hui girang sekali karena tadinya ia merasa kuatir melihat Lu Sian tidak pernah bergerak dalam pondongannya, dan wajahnya pucat.
"Bagaimana, Sian-moi? Sakit sekalikah?" Ia berhenti sambil memandang wajah orang dalam pondongannya.
Lu Sian membuka mata, mengeluh lagi perlahan, lalu mengangguk. "Tan Hui Koko, kau hendak bawa aku ke manakah?"
"Di Lembah Sungai Yang-ce bagian selatan, ada seorang ahli pengobatan racun yang tinggal di kota I-kiang. Kalau aku berlari cepat, dalam tiga hari akan sampai di sana, dan kau tentu akan tertolong."
Lu Sian menggeleng kepala sambil mengerutkan alisnya yang hitam panjag dan bagus bentuknya. "Percuma, Koko, akan terlambat..."
Kaget sekali Tan Hui mendenagar hal ini, ia seorang ahli pedang dan ahli gin-kang, tidak banyak mengetahui tentang senjata-senjata beracun, maka ia menjadi kaget dan gugup. "Ah... kalau begitu... bagaimana baiknya Moi-moi?"
Sejenak Lu Sian diam saja, berpikir, lalu bertanya. "Tan Hui Koko, mengapa aku membingungkan keadaanku? Kalau aku sampai mati pun kau tidak akan rugi apa-apa!"
"Ah, jangan kau bilang begitu, Moi-moi. Kau telah mengorbankan diri untuk menolong puteriku. Aku bersedia mengorbankan nyawa untuk membalas budimu yang amat besar itu."
"Hemm, jadi hanya karena ingin membalas budi? Andaikata aku tidak menolong anakmu, tentu sekarang kau sudah tinggalkan aku mati kering di pinggir jalan tanpa peduli sedikit pun, bukan?"
"Ah... eh, bagaimana pula ini? Sian-moi, jangan kau berpikiran begitu! Biarpun kita baru saja berkenalan, akan tetapi aku... aku amat kagum dan suka kepadamu. Sudahlah, untuk apa bicara seperti ini? Sekarang yang paling penting, bagaimana harus membebaskanmu daripada bahaya racun. Sian-moi tadi kau bilang... dalam tiga hari terlambat. Bagaimana kau bisa bilang begitu? Apakah kau mengerti tentang pengaruh racun?"
"Aku tahu, bahkan aku mengerti bagaimana caranya mengobati luka karena jarum beracun ini. Akan tetapi aku sangsi apakah kau sudi melakukannya untukku." "Wah, bagus!! Tentu saja aku suka menolongmu, biarpun untuk itu aku harus korbankan apa juga. Moi-moi yang baik, lekas kaukatakan bagaimana aku dapat menyembuhkanmu!" Girang sekali Tan Hui, hal ini dapat dirasakan oleh Lu Sian yang merasa betapa kedua lengan laki-laki gagah itu memeluk tubuhnya makin erat. Diam-diam Lu Sian tersenyum di dalam hatinya.
"Tan-koko, tenanglah dulu. Kau ini lucu, melihat lukaku pun belum, kau sudah kebingungan tidak karuan. Lekaslah kau cari sebuah kamar penginapan di dusun ini."
"Kurasa tidak akan ada sebuah pun rumah penginapan di dusun kecil seperti ini." Tan Hui menjawab sangsi, memandang keadaan dusun yang sunyi itu.
"Kalau begitu, kita sewa rumah seorang petani. Nanti akan kuberi petunjuk kepadamu untuk mengobati punggungku. Mudah-mudahan saja berhasil dan nyawaku masih belum bosan tinggal di dalam badanku."
Tan Hui girang sekali dan diam-diam ia menjawab ucapan Lu Sian. "Siapa yang akan bosan tinggal di dalam tubuh seindah tubuhmu?" Akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu. Segera mereka bisa mendapatkan sebuah rumah kecil yang cukup bersih, yang mereka sewa dari keluarga petani. Dengan amat hati-hati Tan Hui meletakkan tubuh Lu Sian di atas sebuah pembaringan dalam kamar sederhana tapi cukup bersih di pondok itu.
"Aduhh...! Ah, punggungku yang terluka, kenapa kautelentangkan tubuhku...?" Lu Sian mengeluh kesakitan, membuat Tan Hui makin bingung dan cepat-cepat ia membantu wanita itu tertelungkup.
"Lekas, Koko, lekas periksa punggungku, sebelah kiri, ah, sakit sekali rasanya. Panas, perih dan gatal-gatal...!"
Tan Hui bingung melihat pinggang dan pinggul di depannya. "Ha... bagaiman bisa memeriksanya...?" ia tergagap karena memang ia merasa sungkan sekali. Punggung itu tertutup baju. Memeriksa punggung berarti harus membuka baju yang menutupnya, betapa mungkin?
"Ah, Koko, katanya kau hendak menolongku. Selagi nyawaku terancam oleh racun yang makin menghebat menjalar masuk mendekati jantungku, kau masih memakai segala sopan santun dan sungkan-sungkan? Katakanlah, kau mau menolongku atau tidak? Kalau tidak, lebih baik kau lekas pergi dan tinggalkan aku mati sendiri di sini!"
"Moi-moi kau tahu aku ingin sekali menolong..." "Kalau begitu, lekas kau buka baju di punggungku, kaurobek saja! Lekas periksa dan ceritakan kepadaku bagaimana macamnya dan di mana letaknya."
Mendengar ucapan yang keras ini, lenyap kebingungan Tan Hui. Tangannya merenggut baju di atas punggung dan "brettt!" baju luar berikut baju dalam yang tipis berwarna merah muda terobek oleh jari-jari tangannya yang kuat. Sejenak ia puyeng melihat kulit punggung yang putih halus seperti salju, dengan urat-urat merah membayang. Akan tetapi Tan Hui menggoyang kepalanya mengusir kepeningannya, dan ia berkerut kuatir melihat tujuh batang jarum merah menancap pada punggung berkulit putih halus itu, di sebelah kiri!
"Tujuh batang jarum merah!" Katanya dengan suara menggetar melihat betapa kulit di sekitar jarum-jarum itu mulai berwarna merah kebiruan, tanda keracunan hebat.
"Lekas cabut dan berikan jarum-jarumnya kepadaku!" karena ingin sekali menolong sedangkan dia sendiri memang tidak mengerti tentang senjata beracun, Tan hui memenuhi permintaan ini dengan cepat. Ketika tujuh batang jarum-jarum merah itu tercabut dan disimpan oleh Lu Sian yang memeriksa sebentar, tampak bekas tusukan jarum-jarum itu merupakan tujuh bintik-bintik merah. Lu Sian merogoh saku mengeluarkan dua batang jarum perak, memberikan jarum-jarum itu kepada Tan Hui.
"Tan-koko, kaucari lilin dan nyalakan lilin itu. Kemudian kaubakarlah ujung kedua jarum itu sebentar. Cepat, Koko. Racun ini sekali memasuki jantungku, nyawaku takkan bertahan sampai dua hari lagi!"
Mendengar ini bukan main kagetnya hati Tan Hui. Ia cepat mencari dan akhirnya datang kembali ke dalam kamar membawa lilin yang dinyalakan. Kemudian, sesuai dengan petunjuk Lu Sian, ia membakar ujung kedua jarum.
"Sekarang kautusuklah tepat di kedua jalan darah kian-ceng-hiat dengan jarum-jarum itu, Koko, diamkan sebentar lalu kautusukkan pada jalan darah hong-hu-hiat."
Jari-jari tangan Tan Hui gemetar ketika tangannya memegangi dua jarum perak, keningnya berkerut. Bermacam perasaan menggelora di dalam dadanya. Perasaan gelisah kalau-kalau Lu Sian takkan sembuh dan juga perasaan tidak karuan yang ditimbulkan oleh penglihatan di depannya! Lu Sian begitu bebas! Wanita ini seakan-akan menganggapnya bukan orang lain. Tidak sungkan-sungkan dan tidak malu-malu membuka robekan baju itu lebih besar lagi ketika ia menyuruh Tan Hui menusuk jalan darah di bawah pangkal lengan.
Biarpun dia merasa mulai lega hatinya karena kini di sekitar bintik-bintik merah itu tidak kelihatan biru lagi, namun setiap kali menusukkan jarum dan ujung jarinya menyentuh kulit punggung atau kulit lambung, Tan Hui menggigil dan terpaksa meramkan kedua matanya.
"koko, kau kenapakah...?" pertanyaan dengan suara halus merdu ini membuat Tan Hui sadar. Ia membuka matanya dan merahlah kedua pipinya ketika ia melihat betapa Lu Sian kini sudah duduk di depannya dan memandangnya dengan sepasang mata menyatakan kemakluman hati akan keadaannya!
"Aku... aku... ah, aku, telah berdosa besar terhadapmu, Moi-moi. Betapa aku berani berlancang tangan, menghadapimu, dalam keadaan begini."
Lu Sian meraih dan memegang lengan Tan Hui. "Aiih, mengapa kau bilang begitu? Koko, kau telah mengobatiku, mengapa lancang? Tentang keadaan kita seperti ini, apa salahnya? Bersamamu aku tidak merasa malu. Tan Hui Koko, bukankah... bukankah kau suka pula kepadaku seperti aku kagum dan suka kepadamu?"
Tan Hui menelan ludah. Bukan main wanita ini. Cantik jelita sukar dicari keduanya, berilmu tinggi pula. Laki-laki mana di dunia ini yang takkan tergila-gila? Apakah dia suka kepada Lu Sian? Pertanyaan gila! "Moi-moi, tentu saja aku suka kepadamu, aku kagum kepadamu. Akan tetapi ketahuilah, Sian-moi, aku hanya seorang duda yang sama sekali tidak cukup berharga untukmu dan...." Tiba-tiba Lu Sian menutupkan jari-jari tangannya yang kecil dan berkulit halus itu di depan mulut Tan hui, mencegahnya bicara lebih lanjut.
Betapapun hebatnya seseorang, sudah tentu sekali ada kelemahannya. Dan bagi pria, biasanya takkan kuat menghadapi rayuan wanita, betapa kuat pun si pria itu. Bujuk rayu seorang wanita cantik lebih dahsyat daripada gerak kilat ratusan anak panah atau ribuan mata pedang! Tan Hui adalah seorang pendekar yang memiliki nama besar. Nama julukan Hui-kiam-eng bukanlah nama kosong belaka. Ia merupakan seorang pendekar penegak keadilan dan kebenaran, penentang kejahatan, ditakuti lawan disegani kawan. Namun ia seorang laki-laki juga, malah ditinggalkan isterinya, seorang laki-laki yang haus akan cinta kasih, yang haus akan kehadiran wanita di dekatnya. Kalau saja ia tidak kematian isterinya, belum tentu ada wanita betapapun cantiknya akan dapat berhasil menggodanya. Akan tetapi kini keadaannya lain. Ia kehilangan isterinya, sedang haus akan cinta. Celakanya, ia berjumpa dengan seorang wanita seperti Lu Sian, seorang wanita yang hebat, cantik jelita, apalagi yang sudah menolong puterinya dengan pengorbanan. Wanita muda yang bajunya robek terbuka bagian punggung sampai hampir membuka dadanya, yang memegang tangannya, yang memandangnya dengan sinar mata mesra dan bibir tersenyum menantang. Herankah kita kalau kemudian Tan Hui terjungkal pertahanan batinnya dan tergila-gila membiarkan diri menjadi hamba nafsu asmara? Begitu tergila-gila pendekar ini sampai ia lupa bahwa perbuatannya ini adalah sebuah pelanggaran besar bagi seorang satria, bagi seorang pendekar! Lupa bahwa ia telah melanggar pantangan, melanggar susila. Lupa pula bahwa ia melanggar hukum keluarganya ketika ia berbisik-bisik menjanjikan kepada Lu Sian untuk menurunkan ilmu gin-kang yang luar biasa dengan keluarganya!
Tan Hui, pendekar besar berjuluk Hui-kiam-eng itu telah benar-benar menjadi mabok oleh kecantikan wajah dan keharuman tubuh Lu Sian. Mereka berdua lupa akan segala, mengejar kesenangan yang tak kunjung puas. Sampai berpekan-pekan Tan Hui dan Lu Sian berdiam di dusun sunyi itu, setiap hari bermain-main di pinggir anak sungai dalam hutan, bersenda-gurau, tertawa-tawa dan bermain cinta, di samping berlatih ilmu gin-kang yang diturunkan oleh Tan Hui kepada kekasihnya. Ilmu gin-kang keturunan keluarga Tan Hui ini memang hebat dan aneh pula cara melatihnya. Rahasia kehebatannya terletak dalam latihan pernapasan dan samadhi, cara penyaluran jalan darah di waktu mempergunakan ilmu ini untuk bergerak atau berlari cepat. Di situlah terletak perbedaannya dengan gin-kang dari golongan lain. Dan cara melatihnya pun istimewa, yaitu dengan bersamadhi dalam keadaan telanjang bulat! Inilah sebabnya mengapa Tan Hui pernah menyatakan keraguannya untuk mengajarkan gin-kang, dan menyatakan bahwa hanya orang "dalam" atau keluarga sendiri yang boleh melatihnya, karena untuk mengajar orang lain, bagaimana mungkin dengan syarat seperti itu? Akan tetapi setelah Lu Sian si cantik jelita menjadi kekasihnya, menjadi isteri walaupun di luar pernikahan, tentu saja syarat itu tidak menyusahkan mereka lagi.
Karena Lu Sian memang sudah memiliki ilmu silat tinggi, dan di samping ini juga amat cerdik, dalam waktu kurang lebih dua bulan saja ia sudah berhasil menguasai ilmu gin-kang yang diturunkan oleh kekasihnya kepadanya. Ia merasa girang sekali. Bukan hanya girang karena dapat mempelajari gin-kang yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai gin-kang nomor satu itu, juga ia merasa girang karena mendapat kenyataan bahwa Tan Hui adalah seorang kekasih yang menyenangkan hatinya. Seorang kekasih yang cocok dengannya, tidak seperti bekas suaminya, Jenderal Kam Si Ek, yang dalam segala hal ingin menonjolkan disiplin! Sudah dapat ia membayangkan berapa akan bahagia hidupnya di samping Tan Hui, karena kekasihnya ini sudah menyanggupi untuk berdua dengan dia menjelajah di dunia kang-ouw, mencari ilmu-ilmu yang lebih tinggi lagi dan sedapat mungkin ingin menjadi suami isteri jagoan nomor satu di dunia! Dengan Tan Hui di sampingnya, bukan tak mungkin cita-cita ini akan tercapai
Akan tetapi, betapapun juga, manusia takkan mampu mengatur nasibnya sendiri kalau perbuatannya bertentangan dengan prikebajikan. Mimpi yang muluk-muluk ini ternyata menghadapi kegagalan total yang menyedihkan! Pagi hari itu, ketika pagi-pagi sekali Lu Sian mendahului kekasihnya bangun dan pergi mandi di anak sungai, kebetulan datang serombongan orang mencari Hui-kiam-eng Tan Hui di dalam dusun. Mereka ini adalah serombongan piauwsu terdiri dari sembilan orang. Ketika bertemu dengan Tan Hui, mereka menceritakan bahwa mereka diminta tolong oleh kakak ipar pendekar ini untuk mencarinya sebagai pembalasan budi, tentu saja para piauwsu ini segera mencarinya. Selain menyampaikan pesan kakak iparnya agar Tan Hui segera pulang, juga para piauwsu ini membawa berita yang membuat Tan Hui hampir pingsan saking kagetnya. Akan tetapi pendekar ini masih mampu menekan perasaannya dan segera ia menyuruh pergi para piauwsu itu secepatnya sambil mengirim pesan kepada kakak iparnya bahwa ia segera pulang.
Demikianlah, ketika Lu Sian dengan wajah berseri, wajah seorang wanita dalam cinta, pulang dari anak sungai, ia disambut oleh Tan Hui dengan muka masam. Jelas sekali bahwa Tan Hui menahan-nahan gelora amarah yang mengamuk di hatinya. Menurutkan kata hatinya, ingin Tan Hui mengamuk, namun ia mencinta Lu Sian maka yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan singkat.
"Sian-moi, sampai saat ini sajalah hubungan kita. Aku hendak pergi sekarang. Selamat tinggal!"
"Eh-eh-eh, Koko, mengapa senda-guraumu tak enak benar pagi ini?" Lu Sian menangkap lengan kekasihnya yang hendak pergi itu. Ia masih menganggap kekasihnya bergurau.
Akan tetapi Tan Hui tidaklah bergurau. Ia merenggut lengannya yang dipegang Lu Sian secara kasar, sambil berkata. "Aku tidak bergurau. Aku benar-benar akan pergi meninggalkanmu karena hendak menikah dengan Siok Lan, gadis dusun yang baik!"
Tiba-tiba sepasang mata Lu Sian berkilat marah. Suaranya dingin sekali ketika ia menghadapi Tan Hui, sambil berkata, "Hemm, begitukah? Tan Hui, katakanlah apa yang menyebabkan perubahan pada dirimu ini! Mengapa kau marah-marah kepadaku dan seperti tiba-tiba membenciku? Apakah kesalahanku? Bukankah semalam kau masih memperlihatkan cinta kasih yang besat terhadap diriku dan..."
"Cukup?" Tan Hui membanting kakinya dengan marah, sedangkan mukanya berubah menjadi merah.
"Jangan sebut-sebut lagi hal itu, jangan sebut-sebut lagi perbuatan biadab kita yang tak mengenal tata susila. Perbuatan terkutuk!"
"Tan Hui, apa maksudmu? Kita saling mencinta, aku menyerahkan jiwa ragaku sebulatnya kepadamu, dan kaubilang itu terkutuk?"
"Perbuatan jina yang terkutuk! Apa kau masih ingin memaksa aku bicara? Sudahlah, aku pergi!" Tan Hui memaksa keluar dari pintu depan.
Akan tetapi Lu Sian meloncat dan menangkap lengannya. "Kau bicara! Kau keluarkan isi hatimu! Aku akan mati penasaran kalau kau tidak bicara. Hayo katakanlah, mengapa kau marah-marah dan membenci padaku!"
Dengan kening berkerut dan muka keruh Tan Hui membalikkan tubuhnya. Sejenak ia menunduk dan menarik napas panjang, lalu terdengar ia satu kali terisak. "Setiap kali aku menanyakan riwayatmu, kau selalu mengelak. Kiranya kau menyembunyikan rahasia dan aku menjadi barang permainanmu. Liu Lu Sian! Setelah kau menipuku, mewarisi gin-kang dan menyeretku ke dalam hubungan jina karena kau adalah isteri dari seorang Jederal Kam Si Ek, apakah kau sekarang masih tidak mau melepaskan aku?" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara pahit sekali oleh Tan Hui, tajam seperti pedang menusuk dada Lu Sian.
"Hemm, kiranya kau sudah tahu bahwa aku puteri Beng-kauwcu dan bekas isteri Kam-goanswe? Bekas isteri, kataku, karena aku sudah meninggalkannya. Tan Hui Koko, semalam kau masih bersikap baik, mengapa pagi-pagi ini kau berubah? Sejak kapankah kauketahui rahasiaku itu?"
"Tadi para piauwsu datang menyampaikan panggilan Lauw-ko dan mereka itu mendengar dari para pengemis Khong-sim Kai-pang tentang kau...."
"Uh-uh, begitukah? Koko berkali-kali kau bersumpah menyatakan cinta kasihmu. Apakah hal itu akan mudah kaulempar begitu saja? Apakah kau sama saja seperti lelaki-lelaki isi sampah yang bersumpah palsu, seperti kumbang yang terbang pergi begitu saja setelah menghisap madu dari kembang? Apakah kau seorang laki-laki begitu rendah ahlak?"
Tan Hui marah. "Liu Lu Sian, kau cukup tahu laki-laki macam apa aku ini! Aku pasti akan memenuhi janji-janjiku. Aku cinta kepadamu. Sampai detik ini pun aku masih cinta kepadamu, terkutuk! Akan tetapi kau adalah isteri Kam SI Ek, seorang pahlawan yang kuhormati. Aku telah berjina denganmu, ini saja sudah merupakan perbuatanku yang biadab, yang cukup membuat aku bisa mati karena malu. Akan tetapi engkau... hemm, Lu Sian, bagaimanakah Thian memberkahimu dengan wajah secantik itu dan tubuh seindah itu akan tetapi dengan hati serendah ini? Bagaimanakah kau seorang isteri dari seorang pahlawan terhormat bisa meninggalkan suami dengan bermain gila dengan laki-laki lain hanya untuk mencuri gin-kang? Kau manusia rendah, wanita tak tahu malu, biarpun aku cinta kepadamu, namun aku pun muak akan tingkah lakumu. Sudahlah, aku pergi sekarang, aku akan menikah dengan gadis kampung agar tidak dapat terjerat lagi oleh siluman betina macam engkau!"