Monday, 29 April 2013

3.1 Cinta Bernoda Darah

Puncak Gunung Thai-san yang menjulang tinggi di angkasa tertutup awan putih tebal yang bergumpal-gumpal mengelilingi puncak. Hampir selalu puncak Thai-san tertutup awan, kecuali pada musim panas, sekali waktu ada kalanya puncak Thai-san yang meruncing itu tampak dari bawah. Keadaan inilah yang menimbulkan dongeng di kalangan penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, bahwa puncak Thai-san merupakan anak tangga menuju ke sorga! Dan bahwa hanya para dewa dan manusia setengah dewa saja yang dapat mendatangi puncak Thai-san.

Dongeng atau kepercayaan tentang hal ke dua ini tidaklah terlalu berlebihan kalau diingat bahwa penduduk pegunungan amatlah tebal kepercayaannya akan para dewa yang menguasai seluruh permukaan bumi dan diingat pula akan keadaan pun­cak itu sendiri. Terlalu tinggi, terlalu sukar jalan mendaki puncak, terlalu dingin sehingga manusia biasa tak mungkin akan dapat mendaki puncak. Terlalu banyak bahayanya. Binatang buas, jalan yang amat licin, jurang-jurang yang curam, daerah-daerah yang mengeluarkan gas, dan hawa dingin yang membekukan darah dalam badan.


Memang tak mungkin bagi manusia-manusia biasa, namun mungkin saja bagi manusia-manusia luar biasa, yaitu manusia-manusia yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tubuh terlatih, yang kuat menghadapi semua tekanan, kuat pula mengatasi semua rintangan. Betapa­pun juga, jarang sekali terjadi puncak Thai-san dikunjungi orang pandai, karena selain perjalanan itu amat berbahaya, juga tanpa keperluan yang amat penting, apakah yang dicari di tempat sunyi itu?

Pagi hari itu amat cerah. Awan putih yang berkelompok di sekitar puncak tam­pak berkilauan seperti perak digosok, matahari membobol benteng halimun lembab, mencairkan segala kebekuan dan menghias ujung-ujung daun dengan mutia­ra-mutiara air embun berkilauan seperti hiasan anting-anting pada telinga dara jelita. Burung-burung berkicau menyam­but hari yang amat indah itu, dan segala yang berada di permukaan bumi seakan bergembira ria. Apakah gerangan yang menyebabkan suasana gembira dan indah ini?

Tidak mengherankan. Musim semi tiba, pagi hari itu adalah permulaan dari tahun yang baru. Musim yang tepat sekali untuk memulai segala sesuatu dengan awalan-awalan yang sama sekali baru! Buang yang lama-lama dan yang buruk-buruk, mulai dengan yang baru-baru dan yang indah-indah. Setidaknya, demikianlah harapan dan renungan setiap insan pada setiap tahun baru.

Pada penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, semenjak pagi hari sudah sibuk berpesta, bergembira ria merayakan hari tahun baru. Pakaian-pakaian simpan­an dikeluarkan dari peti pakaian “se­tahun sekali” menghias tubuh, yang muda menghormat yang tua, yang muda minta maaf, yang tua memaafkan. Saling memaafkan, gembira tertawa, hilang dengki, lenyap benci. Alangkah indahnya dunia, alangkah nikmatnya hidup.

Serombongan orang amat cepat gerak-geriknya amat ringan langkah kakinya, bergerak cepat mendaki puncak Thai-san. Kalau saja para penduduk tidak sedang bersuka ria dan sempat menyak­sikan gerak-gerik lima orang yang bagai­kan serombongan kera besar melompat ke sana ke mari, menyelinap di antara batu-batu besar dan pohon-pohon mendaki puncak, tentu akan makin tebal kepercayaan mereka bahwa serombongan dewa atau manusia setengah dewa yang men­daki puncak itu, untuk bertahun baru di sana!

Rombongan itu adalah para tosu dari Kun-lun-pai, termasuk tokoh-tokoh ting­kat dua dan tiga di Kun-lun-pai, maka tidaklah mengherankan apabila mereka berlima sepandai itu mendaki puncak Thai-san. Tiba-tiba pemimpin rombongan, Ang Kun Tojin mengangkat tangan memberi isyarat dan seketika lima orang itu berhenti, diam tak bergerak seperti pa­tung-patung dewa penghias gunung. Me­reka semua telah mendengar suara yang halus itu. Suara nyanyian yang halus seperti bisikan angin lalu, bercampur dan menyelinap di antara desir angin mem­permainkan daun dan dendang anak su­ngai di dasar jurang. Namun kata-kata­nya jelas dapat tertangkap pendengaran telinga-telinga yang terlatih itu.

“Segala sesuatu yang menimpa diri pribadi adalah akibat daripada pikiran sendiri.

Pikiran kotor yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu dlikuti sakit dan penderitaanseperti roda kereta mengikuti jejak sapi penariknya.

 Pikiran bersih yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu diikuti kepuasan dan kebahagiaanseperti bayangan yang tak pernah berpisah dari padanya.”

Ang Tojin melambaikan tangan dan lima orang tosu itu melanjutkan per­jalanan mereka. Di wajah-wajah tua itu timbul semangat baru, timbul harapan dan kegembiraan.

“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama), apakah itu suara beliau....?” tosu termuda, belum lima puluh tahun, bertahi lalat di ujung hidung, bertanya.

“....ssssttttt....!” Ang Kun Tojin menyuruh adik seperguruan termuda itu diam. Mereka melanjutkan pendakian dan tak seorang pun berani bertanya lagi. Sambil mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang khas Kun-lun-pai, yaitu ilmu lari cepat Teng-peng-touw-sui (Injak Rumput Seperti Air). Langkah kaki mereka dalam berlarian itu pendek-pendek namun cepat dan gin-kang mereka begitu hebat sehingga seakan-akan rumput yang terinjak kaki mereka tak sempat rebah saking cepatnya kaki yang bergerak! Sementara itu, suara nyanyian terdengar terus, halus lembut menusuk anak telinga.

“Dia menyiksaku, dia memukulku dia mengalahkan aku, dia merampokku! Pikiran seperti ini menimbulkan benci tiada habisnya.

Memang pikiran ini berarti melenyapkan kebencian, karena benci takkan hapus oleh benci pula,melainkan musnah oleh kasih!”

Ang Kun Tojin mengerutkan kening­nya. Dia adalah seorang tosu (Pendeta Agama To) yang dalam pengetahuannya tentang Agama To, juga sebagai orang ke dua dari Kun-lun-pai dan seorang yang tekun mempelajari filsafat agama, ia mengenal kata-kata dalam nyanyian itu. Itulah pelajaran dari Agama Buddha me­rupakan bait-bait pertama daripada pe­lajaran dalam kitab Dhammapada. Ia pernah mendengar bahwa “beliau” adalah seorang yang menganut Agama To, megapa sekarang menyanyikan pelajaran be­rupa syair Agama Buddha? Apakah bukan beliau yang bernyanyi itu! Seorang hwesio (pendeta Buddha) yang berada di puncak? Mudah-mudahan begitu karena bagi Ang Kun Tojin, jauh lebih baik dan menimbulkan harapan apabila beliau itu seorang yang beragama To.

Di pertengahan puncak mereka berhenti lagi. Dengan penuh kekaguman mereka memandang ke bawah. Awan putih berombak-ombak seperti lautan susu di bawah kaki mereka. Puncak-pun­cak gunung lain tersembul keluar seperti pulau-pulau runcing atau seperti gunung-gunung kecil. Indah bukan main, men­datangkan rasa seakan-akan mereka telah berada di kahyangan, tempat tinggal para dewa dan mahluk halus, bukan tempat manusia, menimbulkan kepercayaan bah­wa mereka makin dekat dengan Tuhan. Memang, siapa dapat merasai ketenangan dan ketenteraman, selalu akan merasa dekat dengan Tuhan!

Perjalanan dilanjutkan mendaki puncak. Tidak sesukar tadi, bahkan bumi yang mereka injak ditilami rumput-rumput hijau segar sehalus beludru. Akan tetapi setiba mereka di puncak yang dikelilingi batu-batu putih berjajar seper­ti menara, di tanah datar yang halus itu mereka mendapat kenyataan bahwa dua rombongan orang telah berada di situ, mendahului mereka!

“Ha-ha-ha, kalian terlambat, sehabat-sahabat Kun-lun-pai! Siapa terlambat takkan dapat, bukankah begitu kata peri­bahasa, Ang Kun Toyu?” tegur seorang laki-laki pendek gendut berusia enam puluhan, berpakaian sebagai petani sederhana dengan kepala dilindungi ca­ping lebar. Di belakang si gendut ini berdiri enam orang petani lain, kesemua­nya sudah lima puluh lewat usianya, sikap mereka sederhana seperti pakaian mereka, namun jelas tampak kegagahan pada pandang mata mereka.

“Siancai.... siancai....” Ang Kun Tojin mengucapkan puja-puja sambil merangkap­kan kedua tangan ke depan dada mem­beri hormat, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya. “Tidak dinyana sa­habat Kok Bin Cu dari Hoa-san-pai sudah hadir. Selamat Musim Semi, Sicu (Orang Gagah).”

“Ha-ha-ha, selamat.... selaimat, Toyu. Semoga kalian panjang usia, penuh bahagia dan makin subur makmur dan kokoh kuat.” Si Gendut yang bernama Kok Bin Cu dan menjadi murid kepala Hoa-san-pai itu balas memberi hormat, diturutoleh enam orang adik seperguruannya.

“Juga pinto (saya) sesaudera meng­haturkan selamat kepada Leng Lo Suhu dan para Suhu dari Bu-tong-pai.” kata pula Ang Kun Tojin sambil memberi hormat kepada rombongan ke dua yang di sebelah kiri. Rombongan ini terdiri dari empat orang hwesio berkepala gundul yang bersikap pendiam dan dingin. Mereka dipimpin oleh seorang hwesio tua, usianya sekitar tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan kelihatan masih kuat, jubahnya berwarna ku­ning, tanda bahwa dia adalah seorang hwesio yang sudah mencapai tingkat tinggi. Memang sesungguhnya, Leng Lo Hwesio adalah murid kepala dan menjadi orang ke dua dari Bu-tong-pai, selain ilmu silatnya amat tinggi, juga pengetahuannya tentang Agama Buddha amat mendalam.

“Omitobud....” Leng Lo Hwesio cepat membalas penghormatan rombongan Kun-lun-pai ini, diturut oleh tiga orang adik seperguruannya. “Para saudara Toyu dari Kun-lun-pai amat ramah, semoga dilimpahi berkah oleh Sang Buddha....”

Murid kepala Hoa-san-pai yang bertu­buh pendek gendut itu adalah seorang tua yang gembira sikapnya, suka berkelakar dan ia memandang dunia ini dari sudut yang menggembirakan. Berbeda dengan rom­bongan-rombongan Kun-lun dan Bu-tong, yang bersikap serius dan pendiam sehing­ga keadaan di situ menjadi kaku dan di­ngin. Mungkin hal ini adalah karena kedua golongan ini telah menjadi pendeta se­hingga mereka pun harus menyesuaikan sikap sebagaimana layaknya para pen­deta, yaitu alim dan suci! Murid-murid Hoa-san-pai adalah penganut Agama To pula, akan tetapi mereka bukanlah tosu, bukan pendeta agama ini, melainkan pe­nganut biasa dan hidup mereka sehari-hari adalah sebagai petani.

Melihat keadaan yang kaku dan dingin, Kok Bin Cu tertawa keras dan berkata. “Wah, tiga rombongan wakil partai per­silatan terbesar di dunia tanpa sengaja telah berkumpul di sini. Kiranya dengan maksud yang sama pula, hendak bertemu dan mohon petunjuk dari Siansu (Guru Sakti), bukankah begitu Ang Kun Toyu dan Leng Lo Suhu?”

“Pinceng (saya) sesaudara memang hendak menghadap Bu Kek Siansu yang mulia dan mohon belas kasihannya.” ja­wab murid kepala Bu-tong-pai dengan suara merendah, sebagai seorang hwesio tidak malu-malu untuk minta-minta.

“Karena beliau seorang pendeta To, sudah selayaknya kalau kami datang mo­hon diberi penerangan,” jawab Ang Kun Tojin dengan angkuh.

“Belum tentu beliau seorang tosu, tadi pinceng mendengar beliau menyanyikan syair kitab Dammapada, bukankah itu membuktikan bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang pendeta Buddha golongan kami?” bantah Leng Lo Hwesio dengan suaranya yang dan lambat.

Mendengar ini, diam-diam para anak murid Kun-lun-pai menjadi kaget, kagum dan juga khawatir. Nyanyian itu terde­ngar oleh mereka di lereng, masih amat jauh dari tempat ini, akan tetapi ternyata mereka yang berada di puncak ini juga mendengarnya. Bukan main! Peng­gunaan tenaga mujijat khi-kang yang di­salurkan pada suara nyanyian itu benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna. Mereka khawatir karena kalau betul-betul Bu Kek Siansu seorang penganut Agama Buddha, tentu saja tipis harapan bagi mereka untuk bersaing dengan para hwe­sio itu.

“Ha-ha-ha, ji-wi Lihiap (Dua Pende­kar Tua) harap jangan salah duga dan menarik Siansu pada golongan masing-masing. Biarpun saya sendiri, seperti juga sahabat semua : selama hidup belum pernah bertemu muka dengan Bu Kek Siansu, namun sudah banyak saya mendengar tentang orang tua sakti itu. Beliau meng­akui semua agama, seperti sifat para dewa yang melindungi semua manusia tanpa pilih bulu. Tentu beliau seorang yang amat adil. Dan mengingat bahwa kami datang lebih dulu, yang pertama di tempat ini, sepatutnya kami yang mendapat perhatian lebih dulu. Siapa cepat dia dapat, bukan?”

Ang Kun Tojin melangkah maju dan membantah, “Sicu dan saudara-saudara dari Hoa-san bukanlah orang-orang yang mencari kesempurnaan batin, melainkan jasmaniah, hidup sebagai petani-petani yang bahagia. Ilmu Silat Hoa-san-pai juga sudah tersohor di ko­long langit. Untuk apa pula mohon petun­juk Siansu? Tentu bukan untuk urusan kebatinan, akan tetapi kalau hendak mohon petunjuk tentang ilmu silat : untuk apakah pula? Pekerjaan petani tidak membutuhkan ilmu silat terlalu tinggi.”

“Ucapan Toyu benar,” sambung Leng Lo Hwesio, “bagi pendeta-pendeta seperti kami dan para tosu Kun-lun, tentu saja amat membutuhkan petunjuk tentang ke­batinan dari Siansu. Akan tetapi para Sicu (Orang Gagah) dari Hoa-san, tak mungkin hendak minta petunjuk tentang kerohanian. Kalau mereka hendak minta petunjuk tentang ilmu silat, pinceng (saya) kira Siansu juga akan memberi petunjuk, jika melihat bahwa Ilmu Silat Hoa-san-pai masih amat rendah.”

Ucapan ini biarpun terdengar mem­bela namun mengandung sindiran yang memandang rendah tingkat Ilmu Silat Hoa-san-pai. Memang hwesio murid kepala Bu-tong-pai ini berwatak keras dan kaku, juga tidak biasa menyembunyikan apa yang dipikirnya.

“Leng Lo Suhu benar-benar meman­dang rendah kami dari Hoa-san-pai!” tiba-tiba orang ke lima dari Hoa-san-pai membentak sambil melompat maju. Dia adalah Kok Ceng Cu, seorang yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan dengan sepasang mata tajam bersinar-sinar, usianya sekitar tiga puluh tahun.

“Sama sekali tidak memandang ren­dah,” bantah Leng Lo Hwesio, “hanya pin­ceng sering kali mendengar bahwa Hoa-san-pai mengutamakan tenaga luar dan penggunaan kaki tangan dalam ilmu silat tidak begitu mementingkan kekuatan dalam. Padahal, Bu Kek Siansu adalah seorang ahli kebatinan dan tentu saja petunjuknya akan berhubungan erat de­ngan kebatinan, maka tidak akan cocok dengan Sicu sekalian.”

“Tidak memandang rendah akan tetapi sama sekali tidak menghargai kepandaian lain orang. Sama saja! Leng Lo Suhu, kami dari Hoa-san-pai memang masih rendah pengetahuan, tidak ada sesuatu yang patut dibanggakan apalagi disom­bongkan. Akan tetapi, saya akan merasa takluk kalau seorang di antara para Lo­suhu dari Bu-tong-pai dapat melebihi apa yang akan saya perlihatkan!” Kok Ceng Cu yang masih berdarah panas dan tidak tahan mendengar partainya dipandang ringan, segera melangkah lebar mendekati sebuah batu gunung yang berwarna putih. Batu ini sebesar perut kerbau, beratnya tidak kurang dari lima ratus kati. Se­perempat bagian dari batu ini terpendam dalam tanah, kokoh kuat dan untuk men­cabutnya keluar kiranya dibutuhkan sedikitnya tenaga seribu kati.

Kok Ceng Cu memasang kuda-kuda di dekat batu, kedua tangannya merangkul dari kanan kiri, lalu dengan sebuah teriakan keras ia mengerahkan tenaga menjebol dan.... batu itu terangkat ke atas terus diangkat ke atas kepalanya. Otot-otot kedua lengannya tersembul keluar, lehernya mendadak menjadi besar, namun wajahnya yang tampan itu tidak berubah, tetap tenang dan tersenyum. Fihak Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai memandang kagum. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, mereka maklum bahwa untuk mengangkat batu seberat itu mengandalkan tenaga luar, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Selain membutuhkan latihan tekun dan lama, juga harus me­miliki bakat alam, yaitu tenaga yang besar dan hal ini hanya dapat dimiliki oleh seorang laki-laki yang selama hidup tetap membujang. Melihat keadaan wajah Kok Ceng Cu, terang bahwa jago Hoa-san-pai ini biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, ternyata dia masih bujang, jejaka tulen!

“Tenaga gwa-kang (tenaga luar) Sicu hebat sekali, pinceng kagum!” kata Leng Lo Suhu dengan sejujurnya. Akan tetapi hal ini memanaskan perut Leng Hi Hwesio, murid ke empat dari Bu-tong-pai. Biarpun usianya sudah enam puluh tahun, hwesio keempat dari Bu-tong-pai ini wataknya keras dan tidak mau kalah. Ia segera melompat maju mendekati Kok Ceng Cu dan berkata nyaring.

“Main-main dengan batu mati ini apa sih anehnya? Sicu, kalau kau sudah le­lah dan bosan, boleh operkan batu itu pada pinceng!”

Tadinya Kok Ceng Cu merasa bangga akan pujian murid tertua Bu-tong-pai, akan tetapi melihat dan mendengar sikap dan kata-kata hwesio ke empat ini, diam-diam ia merasa penasaran juga kaget. Apakah hwesio yang kurus kering ini dapat mempergunakan tenaga seperti dia? Ia berseru keras dan kedua lengan­nya bergerak ke bawah lalu ke atas, me­lontarkan batu besar itu kepada Leng Hi Hwesio sambil berseru.

“Losuhu terimalah!”

Batu berat itu meluncur ke arah hwesio Bu-tong-pai, kalau menimpa kepala tentu akan remuk. Namun, dengan tenang hwesio ini menggerakkan kedua tangannya, menerima batu itu dengan gerakan indah. Kiranya ia telah menggunakan gerakan Dewa Menyambut Mustika, begitu kedua telapak tangannya menempel pada batu, ia meminjam tenaga lontaran tadi, dan terus mengayun batu ke bawah, ke atas lagi, dan melontarkannya ke atas, diterima lagi, diayun dan dilontar­kan lagi ke atas sampai lima kali. Keti­ka untuk ke lima kalinya batu itu me­nimpa turun, ia menggunakan gerakan menyabet dengan kedua tangan miring. Batu itu melenceng ke samping, terban­ting ke atas tanah sampai amblas hampir setengahnya. Inilah gerak pukulan Pukul Roboh Gunung Hitam, sebuah jurus ilmu Silat Bu-tong-pai yang lihai.

Terdengar tepuk tangan memuji dari para tosu Kun-lun-pai. “Siancai, siancai, ilmu pukulan Bu-tong-pai benar-benar hebat!” seru Ang Kun Tojin. Akan tetapi Pek Sin Tojin, murid ke lima Kun-lun-pai yang bertahi lalat pada ujung hidung­nya, menjadi penasaran melihat betapa dua orang dari rombongan Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai seakan-akan mendemonstrasikan kepandaian. Kalau dari fihak Kun-lun-pai tidak ada yang bergerak, jangan-jangan fihaknya akan dipandang rendah. Ia melangkah maju mendekati batu itu, berkata,

“Siancai, batu terbanting keras jangan-jangan banyak cacing yang akan tertimpa remuk.” Kaki kanannya bergerak mencongkel dan.... batu itu menggelinding keluar dari dalam tanah, sampai lima kaki lebih jauhnya. Gerakan ini saja membuktikan betapa lihainya para tosu Kun-lun-pai.

Yang paling berangasan di antara semua orang adalah Kok Ceng Cu. Ia mengeluarkan suara ejekan dari hidung­nya, “Hemmm, semua memamerkan te­naga dalam yang mengandalkan tenaga pinjaman, bukan tenaga aseli dari otot dan urat. Biarpun kami dari Hoa-san-pai hanya melatih otot untuk memper­kuat tubuh, namun permainan lwee-kang (tenaga dalam) seperti itu juga bukan hal aneh.” Ia tidak melakukan tantangan, namun kata-katanya ini jelas mengangkat golongan sendiri dan tidak memandang tinggi dua rombongan lain. Juga ia ber­diri dengan dada terangkat, kedua kaki­nya memasang kuda-kuda dengan sikap seolah-olah ia siap menghadapi siapa saja yang berani melawannya!

Tentu saja sikap ini memanaskan hati fihak Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai, apalagi fihak Bu-tong-pai. Kalau saja Ang Kun Tojin dan Leng Lo Hwesio tidak memberi isyarat dengan pandang mata, tentu ada tosu Kun-lun dan hwesio Bu-tong yang melompat maju untuk meng­hadapi Kok Ceng Cu. Pada saat itu ter­dengar suara tertawa nyaring dan merdu. Semua orang menjadi kaget, memandang ke kanan kiri, namun tidak tampak se­orang pun manusia. Padahal jelas sekali tadi terdengar suara ketawa seorang wanita, terdengar dekat sekali, bahkan suara pernapasan di antara kekeh tawa itu dapat mereka dengar.

“Omitohud!” Leng Lo Hwesio menge­luarkan suara sambil merangkapkan ke­dua telapak tangan di depan dada. “Sicu mengeluarkan sikap menantang, membikin marah dewi penjaga gunung!”

“Kita datang untuk mohon pelajaran kebatinan kepada Bu Kek Siansu, saudara-saudara dari Hoa-san-pai memperlihatkan kekerasan, sungguh lucu sehingga ditertawakan oleh segala mahluk halus,” kata pula Ang Kun Tojin, namun diam-diam ia merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa yang mengeluarkan suara ketawa itu sudah pasti seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Terang bukan Bu Kek Siansu, juga bukan yang bernyanyi tadi, karena suara ketawa ini adalah suara wanita.

“Kami orang-orang Hoa-san-pai tidak takut terhadap segala siluman!” Kok Ceng Cu berkata keras sambil melirik ke kanan kiri.

“Sute, jangan bicara begitu....” Kok Bin Cu mencela adik seperguruan yang berangasan itu.

Akan tetapi suaranya terhenti ketika tiba-tiba pada saat itu terdengar lagi suara ketawa dan kini tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita yang amat cantik. Dia datang begitu saja seperti muncul dari dalam bumi, tidak tampak datangnya, tahu-tahu sudah ber­diri di depan Kok Ceng Cu sambil ter­tawa terkekeh-kekeh, bibirnya yang me­rah dan lembut itu terbuka, tampak dua deretan gigi yang putih seperti mutiara berbaris.

Empat belas orang itu memandang dengan mata terbelalak. Sungguh seorang wanita yang amat cantik, dilihat dari wajahnya yang segar berseri itu agaknya belum dua puluh lima tahun usianya, na­mun sikap dan gerak-geriknya memba­yangkan kepribadian yang kuat dan ber­wibawa, tenang dan tabah, sikap masak seorang tokoh besar. Pakaiannya dari sutera tipis berwarna putih sehingga terbayang baju dalam yang berwarna merah muda. Sepasang kakinya tertutup sepatu kulit mengkilap, berwarna hitam. Yang menarik hati dan mengerikan ada­lah rambutnya. Rambut hitam gemuk, panjang sampai hampir menyentuh tanah di belakangnya, sebagian lagi terurai ke depan dari kanan kiri lehernya. Tubuhnya padat berisi, kulit leher, tangan dan mukanya halus den putih seperti salju. Wanita yang cantik jelita, bersinar matar bengis, dengan mulut yang selalu meng­ejek tampaknya dan diselubungi sesuatu yang aneh mengerikan. Begitu ia muncul, tercium bau harum seperti taman bunga.

“Hi-hi-hik, kiranya jejaka tampan yang mengeluarkan tantangan. Wah, un­tungku hari ini! Orang muda yang penuh tenaga dan hawa murni, kau dari golongan mana?”

Kok Ceng Cu biarpun sudah berusia tiga puluh tahun lebih, namun tak pernah berdekatan dengan wanita. Memang ia tidak suka akan wanita dan sudah ber­sumpah akan tetap membujang seumur hidup. Kini menghadapi wanita cantik aneh yang sikapnya sombong, ketawanya terbuka tanpa mengenal sopan dan susila ini, ia menjadi marah sekali.

“Wanita tak bersopan! Aku tidak suka bicara denganmu, akan tetapi kalau kau ingin tahu, aku Kok Ceng Cu murid ke lima dari Hoa-san-pai. Sudahlah, pergi jangan menambah muak dengan ketawa-ketawa seperti siluman!”

“Hi-hi-hik, jejaka murni, nyalinya kuat. Bagus, bagus, kebetulan sekali. Eh, Kok Ceng Cu, kulihat tadi kau meng­angkat batu kecil ini, entah apa kau kuat menerima lemparan dariku?” Tanpa menanti jawaban, wanita ini menggerakkan kepalanya dan.... rambutnya yang indah dan panjang itu bergerak seperti hidup ke arah batu gunung putih di de­katnya yang tadi dipakai main-main oleh orang-orang sakti itu. Begitu cepat gerakkannya dan tahu-tahu batu itu telah terlempar ke arah Kok Ceng Cu. Benar-benar membuat semua orang bengong terlongong. Bagaimana rambut indah panjang itu dapat dipergunakan untuk mengangkat dan melempar batu yang beratnya lima ratus kati lebih?

Akan tetapi Kok Ceng Cu tidak sem­pat berheran. Melihat datangnya batu ke arah kepalanya, ia cepat menggerakkan kedua lengan, menangkap batu itu dan mengerahkan tenaganya, melemparkan batu itu kembali kepada wanita tadi sambil berseru membentak, “Siluman jahat, terimalah kembali!”

Lemparan Kok Ceng Cu dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, akan hehat sekali akibatnya kalau wanita itu tertimpa. Agaknya wanita aneh ini tidak mempedulikan datangnya batu, ha­nya mengangkat lengan kiri menangkis. Terdengar suara keras dan batu itu terlempar ke kiri, pecah menjadi dua!

Kejadian ini benar-benar membuat semua orang terkejut, dan sekaligus mak­lumlah mereka bahwa wanita ini ternyata memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Juga Kok Ceng Cu sadar akan hal ini, namun penyesalannya terlambat. Sambil terkikik-kikik ketawa wanita itu kembali menggerakkan kepalanya dan kini rambutnya terurai meluncur ke depan dan di lain saat kedua pergelangan le­ngan dan leher Kok Ceng Cu sudah terlibat rambut. Betapapun murid ke lima dari Hoa-san-pai ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk melepaskan diri, usaha­nya sia-sia seakan-akan seekor latat yang berusaha melepaskan diri daripada sarang laba-laba, meronta-ronta tanpa hasil, malah rambut-rambut itu makin erat mengikat tangan dan mencekik leher.

“Hi-hi-hik, berontaklah, makin keras makin baik agar darahmu berjalan lebih kencang!” Sambil terkekeh wanita itu kembali menggerakkan kepalanya. Tubuh Kok Ceng Cu tersentak ke depan, ber­putar dan tak dapat dicegah lagi men­dekati wanita itu. Tiba-tiba wajah wanita cantik itu menjadi beringas, matanya bersinar-sinar, mulutnya terbuka dan.... cepat sekali mulutnya mendekati tengkuk leher Kok Ceng Cu dan menggigitnya, terus mengisap! Kok Ceng Cu mengeluar­kan jerit mengerikan, mukanya menjadi pucat kehijauan dan beberapa detik ke­mudian nyawanya telah melayang meninggalkan badannya!

“Siluman keji....!” Kok Bin Cu dan tiga orang adik seperguruannya bergerak maju, menerjang wanita itu. Akan tetapi mereka terhuyung mundur dan tubuh Kok Ceng Cu yang sudah dingin terlempar ke arah mereka, diiringi suara ketawa wa­nita itu. Melihat keadaan Kok Ceng Cu yang sudah menjadi mayat, Kok Bin Cu cepat menyambar dan memeluk adik termuda ini dengan penuh kesedihan.

Adapun tiga orang adik seperguruannya yang lain berdiri dengan sikap siap, na­mun ragu-ragu untuk menerjang tanpa perintah Kok Bin Cu. Mereka maklum akan kelihaian wanita siluman ini dan menjadi gentar juga.

“Cuh! Cuhhhhh!” suara orang meludah dan Leng Hi murid ke empat Bu-tong-pai menyumpah-nyumpah karena mukanya terkena ludah kental yang tak diketahui dari mana datangnya.

“Ho-ho-hah, Siang-mou Sin-ni jangan berpesta seorang diri!” Suara laki-laki seperti tambur bobrok ini terdengar dan orangnya sekaligus tampak seorang berpakaian pengemis, sudah tua dan bong­kok, mukanya pucat seperti mayat, ram­butnya panjang sampai ke pundak, awut-awutan dan riap-riapan kotor, mata kiri­nya buta, mata kanannya lebar mem­belalak. Pakaiannya kotor dan penuh tambalan, hanya sepasang sepatunya ma­sih baru. Ia memegang sebatang tongkat butut, berdiri di situ dengan punggung agak bongkok.

Dilihat sepintas lalu, ia hanya seorang pengemis kotor biasa saja, malah se­orang pengemis yang tidak normal, se­tengah gila. Hal itu tampak pada muka­nya yang mengerikan, apalagi mulutnya yang lebar dan selalu sedikit terbuka, memperlihatkan sebuah gigi besar, gigi yang hanya satu-satunya dalam mulut tua.

Kembali ia meludah, “Cuh-cuh-cuh!” ke kanan kiri, menjijikkan sekali.

Melihat ini, Leng Li Hwesio marah, “Orang tua jorok (kotor), kaukah yang meludahi pinceng tadi?”

“Ho-ho-hah-hah, aku memang suka meludah, biasa meludahi anjing korengan dan kucing kudisan. Lebih suka lagi me­ludahi keledai gundul, cuh-cuh!” Mukanya menghadap ke bawah dan ia meludah ke bawah, akan tetapi anehnya, dua kali meludah, dua kali muka Leng Hi Hwesio yang berada di sebelah kanannya dalam jarak tiga meter itu terkena sambaran ludah kental yang sebagian memasuki lubang hidungnya. Entah bagaimana ludah itu bisa terbang menyeleweng dan miring.

Kakek pengemis itu berjingkrak ke­girangan bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa. “Ha-ho-hoh! Bagus sekali. Ke­ledai Bu-tong memang baik menjadi tem­polong ludah!”

“Jahanam hina!” Leng Hi Hwesio mana dapat menahan kesabarannya? Dengan kemarahan meluap-luap ia sudah men­cabut pedangnya dan menerjang pengemis itu.

“Ho-ho-ha-hah, untung besar hari ini bisa meludahi mampus keledai Bu-tong!” Tiba-tiba terdengar suara keras dan pe­dang di tangan Leng Hi Hwesio sudah terlempar jauh, menimpa batu gunung dan patah menjadi dua. Kemudian kakek pengemis itu meludah terus dan tiap kali meludah, Leng Hi Hwesio berseru ke­sakitan. Hujan ludah itu mengenai tubuh­nya, akan tetapi tidak hanya membikin kotor seperti tadi, kini terasa seperti pukulan-pukulan keras yang tepat me­ngenai jalan darah di tubuhnya. Tiap kali kakek itu meludah dan mengenai tubuh­nya, ia berteriak mengaduh, kemudian ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan diri. Namun kakek itu terus me­ludah, makin keras agaknya karena kini tubuh Leng Hi Hwesio bergulingan seper­ti seekor cacing terkena abu panas dan dari telinga dan hidungnya keluar darah segar!

“Pengemis keji, lepaskan Sute kami!” Leng Lo Hwesio dan dua orang adik se­perguruannya cepat mencabut pedang dan menerjang pengemis itu. Akan tetapi pengemis itu mengangkat tongkatnya, sekaligus tiga batang pedang itu ter­tangkis dan terpental. Sungguhpun tiga orang hwesio kosen itu tidak sampai melepaskan pedang masing-masing, namun mereka merasakan telapak tangan mere­ka sakit dan panas. Terkejutlah mereka. Bu-tong-pai terkenal dengan ilmu pedang yang digerakkan dengan tenaga lwee-kang, kuat bukan main. Akan tetapi sekarang sekali tangkis saja kakek ini dapat mem­buat pedang mereka terpental. Padahal mereka adalah orang-orang yang men­duduki tingkat dua, tiga, dan empat di Bu-tong-pai, yang paling lihai di bawah suhu (guru) mereka!

Sementara itu, kakek itu terus me­ludahi tubuh Leng Hi Hwesio yang kini sudah tak dapat bersambat atau bergerak lagi. Hebatnya, kepala yang gundul itu kini bolong-bolong dan dari situ keluar darah bercampur otak. Hwesio ke empat ini sudah tewas!

“Mana orang Kun-lun! Mana tosu-tosu bau dari Kun-lun?” tiba-tiba terdengar suara dan kali ini suara itu terdengar dari.... bawah! Terlalu hebat peristiwa yang terjadi berturut-turut itu, dan para tosu Kun-lun-pai masih tercengang dan ngeri menyaksikan kematian seorang anggauta rombongan Hoa-san-pai dan seorang hwesio Bu-tong-pai. Sekarang mendengar bentakan dari bawah tanah ini, mereka seketika menjadi pucat dan cepat memandang ke arah suara. Tentu saja pandang mata mereka tertuju ke bawah, karena dari situlah munculnya suara.

“Hi-hi-hik, It-gan Kai-ong! Dengar itu, Si Tengkorak Hidup Hek-giam-lo juga datang. Bakal ramai sekarang!” Wanita rambut panjang tadi kini tertawa dan Si Pengemis Mata Satu juga tertawa dan meludah ke kanan kiri.

“Bagus, dan kebetulan orang-orang Kun-lun berada di sini. Baik sekali. Hayo, Hek-giam-lo tengkorak busuk, perlihatkan diri, apa kau gentar melihat banyak orang Kun-lun-pai?”

Mendengar disebutnya Hek-giam-lo, muka Ang Kun Tojin makin pucat. Ia belum pernah bertemu dengan Hek-giam-lo, akan tetapi ia mengenal nama ini yang oleh gurunya disebut sebagai se­orang tokoh hitam yang amat keji dan jahat, malah ada bibit permusuhan de­ngan Kun-lun-pai, yaitu musuh dari men­diang kakek guru Ang Kun Tojin.

Terdengar suara menggereng seperti harimau dari dalam tanah dan tiba-tiba tanah berikut batu berhamburan terbang dan tahu-tahu tanah itu sudah berlobang besar. Dari dalam lubang meluncur caha­ya seperti kilat yang terbang ke arah lima orang tosu Kun-lun-pai.

Para tosu ini bukanlah orang-orang sembarangan. Tingkat ilmu silat mereka seperti juga orang-orang Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai itu, sudah mencapai taraf tinggi sekali. Sekali pandang saja mereka maklum bahwa yang menyambar ini ada­lah sebuah senjata yang amat tajam dan runcing, yang disusul melesatnya bayangan hitam. Cepat mereka berlima melompat ke belakang, mencabut pedang dan menangkis.

“Trang-trang-trang....!” terdengar bunyi nyaring. Bunga api berhamburan disusul melayangnya tiga batang pedang, yaitu tiga batang di antara lima pedang yang bertemu dengan senjata berkilauan itu. Kemudian terdengar jerit mengerikan dan Pek Sin Tojin, tosu yang bertahi lalat pada hidungnya, telah roboh mandi darah. Dari leher sampai ke perutnya terdapat luka goresan yang panjang, luka kulit saja akan tetapi amat mengerikan. Apalagi kalau mereka melihat lawan mereka yang kini sudah berdiri di depan mereka, benar-benar mendirikan bulu roma.

Dia seorang yang tubuhnya sedang saja, malah agak kurus. Seluruh badan, kecuali sepasang tangan yang kecil kurus, terbungkus pakaian serba hitam. Mukanya adalah muka tengkorak, tulang putih mengerikan dengan dua lobang mata hitam, kepala tengkorak tertutup topi runcing hitam, kedua kakinya memakai sepatu hitam pula. Di tangannya tampak sebuah senjata sabit yang amat tajam dan runcing, agak melengkung.

Senjata sabit itu kini bergerak-gerak ke arah tubuh Pek Sin Tojin, sekali ber­kelebat tentu kulit tubuh tosu itu ter­iris robek. Pek Sin Tojin menggeliat-geliat, bergulingan, darah memenuhi tu­buh dan mukanya, namun sabit itu terus bergerak, makin lama makin cepat. Em­pat orang tosu Kun-lun-pai menerjang lagi, yang dua orang termasuk Ang Kun Tojin menggunakan pedang, yang dua orang lagi karena pedangnya terlempar, menerjang dengan kepalan. Akan tetapi hebatnya, si tengkorak ini hanya meng­gerak-gerakkan tangan kirinya dan semua serangan itu tertangkis oleh ujung lengan bajunya. Adapun sabit di tangan kanan­nya terus bergerak, mengiris-iris kulit tubuh Pek Sin Tojin sampai cobak-cabik.

Kekejaman yang mendirikan bulu roma. Pek Sin Tojin tak dapat mengerang lagi, tubuhnya berkelojotan, lalu diam. Gerakan sabit juga berhenti dan kini sabit itu berkelebatan menghadapi empat orang Kun-lun-pai yang mengeroyoknya.

Sementara itu, orang-orang Bu-tong-pai sudah bergerak mengeroyok si kakek pengemis yang melayani tiga orang kosen Bu-tong-pai ini sambil meludah-ludah dan memaki-maki.

Di lain fihak, empat orang Hoa-san-pai juga mengeroyok si wanita rambut panjang yang melayani mereka sambil terkekeh-kekeh genit. Sungguh pertempur­an yang amat seru namun tidak seimbang kekuatannya. Seperti tiga ekor harimau buas dikeroyok serombongan kelinci saja. Sabit di tengan tengkorak hidup itu menyambar seperti halilintar dan sebentar saja, dua orang tosu Kun-lun-pai sudah menggeletak dengan tubuh terbacok ham­pir putus menjadi dua potong, sedangkan Ang Kun Tojin dan seorang sutenya sudah luka-luka pula.

Juga wanita mengerikan yang bernama Siang-mou Sin-ni (Dewi Rambut Harum) telah menewaskan dua orang Hoa-san-pai dengan cambukan-cambukan rambutnya. Wanita ini hanya berdiri te­gak, kepalanya digerak-gerakkan dan rambutnya melayang-layang di sekitar tubuhnya, menangkis senjata dan meng­hantam lawan. Jangan dipandang rendah rambut ini, karena ketika menghantam lawan, rambut halus dan berbau harum itu seakan-akan telah berubah menjadi kawat baja yang amat kuat.

It-gan Kai-ong (Raja Pengemis Mata Satu), meludah-ludah dan memaki-maki. Ludahnya membikin buta seorang lawan yang terus ditusuk tongkat kepalanya sehingga mati seketika. Leng Lo Hwesio mengerahkan seluruh Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat, namun sama sekali tak berdaya menghadapi sinar tongkat kakek itu.

Mereka semua maklum bahwa kalau dilanjutkan, mereka semua pasti akan tewas. Seperti ada yang memberi koman­do, Ang Kun Tojin, Kok Bin Cu, dan Leng Lo Hwesio melompat pergi mening­galkan para sutenya yang sudah tewas.

Mereka pun menderita luka-luka berat. “Ha-ha-ho-ho! Siang-mou Sin-ni, Hek-giam-lo, biarkan mereka pergi untuk memberi tahu kepada partai masing-masing!”

“Tak usah kau ngoceh, pengemis picak!” Siang-mou Sin-ni mencibirkan bibirnya yang merah sambil mengebut-ngebutkan rambutnya yang panjang dengan cermat. “Kalau aku mau, apa kau­kira tua bangka Hoa-san itu bisa pergi hidup-hidup?”

“Ho-ho-hah! Bagaimana, Hek-giam-lo, puas kau hari ini dapat membunuh empat orang tokoh Kun-lun?” Pengemis itu berpaling kepada si tengkorak.

“Aku datang ke Thai-san bukan untuk itu,” Hek-giam-lo Si Tengkorak Hidup menjawab pendek.

“Hi-hik, untuk apalagi kalau bukan untuk minta sesuatu dari Bu Kek Siansu? Iihhh, Hek-giam-lo, sejak kapan kau ikut-ikut menjadi pengemis seperti pengemis picak ini?” Siang-mou Sin-ni mengejek. Akan tetapi Hek-giam-lo tidak menjawab, hanya mendengus marah.

“Ho-hah, setan cilik, lidahmu benar-benar lemas, bibirmu halus mengandung madu, tapi ludahmu seperti butrawali dan mrica! Kau sendiri datang pada permula­an musim semi, apakah akan memberi selamat panjang umur kepada setan gu­nung? Ho-ho, kau sendiri juga akan mengemis ilmu, bukan?”

“Cih, mulutmu bau busuk, pengemis kotor! Aku mendengar bahwa Bu Kek Siansu akan muncul di dunia. Aku hendak melihat apakah dia dapat menghadapi rambutku, kalau dapat, baru aku mau mengangkatnya sebagai guru, bukan me­ngemis seperti kau!”

“Ha-ha, silat lidah! Menjadi murid dan mengemis ilmu, apa bedanya? Malu-malu kucing segala, cuh!” It-gan Kai-ong me­ludah ke dekat kakinya dan batu di dekatnya berlubang oleh ludah itu! “Bukan­kah begitu, Hek-giam-lo?”

Si tengkorak hidup tidak menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng ha­nya mengeluarkan suara, “Huhhh!”

“Ihhh, menyebalkan si tengkorak busuk ini. Apa mendadak menjadi bisu? Apakah ingin menyembunyikan suara seperti ber­tahun-tahun ia menyembunyikann mukanya? Wah, alangkah inginku merenggut lepas kedok tengkorak itu dan melihat apakah dia laki-laki atau wanita, kalau laki-laki tampan atau buruk, muda atau tua!”

“Hemmm....” Tengkorak hidup itu mundur selangkah, mukanya menghadap Siang-mou Sin-ni dan senjata sabitnya yang mengerikan itu diangkat ke atas, agaknya siap bertempur.

It-gan Kai-ong berjingkrak-jingkrak tertawa dan bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, bagus....! Aku pun mempunyai keinginan yang amat sangat, yaitu melihat kalian bertempur mengadu ilmu. Alang­kah akan ramainya, entah siapa yang hanya bernama kosong belaka. Siang-mou Sin-ni ataukah Hek-giam-lo. Hayo, mulailah!”

Sejenak Siang-mou Sin-ni ragu-ragu, kepalanya sudah tegang, agaknya ia hen­dak menggerakkan rambutnya menerjang. Akan tetapi matanya melirik ke arah pengemis tua itu, lalu tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh. “Hi-hi-hik, penge­mis tua busuk, kau hendak akali kami berdua, ya? Kau mengadu kami, biar keduanya mampus atau payah, baru kau turun tangan dan dapat memonopoli atas ilmu-ilmu dari Bu Kek Siansu. Begitukah? Akal bulus!”

“Kalian mau saling gempur atau sa­ling cinta, apa sangkut-pautnya dengan aku? Habis, kau mau apa?” Kakek itu merengut, kesal.

“Kita bertiga harus menentukan siapa paling unggul, dia berhak menemui Bu Kek Siansu. Yang kalah dinyatakan tidak berharga dan harus minggat.”

“Setuju!” jawab It-gan Kai-ong. “Kau bagaimana?” tanyanya kepada Hek-giam-lo. Yang ditanya hanya mengangguk, tetap berdiri memasang kuda-kuda, sikapnya amat bercuriga dan tidak percaya kepada dua orang di depannya itu.

Tiga orang sakti itu berdiri memasang kuda-kuda, saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka seakan-akan tiga ekor harimau yang siap me­nanti datangnya terjangan lawan, tegang sampai ke bulu-bulunya, akan tetapi terlalu hati-hati untuk bergerak lebih dahulu karena maklum bahwa lawan amatlah hebat, siapa terlena dia akan sirna.

Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melengking tinggi dan rambutnya bergerak seperti sinar hitam menyambar ke arah Hek-giam-lo. Hanya satu atau dua detik se­lisihnya dengan gerakan It-gan Kai-ong yang menggunakan tongkat menyerang wanita ini, dan gerakan Hek-giam-lo yang menggunakan sabit menerjang It-gan Kai-ong. Sekaligus tiga orang itu telah menyerang dan diserang. Sekaligus pula mereka mendengus nyaring dan mengelak dengan lompatan kilat ke samping. Kini mereka berdiri lagi memben­tuk segi tiga, memasang kuda-kuda dan tidak bergerak. Suara desingan senjata mereka yang menyambar tadi masih ter­dengar gemanya, mengaung dari dalam jurang di dekat situ.

Amat tegang seluruh urat syaraf, ke­tiga orang itu sodah siap untuk melaku­kan terjangan atau menghadapi serangan lagi. Akan tetapi tiba-tiba wajah mereka bergerak dan perhatian mereka tertarik­ oleh bunyi suling yang amat luar biasa. Sesaat bunyi suling itu semerdu kicau burung di waktu pagi hari menyongsong munculnya sang matahari, akan tetapi pada saat lain terdengar seakan-akan halilintar menyambar-nyambar membelah gunung, pada detik ini terdengar gembira seperti suara bidadari tertawa merdu, pada lain detik seperti tangis wanita yang ditinggal mati suaminya.

“Tunda dulu urusan kita,” kata It-gan Kai-ong.

“Kita lihat siapa yang datang,” sam­bung Siang-mou Sin-ni mengangguk.

Hek-giam-lo hanya mengangguk dan menurunkan sabitnya. Makin lama suara suling terdengar makin nyaring, seolah-olah penyulingnya berjalan perlahan men­dekati tempat itu. Tiga orang sakti ini menjadi tegang hatinya, mereka men­duga-duga. Nama besar Bu Kek Siansu yang dipuja-puja seluruh tokoh kang-ouw, sudah banyak kali mereka dengar, namun selama hidup mereka belum pernah melihat orangnya. Apakah kakek sakti itu yang muncul sekarang sambil meniup suling?

Tak lama kemudian muncullah si peniup suling dari balik batu besar, ber­jalan dengan tenang perlahan menuju ke puncak sambil meniup suling yang di­pegang dengan kedua tangannya. Suling itu berkilauan tertimpa matahari dan mudah diduga babwa benda ini terbuat daripada emas murni. Peniupnya seorang laki-laki tinggi tegap, tampan dan gagah, berusia antara tiga puluh tahun. Pakaian­nya seperti pakaian seorang pelajar, dengan ikat pinggang sutera dan tali pe­nutup kepala melambai panjang. Pakaian orang ini hanya bentuknya saja seperti pakaian pelajar, juga topinya, akan tetapi warna sepatu, pakaian, dan topinya hi­tam, kecuali ikat pinggang dan pinggiran jubah, berwarna kuning. Di bagian dada bajunya yang hitam itu tampak lukisan sebuah suling emas di atas dasar bulatan merah muda seperti bulan purnama.

“Iihhh.... gantengnya....!” Siang-mou Sin-ni memuji, matanya memandeng pe­nuh gairah kepada wajah yang tampan itu.

“Inikah orangnya yang memakai nama Suling Emas....?” It-gan Kai-ong berkata perlahan seperti pada diri sendiri. Ada­pun Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara mendengus marah.

Sementara itu, laki-laki muda ber­suling itu sudah melihat adanya tiga orang aneh di puncak, juga adanya ma­yat-mayat berserakan di sekitar tempat itu. Suara sulingnya berhenti, benda itu ia selipkan pada ikat pinggang dan kedua kakinya melangkah lebar dan cepat ke tempat itu. Keningnya berkerut, sepasang alis yang tebal hitam itu seakan-akan bersambung menjadi satu.

“Keji sekali....!” Ia bersungut-sungut tanpa mempedulikan tiga orang itu.

“Kami yang membunuh mereka. Kau mau membela?” ejek It-gan Kai-ong me­nantang.

Dia tersenyum, menoleh kepada pe­ngemis mata satu dan berkata dengan suara tenang berwibawa, “Kalian membunuh orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, aku tidak peduli, bukan urusanku. Akan tetapi andaikata tadi aku berada di sini, jangan harap kalian me­ngumbar kekejaman sesuka hati.”

Setelah berkata demikian, orang ini lalu menghampiri Hek-giam-lo, meman­dang sejenak dan berkata. “Kau Hek-giam-lo, bukan? Beri pinjam senjatamu sebentar, aku hendak mengubur mayat-mayat itu.”

Hek-giam-lo mendengus dan melangkah mundur, sabitnya ia angkat ke atas kepala, siap menerjang. Orang muda itu tertawa mengejek.

“Kau takut aku melarikan senjatamu itu? Ha-ha, aku sering kali mendengar bahwa manusia iblis Hek-giam-lo memiliki kepandaian yang amat tinggi, kiranya ia hanya mengandalkan nyawanya kepada sebatang sabit, maka takut kehilangan senjatanya. Hek-giam-lo, sulingku ini dari emas, jauh lebih berharga daripada sabit­mu, baik harganya maupun kegunaannya. Kalau kau takut aku melarikan sabitmu, biar kau bawa dulu sulingku ini.”

Sebagai seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, mana Hek-giam-lo mau menyerahkan senjatanya? Senjata yang diandalkan sama harganya dengan nyawa. Ia mendengus kembali, menggelengkan muka tengkoraknya.

Pemuda tinggi ganteng itu tersenyum lebar, tapi sepasang matanya mengeluar­kan sinar tajam. “Terimalah ini!” serunya dan suling di tangan kanannya itu tiba-tiba meluncur seperti halilintar menyam­bar, ke arah leher kiri Hek-giam-lo. Se­rangan ini cepat bukan main, juga tidak terduga karena gerakan suling itu dilihat dari depan seperti memutar, ujungnya membentuk lingkaran yang tidak dapat diterka ke mana akan mencari sasaran. Tiba-tiba, Hek-giam-lo melihat ujung suling sudah hampir menempel ulu hati­nya.

Namun ia memang lihai sekali. Sam­bil mengeluarkan suara gerengan seperti setan, tangan kirinya menyambar dari samping menangkap suling itu dan men­dorong ke kanan agar meleset daripada ulu hatinya, bagian yang berbahaya itu. Alangkah herannya ketika ia merasa betapa suling itu dengan mudah dapat ia renggut, malah agaknya dilepaskan oleh pemiliknya. Ia menduga akan adanya tipuan, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, tenaga yang amat keras merampas sabitnya. Ia masih berusaha mempertahankan dengan tangan kanan, namun tiba-tiba suling di tangan kirinya itu bergerak hendak menusuk dadanya kembali. Terpaksa ia mengalihkan perhatian dan tenaganya ke tangan kiri yang mencengkcram suling, berusaha merampas suling untuk menyelamatkan diri. Lebih penting menyelamatkan diri daripada ancaman suling, baru kemudian berusaha merampas kembali senjatanya.

Pemuda itu tertawa sambil melompat mundur, sabit panjang sudah berada di tangannya. “Hek-giam-lo, terima kasih atas kebaikanmu. Hanya sebentar aku pinjam sabitmu, kalau sudah selesai akan kukembalikan.” Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu melirik ke kanan kiri beberapa lama, kemudian tiba-tiba ia meloncat ke kiri, sekali loncatan tubuh­nya melayang lebih sepuluh meter jauh­nya. Kiranya ia memilih tanah yang lunak di balik sebuah batu besar. Sabit di tangannya bergerak dan tampak sinar berkilauan ketika dengan cepatnya ia menggali tanah dengan sabit itu.

“Heh, kau tentu si muda sombong yang memakai nama Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)!” terdengar suara serak Si Muka Tengkorak. “Kembalikan senjataku.”

Suling Emas tidak menjawab, melain­kan menggali terus dengan cepat sekali sehingga sebentar saja di depannya telah tergali sebuah lubang besar. Namun ia masih menggali terus dengan cepat.

Sinar hitam yang lembut bergulung meluncur ke arah punggungnya. Sinar hitam ini datang dari Hek-giam-lo yang melepas senjata rahasianya yang disebut Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun Awan Hitam). Begitu hebat racun jarum-jarum yang jumlahnya tujuh batang ini sehingga mengeluarkan uap hitam seakan-akan awan yang membungkusnya ketika benda-benda kecil ini meluncur mencari korban.

Melihat Hek-giam-lo mempergunakan ilmunya melepas jarum, Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong terkejut. Mereka berdua sudah mengenal baik hebatnya jarum-jarum itu. Sekarang Suling Emas yang ternyata hanya seorang pemuda masih hijau diserang dari belakang dan pemuda itu asyik bekerja menggali tanah, mana dapat ia menyelamatkan diri?

Suling Emas menggali dengan gerakan cepat dan aneh. Bukan hanya tangan kanan yang memegang sabit saja yang bergerak, malah semua tubuhnya ikut bergerak. Seorang petani akan menter­tawakannya karena cara ia mencangkul tanah menggunakan sabit amatlah lucu, meloncat ke sana ke mari, bergoyang-goyang dan terhuyung-huyung. Akan te­tapi kalau melihat hasil galian di depan­nya, orang akan bengong terlongong. Sepuluh orang tukang cangkul bekerja sama dengan cangkul yang baik sekalipun belum tentu akan dapat menggali lubang sedemikian besar dalam waktu demikian cepatnya.

Sekarang, tiga orang sakti itu yang menjadi kagum. Tanpa menoleh, Suling Emas masih tetap bekerja dan ketika gulungan awan hitam yang membungkus jarum-jarum beracun itu menghampirinya dan berpencar mengarah tujuh bagian jalan darah terpenting, ia masih saja bergerak-gerak menggali lobang. Namun kini di antara berkelebatnya sinar sabit yang putih, tampak bergulung-gulung sinar kebiruan yang mengeluarkan angin keras. Mendadak awan hitam itu membalik sampai tiga kaki jauhnya, Hek-giam-lo mengeluarkan suara geraman hebat dan awan hitam itu mendesak maju lagi, Si Muka Tengkorak berdiri setengah berjongkok, kedua tangannya dilonjorkan ke depan dan ia mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk memberi dorong­an kepada senjata rahasianya.

Suling Emas menunda gerakannya menggali. Ia pun membalik dan kiranya di tangan kirinya terdapat sebuah kipas biru yang terdapat lukisan indah. Ia me­ngipaskan benda itu ke depan sambil berseru.

“Hek-giam-lo, aku terima tantangan­mu, akan tetapi tunggulah sebentar sam­pai selesai pekerjaanku.” Ia mengebutkan lagi kipasnya dan sekali lagi awan hi­tam yang sudah mendesak maju itu terpental mundur sampai lima kaki jauhnya.

Tanpa mempedulikan Hek-giam-lo yang terpaksa menerima kembali jarum-jarumnya itu, Suling Emas berloncatan ke sana ke mari dan tampaklah mayat-mayat yang berserakan itu satu demi satu melayang masuk ke dalam lobang besar yang digalinya tadi. Pemandangan yang amat mengerikan. Mayat-mayat itu seakan-akan hidup kembali dan terbang seperti setan-setan penasaran. Padahal Suling Emas hanya menggunakan ujung sabit untuk mencongkel mayat-mayat itu. Dalam waktu pendek saja sebelas buah mayat itu sudah terbang semua ke dalam lubang. Suling Emas lalu menguruk lu­bang dengan tanah galian. Begitu cepat ia melakukan pekerjaan ini sehingga wak­tu untuk menggali dan “mengubur” ini tidak lebih daripada sepuluh menit saja!

“Ho-ho-hah-hah, Suling Emas namanya menyundul langit. Kiranya hanya seorang bocah ingusan yang tak tahan melihat mayat-mayat berserakan. Ha-ha-ha.” It-gan Kai-ong tertawa mengejek.

“It-gan Kai-ong, terimalah salamku. Tak kusangka di puncak Thai-san ini akan bertemu dengan seorang raja, sungguh menyenangkan,” jawab Suling Emas.

“Tampan sekali! Ganteng.... dan jejaka tulen. Hebat! Suling Emas, mari pergi bersama saya....” Suara Siang-mou Sin-ni amat manis dan merdu, senyumnya memikat dan kerling matanya menyambar. Pemuda biasa saja kiranya akan runtuh kalbunya dan bobol pertahanannya kalau menghadapi senyum dan kerling yang memabukkan ini. Memang Siang-mou Sin-ni memiliki kecantikan yang luar biasa, keharuman rambut yang memabuk­kan, dan ada sesuatu yang mujijat, hawa kekuatan yang tidak sewajarnya, keluar dari tubuhnya.

Suling Emas menjadi merah mukanya ketika ia mengangguk dan membungkuk sebagai tanda hormat. “Siang-mou Sin-ni, terima kasih. Kulihat di antara mayat-mayat itu terdapat seorang muda yang sudah kausedot habis isi tulang belakang­nya, apakah kau masih juga belum kenyang?”

Siang-mou Sin-ni hanya terkekeh-kekeh mendengar ejekan ini. Adapun It-gan Kai-ong lalu menegur, “Kim-siauw (Suling Emas), kau yang masih begini muda, bagaimana berani lancang me­nyebut nama kami? Bagaimana kau bisa megenal bahwa aku It-gan Kai-ong?”

Suling Emas tertawa. “Banyak raja di dunia ini, akan tetapi yang suka me­makai pakaian tambalan, hanyalah raja pengemis. Di antara banyak raja penge­mis yang terkenal, memang ada beberapa orang di antaranya yang buta kedua matanya, akan tetapi yang picak sebelah hanyalah It-gan Kai-ong.”

Siang-mou Sin-ni makin keras kekeh tawanya. bahkan Si Muka Tengkorak yang pendiam juga terbatuk-batuk menahan tawa. It-gan Kai-ong mencak-mencak saking marahnya. “Bocah sombong, berani kau mempermainkan aku? Hayo ke sini­lah, boleh kita adu kepandaian.”

“Nanti dulu, Kai-ong. Biarlah dia mencoba kelihaian rambutku. Kalau dia bisa mengatasi rambutku, tak perlu aku mencium dan menggigitnya, hi-hi-hik!” Siang-mou Sin-ni melangkah maju.

Akan tetapi Suling Emas tidak mem­pedulikan mereka berdua, langsung ia menghampiri Hek-giam-lo, menyerahkan senjata sabit. “Ini senjatamu, Hek-giam-lo, dan terima kasih.”

Hek-giam-lo mengulur tangan kiri menangkap gagang sabitnya, akan tetapi Suling Emas tidak melepaskannya, dan sambil tersenyum pemuda ini mengulur tangan kiri pula ke arah sulingnya yang masih dipegang oleh Hek-giam-lo, kemu­dian menyambar suling itu. Keduanya kini berdiri berhadapan dengan kedua tangan memegang kedua macam senjata, tidak saling dilepas. Sejenak mereka berpandangan, ragu-ragu berada di fihak Hek-giam-lo, akan tetapi kemudian ia mengendorkan pegangannya pada suling. Suling Emas juga melepaskan sabit dan menarik suling sehingga di lain saat ke­dua orang itu sudah saling bertukar senjata.

Hek-giam-lo yang masih marah dan penasaran sudah mengangkat sabit, siap menyerang. Akan tetapi ia kalah dulu oleh Siang-mou Sin-ni yang sudah me­lompat ke depan Suling Emas dan sambil terkekeh wanita ini menggerakkan ram­butnya yang mengeluarkan bunyi bercuitan seperti seratus cambuk menerjang Su­ling Emas.

Bau yang harum semerbak memabuk­kan menusuk hidung. Suling Emas cepat mengerahkan sin-kang dan melompat ke belakang, sulingnya menyampok ke depan dibarengi kipasnya dikebutkan. Terdengar suara nyaring ketika suling emas itu bertemu dengan gumpalan rambut yang paiing tebal, sedangkan kipas yang ber­gerak kuat itu meniup balik rambut pan­jang yang tadi menerjang maju seperti hidup. Baik Suling Emas maupun Siang-mou Sin-ni masing-masing melangkah mundur tiga tindak dan saling pandang dengan kagum. Malah Siang-mou Sin-ni kelihatan kaget. Tak disangkanya bahwa pemuda ganteng ini demikian kuat dan lihai. Kulit kepalanya sampai terasa pedas dan panas karena akar rambutnya terguncang keras. Di lain fihak, Suling Emas juga maklum bahwa wanita ini benar-benar luar biasa seperti yang sudah lama ia dengar. Kipas dan sulingnya tergetar hebat dan ia sampai melirik kepada dua senjatanya itu untuk melihat apakah kipas dan suling tidak menjadi rusak.

“Siang-mou Sin-ni, jangan kau lancang. Karena dia tadi menghinaku, aku­lah yang berhak menantangnya. Eh, Su­ling Emas bocah sombong, beranikah kau menghadapiku?” Hek-giam-lo sudah melangkah maju lagi, tangan kirinya merogoh saku.

Suling Emas melintangkan suling di depan dada dan kipasnya diangkat ke atas kepala, tersenyum tenang. “Aku mendaki puncak Thai-san dengan perasa­an aman dan damai, dengan pikiran gem­bira dan bersih daripada permusuhan dengan siapa pun juga. Aku tidak meng­hendaki permusuhan di tempat yang in­dah dan sejuk ini, akan tetapi kalau ada yang menantangku, biarpun aku ogah melayani, namun suling dan kipasku ha­rus menjaga nama dan kehormatan.”

“Jadi!” Hek-giam-lo berseru keras, tangan kirinya keluar dan begitu tangan kiri itu bergerak-gerak, tiga belas batang pedang pendek yang seperti disulap ke­luar dari jubah hitamnya itu telah me­nancap di atas tanah, membentuk ling­karan. Lingkaran itu terdiri dari sepuluh batang pedang yang berdiri berjajar, di tengah-tengah lingkaran tertancap tiga batang pedang yang bentuknya segi tiga. Sambil menggereng keras tubuh Hek-giam-lo melayang ke tengah lingkaran dan tahu-tahu ia sudah berdiri dengan sebelah kaki menginjak gagang pedang. Pedang itu kecil saja, dapat dibayangkan betapa tinggi gin-kang (ilmu meringankan tubuh) harus dibutuhkan untuk dapat berdiri di atas gagangnya. Pedang bergoyang-goyang, namun tubuh Hek-giam-lo tetap tegak tak bergerak, sabitnya diangkat di atas kepala.

“Bagus, boleh kulayani kau main-main sebentar Hek-giam-lo!” seru Suling Emas dan seperti seekor burung garuda me­layang, tubuhnya yang tinggi tegap itu meloncat ke tengah lingkaran, kaki kanannya menginjak gagang sebuah pedang lain.

Hek-giam-lo menyambut kedatangan lawannya dengan suara ketawa aneh me­nyeramkan, sabitnya bergerak dan me­nyambar seperti kilat putih, memancung ke arah leher Suling Emas. Namun, la­wannya bukanlah orang sembarangan. Sedikit berjongkok saja sabit itu sudah lewat di atas kepala dan sekali meng­gerakkan kedua tangan, kipas di tangan kiri yang terbuka itu mengebut ke arah muka tengkorak sedangkan suling disodok­kan ke arah lambung. Sekaligus Suling Emas telah menyerang hebat dengan gerakan yang kelihatan lambat, namun tidak mengeluarkan suara dan sukar di­duga ke mana arah dan sasarannya.

“Huhhhhh....!” Hek-giam-lo mendengus pendek, sabitnya terayun membentuk lingkaran di depan lambung menangkis suling, tubuhnya meloncat ke belakang menginjak gagang pedang lain yang me­rupakan pagar.

“Hek-giam-lo, aku tahu ilmu silatmu hebat, setiap gerakan mengarah nyawa. Tapi adu ilmu ini hanya untuk saling kenal, bukan? Siapa turun dari pedang berarti sudah mengalah.”

“Cerewet!” Hek-giam-lo mendengus dan sabitnya menyambar lagi, kini berturut-turut dan bertubi-tubi menyerang dari segala jurusan, diputar-putar sampai lenyap bentuk sabit, berubah menjadi segulung sinar putih menyilaukan mata.

Suling Emas terpaksa melayani desak­an yang merupakan cakar-cakar maut mengancam nyawa ini. Dengan lincah tubuhnya bergerak cepat, lenyap berubah menjadi bayangan hitam, sulingnya mem­balas dengan serangan ke arah kaki, kipasnya mengancam kepala dan me­nyampok sabit. Terpaksa Hek-giam-lo kini yang harus berloncatan mengelilingi patok-patok pedang itu, karena agaknya Suling Emas berusaha keras untuk me­maksa ia turun dari patok dengan pe­nyerangan yang selalu ditujukan kepada kakinya yang menginjak gagang pedang.

“Tengkorak busuk, serahkan Si Ganteng kepadaku!” Siang-mou Sin-ni memekik dan wanita inipun sudah meloncat ke atas gagang pedang, dan dari belakang, rambutnya menyambar ke arah leher Suling Emas untuk mencekiknya. Agaknya wanita ini merasa khawatir kalau-kalau jejaka tampan yang hendak dijadikan kor­bannya itu tewas oleh Hek-giam-lo yang amat lihai.

***

Namun Suling Emas biarpun masih muda, ternyata memiliki kegesitan yang mengagumkan. Begitu rambut Siang-mou Sin-ni menyambar, tubuhnya sudah melayang ke kiri, kipasnya mengebut muka Hek-giam-lo dan sulingnya dari bawah menotok dada Siang-mou Sin-ni.

“Ihhhh.... kau mau membunuhku?” Wanita itu memekik sambil mengelak cepat. “Kau tidak suka kepadaku? Apa ada wanita yang lebih cantik dari padaku?”

“Kalau perlu, apa salahnya membunuhmu? Kau pun menghendaki nyawaku,” jawab Suling Emas sambil menerjang lagi, sekaligus menghadapi dua orang lawan yang sakti itu.

“Wah-wah, sungguh memalukan sekali Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia) sudah terkenal sebagai enam tokoh tak terkalahkan di dunia. Masa dua di antara­nya sekarang tak dapat mengalahkan seorang bocah hijau? Kalau aku tidak turun tangan membasminya, bisa ter­cemar nama besar Thian-te Liok-koai!” It-gan Kai-ong Si Raja Pengemis Mata Satu melompat dan tongkatnya menyambar. Hebat gerakannya dan pedang yang diinjaknya sama sekali tidak bergerak, menandakan bahwa gin-kang yang dimilikinya amat tinggi tingkatnya.

Suling Emas mengeluh dalam hatinya. Kalau menghadapi mereka di atas tanah yang keras, biarpun tidak berani ia meng­harapkan kemenangan, namun ia dapat menjaga diri jauh lebih baik daripada kalau bertempur dikeroyok tiga di atas patok-patok pedang ini. Ia berusaha ma­inkan suling dan kipasnya sebaik mung­kin, menutup diri dengan pertahanan sekokoh benteng baja dan mencari ke­sempatan merobohkan lawannya seorang demi seorang. Namun ia harus akui ke­hebatan tiga orang tokoh yang selama hidupnya baru kali ini ia lihat, dan be­lum dua puluh jurus ia terdesak hebat.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan tiga orang sakti itu berjungkir-balik dan berlompatan keluar dari lingkaran patok. Ternyata semua patok pedang, kecuali yang diinjak oleh Suling Emas, telah roboh malang melintang! Tiga orang sakti itu tadi hanya merasa betapa angin pu­kulan dahsyat menyambar ke bawah, merobohkan patok-patok pedang tanpa da­pat mereka cegah lagi, terpaksa mereka melompat dan berpoksai (bersalto) dan seperti mendengar komando, ketiganya lalu berlari cepat menghilang dari tem­pat itu.

Suling Emas terheran-heran. Ia me­lompat turun, dengan tangannya ia me­raup tiga belas pedang pendek itu, lalu melontarkannya ke arah menghilangnya Hek-giam-lo sambil berseru.

“Iblis Hitam, bawa pergi pedang-pedangmu!”

Tiga belas batang pedang itu terbang melayang seperti sekelompok burung dan lenyap di balik batu-batu besar yang mengitari puncak. Memang hebat sekali tenaga sambitan Suling Emas ini, dan patutlah kiranya ia menjadi lawan orang-orang sakti seperti tiga tokoh tadi.

Terdengar suara orang menarik napas panjang. Suling Emas cepat membalikkan tubuhnya dan bulu tengkuknya berdiri ketika ia melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depannya. Ia merasa serem karena tak mungkin ada orang, betapapun saktinya, dapat mendekatinya tanpa ia mendengarnya sama sekali. He­laan napas saja dapat tertangkap oleh pendengarannya, bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali tidak didengarnya dan tahu-tahu sudah berdiri di belakang­nya? Apakah kakek ini pandai menghilang? Dengan pandang mata penuh selidik ia menatap kakek itu.

Sukar ditaksir usianya karena sudah terlalu tua. Melihat kakek ini mengingat­kan orang akan gambar-gambar para de­wa. Rambutnya berwarna dua, tebal dan jarang, panjang sampai ke punggung. Digelung kecil di atas kepala, ujungnya terurai ke pundak dan punggung. Kumis dan jenggotnya juga hitam putih, terurai ke bawah. Sepasang alisnya tebal, dahinya lebar, sepasang mata yang bening dengan sinar mata sayu termenung, mulut yang setengah tertutup cambang itu selalu tersenyum ramah. Jubahnya longgar berwarna kelabu kehitaman, sepatunya dari kain tebal, di bawahnya terbuat daripada anyaman rumput, lengan bajunya lebar sekali. Pada punggung kakek ini tampak sebuah alat musik khim. Agaknya saking tuanya maka tubuh kakek ini agak bongkok dan kelihatan pendek. Kelihatannya biasa saja, seperti kakek-kakek lain yang sudah amat tua, hanya daun telinga­nya yang mungkin terlalu besar bagi orang-orang biasa, mengingatkan orang akan daun telinga pada arca-arca Buddha dan para dewa.

Suling Emas cepat menjura dengan sikap hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, “Maaf, Locianpwe (Kakek Sakti), benarkah dugaan saya bahwa Locianpwe adalah Bu Kek Siansu?”

Kakek itu tertawa dan tampaklah keganjilan pada mukanya karena di balik bibirnya itu tampak berderet dua baris gigi yang masih utuh dan rapi.

“Tidak salah, anak muda. Semoga dengan tibanya musim semi, Yang Maha Murah akan melimpahkan berkah kepada­mu....”

Suling Emas terkejut dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Ia merasa malu karena ucapan selamat pada Hari Musim Semi itu didahului oleh kakek ini.

“Locianpwe, maafkan kelancangan teecu (murid) tadi. Teecu menghaturkan Selamat Musim Semi, semoga Locianpwe selalu sehat, bahagia dan dikurniai usia panjang.”

“Ha-ha-ha-ha, anak muda lucu, kau­rangkaikan sehat dan usia panjang dengan bahagia. Apa kaukira kalau sudah sehat itu pasti berusia panjang, dan kalau berusia panjang itu pasti bahagia? Ha-ha-ha!”

“Teecu mohon petunjuk, Locianpwe.”

“Sulingmu tadi mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan kipasmu mainkan Ilmu Kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Kacau Laut­an), apamukah Kim-mo Taisu?”

Suling Emas terkejut sekali dan cepat ia mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh bumi. “Kiranya Locianpwe yang tadi menolong teecu dari pengeroyokan tiga manusia iblis, teecu menghaturkan terima kasih. Kim-mo Taisu yang Locianpwe tanyakan adalah mendiang Suhu (Guru), dan beliaulah yang dahulu berpesan kepada teecu agar teecu mencari kesempatan pada tiap hari pertama musim semi untuk menjumpai Locianpwe don mohon petunjuk.”

“Ha-ha-ha, Thian (Tuhan) sungguh adil dan bijak, hari ini memberi hadiah de­ngan jodoh yang amat baik. Jadi Kim-mo Taisu itu gurumu? Dia sudah mati lebih dulu daripada aku? Ha-ha, aku berani mengatakan bahwa dia tentu mati dalam tugas sebagai pahlawan. Memang sejak dulu dia mempunyai jiwa patriot.”

“Tidak salah dugaan Locianpwe. Suhu tewas ketika terjadi perang terhadap bangsa Khitan di daerah Ho-peh, Suhu roboh oleh pengeroyokan jago-jago Khitan. Teecu hanya terluka, tapi tidak dapat mencegah terjadinya hal itu.” Suara Suling Emas melirih, akan tetapi sama sekali tidak terdengar kesedihan. Hati­nya sudah terlalu masak dan mengeras untuk dapat dikuasai kesedihan.

“Hemmm, belasan tahun ia bersusah payah membantu Cao Kwang Yin dalam usahanya mendirikan Wangsa Sung. Sam­pai Cao Kwang Yin menjadi Kaisar Sung Tai Cu, gurumu masih terus membantu­nya dan akhirnya mengorbankan nyawa. Dia seorang patriot tulen, tanpa pamrih, tidak mengejar pangkat, hanya ingin melihat negara kuat dan rakyatnya hidup makmur. Betapapun juga, segala sesuatu sudah direncanakan dan akan diatur pe­laksanaannya oleh Tuhan. Orang muda, siapa namamu?”

“Teecu dikenal sebagai Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas), dan teecu tidak menggunakan nama lain lagi.”

“Ha-ha, begini muda, sudah menelan kepahitan hidup. Hati-hati, orang muda, kepatahan hatimu dapat mendorongmu menjadi tidak peduli seperti sekarang ini, melupakan yang lewat, dan akhirnya kalau tidak kuat-kuat batinmu, dapat membuat kau menjadi seorang yang kejam. Baiknya belum sejauh itu kau ter­sesat, buktinya kau masih mau mengubur jenazah-jenazah itu.”

“Maaf, Locianpwe. Teecu cukup dapat membedakan mana jahat mana baik, biarpun teecu sengaja meninggalkan hidup yang lewat untuk.... untuk....”

“Melupakan kepahitan yang mematah­kan hatimu?”

Suling Emas hanya mengangguk lalu menundukkan muka. “Teecu mohon pe­tunjuk.”

“Kau berjuluk Suling Emas, tentu pandai bermain suling. Hayo perdengar­kan suara sulingmu, dan kita coba-coba main bersama sulingmu dengan khim yang kumainkan, mencari keserasian.” Kakek itu lalu duduk di atas rumput, menurunkan alat musiknya yang mem­punyai tujuh buah kawat itu.

Suling Emas girang sekali. Sebagai seorang murid gemblengan dari orang sakti Kim-mo Taisu, tentu saja ia mak­lum bahwa bermain musik bagi seorang seperti Bu Kek Siansu, berarti berlatih atau menguji kepandaian lwee-kang dan ilmu silat tinggi. Ia segera duduk bersila, mengatur pernapasan, lalu meniup sulingnya.

Bu Kek Siansu tersenyum mendengar lengking suling yang tinggi mengalun dan merdu, bersih dan nyaring itu. Jari-jari tangannya lalu mulai menyentuh kawat pada khimnya, terdengar suara cring-cring-cring tinggi rendah.

Suling Emas kaget bukan main. Begitu suara kawat khim itu berbunyi, napasnya jadi sesak dan suara sulingnya terdesak hebat sampai menurun rendah sekali. Ia segera meramkan kedua matanya, me­musatkan panca indra, mengerahkan se­luruh tenaga sin-kang di dalam tubuhnya, mengatur pernapasan sepanjang dan mungkin sampai memenuhi pusarnya, dan semua tenaga yang dikumpul­kan ini ia salurkan melalui suara sulingnya yang kini menjadi bening dan ting­gi kembali.

Akan tetapi permainan khim dari Bu Kek Siansu juga makin hebet. Suara nya­ring tinggi rendah dari kawat-kawat itu merupakan jurus-jurus penyerangan yang lebih hebat daripada tusukan-tusukan pedang pusaka. Lebih hebat daripada gempuran tangan sakti, kadang-kadang bergelombang datangnya, bertubi-tubi dan makin lama makin kuat seperti ombak samudera.


Tuesday, 23 April 2013

2.30 Suling Emas (Tamat)

"Bagus, kalau begitu marilah kita berangkat!" kata Yu Kang. Rombongan pengemis itu meninggalkan kolong jembatan. Hanya Liong-lokai seorang yang menjura kepada Suling Emas. Yu Kang melangkah pergi tanpa menoleh. Suling Emas berdiri terlongong, akan tetapi tersenyum pahit melihat rombongan pengemis itu pergi dari situ. Sejenak ia termangu dan mengangkat pundak. Memang benar ucapan Yu kang bahwa urusan di antara pengemis adalah urusan dalam, orang luar tidak berhak mencampuri. Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas mengerutkan keningnya. Mereka itu seperti domba-domba digiring ke pejagalan! Ia tahu benar bahwa biarpun dikeroyok oleh mereka, Pouw Kee Lui masih tetap merupakan lawan yang terlalu kuat. Mereka itu seakan-akan mengantar nyawa dengan sia-sia, akan mati konyol. Dan ia tahu bahwa mereka adalah orang baik-baik. Mana mungkin ia mendiamkan Pouw-kai-ong membunuh mereka begitu saja? Kedua kakinya bergerak dan di lain saat Suling Emas sudah mengikuti rombongan itu dari jauh.

 Download versi pdfnya Disini


 Malam itu terang bulan. Rombongan pengemis yang tadinya hanya dua belas orang itu kini sudah bertambah lima lagi, yaitu lima orang Bhong-heng-te yang tubuhnya tinggi-tinggi dan dari langkah kaki mereka dapat diketahui bahwa mereka ini pun bukan orang-orang lemah. Tujuh belas orang pengemis ini berangkat ke luar kota, menuju ke sebelah utara kota raja. Di kaki gunung yang sunyi, jauh dari kota raja dan jauh dari dusun-dusun, mereka berhenti lalu bergerak sembunyi mengurung sebuah pondok kecil yang berdiri sunyi di tempat itu.

Dua orang di antara kelima Bhong-heng-te melompat keluar dari tempat persembunyian, menghadapi pintu pondok dan seorang di antara mereka berseru nyaring.

"Pouw Kee Lui, keparat busuk! Kami telah datang hendak menagih hutangmu kepada keluarga Bhong, hayo keluar!"

Suling Emas yang bersembunyi tak jauh dari tempat itu, di balik batu-batu besar, mengerutkan kening. Kalau memang mereka hendak mengeroyok, mengapa tidak langsung saja mendatangi pondok dan menyerbu? Dengan pengeroyokan tujuh belas orang, agaknya Pouw-kai-ong akan kewalahan juga. Apakah mereka terlalu memandang rendah kepandaian Si Raja Pengemis?

Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh dan dari atas gunung kecil melayang turun sesosok bayangan yang luar biasa gesitnya. Begitu kedua kaki orang saudara Bhong, bayangan itu tertawa bergelak dan berkata, "ha-ha-ha, tikus-tikus busuk berani mengantar nyawa??"

Ucapan ini disusul gerakan yang hebat sekali. Sebelum dua orang itu mampu menjawab, bayangan yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong ini, telah menerjang maju dengan gerakan seperti kilat dan... dua orang saudara Bhong itu yang sudah berusaha menangkis, terpental ke belakang dan roboh tak dapat bergerak lagi!

Pada saat itu muncul tiga orang saudara Bhong yang lain, muncul dari samping kiri, disusul munculnya tiga orang dari depan dan tiga orang dari kanan. Tampak Liong-lokai ikut pula dari kanan sedangkan Yu Kang tampak di antara tiga orang dari depan. Enam orang pengemis lain mengambil jalan memutar hendak menyerbu dari belakang punggung Pouw-kai-ong.

"Ha-ha-ha! Kiranya tikus tua she Liong ikut pula. Bagus!!" Seruan ini disusul suara bersiutan dan Pouw-kai-ong telah memutar sebatang tongkat yang berubah menjadi segulung sinar hitam. Ketika Pouw-kai-ong menerjang ke kanan sambil menggerakkan tongkatnya, terdengar seruan kaget dan kesakitan. Liong-lokai dan dua orang temannya sudah mengeluarkan senjata masing-masing, akan tetapi begitu sinar bergulung-gulung berwarna hitam itu datang, dan mereka menangkis, ternyata tubuh Liong-lokai berikut toyanya terlempar ke belakang sedangkan dua orang muridnya roboh dan tewas! Baiknya Liong-lokai tadi dapat menangkis dengan toyanya dan ketika terlempar masih dapat menggulingkan tubuh, kalau tidak tentu ia menjadi korban pula.

"Ha-ha-ha, tikus-tikus busuk!" Pouw-kai-ong berseru sambil tertawa-tawa dan memutar tongkatnya membalikkan tubuh karena pada saat itu, belasan orang telah mengeroyok. Hanya Yu Kang seoranglah yang merupakan lawan berat dalam pengeroyokan ini. Yang lain-lain hanyalah lawan lunak bagi Pouw-kai-ong sehingga enak saja ia membabat dengan tongkatnya. Dalam waktu kurang dari seperempat jam, sepuluh orang anggota pengemis telah roboh terluka berat atau tewas. Kini tinggal Liong-lokai, Yu Kang, dua orang saurdara Bhong, dan tiga orang pengemis lain yang masih bertahan. Namun mereka terdesak hebat, hanya mampu menangkis saja karena tongkat di tangan Pouw-kai-ong benar-benar luar biasa sekali!

Suling Emas tidak tega melihat ini. Kalau ia diamkan saja, tentu tujuh orang itu lama-lama akan roboh semua. Ia mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya mencelat ke depan dan begitu ia menggerakkan sulingnya menangkis tongkat, Pouw-kai-ong berseru keras dan meloncat mundur sampai empat lima meter jauhnya.

"Siapa kau??" bentaknya. Suling Emas tidak mempedulikannya, melainkan menoleh ke belakang dan berkata, "Harap rawat teman-temanmu yang terluka, biar kulayani dia sendiri!" Setelah berkata demikian, Suling Emas menerjang maju, menyerang dengan sulingnya sambil berkata, "Keparat she Pouw, dosamu sudah bertumpuk!"

Pouw-kai-ong terkejut menyaksikan berkelebatnya sinar kuning emas yang begitu cepatnya, dan lebih kaget lagi ia begitu ketika menangkis dengan tongkat, tangan kanannya tergetar. Hebat lawan ini, pikirnya. Ketika ia memandang dan mendapat kenyataan bahwa lawannya hanya seorang muda yang takkan lebih dari dua puluh lima tahun usianya, ia merasa penasaran dan melihat suling emas itu, tiba-tiba ia teringat.

"Setan! Kau murid Kim-mo Taisu...??" "Orang tua jahat, tak usah banyak cerewet!" Suling emas merasa ngeri menyaksikan muka Raja Pengemis itu yang menyeringai menyeramkan. Pouw-kai-ong berusia lima puluh tahun kurang lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi amat indah kembang-kembangnya, mukanya sudah berkeriput, rambutnya licin ditutup pembungkus kepala dari sutera, matanya berkilat-kilat seperti mata setan dan gerakan tongkatnya memang luar biasa cepat dan beratnya.

Pertandingan antara dua orang sakti ini hebat luar biasa. Yu Kang sendiri yang sudah banyak menerima gemblengan orang-orang sakti, berdiri tertegun dan diam-diam harus ia akui bahwa seorang diri, tak mungkin ia dapat menangkan Raja Pengemis itu. Dengan kepandaiannya yang cukup tinggi, kalau ia maju membantu Suling Emas, tentu kakek jahat itu dapat dirobohkan dengan mudah, akan tetapi ia tahu dan mengenal watak Suling Emas yang tentu tidak mau dibantu. Maka ia hanya menonton penuh kekaguman, sedangkan Liong-lokai dan anak muridnya merawat mereka yang terluka dan tewas.

Suling Emas sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang hebat. Gerakannya selain cepat, juga mengandung tenaga mujijat sehingga sulingnya mengeluarkan suara melengking seperti ditiup orang. Namun, kelebihannya dalam ilmu silat sakti ini diimbangi oleh kelebihan Pouw-kai-ong dalam pengalaman dan kematangan. Suling Emas belum lama menguasai ilmunya, sedangkan Pouw-kai-ong sudah matang, sudah digembleng dalam pertandingan-pertandingan berat. Maka hebatlah pertandingan ini yang sekaligus merupakan ujian berat bagi Suling Emas. Tubuh kedua orang sakti itu sudah tak dapat dilihat lagi, lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka! Biarpun pertandingan itu mengerikan dan merupakan pertandingan mati-matian, namun kelihatannya amat indah di malam bulan purnama itu!

Perawatan terhadap mereka yang terluka sudah selesai dan kini Liong-lokai dan Yu Kang berdiri dengan mata terbelalak kagum. "Bukan main... sungguh hebat...!" Bisik kakek jembel itu penuh keheranan dan kekaguman.

"Suling Emas benar," kata Yu Kang. "Kepandaian iblis itu benar-benar hebat sekali. Pantas saja ayah sekeluarga terbasmi habis...!"

"Mengapa kita tidak menyerbu sekarang? Kesempatan baik terbuka..." "Tidak, Liong-lokai. Tidak boleh kita menggunakan keadaan ini mencari kemenangan. Hal itu akan merupakan penghinaan bagi Suling Emas. Dia berwatak aneh, akan tetapi patut dihormati. Mari kita kurung Si Iblis agar dia jangan sampai dapat melarikan diri!"

Tujuh orang sisa rombongan pengemis itu segera mengurung, siap dengan senjata masing-masing. Yu Kang bersenjatakan sebatang pedang, Liong-lokai bersenjatakan toya kuningan, tiga orang muridnya juga bersenjatakan toya, sedangkan dua orang saudara Bhong yang kehilangan tiga saudaranya itu bersenjatakan golok.

Untuk mengalahkan Pouw-kai-ong dengan ilmu silatnya, Suling Emas kurang matang latihannya. Akan tetapi berkat tenaga sin-kang yang hebat di dalam tubuhnya, ia berhasil mendesak lawannya itu yang mulai terengah-engah dan bermandi peluh.

"Bocah setan, mampuslah!" Saking marahnya, Pouw-kai-ong lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam dengan tongkatnya ke arah kepala Suling Emas dengan gerakan memutar. Sebuah serangan yang luar biasa hebatnya merupakan jurus maut tanpa memperhatikan pertahanan diri lagi. Agaknya Pouw-kai-ong sudah nekat, apalagi melihat betapa sisa rombongan pengemis tadi sudah mengurungnya.

Suling Emas mengangkat sulingnya menangkis. "Plakk...!!" Sepasang senjata ampuh bertemu dan... tubuh Pouw-kai-ong terhuyung ke belakang, tongkatnya patah-patah! Suling Emas juga tidak mengejar, hanya berdiri sambil meramkan kedua mata mengumpulkan tenaga. Pertemuan tenaga lewat senjata tadi benar-benar hebat, membuat dadanya sesak dan agak sakit.

Mendadak terdengar suara hiruk-pikuk dan ketika Suling Emas membuka matanya, ia melihat tujuh orang itu sudah menyerbu sambil berteriak-teriak. Suling Emas menarik napas panjang dan melompat mundur, menonton dari tempat persembunyiannya yang tadi. Setelah ia tidak bertanding dengan Raja Pengemis itu, tentu saja ia tidak dapat menghalangi mereka mengeroyok Pouw-kai-ong. Aganya rombongan pengemis yang dipimpin Yu Kang dan Lionglokai itu ketika melihat Pouw-kai-ong terhuyung mundur dan tongkatnya sudah patah-patah, segera menyerang.

Namun Si Raja pengemis adalah seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Memang kini senjatanya sudah rusak dan dadanya terasa sesak sekali, akan tetapi, menghadapi pengeroyokan tujuh orang itu, ia sama sekali tidak gentar. Bahkan di antara hujan senjata itu ia bergerak sambil memekik, kedua kaki tangannya bergerak dan... kembali dua orang murid Liong-lokai roboh terguling!

Pada saat itu terdengar sorak-sorai gemuruh dan bermunculanlah puluhan, bahkan ratusan orang pengemis yang serta merta mengeroyok Poouw-kai-ong! Mereka ini adalah rombongan-rombongan pengemis yang tadi sudah diberi kabar melalui teman-teman oleh Liong-lokai sehingga dari pelbagai penjuru datanglah mereka yang ingin sekali melihat Si Raja Pengemis yang dibenci menemui kematiannya.

Pouw-kai-ong terkejut sekali. Matanya jelilatan hendak mencari jalan keluar, namun ia sudah terkurung rapat. Birpun ia lihai, namun menghadapi ratusan orang pengemis yang mengurungnya rapat dengan senjata di tangan, benar-benar merupakan ancaman maut yang mengerikan. Ia mengamuk dan lagi-lagi ia merobohkan beberapa orang. Bahkan Yu Kang yang maju paling dekat, telah kena pukulan tangannya sehingga tulang pundak kiri Yu Kang patah! Juga Liong-lokai kena hantaman lambungnya, membuat kakek ini terlempar dan roboh tak bernyawa lagi di saat itu juga. Masih banyak lagi korbannya, ada belasan orang. Namun ia sendiri mulai terkena pukulan, dari kanan kiri, dari depan belakang. Pouw-kai-ong terhuyung-huyung, mandi darah tapi masih terus mengamuk. Bacokan-bacokan dan hantaman-hantaman ruyung datang bagaikan hujan, bajunya sudah compang-camping, tubuhnya penuh darah. Akhirnya ia roboh! Masih saja mereka menghujani senjata.

"Berhenti...!!" Tiba-tiba Suling Emas melayang dan tiba di dekat Pouw-kai-ong. Sekali sulingnya bergerak, tampak sinar kuning emas dan semua senjata yang ditujukan kepada tubuh yang mandi darah itu terpental.

"Wah, ini konconya! Keroyok...!!" teriak seorang pengemis. "Jangan! mundur semua!!" Yu Kang berseru sambil menggunakan tangan kananya yang tidak terluka untuk mendorong minggir beberapa orang pengemis yang menghalang jalan. "Dia bukan konco iblis Pouw, bahkan dialah yang memungkinkan kita merobohkan iblis itu!"

Suara Yu Kang nyaring dan penuh wibawa. Apalagi ketika para pimpinan pengemis mengenal bahwa pengemis kosen ini adalah putera mendiang Yu Jin Tianglo seperti yang diperkenalkan oleh Liong-lokai, mereka lalu mundur. Yu Kang mendekati Suling Emas dan bertanya, suaranya nyaring. "Suling Emas! Apa maksudmu menghalangi kami membunuh iblis ini?"

Suling Emas menggeleng kepala, memandang kepada tubuh yang mandi darah di depannya. Muka itu hancur, bahkan sebuah daripada matanya remuk! Bibirnya robek hidungnya bengkok. Muka yang mengerikan! Andaikata dapat hidup terus tentu menjadi seorang yang cacad mukanya.

"Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak suka akan pengeroyokan. Biarpun dia roboh oleh kalian, akan tetapi lebih dulu aku telah membikin dia tidak berdaya dengan merusak tongkatnya. Kalau ia masih bersenjata, apakah kalian kira akan dapat dengan mudah merobohkannya? Tentu dia akan dapat melarikan diri. Karena itu aku merasa seakan-akan ikut mengeroyoknya! Dia sudah mendapat hajaran keras, lebih mati daripada hidup. Lihat mukanya! Lihat mukanya! Lihat badannya! Urusannya dengan kalian adalah urusan pribadi, aku tidak mau terseret dalam pengeroyokan dan pembunuhan begini curang."

Sejenak Suling Emas beradu pandang dengan Yu Kang. Kemudian Yu Kang menunduk dan melihat keadaan Pouw-kai-ong. Ia agaknya merasa puas, berdongak ke udara, mulutnya berkemak-kemik seperti membaca doa. Kemudian ia meloncat ke atas batu besar tak jauh dari situ. Tangan kirinya sengkleh, tergantung lepas karena tulang pundak kirinya patah. Akan tetapi sikapnya gagah dan suaranya nyaring.

"Kawan-kawan! Dengarkan aku bicara. Aku adalah Yu Kang, putera mendiang Yu Jin Tianglo ketua Khong-sim Kai-pang. Bicara tentang dendam kepada Si Jahat Pouw agaknya di antara kita akulah yang paling parah. Akan tetapi aku puas melihat dia kini dirobohkan, dan... harus kita akui bahwa tanpa bantuan Pendekar Suling Emas belum tentu kita akan berhasil. Oleh karena itu, biarlah kita jangan membunuhnya sesuai dengan permintaan Pendekar Suling Emas. Tanpa kita turun tangan lagi, kurasa dia pun akan mampus! Bergembira dan bersoraklah bahwa mulai detik ini kita terbebas daripada cengkeraman seorang jahat seperti Pouw-kai-ong!"

Ratusan orang pengemis baju kotor itu bersorak gegap-gempita. Ada pula yang berseru, "Hancurkan pengemis baju bersih!"

"Angkat Saudara Yu Kang menjadi ketua seluruh kai-pang!" "Mari saudara-saudara, kita iringkan Saudara Yu Kang mengumpulkan semua pengemis baju kotor untuk membasmi pengemis baju bersih!"

Sorak-sorai makin menjadi-jadi dan ratusan pasang tangan diulur ke depan sehingga Yu Kang tak kuasa lagi mencegah para pengemis itu mendukungnya dan mengaraknya pergi dari situ sambil bersorak-sorak! Hanya beberapa orang pengemis tua yang tinggal untuk mengurus penguburan para korban dan merawat mereka yang terluka.

Suling Emas berdiri memandang semua ini dengan hati terharu. Ia kagum akan kegagahan Yu Kang yang biarpun kasar dan jujur, namun memiliki jiwa pendekar. Ia terharu menyaksikan jembel-jembel itu bersatu padu untuk membasmi penindas dan memperbaiki nasib, menggantungkan harapan mereka kepada Yu kang, satu-satunya pengemis yang boleh diharapkan akan dapat memimpin mereka, melepaskan diri daripada penindasan orang-orang jahat.

Setelah semua mayat dikubur dan para pengemis tua pergi membawa teman-teman yang terluka sehingga di situ sunyi sepi, Suling Emas kembali memandang tubuh Pouw Kee Lui yang masih menggeletak mandi darah. Suling Emas menarik napas panjang, lalu menyambar tubuh itu, membawanya ke dalam pondok. Ia merebahkan tubuh yang masih pingsan itu ke atas pembaringan, kemudian pergilah ia dari tempat itu. Belum jauh ia pergi, ia mendengar suara orang dan cepat ia menyelinap lalu mengintai. Kiranya beberapa orang wanita cantik dan beberapa orang laki-laki, semua berpakaian seperti pelayan-pelayan, berindap-indap memasuki pondok dari belakang. Ia kembali menghela napas. Kiranya orang she Pouw itu menjadikan pondok itu sebagai tempat istirahat dan bersenang-senang, ditemani beberapa orang wanita cantik dan mempunyai pelayan-pelayan secukupnya. Biarlah, biar mereka itu merawatnya. Suling Emas tidak jadi mencari daun obat di dalam hutan, menyerahkan nasib bekas Raja Pengemis itu kepada para selir dan pelayannya. Ia hanya mengharap mudah-mudahan pelajaran pahit itu tadi akan membuat Pouw-kai-ong menjadi bertobat.


Suling Emas melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja. Ia merasa girang mendengar percakapan rakyat yang merasa puas dengan adanya raja baru yang adil dan tidak suka menjalankan kekerasan terhadap rakyatnya. Ia tidak melihat perubahan apa-apa ketika pada keesokan harinya ia memasuki pintu gerbang kota raja, sehingga ia makin gembira. Ketika pertama kali ia masuk kota raja ketika ia menyusul suhunya, ia tidak mendapat kesempatan unutk melihat-lihat kota raja. Kini ia menggunakan kesempatan untuk keliling kota sehingga bertambah kegembiraannya menyaksikan keadaan yang makmur dan ramai.

Akan tetapi kegembiraan ini musnah seketika setelah ia mendengar berita tentang keluarga Suma. Ia mendengar berita bahwa Pangeran Suma Kong sudah pindah ke An-sui, kota yang menusuk perasaannya. Berita bahwa Suma Ceng telah menikah dengan seorang pangeran she Kiang yang menghancurkan hatinya. Bahkan ia mendengar bahwa Suma Ceng, bekas kekasihnya, kini hidup di lingkungan istana raja, bersama suaminya dan dua orang anaknya! Suma Ceng sudah menjadi isteri seorang pangeran dan malah sudah menjadi ibu dari dua orang anak!

Hancur hatinya, perih seperti tertusuk seribu batang jarum. Setelah mendapatkan keterangan ini, Suling Emas meninggalkan kota raja, berjalan di tengah malam buta sambil meramkan mata, menahan air mata yang hendak jatuh berderai. Akhirnya ia berhenti di jalan yang sunyi, duduk di pinggir jalan, menyembunyikan mukanya di antara kedua lutut, jari-jari tangan mencengkeram rambutnya. Habislah sudah harapannya. Padamlah semua cahaya hidupnya. Apa lagi yang boleh dipandang? Kekasih pertama direnggut maut. Kekasih berikutnya direnggut laki-laki lain! Ayah kandung menikah lagi. Ibu kandung tak tentu rimbanya, mungkin sudah mati karena tidak pernah ia mendengar beritanya. Siapa lagi yang dapat dijadikan teman dalam hidupnya?

Kakeknya! Ya benar. Kakeknya masih ada. Kakeknya bukanlah sembarang orang. Kakeknya adalah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Ketua Beng-kauw, bahkan menduduki tempat tinggi di Kerajaan Nan-cao! Mengapa ia tidak pergi ke negara kakeknya? Siapa tahu kalau-kalau ibunya juga pulang ke sana? Selain menghubungi keluarga yang terdekat dan masih ada, juga ia maklum bahwa di sana ia akan dapat banyak belajar untuk memperdalam ilmunya. Gurunya sendiri seringkali bicara tentang Pat-jiu Sin-ong dengan penuh kagum.

Setelah duduk termenung dalam keadaan duka cita seperti itu sampai sinar matahari memerah menjelang fajar, Suling Emas mengangkat mukanya. Orang lain akan kaget kalau menyaksikan perubahan wajah pendekar ini. Tampak tua dan tidak ada lagi sinar pada mukanya. Hanya kemuraman yang tampak. Pandang matanya sayu.

Tiba-tiba ia meloncat bangun dan menyelinap cepat, bersembunyi di balik sebatang pohon besar di pinggir jalan. Biarpun keadaan hati Suling Emas sedang mengalami kehancuran dan dirinya tenggelam dalam duka nestapa, namun naluri kependekarannya tak pernah menjadi tumpul. Panca inderanya peka sekali dan gerakan tiga sosok bayangan yang berlari-lari keluar dari kota raja, menimbulkan kecurigaannya sehingga ia cepat-cepat bersembunyi untuk mengintai.

Tiga orang yang berlari amat cepat itu tidak berlari lagi, kini tampak berjalan sambil bercakap-cakap. Suling Emas cepat menyelinap dan mendekati mereka untuk mendengarkan. Setelah dekat, dari balik pohon melihat seorang nenek dan dua orang kakek. Nenek itu berwajah galak penuh keriput, memondong sebuah bungkusan kain kuningan dari sutera halus. Kakek pertama sudah tua, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan nampak kuat, tubuh atasnya tidak berbaju. Serasa ia mengenal tiga orang tua ini, akan tetapi di mana ia pernah bertemu. Akan tetapi begitu mereka bertiga bercakap-cakap segera ia ingat.

"A-liong, kau yang paling kuat dan dapat menempuh perjalanan jauh, kau sajalah yang mengantarkan pangeran cilik ini kepada Ong-ya. Biar aku dan A-kwi menyambut para pengejar sehingga kau dapat pergi jauh takkan terkejar lagi," kata Si Nenek Tua.

"Betul ucapan Sam Hwa," kata kakek pertama yang bertongkat. "Langkahmu lebar daripada kami berdua, dan aku pun malas kalau harus berlari-lari dikejar-kejar seperti maling."

"Ihh..., aksinya! Memang kita bertiga maling, siapa tidak tahu?" bentak nenek itu sambil menyerahkan bungkusan sutera kuning kepada kakek tinggi besar yang disebut A-liong. Kakek A-liong agaknya tidak senang dengan tugas ini, akan tetapi karena "kalah suara" ia menerima juga bungkusan itu. akan tetapi begitu bungkusan itu dipondongnya, tiba-tiba terdengar tangis anak kecil yang nyaring sekali.


Eh-eh, kauapakan dia? Sejak tadi diam saja, begitu kausentuh lalu menangis!" kata Si Nenek Tua mengomel.

"Wah, celaka. Kalau menangis seperti itu tentu kau akan menjadi tontonan di sepanjang jalan," kata A-kwi. "Bagaimana kau akan menjawab pertanyaan orang-orang di jalan? Bahwa anak ini anak selirmu? Ataukah cucumu yang kematian ayah bundanya?"

Namun A-liong sudah menggigil ngeri, agaknya semua bulu di badannya berdiri semua ketika ia merasa betapa anak kecil meronta-ronta dan menjerit-jerit keras. Cepat ia mengulurkan tangan ke depan, memberikan bungkusan itu kembali kepada Sam Hwa sambil berkata,

"Tidak baik..., tidak baik...! Dalam pondongan tangan halus dia diam saja. Tanganku kasar, tidak sehalus tanganmu, Sam Hwa."

"Cihh! Omongan tua bangka tak bermalu!" kata Sam Hwa dengan muka agak merah sambil menerima kembali bungkusan sutera kuning yang ternyata berisi seorang anak kecil itu.

"Ha-ha-ha! Bukan karena tanganmu kasar, A-liong, melainkan bau keringatmu yang terlalu keras sehingga anak itu tidak tahan!" A-kwi menggoda.

Suling Emas mengenal tiga orang ini sebagai pelayan-pelayan Kong Lo Sengjin! Setelah ia mendengar percakapan mereka, ia menjadi kaget sekali. Sam Hwa si nenek tua tadi menyebut "pangeran cilik" yang harus diantarkan kepada Ong-ya! Keonaran palagi yang akan dilakukan Kong Lo Sengjin dan anak buahnya? Mereka itu bicara tentang pengejaran. Tak salah lagi, tentulah mereka bertiga menculik pangeran kecil itu dari dalam istana raja atas perintah Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh. Teringat akan percakapan rakyat yang memuji-muji kaisar baru dari Kerajaan Sung, Suling Emas segera mengambil keputusan untuk menolong anak kecil itu.

Dengan gerakan ringan sekali Suling Emas melompat dan melayang keluar dari tempat sembunyinya, tangan kirinya langsung menerjang dengan serangan maut ke arah kepala Sam Hwa. Serangan ini sengaja ia lakukan dengan pengerahan tenagan sehingga terdengar suara angin bersiut menyambar. Sam Hwa terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat pandai, maklum ia bahwa bayangan yang menyambar dan menyerangnya ini melakukan serangan maut yang berbahaya. Maka cepat ia membuang diri ke belakang sambil mengangkat tangan kanan melindungi kepala. Akan tetapi pada saat itu, bocah yang dipondongnya telah diserobot penyerang itu yang menggunakan tangan kanan menotok pundaknya lalu merampas bungkusan sutera kuning. Tak dapat Sam Hwa mencegah perampasan ini karena totokan pada pundak itu melumpuhkan lengan kirinya yang memondong. Di lain saat, Suling Emas sudah melompat ke belakang, bocah dalam selimut kuning itu dalam pondongannya. Bocah itu menangis lagi, lebih nyaring daripada tadi!

"Kembalikan anakku...!" Sam Hwa memekik marah. Setelah melihat bahwa yang merampas bocah itu bukan seorang pengawal istana, melainkan seorang bocah laki-laki muda berpakaian seperti sastrawan, Sam Hwa tidak ragu-ragu untuk mengakui pangeran cilik itu sebagai anaknya!

A-liong dan A-kwi juga melangkah maju dengan sikap mengancam. "Kurang ajar, berani sekali kau merampok anak orang di tengah jalan?"

Suling Emas tersenyum mengejek. "Bibi Sam Hwa, kau yang sudah nenek-nenek mana mungkin mempunyai anak yang masih begini kecil? Paman A-liong dan Paman A-kwi, susungguhnya siapa yang merampok anak orang? Kalian bertiga ataukah aku? Aku tidak merampok Pangeran Kecil ini, melainkan hendak mengembalikannya di tempat yang semestinya, yaitu di dalam istana."

Tentu saja tiga orang tua itu kaget sekali. Tiga buah nama tadi adalah nama kecil mereka, yang hanya mereka ketahui, tak pernah diperkenalkan keluar. Bagaimana orang muda ini bisa mengenal mereka? Biarpun mereka bertiga itu kini bekerja sebagai pelayan, namun sesungguhnya mereka bukan orang biasa. A-liong dan A-kwi adalah bekas perwira-perwira tinggi di bawah Kong Lo Sengjin, sedangkan Sam Hwa juga seorang ahli silat tinggi, janda seorang panglima seangkatan dengan dua orang temannya itu. Mereka ini tetap setia kepada Kong Lo Sengjin.

Karena maklum bahwa orang muda itu sudah mengetahui rahasia mereka, maka Sam Hwa yang lebih pandai bicara segera bertanya, "Orang muda, siapakah kau yang berani mencampuri urusan pribadi kami? Andaikata benar kami menculik seorang Pangeran Kecil, apa sangkut-pautnya hal itu denganmu?"

"Bibi Sam Hwa dan kedua Paman A-liong dan A-kwi. kukira tidak perlu lagi berpura-pura. Kalian bertiga sudah pernah bertemu denganku, hanya agaknya kalin sudah lupa lagi. Akan tetapi aku tahu bahwa kalian adalah anak buah Kong Lo Sengjin, dan bahwa anak itu adalah seorang pangeran yang kalian culik dari istana atas perintah Kong Lo Sengjin. Secara pribadi memang urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi setelah mempelajari ilmu, apa gunanya kalau tidak untuk menumpas perbuatan buruk? Aku tidak ingin bermusuh dengan kalian yang pernah bersikap baik kepadaku, akan tetapi aku pun tidak bisa membiarkan kalian menculik anak orang semaunya. Apalagi untuk dibawa ke depan Kong Lo Sengjin yang kejam. Aku harus mengembalikan anak ini kepada orang tuanya."


Sejenak tiga orang tua itu tertegun, terbelalak dan tidak dapat bicara saking kaget dan herannya. Akhirnya Sam Hwa bertanya, suaranya agak gemetar, "Siapakah kau? Pengawal istana? Siapa?"

Suling Emas menggeleng kepala dan tersenyum. "Kalian sudah terlalu tua sehingga pikun. Mengapa masih mau saja diperalat Kong Lo Sengjin untuk melakukan hal-hal yang tidak baik? Seyogianya orang-orang setua kalian ini menenteramkan pikiran membersihkan hati menanti kematian."

"Eh, bocah gila! Lancang mulutmu!" bentak A-liong sambil melangkah maju. "Tak peduli ia pengawal atau bukan, anak itu hars kita rampas kembali. Serbu!" bentak pula A-kwi sambil menggerakkan tongkatnya.

Karena merasa bahwa rahasia mereka telah terbuka dan jelas bahwa orang muda itu tidak mau mengembalikan pangeran kecil yang mereka cuik, tiga orang ini serentak menyerang Suling Emas dengan gerakan yang dahsyat. Sambil menyerang, mereka berusaha merampas anak kecil dalam pondongan Suling Emas yang masih terus menangis keras. Kalau A-kwi mempergunakan senjata tongkat, A-liong dan Sam Hwa masing-masing menggerakkan sebatang pedang tipis. Serangan mereka cepat dan mengandung tenanga yang hebat.

Namun tiba-tiba mereka terkejut dan menjadi silau pandang matanya oleh sinar kuning emas yang bergulung-gulung dan melingkar-lingkar. Dalam saat berikutnya, serbuan tongkat dan dua batang pedang sudah terlempar jauh dan ketiga orang anak buah Kong Lo Sengjin itu terpekik kesakitan, melompat mundur dan memegangi tangan kanan yang terasa kaku nyeri dengan tangan kiri. Terbalalak kagum mereka berdiri memandang Suling Emas yang kini berdiri dengan tangan kiri memondong anak kecil, tangan kanan memegang sebatang suling yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.

"Suling Emas...!!" Hampir berbareng mereka berseru ketika melihat suling itu. sebagai pembantu-pembantu kepercayaan Kong Lo Sengjin, tentu saja mereka mengenal benda ini yang selalu berada bersama sastrawan Ciu Bun di Pulau Pek-coa-to, biarpun mereka jarang datang ke pulau itu.

Suling Emas menjura sambil tersenyum. "Memang itulah namaku, dan mengingat akan kebaikan mendiang Adik Kwee Eng dan mendiang ibunya, biarlah kuhabiskan sampai di sini saja kesalah fahaman ini. Selamat tinggal!!" Setelah berkata demikian, Suling Emas berkelebat cepat, lari ke jurusan kota raja.

Tiga orang tua itu bengong terlongong. Barulah kini mereka teringat bahwa orang muda yang sakti itu bukan lain adalah anak laki-laki yang pernah minta pekerjaan kepada mereka sekedar untuk makan. Anak laki-laki yang kemudian menjadi murid Kim-mo Taisu yang kabarnya mampu mengimbangi kesaktian Kong Lo Sengjin sendiri. Akan tetapi muridnya itu? Benar-benar tak pernah mereka menyangkanya. Karena maklum bahwa mereka bukanlah tandingan orang muda itu, mereka menganggap bahwa tugas mereka telah gagal dan kembalilah mereka ke Pek-coa-to.

Hati Suling Ema merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa tiga orang tua itu tidak dapat mengejarnya. Akan tetapi ia risau melihat anak kecil yang terus menangis dalam pondongannya.

"Sssstttt, diam...! Diamlah, anak manis...!" Ia membuka selimut kuning itu sehingga terbuka dan tampak muka anak yang amat molek dan manis, yang kini mukanya merah karena banyak menangis. Mata yang bening itu memandang penuh selidik ke arah wajah Suling Emas.

"Nah, begitu anak baik, anak manis! Jangan menangis, ya? Kubawa engkau kembali kepada ayah bundamu...!" Suling Emas menarik muka manis dan ucapannya halus. Anak itu mengedip-ngedip, terheran, akan tetapi tidak menangis lagi. Anak berusia kurang lebih dua tahun itu agaknya dapat merasa bahwa ia berada dalam tangan yang aman.

Belum juga sampai di pintu gerbang kota raja, serombongan penunggang kuda terdiri dari tujuh orang, berpakaian bagai pengawal-pengawal istana, membalapkan kuda keluar dari pintu gerbang danketika bersimpang jalan dengan Suling Emas, rombongan ini segera menahan kuda, lalu melompat turun dan berteriak kepada Suling Emas, "Hee, berhenti dulu!"

Suling Emas berhenti, maklum bahwa pengawal-pengawal itu tentulah pasukan dari kota raja yang bertugas mengejar penculik pangeran. Ia bersikap tenang saja dan memondong anak itu ditangan kirinya, ia membalikkan tubuh menghadapi mereka.

"Kalian mau apa menahan orang berjalan?" tanyanya tenang. Tujuh orang pengawal itu memandang ke arah anak kecil dalam pondongannya dan serentak mereka berseru girang. "Itu dia...! Itu dia Sang Pangeran...! Lihat pakaiannya, selimutnya....!"

Pemimpin rombongan yang berkumis lebat segera melangkah maju, mukanya membayangkan kemarahan, keningnya berkerut-kerut, lalu membentak,

"Heh, orang muda! Engkau benar-benar berani mati menculik putera Sri Baginda! Tak tahukah kau bahwa saat ini ratusan orang pengawal dan pasukan keamanan berpencar di seluruh tempat untuk mencarimu? Hayo kau lekas..."

"Ssstttt....!!" Suling Emas menggerakkan bibirnya meruncing sambil menimang-nimang anak yang mulai menangis lagi itu. "Ah, dasar engkau manusia kasar! Lihat, kalian membuat dia menangis lagi! Tidak tahukah kalian bahwa dia tidak suka akan suara berisik? Bersikaplah tenang agar jangan membuat dia takut!!"

Seketika berubah sikap komandan pasukan kecil itu. ia memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya agar tidak membuat gaduh dan dia sendiri pun melakukan perintah dengan suara bisik-bisik! Hal ini terjadi karena mereka itu mengingat bahwa anak dalam gendongan orang muda itu adalah seorang pangeran, putera Sri Baginda sendiri! Kalau anak itu menangis karena mereka dan hal itu terdengar oleh Sri Baginda, tentu mereka celaka! Lucu sekali gerak gerik mereka itu. Lebih-lebih ketika mereka melihat anak itu terus menangis keras, mereka menjadi bingung. Suling Emas sendiri yang menimang-nimang dan menghibur-hibur, sampai penuh keringat mukanya. Bingung ia menghadapi seorang anak kecil yang rewel ini. Akhirnya, saking bingungnya, ia mengambil sulingnya dan meniup suling itu dengan tangan kanan.

Seketika anak itu berhenti menangis. Dengan mata bening dan pipi basah air mata, anak itu memandang Suling Emas. Ketika Suling Emas meniup sulingnya dengan nada naik turun, anak itu tertawa! Suling Emas gembira dan tujuh orang pengawal juga ikut tertawa!

"Kalian jangan banyak ribut. Aku justeru hendak membawa pulang anak ini ke kota raja. Bukan aku penculiknya, melainkan tiga orang jahat. Aku berhasil merampas anak ini dari tangan mereka. Awas, jangan banyak ribut, kalau kalian ribut-ribut lagi dan anak ini menangis, jangan tanya dosa!" Suling Emas dengan gerakan sembarang memukulkan sulingnya pada sebatang pohon sebesar paha orang dan... pohon itu tumbang! Pucatlah wajah tujuh orang itu. mereka mengangguk-angguk dan ketika Suling Emas melanjutkan perjalanannya ke arah kota raja, tujuh orang itu mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda. Melihat betapa orang muda itu membawa Sang Pangeran benar-benar menuju ke kota raja, hati mereka lega.


Suling emas terpaksa berjalan sambil meniup sulingnya, karena anak itu menangis saja kalau tidak ditiupkan suling. Memang Suling Emas pandai sekali bersuling, maka suara sulingnya merdu dan sedap didengar. Ketika rombongan pengawal kedua yang terdiri belasan orang banyaknya lewat, mereka pun terheran-heran dan turun dari kuda. Komandan pasukan pertama segera berbisik-bisik memberi tahu dan... rombongan kedua ini pun segera mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda masing-masing. Makin lama, makin banyaklah terdapat pasukan berkuda dan berjalan kaki mengikuti arak-arakan ini, bahkan setelah memasuki pintu gerbang kota raja, penduduk besar kecil ikut pula mengikuti arak-arakan menuju ke istana! Suling Emas yang berjalan didepan, enak-enak dan tenang-tenang saja memondong Sang Pangeran sambil membunyikan suling.

Tentu saja ia diterima oleh Kaisar sendiri dengan pengawalan ketat. Orang masih belum tahu macam apa orang muda yang membawa pulang Sang Pangeran yang hilang, maka penjagaan diperkuat dan keselamatan Kaisar dilindungi oleh para panglima. Namun, Suling Emas bukanlah merupakan pribadi yang menimbulkan kecurigaan atau kekhawatiran. Ia hanya seorang muda dua puluhan tahun usianya, berwajah tampan bersikap tenang dengan mata sayu dan muka muram.

Sebagai seorang terpelajar, Suling Emas tahu akan kesopanan. Di depan Kaisar dia menjatuhkan diri berlutut, kemudian tanpa mengangkat muka dia menuturkan pertemuannya dengan tiga orang tua yang membawa Sang Pangeran, kemudian ia menceritakan betapa ia berhasil merampas kembali Sang Pangeran dan membawanya langsung ke istana. Setelah berkata demikian, ia mengulurkan kedua tangan yang memondong anak kecil itu. Kaisar memberi isyarat kepada seorang dayang yang segera menerima anak itu dari tangan Suling Emas. Akan tetapi anak kecil itu menjerit dan menangis, tidak mau terlepas dari tangan Suling Emas! Timbul sedikit kegaduhan dan Kaisar sendiri sampai tertawa saking gembiranya melihat puteranya pulang dengan selamat. Akhirnya, permaisuri sendiri, ibu anak itu yang ikut hadir menjemput puteranya, yang maju dan barulah anak itu mau dipondong ibunya. Akan tetapi mulutnya masih mewek-mewek dan telunjuknya masih menuding-nuding ke arah Suling Emas. "Ha-ha-ha!" Sri Baginda tertawa bergelak setelah permaisuri membawa puteranya masuk, diikuti para dayang cantik-cantik yang melempar kerling dan senyum manis kepada Suling Emas yang tampan dan yang dianggap seorang gagah yang berjasa besar. "Kau seorang pemuda yang luar biasa! Kami sudah mendengar betapa engkau membawa kembali putera kami sambil bermain suling, diikuti ratusan orang pengawal dan penduduk. Kemudian putera kami juga sukar mau melepaskan engkau. Sungguh menggembirakan. Eh, orang muda yang gagah perkasa, engkau siapakah?" Suling Emas berlutut memberi hormat lalu menjawab, "Mohon beribu ampun, Tuanku Kaisar. Hamba sendiri sudah lupa akan nama hamba, akan tetapi karena hamba memiliki benda ini dan suka sekali meniupnya, maka hamba disebut orang dengan nama Suling Emas. Hamba tidak mempergunakan nama lain."

Suasana hening ketika semua panglima dan pembesar bersama Kaisar mendengarkan jawaban orang muda itu. Tempat itu segera penuh dengan suara berbisik-bisik karena semua orang merasa heran mendengar jawaban sepeti ini. Namun, Kaisar pertama dari Kerajaan Sung adalah bekas seorang panglima besar, seorang yang sudah banyak bertemu dengan petualang-petualang dan pengelana-pengelana di dunia kang-ouw yang aneh. Kaisar tidak menjadi heran, lalu berkata penuh wibawa, "Suling Emas, angkatlah mukamu dan dan biarkan kami melihat wajahmu!"

Suling Emas tidak berani membantah. Dalam keadaan berlutut, ia menengadah. Sejenak Kaisar menatap wajah yang tampan itu, kemudian menarik napas panjang dan bersabda, "Semuda ini sudah mengalami hal sehingga benci akan kenangan-kenangan lalu dan membuang nama. Cukup, Suling Emas, sekarang berdirilah agar enak kami bicara."

Dengan gerakan amat hormat Suling Emas bangkit berdiri. Kembali Kaisar memandang tajam dan mengagumi bentuk tubuh tinggi tegap itu. Timbul rasa suka kepada orang muda ini dan ia berkata,

"Suling Emas, kami telah berhutang budi kepadamu. Setelah kau berhasil menyelamatkan putera kami, jasamu besar sekali dan hadiah apakah yang dapat kami berikan kepadamu?"

"Ampun, Tuanku. Hamba hanya melakukan apa yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Hamba tidak mengaharapkan hadiah apa-apa." Makin suka hati Kaisar mendengarkan jawaban ini. Ia tertawa, "Kau seorang muda yang gagah perkasa dan berati bersih. Kami percaya bahwa engkau tidak mengaharapkan hadiah, Suling Emas. Akan tetapi saking gembira dan berterima kasih hati kami, kami ingin memberikan hadiah yang patut bagimu. Bagaimanaah kalau engkau kami angkat menjadi kepala pengawal dalam istana? kami sekeluarga akan merasa tentram dan aman apabila engakau menjadi kepala pengawal disini." "Mohon Paduka sudi memberi ampun. Hamba seorang perantau yang lebih senang hidup bebas di alam terbuka, tidak berani hamba menerima kurnia yang amat besar ini."

Kaisar diam sejenak, berpikir-pikir. Kemudian berkata lagi, "Memang manusia segolonganmu amat aneh. Pernah kami bertemu dengan Kim-mo Taisu yang juga amat aneh wataknya." Kaisar tidak tahu betapa di dalam hatinya, Suling Emas berdebar-debar mendengar nama mendiang suhunya disebut-sebut. "Maka kami serahkan kepadamu sendiri Suling Emas, jangan bikin kecewa hati kami. Pilihlah, apa yang dapat kami lakukan untukmu sekedar untuk membuktikan bahwa kami amat berterima kasih kepadamu. Kalau kau selalu menolak, hati kami akan merasa tidak enak dan tidak senang."

Suling Emas sudah banyak mempelajari filsafat, sudah tahu pula akan sifat manusia. Seorang Kaisar pun hanya seorang manusia biasa, tidak akan jauh bedanya dengan manusia umum. Tentu ingin membalas rasa syukur dan hutang budi, baru lega hatinya.

"Baiklah, Tuanku Kaisar. Hamba akan merasa berterimakasih dan girang sekali apabila Paduka sudi mengijinkan hamba untuk dapat masuk keluar dengan bebas, terutama sekali di perpustakaan istana. Hamba... adalah seorang kutu buku, dan... hamba mendengar betapa perpustakaan istana amatlah lengkap. Hamba ingin membaca kitab sebanyak-banyaknya." "Ha-ha-ha!" Kaisar tertawa bergelak, dan semua pembesar yang hadir ikut pula tetawa. Tidak hanya karena latah, melainkan juga karena memang geli mendengar orang muda itu memilih hadiah seperti itu. "Boleh! Boleh! He, pengawal, sampaikan kepada semua petugas dalam istana dan kepada penjaga perpustakaan, mulai saat ini Suling Emas boleh masuk keluar dan membaca kitab mana saja ia sukai. Ha-ha-ha! Selain itu, Suling Emas. APa lagi? Kami memberi kesempatan satu lagi. Pilihlah!" Suling Emas merasa bingung. Tadinya ia terpaksa minta ijin itu karena tidak mau mengecewakan hati Kaisar dan memang ia paling suka membaca kitab. Akan tetapi kini harus memilih satu lagi! Apakah yang menarik hatinya dan ingin ia dapatkan dari dalam istana ini? Ia tidak menginginkan apa-apa. Tiba-tiba ia teringat kepada Suma Ceng! Suma Ceng sudah menjadi istri seorang pangeran dan tinggal di lingkungan istana pula! kalau saja Suma Ceng masih gadis , belum menjadi istri orang lain, sudah dapat ia pastikan ia akan "berani mati" minta dijodohkan dengan Suma Ceng! Akan tetapi, bagaimana ia bisa berpikir seperti itu? Melihat wajah pemuda itu termenung dan agak pucat, Kaisar bertanya lagi, "Jangan ragu-ragu dan takut-takut, Suling Emas. Katakanlah apa yang kau kehendaki, yang kau pilih. Kami akan mengabulkannya!"

Dalam gugupnya dan dalam kemarahan pada diri sendiri yang berpikir bukan-bukan mengenai Suma Ceng, Suling Emas menjawab sedapatnya, "Hamba... hamba mohon supaya diberi kebebasan pergi ke... dapur istana dan minta masakan apa saja dari petugas dapur!"

Kini para hadirin yang tertawa bukanlah latah, bahkan mendahului Kaisar. Ramailah ruangan itu. Suara ketawa baru berhenti ketika Kaisar mengangkat kedua lengannya ke atas.

"Ha-ha-ha, jangan berkecil hati, Suling Emas. Kami dan semua yang hadir tertawa karena lucu dan terharu akan kesederhanaan hatimu. Baiklah, setiap saat kau boleh masuk dapur dan makan sekenyangmu. Juga kalau engkau memerlukan pakaian atau apa saja, tidak usah ragu-ragu, beritahukan kepada kepala pengawal, pasti akan kami beri. Selain dua hadiah itu, kamipun hendak memberi beberapa pasang pakaian yang sekiranya pantas dan cocok dipakai Suling Emas, pendekar perkasa yang menjadi sahabat seisi istana Kerajaan Sung yang jaya!" Suling Emas tidak berani menolak, juga ia menerima undangan Kaisar untuk tinggal di istana selama ia suka, menikmati isi perpustakaan yang amat lengkap. Beberapa hari kemudian ia menerima lima pasang pakaian dari sutra hitam yang amat halus dan indah. Bajunya dari sutra hitam, celananya ada yang putih ada yang kuning dan pada setiap baju, di bagian dada, tersulam benang emas sebentuk bulan dengan sebatang suling menyilang. Kaisar memegang teguh janjinya. Suling Emas dapat bergerak leluasa di dalam istana, dan setiap saat, biar malam sekalipun, ia berani masuk perpustakaan istana. Apabila pintunya sudah tertutup rapat di waktu malam dan penjaganya duduk mengantuk di depan pintu, Suling Emas memasuki gedung perpustakaan dari atas genteng. Semua petugas istana tidak pernah mengganggunya dan semenjak itu, nama Suling Emas amatlah dikenal. Apalagi setelah ia mengenakan pakaian anugerah Kaisar. Tidak seorang pun tahu bahwa pendekar besar ini hanya beberapa tahun yang lalu adalah seorang juru tulis Pangeran Suma Kong dan menderita hukum siksa oleh Suma-Kongcu karena berani bermain cinta dengan puteri Pangeran Suma Kong yang kini menjadi isteri Pangeran Kiang. Hanya beberapa pekan lamanya Suling Emas menikmati kemewahan istana. Pada suatu hari, orang tidak melihat bayangannya lagi karena Suling Emas telah pergi meninggalkan istana tanpa pamit. Kamarnya kosong dan di situ hanya terdapat tulisan huruf indah di atas tembok kamar:Di bawah bimbingan Kaisar bijaksana rakyat makmur negara aman sentausa Kaisar diberi laporan akan kepergian Suling Emas, hanya mengangguk dan selanjutnya memberi perintah agar kamar itu selalu dipersiapkan untuk Suling Emas. Tulisan dalam kamar itu amat menyenangkan hati Kaisar yang diam-diam merasa kecewa bahwa Suling Emas tidak mau menjadi pengawal pribadinya.


Sesungguhnya bukan hanya karena gagal menculik putera Kaisar saja yang memaksa A-liong, A-kwi dan Sam Hwa tergesa-gesa kembali ke Pek-coa-to, tidak mau berusaha lagi menculik pangeran kecil seperti yang ditugaskan kepada mereka oleh Kong Lo Sengjin. Terutama sekali karena melihat Suling Emas di tangan orang muda itulah yang membuat mereka khawatir sekali akan keadaan majikan mereka. Mereka tahu benar bahwa suling emas pusaka keramat itu tadinya berada di tangan sastrawan Ciu Bun yang berada di Pulau Pek-coa-to. Pulau yang sukar didatangi orang, dan pula, selain Kong Lo Sengjin sendiri yang sering kali berada di pulau, juga disana terdapat dua orang murid majikan mereka yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, yaitu Bhe Ciu dan Bhe Kiu. Bagaimana sekarang tahu-tahu suling emas itu terjatuh di tangan murid Kim-mo Taisu?

Ketika tiga orang tua ini mendarat di Pulau Pek-coa-to, mereka menjadi kaget sekali. Majikan mereka, Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Cow Pa Ong, bekas pangeran Tang yang dengan gigih selama hidupnya berjuang untuk menegakkan kembali kerajaan yang sudah roboh itu, telah menjadi mayat! Kakek lumpuh itu telah mati dalam keadaan duduk bersila bersandar pohon dan sebuah kitab kecil berada di kedua tangannya. Berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, juga duduk bersila bersandar batu besar dan sudah menjadi mayat, adalah sastrawan Ciu Bun! Sam Hwa, A-liong dan A-kwi cepat memeriksa. Ternyata kedua orang itu sama sekali tidak terluka. Agaknya mereka mati wajar, dan sebelum mati mereka itu agaknya bercakap-cakap membicarakan kitab kecil yang berada di kedua tangan Kong Lo Sengjin.

Dengan hati-hati mereka mangambil kitab kecil dari tangan Kong Lo Sengjin, lalu mengurus penguburan kedua orang itu. Penguburan yang sederhana dan sunyi tanpa upacara apa-apa karena di dalam pulau kosong itu memang tidak ada apa-apa. Mereka bertiga merasa heran mengapa tidak tampak bayangan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. mereka mancari-cari di dalam pulau dan memanggil-manggil, namun tidak terdengar jawaban. Ketika mereka tiba di tepi laut, di pantai sebelah selatan Pulau Pek-coa-to, mereka terkejut bukan main melihat mayat tergeletak malang melintang di sekitar pantai dan mereka semua mati dalam keadaan terluka oleh pukulan-pukulan dahsyat. Kuda Liong-ma milik Kong Lo Sengjin, yaitu kuda bekas tunggangan Sang Pangeran, seekor kuda yang mahal, juga telah menjadi bangkai, tubuhnya penuh luka bacokan senjata tajam. Tiga orang tua otu saling memandang, terheran-heran menyaksikan keadaan yang mengerikan itu. Akhirnya, mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengubur semua mayat yang sudah hampir busuk itu. Apakah yang sesunggunya terjadi dan ke mana perginya Bhe Kiu dan Bhe Ciu dua orang manusia aneh murid dan pelayan Kong Lo Sengjin? Beberapa hari yang lalu, seorang diri Kong Lo Sengjin mendarat di pulau Pek-coa-to dalam keadaan terluka hebat. Ia terluka di sebelah dalam tubuhnya akibat adu tenaga dengan Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sakti, kakek ini maklum bahwa lukanya amat parah, tak mungkin lagi dapat disembuhkan lagi. Akan tetapi dia tidak peduli. Ia sudah terlalu tua, pula ia selalu gagal dalam perjuangannya. Ia malah ingin cepat-cepat menemui maut. Begitu memasuki pulau, serta merta ia mencari Ciu Bun, bekas sahabatnya yang ia jadikan tawanan di pulau itu. Ingin ia tahu apa yang telah terjadi sehingga suling emas dapat berada di tangan murid Kim-mo Taisu. Ketika ia menemui Ciu Bun, ternyata kakek sastrawan itu tengah duduk bersila bersandar batu dan membaca kitab kuno dengan asyiknya. Melihat kitab itu Kong Lo Sengjin berteriak girang. "Ah, kau telah mendapatkan kitabnya?" Ia segera duduk pula di depan Ciu Bun.

Ciu Bun bergerak lemah dan wajahnya pucat seperti mayat, namun membayangkan kepuasan dan kebahagiaan. "Ya, kutukar dengan sulingnya. Kau sudah bosan akan suara suling itu, sekarang dengarlah sajak-sajak dalam kitab ini, Sengjin."

"Bacakanlah."

Ci Bun lalu mulai membaca sajak. Suaranya masih keras dan di antara angin yang bertiup dari laut menyapu permukaan pulau itu, terdengarlah nyanyian sajak yang aneh dan menggetarkan kalbu. Kong Lo Sengjin duduk bersila, tak bergerak gerak. Ketika matahari condong ke barat, suara Ciu Bun masih terdengar membacakan sajak terakhir. Begitu habis sajak terakhir itu ia menyanyikan, terdengar keluhan panjang dan tubuh Kong Lo Sengjin menjadi lemas, bersandar pada batang pohon dan nyawanya melayang diantara gema suara nyanyian sajak terakhir.

"....akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"

Pada keesokan harinya, terdengar suara ribut-ribut di tempat itu. Kiranya dua orang kakek yang seperti kanak-kanak, juga seperti iblis, Bhe Kiu dan Bhe Ciu, telah berada di situ. Melihat betapa majikan dan guru mereka telah tak bernapas lagi, juga kakek tukang suling seperti yang mereka sebut kepada Ciu Bun, sudah mati, mereka berteriak-teriak menantang orang yang tak tampak yang dianggapnya membunuh Kong Lo Sengjin, lalu menangis menggerung-gerung bergulingan di atas tanah, merobohkan pohon-pohon dan batu-batu besar, memaki-maki kemudian tertawa-tawa karena geli menyaksikan tingkah laku masing-masing.

Memang Ciu Bun juga menghembuskan napas terakhir setelah ia mendekati dan menemukan kenyataan bahwa sahabatnya itu telah meninggal dunia. Sambil menarik nafas panjang Ciu Bun mengerahkan tenaganya merangkak dan menaruh kitab kecil di dalam kedua tangan mayat sahabatnya, kemudian ia kembali duduk bersandar batu. Sudah berhari-hari dia duduk di situ, tanpa makan dan minum menanti datangnya maut karena ia merasa bahwa tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Akhirnya ia menghembuskan napas terakhir lewat tengah malam.

Kakek gila Bhe Kiu dan Bhe Ciu lalu lari ketakutan dari tempat itu ketika mereka teringat bahwa orang mati bisa menjadi setan. Mereka lari ketakutan mencari kuda tunggangan Kong Lo Sengjin. Seperti biasa, mereka berebut menunggang kuda dan membalapkan kuda itu mengelilingi pulau dengan maksud menjauhkan diri dari dua mayat manusia itu. Akan tetapi karena pulau itu tidak begitu besar dan kuda itu dapat berlari cepat sekali, setelah lari seputaran kembali mereka melihat dua mayat yang duduk bersandar pohon dan batu. Mereka makin ketakutan dan kembali membalapkan kuda. Pada saat itu, secara kebetulan sekali sebuah perahu dagang yang berlayar dari selatan, terdampar di pantai Pulau Pek-coa-to setelah sehari semalam perahu itu jadi permainan badai dan ombak. Tigapuluh dua orang penumpang lalu melompat turun mendarat untuk mencari makan dan minum karena semua ransum habis disapu air laut.

Tiba-tiba mereka mendengar suara derap kaki kuda dan....dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka ketika melihat dua orang kakek setengah telanjang menunggang kuda itu dengan cara yang luar biasa. Si Kakek Gendut berpunuk duduk di leher kuda sambil memegangi kedua telinga kuda, sedangkan Si Kakek Kurus menggantung pada ekor kuda di sebelah belakang! Akan tetapi perasaan kaget dan heran ini segera berubah menjadi kacau ketika kuda itu menerjang ke arah mereka dan kedua kakek itu berteriak-teriak tidak karuan. Mereka cepat mencabut senjata masing, ada yang mencabut pedang, ada yang menghunus golok, namun tidak ada gunanya karena Bhe Kiu dan Bhe Ciu sudah mengamuk hebat. Dari atas kuda, kedua orang manusia iblis ini melayangkan pukulan, tendangan, dan setiap kali kaki atau tangan mereka bergerak, tentu ada seorang yang ditendang, dipukul atau dilempar ke atas seperti orang melempar-lemparkan tikus saja! Hebatnya, mereka yang terkena tendangan atau pukulan, roboh untuk selamanya karena napasnya putus seketika! Dua orang manusia iblis itu memang wataknya aneh dan tidak normal. Pernah ketika mereka sembuh dari gigitan seekor kelabang berbisa, mereka mengamuk dan membunuh semua kelabang yang ada di pulau itu, baik kelabang kecil maupun besar, ataupun binatang merayap yang mirip kelabang! Sekali membunuh, mereka seperti mabok dan tidak akan berhenti kalau belum terbunuh semua. Pada saat itu, mereka pun seperti mabok. Sambil berteriak-teriak, tertawa-tawa dan kadang-kadang bertepuk-tepuk tangan, Bhe Kiu dan Bhe Ciu menyerbu, kadang-kadang dari atas kuda, kadang-kadang turun dan meninggalkan kuda. Mereka menghantam, menendang, membanting, mencekik. Belum setengah jam lamanya, tiga puluh dua orang itu sudah menggeletak malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi! Bhe Kiu si kakek yang berpunuk gendut, sudah merobek paha seorang lawan dan menjilati darahnya, hendak makan daging paha itu. Agaknya bagi manusia tidak normal ini, daging paha manusia tiada bedanya dengan daging paha seekor kijang atau kelinci! Akan tetapi ia melepas korbannya ketika mendengar Bhe Ciu berteriak-teriak. Ia melompat dan lari ke pantai di mana Bhe Ciu sedang mendorong-dorong perahu besar milik para korban tadi. Keduanya menjadi girang, seperti dua orang anak kecil mereka mendorong perahu besar itu ke tengah, kemudian mereka menari-nari di atas perahu ketika angin meniup layar perahu dan membuat perahu melaju ke tengah. Akan tetapi kegirangan mereka hanya sebentar saja. Karena perahu itu tidak dikemudikan, maka menjadi berputar-putar dan sebentar saja kedua orang aneh itu menjadi mabok laut. Mereka muntah-muntah, terhuyung-huyung dan merusak semua yang terdapat di atas perahu. Bahkan tiang layar pun mereka robohkan, layarnya dirobek-robek dan akhirnya keduanya begitu mabok sehingga jatuh terlentang di atas dek perahu dalam keadaan pingsan! Namun agaknya setan hendak mempergunakan dua manusia buas ini untuk mengacau dunia. Dua hari kemudian perahu mereka terdampar di darat. Bhe Kiu dan Bhe Ciu telah sembuh dari keadaan mabok. mereka melompat ke darat lalu berlari-lari memasuki sebuah kampung kecil. Geger di kampung itu dan kembali belasan orang menjadi korban keganasan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. Demikianlah, mulai saat itu, di dunia kang-ow muncul dua orang manusia aneh yang amat sakti, buas dan menyeramkan. Lambat-laun mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia ramai, namun watak liar mereka masih saja menempel sehingga mereka kemudian terkenal sebagai dua orang di antara Si Enam Jahat di duni akang-ouw. Bhe Kiu yang gemuk pendek berpunuk mendapat julukan Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa). Adapun Bhe Ciu yang tinggi kurus dan seperti kanak-kanak itu dijuluki orang Tok-sim Lo-tong (Bocah Tua Berhati Racun)! Agaknya pengalaman mencicipi daging dan darah manusia sebelum meninggalkan Pulau Pek-coa-to, membuat Toat-beng Koai-jin Bhe Kiu suka akan daging manusia. Kadang-kadang ia menangkap anak-anak yang gemuk dan berkulit bersih untuk dimakan dagingnya dan diminum darahnya. Kebiasaan ini membuat tubuhnya mengeluarkan hawa beracun, menambah racun yang telah dimilikinya ketika ia menjadi korban gigitan-gigitan serangga dan ular berbisa. Ia menjadi makin ganas dan makin lihai. Adapun Tok-sim Lo-tong Bhe Ciu setelah terkenal sebagai manusia iblis di dunia kang-ow, agaknya tidak melupakan kebiasaannya bermain-main dengan segala macam ular berbisa ketika berada di Pek-coa-to sehingga ia mempergunakan ular berbisa pula sebagai senjata. Kalau saja Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tahu betapa ia telah mendidik dua orang murid yang berubah menjadi iblis mengerikan, kiranya ia akan merasa malu dan kecewa sekali. Biar pun Kong Lo Sengjin sendiri di waktu hidupnya tidak segan-segan berlaku ganas dan licik, namun semua itu ia lakukan dengan tujuan yang dianggapnya baik dan murni, yaitu mendirikan kembali Kerajaan Tang yang sudah runtuh. Demikianlah keadaan di Pulau Pek-coa-to yang ditemukan dalam keadaan mengerikan oleh tiga orang bekas pembantu Kong Lo Seng-jin. Sam Wha, A-liong dan A-kwi bukanlah orang biasa, melainkan bekas orang-orang besar di jaman jayanya Kong Lo Sengjin. Mereka bukanlah orang jahat. Melihat keadaan di pulau itu, mereka menjadi menyesal dan semua semangat dan cita-cita mereka ikut mati bersama matinya majikan mereka. Insyaflah mereka betapa selama puluhan tahun mereka itu diperalat oleh Kong Lo Sengjin dan mulailah mereka menyesal. Mereka sudah amat tua dan mereka bertiga mengambil keputusan untuk tinggal di Pulau Pek-coa-to sampai mati, bertapa dan bersembunyi diri, hitung-hitung menebus dosa.

Suling Emas meninggalkan istana Kerajaan Sung dan mulailah ia berkelana seorang diri. Dengan pakaian yang berlukiskan suling, pemberian Kaisar, ditambah perbuatannya yang gagah berani, selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang patut ditolong, memberantas perbuatan orang-orang jahat, menegakkan kebenaran dan keadilan, sebentar saja nama Suling Emas dikenal dan dunia kang-ouw gempar dengan munculnya pendekar muda yang sakti ini. Namun karena Suling Emas membatasi diri, hanya muncul untuk mencegah penindasan dan kejahatan, sama sekali tidak mengganggu orang-orang kang-ouw dan liok-lim, tidak memusuhi dunia hitam, maka ia pun tidak dimusuhi secara langsung oleh dunia penjahat.

Bertahun-tahun ia berkelana seorang diri, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, dengan niat hati hendak melupakan segala kepahitan hidup yang telah dialaminya. Namun tak pernah ia berhasil. Hatinya tetap kosong dan perih, wajahnya tetap suram dan pandang matanya sayu. Ia selalu merasa sunyi dan apabila kesunyian sudah tak terkendali lagi, ia hanya menghibur diri dengan sulingnya. Hanya kalau ia meniup suling melagukan nyanyian sajak kitab kecil yang sudah dihafalkan, barulah hatinya yang merana agak terhibur.

Lima tahun berlalu amat cepatnya. Suling Emas telah berusia dua puluh delapan tahun. Pengalamannya sudah cukup banyak. Entah berapa ratus orang jahat ia robohkan dan ia insyafkan. Suling Emas tidak Suka membunuh orang, selalu berusaha menginsyafkan penjahat-penjahat yang telah ia kalahkan. Banyak pula orang-orang yang telah ditolongnya dari pada marabahaya, ingin menariknya sebagai mantu. Banyak pula gadis-gadis jelita yang telah ditolongnya, ingin membalas budi dengan penyerahan jiwa raganya. Namun semua itu ditolak Suling Emas dengan sikap halus dan tidak menyakitkan perasaan. Suling Emas yang telah dua kali hancur hatinya oleh kegagalan asmara, berjanji di dalam hatinya takkan bermain cinta lagi. Ia telah menjadi penakut, seakan-akan bertobat untuk melibatkan diri dalam asmara, setelah mengalami betapa hebatnya penderitaan batin karena kegagalan asmara.

Perjalananya menuju ke Nan-cao untuk menemui kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Beng-kauw, dilakukan dengan jalan memutar karena memang ia ingin menjelajah seluruh propinsi. Kadang-kadang ia tinggal di tempat-tempat indah, seperti telaga-telaga, atau puncak-puncak gunung sampai sebulan dua bulan. Oleh karena inilah, selama lima tahun, baru kakinya menginjak perbatasan Negara Nan-cao. Kerajaan Nan-cao, adalah kerajaan yang kecil saja di selatan. Namun melihat keadaan dusun dan kotanya yang ramai, rakyatnya yang hidup makmur, tidak tampaknya orang-orang berpakaian jembel dan pengemis, menunjukkan bahwa penguasa Nan-cao adalah orang-orang pandai. Apalagi setelah Suling Emas bermalam di sebuah dusun, ia mendapat kenyataan bahwa rumah-rumah di seluruh Nan-cao di waktu malam atau kalau sedang ditinggal pergi penghuninya, pintu dan jendelanya tak pernah dikunci. Hal ini hanya membuktikan bahwa penduduk hidup dalam suasana aman tenteram, tidak takut barang-barangnya dicuri karena mememang tidak pernah ada pencuri!

Penuh kekaguman hati Suling Emas menyaksikan ini semua. Rakyat hidup tidak mewah, namun cukup dan pada wajah mereka terbayang kepuasan. Ia kagum dan juga girang karena bukankah kakeknya yang menjadi guru negara dan orang terpenting di situ? Sama sekali Suling Emas tidak tahu bahwa selain merupakan negara kecil yang makmur, juga Nan-cao penuh dengan petugas-petugas yang setia, rajin dan pandai. Begitu ia menginjakkan kaki di perbatasan Nan-cao, dirinya selalu menjadi incaran dan diam-diam gerak-geriknya selalu ada yang mengawasi! Bahkan kedatangan Suling Emas di Nan-cao sudah diketahui oleh pusat Beng-kauw di kota raja karena mata-mata yang berjaga di sekitar perbatasan sudah memberi laporan lebih dulu. Nama Suling Emas sudah terdengar sampai di negara kecil ini, dan sekali melihat baju bersulamkan suling itu, para petugas segera dapat mengenalinya.

Pagi hari itu Suling Emas memasuki pintu gerbang kota raja Nan-cao yang daun pintunya berwarna merah. Ia berjalan perlahan, melirik ke arah para penjaga yang berdiri tegak di kanan kiri pintu! Namun para penjaga ini tidak menghiraukannya. Dari kedaan para penjaga ini saja Suling Emas sudah dapat melihat perbedaan. Di kerajaan-kerajaan lain di utara dan tengah, para penjaga pintu gerbang kota raja selalu melewatkan waktu dengan main kartu, main catur, bergurau atau menggoda wanita-wanita yang lewat. Akan tetapi para penjaga disini berdiri tegak, mata menyapu setiap orang yang lewat. Pendeknya sikapnya berdisiplin. Di tengah pintu gerbang terdapat tulisan digantung, berbunyi:Dilarang membawa senjata tajam ke dalam kota raja.

Suling Emas merasa puas. Agaknya pemerintah Nan-cao sudah hampir berhasil menghilangkan kejahatan di negaranya. Akan tetapi, belum jauh ia memasuki kota raja, dari sebelah depan datang serombongan pasukan terdiri dari dua belas orang berpakaian seragam, dikepalai oleh seorang gadis muda yang cantik sekali! Seorang gadis yang selain cantik jelita, juga berpakaian aneh. Pakaiannya dari sutera yang indah, hampir hitam seluruhnya kecuali lengan kanan dan kaki kiri! Lengan baju dan kaki celana ini berwarna putih. Benar-benar lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, dan sebaliknya kaki kiri putih kaki kanan hitam. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pakaian begini aneh, maka ia memandang dengan mata terbelalak. Baru ia sadar ketika melihat pasukan ini berhenti tepat di depannya, dan mata gadis yang bening tajam itu memandangnya dengan pandangan mata menyelidik. Demikian pula pandangan mata dua belas orang anak buahnya! Karena kagum melihat sikap gadis berpakaian hitam putih yang jelas membayangkan kegagahan itu, Suling Emas berhenti berjalan dan memandang penuh perhatian. Setelah beradu pandang sesaat, gadis itu segera menegur dengan suara nyaring, kata-katanya penuh kewibawaan seperti suara orang yang biasa memerintah, "Bukankah engkau yang bernama Suling Emas?" Suling Emas tersenyum. Dalam pandangan matanya, lucu juga gadis yang amat muda ini bersikap seperti orang tua. Ia dapat menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai kedudukan yang penting di kota raja itu, maka ia tidak berani bersikap sembrono dan ia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangannya ke depan dada.

"Memang benar dugaan Nona. Orang-orang menyebutku Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)." "Dari kerajaan Sung?" potong nona itu dengan suara galak.

"Memang benar aku datang dari kota raja Kerajaan Sung," jawab Suling Emas sejujurnya. Para anak buah gadis itu mengeluarkan suara mendengus tak puas, dan pandang mata mereka semua penuh curiga.

"Mau apa kau memasuki negara kami? Apakah kau hendak memata-matai kerajaan kami?" Gadis itu kini melangkah maju, sikapnya mengancam. Suling Emas melihat betapa tangan gadis itu meraba ke pinggang dan ia tahu bahwa ikat pinggang gadis itu kiranya adalah senjata yang aneh dan bagus. Yaitu sepasang tali yang ujungnya terdapat bola yang mengkilap sebesar kepalan tangan, seperti cambuk namun ujungnya pakai bandulan. Ia tahu bahwa senjata macam ini amatlah sukar dimainkan, maka jarang dipergunakan ahli silat di dunia kang-ouw. Kalau gadis ini mampu memainkannya, hal ini sudah membayangkan betapa lihainya gadis muda ini. Kalau saja Suling Emas terus terang mengaku bahwa dia adalah cucu Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw), tentu semuanya akan beres. Namun Suling Emas terlalu gembira dan tegang hatinya untuk muncul begitu mudah, apalagi melihat gadis muda ini, ia merasa kagum dan ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaiannya. Karena itulah, ia tidak segera memperkenalkan dirinya sebagai cucu Beng-kauwcu, melainkan menjawab sembarangan. "Apakah ada larangan untuk memasuki Negara Nan-cao? Aku hanya ingin melihat-lihat, tidak memata-matai siapa-siapa. Harap Nona dan anak buah Nona tidak menggangguku sehingga setelah keluar dari Nan-cao akan kukabarkan betapa baiknya orang-orang Nan-cao terhadap orang asing."

"Terhadap tamu biasa, kami tidak akan peduli. Akan tetapi Suling EMas adalah nama yang cukup terkenal, tokoh dari Kerajaan Sung. Oleh karena itu, kau harus ikut kami menghadap wakil ketua Beng-kauw, karena hanya beliau yang akan memutuskan apakah kau boleh memasuki kota raja kami apakah tidak." Suling Emas pura-pura marah dan mengerutkan alisnya. "Mana ada aturan begitu? Aku memang benar Suling Emas, akan tetapi bukan penjahat!"

"Jahat atau baik sama sekali tidak dapat diukur dari nama julukan!" Bantah gadis itu. "Karena kau memasuki wilayah kekuasaan kami, sudah sepatutnya kau tunduk kepada peraturan kami. Sekarang berikan senjatamu dan kau ikut menghadap wakil ketua Beng-kauw!"


Ucapan gadis itu tegas dan ketus. Suling Emas pura-pura tidak mengerti dan mengangkat kedua pundaknya uang bidanh sambil berkata,

"Selama hidupku tak pernah aku membawa senjata."

Gadis muda itu tertawa mengejek. Maksudnya hendak mengejek, akan tetapi ketawanya sungguh manis dan orang tak kan bisa sakit hati karena ketawa ini.

"Siapa tidak tahu bahwa suling di pinggangmu itu merupakan senjatamu yang ampuh?"

"Suling bukanlah senjata, melainkan alat musik yang menciptakan suara merdu menggibur hati duka lara. Kalau hatimu risau, Nona cilik, biarlah aku meniupnya untuk menghiburmu."

Sepasang alis yang hitam melengkung itu bergerak ke atas, sepasang mata bening itu mengeluarkan cahaya. "Jangan banyak cerewet. Pendeknya, kau mau menyerah secara baik-baik ataukah menghendaki digunakan kekerasan?"

"Hem, hem, tak kusangka Nan-cao suka menggunakan kekerasan. Ingin kutahu kekerasan macam apakah itu?" Suling Emas sengaja mempermainkan.

Gadis itu marah sekali. Dengan isyarat tangan ia memerintahkan anak buahnya sambil berteriak, "Tangkap dia! Rampas sulingnya!"

Dua belas orang berpakaian seragam itu begitu menerima perintah cepat serentak bergerak dan menubruk suling emas. Gerakan mereka gesit dan kuat karena mereka ini adalah orang-orang yang terlatih baik, dan merupakan murud-murid tingkat terendah dari Beng-kauw. Sesuai dengan perintah gadis itu, mereka tidak mempergunakan senjata, melainkan menubruk dan berusaha menangkap Suling Emas serta merampas suling yang terselip di ikat pinggangnya.

Gadis itu melihat betapa Suling Emas sama sekali tidak bergerak atau pindah dari tempatnya, juga tidak mengelak, hanya menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi akibatnya…anak buahnya terpelanting dan terlempar ke kanan kiri! Setiap kali ada seorang anak buahnya yang menubruk, tentu orang ini terlempar dan jatuh terbanting keras sehingga sejenak tak dapat bangun. Dalam waktu beberapa menit saja, dua belas orang orang anakbuahnya sudah roboh semua, mengaduh-aduh dan menggosok-gosok kepala benjol dan kaki tangan mereka lecet kulitnya.


Bukan main marahnya gadis itu. "Mundur kalian semua!" Bentaknya dan di lain saat ia sudah meloloskan sepasang cambuknya. "Wuuut….tar-tar….!" Sepasang cambuk itu diayun dan berputaran di atas kepala membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan mengeluarkan bunyi angin menyambar-nyambar diseling ledakan-ledakan ketika gerakan tali itu direnggut dan disentakkan. Bagaikan dua ekor naga mengamuk, sepasang cambuk itu sudah melayang dan menyerang Suling Emas, sekaligus bola-bola di ujungnya menyambar ke arah jalan darah di leher dan lutut!

"Bagus…!" Suling Emas berseru kagum dan dengan gembira ia lalu menggerakkan tubunya, melayani amukan sepasang cambuk ini dengan tangan kosong. Karena maklum bahwa sepasang bola diujung cambuk itu tak boleh dipandang ringan, maka suling emas lalu bersilat dengan pukulan Bian-sin-kun (tangan Kapas Sakti) sambil mengerahlan ilmu meringankan tubuh sehingga ia dapat mengelak ke sana ke mari dengan cepat dan ringan, serta kadang-kadang ia menangkis dan mendorong bola-bola itu dengan telapak tangannya yang berubah lunak seperti kapas.

Diam-diam suling emas mengagumi gerakan gadis muda itu. Ilmu silat yang dimainkan gadis muda itu benar-benar adalah ilmu silat tingkat tinggi. Hanya harus diakui bahwa tenaga dalam gadis itu belumlah begitu sempurna sehingga baginya, gadis muda itu merupakan lawan yang tidak berat. Sementara itu , melihat kelihaian suling emas, seorang diantara dua belas anak buah itu sudah lari melaporkan ke atasannya.

Suling Emas yang hanya ingin main-main dan mencoba kelihaian lawan, tentu saja tidak mau merobohkan Si Nona Muda. Kalau dia mau, dengan mudah ia bisa mengalahkan gadis itu, akan tetapi ia merasa enggan menyakiti hati orang yang sama sekali tidak ia anggap sebagai musuh. Beberapa kali ia melompat ke belakang sambil berkata, "Cukuplah, Nona. Mari kita menghadap Beng-kauwcu!"

Akan tetapi nona muda itu sudah menjadi marah dan penasaran sekali. Ia terkenal sebagai orang muda terpandai di Nan-cao dan sepasang cambuknya jarang ada yang sanggup melawannya. Mengapa hari ini ia bertemu dengan lawan yang menghadapinya dengan tangan kosong namun begitu jauh ia sama sekali belum mampu menyentuh tubuh lawan dengan sepasang bola di ujung cambuknya? Rasa penasaran dan malu membuat ia marah tanpa pedulikan ajakan Suling Emas yang penuh damai itu, ia menerjang terus!

Akan tetapi dengan gerakan aneh. Suling Emas menyambut terjangannya dan tahu-tahu sepasang bola di ujung cambuk itu telah tertangkap oleh sepasang tangan Suling Emas. Gadis itu berseru keras, menarik-narik cambuknya, namun sia-sia, sepasang bola itu tetap berada di tangan Suling Emas sehingga kedua cambuknya tak dapat digerakkan lagi! Gadis itu membanting-banting kakinya, memekik-mekik, mengerahkan tenaga tanpa hasil.

"Tar-tar-tar!!" Hebat sekali suara ledakan ini, disusul berkelebatnya gulungan sinar hitam yang menyilaukan mata, berkelebatan di atas kepala Suling Emas. Terkejut sekali suling emas, cepat ia melepaskan sepasang bola lalu meloncat ke belakang.

"Susiok (Paman Guru), harap Susiok suka beri hajaran kepada manusia sombong ini!" gadis itu berseru sambil meloncat mundur dan menyimpang sepasang cambuknya yang tadi dibuat tidak berdaya oleh Suling Emas.

Ketika Suling Emas memandang, ternyata yang membunyikan cambuk hitam dengan suara sedemikian hebatnya itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, pakaiannya sederhana seperti pakaian petani, kepalanya tertutup caping lebar, wajahnya angker dan sepasang matanya tajam. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pecut yang bentuknya sederhana seperti pecut seorang penggembala, namun pecut itu warnanya hitam berkilauan.

"Susiok, dia ini Suling Emas dari Kerajaan Sung. Orangnya sombong sekali, kuajak baik-baik menghadap Susiok dia tidak mau dan melawan dengan kekerasan!" kata pula gadis itu, mengadu dan bibirnya setengah mewek hampir menangis karena hatinya benar-benar gemas, marah dan penasaran mengapa hari ini semua kepandaiannya sama sekali tidak dihargai orang dan tidak ada gunanya!

"hemm…hemm…!" Kakek itu menggumam sambil memandang tajam kepada Suling Emas. Di lain pihak, Suling Emas juga memandang penuh perhatian. Diam-diam ia menduga-duga, siapa gerangan kakek ini. Sudah terang bukan Pat-jiu Sin-ong, kakeknya. Biarpun belasan tahun tak pernah jumpa lagi, namun ia takkan melupakan Pat-jiu Sin-ong yang pernah dilihatnya dahulu. Kakek ini susiok dari gadis itu, sudah tentu memiliki kepandaian yang luar biasa.

"Harap Lo-enghiong sudi memafkan. Sesungguhnya bukan sekali-kali maksud kedatangan saya untuk memancing perkelahian. Hanya Nona itu terlalu….terlalu galak…"

"Nama Suling Emas sudah terkenal sampai disini. Kini orangnya datang dan tidak mengindahkan peraturan, bahkan merobohkan pasukan peronda keamanan dan mempermainkan puteri Ji-kauwcu (ketua Kedua)! Akan tetapi jangan berbangga dahulu dengan kemenanganmu, Suling Emas, karena di atasnya masih ada aku , wakil ketua dan di atasku masih ada Ji-kauwcu dan Twa-kauwcu (Ketua Pertama)! Kausambutlah pecutku ini!"

Ucapan itu ditutup dengan berkelebatnya sinar hitam yang diikuti suara ledakan seperti guntur di atas kepala Suling Emas. Suling Emas terkejut dan cepat mencabut sulingnya dan menangkis. Ia maklum bahwa menghadapi kakek ini jauh bedanya dengan menghadapi gadis tadi, maka terpaksa ia menggunakan sulingnya. Ketika sinar hitam itu menyambar turun, ia pun menggerakkan sulingnya menangkis.

"Plak…!!!" ujung pecut itu mental kembali ketika bertemu suling dan kakek bercaping mengeluarkan seruan kaget. Telapak tangannya yang memegang pecut terasa panas dan pecutnya membalik keras, tanda bahwa lawan muda ini benar-benar hebat tenaga dalamnya.

"Bagus! Kiranya kau benar-benar lihai!" Serunya dan kini pecutnya menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat sehingga lenyaplah tubuhnya, terbungkus sinar cambuk yang hitam bergulung-gulung.

Dua macam perasaan teraduk di hati Suling Emas. Ia merasa menyesal dan khawatir mengapa kedatangannya malah menimbulkan perkelahian dengan orang-orang Beng-kauw yang dipimpin kakeknya, akan tetapi di samping ini ia pun merasa girang dan kagum bahwa orang-orang Beng-kauw ternyata memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ia ikut merasa girang dan bangga. Maka timbullah niat di hatinya untuk mencoba terus tanpa niat mencelakai lawan. Dengan pikiran ini, ia lalu mainkan ilmu Pat-sian Kiam-hoat yang ampuh.

Begitu Suling Emas mainkan ilmu yang sakti ini, lawannya segera terdesak hebat. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh sinar hitam itu makin mengecil dan menyempit, terkurung oleh sinar kuning emas yang makin membesar. Suling Emas hanya membuat lawannya tidak berdaya menyerangnya lagi, kemudian dengan sendirinya ia pun akan mundur, maka sinar sulingnya tidak menyerang melainkan menekan.

Tiba-tiba gerakan kakek itu berubah dan kini dari lingkaran-lingkaran sinar hitam itu keluar suara meledak-ledak memekakkan telinga, Suling Emas kaget dan dia menjadi makin kagum, tak disangkanya bahwa dalam kedaan terdesak itu, Si Kakek ini masih mampu mengeluarkan ilmu yang disertai khi-kang sedemikian hebatnya sehingga kalau lawan kurang kuat sin-kangnya, tentu akan terpengaruh suara ledakan ini dan akan menjadi kacau permainan silatnya. Maka Suling Emas segera menggerakkan sulingnya sedemikian rupa sehingga di antara suara ledakan itu terdengarlah lengking tinggi menusuk telinga, suara dari suling itu sendiri yang berbunyi seperti ditiup mulut.


Tiba-tiba suara ledakan dan suara lengking suling terhenti. Kedua senjata itu telah bertemu di udara dan ujung pecut melibat suling, tidak dapat dilepaskan lagi! Kakek itu berusaha sekuat tenaga melepas pecutnya, namun sia-sia dan ketika Suling Emas menggerakkan tangannya, pecut itu terlepas dari pegangan Si Kakek! Di lain saat, Suling Emas sudah mengambil pecut dan menyerahkan senjata itu kepada pemiliknya sambil menjura.

Wajah kakek itu sebentar pucat sebentar merah dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara menggereng keras, tubuhnya menerjang maju mengirim pukulan maut ke arah dada Suling Emas.

"Sute (Adik Seperguruan)! Mundur dan tahan amarahmu!" Suara ini terdengar berpengaruh sekali sehingga tubuh kakek itu seakan-akan tertahan dan otomatis ia membatalkan niatnya menyerang, melainkan balas menjura dan menerima pecutnya dari tangan Suling Emas. Ia lalu melangkah mundur dengan muka tunduk, namun sepasang mata yang memandang dari bawah caping itu berapi-api.

Suling Emas menengok ke kanan dan terkejutlah ia melihat seorang kakek lain yang sikapnya amat berwibawa. Kakek inipun bukan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, akan tetapi mempunyai wajah yang ada persamaan dengan ketua Beng-kauw itu. Seorang kakek tua yang mukanya keren, sinar mata tajam, tubuhnya tegap dan tegak berdirinya, memegang sebatang tongkat. Sekali pandang saja timbullah segan dan hormat dalam hati Suling Emas. Cepat ia melangkah maju dan menjura dengan hormat sambil berkata,

"Saya yang muda mohon maaf sebesar-besarnya telah menimbulkan keributan yang sesungguhnya tidak saya kehendaki di sini. Mohon Locianpwe suka memberi maaf."

Kakek itu mengangguk, lalu menggerak-gerakkan tongkatnya. "Orang muda, kau tentu yang bernama Suling Emas. Apa hubunganmu dengan Kim-mo Taisu?"

Suling Emas kaget dan ia merasa lega bahwa ia tadi tidak bersikap sembrono. Ternyata kakek ini benar-benar hebat, sekali pandang dapat mengenal gerakannya yang ia warisi dari gurunya. Sambil bersikap hormat ia menjawab,

"Mendiang Kim-mo Taisu adalah guru saya, Locianpwe."

"Aaahh…? Mendiang, katamu..?"

"Suhu telah meninggal dunia beberapa Tahun lalu, kurang lebih lima tahun."

"Pantas kau lihai, kiranya murid Kim-mo Taisu. Orang muda, Kim-mo Taisu adalah sahabat Beng-kauw. Engkau sebagai muridnya, mengapa datang hendak menimbulkan keributan dengan Beng-kauw? Apa kehendakmu?"



Merah wajah Suling Emas dan cepat ia menjawab, "Tidak sekali-kali, Locianpwe. Tidak sekali-kali saya berani mencari keributan dengan Beng-kauw. Sesungguhnya, baru saja saya memasuki kota raja ini, kemudian dihadang dan hendak ditangkap. Saya tidak mempunyai niat buruk…."

"Kalau begitu, apa yang kau kehendaki dengan kedatanganmu di sini?"

"Saya….saya mohon berjumpa dengan …Pat-jiu Sin-ong, ketua Beng-kauw yang terhormat."

Kakek itu megelus-elus jenggotnya dan tersenyum. "Orang muda, tidak mudah orang luar hendak menghadap Beng-kauwcu. Semua urusan dapat kau sampaikan kepada aku. Aku adalah Ji-kauwcu Liu Mo…"

"Aaahh, jadi Locianpwe ini masih saudara kandung Beng-kauwcu…?"

"Aku adik kandungnya," jawab kakek itu tersenyum. "Atau dapat kausampaikan kepada puteriku Liu Hwee yang bertugas sebagai pimpinan penjaga keamanan." Ia menuding ke arah gadis muda tadi sehingga kembali Suling Emas kaget. Dengan mata terbelalak ia memandang gadis muda yang cantik tadi, yang ternyata adalah…bibinya! Kalau Ji-kauwcu Liu Mo ini adik Beng-kauwcu kakeknya, berarti anak kakek bertongkat ini, yaitu si gadis muda yang menyerangnya tadi adalah bibinya.

"Juga dapat kau sampaikan urusanmu kepada suteku itu, yang bernama Kauw Bian Cinjin. Nah, sekarang telah kuperkenalkan semua pihak yang tadi saling bentrok, yang mudah-mudahan tidak dilanjutkan lagi. Suling Emas, katakanlah apa yang hendak kausampaikan kepada Twa-kauwcu."

Tiba-tiba Suling Emas menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek yang bernama Liu Mo itu. Tanpa ragu-ragu ia berlutut. Bukankah kakek ini juga kakek mudanya, paman dari ibunya?

"Mohon beribu ampun, Locianpwe, akan tetapi…saya hanya dapat bicara di depan…Beng-kauwcu sendiri…"

Diam-diam Liu Mo terheran, dan memandang dengan mata penuh selidik. Ia tahu bahwa orang muda ini amat sakti. Dari pertempuran melawan sutenya tadi ia mengerti bahwa ia sendiri pun belum tentu akan dapat mengalahkan Suling Emas. Akan tetapi mengapa pendekar muda ini begitu merendahkan diri, berlutut di depannya? Dan semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, sedikitpun tidak membayangkan kepura-puraan atau kepalsuan. Setelah saling bertukar pandang dengan Kauw Bian Cinjin, ia menjawab singkat,

"Suling Emas, tentu ada sebab yang amat penting maka kau memaksa hendak menghadap Beng-kauwcu. Marilah, kau ikut dengan kami."

Dengan hati berdebar Suling Emas mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Kauw Bian Cinjin bersama Liu Hwee, kemudian diikuti pula oleh para anak buah. Akan tetapi setelah tiba di depan sebuah gedung besar yang angker dan megah, pasukan itu berhenti dan bersatu dengan para penjaga yang berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang terus sampai ke pendopo dengan sikap angker dan dalam barisan yang rapi. Barisan yang terdepan segera berlutut dengan sebelah kaki. Namun sikap mereka masih tegak dan dalam keadaan siap.

Barisan penjaga berganti-ganti dan bertingkat-tingkat dari depan sampai ke dalam, kemudian paling dalam terdapat barisan pasukan wanita yang berpedang dan sikap mereka keren dan gagah. Di sepanjang dinding ruangan yang mereka lalui terdapat lukisan-lukisan dan huruf-huruf hias yang amat indah, tidak kalah indah oleh ruangan-ruangan di dalam istana Raja Sung! Dan akhirnya mereka memasuki sebuah kamar besar yang daun pintunya bercat merah.

Ketika memasuki kamar ini, Liu Mo dan Kauw Bian Cinjin segera berdiri di pinggir dengan sikap menghormat setelah membongkokkkan tubuh. Adapun Liu Hwee segera menjatuhkan diri berlutut. Suling Emas memandang ke depan, ke arah seorang kakek tua yang duduk sendirian di atas kursi besar, kakek yang dikenalnya sebagai Pat-jiu Sin-ong yang bertemu dengan suhunya belasan tahun lalu.

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan sinar matanya yang acuh tak acuh itu tampak diliputi awan dan murung. Ia menyapu yang datang dengan sinar matanya, kemudian dengan kening berkerut ia mendengarkan laporan Liu Mo tentang Suling Emas yang dengan sikap penuh hormat minta menghadap Beng-kauwcu.

"Kau Suling Emas?" Suara ketua ini mengguntur dan menggema dalam ruangan besar itu. Suling Emas merasa amat terharu setelah bertemu muka dengan ayah dari ibunya. Keharuan ini mencekik lehernya dan atas pertanyaan itu ia hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

"Kamu murid Kim-mo Taisu?"

Kembali Suling Emas hanya mengangguk.

"Suheng, Kim-mo Taisu telah tewas lima tahun lalu menurut penuturan orang muda ini," kata Liu Mo.

Pat-jiu Sin-ong mengerutkan alisnya yang tebal dan sudah bercampur warna putih. "Hemm, selama hidup Kwee Seng tak pernah mau kalah terhadap aku. Apakah setelah ia mati ia menyuruh muridnya melanjutkan wataknya yang keras kepala itu? Heh, orang muda, kau terima ini!" Tangan kanan Pat-jiu Sin-ong meraih cangkir arak di atas meja lalu ia melontarkan cawan itu ke atas. Cawan arak itu berputaran di atas, lalu meluncur turun ke arah Suling Emas!

Suling Emas cukup waspada dan ia maklum bahwa penyerang yang seluruhnya mengandalkan sin-kang ini amatlah hebat. Biarpun kakek ini adalah ayah dari ibunya, namun ia pun harus menjaga nama besar gurunya. Dibandingkan dengan kakeknya ini, agaknya gurunya jauh lebih berjasa dan lebih baik terhadapnya. Ia pun cepat memasang kuda-kuda, mengerahkan sin-kang dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut cawan itu. Cawan yang meluncur dan berada dalam jarak tengah-tengah antara kedua orang itu, kini terhenti di udara, tertahan oleh hawa pukulan tangan Suling Emas. Mereka masing-masing mengerahkan tenaga, Pat-jiu Sin-ong dengan lengan kanan lurus ke depan, sedangkan Suling Emas dengan kedua tangan lurus ke depan pula, mempertahankan diri.

Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee memandang penuh perhatian dan kekhawatiran. Mereka sudah maklum akan kehebatan tenaga Ketua Beng-kauw itu, dan setelah tahu bahwa orang muda ini bukan musuh, mengapa harus dicelakakan? Akan tetapi alangkah heran dan kagum hati mereka ketika cawan itu sama sekali tidak dapat maju lagi sejengkalpun juga, tetap tergantung di udara, tidak maju tidak mundur.

"Prakkk!" Tiba-tiba cawan itu hancur berkeping-keping dan Suling Emas melangkah mundur tiga langkah dengan napas agak terengah. Adapun Pat-jiu Sin-ong dengan muka penuh keringat tertawa bergelak, lalu menampar meja sehingga terdengar suara keras.

"Kwee Seng! Sungguh engkau keras kepala! Engkau telah menurunkan semua ilmumu kepada bocah ini, agaknya untuk membuktikan bahwa kau masih belum juga mau kalah terhadap aku! Ah, setan keras kepala. Kalau saja kau dahulu mau menjadi mantuku, tentu kau belum mampus sekarang dan aku tidak akan begini kesepian! Kwee Seng….Lu Sian…kalian mengecewakan hatiku!" Kakek itu menutup muka dengan kedua tangannya dan dengan muka pucat Suling Emas melihat betapa dari celah-celah jari tangan itu mengalir air mata! Pat-jiu Sin-ong menangis! Pat-jiu Sin-ong menyesal mengapa ibunya, Liu Lu Sian dahulu tidak menjadi istreri suhunya! Suling Emas tak dapat menahan keharuan hatinya dan ia maju berlutut di depan kedua kaki Pat-Jiu Sin-ong lalu berkata,

"Kong-kong, aku adalah cucumu…, aku adalah Kam Bu Song…putera tunggal ibu Liu Lu Sian…"

Pat-jiu Sin-ong perlahan-lahan menurunkan kedua tangannya. Matanya terbelalak memandang wajah Suling Emas yang menengadah, lalu perlahan-lahan kedua tangannya bergerak ke depan, menangkap wajah itu di antara kedua tangannya, bibirnya bergerak-gerak dan berbisik, "Kau …kau puteranya..? Benar! Ini…ini matanya, mulutnya…! Kau…cucuku….!"

"Kong-kong…!" Bu Song menahan air matanya dan dengan singkat ia menceritakan kedaan orang tuanya dan betapa semnejak kecil ia telah hidup seorang diri sehingga akhirnya menjadi murid Kim-mo Taisu. Mendengar penuturan itu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu merangkulnya, kemudian menarik bangun Suling Emas, menepuk-nepuk pundaknya dengan penuh kebanggaan.

"Wah, kau benar hebat! Kau cucuku! Ha-ha-ha, tidak kecewa aku mempunyai cucu seperti ini! Terima kasih, Kwee Seng! Ha-ha-ha!"


Suling Emas sebagai orang muda yang tahu sopan santun dan aturan, segera menghadap Liu Mo dan berlutut pula. "Mohon semua kelakuan saya yang lancang tadi diampuni."

Liu Mo mengangkatnya, juga Kauw Bian Cinjin. Kedua orang tua ini tertawa pula bergelak saking gembira hati mereka. Kemudian kwee seng menjura ke arah Liu Hwee dan berkata,

"Mohon Bibi juga sudi memberi ampun kepadaku."

Muka yang cantik itu seketika menjadi merah sekali. Akan tetapi dasar Liu Hwee berwatak riang, ia tertawa dan pura-pura marah, "Wah, mana bisa aku mendadak mempunyai seorang keponakan yang begini besar? Hayo, kau keponakan yang nakal, kau harus berlutut tujuh kalu di depan bibimu, baru aku suka memberi ampun!"

Suling Emas bingung, akhirnya ia benar-benar hendak berlutut tujuh kali di depan bibinya yang galak, akan tetapi Liu Mo mencegah dan kakek ini membentak anaknya, "Hwee-ji (anah Hwee), jangan main gila!" Semua orang lalu tertawa.

"Satu hal saya mohon kepada Kong-kong, kedua Paman Kakek dan Bibi, yaitu saya ingin tinggal menjadi Suling Emas. Saya sudah menghapus nama Bu Song dari dalam hati dan ingatan. Biarlah saya tinggal disebut Suling Emas dan jangan ada yang mengetahui asal-usul saya."

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mengerutkan kening dan menatap tajam wajah cucunya, kemudian ia menarik napas panjang. "Semuda ini sudah sepahit itu. Agaknya dosa-dosa orang tua menimpa kepadamu. Baiklah, Suling Emas."

Semenjak hari itu, Suling Emas hidup berkumpul dengan keluarga ibunya. Kakeknya amat sayang kepadanya, juga Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee. Kakeknya yang amat sayang kepadanya, menurunkan pula ilmu-ilmu kesaktian yang tinggi kepadanya sehingga selama tinggal di Nan-cao, Suling Emas menjadi makin matang dan makin sakti.

Akan tetapi ia tidak pula melupakan Kerajaan Sung. Seringkali dalam perantauannya, ia singgah di kerajaan ini, memasuki istana dan langsung memasuki perpustakaan untuk memuaskan nafsunya membaca kitab-kitab kuno. Ia menjaga sedemikian rupa agar ia jangan sampai bertemu dengan bekas kekasihnya, yaitu Suma Ceng. Kalau tidak tekun membaca kitab sampai berbulan-bulan di dalam gedung perpustakaan Kerajaan Sung, tentu Suling Emas mengembara dan selalu menurunkan perbuatan gagah perkasa, membela mereka yang tertindas, menghajar mereka yang sewenang-wenang, berdasarkan kebenaran dan keadilan. NamaSuling Emas menjadi makin terkenal di segenap penjuru. Hanya satu hal yang masih mengecewakan hati yang mulai terhibur oleh pelaksanaan tugas sebagai pendekar budiman itu, yakni bahwa selama itu belum juga ia tahu akan keadaan ibu kandungnya!

Bersama berkembangnya nama Suling Emas sebagai pendekar budiman yang sakti, di dunia kang-ouw muncul nama enam orang manusia iblis yang sakti dan buas, sehingga mereka itu diberi julukan Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia). Mereka itu adalah It-gan Kai-ong seorang jembel tua bermata satu yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong, ke dua adalah Siang-mou Sin-ni, seorang wanita cantik jelita berambut panjang yang bukan lain adalah Coa Kim Bwee selir Kaisar Hou-han, ke tiga adalah Hek-giam-lo si tokoh Khitan yang bukan lain adalah Bayisan. Ke empat adalah Cui-beng-kui Si Setan Pengejar Roh yang dahulunya adalah Ma Thai Kun, sute dari Pat-jiu Sin-ong. Ke lima dan ke enam adalah Toat-beng Koai-jin yang dahulunya bernama Bhe Kiu dan Tok-sim Lo-tong yang dahulunya bernama Bhe Ciu, dua orang murid Kong Lo Sengjin.

Sampai di sini selesailah ceritaSuling Emas ini dan bagi pembaca yang sudah membaca ceritaCinta Bernoda Darah tentu teleh berjumpa pula dengan Suling Emas yang menjadi lawan ke enam manusia iblis itu. Pengarang menutup cerita ini dengan harapan semoga pembaca puas dengan cerita Suling Emas. Apabila masih belum cukup puas, dipersilakan untuk menanti cerita silat yang berjudul"Mutiara Hitam" di mana pembaca akan dibawa terbang melayang ke alam khayal dan mengikuti perjalanan Suling Emas dan murid-murid serta keturunanya, karena ceritaMutiara Hitam merupakan lanjutan cerita Cinta Bernoda Darah. Sampai jumpa dalam KisahMutiara Hitam!

Popular posts