Tuesday 23 April 2013

2.5 Suling Emas

Makin berdebar jantung Kwee seng, hampir tak terahankan lagi, serasa hendak meledak. Melihat rambut itu, bulu mata, hidung yang agak berkembang-kempis cupingnya, mulut manis yang tersenyum-senyum dalam tidur, pipi yang putih kemerahan, teringatlah ia akan Ang-siauw-hwa. Bukan gadis pelacur itu yang terbayang, melainkan pengalaman mesra penuh asyik yang pada saat itu mendorong semua gairah birahi memenuhi hati dan pikirannya bagaikan awan mendung hitam menggelapkan kesadarannya. Dengan tubuh gemetar menggil, Kwee Seng lalu membungkuk ke arah wajah ayu itu dan mencium bibir dan pipi Lu Sian sepenuh kasih hatinya.


Suara ketawa gadis itu mengejutkannya, membuyarkan sebagian awan mendung yang menutupi kesadarannya. Terkejutlah Kwee Seng, mukanya pucat dan ia cepat-cepat menjauhkan diri, jantungnya berdebar keras dan barulah lega hatinya ketika ia melihat bahwa Lu Sian masih tidur. Suara ketawa tadi pun agaknya hanya dalam keadaan mimpi. Akan tetapi ciumannya tadi membuat ia makin dalam terjatuh ke jurang asmara !


Lewat senja, setelah matahari mulai bersembunyi, Lu Sian menggeliat dan membuka matanya. Ahhh, alangkah sedapnya tidur di sini. Ehkwee-koko, kau masih duduk di situ sejak tadi ? Tidak mengaso?Gadis itu kini bangkit duduk dan membereskan rambutnya. Duduk seperti itu, kedua kaki di tekuk ke belakang, tubuh tegak dada membusung, kedua lengan dikembangkan karena sepuluh buah jari tangannya sibuk menyanggul rambut di belakang kepala, benar-benar merupakan pemandangan indah. Hemm, kalau saja aku pandai melukis, alangkah indahnya gadis ini dilukis dalam keadaan begini, pikir Kwee Seng, demikian terpesona sehingga ia seakan-akan tidak mendengar akan kata-kata Lu Sian.


Hih ! Kwee-koko, apakah kau sudah berubah menjadi arca ? Apa sih yang kau lihat?tegur Lu Sian, senyumnya lebar dan sepasang matanya berkedip-kedip mengandung ejekan.


hohkau bilang apa tadi, Moi-moi Kwee seng tergagap.


Kini Lu Sian tertawa, Kukira kau tidak mengaso kiranya kau agaknya malah tidur. Kwee-koko, aku ingin sekali mandi. Kalau saja ada anak sungai di sini


Kudengar suara air gemericik di sebelah kiri sana, Sian-moi. Mungkin ada anak sungai atau air terjun di sana.


Bagus, mari kita ke sana, Koko. Seperti seorang anak kecil, Lu Sian menyambar tangan Kwee Seng dan menariknya berlari-lari ke arah kiri. Benar saja dugaan Kwee Seng, di situ terdapat sebatang sungai kecil yang amat jernih airnya, pula tidak dalam, hanya semeter kurang lebih. Batu-batu licin di dasar tampak beraneka warna menambah keindahan dan kesejukan air. Hah, dingin dan segar, Koko!teriak Lu Sian kegirangan ketika memasukkan tangannya ke dalam air di pinggir sungai. Koko, aku hendak mandi ! Kau jangan melihat ke sini sebelum aku masuk ke dalam air. Awas, kalau kau menengok, kumaki kau kurang sopan dan kusambit kau dengan batu!


Kwee Seng tertawa, terseret oleh kenakalan dan kegembiraan gadis itu. Siapa ingin melihat?serunya sambil membalikkan tubuh berdiri membelakangi sungai. Ia hanya mendengar gerakan gadis itu, suara pakaian dilepas, kemudian mendengar gadis itu turun ke dalam air. Semua yang didengarnya ini menimbulkan bayangan yang amat menggodanya sehingga ia meramkan kedua matanya seakan-akan hendak mengusir bayangan itu dari depan mata.


Sudah, Kwee-koko. Kau sekarang boleh saja melihat ke sini, aku sudah aman tertutup air. Ah, enak benar, Koko. Kau mandilah segar bukan main.


Kwee Seng membalikkan tubuhnya dan ia terpaku di tempat ia berdiri. Kedua kakinya menggigil dan matanya berkunang-kunang. Aduh, Lu Sian apakah benar-benar sengaja kau sengaja ingin menggodaku ? Demikian keluhnya dalam hati. Ketika ia menengok, ia melihat pakaian gadis itu bertumpuk di pinggir sungai, di atas sebuah batu besar, semua pakaian berikut sepatu dan pita rambut. Kemudian, apa yang dilihatnya di tengah sungai itu benar-benar membuat ia berkunang dan lemas. Memang gadis itu merendamkan tubuhnya di dalam air sehingga yang tampak dari luar air hanya leher dan kepalanya. Akan tetapi agaknya Lu Sian lupa bahwa air itu amat jernih ! Ataukah memang sengaja ? Air itu demikian jernihnya sehingga batu-batu di dasarnya tampak. Apalagi tubuh yang duduk di atasnya ! Pemandangan aneh tampak oleh Kwee Seng. Tubuh padat berisi sempurna lekuk-lekungnya, bergoyang-goyang bayangannya oleh air. Cepat-cepat ia menundukkan mukanya. Kuatkan hatimu ! Ah, kuatkan hatimu sebelum ! ka! u kemasukan iblis ! Demikianlah dengan kaki gemetar Kwee Seng berdiri menundukkan mukanya, mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan dorongan nafsu.


Moi-moi Ia berhenti karena suaranya kedengaran aneh. Hemm Kau mau bilang apa, Koko?


Kwee Seng menarik napas panjang dan mulai tenanglah gelora isi dadanya. Sian-moi, aku tidak mandi. Kau mandilah yang puas, biar kunanti kau disana. Aku khawatir kalau-kalau kuda kita dicuri orang.Tanpa menanti jawaban Kwee Seng lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat semula di mana ia menjatuhkan diri duduk termenung memikirkan Lu Sian. Gadis yang aneh ! Ia harus mengaku bahwa hatinya sudah jatuh betul-betul. Ia memuja Lu Sian, memuja kecantikannya. Padahal ia maklum sedalam-dalamnya bahwa watak gadis itu sama sekali tidak cocok dengan wataknya, bahwa kalau ia mempunyai isteri seperti Lu Sian, hidupnya akan banyak menderita. Aku harus dapat menahan diri, semua ini godaan iblis, pikirnya. Aku sejak semula tidak menghendakinya sebagai isteri, hanya karena sudah berjanji dengan Pat-jiu Sin-ong untuk menurunkan ilmu yang mengalahkannya, maka sekarang mengadakan perjalanan bersama. Ah, mengapa ia menjanjikan hal itu ? Ia kena diakali Pat-jiu Sin-ong yang! t! entu saja ingin menguras ilmunya. Kalau sudah menurunkan ilmu, aku harus cepat-cepat menjauhkan diri dari Lu Sian, pikirnya. Akan tetapi, teringat akan perbuatannya mencuri ciuman tadi, kembali gelora di dadanya membuat Kwee Seng meramkan mata. Gila ! Kau sudah gila ! Tiba-tiba Kwee Seng yang masih meram itu menampar kepalanya sendiri !


Heee ! Apakah kau sudah gila ??Teguran ini membuat Kwee Seng terkejut dan meloncat bangun sendiri !


Kiranya Lu Sian sudah berdiri di depannya, biarpun cuaca sudah mulai gelap, masih tampak gadis itu segar dan berseri-seri, makin cantik setelah mandi. Gadis itu tertawa geli. Kwee-koko, kukira kau tadi menjadi gila, apa-apaan itu tadi kau menampar kepalamu sendiri ?


Aku Ah.. kau tidak melihat tadi ? Banyak nyamuk di hutan ini. Mengiang-ngiang di atas telinga, kucoba menepuk mampus nyamuk-nyamuk itu.


Baiknya Lu Sian percaya alasan ini. Kwee-koko, sekarang aku hendak pergi. Kau menanti di sini saja, ya?


Kemana, Sian-moi? Ke benteng itu. Meyelidik! Ah, apakah perlunya ? Jangan mencari perkara Sudahlah ! Kau seperti nenek bawel saja. Kalau tidak suka, kau tidak usah ikut. Aku tahu kau tidak suka, maka aku akan pergi sendiri. Biarlah kau menanti di situ bersamaeh, nyamuk-nyamuk itu. Aku pergi, Koko!Setelah berkata demikian, Lu Sian mempergunakan kepandaianny meloncat dan lari cepat, sebentar saja lenyap dari situ.


Kwee seng mengerutkan keningnya. Gadis aneh. Ia takkan berbahagia hidup di samping gadis itu sebagai isterinya. Akan tetapiah, mengapa hatinya seperti ini ? Mengapa timbul kekuatirannya kalau-kalau Lu Sian menghadapi malapetaka ? Biarlah kalau ia tertimpa bencana. Salahnya sendiri. Mencari perkara. Mencampuri urusan orang lain ! Kwee Seng mengeraskan hatinya dan mulai membuat api unggun untuk mengusir nyamuk yang memang banyak terdapat di hutan itu. Akan tetapi hatinya tetap merasa tidak enak. Terjadi perang di dalam hatinya antara membiarkan atau pergi menyusul Lu Sian.


Dengan pengerahan gin-kang dan ilmu lari secepatnya, sebentar saja Lu Sian telah tiba di luar tembok benteng. Tembok benteng itu cukup tinggi, pintu gerbangnya berada di tengah, terjaga kuat oleh belasan orang prajurit. Pintu belakang juga terjaga, malah tertutup rapat, sedangkan di atas tembok itu, pada setiap ujungnya terdapat bangunan kecil di mana tampak pula penjaga yang bersenjata lengkap. Beberapa menit sekali, penjaga-penjaga meronda di sekeliling tembok. Pendeknya, benteng itu terjaga rapat sekali. Untuk melompat tembok, terlampau tinggi dan andaikata dapat juga, pasti akan tampak oleh para penjaga diempat penjuru.


Akan tetapi, Lu Sian adalah seorang gadis yang banyak akal, berani dan lihai. Ia memilih bagian yang agak sepi, menanti sampai peronda lewat, kemudian cepat sekali ia menggunakan pedangnya membongkar tembok ! Pedangnya bukanlah pedang biasa, melainkan pedang pusaka, pedang buatan daerah Go-bi, terbuat daripada logam baja biru dan oleh ayahnya diberi nama Toa-hong-kiam (Pedang Angin Badai), karena Pat-jiu Sin-ong memberikan pedang itu kepada puterinya ketika menurunkan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut. Pedang baja biru ini dapat dipergunakan untuk memotong besi dan baja. Apalagi tembok yang terbuat daripada bata itu, dengan mudah saja dapat ditembusi Toa-hong-kiam. Belum lima menit, Lu Sian telah berhasil membuat lubang yang cukup dimasuki tubuhnya. Di lain saat tubuhnya berkelebat menyelinap masuk dan bagaikan seekor kucing ia sudah berloncatan cepat menghilang di antara kegelapan malam, mendekam di tempat gelap sambil memperhatikan keadaan di dalam benteng.


Benteng itu cukup luas, kiranya cukup untuk menampung ribuan orang bala tentara. Di dalamnya selain terdapat lapangan luas untuk berlatih para perajurit, juga terdapat bangunan-bangunan kecil berjajar yang agaknya menjadi tempat bermalam para perajurit. Ada pula bangunan terbuka yang dipakai sebagai dapur, lalu kandang-kandang kuda dan gudang-gudang perlengkapan. Di tengah sendiri terdapat empat buah bangunan besar yang bentuknya kembar. Tak salah lagi, di sinilah tempat para perwiranya. Maka tanpa ragu-ragu Lu Sian lalu berindap-indap menghampiri empat bangunan ini karena memang kedatangannya ini terdorong oleh rasa hatinya ingin mengintai dan menyelidiki keadaan Jenderal Muda Kam Si Ek ! Di sudut lubuk hatinya memang ia tak pernah melupakan Kam Si Ek, pemuda gagah perkasa dan ganteng yang pernah menggetarkan hatinya di atas panggung adu ilmu. Sayangnya pemuda itu tidak mau melayaninya mengadu kepandaian. Namun sikapnya yang gagah dan keras, wajahnya yang membay! an! gkan kejantanan, telah menggerakkan hati Lu Sian sehingga ketika dalam perjalanan ini ia mendengar disebutnya nama Kam Si Ek, sekaligus bangkit hasrat hatinya untuk menemuinya dan mempelajari keadaannya, kalau perlu mencoba kepandaiannya !


Melihat bendera tanda pangkat jenderal di depan sebuah di antara empat gedung, hati Lu Sian berdebar. Ia menyelinap ke belakang gedung ini, kemudian menggerakkan tubuhnya melayang naik ke atas genteng sebelah belakang, dan dengan hati-hati ia merayap di atas genteng menuju ke bagian tengah. Ketika ia melihat sinar api penerangan yang besar dan mendengar suara orang, ia membuka genteng dan mengintai ke bawah. Betapa girang hatinya ketika ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu Kam Si Ek sendiri, berada di dalam sebuah ruangan besar di bawahnya ! Biarpun seorang jenderal, Kam Si Ek ternyata berpakaian biasa, mungkin karena tidak sedang dinas. Pakaiannya serba biru dan rambutnya digelung ke atas, diikat sutera kuning. Tubuhnya yang tegap itu kelihatan gagah dan penuh tenaga. Ia duduk menghadapi meja besar yang penuh hidangan


Yang membuat hati Lu Sian kaget dan tak senang adalah ketika ia melihat tiga orang gadis cantik yang pernah di lihatnya. Kini tiga orang gadis itu mengenakan pakaian yang lebih mewah lagi, biarpun warna pakaiannya tetap sama, yaitu yang pertama serba merah, yang kedua serba kuning dan yang ketiga serba hijau. Rambut mereka digelung rapi dan dihias emas permata mahal. Muka mereka dilapisi bedak, bibir dan pipi ditambah warna merah dan bau minyak wangi mereka sampai tercium oleh Lu Sian yang mendekam di atas genteng !


Pada saat itu, dengan sikap gagah dan suara tegas Kam Si Ek berkata. Tidak bisa ! Siauwte (aku) bukanlah seorang penghianat ! Sejak dahulu, nenek moyangku adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang rela mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa, yang menduduki kedudukan tinggi di dalam kentaraan tanpa pamrih untuk pribadinya, melainkan semata untuk berbakti kepada negara dan bangsa ! Kedatangan Sam-wi Lihiap (Pendekar Wanita Bertiga) saya terima dengan penuh kehormatan, akan tetapi kalau Sam-wi mengajak siauwte sekongkol dengan Cu Bun, terpaksa saya menolak keras!


Dengan suara manis sekali Si Pakaian Merah yang tertua di antara mereka bertiga, berkata halus, Kami bertiga Enci Adik sudah cukup mengenal kegagahan dan kesetiaan keluarga Kam. Kami mana berani membujuk Goan-swe (Jenderal) untuk bersekongkol dengan penghianat atau pemberontak ? Akan tetapi, bukankah bekas Gubernur Cu Bun kini telah menjadi raja dari kerajaan Liang yang sudah berdiri belasan tahun lamanya ? kini terjadi perebutan kekuasaan, dan raja tidak dapat membiarkan mereka yang memisahkan diri, tidak mau tunduk kepada kekuasaan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Liang yang menggantikan Kerajaan Tang. Karena itu, kami mengajak kepada Goan-swe untuk berjuang bersama, menghalau para pemberontak, terutama sekali bangsa buas dari luar yang hendak menggunakan kesempatan ini untuk mengganas.


Maaf, siaute terpaksa membantah, memang benar bahwa Gubernur Cu Bun berhasil menumbangkan Kerajaan Tang belasan tahun lalu. Akan tetapi, berhasil atau tidaknya sebuah kerajaan baru tergantung daripada dukungan rakyat. Dan untuk mendapat dukungan rakyat, terutama sekali rakyat harus diberi kehidupan yang tentram, penghasilan yang wajar dan sumber hidup yang layak. Akan tetapi apakah buktinya ? Rakyat menjadi korban selalu. Dimana-mana timbul kejahatan, perebutan kekuasaan, kehidupan rakyat tidak aman, masih ditekan pajak, diperas oleh lintah-lintah darat yang berupa raja-raja kecil di dusun-dusun, masih diganggu oleh para tentara kerajaan yang buas melebihi perampok. Buktinya ? Sam-wi dapat melihat betapa banyaknya penduduk dusun mengungsi, bingung mencari tempat aman sehingga di dalam benteng ini saja kami terpaksa menampung seratus orang lebih pengungsi. Bukankah ini sudah membuktikan bahwa Kerajaan Liang tidak didukung rakyat ? Dan selama pemerintahan ti! da! k mendapat dukungan rakyat, saya yakin takkan berhasil dan lekas runtuhlah pemerintahan itu.Muka jenderal muda itu menjadi merah, bicaranya penuh semangat dan wajahnya yang tampan gagah itu mengeluarkan wibawa seperti seekor harimau yang menakutkan.


Kam-goanswe yang perkasa,kata Nona kedua yang berpakaian kuning. Bolehkah saya bertanya, Goanswe ini sebetulnya mengabdi kepada siapakah ? Dahulu keluarga Goanswe mengabdi kepada Kaisar Tang yang terakhir. Setelah kaisar jatuh, Goanswe mengabdi kepada siapa ? Kalau Goanswe tidak mengakui kekuasaan Raja Liang, apakah Goanswe mengabdi kepada gubernur Li?


Kam Si Ek kini berdiri dari bangkunya. Tubuhnya yang tinggi tegap itu seakan-akan makin besar. Ia mengepal tinjunya dan berkata. Aku hanya mengabdi kepada tanah air dan bangsa ! Siapa saja yang mengganggu rakyatku, akan kulawan ! Bangsa apa saja yang berani memasuki tanah airku akan kuhancurkan ! Aku tidak mengabdi kepada Raja Liang, dan terhadap Gubernur Li Ko Yung yang menjadi teman seperjuanganku dahulu, dia tetap teman baik asal saja dia tidak menyeleweng daripada jalan benar.


Nona paling muda yang berbaju hijau mengedipkan matanya kepada kedua orang encinya, lalu bangkit berdiri menghampiri Kam Si Ek. Ia menuangkan arak dan menjura kepada jenderal muda itu sambil berkata, suaranya halus merdu penuh rayuan.


Maaf, maafKam-goanswe. Harap maafkan kedua enciku yang seakan-akan lupa bahwa saat ini bukanlah saat untuk bicara tentang urusan negara yang berat-berat. Kasihan sekali suasana menjadi begini panas, sebaliknya masakan menjadi dingin. Kam-goanswe, mari kita lanjutkan makan minum sambil membicarakan hal-hal yang menyenangkan. Sudilah kau menerima secawan arak dariku sebagai cawan minta maaf!Ia melangkah maju, Tergopoh-gopoh Kam Si Ek balas menjura dan ia pun tersenyum.


Hihiap benar, maaf. Aku sampai lupa diri.Ia menerima cawan itu dan sekali tenggak habislah isinya. Si Baju Hijau tersenyum manis dan menuangkan arak lagi. Untuk kedua kalinya kuharap kau suka menerima secawan sebagai tanda persahabatanDengan sikap yang amat mesra ia menyerahkan cawan dan dalam kesempatan ini jari-jarinya yang halus menyentuh tangan Kam Si Ek. Pemuda itu kelihatan bingung dan kikuk, alisnya yang berbentuk golok dan hitam itu bergerak-gerak, agaknya ia ragu-ragu bagaimana harus menghadapi wanita yang tiba-tiba berubah sikap ini.


Cukup cukup katanya dan merenggut cawan arak itu agar tidak terlalu lama tangannya terpegang jari-jari halus mungil.


Ah, Kam-goanswe, masa tidak mau menerima penghormatanku?Si Baju Hijau berkata manja dan berdiri makin mendekat sehingga sebagian tubuhnya merapat, dadanya sengaja menyentuh lengan kiri Kam Si Ek. Hampir saja pemuda ini meloncat pergi, akan tetapi sebagai tuan rumah ia masih mempertahankan diri, hanya mengisar kaki menjauhi lalu berkata, Baiklah, kehormatan yang diberikan Lihiap kuterima!Ia minum lagi arak dari cawannya.


Akan tetapi alangkah terkejut dan kikuknya ketika ia melihat nona muda cantik berpakaian hijau ini tidak kembali ke bangkunya di seberang, melainkan menyeret sebuah bangku dan duduk di sampingnya ! Ini dilakukan sambil tersenyum-senyum, matanya mengerling tajam penuh arti.


Daripada berdebat yang bukan-bukan, yang sebetulnya tidak ada artinya sama sekali, bukankah lebih baik kita berteman ? Kam-goanswe, kami sudah lama mendengar nama besarmu, sudah lama mengagumi Jenderal Muda Kam Si Ek yang gagah perkasa dan menjadi idaman setiap orang wanita di propinsi Shan-si ! Kami bertiga enci adik tidak mempunyai niat buruk terhadap jenderal, melainkan hendak membantu usahamu, hendak menyerahkan jiwa raga mengabdi kepadamu, Kam-goanswe! Sambil berkata demikian, dengan lagak genit si baju hijau ini menggeser bangkunya sampai mepet dengan bangku Kam Si Ek.


Si Baju Merah dan kuning segera tertawa-tawa dan mengitari meja, menarik bangku dan mengisi cawan arak. Betul sekali kata adikku yang bungsu. Kam-goanswe, kami menyerahkan jiwa raga asal kau suka kami temani! kata yang tertua sambil menyerahkan secawan arak dan tangan kirinya memegang pundak pemuda tampan itu.


Percayalah, kami bertiga sanggup mengangkatmu menjadi yang dipertuan di daerah ini.Kata si baju kuning yang memeluk leher Kam Si Ek dari belakang !


Dirayu dan dikeroyok tiga orang gadis-gadis cantik yang berbau harum ini, sejenak Kam Si Ek tertegun saking kaget dan herannya. Kemudian ia serentak bangkit dari bangkunya, melangkah mundur tiga tindak, mukanya merah sekali dan ia berkata, suaranya keren.


sam-wi ini apa maksudnya bersikap seperti ini? Maksud kami sudah jelas, masa Goanswe tidak tahu ? Sudah lama kami kagum dan sekarang begitu berjumpa kami jatuh cinta, apakah kau tidak menghargai perasaan suci kami ini ?kata Si Baju Merah tanpa malu-malu lagi.

Kam-goanswe, ribuan orang pemuda tergila-gila kepada kami dan semua kami tolak, sekarang melihatmu, kami bertiga sekaligus jatuh hati. Bukankah ini jodoh yang baik sekali ?kata Si Baju Kuning.


Dengan kepandaian kami bertiga digabung kepandaianmu, apa sukarnya merampas kedudukan raja di waktu orang pandai sedang memperebutkan kekuasaan ini ? Goanswe mempunyai tentara yang cukup banyak dan kuat.Kata Si Baju Hijau.


Gila!Kam-goanswe berseru marah. Pergilah kalian ! Pergi dan jangan ganggu aku lagi. Pergi !Kam Si Ek marah bukan main, akan tetapi kemarahan ini agaknya belum menyamai kemarahan Liu Lu Sian yang mengintai di atas genteng. Gadis ini marah sekali kepada tiga orang perempuan yang dianggap tak tahu malu itu. Juga disamping kemarahannya ia pun kagum kepada Kam Si Ek ! Sungguh jantan ! Sungguh gagah dan keras hati, tidak tunduk oleh gadis-gadis cantik yang tergila-gila kepadanya.


Dinggg!!Tampak kilatan tiga batang pedang yang dicabut berbareng oleh tiga orang gadis jelita itu.


Pilihan kami hanya dua. Kau menerima kerja sama dengan kami atau kau serahkan kepalamu untuk kami hadiahkan kepada Raja Muda Kerajaan Liang!

Popular posts