Bu Song terheran dan memandang ke atas. Kiranya kakek itu sudah duduk di atas cabang sebatang pohon, duduk menggantungkan kedua kakinya dan kedua tangannya menimang-nimang suling emas, mengelus-elusnya dan mengintai lubang-lubangnya. Kemudian kakek itu meniup-niup lubang suling. Memang bisa berbunyi suling itu, akan tetapi bunyinya tidak keruan dan menyakitkan telinga. Memang kakek aneh ini selamanya tidak pernah meniup suling. Beberapa kali ia berusaha meniup, bahkan mengerahkan khi-kangnya akan tetapi dalam hal meniup suling, ilmu khi-kang tidak dapat menolong banyak. Makin kuat angin memasuki lubang, makin tidak karuan bunyi suling, bahkan ketika kakek itu meniup sekerasnya, terlampau banyak tenaga angin memasuki lubang sehingga yang keluar hanya suara mendesis saja! Akhirnya kakek itu berhenti meniup, memijit-mijit kedua pelipisnya yang merasa lelah dan berdenyut, mulutnya merengut kecewa.
"Heiii, hayo kauajari aku meniup suling! Benda ini diperebutkan semua orang, apa sih kegunaannya kalau aku tidak pandai meniup dan melagukannya?"
Bu Song sudah dapat menguasai dirinya. Ia mendapat kenyataan pahit betapa kesaktian kakek itu mengandalkan kepandaian silat. Mengingat akan kesaktian kakek itu, belum tentu kalau seorang tokoh seperti itu suka melanggar janji. Mungkin kakek ini memang benar-benar hanya ingin meminjam suling emas dan mempelajari bunyinya serta tahu rahasianya. Mungkin kakek ini hanya tertarik karena semua orang memperebutkannya, karena benda ini adalah benda keramat pemberian seorang kakek yang dianggap manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu. Bu Tek Lojin sudah sedemikian saktinya, kiranya dicari tandingnya sukar di atas dunia ini, maka untuk apakah kakek itu menginginkan suling emas? Tentu hanya karena ingin tahu. Maka ia lalu menjawab,
"Bu Tek Lojin adalah seorang Locianpwe yang sakti dan berkedudukan tinggi. Betulkah kali ini tidak melanggar janji, hanya akan meminjam suling dan belajar meniupnya? Kalau betul demikian, saya yang muda tentu saja akan suka sekali memberi petunjuk tentang ilmu meniup suling kepada Locianpwe."
"Ha-ha-ha, begitu baru anak baik!" Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang turun dan ia sudah duduk di atas batu besar sambil melambaikan tangan menyuruh Bu Song mendekat. "Coba kauberitahu, bagaimana memegangnya, bagaimana meniupnya dan bagaimana membuka tutup lubang-lubangnya?"
Bu Song memeberi petunjuk sedapatnya, bahkan ia memberi contoh membunyikan suling itu, dari nada rendah sampai nada tertinggi. Akan tetapi dasar kakek itu sudah terlalu tua, sudah terlambat untuk belajar, apalagi mempelajari seni musik yang membutuhkan bakat! Bukan main sukarnya. Jari-jari tangannya canggung kaku, bibirnya sukar meniup sempurna karena terganggu kumis tebal dan ia tidak memiliki perasaan peka akan bunyi seperti perasaan seniman. Lebih dua jam kakek itu meniup-niup sampai sepasang matanya melotot dan kedua pipinya kembung, hasilnya sia-sia belaka, yang dikeluarkan dari suling hanya suara merengek-rengek seperti kucing terinjak ekornya!
Tiba-tiba kakek itu menghentikan usahanya belajar, mendengus-dengus dan dari matanya keluar dua butir air mata yang besar-besar! Kiranya saking marah dan jengkelnya melihat hasil kosong usahanya, kakek itu sampai mengeluarkan air mata.
"Tidak ada gunanya! Suling sialan, tidak ada gunanya. Hanya suara iblis yang keluar dari lubangnya. Untuk apa diperebutkan? Suling keparat lebih baik dihancurkan!" Setelah berkata demikian, kakek itu menghantamkan suling itu kepada batu yang didudukinya, berulang-ulang. Terdengar suara keras dan tampak bunga api berpijar keluar ketika suling bertemu dengan batu.
"Locianpwe, jangan...!" Bu Song kaget dan mencegah sambil melangkah maju karena ia khawatir kalau-kalau sulingnya akan rusak. Akan tetapi sebuah dorongan tangan kiri kakek itu mengeluarkan angin yang menghantam dadanya dan membuat Bu Song terpelanting ke belakang!
Kakek itu agaknya makin marah ketika mendapat kenyataan bahwa suling itu tidak rusak sama sekali biarpun ia pukul-pukulkan batu, bahkan batunya yang remuk-remuk di bagian yang dipukul suling.
"Locianpwe, harap jangan marah. Suara suling itu dapat dibarengi bunyi sajak, baru selaras dan nikmat didengar!" Dalam gugupnya, Bu Song sengaja bicara terus terang akan rahasia suling.
Tangan yang sudah diangkat untuk menghantamkan suling sekuatnya pada batu itu berhenti bergerak. Kakek itu memandangnya seperti orang terheran-heran. "Kau tahu pula akan kitab kuno yang dibawa Ciu Gwan Liong? Apakah begitu kebetulan sehingga engkau mendapatkan kitab itu pula?"
Bu Song menggeleng kepala. "Kitab apakah, Locianpwe? Saya hanya pernah mendengar Suhu bersyair yang katanya Suhu dengar dari Locianpwe Bu Kek Siansu dan yang ternyata menjadi timpalan bunyi suling ini."
Berubah wajah kakek itu, matanya bersinar-sinar. "Bagaimana bunyinya? Hayo perdengarkan padaku, bagaimana bunyinya!"
"Locianpwe, syair dan bunyi suling harus dilagukan bersama, barulah dapat dinikmati perpaduannya yang luar biasa. Oleh karena hal ini membutuhkan dua orang maka biarlah Locianpwe menghafal bunyi syair, kemudian kita berdua mainkan lagu mujijat ini, Locianpwe yang membaca syair dan saya yang menyuling."
"Boleh, boleh!" Kakek itu berkata tak sabar. "Lekas kauperdengarkan, akan kuhafalkan!"
"ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA!
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
Sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Bu Song sengaja memilih syair terakhir dari kitab kuno itu yang telah membuat Ciu Bun girang luar biasa. Mula-mula Bu Tek Lojin mengikuti dan meniru bunyi syair sebaris demi sebaris, kemudian setelah hafal, kakek itu berseri-seri wajahnya, sajak itu dihafal berulang-ulang dan makin lama suaranya menjadi makin nyaring!
Tiba-tiba kakek itu menubruk dan meloncat, kedua lengannya merangkul pundak Bu Song dan memeluknya!
"Anak baik! Lekas kautiup suling ini, lekas beri kesempatan telingaku mendengar perpaduannya...!"
Bu Song lalu duduk bersila, sambil berkata, "Mulailah, Locianpwe, saya akan mengiringi dengan bunyi suling."
Kakek itu pun melompat berdiri di atas batu besar, membusungkan dada, menengadah ke langit lalu membaca syair itu kuat-kuat dengan suara dilagukan seperti yang dipelajarinya dari Bu Song tadi. Lambat-lambat keluarnya suara itu, dan berirama. Suara suling yang ditiup Bu Song mengiringi dan karena Bu Song berusaha memenangkan kakek itu dengan cara ini, maka ia mencurahkan seluruh perhatian dan perasaannya sehingga suara suling itu luar biasa sekali, menggetar-getar dan mengalun, menggores perasaan.
Mula-mula kakek itu nampak gembira, suaranya makin nyaring dan setelah habis syair itu ia baca, ia mengulanginya lagi dari permulaan, makin lama suaranya makin penuh perasaan, matanya bersinar-sinar, kulit mukanya sebentar pucat sebentar merah dan tak lama kemudian air mata bertitik-titik turun dari kedua matanya. Suaranya mulai menggetar-getar, kemudian menjadi parau dan akhirnya ia tidak melanjutkan nyanyiannya, melainkan jatuh duduk di atas batu terisak-isak menangis, menjambak-jambak rambutnya seperti orang gila, kemudian tertawa-tawa dan menangis lagi!
Bu Song kaget sekali. Sungguh jauh bedanya akibatnya yang menimpa diri kakek ini kalau dibandingkan dengan Ciu Bun. Sastrawan itu menerima hikmat perpaduan suara mujijat itu dengan penuh kebahagiaan, sebaliknya kakek ini menjadi seperti orang gila. Bu Tek Lojin masih terisak-isak, kemudian ia meloncat turun dari atas batu, berjingkrak-jingkrak dan tertawa-tawa, meloncat lagi ke atas batu dan akhirnya ia terduduk dengan lemas. Duduk bersila seperti orang bersamadhi, kedua lengannya bersilang di depan dada, mukanya menunduk dan ia tidak bergerak-gerak lagi seperti berubah menjadi arca!
Bu Song melihat semua tingkah kakek itu dengan mata terbelalak. Pemuda ini masih duduk bersila di atas batu lain, tiga meter jauhnya dari tempat kakek itu. tadinya ia terheran-heran dan tidak dapat menduga apa yang selanjutnya akan terjadi. Ia tidak tahu apakah akibatnya nanti akan baik baginya atau tidak. Namun harus ia akui bahwa perpaduan suara itu benar-benar mengandung sesuatu kemujijatan yang luar biasa. Dia sendiri hanya merasa betapa nikmat paduan suara syair dan suling itu. Tadinya ia girang melihat betapa kakek itu menangis dan menjambaki rambutnya, kini ia merasa kuatir karena kakek itu diam seperti berubah menjadi batu. Dengan hati-hati ia memanggil.
"Locianpwe...!" Kakek itu tidak menjawab. Bu Song bukan seorang bodoh. Seharusnya ia menggunakan kesempatan ini untuk pergi dengan aman, membawa pergi suing emas yang dicari oleh orang-orang pandai itu. Akan tetapi, dia seorang yang memiliki dasar hati penuh welas asih (belas kasihan) kepada orang lain. Melihat kakek itu seperti orang berduka, ia menjadi iba hati dan perlahan ia meniup lagi sulngnya, lirih namun amat merdu karena ditiup dengan penuh perasaan.
Belum habis ia meniup suling, kakek itu bergerak lalu mengangkat mukanya memandang kepada Bu Song. Ternyata kedua matanya merah dan basah.
"Bu Song, lekas kaumainkan semua jurus Pat-jiu Kiam-hoat dengan suling itu! Jangan melawan kalau aku menotok dan memukulmu. Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk membalas budimu yang telah membuka mata hatiku. Mulailah, Anak baik!"
Bu Song tidak tahu apa yang akan dilakukan kakek itu. akan tetapi karena ia maklum bahwa menghadapi kakek ini ia sama sekali tidak berdaya, maka ia tidak membantah dan menyerahkan keselamatan dirinya kepada Tuhan. Mulailah ia mainkan suling itu dengan jurus pertama dari Pat-sian Kiam-hoat. Tiba-tiba berkelebat bayangan kakek itu yang melayang turun dari atas batu dan ketika melakukan gerak jurus pertama, Bu Song merasa betapa lambungnya tertotok. Ia kaget namun tidak melawan dan bukan main herannya karena jurus pertama yang dilakukan dengan tusukan suling dari pinggang itu sama sekali tidak terganggu oleh totokan, malah ia merasa betapa hawa sakti di tubuhnya tersalur keluar melalui lambung yang baru saja terkena totokan sehingga jurus yang ia gerakkan itu mengandung tenaga yang jauh lebih kuat daripada biasanya. Bu Song menjadi girang, lenyap semua sisa kekuatirannya karena ia maklum bahwa kakek ini membantunya, membantu membuka "pintu" dalam tubuh agar hawa sakti yang ia salurkan dari pusat dapat lancar. Ia teringat akan cerita suhunya bahwa ilmu semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Penggunaan hawa sakti dalam tubuh untuk disalurkan ke dalam tubuh ke dalam tubuh orang lain, seperti dalam pengobatan, jika dilakukan akan membahayakan tubuh penolong itu sendiri. Namun Bu Song tidak sempat mencegah lagi karena ia sudah bersilat menghabiskan enam belas jurus Pat-sian Kiam-hoat gubahan suhunya dan enam belas kali ia merasa ditotok dan dipukul di bagian-bagian tertentu dari tubuhnya oleh kakek itu yang melakukannya dengan amat cepat dari belakang, kanan kiri atau dari depan.
Begitu selesai mainkan Pat-sian Kiam-hoat, Bu Song menyimpan sulingnya dan cepat menengok. Kiranya kakek itu sudah bersila lagi di atas batu, mukanya pucat seperti mayat, matanya tertutup dan sama sekali tubuhnya tidak bergerak. Bu Song meloncat mendekati dan memanggil lirih, "Locianpwe...!" Kakek itu tidak menjawab. Melihat keadaan orang yang pucat dan payah, makin yakin hati Bu Song bahwa kakek itu telah mengorbankan diri dan menurunkan ilmu yang hebat kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Locianpwe, banyak terima kasih teecu haturkan atas budi kebaikan Locianpwe!"
Kembali tidak ada jawaban. Sampai lama Bu Song berlutut. Karena tidak ada suara apa-apa dari kakek itu, Bu Song mengangkat muka memandang. Hatinya khawatir. Kakek itu duduk seperti mayat kaku. Ia meloncat ke atas batu dan mengulur tangan meraba. Bukan main kagetnya ketika meraba dada, sama sekali tidak ada tanda-tanda kakek itu bernapas! Juga jantung di dada tidak terasa detiknya. Bu Song meraba pergelangan tangan. Juga tidak berdetik. Tangan yang ditaruh di depan hidung kakek itu pun tidak merasai hembusan napas! Kakek ini telah mati!
Karena menyangka bahwa kakek itu mati kehabisan tenaga setelah membantunya menyempurnakan gerakan dengan bantuan hawa sakti tadi, Bu Song menjadi terharu dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menitikkan air mata! Kemudian ia melompat turun, mencari tempat yang baik untuk membuat lubang di tanah. Tak jauh dari situ, sekira sepuluh meter jauhnya, terdapat sebatang pohon. Di bawah pohon itulah Bu Song lalu menggali lubang, hanya menggunakan sebuah batu runcing dibantu tangannya dengan pengerahan tenaga dalam. Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya pekerjaannya selesai. Sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam terbuka. Selagi ia hendak menghampiri kakek itu yang duduk bersila dan disangka mati itu melayang langsung ke dalam itu dan kini duduk di dalam lubang dalam keadaan bersila!
Bu Song bengong. Lalu berlutut sambil memanggil, "Locianpwe...!" Hatinya girang karena jelas bahwa Bu Tek Lojin belum mati. Kalau sudah mati, mana mungkin ada mayat bisa meloncat sehebat itu memasuki lubang? Akan tetapi kalau masih hidup, kenapa tidak bernapas dan tidak terasa detik perjalanan darahnya, dan mengapa pula diam saja dan malah masuk sendiri ke dalam lubang kuburan?
Setelah berkali-kali memanggil tanpa jawaban, tahulah Bu Song bahwa kakek itu sudah tidak mau melayaninya, maka dia lalu berlutut memberi penghormatan terakhir sambil berkata,
"Locianpwe, sekali lagi terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe. Perkenankan teecu pergi melanjutkan perjalanan mencari Suhu."
Kemudian ia bangkit berdiri, untuk beberapa menit memandang tubuh yang seperti arca duduk bersila di dalam lubang itu, kemudian ia menghela napas dan membalikkan tubuh, pergi dari tempat itu dengan langkah-langkah lebar.
Pergantian kekuasaan terjadi secara lunak. Benar luar biasa, sungguhpun selama jaman Lima Dinasti yang setengah abad lamanya itu (907-960), kerajaan jatuh bangun tanpa ada perang saudara yang cukup serius. Akan tetapi habisnya jaman Lima Dinasti yang diambil alih oleh Kerajaan Sung ini benar-benar merupakan peralihan kekuasaan yang paling lunak. Hal ini adalah karena Jenderal Cao Kuang Yin menguasai sebagian terbesar bala tentara, di samping politiknya yang lunak sehingga dia sama sekali tidak membolehkan anak buahnya melakukan kekerasan dan gangguan di kota raja. Keluarga kerajaan "musuh" pun tak seorang pun diusik, bahkan banyak di antara mereka diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.
Biarpun keadaan di kota raja sendiri aman tenteram dan tidak terjadi banyak keributan dalam peralihan kekuasaan itu, namun peristiwa itu menarik perhatian suku bangsa Khitan yang sejak dulu menjadi musuh besar. Kerajaan Khitan menduga bahwa tentu keadaan di kota raja menjadi kacau karena peralihan kekuasaan ini. Oleh karena itulah maka bala tentara Khitan lalu menyerbu dari utara. Juga kerajaan-kerajaan lain ingin mengambil keuntungan dari peralihan kekuasaan ini dan mereka mengadakan serangan ke perbatasan untuk memperlebar wilayah mereka, menggunakan kesempatan selagi para pemimpin pasukan di perbatasan kebingungan karena mendengar tentang pergantian kekuasaan di kota raja.
Mendengar tentang serangan-serangan dari empat penjuru ini, Kaisar Sung pertama, menjadi marah dan segera mengirim pasukan-pasukan dan utusan-utusan ke perbatasan untuk membantu para pasukan lama di sana sambil mengangkat pemimpin lama menjadi pemimpin baru. Adapun yang paling diperhatikan adalah serangan dari utara, dari suku bangsa Khitan, oleh karena memang dari suku bangsa Khitan inilah datangnya bahaya yang paling besar. Untuk menghalau musuh lama ini, Kaisar Sung Thai Cu lalu mengerahkan sebuah barisan besar, dipimpin oleh panglima-palingma pembantunya yang setia dan gagah perkasa, pandai mengatur barisan. Selain ini, juga kaisar yang bijaksana dan pandai mempergunakan tenaga ini memanggil Kim-mo Taisu dan minta bantuan pendekar ini untuk menyertai barisan besar itu melawan pasukan-pasukan Khitan yang terkenal kuat dan memiliki panglima-panglima yang berkepandaian tinggi pula.
Kim-mo Taisu maklum bahwa hanya kaisar kerjaan baru inilah yang dapat diharapkan akan mendatangkan kemakmuran kepada rakyat, maka dengan rela hati ia mengulurkan bantuannya dan berangkatlah Kim-mo Taisu dengan barisan Kerajaan Sung yang pertama kali mengadakan ekspedisi ke utara untuk melawan musuh besar mereka, yaitu bangsa Khitan. Selain memang suka membantu kaisar ini, juga Kim-mo Taisu memiliki urusan pribadi di utara, yaitu untuk mencari musuh lamanya, ialah Ban-pi Lo-cia si tokoh Khitan yang sakti. Juga ingin ia bertemu kembali dengan musuh lamanya, Bayisan manusia Khitan yang curang. Ingin ia memberi hajaran orang itu untuk kedua kalinya!
Pada masa itu, kedudukan bangsa Khitan sudah jauh, sudah melewati tembok besar yang tadinya dibangun dengan maksud mencegah masuknya musuh-musuh seperti bangsa Khitan! Hal ini terjadi ketika Dinasti Cin (936-947) berdiri. Kerajaan Cin hanya dapat berdiri dan merebut kekuasaan dari Kerajaan Tang muda karena bantuan barisan Khitan. Untuk jasa ini, Kerajaan Cin memberikan wilayah ujung timur laut di sebelah selatan tembok besar sampai ke kota besar Yen (Peking sekarang), juga wilayah Pegunungan Yin-san. Wilayah yang luas dan jauh lebih subur daripada daerah kekuasaan bangsa Khitan sendiri jauh di utara.
Ketika barisan besar dari Kerajaan Sung sudah menyeberangi Pegunungan Tai-hang-san di sebelah selatan Peking, tiba-tiba muncullah pasukan-pasukan Khitan dari segala jurusan dan terjadilah perang hebat di sekitar lereng pegunungan Tai-hang-san. Perang yang berlangsung dengan seru dan baru berakhir setelah matahari menyelam di sebelah barat. Pasukan-pasukan Khitan seperti pasukan-pasukan setan melenyapkan diri dan sunyilah keadaan di sekitar bekas tempat peperangan. Mayat-mayat menggeletak bergelimpangan dan udara penuh dengan bau amisnya darah, penuh pula dengan rintihan dan keluhan mereka yang menderita luka.
Para Panglima Sung memerintahkan pasukan-pasukan dalam barisan besar untuk mundur di balik puncak Tai-hang-san dan membuat perkemahan besar di lapangan terbuka sehingga tidak memungkinkan pihak musuh untuk melakukan penyerbuan serentak. Bendera besar Kerajaan Sung dipasang di tengah-tengah perkemahan, dikelilingi oleh bendera-bendera para panglima yang memimpin barisan itu. Dalam perang ini, Kim-mo Taisu tidak ikut maju karena pendekar ini melihat betapa di pihak Khitan juga tidak ada tokoh bukan tentara yang ikut perang. Ikut sertanya dalam barisan itu adalah untuk menandingi orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia. Kalau hanya perang biasa, pasukan lawan pasukan, tidak perlu ia bantu karena selain ia tidak mengerti tentang mengatur pasukan dan siasat perang, juga hal ini selain merendahkan kemampuan pasukan Sung, juga dapat merendahkan namanya sendiri sebagai pendekar sakti.
Malam itu para penjaga perkemahan menjaga dengan penuh kewaspadaan, akan tetapi juga diam tidak berani mengeluarkan suara ribut. Para panglima sudah memberi perintah agar malam itu dipergunakan betul-betul oleh pasukan untuk beristirahat secukupnya agar besok menjadi segar kembali untuk menghadapi lawan. Karena itulah maka tidak ada penjaga yang bermain kartu, tidak ada yang bersenda-gurau dan malam menjadi sunyi sekali.
Namun pada pagi harinya, para penjaga menjadi gempar ketika mereka melihat betapa bendera-bendera itu kini telah lenyap dan di atas tiang bendera yang tengah, yang paling tinggi, tampak sebuah benda kecil bergantung. Dalam keadaan terjaga keras dan rapat, ada orang dapat menyelundup masuk ke dalam perkemahan sudah merupakan hal aneh. Akan tetapi kalau orang itu dapat mengambil semua bendera lalu meninggalkan sesuatu di puncak tiang tanpa merobohkan tiang-tiang bendera, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa.
Beberapa orang penjaga hendak menurunkan tiang untuk mengambil benda yang tergantung di atas, akan tetapi komandan jaga melarangnya. "Jangan sentuh! Biar kita melapor ke dalam agar panglima menyaksikan sendiri hal ini. Siap saja untuk menerima teguran, mungkin hukuman!" Dengan muka pucat dan lesu komandan jaga lalu menghadap para panglima yang juga sudah bangun karena mendengar suara ribut-ribut di luar.
Empat orang panglima yang memimpin barisan itu berlari-lari keluar. Semalam mereka semua dalam barisan, dari perajurit sampai panglima, tidak ada yang menanggalkan pakaian seragam dan selalu berdekatan dengan senjata. Empat orang panglima itu masih dalam pakaian dinas, hanya muka dan rambut mereka kusut karena begitu bangun tidur mereka berlarian keluar. Mereka berhenti di luar tenda untuk menerima pelaporan komandan jaga yang melapor dengan suara gemetar, menceritakan betapa keras dan ketat mereka melakukan penjagaan semalam, namun ternyata pagi hari itu semua bendera lenyap dan sebagai gantinya di ujung tiang tengah yang paling tinggi, terdapat sebuah benda kecil tergantung di atas.
Pada saat itu, Kim-mo Taisu dengan tenang juga sudah datang ke tempat itu. Empat orang panglima itu saling pandang dengan kening berkerut, lalu memberi perintah untuk mencatat semua perajurit dan komandannya yang bertugas jaga malam itu untuk dihukum kelak kalau memang mereka bersalah dan lalai. Setelah itu, bersama Kim-mo Taisu, mereka melangkah keluar. Para perajurit yang tadinya ribut-ribut kini semua terdiam melihat muculnya empat orang panglima. Keadaan sunyi dan ketika mereka melihat ke atas, empat orang panglima itu menjadi pucat mukanya.
"Betapa mungkin menyelundup masuk dan melakukan perbuatan itu!" kata Panglima Phang tertua di antara rekan-rekannya., kemudian menoleh kepada Kim-mo Taisu sambil berkata,
"Agaknya pihak musuh mempergunakan orang sakti untuk mempermainkan kita. Kami kira hanya Taisu yang dapat menerangkan hal ini."
Diam-diam Kim-mo Taisu menarik napas panjang. Ia suka kepada kaisar pendiri Kerajaan Sung, maka ia menyambut permintaan bantuan raja itu dengan hati terbuka. Akan tetapi maklum pula bahwa empat orang panglima ini diam-diam di dalam hati mereka memandang rendah kepadanya. Memang hal ini pun tidaklah aneh dan ia tidak terlalu menyalahkan panglima-panglima itu, karena sesungguhnya, apakah artinya dia sebagai seorang pendekar silat dalam perang yang begitu besar? Kepandaiannya tidak berarti banyak. Andaikata ia mampu mengamuk dan membunuh puluhan orang lawan, akan tetapi tidak mungkin ia mengundurkan serbuan ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu orang musuh dengan kepandaian silatnya itu! berbeda dengan panglima ini yang memiliki kepandaian ilmu perang, pandai mengatur barisan dan siasat perang. Sesungguhnya, di tangan mereka inilah letak dasar kemenangan. Andaikata dia disuruh memimpin seratus ribu orang perajurit dan disuruh melawan perang panglima yang pandai yang hanya mempunyai lima puluh ribu orang perajurit belum tentu dia dapat mencapai kemenangan! Ilmunya hanya berguna untuk pertandingan perorangan, namun hampir tidak ada gunanya dalam perang antara ratusan ribu orang itu.
Akan tetapi, kalau ada peristiwa seperti pagi hari ini, barulah ilmu perorangan seperti yang ia miliki dapat dipergunakan, bahkan dibutuhkan. Ia menjura dan berkata, "Phang-ciangkun, permainan itu tidak ada artinya sama sekali. Anak-anak pun kalau dilatih mampu melakukannya. Biar kuturunkan benda itu dan kupasang kembali bendera-bendera tanpa menurunkan tiangnya!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Kim-mo Taisu menggenggam sekepal tanah pasir itu ke atas, ke arah ujung tiang. Tiang bendera itu tingginya sepuluh meter lebih dan agaknya bagi orang biasa takkan mungkin menimpuk jatuh benda yang berada di tempat setinggi itu hanya menggunakan tanah pasir. Akan tetapi Kim-mo Taisu bukanlah orang biasa! Begitu sinar hitam berkelebat ke atas, benda yang tergantung di puncak tiang itu pun melayang jatuh, disambut sorak sorai para perajurit yang mengagumi kehebatan Kim-mo Taisu.
Phang-ciangkun mengambil benda itu yang ternyata hanyalah surat bersampul kuning. Ketika ia melihat huruf-huruf yang tertulis di luar sampul ia berseru heran. "Haiii! Kiranya sebuah surat ditujukan kepada Taisu!"
Dengan hati heran akan tetapi sikapnya tenang, Kim-mo Taisu menerima sampul kuning itu dan membacanya. Benar saja. Huruf-huruf indah menghias sampul itu dan ditujukan kepadanya. Ia segera mengeluarkan suratnya dan membaca. Kiranya terisi surat tantangan dari... Kong Lo Sengjin! Sungguh hal yang tak tersangka-sangka! Dia mencari-cari Kong Lo Sengjin ke mana-mana, kiranya malah kakek lumpuh itu kini berada di sini dan mengajukan surat tantangan kepadanya! Tentu saja kalau kakek itu yang datang menyelundup dan melakukan hal-hal itu, bukanlah sesuatu yang aneh. Hanya anehnya, mengapa kakek itu menurunkan semua bendera? Bukankah itu merupakan penghinaan bagi Kerajaan Sung, padahal kakek lumpuh itu dahulu ikut pula membantu para panglima memaksa Cao Kuang Yin menjadi raja dan memberontak? Mungkin untuk memamerkan kepandaian saja? Saking girang hatinya akan bertemu dengan kakek yang hendak dimintai pertanggungan jawabnya tentang pembunuhan terhadap isterinya, tanpa disadarinya Kim-mo Taisu bergelak, lalu berkata,
"Harap diambilkan bendera-bendera baru, biar kupasangkan di tempatnya!" Di dalam hatinya, sama sekali tidak terkandung niatnya untuk memamerkan kepandaian, melainkan hanya untuk menandingi perbuatan Kong Lo Sengjin dan disamping itu, juga untuk membesarkan hati barisan. Bukankah ia ditugaskan menyertai barisan itu untuk melawan pihak musuh kalau menggunakan tenaga orang sakti?
Ketika lima buah bendera itu dibawa keluar oleh petugas dan diterima Panglima Phang lalu diberikan kepadanya, Kim-mo Taisu lalu mengayun tubuhnya ke atas. Memang sepandai-pandainya manusia, tak mungkin ia mampu terbang tanpa sayap, maka loncatan Kim-mo Taisu pun tidak dapat mencapai puncak tiang yang tingginya belasan meter itu. Namun dengan tangan menyambar tiang, ia dapat menggunakan tenaga tangannya untuk menekan tiang dan tubuhnya mencelat lagi ke atas. Dengan cara ini akhirnya tubuhnya mencapai ujung tiang, kedua tangannya memasangkan bendera Kerajaan Sung. Jauh dibawahnya, para perajurit bertepuk-tepuk tangan memuji tiada hentinya. Memang, apa yang dilakukan oleh Kim-mo Taisu itu adalah pertunjukan hebat yang takkan mudah dilakukan oleh orang lain. Hanya seorang sakti yang sudah memiliki lwee-kang tinggi saja akan mampu melakukan hal ini.
Selesai mengikatkan bendera di ujung tiang sehingga bendera itu berkibar tertiup angin pagi, Kim-mo Taisu menggunakan tenaga loncatan dengan menekan ujung tiang untuk meloncat ke tiang lain yang lebih rendah. Berturut-turut ia memasangkan bendera-bendera tanda pangkat para panglima pada empat batang tiang itu dengan cara berloncatan sehingga dalam waktu singkat saja lima helai bendera itu sudah berada di tempatnya, menggantikan bendera-bendera yang hilang, berkibar megah. Kim-mo Taisu dengan gerak layang yang amat indah dan ringan, meloncat turun dari atas tiang terakhir dan hinggap di atas tanah tanpa menimbulkan sedikit pun suara maupun debu! Kembali sorak-sorai menyambutnya.
"Phang-ciangkun, surat ini adalah surat tantangan dari seorang musuh besar saya. Terpaksa saya harus meninggalkan Ciangkun sekalian sebentar untuk melayaninya!"
Panglima Phang mengerutkan alisnya yang tebal. Sebagai seorang panglima yang tahu akan banyak siasat perang, ia menaruh curiga. "Maaf, Taisu, kalau Taisu tidak menyeratai kami dan kalau tidak berada dalam kancah perang melawan musuh bangsa Khitan yang terkenal cerdik dan curang, agaknya tantangan untuk Taisu itu sewajarnya saja dalam dunia persilatan. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, kami merasa curiga. Jangan-jangan mereka menggunakan siasat memancing naga keluar dari sarang, di satu pihak mereka menggunakan orang-orang pandai untuk mengepung Taisu, di lain pihak mereka hendak menggunakan saat Taisu tidak berada di sini untuk melakukan penyerbuan besar-besaran!"
Kim-mo Taisu mengagguk-angguk. "Benar sekali kecurigaan Ciangkun, dan memang agaknya begitulah. Namun, musuhku ini dahulu sama sekali bukan seorang musuh negara, bahkan sejak dahulu ia musuh orang Khitan pula. Entah mengapa kali ini ia merampasi bendera, agaknya hanya untuk memamerkan kepandaian dan menakut-nakuti kanak-kanak saja. Betapapun juga, memang dia selama ini kucari-cari, maka saya harus menerima tantangannya. Jangan Ciangkun berkhawatir. Saya ditantang untuk mendatangi puncak itu di mana dia menanti. Dari puncak saya akan dapat melihat keadaan barisan di sini dan setiap waktu Ciangkun membutuhkan tenagaku, dapat Ciangkun melepas tanda panah berapi ke udara. Kalau ada tanda itu, berarti saya harus datang, dan saya pasti akan meninggalkan urusan pribadi dan akan kembali ke sini secepatnya! Karena, andaikata orang-orang Khitan mengerahkan barisannya menyerbu, untuk menghadapi mereka tergantung dari keahlian Ciangkun berempat mengatur barisan. Tugas saya hanya menghadapi orang-orang macam yang semalam datang menyelundup ke sini. Bukankah demikian? Nah, sekarang juga saya pergi!" Kim-mo Taisu menjura, kemudian berkelebat dan lenyap dari situ. Yang tampak hanya bayangannya saja berkelebat cepat sekali, bahkan ada kalanya melalui atas kepala sekumpulan perajurit yang berdiri menghadang jalan keluar!
Semua orang kagum dan untuk beberapa lamanya mereka memandang ke arah puncak gunung yang berada tidak jauh dari tempat perkemahan itu. Betapa kagum hati mereka ketika tak lama kemudian tampak bayangan kecil Kim-mo Taisu bergerak-gerak lari mendaki puncak!
"Puncak itu tidak berapa jauh, mudah saja kita undang ia kembali atau mengirim pasukan menyusul kalau kita memerlukan tenaganya," kata Phang-ciangkun kepada teman-temannya. Mereka lalu bersiap-siap menyambut musuh dan memang tidak terlalu pagi mereka berkemas dan bersiap karena tak lama kemudian terdengar suara derap kaki bercampur sorak-sorai dan suara terompet dan tambur orang-orang Khitan! Cepat Phang-ciangkun dan tiga orang temannya naik ke tempat tinggi untuk mempelajari keadaan, kemudian setelah musuh tampak muncul dari depan dan dari kiri. Phang-ciangkun dahulu pernah menjadi pembantu Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai, dan dia sudah mempunyai banyak pengalaman pula menghadapi barisan Khitan sehingga banyak ia mengenal siasat-siasat barisan Khitan yang mengandalkan kekuatan atau siasat perang gerilya. Maka Phang-ciangkun tidak hanya mencurahkan perhatian ke arah utara dan barat (depan dan kiri), melainkah menaruh perhatian dan penjagaan pula kepada jurusan lain mencegah dan mematahkan serangan gelap.
Dengan ilmu lari cepatnya, Kim-mo Taisu mendaki puncak Gunung Tai-hangsan. Setelah tiba di lereng puncak, tampaklah matahari rendah di timur, bulat dan besar berwarna merah seperti bola api yang indah sekali. Sejenak Kim-mo Taisu menunda langkah kakinya dan memandang penuh kekaguman. Kemudian ia memutar tubuh dan melihat ke bawah. Tampak barisan Sung yang amat besar jumlahnya itu mulai bergerak dan juga amat megah dan indah tampaknya. Barisan itu seperti semut, terpisah-pisah dan terbagi menjadi lima bagian, ke empat penjuru dan yang ke lima tinggal di tengah. Barisan darat, barisan kuda, barisan panah, barisan tombak, dan barisan golok panjang serta golok pendek tampak jelas dari atas karena barisan-barisan itu memakai pakaian seragam yang berbeda-beda. Bendera-bendera berkibar dan suara penyambutan perang dari bawah yang amat gemuruh itu dari tempat tinggi ini hanya terdengar gemanya saja, seperti sekumpulan tawon merah. Jauh di sebelah utara, tampak samar-samar pasukan-pasukan Khitan, ada pula yang bergerak dari balik puncak. Dibandingkan dengan barisan Sung, pasukan-pasukan Khitan itu tidak berarti jumlahnya dan legalah hati Kim-mo Taisu. Ia percaya akan kemampuan para komandan pasukan Sung, akan keberanian perajurit-perajuritnya.
Dengan hati lega Kim-mo Taisu melanjutkan perjalanannya ke puncak. Sedikitpun ia tidak merasa ragu-ragu atau takut-takut, sesungguhpun ia dapat menduga bahwa Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh dan curang itu mungkin sekali membawa pembantu-pembantu. Tiba-tiba ia terheran ketika dari balik sebatang pohon muncul seorang laki-laki yang bersenandung seorang diri, tangan kanannya memegang sebuah mouw-pit (pena bulu) hitam, tangan kirinya memegang mouw-pit putih. Kiranya ia muncul bukan untuk menghadangnya, karena ia mundur-mundur, memandang ke arah batang pohon yang besar itu, maju lagi dan tangan kirinya bergerak ke depan. "Rettt!" Mouw-pit putih telah membuat coretan pendek pada sehelai kertas putih yang dibentangkan di batang pohon. Kemudian ia mundur lagi sampai tiga meter lebih, matanya menyipit, menatap ke depan, kepalanya miring-miring, lalu ia maju lagi menggerakkan mouw-pit hitam di tangan kanan. "Rettt!" lalu ia mundur lagi. Mulutnya yang tadinya bersenandung tidak jelas apa maksudnya, kini bernyanyi, suaranya serak dan suara nyanyian itu tidak enak didengar.
"Biar iblis kalau berhati emas, bukan jahat namanya!
Biar raja kalau berwatak srigala, dia melebihi iblis!
Biar srigala kalau banyak dan mengandalkan pengeroyokan,
seekor harimau pun bisa mengalami bencana !
Karena itu lebih baik lari menjauhkan diri!"
Kim-mo Taisu yang sedang menghadapi urusan penting, tadinya tidak ingin menunda perjalanannya. Akan tetapi mendengar nyanyian ini, terutama baris kalimat pertama dan kedua, dia menjadi tertarik. Dia dijuluki Kim-mo Taisu. Guru Besar Iblis Berhati Emas! Sedangkan Kong Lo Sengjin adalah Sin-jiu Couw Pa Ong, seorang raja muda! Jelas bahwa sajak yang dinyanyikan itu bukan hanya kebetulan saja. Apalagi disebut-sebut tentang srigala-srigala yang hendak mengeroyok, maka sang harimau lebih baik pergi jauh. Tak salah lagi! Orang aneh itu bernyanyi dengan kata-kata memberi peringatan kepadanya agar jangan melayani tantangan Couw Pa Ong yang akan mengeroyoknya! Ketika Kim-mo Taisu mendekat, tampaknya olehnya bahwa laki-laki yang usianya lima puluh tahun lebih, agak pendek dan matanya lebar itu sedang melukis. Ia memandang ke arah kertas yang dibentangkan dan menempel batang pohon dan... hampir saja Kim-mo Taisu berseru saking kagumnya. Dia sendiri adalah seorang sastrawan, tentu saja mengenal seni lukis, bahkan sedikit banyak pandai juga melukis. Bukankah menulis huruf sama dengan seni lukis pula? Apa yang dilihatnya di atas kertas itu benar-benar sebuah lukisan yang mengagumkan. Coretan-coretannya kuat sekali, kuat dan hidup. Gambar itu melukiskan empat ekor serigala sedang berkelahi mengeroyok seekor harimau. Biarpun lukisan itu hanya hitam putih, namun hidup sekali. Mata empat ekor srigala itu seolah-olah hidup dan menyinarkan kelicikan dan kecurangan di samping kebuasan. Mulut mereka seolah-olah tampak hidup mengeluarkan uap amis, dengan air liur menetes-netes, lidah terjulur keluar, gigi runcing-runcing penuh ancaman. Juga harimau itu amat indah, membayangkan kegagahan dan keberanian, akan tetapi keadaannya payah dikeroyok empat ekor srigala yang buas dan berkelahi dengan cara yang curang itu, selalu mengarah kaki belakang sang harimau.
"Lukisanmu indah sekali, Sobat!" Kim-mo Taisu memuji.
Orang itu kelihatan kaget bukan main, kedua mouw-pitnya sampai melayang ke atas dan sekali tangan kanannya bergerak ia sudah mencabut sebatang pedang yang bersinar terang kekuningan, tubuhnya melompat ke belakang membalikkan tubuh dan siap dengan pedang di depan dada, ketika sepasang mouw-pit hitam putih itu meluncur turun, tanpa mengalihkan pandang mata ke arah Kim-mo Taisu dengan tangan kirinya bergerak ke depan dan tahu-tahu kedua mouw-pit itu sudah terjepit di antara tangan kirinya!
Mereka saling pandang. Kim-mo Taisu maklum bahwa pelukis aneh ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi pula, maka ia makin kagum dan cepat-cepat ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan menjura.
"Maafkan saya kalau saya mengganggu Saudara yang sedang enak-enak melukis. Akan tetapi melihat lukisan yang hebat luar biasa ini, dan mendengan nyanyian Saudara, tak mungkin saya lewat begitu saja. Kim-mo Taisu bukanlah seorang yang tidak tahu akan maksud baik orang lain, juga tidak buta akan kepandaian melukis yang begini mengagumkan!"
Tiba-tiba orang itu tertawa dan mukanya berubah lucu sekali. Apalagi ketika ia memasang kuda-kuda tadi, pinggulnya lenggak-lenggok seperti orang sedang ber-agogo! Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya, lalu balas memberi hormat sambil pecuca-pecucu (mulut digerak-gerakkan meruncing).
"Wah-wah-wah! Akulah yang layak ditampar! Aku yang layak minta maaf karena seperti orang buta saja tidak melihat timbulnya matahari pagi yang demikian indah merajai angkasa raya! Tidak mengenal Kim-mo Taisu yang tersohor sebagai seorang pendekar sakti, terutama baik budi pekertinya. Maaf, maaf !" Ia menghormat lagi lalu berkata, "Aku yang bodoh bernama Gan Siang Kok, akan tetapi anak-anak kecil yang suka melihat gambar-gambarku menyebutku Gan-lopek. Heh-heh-heh, memang aku sudah tua tentu saja suka disebut lopek (paman tua) ! Mau pura-pura muda saja, rambut sudah beruban gigi sudah tidak lengkap, Heh-heh, hati sih tinggal muda, tapi rambut dan gigi ini tak dapat disangkal ketuaannya. Ha-ha-ha !"
Kim-mo Taisu tersenyum. Orang ini biarpun aneh, wataknya terbuka dan mempunyai pandangan luas dan selalu gembira. Agaknya memandang dunia dengan hati terbuka dan dari sudut yang mengandung kelucuan. Memang kalau orang berpemandangan awas dan berhati terbuka, di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang membuat hati menjadi geli, seperti melihat badut-badut berlagak di atas panggung. Melihat betapa di dalam kehidupan manusia sehari-hari, selalu manusia tunduk kepada kepalsuan yang disebut kebiasaan umum! Kekeliruan-kekeliruan dan penyelewengan-penyelewengan yang tidak dianggap salah lagi karena orang banyak, bahkan semua orang melakukannya! Kepalsuan yang kadang-kadang disebut kesopanan, disebut kebiasaan umum, disebut peraturan dan bahkan disebut hukum! Alangkah lucunya manusia-manusia yang berselimut segala yang baik-baik itu membiarkan diri berlagak seperti badut-badut berkedok kepalsuan! Tentu saja hal ini tidak akan tampak oleh manusia sesama badut. Hanya orang yang sudah sadar saja yang akan dapat menjadi penonton. Orang-orang yang masih mabok dan belum sadar, mabok keduniaan, akan terseret dan ikut main di atas panggung menjadi badut-badut dan bahkan saling berlomba memperebutkan kejuaraan badut!
"Kalau begitu, biarpun selisih usia kita tidaklah terlalu banyak, aku yang lebih muda akan menyebutmu Gan-lopek juga."
"Heh-heh-heh, itu yang paling baik. Merupakan kehormatan besar sekali mempunyai keponakan seorang berwatak pendeta dan bertubuh pendekar yang harus disebut Taisu (guru besar) oleh Paman tuanya. Ha-ha!"
"Gan-lopek, harap sudahi main-main ini. Tidak perlu kiranya kau berpura-pura lagi bahwa yang kaunyanyikan dan yang kaulukis ini kebetulan saja menyangkut diriku. Terima kasih atas peringatanmu bahwa di atas sana menanti musuh-musuhku yang berjumlah banyak hendak mengeroyokku. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa seekor harimau tidak pernah mengenal takut. Nah, aku pun tidak takut karena aku berbekal kebenaran. Sekali lagi terima kasih dan selamat berpisah, Gan-lopek!" Setelah memberi hormat lagi, Kim-mo Taisu melanjutkan perjalanannya.
Gan-lopek melanjutkan corat-coretnya, mulutnya mengomel, "Cari mati...., cari mati...!"
Ketika kemudian Kim-mo Taisu menengok, ia melihat betapa Gan-lopek yang aneh dan lucu itu telah mencoret-coret gambarnya sehingga gambar yang indah itu berubah menjadi hitam semua, seperti seorang kanak-kanak yang ngambul dan sengaja merusak lukisan itu untuk melampiaskan kekecewaan dan kemendongkolan. Kim-mo Taisu tersenyum, mengangkat kedua pundak, lalu melanjutkan perjalanannya mendaki puncak. Di atas puncak Tai-hang-san itu terdapat bagian yang rata dan ditumbuhi rumput hijau, cukup luas dan pemandangan dari puncak itu ke bawah amatlah indahnya. Kim-mo Taisu melihat ke bawah dan tampak pemandangan luar biasa karena kini "semut-semut" di bawah itu sudah mulai berperang!
Tiba-tiba dari belakang pohon-pohon di sekitar lapangan itu muncul empat orang yang bergerak cepat menghampirinya. Paling depan ia mengenal Kong Lo Sengjin yang "berjalan" di atas kedua tongkatnya. Akan tetapi alangkah kaget, heran dan juga girangnya ketika melihat bahwa orang ke dua adalah Ban-pi Lo-cia! Tanpa ia cari-cari kini musuh-musuh besarnya telah berkumpul sehingga mudah baginya untuk segera menyelesaikan perhitungan lama! Dasar seorang yang berwatak pendekar, Kim-mo Taisu hanya teringat akan keuntungan perjumpaan ini, sama sekali tidak ingat bahwa Kong Lo Sengjin dan Ban-pi Lo-cia menjadi satu merupakan lawan yang bukan main beratnya, belum lagi ditambah dua orang yang berada di belakang mereka. Adapun dua orang itu juga bukan orang sembarangan, karena yang satu adalah Pouw-kai-ong, Si Raja Pengemis yang jahat dan licik, memiliki kepandaian yang aneh sekali, sedangkan orang ke dua adalah Lauw Kiat, murid Ban-pi Lo-cia yang tentu saja tinggi ilmunya dan semenjak dahulu mengeroyoknya tentu kini telah bertambah ilmunya.
Akan tetapi Kim-mo Taisu sama sekali tidak merasa gentar. Memang harus ia akui bahwa bersatunya Kong Lo Sengjin dengan Ban-pi Lo-cia, merupakan hal yang tidak ia sangka-sangka dan memang kedua orang itu ditambah Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat merupakan lawan yang berat sekali, jauh lebih berat ketika ia dikeroyok oleh Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong, dan Ma Thai Kun dahulu. Namun selama belasan tahun ini pun ilmunya sendiri sudah mendapat kemajuan pesat. Dahulu ia terhitung masih muda, dan kini ia sudah dapat mematangkan ilmu kepandaiannya, sedangkan dua orang lawannya yang paling pandai, Ban-pi Lo-cia dan Kong Lo Sengjin, sudah terlalu tua sekarang dan karenanya tentu berkurang tenaganya.
"Hemm, siapa duga Sin-jiu Couw Pa Ong yang dahulu terkenal sebagai seorang patriot sejati, seorang pembela tanah air dan negara sampai mengorbankan kedua kakinya, kini menyeberang kepada musuh dan tidak malu dalam usia tua merubah diri menjadi seorang penghianat yang serendah-rendahnya karena bersekutu dengan orang Khitan !" Kim-mo Taisu menegur karena memang hatinya merasa tertusuk dan marah bukan main menyaksikan paman mendiang isterinya itu bersekutu dengan Ban-pi Lo-cia. "Berlaku curang, menggunakan orang Hui-to-pang membunuh keponakannya sendiri dan melemparkan fitnah kepada orang lain adalah biasa, akan tetapi menghianati negara adalah kejahatan yang rendah, yang akan mendatangkan noda yang tak terhapuskan selama tujuh keturunan !"
Marahlah Kong Lo Sengjin mendengar ini. Marah luar biasa sehingga mukanya menjadi pucat, alisnya berdiri dan rambutnya yang sudah awut-awutan itu seketika seperti menjadi kaku. Ia melangkah lebar dengan tongkatnya mendekati Kim-mo Taisu dan memaki dengan bentakan keras.
"Tutup mulutmu! Kwee Seng, kau anak kecil tahu apa tentang perjuangan? Ketika kau belum terlahir aku sudah berjuang membela negara. Sekarang kau berani memberi kuliah tentang perjuangan kepadaku? Keparat !"
Kim-mo Taisu tersenyum mengejek "Justeru karena kau sudah terlalu tua maka engkau menjadi pikun. Sudah layak kalau orang dinilai dari perbuatannya paling akhir. Seribu perbuatan baik akan terhapus oleh sebuah perbuatan buruk. Seribu perbuatan buruk dapat saja dicuci oleh sebuah perbuatan baik terakhir. Kong Lo Sengjin, kau sudah tua, mendekati saat kematian, mengapa tidak menyiapkan bekal yang baik malah menumpuk dosa dan kecemaran? Mengapa tidak mencari jalan terang malah tersesat dalam kegelapan? Mengapa seorang patriot berubah menjadi penghianat ?"
"Setan neraka !" Kong Lo Sengjin semakin marah. "Aku sudah mengorbankan seluruh keluargaku untuk negara, bahkan mengorbankan kedua kakiku! Aku memang menyuruh bunuh isterimu untuk membangkitkan semangatmu agar kau mengikuti jejakku! Kau yang baru berkorban isteri saja sudah ribut dan hendak membalasku. Jangan kira aku takut. Kini kau menuduhku yang bukan-bukan. Kau anak kecil tahu apa? Semenjak Kerajaan Tang runtuh, selama setengah abad rakyat kita ditindas oleh raja-raja lalim. Mula-mula mereka baik, akan tetapi akhirnya sama saja. Keadaan begini harus diakhiri dan bangsa Khitan yang jaya sajalah yang akan dapat membantu merubah keadaan. Dengan bantuan bangsa Khitan, aku akan mendirikan kembali Kerajaan Tang yang megah! Kau, Kim-mo Taisu, kalau kau mau membantu kami, aku dan sahabat-sahabatku ini akan melupakan segala urusan diantara kita yang sudah lewat, dan mari kita bangun kembali Kerajaan Tang dengan bantuan sahabat-sahabat Khitan. Kelak kau akan menjadi raja muda, karena kau masih terhitung mantu keponakanku!"
Kim-mo Taisu memandang dengan mata terbelalak, kemudian bertanya, suaranya perlahan dan lirih, "Dan kau...kau menjadi kaisarnya?"
"Siapa lagi? Akulah raja muda Kerajaan Tang yang terakhir!" jawab Kong Lo Sengjin sambil membusungkan dada.
Celaka, pikir Kim-mo Taisu. Kakek ini sudah menjadi gila! Menjadi Kaisar Kerajaan Tang yang dibangun dengan bantuan bangsa Khitan? Sama saja dengan memasukkan barisan srigala ke dalam rumah. Apakah kalau seandainya bangsa Khitan berhasil, mereka mau menyerahkan kekuasaan kepada Kong Lo Sengjin? Kepada seorang kakek lumpuh? Membayangkan betapa kerajaan dikuasai oleh seorang kaisar lumpuh, Kim-mo Taisu menjadi geli hatinya dan tak tertahankan lagi ia tertawa tergelak.
"Ha-ha-ha! Kong Lo Sengjin, kiranya engkau sudah menjadi gila! Tak usah kau melamunkan yang bukan-bukan karena sekarang juga kau harus menebus kematian isteriku dengan nyawamu! Adapun teman-temanmu ini, terutama sekali Ban-pi Lo-cia, juga takkan lepas dari tanganku karena dia harus menebus kematian adik isteriku. Kong Lo Sengjin, tahukah engkau bahwa adik kembar Gin Lin yang bernama Khu Kim Lin tewas karena kekejian dan kebiadaban manusia Khitan ini?"
"Tutup mulut ! Urusan pribadi tidak penting, yang penting urusan negara!" Kong Lo Sengjin sudah menjadi marah sekali dan menerjang Kim-mo Taisu dengan kedua tongkatnya yang bergerak-gerak bergantian secara dahsyat. Tentu saja kakek yang berubah wataknya ini tidak peduli betapa keponakannya mati karena Ban-pi Lo-cia, karena dia sendiripun tega menyuruh membunuh keponakannnya, isteri Kim-mo Taisu, hanya untuk kepentingan cita-citanya.
Kim-mo Taisu yang kini sudah siap untuk bertanding, cepat mengelak dengan lompatan tinggi ke kanan. Ketika kakinya kembali menyentuh bumi, tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang, tangan kirinya memegang sebuah kipas. Memang semenjak ia mengambil keputusan untuk mencari musuh-musuh besarnya yang terdiri dari orang-orang sakti, dan mengingat akan pengalamannya ketika ia dikeroyok tanpa memegang senjata. Kim-mo Taisu sudah mempersiapkan diri dengan sepasang senjatanya yang lengkap yaitu pedang dan kipas. Begitu lawannya mendesak maju, sekaligus Kim-mo Taisu menggerakkan pedang dan kipas, pedangnya mainkan Pat-sian Kiam-hoat dan kipasnya mainkan Lo-hai San-hoat yang merupakan pasangan luar biasa dan hebat. Betapapun saktinya Kong Lo Sengjin menghadapi serbuan sepasang senjata aneh yang mengeluarkan angin pukulah dahsyat ini, kakek itu terhuyung ke belakang.
Akan tetapi pada saat itu, Ban-pi Lo-cia sudah menerjang maju dengan cambuk hitamnya sambil tertawa, "Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, sekali ini kau takkan dapat lolos dari cambukku!" Betapa kaget hati kakek Khitan raksasa ini ketika ujung cambuknya menyambar dan dekat dengan tubuh lawan, ujung cambuk itu terpental kembali seakan-akan ada tenaga luar biasa yang menolaknya. Kiranya kebutan kipas di tangan kiri Kim-mo Taisu telah berhasil mendorong kembali ujung cambuk itu. Dari gerakan ini saja dapat dibayangkan betapa hebat tenaga sin-kang Kim-mo Taisu dan diam-diam Ban-pi Lo-cia merasa khawatir. Ia maklum bahwa selama belasan tahun ini, Kim-mo Taisu telah mendapat kemajuan pesat sekali dan dalam hal tenaga dalam saja ia sudah tidak dapat menandingi lawannya! Biarpun begitu, kakek raksasa ini tidak takut, apalagi pada saat itu, Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat sudah menyerbu maju untuk membantu.
Yang hebat dan tak tersangka-sangka oleh Kim-mo Taisu adalah Pouw-kai-ong. Begitu Raja Pengemis ini bergerak menggunakan sebatang tongkat pengemis, terdengar angin menderu dan serangannya berbahaya sekali. Kiranya Raja Pengemis yang sebaya dengannya itu, juga telah memperoleh kemajuan hebat. Hanya Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia sajalah yang merupakan lawan paling lemah di antara empat orang ini. Namun pengeroyokan mereka cukup berbahaya dan membuat Kim-mo Taisu harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
Pertandingan berlangsung dengan amat hebatnya. Betapapun dia dikurung dan tidak diberi kesempatan oleh empat orang pengeroyoknya, namun Kim-mo Taisu kadang-kadang menggunakan kesempatan untuk mengerling ke bawah puncak, untuk melihat kalau-kalau ia dibutuhkan oleh panglima bala tentara Sung. Di bawah puncak juga terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan melawan bala tentara Sung. Terjadilah penyembelihan manusia besar-besaran oleh kedua fihak. Penyembelihan dan pembuhuhan kejam tanpa sebab-sebab pribadi, hanya untuk memenuhi kehendak beberapa gelintir manusia yang ingin melihat cita-citanya terlaksana! Bunuh-membunuh, yang kalah roboh dan harus mati, yang menang tertawa dan hidup. Seolah-olah yang menang lupa bahwasannya mereka pun hanya menang untuk sementara saja, menang untuk waktu yang tidak lama, karena maut tentu akan datang menjemput nyawa mereka untuk menyusul nyawa mereka yang kalah! Pedang dan golok yang memang haus darah, menusuk membacok mencincang hancur tubuh lawan yang kalah, senang hati menyiksa yang kalah. Seolah-olah mereka ini lupa bahwasanya sebelum maut kelak mencabut nyawa mereka, akan tiba masanya mereka mengalami suka dan derita sebelum mati, mungkin jauh lebih mengerikan dan lebih sengsara daripada penderitaan mereka yang dicincang dalam perang. Lupa bahwa siksaan dalam bentuk penyakit sebelum mati kadang kala amat mengerikan dan sengsara.
Dalam mengejar hasrat dan nafsu, manusia lupa bahwa tidak ada yang menang atau kalah dalam kehidupan manusia. Yang menang mutlak dan abadi hanya Tuhan. Karena itu, bahagialah mereka yang mengabdikan diri sebagai hamba Tuhan, sebagai perajurit Tuhan yang bersenjatakan kasih, yang hanya mengharapkan damai dan tenteram di dunia, tidak ada perang, tidak ada bunuh membunuh, tidak ada benci, tidak ada dendam. Yang ada hanya kasih sayang sesama hidup, bergembira melihat orang lain bersenang, prihatin dan mengulurkan tangan menolong melihat orang lain bersusah. Kalau hidup antar manusia sudah seperti itu, hidup antar negara tentu menjadi demikian pula. Tidak ada bentrok politik, tiada perang agama, tiada perbedaan di antara bangsa, penuh kasih, penuh toleransi. Amboi, alangkah nikmat hidup di dunia dalam keadaan seperti itu.
Kim-mo Taisu benar-benar seorang pendekar sakti. Empat orang lawannya adalah orang-orang luar biasa, ahli-ahli silat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Bankan yang dua orang, yaitu Kong Lo Sengjin dan Ban-pi Lo-cia adalah dua orang sakti yang merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Namun, sampai sejam lebih mereka bertempur, belum juga empat orang itu dapat merobohkan Kim-mo Taisu. Betapapun juga, harus diakui bahwa keadaan Kim-mo Taisu amat berbahaya. Selain empat orang itu lihai juga mereka, terutama Ban-pi Lo-cia dan Kong-lo Sengjin, bertanding penuh semangat dan kebulatan tekad. Agaknya dua orang kakek itu maklum bahwa kali ini harus ada keputusan terakhir, mempertaruhkan nyawa untuk menang atau kalah. Hidup atau mati! Karena kenekatan inilah maka Kim-mo Taisu mulai terdesak. Ia belum mampu melukai seorang di antara empat orang pengeroyoknya yang dapat bekerja sama amat baik dan rapi, saling melindungi dan saling menjaga.
Agaknya Lauw Kiat mulai hilang sabar. Ia bersuit keras dan dari dalam hutan di puncak gunung muncullah dua belas orang Khitan yang bertubuh tinggi besar. Mereka datang membawa sebuah jala ikan. Aneh sekali mengapa sebuah jala ikan dibawa oleh dua belas orang. Sebetulnya jala itu bukan sembarang jala, melainkan sebuah alat untuk menangkap orang sakti. Jala ini terbuat daripada bahan yang kuat sekali, tidak putus oleh sabetan senjata tajam, dan di sebelah dalamnya terdapat banyak kaitan-kaitan berbentuk pancing sehingga sekali seorang tertutup jala, betapapun saktinya, akan sukar baginya untuk lolos karena makin keras ia bergerak memberontak akan makin banyak pula kaitan-kaitan kecil berbentuk pancing manancap di tubuhnya!
"Bantu kami tangkap dia!" seru Lauw Kiat dalam bahasa Khitan.
Akan tetapi selagi dua belas orang itu mempersiapkan jala dan mengatur kedudukan mereka yang dipersulit oleh adanya pertandingan yang sedemikian cepat gerakannya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Begitu tiba di situ, bayangan itu tertawa-tawa dan menyerang dua belas orang tinggi besar itu secara kalang-kabut. Dari sudut matanya Kim-mo Taisu melihat bahwa yang datang menyerang dua belas orang penebar jala itu bukan lain adalah Gan-lopek si pelukis tadi!
Benar saja dugaan Kim-mo Taisu ketika bertemu dengan kakek pelukis ini tadi. Tidak hanya pandai melukis dan melawak, Gan-lopek ini ternyata lihai pula ilmu silatnya. Setidaknya terlalu lihai untuk dua belas orang tinggi besar yang hanya pandai bermain dengan jala itu. Mereka itu adalah orang-orang Khitan yang biasa menjala ikan, biasa pula mereka menangkap anjing laut dengan jala. Tentang ilmu silat, mereka hanya tahu sedikit-sedikit, walaupun bertenaga besar.
Karena penyerbuan Gan-lopek ini tak tersangka-sangka, dua belas orang itu tidak sempat mempergunakan jala mereka, maka mereka mencabut golok besar dan menerjang kakek yang tertawa-tawa itu. Kiranya Gan-lopek hanya melayani mereka dengan sepasang mouw-pitnya. Pedangnya masih tergantung di pinggang, sama sekali tidak ia pergunakan. Akan tetapi sepasang mouw-pitnya hebat. Ketika tubuhnya berkelebatan dengan pinggul megal-megol seperti orang menari agogo, kedua tangannya bergerak cepat, terdengar teriakan-teriakan marah. Sebentar saja enam orang tinggi besar sudah tidak bisa berkelahi lagi karena mereka menggunakan kedua tangan mereka yang menjadi gelap karena dicoret-coret oleh sepasang mouw-pit sehingga muka mereka itu coreng-moreng dengan warna hitam dan putih sedangkan mata mereka penuh tinta! Kemudian mereka roboh seorang demi seorang tertotok gagang mouw-pit.
Sayang Gan-lopek orangnya suka bergurau. Kalau saja ia cepat-cepat merobohkan dua belas orang itu tanpa bergurau seperti itu, agaknya ia masih akan sempat membantu Kim-mo Taisu yang terdesak hebat. Ketika Gan-lopek sedang enak-enaknya membabati roboh dua belas orang tinggi besar itu seperti orang membabat rumput saja, tiba-tiba ia merasa angin menyambar hebat dan dahsyat dari belakangnya, didahului suara Kim-mo Taisu, "Gan-lopek, awas!"
Gan-lopek terkejut, cepat menggerakkan kedua tangan ke belakang, menangkis dengan sepasang mouw-pitnya. Akan tetapi terdengar suara keras, sepasang mouw-pitnya patah dan pundak kanannya kena hantam ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia yang telah menyerang Gan-lopek ketika melihat Gan-lopek merobohkan dua belas orang tukang jala.
"Aduuhh...!" Gan-lopek roboh terguling dan terus ia menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan susulan. Sambil bergulingan Gan-lopek muntahkan darah segar, tanda bahwa hantaman pada pundaknya tadi telah mengakibatkan luka berat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi cambuk hitam itu bagaikan tangan maut terus mengejarnya untuk memberi pukulan maut terakhir.
Melihat keadaan ini, Kim-mo Taisu berseru keras, pedangnya bergerak menjadi sinar panjang ke depan, membuat para pengeroyoknya kaget dan mundur. Kesempatan ini ia pergunakan untuk menggerakkan tubuhnya, meloncat dan melayang ke arah Ban-pi Lo-cia sambil mengirim tusukan dengan pedang ke arah punggung kakek raksasa itu.
Ban-pi Lo-cia tengah mendesak Gan-lopek yang bergulingan. Mendengar angin serangan dari belakang, raksasa Khitan itu cepat membalikkan tubuh sambil mengayun Lui-kong-pian, yaitu cambuk hitamnya yang ampuh itu. Kim-mo Taisu sudah menduga akah hal ini, cepat menggerakkan kipasnya ketika kakinya sudah turun di atas tanah sambil mengerahkan sin-kang, mencipta tenaga melekat. Begitu bertemu kipas, cambuk Lui-kong-pian itu tak dapat terlepas dari kipas dan pada saat itu pedang Kim-mo Taisu datang menusuk dada. Ban-pi Lo-cia cepat mengerahkan tenaga Hek-see-ciang di tangan kirinya, menghantam ke arah lambung Kim-mo Taisu tanpa mempedulikan tusukan pedang. Dalam keadaan berbahaya itu, kakek raksasa ini agaknya ingin mengadu nyawa, mengajak mati bersama. Namun Kim-mo Taisu tidak sudi menerima ajakan ini, pedangnya yang menusuk otomatis bergerak membabat ke bawah.
"Crakkk!"" Buntunglah lengan kiri Ban-pi Lo-cia sebatas bawah siku. Darah menyemprot akan tetapi sedikitpun tidak terdengan keluhan Ban-pi Lo-cia, bahkan kakek itu tertawa bergelak dan cambuknya yang kini sudah terlepas, menyambar pula. Kim-mo Taisu melihat sambaran cambuk ditambah serangan dari belakang tentu dari seorang di antara para pengeroyok, cepat merebahkan diri ke bawah, bergulingan dan melihat kesempatan baik, ia meloncat ke atas dan mengerjakan pedangnya yang tak dapat dielakkan lagi oleh Ban-pi Lo-cia yang sudah terhuyung-huyung. Pedang menancap di perutnya yang gendut. Kim-mo Taisu menyontek pedang ke atas lalu meloncat sambil mencabut pedang. Ban-pi Lo-cia makin keras tertawa bergelak, akan tetapi kini ia tertawa sambil memandang ususnya yang keluar dari lubang besar di perut, dipegangnya usus itu dengan kedua tangannya. Akan tetapi ia terhuyung lalu roboh berkelojotan.
Hasil menewaskan seorang musuh besar ini bukan didapat dengan mudah begitu saja oleh Kim-mo Taisu. Tanpa pencurahan tenaga dan perhatian yang menyeluruh dalam serangan ini, tidak mungkin ia akan mampu merobohkan seorang sakti seperti Ban-pi Lo-cia. Dan karena pencurahan perhatian yang menyeluruh inilah, maka Kim-mo Taisu menebus dengan pengorbanan dirinya. Ketika Kim-mo Taisu bergulingan ke bawah tadi, dari belakang telah menyambar serangan hebat yang datang dari pukulan tongkat Pouw-kai-ong. Dengan gerakan berguling ia berhasil menghindarkan ancaman tongkat Pouw-kai-ong, bahkan berhasil menusuk dan menewaskan Ban-pi Lo-cia. Namun selagi ia menusuk dan menyontekkan pedangnya ke atas lalu dicabut dan siap meloncat mundur, tiba-tiba datang pukulan yang hebat dari arah kiri sedangkan dari arah kanannya menyambar tongkat Pouw-kai-ong, dari belakang juga ia ditusuk oleh tongkat di tangan Lauw Kiat, murid Ban-pi Lo-cia yang marah sekali melihat suhunya tewas.
Pada saat itu, Kim-mo Taisu baru saja meloncat, kedudukan kedua kakinya masih belum menginjak tanah dengan kuat. Terpaksa ia menggerakkan tubuh miring sehingga ia dapat menangkis tongkat Lauw Kiat denga pedang dan menyampok tongkat Pouw-kai-ong dengan kipas. Maksudnya hendak melanjutkan tangkisan pedangnya itu terus ke kanan membabat pukulan yang anginnya dahsyat dan membuntungkan lengan Kong Lo Sengjin. Namun terlambat. Kiranya Kong Lo Sengjin tidak memukul ke arah yang tadi, melainkan mengirim pukulan jarak jauh ke arah punggung. Kim-mo Taisu yang sedang menangkis dua tongkat itu tak sempat lagi mengelak. Punggungnya terkena pukulan jarak jauh dan ia terguling! Sebagai seorang ahli silat yang tinggi ilmunya, pukulan jarak jauh itu hanya mampu membuat ia terguling saja. Cepat ia terus menggelinding sambil menggerakkan pedang dan kipasnya menjaga diri. Akan tetapi ketika ia meloncat berdiri, tubuhnya terhuyung-huyung dan ia merasa punggungnya sakit dan kaku!
Inilah hebatnya Kong Lo Sengjin dan ini pula yang menyebabkan ia dahulu dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Kakek ini memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang ampuh. Orang-orang yang kepandaiannya rendah, sekali terkena sambaran angin pukulannya akan roboh dan tewas seketika. Kim-mo Taisu memang kuat dan bukanlah seorang lawan berilmu rendah. Akan tetapi tadi ia sedang menangkis dan ternyata kakek lumpuh itu telah mengirim pukulan tepat pada saat ia menangkis dan dengan tepat pula memilih bagian yang pada saat itu "kosong". Tadi Kim-mo Taisu menangkis dengan pengerahan tenaga sin-kang karena maklum bahwa kedua tongkat itu digerakkan oleh dua lawan yang lihai. Oleh karena inilah maka tentu saja tenaga sin-kangnya dipergunakan dan disalurkan ke dalam kedua lengan sehingga bagian punggungnya yang amat kuat itu menjadi kosong dan lemah.
Kim-mo Taisu terkejut, maklum bahwa ia telah menderita luka berat. Ia memuntahkan darah hidup, akan tetapi segera dapat mengatur pernapasan dan serangan berikutnya dari ketiga orang itu dapat ia hadapi lagi dengan gerakan yang cukup kuat dan cepat. Memang hebat kekuatan Kim-mo Taisu, kuat dan ulet berani dan pantang mundur.
"Taisu, mari lari...!" Dengan suara lemah Gan-lopek yang sudah terluka pun itu mengajak. Gan-lopek terluka hebat oleh pukulan ujung cambuk Ban-pi Lo-cia, dan tak mungkin kuat lagi menghadapi lawan-lawan yang tangguh itu, maka ia mengajak Kim-mo Taisu melarikan diri. Ia melompat pergi dari tempat itu. Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak mau melarikan diri. Ia melawan terus dengan nekat sungguhpun punggungnya terasa makin sakit.
Gan-lopek berlari pergi sambil menarik napas panjang. Tentu saja ia tidak bisa nekat seperti Kim-mo Taisu. Dia adalah orang luar yang tidak tahu-menahu tentang urusan mereka. Kalau tadi ia turun tangan membantu Kim-mo Taisu adalah karena ia melihat dua belas orang Khitan itu hendak menggunakan jala yang ia kenal dan tahu amat berbahaya itu. Pula ia memang merasa simpati dan suka kepada Kim-mo Taisu yang namanya terkenal harum. Ia sudah turun tangan menolong Kim-mo Taisu dengan jalan merobohkan dua belas orang tukang jala. Dan ia pun baru saja tertolong oleh Kim-mo Taisu dari ancaman maut di tangan Ban-pi Lo-cia. Sudah impas. Akan tetapi dia sudah terluka dan tak mungkin nekat memberikan nyawanya tanpa sebab. Kim-mo Taisu boleh nekat, mungkin mempunyai alasan yang kuat untuk tidak melarikan diri.
Memang wawasan Gan-lopek itu benar. Andaikata Kim-mo Taisu tidak berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, agaknya ia pun akan melarikan diri. Lawan juga menggunakan kecurangan dengan mengeroyok, maka melarikan diri bukanlah hal yang memalukan. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Kong Lo Sengjin. Semua perhitungan harus diselesaikan saat itu juga.
Pertandingan antara Kim-mo Taisu dikeroyok tiga orang lawannya masih berjalan seru. Biarpun Kim-mo Taisu telah terluka berat, akan tetapi pihak pengeroyok juga telah kehilangan Ban-pi Lo-cia. Kini Kim-mo Taisu hanya dapat membatasi diri dengan bertahan karena kalau ia terlalu banyak menghamburkan tenaga untuk menyerang, tentu keadaannya akan makin payah dan berbahaya. Pada saat lawan menyerang saja ia mengandalkan kegesitannya mengelak sambil balas menyerang dan dengan cara ini ia dapat menghemat tenaganya. Ia sudah bertekad bahwa biarpun akhirnya ia kalah dan tewas, ia harus dapat merobohkan Kong Lo Sengjin lebih dahulu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi Kim-mo Taisu itu, tiba-tiba muncullah Bu Song dan sepasukan tentara. Melihat suhunya dikeroyok dan keadaannya payah, Bu Song mengeluarkan suara melengking tinggi dan mendahului pasukan itu meloncat ke depan. Munculnya Bu Song mengagetkan tiga orang yang mengeroyok. Kim-mo Taisu seorang diri saja sudah cukup berat dan sukar dirobohkan, apa lagi datang bala bantuan belasan orang banyaknya! Mereka terdiri dari orang-orang yang licik dan curang, maka begitu melihat pihak mereka terancam, tanpa dikomando lagi mereka lalu melompat pergi dan Luw Kiat yang pergi lebih dulu menyambar jenazah gurunya.
Bu Song cepat menghampiri suhunya yang berdiri terhuyung-huyung. "Suhu...!" tegurnya penuh khawatir.
Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Tidak apa-apa. Dari mana kau? Mengapa ke sini?"
"Teecu baru saja datang. Dari kota raja mendengar akan keberangkatan Suhu bersama barisan. Teecu menyusul dan hendak membantu. Di lereng gunung barisan kita telah berhasil memukul mundur musuh dan kini sedang mengadakan pengejaran. Phang-ciangkun yang melihat Suhu belum juga kembali, menyuruh teecu menyusul ke sini dengan pasukan pengawal. Apakah Suhu terluka?"
Biarpun mukanya pucat dan punggungnya nyeri, Kim-mo Taisu masih sanggup melakukan perjalanan cepat bersama muridnya, mendahului pasukan turun dari puncak. Akan tetapi begitu tiba di perkemahan, pendekar ini kembali muntahkan darah segar dan roboh pingsan. Bu Song menyambar tubuh suhunya, memondongnya ke dalam perkemahan dan membaringkannya, lalu merawatnya.
Setelah siuman Kim-mo Taisu berkata, "Kong Lo Sengjin hebat sekali pukulannya. Akan tetapi tidak cukup hebat untuk merenggut nyawaku. Bu Song, kau cepat ceritakan pengalamanmu. Berhasilkah?" Setelah bertanya demikian, Kim-mo Taisu lalu duduk bersila dan mengatur napas.
Bu Song yang maklum bahwa suhunya perlu mengaso dan memulihkan kesehatannya, segera menuturkan pengalamannya di Pek-coa-to dan perjumpaannya dengan Bu Tek Lojin. Perjalanannya berhasil baik dan merupakan berita menyenangkan, maka ia berani bercerita kepada suhunya.
Benar saja, biarpun matanya dipejamkan, wajah Kim-mo Taisu berseri-seri mendengar penuturan muridnya. Ia masih mengatur napasnya, panjang-panjang, menarik napas sehingga dadanya mekar dan perutnya mengempis, ditahannya lama-lama baru dikeluarkan seenaknya. Begitu terus menerus. Kemudian ia membuka kedua matanya, memandang muridnya.
"Keluarkan suling itu " katanya lirih. Dengan hati bangga dan girang dapat menyenangkan hati suhunya, Bu Song mengeluarkan suling emas dari balik jubahnya, menyerahkan suling itu kepada suhunya. Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak memgang suling itu, hanya memandang dan berkata,
"Memang betul ini suling emas, hadiah Bu Kek Siansu kepada sastrawan Ciu Bun. Apakah sudah kaupelajari cara meniupnya untuk mengiringi sajak dalam kitab?"
"Sudah, Suhu."
"Coba kau mainkan suling itu dalam gerakan Pat-sian Kiam-hoat."
Bu Song melangkah mundur, lalu menggerakkan suling melakukan jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat. Baru tiga jurus suhunya sudah berkata, "Cukup! Kau sungguh bernasib baik sekali, muridku. Sekarang aku tidak khawatir lagi. Dengan bantuan Bu Tek Lojin, kau sudah melampaui gurumu...."
"Ah, mana bisa begitu, Suhu? Murid yang bodoh..." Kim-mo Taisu tertawa dan bertanya memotong kata-kata muridnya, "Coba ceritakan bagaimana keadaan perang ketika kau tiba di sini."
Ternyata ketika Bu Song tiba di medan perang yang terjadi di sekitar Pegunungan Tai-hang-san, pasukan-pasukan Sung berhasil menguasai keadaan dan memberi hajaran kepada pasukan-pasukan Khitan yang jumlahnya jauh kalah banyak. Girang hati Bu Song melihat keadaan ini dan di sepanjang jalan, sambil bertanya-tanya kepada para perajurit tentang suhunya, Kim-mo Taisu, ia membuka jalan darah dan merobohkan setiap musuh yang hendak menghalangi jalannya. Akhirnya ia tiba di perkemahan besar itu dan pada saat itu, sedang terjadi penyerbuan hebat di perkemahan. Keadaan kacau balau dan perang terjadi dengan hebatnya. Keadaan para panglima terancam karena pihak musuh muncul seorang yang luar biasa sekali. Orang itu pakaiannya seba hitam, mukanya tertutup kedok tengkorak mengerikan, senjatanya sebuah sabit dan sepak-terjangnya pun menyeramkan. Gerakannya cepat dan tenaganya mujijat sehingga setiap orang perajurit yang berani menentangnya tentu roboh dengan tubuh terpotong menjadi dua! Akan tetapi, para perajurit pengawal itu adalah perajurit-perajurit pilihan yang tidak takut mati. Untuk menyelamatkan para komandannya dari ancaman manusia iblis ini, puluhan orang perajurit mengurung iblis itu. Biarpun banyak sekali perajurit yang roboh malang melintang dan tewas di tangan manusia iblis ini, namun Sang Manusia Iblis tidak mampu menerobos ke dalam tenda besar untuk membunuh empat orang panglima.
Pada saat itulah Bu Song tiba di tempat itu. Melihat keadaan ini, ia menjadi marah dan sekali melompat, ia telah melompati pagar manusia yang mengeroyok manusia iblis, tiba di depan iblis itu lalu menerjang dengan suling emasnya yang ia tahu adalah senjata yang ampuh sekali. Si Manusia Iblis itu tadi mengaku berjuluk Hek-giam-lo (Maut Hitam), kini berseru kaget karena hampir saja lehernya kena hantaman suling yang mengeluarkan sinar kuning. Ia cepat mengayun sabitnya yang tajam, ke arah pinggang Bu Song, akan tetapi dengan mudah Bu Song menangkis dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata ketika kedua senjata itu bertemu. Akan tetapi Hek-giam-lo memekik kesakitan, hampir saja sabitnya terlepas dari pegangan.
Melihat betapa orang muda di depannya ini luar biasa kepandaiannya, Hek-giam-lo merasa khawatir, apalagi para perajurit pengawal yang nekat dan gagah berani itu masih mengepung. Ia mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya mencelat jauh, sabitnya diputar sehingga para pengawal terpaksa mundur. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-giam-lo untuk melarikan diri!
Setelah Hek-giam-lo lari, penyerbuan itu dengan mudah dan cepat dapat dibasmi habis. Selebihnya melarikan diri ke empat penjuru mencari selamat memasuki hutan-hutan di lereng gunung.
"Demikianlah, Suhu. Karena musuh telah dapat diusir mundur, para ciangkun memimpin barisan melakukan pengejaran ke utara dan teecu disuruh menyusul Suhu bersama sepasukan pengawal tadi," Bu Song mengakhiri ceritanya.
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, senang hatinya. Kemudian ia lalu mengerutkan keningnya lalu bertanya, "Kau bilang tadi bahwa sastrawan tua Ciu Bun dan kakek sakti Bu Tek Lojin bersikap aneh sekali setelah mendengar perpaduan suara antara sajak dalam kitab dan suara suling? Coba jelaskan lagi, karena hal itu amat menarik."
Bu Song mengulang ceritanya tentang sikap Ciu Bun yang aneh setelah mendengar sajak terakhir dan iringan suara suling, kemudian betapa Bu Tek Lojin bersikap lebih aneh lagi. Dengan penuh perhatian Kim-mo Taisu mendengarkan, kemudian tiba-tiba ia berkata,
"Bagaimana bunyi sajak terakhir itu ?" Bu Song lalu membaca sajak dengan suara bernada tinggi rendah, jelas dan berirama. Gurunya mendengarkan dan sekali saja mendengar, sebagai seorang sastrawan, Kim-mo Taisu sudah hafal. Ia menarik napas panjang dan berkata, "Sajak yang baik dan mengandung kebenaran mutlak, namun terlalu tinggi untuk otak dan terlalu dalam untuk diselami pengertian. Hanya dapat diterima oleh rasa dan getaran. Akan kunyanyikan, coba kau iringi dengan tiupan suling, Bu Song muridku!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu yang tadinya menanggung nyeri di punggungnya tampak bergembira dan wajahnya berseri. Diam-diam Bu Song merasa khawatir. Dua orang tokoh golongan sastera dan silat bersikap aneh sekali mendengar perpaduan itu. Jangan-jangan suhunya juga akan bersikap aneh seperti mereka! Maka ia menjadi ragu-ragu. Siapa tahu perpaduan suara itu mengandung sesuatu yang mujijat dan jahat!
"Jangan kau khawatir, Bu Song. Ciu Bun kegirangan seperti gila karena ia memang mencari dan mengharapkan sesuatu sehingga ketika mendapatkannya ia menjadi girang luar biasa. Bu Tek Lojin terlalu banyak melakukan hal-hal yang membuat ia merasa menyesal, mungkin karena sesalnya ia bersikap sedih seperti orang gila pula. Aku tidak mengharapkan sesuatu, juga tidak menyesalkan sesuatu, maka tidak akan apa-apa kecuali mendapatkan penjernihan batin. Mulailah!"
Setelah berkata demikian, sambil duduk bersila dengan tulang punggung lurus, Kim-mo Taisu bernyanyi seperti Bu Song tadi, suaranya merdu dan nyaring.
"ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Sampai tiga kali Kim-mo Taisu mengulang nyanyian ini, diiringi suara suling Bu Song yang merayu-rayu. Kemudian ia diam dan keadaan menjadi sunyi, sunyi hening dan gaib. Kim-mo Taisu memejamkan matanya. Dua butir air mata menempel di atas pipi. Napasnya tenang dan wajahnya tersenyum, seperti orang yang merasa puas dan lega. Tadinya Bu Song kaget melihat dua butir air mata, akan tetapi hatinya lega melihat wajah yang tenang tenteram itu.
"Bu Song, dengarlah baik-baik," katanya, suaranya lirih sehingga Bu Song mendekat dan duduk bersila di atas lantai, di bawah gurunya. "Ada muncul dari tiada, akan tetapi tiada itu sendiri adalah suatu keadaan, karenanya, tiada juga muncul dari ada. Maka jangan salah duga, muridku, dan jangan salah laku. Mencari sesuatu dalam arti kata mengejar-ngejar, berarti mencari kekosongan. Segala sesuatu tercipta atau terjadi karena dua kekuatan Im dan Yang di alam semesta ini, yang saling tolak, saling tarik, saling isi-mengisi. Segala sesuatu yang ada dan yang tidak ada dalam pengertian manusia, terjadi oleh Im Yang ini, kemudian segala sesuatu di alam semesta ini saling berkait, saling mempengaruhi sehingga tidak mungkin lagi dipisah-pisahkan. Tidak ada yang paling penting dan tidak ada yang paling tidak penting, tidak ada yang paling tinggi ataupun paling rendah. Semua itu tali-temali dan kait-mengkait, seperti hukum Ngo-heng (Lima Anasir), Kayu, Api, Tanah, Logam, Air, saling mempengaruhi, saling membasmi juga saling menghidupkan, karenanya berputar dan terus berputar merupakan bibir mangkok. Tidak ada ujungnya dan tidak ada pangkalnya, tiada awal tiada akhir, sekali saja terganggu akan menjadi rusak sebentar dan mengakibatkan kekacauan, menjatuhkan korban, baru dapat pulih kembali, kait-mengait, berputar-putar. Semua sudah sewajarnya dan sudah semestinya begitu, jadi tidak perlu dianehkan atau diherankan lagi. Semua itu kosong, lahirmu, hidupmu, sepak terjangmu, susahmu, senangmu, matimu. Semua itu kosong dan hampa belaka karena memang sudah semestinya begitu, sudah wajar, sehingga pengorbanan perasaan dan pikiran itu sia-sia dan kosong belaka. Karena sesungguhnya yang disusah-senangi, ditawa-tangisi manusia, itu bukan apa-apa. Kosong hampa dan sesungguhnya tidak ada apa-apa! Mengertikah engkau, Bu Song?"
Dengan terus terang Bu Song menjawab, "Terlalu dalam untuk teecu, Suhu. Teecu kurang mengerti."
Kim-mo Taisu tersenyum dan membuka matanya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh dan tajam sekali, bening dan penuh pengertian. "Tidak aneh, Bu Song. Memang kau masih terlalu muda untuk mudah menangkap semua itu, sungguhpun engkau sudah banyak dijadikan permainan perasaan dan jasmanimu sendiri. Nah, contohnya begini. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Apakah yang aneh dalam peristiwa ini? Tidak aneh. Anak itu terlahir, tentu saja bisa mati karena sakit atau karena sebab lain. Jadi tidak aneh, dan sewajarnyalah kalau seseorang yang dilahirkan itu akan mati, cepat atau lambat. Kuulangi lagi. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Peristiwa wajar, bukan? Kejadian itu wajar, semestinya, tidak ada sifat suka maupun duka. Sang ibu berduka, menangis dan tersiksa hatinya, merana dan merasa sengsara. Inilah yang tidak wajar!"
Bu Song kaget, terheran, jelas membayang di wajahnya. "Mengapa kukatakan tidak wajar? Memang, karena semua ibu bersikap demikian, bagi umum hal ini adalah wajar. Namun bagi hukum alam tidaklah wajar karena tidak ada kaitannya sama sekali antara dua peristiwa itu. Disusah-senangi, atau ditawa-tangisi, peristiwa kematian itu tidaklah berubah karena tidak ada pertaliannya! Sang ibu berduka sampai jatuh sakit paru-parunya. Nah, ini wajar, karena duka itu ada hubungannya dengan paru-paru, keduanya termasuk kekuasaan Im. Karena hukum kait-mengait, tali-temali inilah maka timbul bermacam peristiwa di dunia ini, semua wajar dan semestinya. Yang tidak semestinya, yang tidak wajar, mendatangkan kekacauan dan karenanya menimbulkan hal-hal lain sehingga meluas sampai menimbulkan perang, menjadikan wabah penyakit, menimbulkan bencana alam dan lain-lain karena perputarannya tidak selaras. Maka, kalau semua manusia dapat menempatkan diri masing-masing selaras dengan kehendak alam, kalau manusia dapat menyesuaikan diri dengan segala apa yang dihadapinya, menyesuaikan diri dengan segala apa yang diperbuatnya, dengan kehendak alam, maka kekuatan Im dan Yang akan berimbang, perputaran Ngo-heng akan sempurna, dunia akan tenteram dan aman."
Sampai lama keadaan menjadi hening. Akhirnya Bu Song berkata, "Maafkan teecu, Suhu. Teecu yang masih bodoh hanya dapat menangkap secara samar-samar saja. Namun, menurut pendapat teecu, justeru menyesuaikan diri dengan kehendak alam itulah yang hanya mudah dibayangkan sukar dilaksanakan. Manusia sudah terlanjur menganggap wajar dan benar akan sesuatu yang sudah dilakukan dan dibenarkan banyak orang, sudah menjadi kebiasaan umum! Daun telinga wanita menurut kehendak alam tidak ada lubangnya, akan tetapi oleh manusia dilubangi untuk tempat perhiasan telinga. Ini sudah wajar dan benar menurut pendapat umum sehingga kalau ada wanita yang daun telinganya tidak dilubangi, dia ditertawai dan dianggap menyeleweng dari kebenaran umum. Pula, manusia terikat oleh wajib, terikat oleh hal-hal yang menyangkut kemanusiaan. Betapa dapat melepaskan diri daripada kemanusiaan, Suhu? Manusia dikurniai akal budi untuk dipergunakan. Maaf kalau kata-kata teecu keliru."
"Tidak, kau tidak keliru. Memang semua ucapanku tadi hanya dapat diterima oleh getaran perasaan. Memang manusia mempunyai wajib, yaitu wajib ikhtiar. Dan kau memang betul bahwa sukar bagi kita untuk melepaskan diri daripada kemanusiaan. Kalau tidak, tentu kita akan dicap sebagai seorang gila karena menyeleweng daripada kebiasaan umum. Kurasa cukuplah Bu Song, kelak kau akan mengerti sendiri. Kalau kau sudah hafal akan isi kitab itu, kau pelajari dan selami baik-baik. Nah, tinggalkan aku, aku hendak mengaso dan memulihkan tenagaku."
Bu Song keluar dari tenda suhunya. Di luar sunyi karena barisan sudah meninggalkan tempat itu. Hanya belasan orang pengawal tadi masih berjaga di situ, di depan satu-satunya tenda yang sengaja ditinggalkan untuk Kim-mo Taisu. Bu Song lalu menyuruh belasan orang pengawal itu menyusul barisan mereka, melapor kepada Phang-ciangkun bahwa Kim-mo Taisu selamat dan kini sedang beristirahat di situ, Enam belas orang pengawal itu memberi hormat lalu meninggalkan lereng untuk menyusul induk pasukan dan bergabung dengan teman-temannya. Kemudian Bu Song mengaso pula, dibagian belakang tenda.
Lewat tengah hari, Bu Song mendengar suara ribut-ribut di depan tenda. Baru saja ia tadi hening dalam samadhinya sehingga ia tidak memperhatikan apa yang terjadi disekitarnya. Karena terganggu samadhinya, Bu Song melompat bangun dan lari ke depan. Kiranya suhunya sudah berdiri di depan tenda dan berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, Pouw-kai-ong, Luw Kiat dan Hek-giam-lo si manusia berkedok tengkorak seperti iblis!
"Hemm, Kong Lo Sengjin! Kau merasa penasaran melihat aku masih hidup dan datang lagi hendak melihat aku mati? Baik, kau majulah dan mari kita selesaikan urusan kita agar lekas beres!" Kim-mo Taisu sudah siap dengan sikap tenang sekali, bahkan pedang di punggung dan kipas di pinggang belum ia ambil.
Sikap yang penuh ketenangan dan suara yang sama sekali tidak mengandung nada permusuhan itu agaknya membuat empat orang itu terpukul hati nuraninya.
"Heiii, hayo kauajari aku meniup suling! Benda ini diperebutkan semua orang, apa sih kegunaannya kalau aku tidak pandai meniup dan melagukannya?"
Bu Song sudah dapat menguasai dirinya. Ia mendapat kenyataan pahit betapa kesaktian kakek itu mengandalkan kepandaian silat. Mengingat akan kesaktian kakek itu, belum tentu kalau seorang tokoh seperti itu suka melanggar janji. Mungkin kakek ini memang benar-benar hanya ingin meminjam suling emas dan mempelajari bunyinya serta tahu rahasianya. Mungkin kakek ini hanya tertarik karena semua orang memperebutkannya, karena benda ini adalah benda keramat pemberian seorang kakek yang dianggap manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu. Bu Tek Lojin sudah sedemikian saktinya, kiranya dicari tandingnya sukar di atas dunia ini, maka untuk apakah kakek itu menginginkan suling emas? Tentu hanya karena ingin tahu. Maka ia lalu menjawab,
"Bu Tek Lojin adalah seorang Locianpwe yang sakti dan berkedudukan tinggi. Betulkah kali ini tidak melanggar janji, hanya akan meminjam suling dan belajar meniupnya? Kalau betul demikian, saya yang muda tentu saja akan suka sekali memberi petunjuk tentang ilmu meniup suling kepada Locianpwe."
"Ha-ha-ha, begitu baru anak baik!" Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang turun dan ia sudah duduk di atas batu besar sambil melambaikan tangan menyuruh Bu Song mendekat. "Coba kauberitahu, bagaimana memegangnya, bagaimana meniupnya dan bagaimana membuka tutup lubang-lubangnya?"
Bu Song memeberi petunjuk sedapatnya, bahkan ia memberi contoh membunyikan suling itu, dari nada rendah sampai nada tertinggi. Akan tetapi dasar kakek itu sudah terlalu tua, sudah terlambat untuk belajar, apalagi mempelajari seni musik yang membutuhkan bakat! Bukan main sukarnya. Jari-jari tangannya canggung kaku, bibirnya sukar meniup sempurna karena terganggu kumis tebal dan ia tidak memiliki perasaan peka akan bunyi seperti perasaan seniman. Lebih dua jam kakek itu meniup-niup sampai sepasang matanya melotot dan kedua pipinya kembung, hasilnya sia-sia belaka, yang dikeluarkan dari suling hanya suara merengek-rengek seperti kucing terinjak ekornya!
Tiba-tiba kakek itu menghentikan usahanya belajar, mendengus-dengus dan dari matanya keluar dua butir air mata yang besar-besar! Kiranya saking marah dan jengkelnya melihat hasil kosong usahanya, kakek itu sampai mengeluarkan air mata.
"Tidak ada gunanya! Suling sialan, tidak ada gunanya. Hanya suara iblis yang keluar dari lubangnya. Untuk apa diperebutkan? Suling keparat lebih baik dihancurkan!" Setelah berkata demikian, kakek itu menghantamkan suling itu kepada batu yang didudukinya, berulang-ulang. Terdengar suara keras dan tampak bunga api berpijar keluar ketika suling bertemu dengan batu.
"Locianpwe, jangan...!" Bu Song kaget dan mencegah sambil melangkah maju karena ia khawatir kalau-kalau sulingnya akan rusak. Akan tetapi sebuah dorongan tangan kiri kakek itu mengeluarkan angin yang menghantam dadanya dan membuat Bu Song terpelanting ke belakang!
Kakek itu agaknya makin marah ketika mendapat kenyataan bahwa suling itu tidak rusak sama sekali biarpun ia pukul-pukulkan batu, bahkan batunya yang remuk-remuk di bagian yang dipukul suling.
"Locianpwe, harap jangan marah. Suara suling itu dapat dibarengi bunyi sajak, baru selaras dan nikmat didengar!" Dalam gugupnya, Bu Song sengaja bicara terus terang akan rahasia suling.
Tangan yang sudah diangkat untuk menghantamkan suling sekuatnya pada batu itu berhenti bergerak. Kakek itu memandangnya seperti orang terheran-heran. "Kau tahu pula akan kitab kuno yang dibawa Ciu Gwan Liong? Apakah begitu kebetulan sehingga engkau mendapatkan kitab itu pula?"
Bu Song menggeleng kepala. "Kitab apakah, Locianpwe? Saya hanya pernah mendengar Suhu bersyair yang katanya Suhu dengar dari Locianpwe Bu Kek Siansu dan yang ternyata menjadi timpalan bunyi suling ini."
Berubah wajah kakek itu, matanya bersinar-sinar. "Bagaimana bunyinya? Hayo perdengarkan padaku, bagaimana bunyinya!"
"Locianpwe, syair dan bunyi suling harus dilagukan bersama, barulah dapat dinikmati perpaduannya yang luar biasa. Oleh karena hal ini membutuhkan dua orang maka biarlah Locianpwe menghafal bunyi syair, kemudian kita berdua mainkan lagu mujijat ini, Locianpwe yang membaca syair dan saya yang menyuling."
"Boleh, boleh!" Kakek itu berkata tak sabar. "Lekas kauperdengarkan, akan kuhafalkan!"
"ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA!
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
Sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Bu Song sengaja memilih syair terakhir dari kitab kuno itu yang telah membuat Ciu Bun girang luar biasa. Mula-mula Bu Tek Lojin mengikuti dan meniru bunyi syair sebaris demi sebaris, kemudian setelah hafal, kakek itu berseri-seri wajahnya, sajak itu dihafal berulang-ulang dan makin lama suaranya menjadi makin nyaring!
Tiba-tiba kakek itu menubruk dan meloncat, kedua lengannya merangkul pundak Bu Song dan memeluknya!
"Anak baik! Lekas kautiup suling ini, lekas beri kesempatan telingaku mendengar perpaduannya...!"
Bu Song lalu duduk bersila, sambil berkata, "Mulailah, Locianpwe, saya akan mengiringi dengan bunyi suling."
Kakek itu pun melompat berdiri di atas batu besar, membusungkan dada, menengadah ke langit lalu membaca syair itu kuat-kuat dengan suara dilagukan seperti yang dipelajarinya dari Bu Song tadi. Lambat-lambat keluarnya suara itu, dan berirama. Suara suling yang ditiup Bu Song mengiringi dan karena Bu Song berusaha memenangkan kakek itu dengan cara ini, maka ia mencurahkan seluruh perhatian dan perasaannya sehingga suara suling itu luar biasa sekali, menggetar-getar dan mengalun, menggores perasaan.
Mula-mula kakek itu nampak gembira, suaranya makin nyaring dan setelah habis syair itu ia baca, ia mengulanginya lagi dari permulaan, makin lama suaranya makin penuh perasaan, matanya bersinar-sinar, kulit mukanya sebentar pucat sebentar merah dan tak lama kemudian air mata bertitik-titik turun dari kedua matanya. Suaranya mulai menggetar-getar, kemudian menjadi parau dan akhirnya ia tidak melanjutkan nyanyiannya, melainkan jatuh duduk di atas batu terisak-isak menangis, menjambak-jambak rambutnya seperti orang gila, kemudian tertawa-tawa dan menangis lagi!
Bu Song kaget sekali. Sungguh jauh bedanya akibatnya yang menimpa diri kakek ini kalau dibandingkan dengan Ciu Bun. Sastrawan itu menerima hikmat perpaduan suara mujijat itu dengan penuh kebahagiaan, sebaliknya kakek ini menjadi seperti orang gila. Bu Tek Lojin masih terisak-isak, kemudian ia meloncat turun dari atas batu, berjingkrak-jingkrak dan tertawa-tawa, meloncat lagi ke atas batu dan akhirnya ia terduduk dengan lemas. Duduk bersila seperti orang bersamadhi, kedua lengannya bersilang di depan dada, mukanya menunduk dan ia tidak bergerak-gerak lagi seperti berubah menjadi arca!
Bu Song melihat semua tingkah kakek itu dengan mata terbelalak. Pemuda ini masih duduk bersila di atas batu lain, tiga meter jauhnya dari tempat kakek itu. tadinya ia terheran-heran dan tidak dapat menduga apa yang selanjutnya akan terjadi. Ia tidak tahu apakah akibatnya nanti akan baik baginya atau tidak. Namun harus ia akui bahwa perpaduan suara itu benar-benar mengandung sesuatu kemujijatan yang luar biasa. Dia sendiri hanya merasa betapa nikmat paduan suara syair dan suling itu. Tadinya ia girang melihat betapa kakek itu menangis dan menjambaki rambutnya, kini ia merasa kuatir karena kakek itu diam seperti berubah menjadi batu. Dengan hati-hati ia memanggil.
"Locianpwe...!" Kakek itu tidak menjawab. Bu Song bukan seorang bodoh. Seharusnya ia menggunakan kesempatan ini untuk pergi dengan aman, membawa pergi suing emas yang dicari oleh orang-orang pandai itu. Akan tetapi, dia seorang yang memiliki dasar hati penuh welas asih (belas kasihan) kepada orang lain. Melihat kakek itu seperti orang berduka, ia menjadi iba hati dan perlahan ia meniup lagi sulngnya, lirih namun amat merdu karena ditiup dengan penuh perasaan.
Belum habis ia meniup suling, kakek itu bergerak lalu mengangkat mukanya memandang kepada Bu Song. Ternyata kedua matanya merah dan basah.
"Bu Song, lekas kaumainkan semua jurus Pat-jiu Kiam-hoat dengan suling itu! Jangan melawan kalau aku menotok dan memukulmu. Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk membalas budimu yang telah membuka mata hatiku. Mulailah, Anak baik!"
Bu Song tidak tahu apa yang akan dilakukan kakek itu. akan tetapi karena ia maklum bahwa menghadapi kakek ini ia sama sekali tidak berdaya, maka ia tidak membantah dan menyerahkan keselamatan dirinya kepada Tuhan. Mulailah ia mainkan suling itu dengan jurus pertama dari Pat-sian Kiam-hoat. Tiba-tiba berkelebat bayangan kakek itu yang melayang turun dari atas batu dan ketika melakukan gerak jurus pertama, Bu Song merasa betapa lambungnya tertotok. Ia kaget namun tidak melawan dan bukan main herannya karena jurus pertama yang dilakukan dengan tusukan suling dari pinggang itu sama sekali tidak terganggu oleh totokan, malah ia merasa betapa hawa sakti di tubuhnya tersalur keluar melalui lambung yang baru saja terkena totokan sehingga jurus yang ia gerakkan itu mengandung tenaga yang jauh lebih kuat daripada biasanya. Bu Song menjadi girang, lenyap semua sisa kekuatirannya karena ia maklum bahwa kakek ini membantunya, membantu membuka "pintu" dalam tubuh agar hawa sakti yang ia salurkan dari pusat dapat lancar. Ia teringat akan cerita suhunya bahwa ilmu semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Penggunaan hawa sakti dalam tubuh untuk disalurkan ke dalam tubuh ke dalam tubuh orang lain, seperti dalam pengobatan, jika dilakukan akan membahayakan tubuh penolong itu sendiri. Namun Bu Song tidak sempat mencegah lagi karena ia sudah bersilat menghabiskan enam belas jurus Pat-sian Kiam-hoat gubahan suhunya dan enam belas kali ia merasa ditotok dan dipukul di bagian-bagian tertentu dari tubuhnya oleh kakek itu yang melakukannya dengan amat cepat dari belakang, kanan kiri atau dari depan.
Begitu selesai mainkan Pat-sian Kiam-hoat, Bu Song menyimpan sulingnya dan cepat menengok. Kiranya kakek itu sudah bersila lagi di atas batu, mukanya pucat seperti mayat, matanya tertutup dan sama sekali tubuhnya tidak bergerak. Bu Song meloncat mendekati dan memanggil lirih, "Locianpwe...!" Kakek itu tidak menjawab. Melihat keadaan orang yang pucat dan payah, makin yakin hati Bu Song bahwa kakek itu telah mengorbankan diri dan menurunkan ilmu yang hebat kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Locianpwe, banyak terima kasih teecu haturkan atas budi kebaikan Locianpwe!"
Kembali tidak ada jawaban. Sampai lama Bu Song berlutut. Karena tidak ada suara apa-apa dari kakek itu, Bu Song mengangkat muka memandang. Hatinya khawatir. Kakek itu duduk seperti mayat kaku. Ia meloncat ke atas batu dan mengulur tangan meraba. Bukan main kagetnya ketika meraba dada, sama sekali tidak ada tanda-tanda kakek itu bernapas! Juga jantung di dada tidak terasa detiknya. Bu Song meraba pergelangan tangan. Juga tidak berdetik. Tangan yang ditaruh di depan hidung kakek itu pun tidak merasai hembusan napas! Kakek ini telah mati!
Karena menyangka bahwa kakek itu mati kehabisan tenaga setelah membantunya menyempurnakan gerakan dengan bantuan hawa sakti tadi, Bu Song menjadi terharu dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menitikkan air mata! Kemudian ia melompat turun, mencari tempat yang baik untuk membuat lubang di tanah. Tak jauh dari situ, sekira sepuluh meter jauhnya, terdapat sebatang pohon. Di bawah pohon itulah Bu Song lalu menggali lubang, hanya menggunakan sebuah batu runcing dibantu tangannya dengan pengerahan tenaga dalam. Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya pekerjaannya selesai. Sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam terbuka. Selagi ia hendak menghampiri kakek itu yang duduk bersila dan disangka mati itu melayang langsung ke dalam itu dan kini duduk di dalam lubang dalam keadaan bersila!
Bu Song bengong. Lalu berlutut sambil memanggil, "Locianpwe...!" Hatinya girang karena jelas bahwa Bu Tek Lojin belum mati. Kalau sudah mati, mana mungkin ada mayat bisa meloncat sehebat itu memasuki lubang? Akan tetapi kalau masih hidup, kenapa tidak bernapas dan tidak terasa detik perjalanan darahnya, dan mengapa pula diam saja dan malah masuk sendiri ke dalam lubang kuburan?
Setelah berkali-kali memanggil tanpa jawaban, tahulah Bu Song bahwa kakek itu sudah tidak mau melayaninya, maka dia lalu berlutut memberi penghormatan terakhir sambil berkata,
"Locianpwe, sekali lagi terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe. Perkenankan teecu pergi melanjutkan perjalanan mencari Suhu."
Kemudian ia bangkit berdiri, untuk beberapa menit memandang tubuh yang seperti arca duduk bersila di dalam lubang itu, kemudian ia menghela napas dan membalikkan tubuh, pergi dari tempat itu dengan langkah-langkah lebar.
Pergantian kekuasaan terjadi secara lunak. Benar luar biasa, sungguhpun selama jaman Lima Dinasti yang setengah abad lamanya itu (907-960), kerajaan jatuh bangun tanpa ada perang saudara yang cukup serius. Akan tetapi habisnya jaman Lima Dinasti yang diambil alih oleh Kerajaan Sung ini benar-benar merupakan peralihan kekuasaan yang paling lunak. Hal ini adalah karena Jenderal Cao Kuang Yin menguasai sebagian terbesar bala tentara, di samping politiknya yang lunak sehingga dia sama sekali tidak membolehkan anak buahnya melakukan kekerasan dan gangguan di kota raja. Keluarga kerajaan "musuh" pun tak seorang pun diusik, bahkan banyak di antara mereka diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.
Biarpun keadaan di kota raja sendiri aman tenteram dan tidak terjadi banyak keributan dalam peralihan kekuasaan itu, namun peristiwa itu menarik perhatian suku bangsa Khitan yang sejak dulu menjadi musuh besar. Kerajaan Khitan menduga bahwa tentu keadaan di kota raja menjadi kacau karena peralihan kekuasaan ini. Oleh karena itulah maka bala tentara Khitan lalu menyerbu dari utara. Juga kerajaan-kerajaan lain ingin mengambil keuntungan dari peralihan kekuasaan ini dan mereka mengadakan serangan ke perbatasan untuk memperlebar wilayah mereka, menggunakan kesempatan selagi para pemimpin pasukan di perbatasan kebingungan karena mendengar tentang pergantian kekuasaan di kota raja.
Mendengar tentang serangan-serangan dari empat penjuru ini, Kaisar Sung pertama, menjadi marah dan segera mengirim pasukan-pasukan dan utusan-utusan ke perbatasan untuk membantu para pasukan lama di sana sambil mengangkat pemimpin lama menjadi pemimpin baru. Adapun yang paling diperhatikan adalah serangan dari utara, dari suku bangsa Khitan, oleh karena memang dari suku bangsa Khitan inilah datangnya bahaya yang paling besar. Untuk menghalau musuh lama ini, Kaisar Sung Thai Cu lalu mengerahkan sebuah barisan besar, dipimpin oleh panglima-palingma pembantunya yang setia dan gagah perkasa, pandai mengatur barisan. Selain ini, juga kaisar yang bijaksana dan pandai mempergunakan tenaga ini memanggil Kim-mo Taisu dan minta bantuan pendekar ini untuk menyertai barisan besar itu melawan pasukan-pasukan Khitan yang terkenal kuat dan memiliki panglima-panglima yang berkepandaian tinggi pula.
Kim-mo Taisu maklum bahwa hanya kaisar kerjaan baru inilah yang dapat diharapkan akan mendatangkan kemakmuran kepada rakyat, maka dengan rela hati ia mengulurkan bantuannya dan berangkatlah Kim-mo Taisu dengan barisan Kerajaan Sung yang pertama kali mengadakan ekspedisi ke utara untuk melawan musuh besar mereka, yaitu bangsa Khitan. Selain memang suka membantu kaisar ini, juga Kim-mo Taisu memiliki urusan pribadi di utara, yaitu untuk mencari musuh lamanya, ialah Ban-pi Lo-cia si tokoh Khitan yang sakti. Juga ingin ia bertemu kembali dengan musuh lamanya, Bayisan manusia Khitan yang curang. Ingin ia memberi hajaran orang itu untuk kedua kalinya!
Pada masa itu, kedudukan bangsa Khitan sudah jauh, sudah melewati tembok besar yang tadinya dibangun dengan maksud mencegah masuknya musuh-musuh seperti bangsa Khitan! Hal ini terjadi ketika Dinasti Cin (936-947) berdiri. Kerajaan Cin hanya dapat berdiri dan merebut kekuasaan dari Kerajaan Tang muda karena bantuan barisan Khitan. Untuk jasa ini, Kerajaan Cin memberikan wilayah ujung timur laut di sebelah selatan tembok besar sampai ke kota besar Yen (Peking sekarang), juga wilayah Pegunungan Yin-san. Wilayah yang luas dan jauh lebih subur daripada daerah kekuasaan bangsa Khitan sendiri jauh di utara.
Ketika barisan besar dari Kerajaan Sung sudah menyeberangi Pegunungan Tai-hang-san di sebelah selatan Peking, tiba-tiba muncullah pasukan-pasukan Khitan dari segala jurusan dan terjadilah perang hebat di sekitar lereng pegunungan Tai-hang-san. Perang yang berlangsung dengan seru dan baru berakhir setelah matahari menyelam di sebelah barat. Pasukan-pasukan Khitan seperti pasukan-pasukan setan melenyapkan diri dan sunyilah keadaan di sekitar bekas tempat peperangan. Mayat-mayat menggeletak bergelimpangan dan udara penuh dengan bau amisnya darah, penuh pula dengan rintihan dan keluhan mereka yang menderita luka.
Para Panglima Sung memerintahkan pasukan-pasukan dalam barisan besar untuk mundur di balik puncak Tai-hang-san dan membuat perkemahan besar di lapangan terbuka sehingga tidak memungkinkan pihak musuh untuk melakukan penyerbuan serentak. Bendera besar Kerajaan Sung dipasang di tengah-tengah perkemahan, dikelilingi oleh bendera-bendera para panglima yang memimpin barisan itu. Dalam perang ini, Kim-mo Taisu tidak ikut maju karena pendekar ini melihat betapa di pihak Khitan juga tidak ada tokoh bukan tentara yang ikut perang. Ikut sertanya dalam barisan itu adalah untuk menandingi orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia. Kalau hanya perang biasa, pasukan lawan pasukan, tidak perlu ia bantu karena selain ia tidak mengerti tentang mengatur pasukan dan siasat perang, juga hal ini selain merendahkan kemampuan pasukan Sung, juga dapat merendahkan namanya sendiri sebagai pendekar sakti.
Malam itu para penjaga perkemahan menjaga dengan penuh kewaspadaan, akan tetapi juga diam tidak berani mengeluarkan suara ribut. Para panglima sudah memberi perintah agar malam itu dipergunakan betul-betul oleh pasukan untuk beristirahat secukupnya agar besok menjadi segar kembali untuk menghadapi lawan. Karena itulah maka tidak ada penjaga yang bermain kartu, tidak ada yang bersenda-gurau dan malam menjadi sunyi sekali.
Namun pada pagi harinya, para penjaga menjadi gempar ketika mereka melihat betapa bendera-bendera itu kini telah lenyap dan di atas tiang bendera yang tengah, yang paling tinggi, tampak sebuah benda kecil bergantung. Dalam keadaan terjaga keras dan rapat, ada orang dapat menyelundup masuk ke dalam perkemahan sudah merupakan hal aneh. Akan tetapi kalau orang itu dapat mengambil semua bendera lalu meninggalkan sesuatu di puncak tiang tanpa merobohkan tiang-tiang bendera, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa.
Beberapa orang penjaga hendak menurunkan tiang untuk mengambil benda yang tergantung di atas, akan tetapi komandan jaga melarangnya. "Jangan sentuh! Biar kita melapor ke dalam agar panglima menyaksikan sendiri hal ini. Siap saja untuk menerima teguran, mungkin hukuman!" Dengan muka pucat dan lesu komandan jaga lalu menghadap para panglima yang juga sudah bangun karena mendengar suara ribut-ribut di luar.
Empat orang panglima yang memimpin barisan itu berlari-lari keluar. Semalam mereka semua dalam barisan, dari perajurit sampai panglima, tidak ada yang menanggalkan pakaian seragam dan selalu berdekatan dengan senjata. Empat orang panglima itu masih dalam pakaian dinas, hanya muka dan rambut mereka kusut karena begitu bangun tidur mereka berlarian keluar. Mereka berhenti di luar tenda untuk menerima pelaporan komandan jaga yang melapor dengan suara gemetar, menceritakan betapa keras dan ketat mereka melakukan penjagaan semalam, namun ternyata pagi hari itu semua bendera lenyap dan sebagai gantinya di ujung tiang tengah yang paling tinggi, terdapat sebuah benda kecil tergantung di atas.
Pada saat itu, Kim-mo Taisu dengan tenang juga sudah datang ke tempat itu. Empat orang panglima itu saling pandang dengan kening berkerut, lalu memberi perintah untuk mencatat semua perajurit dan komandannya yang bertugas jaga malam itu untuk dihukum kelak kalau memang mereka bersalah dan lalai. Setelah itu, bersama Kim-mo Taisu, mereka melangkah keluar. Para perajurit yang tadinya ribut-ribut kini semua terdiam melihat muculnya empat orang panglima. Keadaan sunyi dan ketika mereka melihat ke atas, empat orang panglima itu menjadi pucat mukanya.
"Betapa mungkin menyelundup masuk dan melakukan perbuatan itu!" kata Panglima Phang tertua di antara rekan-rekannya., kemudian menoleh kepada Kim-mo Taisu sambil berkata,
"Agaknya pihak musuh mempergunakan orang sakti untuk mempermainkan kita. Kami kira hanya Taisu yang dapat menerangkan hal ini."
Diam-diam Kim-mo Taisu menarik napas panjang. Ia suka kepada kaisar pendiri Kerajaan Sung, maka ia menyambut permintaan bantuan raja itu dengan hati terbuka. Akan tetapi maklum pula bahwa empat orang panglima ini diam-diam di dalam hati mereka memandang rendah kepadanya. Memang hal ini pun tidaklah aneh dan ia tidak terlalu menyalahkan panglima-panglima itu, karena sesungguhnya, apakah artinya dia sebagai seorang pendekar silat dalam perang yang begitu besar? Kepandaiannya tidak berarti banyak. Andaikata ia mampu mengamuk dan membunuh puluhan orang lawan, akan tetapi tidak mungkin ia mengundurkan serbuan ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu orang musuh dengan kepandaian silatnya itu! berbeda dengan panglima ini yang memiliki kepandaian ilmu perang, pandai mengatur barisan dan siasat perang. Sesungguhnya, di tangan mereka inilah letak dasar kemenangan. Andaikata dia disuruh memimpin seratus ribu orang perajurit dan disuruh melawan perang panglima yang pandai yang hanya mempunyai lima puluh ribu orang perajurit belum tentu dia dapat mencapai kemenangan! Ilmunya hanya berguna untuk pertandingan perorangan, namun hampir tidak ada gunanya dalam perang antara ratusan ribu orang itu.
Akan tetapi, kalau ada peristiwa seperti pagi hari ini, barulah ilmu perorangan seperti yang ia miliki dapat dipergunakan, bahkan dibutuhkan. Ia menjura dan berkata, "Phang-ciangkun, permainan itu tidak ada artinya sama sekali. Anak-anak pun kalau dilatih mampu melakukannya. Biar kuturunkan benda itu dan kupasang kembali bendera-bendera tanpa menurunkan tiangnya!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Kim-mo Taisu menggenggam sekepal tanah pasir itu ke atas, ke arah ujung tiang. Tiang bendera itu tingginya sepuluh meter lebih dan agaknya bagi orang biasa takkan mungkin menimpuk jatuh benda yang berada di tempat setinggi itu hanya menggunakan tanah pasir. Akan tetapi Kim-mo Taisu bukanlah orang biasa! Begitu sinar hitam berkelebat ke atas, benda yang tergantung di puncak tiang itu pun melayang jatuh, disambut sorak sorai para perajurit yang mengagumi kehebatan Kim-mo Taisu.
Phang-ciangkun mengambil benda itu yang ternyata hanyalah surat bersampul kuning. Ketika ia melihat huruf-huruf yang tertulis di luar sampul ia berseru heran. "Haiii! Kiranya sebuah surat ditujukan kepada Taisu!"
Dengan hati heran akan tetapi sikapnya tenang, Kim-mo Taisu menerima sampul kuning itu dan membacanya. Benar saja. Huruf-huruf indah menghias sampul itu dan ditujukan kepadanya. Ia segera mengeluarkan suratnya dan membaca. Kiranya terisi surat tantangan dari... Kong Lo Sengjin! Sungguh hal yang tak tersangka-sangka! Dia mencari-cari Kong Lo Sengjin ke mana-mana, kiranya malah kakek lumpuh itu kini berada di sini dan mengajukan surat tantangan kepadanya! Tentu saja kalau kakek itu yang datang menyelundup dan melakukan hal-hal itu, bukanlah sesuatu yang aneh. Hanya anehnya, mengapa kakek itu menurunkan semua bendera? Bukankah itu merupakan penghinaan bagi Kerajaan Sung, padahal kakek lumpuh itu dahulu ikut pula membantu para panglima memaksa Cao Kuang Yin menjadi raja dan memberontak? Mungkin untuk memamerkan kepandaian saja? Saking girang hatinya akan bertemu dengan kakek yang hendak dimintai pertanggungan jawabnya tentang pembunuhan terhadap isterinya, tanpa disadarinya Kim-mo Taisu bergelak, lalu berkata,
"Harap diambilkan bendera-bendera baru, biar kupasangkan di tempatnya!" Di dalam hatinya, sama sekali tidak terkandung niatnya untuk memamerkan kepandaian, melainkan hanya untuk menandingi perbuatan Kong Lo Sengjin dan disamping itu, juga untuk membesarkan hati barisan. Bukankah ia ditugaskan menyertai barisan itu untuk melawan pihak musuh kalau menggunakan tenaga orang sakti?
Ketika lima buah bendera itu dibawa keluar oleh petugas dan diterima Panglima Phang lalu diberikan kepadanya, Kim-mo Taisu lalu mengayun tubuhnya ke atas. Memang sepandai-pandainya manusia, tak mungkin ia mampu terbang tanpa sayap, maka loncatan Kim-mo Taisu pun tidak dapat mencapai puncak tiang yang tingginya belasan meter itu. Namun dengan tangan menyambar tiang, ia dapat menggunakan tenaga tangannya untuk menekan tiang dan tubuhnya mencelat lagi ke atas. Dengan cara ini akhirnya tubuhnya mencapai ujung tiang, kedua tangannya memasangkan bendera Kerajaan Sung. Jauh dibawahnya, para perajurit bertepuk-tepuk tangan memuji tiada hentinya. Memang, apa yang dilakukan oleh Kim-mo Taisu itu adalah pertunjukan hebat yang takkan mudah dilakukan oleh orang lain. Hanya seorang sakti yang sudah memiliki lwee-kang tinggi saja akan mampu melakukan hal ini.
Selesai mengikatkan bendera di ujung tiang sehingga bendera itu berkibar tertiup angin pagi, Kim-mo Taisu menggunakan tenaga loncatan dengan menekan ujung tiang untuk meloncat ke tiang lain yang lebih rendah. Berturut-turut ia memasangkan bendera-bendera tanda pangkat para panglima pada empat batang tiang itu dengan cara berloncatan sehingga dalam waktu singkat saja lima helai bendera itu sudah berada di tempatnya, menggantikan bendera-bendera yang hilang, berkibar megah. Kim-mo Taisu dengan gerak layang yang amat indah dan ringan, meloncat turun dari atas tiang terakhir dan hinggap di atas tanah tanpa menimbulkan sedikit pun suara maupun debu! Kembali sorak-sorai menyambutnya.
"Phang-ciangkun, surat ini adalah surat tantangan dari seorang musuh besar saya. Terpaksa saya harus meninggalkan Ciangkun sekalian sebentar untuk melayaninya!"
Panglima Phang mengerutkan alisnya yang tebal. Sebagai seorang panglima yang tahu akan banyak siasat perang, ia menaruh curiga. "Maaf, Taisu, kalau Taisu tidak menyeratai kami dan kalau tidak berada dalam kancah perang melawan musuh bangsa Khitan yang terkenal cerdik dan curang, agaknya tantangan untuk Taisu itu sewajarnya saja dalam dunia persilatan. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, kami merasa curiga. Jangan-jangan mereka menggunakan siasat memancing naga keluar dari sarang, di satu pihak mereka menggunakan orang-orang pandai untuk mengepung Taisu, di lain pihak mereka hendak menggunakan saat Taisu tidak berada di sini untuk melakukan penyerbuan besar-besaran!"
Kim-mo Taisu mengagguk-angguk. "Benar sekali kecurigaan Ciangkun, dan memang agaknya begitulah. Namun, musuhku ini dahulu sama sekali bukan seorang musuh negara, bahkan sejak dahulu ia musuh orang Khitan pula. Entah mengapa kali ini ia merampasi bendera, agaknya hanya untuk memamerkan kepandaian dan menakut-nakuti kanak-kanak saja. Betapapun juga, memang dia selama ini kucari-cari, maka saya harus menerima tantangannya. Jangan Ciangkun berkhawatir. Saya ditantang untuk mendatangi puncak itu di mana dia menanti. Dari puncak saya akan dapat melihat keadaan barisan di sini dan setiap waktu Ciangkun membutuhkan tenagaku, dapat Ciangkun melepas tanda panah berapi ke udara. Kalau ada tanda itu, berarti saya harus datang, dan saya pasti akan meninggalkan urusan pribadi dan akan kembali ke sini secepatnya! Karena, andaikata orang-orang Khitan mengerahkan barisannya menyerbu, untuk menghadapi mereka tergantung dari keahlian Ciangkun berempat mengatur barisan. Tugas saya hanya menghadapi orang-orang macam yang semalam datang menyelundup ke sini. Bukankah demikian? Nah, sekarang juga saya pergi!" Kim-mo Taisu menjura, kemudian berkelebat dan lenyap dari situ. Yang tampak hanya bayangannya saja berkelebat cepat sekali, bahkan ada kalanya melalui atas kepala sekumpulan perajurit yang berdiri menghadang jalan keluar!
Semua orang kagum dan untuk beberapa lamanya mereka memandang ke arah puncak gunung yang berada tidak jauh dari tempat perkemahan itu. Betapa kagum hati mereka ketika tak lama kemudian tampak bayangan kecil Kim-mo Taisu bergerak-gerak lari mendaki puncak!
"Puncak itu tidak berapa jauh, mudah saja kita undang ia kembali atau mengirim pasukan menyusul kalau kita memerlukan tenaganya," kata Phang-ciangkun kepada teman-temannya. Mereka lalu bersiap-siap menyambut musuh dan memang tidak terlalu pagi mereka berkemas dan bersiap karena tak lama kemudian terdengar suara derap kaki bercampur sorak-sorai dan suara terompet dan tambur orang-orang Khitan! Cepat Phang-ciangkun dan tiga orang temannya naik ke tempat tinggi untuk mempelajari keadaan, kemudian setelah musuh tampak muncul dari depan dan dari kiri. Phang-ciangkun dahulu pernah menjadi pembantu Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai, dan dia sudah mempunyai banyak pengalaman pula menghadapi barisan Khitan sehingga banyak ia mengenal siasat-siasat barisan Khitan yang mengandalkan kekuatan atau siasat perang gerilya. Maka Phang-ciangkun tidak hanya mencurahkan perhatian ke arah utara dan barat (depan dan kiri), melainkah menaruh perhatian dan penjagaan pula kepada jurusan lain mencegah dan mematahkan serangan gelap.
Dengan ilmu lari cepatnya, Kim-mo Taisu mendaki puncak Gunung Tai-hangsan. Setelah tiba di lereng puncak, tampaklah matahari rendah di timur, bulat dan besar berwarna merah seperti bola api yang indah sekali. Sejenak Kim-mo Taisu menunda langkah kakinya dan memandang penuh kekaguman. Kemudian ia memutar tubuh dan melihat ke bawah. Tampak barisan Sung yang amat besar jumlahnya itu mulai bergerak dan juga amat megah dan indah tampaknya. Barisan itu seperti semut, terpisah-pisah dan terbagi menjadi lima bagian, ke empat penjuru dan yang ke lima tinggal di tengah. Barisan darat, barisan kuda, barisan panah, barisan tombak, dan barisan golok panjang serta golok pendek tampak jelas dari atas karena barisan-barisan itu memakai pakaian seragam yang berbeda-beda. Bendera-bendera berkibar dan suara penyambutan perang dari bawah yang amat gemuruh itu dari tempat tinggi ini hanya terdengar gemanya saja, seperti sekumpulan tawon merah. Jauh di sebelah utara, tampak samar-samar pasukan-pasukan Khitan, ada pula yang bergerak dari balik puncak. Dibandingkan dengan barisan Sung, pasukan-pasukan Khitan itu tidak berarti jumlahnya dan legalah hati Kim-mo Taisu. Ia percaya akan kemampuan para komandan pasukan Sung, akan keberanian perajurit-perajuritnya.
Dengan hati lega Kim-mo Taisu melanjutkan perjalanannya ke puncak. Sedikitpun ia tidak merasa ragu-ragu atau takut-takut, sesungguhpun ia dapat menduga bahwa Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh dan curang itu mungkin sekali membawa pembantu-pembantu. Tiba-tiba ia terheran ketika dari balik sebatang pohon muncul seorang laki-laki yang bersenandung seorang diri, tangan kanannya memegang sebuah mouw-pit (pena bulu) hitam, tangan kirinya memegang mouw-pit putih. Kiranya ia muncul bukan untuk menghadangnya, karena ia mundur-mundur, memandang ke arah batang pohon yang besar itu, maju lagi dan tangan kirinya bergerak ke depan. "Rettt!" Mouw-pit putih telah membuat coretan pendek pada sehelai kertas putih yang dibentangkan di batang pohon. Kemudian ia mundur lagi sampai tiga meter lebih, matanya menyipit, menatap ke depan, kepalanya miring-miring, lalu ia maju lagi menggerakkan mouw-pit hitam di tangan kanan. "Rettt!" lalu ia mundur lagi. Mulutnya yang tadinya bersenandung tidak jelas apa maksudnya, kini bernyanyi, suaranya serak dan suara nyanyian itu tidak enak didengar.
"Biar iblis kalau berhati emas, bukan jahat namanya!
Biar raja kalau berwatak srigala, dia melebihi iblis!
Biar srigala kalau banyak dan mengandalkan pengeroyokan,
seekor harimau pun bisa mengalami bencana !
Karena itu lebih baik lari menjauhkan diri!"
Kim-mo Taisu yang sedang menghadapi urusan penting, tadinya tidak ingin menunda perjalanannya. Akan tetapi mendengar nyanyian ini, terutama baris kalimat pertama dan kedua, dia menjadi tertarik. Dia dijuluki Kim-mo Taisu. Guru Besar Iblis Berhati Emas! Sedangkan Kong Lo Sengjin adalah Sin-jiu Couw Pa Ong, seorang raja muda! Jelas bahwa sajak yang dinyanyikan itu bukan hanya kebetulan saja. Apalagi disebut-sebut tentang srigala-srigala yang hendak mengeroyok, maka sang harimau lebih baik pergi jauh. Tak salah lagi! Orang aneh itu bernyanyi dengan kata-kata memberi peringatan kepadanya agar jangan melayani tantangan Couw Pa Ong yang akan mengeroyoknya! Ketika Kim-mo Taisu mendekat, tampaknya olehnya bahwa laki-laki yang usianya lima puluh tahun lebih, agak pendek dan matanya lebar itu sedang melukis. Ia memandang ke arah kertas yang dibentangkan dan menempel batang pohon dan... hampir saja Kim-mo Taisu berseru saking kagumnya. Dia sendiri adalah seorang sastrawan, tentu saja mengenal seni lukis, bahkan sedikit banyak pandai juga melukis. Bukankah menulis huruf sama dengan seni lukis pula? Apa yang dilihatnya di atas kertas itu benar-benar sebuah lukisan yang mengagumkan. Coretan-coretannya kuat sekali, kuat dan hidup. Gambar itu melukiskan empat ekor serigala sedang berkelahi mengeroyok seekor harimau. Biarpun lukisan itu hanya hitam putih, namun hidup sekali. Mata empat ekor srigala itu seolah-olah hidup dan menyinarkan kelicikan dan kecurangan di samping kebuasan. Mulut mereka seolah-olah tampak hidup mengeluarkan uap amis, dengan air liur menetes-netes, lidah terjulur keluar, gigi runcing-runcing penuh ancaman. Juga harimau itu amat indah, membayangkan kegagahan dan keberanian, akan tetapi keadaannya payah dikeroyok empat ekor srigala yang buas dan berkelahi dengan cara yang curang itu, selalu mengarah kaki belakang sang harimau.
"Lukisanmu indah sekali, Sobat!" Kim-mo Taisu memuji.
Orang itu kelihatan kaget bukan main, kedua mouw-pitnya sampai melayang ke atas dan sekali tangan kanannya bergerak ia sudah mencabut sebatang pedang yang bersinar terang kekuningan, tubuhnya melompat ke belakang membalikkan tubuh dan siap dengan pedang di depan dada, ketika sepasang mouw-pit hitam putih itu meluncur turun, tanpa mengalihkan pandang mata ke arah Kim-mo Taisu dengan tangan kirinya bergerak ke depan dan tahu-tahu kedua mouw-pit itu sudah terjepit di antara tangan kirinya!
Mereka saling pandang. Kim-mo Taisu maklum bahwa pelukis aneh ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi pula, maka ia makin kagum dan cepat-cepat ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan menjura.
"Maafkan saya kalau saya mengganggu Saudara yang sedang enak-enak melukis. Akan tetapi melihat lukisan yang hebat luar biasa ini, dan mendengan nyanyian Saudara, tak mungkin saya lewat begitu saja. Kim-mo Taisu bukanlah seorang yang tidak tahu akan maksud baik orang lain, juga tidak buta akan kepandaian melukis yang begini mengagumkan!"
Tiba-tiba orang itu tertawa dan mukanya berubah lucu sekali. Apalagi ketika ia memasang kuda-kuda tadi, pinggulnya lenggak-lenggok seperti orang sedang ber-agogo! Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya, lalu balas memberi hormat sambil pecuca-pecucu (mulut digerak-gerakkan meruncing).
"Wah-wah-wah! Akulah yang layak ditampar! Aku yang layak minta maaf karena seperti orang buta saja tidak melihat timbulnya matahari pagi yang demikian indah merajai angkasa raya! Tidak mengenal Kim-mo Taisu yang tersohor sebagai seorang pendekar sakti, terutama baik budi pekertinya. Maaf, maaf !" Ia menghormat lagi lalu berkata, "Aku yang bodoh bernama Gan Siang Kok, akan tetapi anak-anak kecil yang suka melihat gambar-gambarku menyebutku Gan-lopek. Heh-heh-heh, memang aku sudah tua tentu saja suka disebut lopek (paman tua) ! Mau pura-pura muda saja, rambut sudah beruban gigi sudah tidak lengkap, Heh-heh, hati sih tinggal muda, tapi rambut dan gigi ini tak dapat disangkal ketuaannya. Ha-ha-ha !"
Kim-mo Taisu tersenyum. Orang ini biarpun aneh, wataknya terbuka dan mempunyai pandangan luas dan selalu gembira. Agaknya memandang dunia dengan hati terbuka dan dari sudut yang mengandung kelucuan. Memang kalau orang berpemandangan awas dan berhati terbuka, di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang membuat hati menjadi geli, seperti melihat badut-badut berlagak di atas panggung. Melihat betapa di dalam kehidupan manusia sehari-hari, selalu manusia tunduk kepada kepalsuan yang disebut kebiasaan umum! Kekeliruan-kekeliruan dan penyelewengan-penyelewengan yang tidak dianggap salah lagi karena orang banyak, bahkan semua orang melakukannya! Kepalsuan yang kadang-kadang disebut kesopanan, disebut kebiasaan umum, disebut peraturan dan bahkan disebut hukum! Alangkah lucunya manusia-manusia yang berselimut segala yang baik-baik itu membiarkan diri berlagak seperti badut-badut berkedok kepalsuan! Tentu saja hal ini tidak akan tampak oleh manusia sesama badut. Hanya orang yang sudah sadar saja yang akan dapat menjadi penonton. Orang-orang yang masih mabok dan belum sadar, mabok keduniaan, akan terseret dan ikut main di atas panggung menjadi badut-badut dan bahkan saling berlomba memperebutkan kejuaraan badut!
"Kalau begitu, biarpun selisih usia kita tidaklah terlalu banyak, aku yang lebih muda akan menyebutmu Gan-lopek juga."
"Heh-heh-heh, itu yang paling baik. Merupakan kehormatan besar sekali mempunyai keponakan seorang berwatak pendeta dan bertubuh pendekar yang harus disebut Taisu (guru besar) oleh Paman tuanya. Ha-ha!"
"Gan-lopek, harap sudahi main-main ini. Tidak perlu kiranya kau berpura-pura lagi bahwa yang kaunyanyikan dan yang kaulukis ini kebetulan saja menyangkut diriku. Terima kasih atas peringatanmu bahwa di atas sana menanti musuh-musuhku yang berjumlah banyak hendak mengeroyokku. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa seekor harimau tidak pernah mengenal takut. Nah, aku pun tidak takut karena aku berbekal kebenaran. Sekali lagi terima kasih dan selamat berpisah, Gan-lopek!" Setelah memberi hormat lagi, Kim-mo Taisu melanjutkan perjalanannya.
Gan-lopek melanjutkan corat-coretnya, mulutnya mengomel, "Cari mati...., cari mati...!"
Ketika kemudian Kim-mo Taisu menengok, ia melihat betapa Gan-lopek yang aneh dan lucu itu telah mencoret-coret gambarnya sehingga gambar yang indah itu berubah menjadi hitam semua, seperti seorang kanak-kanak yang ngambul dan sengaja merusak lukisan itu untuk melampiaskan kekecewaan dan kemendongkolan. Kim-mo Taisu tersenyum, mengangkat kedua pundak, lalu melanjutkan perjalanannya mendaki puncak. Di atas puncak Tai-hang-san itu terdapat bagian yang rata dan ditumbuhi rumput hijau, cukup luas dan pemandangan dari puncak itu ke bawah amatlah indahnya. Kim-mo Taisu melihat ke bawah dan tampak pemandangan luar biasa karena kini "semut-semut" di bawah itu sudah mulai berperang!
Tiba-tiba dari belakang pohon-pohon di sekitar lapangan itu muncul empat orang yang bergerak cepat menghampirinya. Paling depan ia mengenal Kong Lo Sengjin yang "berjalan" di atas kedua tongkatnya. Akan tetapi alangkah kaget, heran dan juga girangnya ketika melihat bahwa orang ke dua adalah Ban-pi Lo-cia! Tanpa ia cari-cari kini musuh-musuh besarnya telah berkumpul sehingga mudah baginya untuk segera menyelesaikan perhitungan lama! Dasar seorang yang berwatak pendekar, Kim-mo Taisu hanya teringat akan keuntungan perjumpaan ini, sama sekali tidak ingat bahwa Kong Lo Sengjin dan Ban-pi Lo-cia menjadi satu merupakan lawan yang bukan main beratnya, belum lagi ditambah dua orang yang berada di belakang mereka. Adapun dua orang itu juga bukan orang sembarangan, karena yang satu adalah Pouw-kai-ong, Si Raja Pengemis yang jahat dan licik, memiliki kepandaian yang aneh sekali, sedangkan orang ke dua adalah Lauw Kiat, murid Ban-pi Lo-cia yang tentu saja tinggi ilmunya dan semenjak dahulu mengeroyoknya tentu kini telah bertambah ilmunya.
Akan tetapi Kim-mo Taisu sama sekali tidak merasa gentar. Memang harus ia akui bahwa bersatunya Kong Lo Sengjin dengan Ban-pi Lo-cia, merupakan hal yang tidak ia sangka-sangka dan memang kedua orang itu ditambah Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat merupakan lawan yang berat sekali, jauh lebih berat ketika ia dikeroyok oleh Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong, dan Ma Thai Kun dahulu. Namun selama belasan tahun ini pun ilmunya sendiri sudah mendapat kemajuan pesat. Dahulu ia terhitung masih muda, dan kini ia sudah dapat mematangkan ilmu kepandaiannya, sedangkan dua orang lawannya yang paling pandai, Ban-pi Lo-cia dan Kong Lo Sengjin, sudah terlalu tua sekarang dan karenanya tentu berkurang tenaganya.
"Hemm, siapa duga Sin-jiu Couw Pa Ong yang dahulu terkenal sebagai seorang patriot sejati, seorang pembela tanah air dan negara sampai mengorbankan kedua kakinya, kini menyeberang kepada musuh dan tidak malu dalam usia tua merubah diri menjadi seorang penghianat yang serendah-rendahnya karena bersekutu dengan orang Khitan !" Kim-mo Taisu menegur karena memang hatinya merasa tertusuk dan marah bukan main menyaksikan paman mendiang isterinya itu bersekutu dengan Ban-pi Lo-cia. "Berlaku curang, menggunakan orang Hui-to-pang membunuh keponakannya sendiri dan melemparkan fitnah kepada orang lain adalah biasa, akan tetapi menghianati negara adalah kejahatan yang rendah, yang akan mendatangkan noda yang tak terhapuskan selama tujuh keturunan !"
Marahlah Kong Lo Sengjin mendengar ini. Marah luar biasa sehingga mukanya menjadi pucat, alisnya berdiri dan rambutnya yang sudah awut-awutan itu seketika seperti menjadi kaku. Ia melangkah lebar dengan tongkatnya mendekati Kim-mo Taisu dan memaki dengan bentakan keras.
"Tutup mulutmu! Kwee Seng, kau anak kecil tahu apa tentang perjuangan? Ketika kau belum terlahir aku sudah berjuang membela negara. Sekarang kau berani memberi kuliah tentang perjuangan kepadaku? Keparat !"
Kim-mo Taisu tersenyum mengejek "Justeru karena kau sudah terlalu tua maka engkau menjadi pikun. Sudah layak kalau orang dinilai dari perbuatannya paling akhir. Seribu perbuatan baik akan terhapus oleh sebuah perbuatan buruk. Seribu perbuatan buruk dapat saja dicuci oleh sebuah perbuatan baik terakhir. Kong Lo Sengjin, kau sudah tua, mendekati saat kematian, mengapa tidak menyiapkan bekal yang baik malah menumpuk dosa dan kecemaran? Mengapa tidak mencari jalan terang malah tersesat dalam kegelapan? Mengapa seorang patriot berubah menjadi penghianat ?"
"Setan neraka !" Kong Lo Sengjin semakin marah. "Aku sudah mengorbankan seluruh keluargaku untuk negara, bahkan mengorbankan kedua kakiku! Aku memang menyuruh bunuh isterimu untuk membangkitkan semangatmu agar kau mengikuti jejakku! Kau yang baru berkorban isteri saja sudah ribut dan hendak membalasku. Jangan kira aku takut. Kini kau menuduhku yang bukan-bukan. Kau anak kecil tahu apa? Semenjak Kerajaan Tang runtuh, selama setengah abad rakyat kita ditindas oleh raja-raja lalim. Mula-mula mereka baik, akan tetapi akhirnya sama saja. Keadaan begini harus diakhiri dan bangsa Khitan yang jaya sajalah yang akan dapat membantu merubah keadaan. Dengan bantuan bangsa Khitan, aku akan mendirikan kembali Kerajaan Tang yang megah! Kau, Kim-mo Taisu, kalau kau mau membantu kami, aku dan sahabat-sahabatku ini akan melupakan segala urusan diantara kita yang sudah lewat, dan mari kita bangun kembali Kerajaan Tang dengan bantuan sahabat-sahabat Khitan. Kelak kau akan menjadi raja muda, karena kau masih terhitung mantu keponakanku!"
Kim-mo Taisu memandang dengan mata terbelalak, kemudian bertanya, suaranya perlahan dan lirih, "Dan kau...kau menjadi kaisarnya?"
"Siapa lagi? Akulah raja muda Kerajaan Tang yang terakhir!" jawab Kong Lo Sengjin sambil membusungkan dada.
Celaka, pikir Kim-mo Taisu. Kakek ini sudah menjadi gila! Menjadi Kaisar Kerajaan Tang yang dibangun dengan bantuan bangsa Khitan? Sama saja dengan memasukkan barisan srigala ke dalam rumah. Apakah kalau seandainya bangsa Khitan berhasil, mereka mau menyerahkan kekuasaan kepada Kong Lo Sengjin? Kepada seorang kakek lumpuh? Membayangkan betapa kerajaan dikuasai oleh seorang kaisar lumpuh, Kim-mo Taisu menjadi geli hatinya dan tak tertahankan lagi ia tertawa tergelak.
"Ha-ha-ha! Kong Lo Sengjin, kiranya engkau sudah menjadi gila! Tak usah kau melamunkan yang bukan-bukan karena sekarang juga kau harus menebus kematian isteriku dengan nyawamu! Adapun teman-temanmu ini, terutama sekali Ban-pi Lo-cia, juga takkan lepas dari tanganku karena dia harus menebus kematian adik isteriku. Kong Lo Sengjin, tahukah engkau bahwa adik kembar Gin Lin yang bernama Khu Kim Lin tewas karena kekejian dan kebiadaban manusia Khitan ini?"
"Tutup mulut ! Urusan pribadi tidak penting, yang penting urusan negara!" Kong Lo Sengjin sudah menjadi marah sekali dan menerjang Kim-mo Taisu dengan kedua tongkatnya yang bergerak-gerak bergantian secara dahsyat. Tentu saja kakek yang berubah wataknya ini tidak peduli betapa keponakannya mati karena Ban-pi Lo-cia, karena dia sendiripun tega menyuruh membunuh keponakannnya, isteri Kim-mo Taisu, hanya untuk kepentingan cita-citanya.
Kim-mo Taisu yang kini sudah siap untuk bertanding, cepat mengelak dengan lompatan tinggi ke kanan. Ketika kakinya kembali menyentuh bumi, tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang, tangan kirinya memegang sebuah kipas. Memang semenjak ia mengambil keputusan untuk mencari musuh-musuh besarnya yang terdiri dari orang-orang sakti, dan mengingat akan pengalamannya ketika ia dikeroyok tanpa memegang senjata. Kim-mo Taisu sudah mempersiapkan diri dengan sepasang senjatanya yang lengkap yaitu pedang dan kipas. Begitu lawannya mendesak maju, sekaligus Kim-mo Taisu menggerakkan pedang dan kipas, pedangnya mainkan Pat-sian Kiam-hoat dan kipasnya mainkan Lo-hai San-hoat yang merupakan pasangan luar biasa dan hebat. Betapapun saktinya Kong Lo Sengjin menghadapi serbuan sepasang senjata aneh yang mengeluarkan angin pukulah dahsyat ini, kakek itu terhuyung ke belakang.
Akan tetapi pada saat itu, Ban-pi Lo-cia sudah menerjang maju dengan cambuk hitamnya sambil tertawa, "Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, sekali ini kau takkan dapat lolos dari cambukku!" Betapa kaget hati kakek Khitan raksasa ini ketika ujung cambuknya menyambar dan dekat dengan tubuh lawan, ujung cambuk itu terpental kembali seakan-akan ada tenaga luar biasa yang menolaknya. Kiranya kebutan kipas di tangan kiri Kim-mo Taisu telah berhasil mendorong kembali ujung cambuk itu. Dari gerakan ini saja dapat dibayangkan betapa hebat tenaga sin-kang Kim-mo Taisu dan diam-diam Ban-pi Lo-cia merasa khawatir. Ia maklum bahwa selama belasan tahun ini, Kim-mo Taisu telah mendapat kemajuan pesat sekali dan dalam hal tenaga dalam saja ia sudah tidak dapat menandingi lawannya! Biarpun begitu, kakek raksasa ini tidak takut, apalagi pada saat itu, Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat sudah menyerbu maju untuk membantu.
Yang hebat dan tak tersangka-sangka oleh Kim-mo Taisu adalah Pouw-kai-ong. Begitu Raja Pengemis ini bergerak menggunakan sebatang tongkat pengemis, terdengar angin menderu dan serangannya berbahaya sekali. Kiranya Raja Pengemis yang sebaya dengannya itu, juga telah memperoleh kemajuan hebat. Hanya Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia sajalah yang merupakan lawan paling lemah di antara empat orang ini. Namun pengeroyokan mereka cukup berbahaya dan membuat Kim-mo Taisu harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
Pertandingan berlangsung dengan amat hebatnya. Betapapun dia dikurung dan tidak diberi kesempatan oleh empat orang pengeroyoknya, namun Kim-mo Taisu kadang-kadang menggunakan kesempatan untuk mengerling ke bawah puncak, untuk melihat kalau-kalau ia dibutuhkan oleh panglima bala tentara Sung. Di bawah puncak juga terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan melawan bala tentara Sung. Terjadilah penyembelihan manusia besar-besaran oleh kedua fihak. Penyembelihan dan pembuhuhan kejam tanpa sebab-sebab pribadi, hanya untuk memenuhi kehendak beberapa gelintir manusia yang ingin melihat cita-citanya terlaksana! Bunuh-membunuh, yang kalah roboh dan harus mati, yang menang tertawa dan hidup. Seolah-olah yang menang lupa bahwasannya mereka pun hanya menang untuk sementara saja, menang untuk waktu yang tidak lama, karena maut tentu akan datang menjemput nyawa mereka untuk menyusul nyawa mereka yang kalah! Pedang dan golok yang memang haus darah, menusuk membacok mencincang hancur tubuh lawan yang kalah, senang hati menyiksa yang kalah. Seolah-olah mereka ini lupa bahwasanya sebelum maut kelak mencabut nyawa mereka, akan tiba masanya mereka mengalami suka dan derita sebelum mati, mungkin jauh lebih mengerikan dan lebih sengsara daripada penderitaan mereka yang dicincang dalam perang. Lupa bahwa siksaan dalam bentuk penyakit sebelum mati kadang kala amat mengerikan dan sengsara.
Dalam mengejar hasrat dan nafsu, manusia lupa bahwa tidak ada yang menang atau kalah dalam kehidupan manusia. Yang menang mutlak dan abadi hanya Tuhan. Karena itu, bahagialah mereka yang mengabdikan diri sebagai hamba Tuhan, sebagai perajurit Tuhan yang bersenjatakan kasih, yang hanya mengharapkan damai dan tenteram di dunia, tidak ada perang, tidak ada bunuh membunuh, tidak ada benci, tidak ada dendam. Yang ada hanya kasih sayang sesama hidup, bergembira melihat orang lain bersenang, prihatin dan mengulurkan tangan menolong melihat orang lain bersusah. Kalau hidup antar manusia sudah seperti itu, hidup antar negara tentu menjadi demikian pula. Tidak ada bentrok politik, tiada perang agama, tiada perbedaan di antara bangsa, penuh kasih, penuh toleransi. Amboi, alangkah nikmat hidup di dunia dalam keadaan seperti itu.
Kim-mo Taisu benar-benar seorang pendekar sakti. Empat orang lawannya adalah orang-orang luar biasa, ahli-ahli silat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Bankan yang dua orang, yaitu Kong Lo Sengjin dan Ban-pi Lo-cia adalah dua orang sakti yang merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Namun, sampai sejam lebih mereka bertempur, belum juga empat orang itu dapat merobohkan Kim-mo Taisu. Betapapun juga, harus diakui bahwa keadaan Kim-mo Taisu amat berbahaya. Selain empat orang itu lihai juga mereka, terutama Ban-pi Lo-cia dan Kong-lo Sengjin, bertanding penuh semangat dan kebulatan tekad. Agaknya dua orang kakek itu maklum bahwa kali ini harus ada keputusan terakhir, mempertaruhkan nyawa untuk menang atau kalah. Hidup atau mati! Karena kenekatan inilah maka Kim-mo Taisu mulai terdesak. Ia belum mampu melukai seorang di antara empat orang pengeroyoknya yang dapat bekerja sama amat baik dan rapi, saling melindungi dan saling menjaga.
Agaknya Lauw Kiat mulai hilang sabar. Ia bersuit keras dan dari dalam hutan di puncak gunung muncullah dua belas orang Khitan yang bertubuh tinggi besar. Mereka datang membawa sebuah jala ikan. Aneh sekali mengapa sebuah jala ikan dibawa oleh dua belas orang. Sebetulnya jala itu bukan sembarang jala, melainkan sebuah alat untuk menangkap orang sakti. Jala ini terbuat daripada bahan yang kuat sekali, tidak putus oleh sabetan senjata tajam, dan di sebelah dalamnya terdapat banyak kaitan-kaitan berbentuk pancing sehingga sekali seorang tertutup jala, betapapun saktinya, akan sukar baginya untuk lolos karena makin keras ia bergerak memberontak akan makin banyak pula kaitan-kaitan kecil berbentuk pancing manancap di tubuhnya!
"Bantu kami tangkap dia!" seru Lauw Kiat dalam bahasa Khitan.
Akan tetapi selagi dua belas orang itu mempersiapkan jala dan mengatur kedudukan mereka yang dipersulit oleh adanya pertandingan yang sedemikian cepat gerakannya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Begitu tiba di situ, bayangan itu tertawa-tawa dan menyerang dua belas orang tinggi besar itu secara kalang-kabut. Dari sudut matanya Kim-mo Taisu melihat bahwa yang datang menyerang dua belas orang penebar jala itu bukan lain adalah Gan-lopek si pelukis tadi!
Benar saja dugaan Kim-mo Taisu ketika bertemu dengan kakek pelukis ini tadi. Tidak hanya pandai melukis dan melawak, Gan-lopek ini ternyata lihai pula ilmu silatnya. Setidaknya terlalu lihai untuk dua belas orang tinggi besar yang hanya pandai bermain dengan jala itu. Mereka itu adalah orang-orang Khitan yang biasa menjala ikan, biasa pula mereka menangkap anjing laut dengan jala. Tentang ilmu silat, mereka hanya tahu sedikit-sedikit, walaupun bertenaga besar.
Karena penyerbuan Gan-lopek ini tak tersangka-sangka, dua belas orang itu tidak sempat mempergunakan jala mereka, maka mereka mencabut golok besar dan menerjang kakek yang tertawa-tawa itu. Kiranya Gan-lopek hanya melayani mereka dengan sepasang mouw-pitnya. Pedangnya masih tergantung di pinggang, sama sekali tidak ia pergunakan. Akan tetapi sepasang mouw-pitnya hebat. Ketika tubuhnya berkelebatan dengan pinggul megal-megol seperti orang menari agogo, kedua tangannya bergerak cepat, terdengar teriakan-teriakan marah. Sebentar saja enam orang tinggi besar sudah tidak bisa berkelahi lagi karena mereka menggunakan kedua tangan mereka yang menjadi gelap karena dicoret-coret oleh sepasang mouw-pit sehingga muka mereka itu coreng-moreng dengan warna hitam dan putih sedangkan mata mereka penuh tinta! Kemudian mereka roboh seorang demi seorang tertotok gagang mouw-pit.
Sayang Gan-lopek orangnya suka bergurau. Kalau saja ia cepat-cepat merobohkan dua belas orang itu tanpa bergurau seperti itu, agaknya ia masih akan sempat membantu Kim-mo Taisu yang terdesak hebat. Ketika Gan-lopek sedang enak-enaknya membabati roboh dua belas orang tinggi besar itu seperti orang membabat rumput saja, tiba-tiba ia merasa angin menyambar hebat dan dahsyat dari belakangnya, didahului suara Kim-mo Taisu, "Gan-lopek, awas!"
Gan-lopek terkejut, cepat menggerakkan kedua tangan ke belakang, menangkis dengan sepasang mouw-pitnya. Akan tetapi terdengar suara keras, sepasang mouw-pitnya patah dan pundak kanannya kena hantam ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia yang telah menyerang Gan-lopek ketika melihat Gan-lopek merobohkan dua belas orang tukang jala.
"Aduuhh...!" Gan-lopek roboh terguling dan terus ia menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan susulan. Sambil bergulingan Gan-lopek muntahkan darah segar, tanda bahwa hantaman pada pundaknya tadi telah mengakibatkan luka berat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi cambuk hitam itu bagaikan tangan maut terus mengejarnya untuk memberi pukulan maut terakhir.
Melihat keadaan ini, Kim-mo Taisu berseru keras, pedangnya bergerak menjadi sinar panjang ke depan, membuat para pengeroyoknya kaget dan mundur. Kesempatan ini ia pergunakan untuk menggerakkan tubuhnya, meloncat dan melayang ke arah Ban-pi Lo-cia sambil mengirim tusukan dengan pedang ke arah punggung kakek raksasa itu.
Ban-pi Lo-cia tengah mendesak Gan-lopek yang bergulingan. Mendengar angin serangan dari belakang, raksasa Khitan itu cepat membalikkan tubuh sambil mengayun Lui-kong-pian, yaitu cambuk hitamnya yang ampuh itu. Kim-mo Taisu sudah menduga akah hal ini, cepat menggerakkan kipasnya ketika kakinya sudah turun di atas tanah sambil mengerahkan sin-kang, mencipta tenaga melekat. Begitu bertemu kipas, cambuk Lui-kong-pian itu tak dapat terlepas dari kipas dan pada saat itu pedang Kim-mo Taisu datang menusuk dada. Ban-pi Lo-cia cepat mengerahkan tenaga Hek-see-ciang di tangan kirinya, menghantam ke arah lambung Kim-mo Taisu tanpa mempedulikan tusukan pedang. Dalam keadaan berbahaya itu, kakek raksasa ini agaknya ingin mengadu nyawa, mengajak mati bersama. Namun Kim-mo Taisu tidak sudi menerima ajakan ini, pedangnya yang menusuk otomatis bergerak membabat ke bawah.
"Crakkk!"" Buntunglah lengan kiri Ban-pi Lo-cia sebatas bawah siku. Darah menyemprot akan tetapi sedikitpun tidak terdengan keluhan Ban-pi Lo-cia, bahkan kakek itu tertawa bergelak dan cambuknya yang kini sudah terlepas, menyambar pula. Kim-mo Taisu melihat sambaran cambuk ditambah serangan dari belakang tentu dari seorang di antara para pengeroyok, cepat merebahkan diri ke bawah, bergulingan dan melihat kesempatan baik, ia meloncat ke atas dan mengerjakan pedangnya yang tak dapat dielakkan lagi oleh Ban-pi Lo-cia yang sudah terhuyung-huyung. Pedang menancap di perutnya yang gendut. Kim-mo Taisu menyontek pedang ke atas lalu meloncat sambil mencabut pedang. Ban-pi Lo-cia makin keras tertawa bergelak, akan tetapi kini ia tertawa sambil memandang ususnya yang keluar dari lubang besar di perut, dipegangnya usus itu dengan kedua tangannya. Akan tetapi ia terhuyung lalu roboh berkelojotan.
Hasil menewaskan seorang musuh besar ini bukan didapat dengan mudah begitu saja oleh Kim-mo Taisu. Tanpa pencurahan tenaga dan perhatian yang menyeluruh dalam serangan ini, tidak mungkin ia akan mampu merobohkan seorang sakti seperti Ban-pi Lo-cia. Dan karena pencurahan perhatian yang menyeluruh inilah, maka Kim-mo Taisu menebus dengan pengorbanan dirinya. Ketika Kim-mo Taisu bergulingan ke bawah tadi, dari belakang telah menyambar serangan hebat yang datang dari pukulan tongkat Pouw-kai-ong. Dengan gerakan berguling ia berhasil menghindarkan ancaman tongkat Pouw-kai-ong, bahkan berhasil menusuk dan menewaskan Ban-pi Lo-cia. Namun selagi ia menusuk dan menyontekkan pedangnya ke atas lalu dicabut dan siap meloncat mundur, tiba-tiba datang pukulan yang hebat dari arah kiri sedangkan dari arah kanannya menyambar tongkat Pouw-kai-ong, dari belakang juga ia ditusuk oleh tongkat di tangan Lauw Kiat, murid Ban-pi Lo-cia yang marah sekali melihat suhunya tewas.
Pada saat itu, Kim-mo Taisu baru saja meloncat, kedudukan kedua kakinya masih belum menginjak tanah dengan kuat. Terpaksa ia menggerakkan tubuh miring sehingga ia dapat menangkis tongkat Lauw Kiat denga pedang dan menyampok tongkat Pouw-kai-ong dengan kipas. Maksudnya hendak melanjutkan tangkisan pedangnya itu terus ke kanan membabat pukulan yang anginnya dahsyat dan membuntungkan lengan Kong Lo Sengjin. Namun terlambat. Kiranya Kong Lo Sengjin tidak memukul ke arah yang tadi, melainkan mengirim pukulan jarak jauh ke arah punggung. Kim-mo Taisu yang sedang menangkis dua tongkat itu tak sempat lagi mengelak. Punggungnya terkena pukulan jarak jauh dan ia terguling! Sebagai seorang ahli silat yang tinggi ilmunya, pukulan jarak jauh itu hanya mampu membuat ia terguling saja. Cepat ia terus menggelinding sambil menggerakkan pedang dan kipasnya menjaga diri. Akan tetapi ketika ia meloncat berdiri, tubuhnya terhuyung-huyung dan ia merasa punggungnya sakit dan kaku!
Inilah hebatnya Kong Lo Sengjin dan ini pula yang menyebabkan ia dahulu dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Kakek ini memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang ampuh. Orang-orang yang kepandaiannya rendah, sekali terkena sambaran angin pukulannya akan roboh dan tewas seketika. Kim-mo Taisu memang kuat dan bukanlah seorang lawan berilmu rendah. Akan tetapi tadi ia sedang menangkis dan ternyata kakek lumpuh itu telah mengirim pukulan tepat pada saat ia menangkis dan dengan tepat pula memilih bagian yang pada saat itu "kosong". Tadi Kim-mo Taisu menangkis dengan pengerahan tenaga sin-kang karena maklum bahwa kedua tongkat itu digerakkan oleh dua lawan yang lihai. Oleh karena inilah maka tentu saja tenaga sin-kangnya dipergunakan dan disalurkan ke dalam kedua lengan sehingga bagian punggungnya yang amat kuat itu menjadi kosong dan lemah.
Kim-mo Taisu terkejut, maklum bahwa ia telah menderita luka berat. Ia memuntahkan darah hidup, akan tetapi segera dapat mengatur pernapasan dan serangan berikutnya dari ketiga orang itu dapat ia hadapi lagi dengan gerakan yang cukup kuat dan cepat. Memang hebat kekuatan Kim-mo Taisu, kuat dan ulet berani dan pantang mundur.
"Taisu, mari lari...!" Dengan suara lemah Gan-lopek yang sudah terluka pun itu mengajak. Gan-lopek terluka hebat oleh pukulan ujung cambuk Ban-pi Lo-cia, dan tak mungkin kuat lagi menghadapi lawan-lawan yang tangguh itu, maka ia mengajak Kim-mo Taisu melarikan diri. Ia melompat pergi dari tempat itu. Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak mau melarikan diri. Ia melawan terus dengan nekat sungguhpun punggungnya terasa makin sakit.
Gan-lopek berlari pergi sambil menarik napas panjang. Tentu saja ia tidak bisa nekat seperti Kim-mo Taisu. Dia adalah orang luar yang tidak tahu-menahu tentang urusan mereka. Kalau tadi ia turun tangan membantu Kim-mo Taisu adalah karena ia melihat dua belas orang Khitan itu hendak menggunakan jala yang ia kenal dan tahu amat berbahaya itu. Pula ia memang merasa simpati dan suka kepada Kim-mo Taisu yang namanya terkenal harum. Ia sudah turun tangan menolong Kim-mo Taisu dengan jalan merobohkan dua belas orang tukang jala. Dan ia pun baru saja tertolong oleh Kim-mo Taisu dari ancaman maut di tangan Ban-pi Lo-cia. Sudah impas. Akan tetapi dia sudah terluka dan tak mungkin nekat memberikan nyawanya tanpa sebab. Kim-mo Taisu boleh nekat, mungkin mempunyai alasan yang kuat untuk tidak melarikan diri.
Memang wawasan Gan-lopek itu benar. Andaikata Kim-mo Taisu tidak berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, agaknya ia pun akan melarikan diri. Lawan juga menggunakan kecurangan dengan mengeroyok, maka melarikan diri bukanlah hal yang memalukan. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Kong Lo Sengjin. Semua perhitungan harus diselesaikan saat itu juga.
Pertandingan antara Kim-mo Taisu dikeroyok tiga orang lawannya masih berjalan seru. Biarpun Kim-mo Taisu telah terluka berat, akan tetapi pihak pengeroyok juga telah kehilangan Ban-pi Lo-cia. Kini Kim-mo Taisu hanya dapat membatasi diri dengan bertahan karena kalau ia terlalu banyak menghamburkan tenaga untuk menyerang, tentu keadaannya akan makin payah dan berbahaya. Pada saat lawan menyerang saja ia mengandalkan kegesitannya mengelak sambil balas menyerang dan dengan cara ini ia dapat menghemat tenaganya. Ia sudah bertekad bahwa biarpun akhirnya ia kalah dan tewas, ia harus dapat merobohkan Kong Lo Sengjin lebih dahulu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi Kim-mo Taisu itu, tiba-tiba muncullah Bu Song dan sepasukan tentara. Melihat suhunya dikeroyok dan keadaannya payah, Bu Song mengeluarkan suara melengking tinggi dan mendahului pasukan itu meloncat ke depan. Munculnya Bu Song mengagetkan tiga orang yang mengeroyok. Kim-mo Taisu seorang diri saja sudah cukup berat dan sukar dirobohkan, apa lagi datang bala bantuan belasan orang banyaknya! Mereka terdiri dari orang-orang yang licik dan curang, maka begitu melihat pihak mereka terancam, tanpa dikomando lagi mereka lalu melompat pergi dan Luw Kiat yang pergi lebih dulu menyambar jenazah gurunya.
Bu Song cepat menghampiri suhunya yang berdiri terhuyung-huyung. "Suhu...!" tegurnya penuh khawatir.
Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Tidak apa-apa. Dari mana kau? Mengapa ke sini?"
"Teecu baru saja datang. Dari kota raja mendengar akan keberangkatan Suhu bersama barisan. Teecu menyusul dan hendak membantu. Di lereng gunung barisan kita telah berhasil memukul mundur musuh dan kini sedang mengadakan pengejaran. Phang-ciangkun yang melihat Suhu belum juga kembali, menyuruh teecu menyusul ke sini dengan pasukan pengawal. Apakah Suhu terluka?"
Biarpun mukanya pucat dan punggungnya nyeri, Kim-mo Taisu masih sanggup melakukan perjalanan cepat bersama muridnya, mendahului pasukan turun dari puncak. Akan tetapi begitu tiba di perkemahan, pendekar ini kembali muntahkan darah segar dan roboh pingsan. Bu Song menyambar tubuh suhunya, memondongnya ke dalam perkemahan dan membaringkannya, lalu merawatnya.
Setelah siuman Kim-mo Taisu berkata, "Kong Lo Sengjin hebat sekali pukulannya. Akan tetapi tidak cukup hebat untuk merenggut nyawaku. Bu Song, kau cepat ceritakan pengalamanmu. Berhasilkah?" Setelah bertanya demikian, Kim-mo Taisu lalu duduk bersila dan mengatur napas.
Bu Song yang maklum bahwa suhunya perlu mengaso dan memulihkan kesehatannya, segera menuturkan pengalamannya di Pek-coa-to dan perjumpaannya dengan Bu Tek Lojin. Perjalanannya berhasil baik dan merupakan berita menyenangkan, maka ia berani bercerita kepada suhunya.
Benar saja, biarpun matanya dipejamkan, wajah Kim-mo Taisu berseri-seri mendengar penuturan muridnya. Ia masih mengatur napasnya, panjang-panjang, menarik napas sehingga dadanya mekar dan perutnya mengempis, ditahannya lama-lama baru dikeluarkan seenaknya. Begitu terus menerus. Kemudian ia membuka kedua matanya, memandang muridnya.
"Keluarkan suling itu " katanya lirih. Dengan hati bangga dan girang dapat menyenangkan hati suhunya, Bu Song mengeluarkan suling emas dari balik jubahnya, menyerahkan suling itu kepada suhunya. Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak memgang suling itu, hanya memandang dan berkata,
"Memang betul ini suling emas, hadiah Bu Kek Siansu kepada sastrawan Ciu Bun. Apakah sudah kaupelajari cara meniupnya untuk mengiringi sajak dalam kitab?"
"Sudah, Suhu."
"Coba kau mainkan suling itu dalam gerakan Pat-sian Kiam-hoat."
Bu Song melangkah mundur, lalu menggerakkan suling melakukan jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat. Baru tiga jurus suhunya sudah berkata, "Cukup! Kau sungguh bernasib baik sekali, muridku. Sekarang aku tidak khawatir lagi. Dengan bantuan Bu Tek Lojin, kau sudah melampaui gurumu...."
"Ah, mana bisa begitu, Suhu? Murid yang bodoh..." Kim-mo Taisu tertawa dan bertanya memotong kata-kata muridnya, "Coba ceritakan bagaimana keadaan perang ketika kau tiba di sini."
Ternyata ketika Bu Song tiba di medan perang yang terjadi di sekitar Pegunungan Tai-hang-san, pasukan-pasukan Sung berhasil menguasai keadaan dan memberi hajaran kepada pasukan-pasukan Khitan yang jumlahnya jauh kalah banyak. Girang hati Bu Song melihat keadaan ini dan di sepanjang jalan, sambil bertanya-tanya kepada para perajurit tentang suhunya, Kim-mo Taisu, ia membuka jalan darah dan merobohkan setiap musuh yang hendak menghalangi jalannya. Akhirnya ia tiba di perkemahan besar itu dan pada saat itu, sedang terjadi penyerbuan hebat di perkemahan. Keadaan kacau balau dan perang terjadi dengan hebatnya. Keadaan para panglima terancam karena pihak musuh muncul seorang yang luar biasa sekali. Orang itu pakaiannya seba hitam, mukanya tertutup kedok tengkorak mengerikan, senjatanya sebuah sabit dan sepak-terjangnya pun menyeramkan. Gerakannya cepat dan tenaganya mujijat sehingga setiap orang perajurit yang berani menentangnya tentu roboh dengan tubuh terpotong menjadi dua! Akan tetapi, para perajurit pengawal itu adalah perajurit-perajurit pilihan yang tidak takut mati. Untuk menyelamatkan para komandannya dari ancaman manusia iblis ini, puluhan orang perajurit mengurung iblis itu. Biarpun banyak sekali perajurit yang roboh malang melintang dan tewas di tangan manusia iblis ini, namun Sang Manusia Iblis tidak mampu menerobos ke dalam tenda besar untuk membunuh empat orang panglima.
Pada saat itulah Bu Song tiba di tempat itu. Melihat keadaan ini, ia menjadi marah dan sekali melompat, ia telah melompati pagar manusia yang mengeroyok manusia iblis, tiba di depan iblis itu lalu menerjang dengan suling emasnya yang ia tahu adalah senjata yang ampuh sekali. Si Manusia Iblis itu tadi mengaku berjuluk Hek-giam-lo (Maut Hitam), kini berseru kaget karena hampir saja lehernya kena hantaman suling yang mengeluarkan sinar kuning. Ia cepat mengayun sabitnya yang tajam, ke arah pinggang Bu Song, akan tetapi dengan mudah Bu Song menangkis dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata ketika kedua senjata itu bertemu. Akan tetapi Hek-giam-lo memekik kesakitan, hampir saja sabitnya terlepas dari pegangan.
Melihat betapa orang muda di depannya ini luar biasa kepandaiannya, Hek-giam-lo merasa khawatir, apalagi para perajurit pengawal yang nekat dan gagah berani itu masih mengepung. Ia mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya mencelat jauh, sabitnya diputar sehingga para pengawal terpaksa mundur. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-giam-lo untuk melarikan diri!
Setelah Hek-giam-lo lari, penyerbuan itu dengan mudah dan cepat dapat dibasmi habis. Selebihnya melarikan diri ke empat penjuru mencari selamat memasuki hutan-hutan di lereng gunung.
"Demikianlah, Suhu. Karena musuh telah dapat diusir mundur, para ciangkun memimpin barisan melakukan pengejaran ke utara dan teecu disuruh menyusul Suhu bersama sepasukan pengawal tadi," Bu Song mengakhiri ceritanya.
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, senang hatinya. Kemudian ia lalu mengerutkan keningnya lalu bertanya, "Kau bilang tadi bahwa sastrawan tua Ciu Bun dan kakek sakti Bu Tek Lojin bersikap aneh sekali setelah mendengar perpaduan suara antara sajak dalam kitab dan suara suling? Coba jelaskan lagi, karena hal itu amat menarik."
Bu Song mengulang ceritanya tentang sikap Ciu Bun yang aneh setelah mendengar sajak terakhir dan iringan suara suling, kemudian betapa Bu Tek Lojin bersikap lebih aneh lagi. Dengan penuh perhatian Kim-mo Taisu mendengarkan, kemudian tiba-tiba ia berkata,
"Bagaimana bunyi sajak terakhir itu ?" Bu Song lalu membaca sajak dengan suara bernada tinggi rendah, jelas dan berirama. Gurunya mendengarkan dan sekali saja mendengar, sebagai seorang sastrawan, Kim-mo Taisu sudah hafal. Ia menarik napas panjang dan berkata, "Sajak yang baik dan mengandung kebenaran mutlak, namun terlalu tinggi untuk otak dan terlalu dalam untuk diselami pengertian. Hanya dapat diterima oleh rasa dan getaran. Akan kunyanyikan, coba kau iringi dengan tiupan suling, Bu Song muridku!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu yang tadinya menanggung nyeri di punggungnya tampak bergembira dan wajahnya berseri. Diam-diam Bu Song merasa khawatir. Dua orang tokoh golongan sastera dan silat bersikap aneh sekali mendengar perpaduan itu. Jangan-jangan suhunya juga akan bersikap aneh seperti mereka! Maka ia menjadi ragu-ragu. Siapa tahu perpaduan suara itu mengandung sesuatu yang mujijat dan jahat!
"Jangan kau khawatir, Bu Song. Ciu Bun kegirangan seperti gila karena ia memang mencari dan mengharapkan sesuatu sehingga ketika mendapatkannya ia menjadi girang luar biasa. Bu Tek Lojin terlalu banyak melakukan hal-hal yang membuat ia merasa menyesal, mungkin karena sesalnya ia bersikap sedih seperti orang gila pula. Aku tidak mengharapkan sesuatu, juga tidak menyesalkan sesuatu, maka tidak akan apa-apa kecuali mendapatkan penjernihan batin. Mulailah!"
Setelah berkata demikian, sambil duduk bersila dengan tulang punggung lurus, Kim-mo Taisu bernyanyi seperti Bu Song tadi, suaranya merdu dan nyaring.
"ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Sampai tiga kali Kim-mo Taisu mengulang nyanyian ini, diiringi suara suling Bu Song yang merayu-rayu. Kemudian ia diam dan keadaan menjadi sunyi, sunyi hening dan gaib. Kim-mo Taisu memejamkan matanya. Dua butir air mata menempel di atas pipi. Napasnya tenang dan wajahnya tersenyum, seperti orang yang merasa puas dan lega. Tadinya Bu Song kaget melihat dua butir air mata, akan tetapi hatinya lega melihat wajah yang tenang tenteram itu.
"Bu Song, dengarlah baik-baik," katanya, suaranya lirih sehingga Bu Song mendekat dan duduk bersila di atas lantai, di bawah gurunya. "Ada muncul dari tiada, akan tetapi tiada itu sendiri adalah suatu keadaan, karenanya, tiada juga muncul dari ada. Maka jangan salah duga, muridku, dan jangan salah laku. Mencari sesuatu dalam arti kata mengejar-ngejar, berarti mencari kekosongan. Segala sesuatu tercipta atau terjadi karena dua kekuatan Im dan Yang di alam semesta ini, yang saling tolak, saling tarik, saling isi-mengisi. Segala sesuatu yang ada dan yang tidak ada dalam pengertian manusia, terjadi oleh Im Yang ini, kemudian segala sesuatu di alam semesta ini saling berkait, saling mempengaruhi sehingga tidak mungkin lagi dipisah-pisahkan. Tidak ada yang paling penting dan tidak ada yang paling tidak penting, tidak ada yang paling tinggi ataupun paling rendah. Semua itu tali-temali dan kait-mengkait, seperti hukum Ngo-heng (Lima Anasir), Kayu, Api, Tanah, Logam, Air, saling mempengaruhi, saling membasmi juga saling menghidupkan, karenanya berputar dan terus berputar merupakan bibir mangkok. Tidak ada ujungnya dan tidak ada pangkalnya, tiada awal tiada akhir, sekali saja terganggu akan menjadi rusak sebentar dan mengakibatkan kekacauan, menjatuhkan korban, baru dapat pulih kembali, kait-mengait, berputar-putar. Semua sudah sewajarnya dan sudah semestinya begitu, jadi tidak perlu dianehkan atau diherankan lagi. Semua itu kosong, lahirmu, hidupmu, sepak terjangmu, susahmu, senangmu, matimu. Semua itu kosong dan hampa belaka karena memang sudah semestinya begitu, sudah wajar, sehingga pengorbanan perasaan dan pikiran itu sia-sia dan kosong belaka. Karena sesungguhnya yang disusah-senangi, ditawa-tangisi manusia, itu bukan apa-apa. Kosong hampa dan sesungguhnya tidak ada apa-apa! Mengertikah engkau, Bu Song?"
Dengan terus terang Bu Song menjawab, "Terlalu dalam untuk teecu, Suhu. Teecu kurang mengerti."
Kim-mo Taisu tersenyum dan membuka matanya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh dan tajam sekali, bening dan penuh pengertian. "Tidak aneh, Bu Song. Memang kau masih terlalu muda untuk mudah menangkap semua itu, sungguhpun engkau sudah banyak dijadikan permainan perasaan dan jasmanimu sendiri. Nah, contohnya begini. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Apakah yang aneh dalam peristiwa ini? Tidak aneh. Anak itu terlahir, tentu saja bisa mati karena sakit atau karena sebab lain. Jadi tidak aneh, dan sewajarnyalah kalau seseorang yang dilahirkan itu akan mati, cepat atau lambat. Kuulangi lagi. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Peristiwa wajar, bukan? Kejadian itu wajar, semestinya, tidak ada sifat suka maupun duka. Sang ibu berduka, menangis dan tersiksa hatinya, merana dan merasa sengsara. Inilah yang tidak wajar!"
Bu Song kaget, terheran, jelas membayang di wajahnya. "Mengapa kukatakan tidak wajar? Memang, karena semua ibu bersikap demikian, bagi umum hal ini adalah wajar. Namun bagi hukum alam tidaklah wajar karena tidak ada kaitannya sama sekali antara dua peristiwa itu. Disusah-senangi, atau ditawa-tangisi, peristiwa kematian itu tidaklah berubah karena tidak ada pertaliannya! Sang ibu berduka sampai jatuh sakit paru-parunya. Nah, ini wajar, karena duka itu ada hubungannya dengan paru-paru, keduanya termasuk kekuasaan Im. Karena hukum kait-mengait, tali-temali inilah maka timbul bermacam peristiwa di dunia ini, semua wajar dan semestinya. Yang tidak semestinya, yang tidak wajar, mendatangkan kekacauan dan karenanya menimbulkan hal-hal lain sehingga meluas sampai menimbulkan perang, menjadikan wabah penyakit, menimbulkan bencana alam dan lain-lain karena perputarannya tidak selaras. Maka, kalau semua manusia dapat menempatkan diri masing-masing selaras dengan kehendak alam, kalau manusia dapat menyesuaikan diri dengan segala apa yang dihadapinya, menyesuaikan diri dengan segala apa yang diperbuatnya, dengan kehendak alam, maka kekuatan Im dan Yang akan berimbang, perputaran Ngo-heng akan sempurna, dunia akan tenteram dan aman."
Sampai lama keadaan menjadi hening. Akhirnya Bu Song berkata, "Maafkan teecu, Suhu. Teecu yang masih bodoh hanya dapat menangkap secara samar-samar saja. Namun, menurut pendapat teecu, justeru menyesuaikan diri dengan kehendak alam itulah yang hanya mudah dibayangkan sukar dilaksanakan. Manusia sudah terlanjur menganggap wajar dan benar akan sesuatu yang sudah dilakukan dan dibenarkan banyak orang, sudah menjadi kebiasaan umum! Daun telinga wanita menurut kehendak alam tidak ada lubangnya, akan tetapi oleh manusia dilubangi untuk tempat perhiasan telinga. Ini sudah wajar dan benar menurut pendapat umum sehingga kalau ada wanita yang daun telinganya tidak dilubangi, dia ditertawai dan dianggap menyeleweng dari kebenaran umum. Pula, manusia terikat oleh wajib, terikat oleh hal-hal yang menyangkut kemanusiaan. Betapa dapat melepaskan diri daripada kemanusiaan, Suhu? Manusia dikurniai akal budi untuk dipergunakan. Maaf kalau kata-kata teecu keliru."
"Tidak, kau tidak keliru. Memang semua ucapanku tadi hanya dapat diterima oleh getaran perasaan. Memang manusia mempunyai wajib, yaitu wajib ikhtiar. Dan kau memang betul bahwa sukar bagi kita untuk melepaskan diri daripada kemanusiaan. Kalau tidak, tentu kita akan dicap sebagai seorang gila karena menyeleweng daripada kebiasaan umum. Kurasa cukuplah Bu Song, kelak kau akan mengerti sendiri. Kalau kau sudah hafal akan isi kitab itu, kau pelajari dan selami baik-baik. Nah, tinggalkan aku, aku hendak mengaso dan memulihkan tenagaku."
Bu Song keluar dari tenda suhunya. Di luar sunyi karena barisan sudah meninggalkan tempat itu. Hanya belasan orang pengawal tadi masih berjaga di situ, di depan satu-satunya tenda yang sengaja ditinggalkan untuk Kim-mo Taisu. Bu Song lalu menyuruh belasan orang pengawal itu menyusul barisan mereka, melapor kepada Phang-ciangkun bahwa Kim-mo Taisu selamat dan kini sedang beristirahat di situ, Enam belas orang pengawal itu memberi hormat lalu meninggalkan lereng untuk menyusul induk pasukan dan bergabung dengan teman-temannya. Kemudian Bu Song mengaso pula, dibagian belakang tenda.
Lewat tengah hari, Bu Song mendengar suara ribut-ribut di depan tenda. Baru saja ia tadi hening dalam samadhinya sehingga ia tidak memperhatikan apa yang terjadi disekitarnya. Karena terganggu samadhinya, Bu Song melompat bangun dan lari ke depan. Kiranya suhunya sudah berdiri di depan tenda dan berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, Pouw-kai-ong, Luw Kiat dan Hek-giam-lo si manusia berkedok tengkorak seperti iblis!
"Hemm, Kong Lo Sengjin! Kau merasa penasaran melihat aku masih hidup dan datang lagi hendak melihat aku mati? Baik, kau majulah dan mari kita selesaikan urusan kita agar lekas beres!" Kim-mo Taisu sudah siap dengan sikap tenang sekali, bahkan pedang di punggung dan kipas di pinggang belum ia ambil.
Sikap yang penuh ketenangan dan suara yang sama sekali tidak mengandung nada permusuhan itu agaknya membuat empat orang itu terpukul hati nuraninya.